[Review] Xiaomi Poco F3, Performa Flagship dengan Harga Setengahnya

Smartphone besutan Xiaomi dikenal punya harga terjangkau dengan membawa spesifikasi yang tinggi di kelasnya. Termasuk Poco, namun perbedaannya dengan lini produk Xiaomi yang lain ialah Poco berfokus pada kecepatan yang nyata.

Kali ini DailySocial Gadget akan mengulas Poco F3 yang digadang-gadang sebagai flagship killer. Julukan tersebut bukan tanpa alasan, sebab smartphone 5G yang ditenagai chipset flagship Qualcomm Snapdragon 870 ini dilepas dengan harga mulai dari Rp4.999.000.

Selain itu, nilai jual utama dari Poco F3 ialah kualitas premium audio visual-nya. Ia mengemas panel AMOLED E4 6,67 inci FHD+ dengan refresh rate tinggi 120Hz dan memiliki dual speaker stereo Dolby Atmos.

Dari dua kombinasi ini saja sudah jelas, siapa yang cocok menggunakan Poco F3 yakni mereka yang mementingkan performa dan penikmat film. Untuk mencapai harga tersebut, tentunya ada beberapa fitur yang disesuaikan. Apa lebih dan kurangnya? Siamak review Xiaomi Poco F3 berikut ini.

Performa Flagship

Review-Xiaomi-Poco-F3-2

Pertama mari perjelas posisi dari Qualcomm Snapdragon 870, sebagai bagian dari Snapdragon 8 series, artinya chipset ini dirancang untuk smartphone kelas atas. Namun perlu diketahui bahwa ia tidak mengusung teknologi mutakhir seperti yang terdapat pada Snapdragon 888 dan 888+.

Snapdragon 870 dibuat dengan dasar yang sama seperti chipset flagship tahun lalu yakni Snapdragon 865 dan 865+. Diproduksi pada pabrik TSMC menggunakan proses fabrikasi 7nm, dengan CPU Kryo 585 berbasis Cortex A-77, dan GPU Adreno 650.

Perbedaannya clock speed prosesor Kryo 585 pada Snapdragon 870 telah ditingkatkan kecepatannya hingga 3,2 GHz. Naik dari 2,84 GHz pada Snapdragon 865 dan 3,1 GHz untuk Snapdragon 865+.

Selebihnya spesifikasi lainnya identik, termasuk penggunaan modem 5G Snapdragon X55 yang sudah mendukung Sub-6 dan mmWave. Serta, AI Engine generasi ke-5 dengan prosesor Hexagon 698 dan Tensor Accelerator yang menghasilkan performa 15 tera operations per second (TOPS).

Lalu, bagaimana performa smartphone Android 11 dengan MIUI 12.5 for Poco itu dalam kehidupan nyata? Seperti yang diharapkan, didukung RAM LPDDR5 hingga 8GB dan penyimpanan internal UFS3.1 hingga 256GB – Poco F3 sangat cakap dalam menangani berbagai tugas di kehidupan sehari-hari.

Mesin yang powerful untuk gaming dan pembuatan konten. Bagaimanapun Snapdragon 870 merupakan chipset Qualcomm tercepat kedua di bawah Snapdragon 888 series.

Layar AMOLED E4 6,67 inci FHD+ 120Hz

Review-Xiaomi-Poco-F3-3

Nilai jual Poco F3 selanjutnya terletak di bagian paling utama dari sebuah smartphone yakni layar. Ia mengemas panel AMOLED E4 6,67 inci FHD+ dalam aspek rasio 20:9 yang mampu menampilkan warna yang kaya dan akurat.

Bagi pecinta film, Poco F3 membawa pengalaman menonton premium ke level berikutnya. Berkat tingkat kecerahan yang diklaim mencapai 1300 nits, Anda tidak akan lagi kesulitan menonton film di luar ruangan.

Tentu saja, Poco F3 sudah mengantongi sertifikasi Widevine L1 dan HDR10+. Saya coba di Netflix, ia mendukung pemutaran video FHD HDR. Fasilitas dual speaker stereo Dolby Atmos yang imersif juga membuat pengalaman menonton semakin menyenangkan.

Biar lebih optimal lagi, Poco menyediakan fitur dua AI image engine. Pertama AI HDR enhancement yang dapat memberikan detail tambahan di area terang dan gelap saat menonton video HDR. Lalu kedua MEMC, yang memungkinkan konten video berjalan lebih mulus dengan teknik penambahan frame rate.

Layar Poco F3 juga mendukung color gamut 100% pada color space DCI-P3. Ditambah kerapatan kerapatan layar 395ppi, kegiatan kreatif seperti editing foto yang menuntut akurasi warna tinggi dapat dilakukan secara lebih presisi.

Keseimbangan warna di layar Poco F3 dapat disesuaikan lebih jauh sesuai preferensi pengguna lewat fitur color scheme. Ada empat opsi mode warna yakni auto, saturated, original color, dan advanced settings.

Bila memilih advanced settings, kita bisa mengatur color gamut ke enhanced, original, P3, dan sRGB. Juga ada adaptive color yang bila diaktifkan dapat menyesuaikan tampilan warna sesuai kondisi pencahayaan sekitar.

Buat keperluan gaming, chipset kencang yang dipadukan layar dengan refresh rate tinggi 120Hz dan touch sampling rate di angka 360Hz merupakan sebuah paket komplet. Dipastikan Poco F3 dapat menunjang skill dan performa dari sang gamer saat bermain game-game kompetitif. Di pengaturan layar, Poco menyediakan opsi pengaturan refresh rate 60Hz atau 120Hz.

Untuk melengkapi pengalaman gaming, Poco F3 dibekali motor linear sumbu-x yang memberikan umpan balik getaran yang realistis. Baterai 4.520 mAh dengan pengisian cepat 33W yang hanya butuh waktu 52 menit untuk mengisi penuh dan teknologi Liquid Cool 1.0 Plus untuk mendukung bermain game durasi panjang.

Desain Khas Kelas Menengah

Dua hal yang dikompromikan oleh Xiaomi pada Poco F3 ialah aspek desain dan kamera. Dari segi desain, ia mengemas desain tipikal smartphone kelas menengah dengan layar datar dan sensor sidik jari di samping bodi.

Desain Poco F3 sangat mirip dengan Redmi K40 dan Mi 11i. DotDisplay dengan bezel layar yang lumayan tipis dan punch hole kecil untuk kamera depan di atas bagian tengah. Sedangkan kamera belakangnya mengadopsi desain halo ring, meski susunannya berbeda dengan Mi 11 series dan cukup menonjol.

Build quality-nya bagus, meski bingkainya dari plastik tetapi yang berkualitas tinggi. Hadir dengan ketebalan 7,8 mm, bobot 196 gram, dan punya sudut-sudut yang agak membulat – Poco F3 terasa solid dalam genggaman tangan.

Bagian depan dan belakangnya juga sudah diproteksi Gorilla Glass 5. Tersedia dalam warna klasik arctic white dan night black, serta deep ocean blue yang tampil lebih unik dan menonjol seperti yang saya uji. Ketiganya memiliki finishing glossy yang mudah ditempeli noda sidik jari. Solusinya sudah disediakan Poco, cukup pakai casing pelindung bawaannya.

Untuk kelengkapan di sekeliling bodinya, tombol power dan volume ditempatkan di sisi kanan dan sisi kirinya polos. Di sisi atas ada earpiece yang berfungsi ganda sebagai speaker kedua dan IR blaster. Lalu, di bawah ada SIM tray dengan dua slot nano SIM tanpa slot microSD, port USB-C, mikrofon, dan speaker.

Kamera 48MP

Review-Xiaomi-Poco-F3-10

Ini yang membedakan Poco F3 dengan perangkat lain yang ada di pasar, ia tidak menonjolkan aspek kamera. Meski begitu bukan berarti kemampuan kamera Poco F3 sekadarnya, hanya saja konfigurasi kameranya mengalami penyesuaian.

Poco F3 mengemas tiga kamera di belakang, dengan kamera utama 48MP di bawah lensa wide 25mm f/1.8 dan mengandalkan sensor Sony IMX582 berukuran 1/2 inci dengan piksel 0,8 µm. Sebagai pembanding, kamera utama Mi 11 Lite yang dibanderol tiga jutaan saja sudah menggunakan sensor 64MP.

Seperti biasa, dengan teknologi quad-bayer 2×2, maka secara default hasilnya 12MP dengan piksel 1.6µm. Sisanya meliputi kamera ultra wide 8MP f/2.2 dengan sensor Sony IMX355, kamera macro 5MP f/2.4 menggunakan sensor Samsung S5K5E8 untuk bidikan jarak dekat 3-7 cm, dan kamera depannya 20MP f/2.5.

Untuk aplikasi kamera Poco F3, antarmukanya khas seperti perangkat MIUI. Peralihan antar mode bisa dilakukan dengan mengusap ke kiri dan kanan, dengan pintasan zoom antara ultrawide, 1x, dan 2x. Lalu, pada sisi sebrang tombol rana – ada pengaturan flash, HDR, AI, filter, Google Lens, dan opsi pengaturan lainnya.

Fitur kamera yang tersemat sangat lengkap, meliputi photo, portrait, video, dan pro. Lalu pada opsi ‘more’ ada 12 mode tambahan, meliputi night, 48MP, short video, panorama, documents, vlog, slow motion, time-lapse, dual video, movie effects, long exposure, dan clone. Berikut beberapa contoh hasil jepretan Poco F3:

Perekaman videonya mendukung hingga resolusi 4K pada 30fps dan 1080p dengan frame rate 30/60fps. Poco menjejalkan tiga mikrofon di dekat modul kamera belakang yang mampu menangkap suara sekitar 360 derajat dan mengisolasi suara untuk menghilangkan noise latar belakang.

Verdict

Review-Xiaomi-Poco-F3-11

Dari uraian di atas, sekarang kita sudah mengetahui lebih dan kurangnya Poco F3. Ia fokus pada kecepatan, chipset Snapdragon 870 tidak tanggung-tanggung dalam memberikan performa besar yang nyata. Cocok buat mereka yang mengidamkan performa gahar dengan budget terbatas, Poco F3 cuma dibanderol dengan harga setengah dari kebanyakan smartphone flagship.

Pengalaman pengguna premium juga diperoleh berkat kualitas layar AMOLED-nya, maksimal untuk menikmati hiburan – baik nonton film maupun gaming, serta mampu menunjang kegiatan pembuatan konten kreatif. Semua kelebihan itu dikemas dalam desain tipikal smartphone kelas menengah dengan layar datar dan sensor sidik jari di samping.

Namun jika fotografi sangat penting bagi Anda, Poco F3 mungkin bukan jawaban yang Anda cari – ia tidak menawarkan kemampuan kamera terbaik. Bukan jelek, fitur-fiturnya kameranya juga tetap komplet, hanya saja konfigurasi kameranya kurang mentereng. Bila memilih Poco F3 sebagai daily driver, Anda harus sedikit kompromi dengan desain dan kamera, untuk mendapatkan performa dan kualitas layar yang luar biasa.

Sparks

  • Chipset Qualcomm Snapdragon 870 yang sangat kencang
  • Layar AMOLED E4 120Hz yang kaya warna dan akurat
  • Sudah mendukung jaringan 5G
  • Harga sangat kompetitif, setengah dari smartphone flagship

Slacks

  • Desain khas kelas menengah dengan layar datar
  • Sensor sidik jari di samping
  • Konfigurasi kamera kurang mentereng

 

[Review] Realme GT Master Edition: Snapdragon 778G 5G Pertama di Indonesia dengan Desain Cantik

Realme saat ini memiliki cukup banyak seri untuk smartphone yang dijual di Indonesia. Untuk seri C, dikenal dipasarkan untuk entry level. Selain itu, ada juga seri angka yang dijual untuk pasar mainstream. Saat ini, realme juga memiliki sebuah seri yang dikenal dengan GT.

Seri realme GT yang pertama beredar secara resmi di Indonesia adalah realme GT Master Edition. Perangkat yang satu ini didesain oleh desainer kenamaan Naoto Fukasawa. Tampilan belakang smartphone ini mengadopsi gaya yang terinspirasi dari desain koper. Namun, perangkat yang datang untuk diuji Dailysocial tidak memiliki tampilan desain koper tersebut.

Realme GT ME juga merupakan smartphone pertama di Indonesia yang menggunakan chipset baru dari Qualcomm, yaitu Snapdragon 778G. Snapdragon 778G sendiri memiliki kinerja yang kurang lebih sama dengan Snapdragon 855 yang menjadi nomor satu sekitar 2 tahun yang lalu. Selain kencang, tentunya SoC tersebut sudah mendukung konektivitas 5G.

Realme GT Master Edition memiliki spesifikasi sebagai berikut

SoC Qualcomm Snapdragon 778G
CPU 1 x 2.4 GHz Kryo 670 Prime + 3 x 2.2 GHz Kryo 670 Gold + 4 x 1.9 GHz Kryo 670 Silver
GPU Adreno 642L
RAM 8 GB LPDDR4x + 5 GB Memory Expansion
Internal 256 GB UFS 2.2
Layar 6,43 inci 2400 x 1080 120Hz AMOLED
Dimensi 159.2 x 73.5 x 8 mm
Bobot 174 gram
Baterai 4300 mAh 65 watt charger
Kamera 64 MP / 16 MP utama, 2 MP Macro, 8 MP Ultrawide, 32 MP Selfie
OS Android 11 Realme UI 2.0

Untuk hasil pemindaian CPU-Z dan GPU-Z bisa dilihat pada gambar berikut ini

Fitur memory expansion tentu hadir pada perangkat yang satu ini, membuatnya memiliki ruang cache yang lega untuk menyimpan data sementara. Hal ini tentu saja membuatnya bisa digunakan untuk membuka banyak aplikasi tanpa harus tertutup di background. Satu hal yang disayangkan adalah absennya speaker stereo pada perangkat ini. Hal tersebut tentu saja mengingat harganya yang cukup tinggi.

Unboxing

Inilah yang akan ditemukan didalam kotak paket penjualannya. Realme sudah memberikan charger 65 watt langsung didalam paket penjualannya. Namun sayang, back case yang saya dapatkan bukanlah yang memiliki motif koper. Hal ini tentu saja membuat realme GT ME yang saya dapatkan menjadi kurang mewah.

Desain

Sekali lagi, saya memang cukup kecewa karena tidak mendapatkan back case dengan motif koper yang memang terlihat unik dan mewah serta berbeda dari biasanya. Saat tidak menggunakan back case tersebut, dapat dilihat desain matte yang cukup indah pada bahannya yang terbuat dari plastik polikarbonat. Warna yang saya dapatkan memiliki nama Biru Fajar atau Daybreak Blue.

Layar realme GT ME memiliki resolusi 2400×1080 pada layar dengan dimensi 6,43 inci ini serta memiliki refresh rate 120 Hz. Smartphone ini sudah menggunakan layar dengan jenis Super AMOLED namun belum diketahui pelapis apa yang digunakan. Informasi yang saya dapatkan, realme menggunakan Dragontrail dari AGC untuk memperkuat layarnya. Saya cukup menyarankan untuk mengganti lapisan anti gores yang ada pada smartphone ini dengan tempered glass atau hydrogel agar lebih kuat lagi.

Pada sisi belakangnya, terdapat ruang kotak yang berisikan tiga kamera yang memiliki desain bulat yang sama dengan LED Flash. Desain ini tentu membuat realme GT Master Edition menjadi terlihat cantik. Kamera utama dengan 64 MP berada pada bagian atas. Kamera ultrawide ada pada bagian tengah dari kotak ini. Kamera makro ada pada bawah dan LED berada persis di sebelah kanannya.

Pada bagian atasnya ditemukan sebuah microphone kedua. Tombol power ada pada sebelah kanan sendirian. Slot nano SIM serta tombol volume naik dan turun terletak pada bagian kirinya. Dan pada bagian bawahnya terdapat slot USB-C, speakerport audio 3,5 mm, serta microphone utama.

Unit realme GT Master Edition yang saya dapatkan sudah menggunakan realme UI dengan versi 2.0. Realme UI sendiri merupakan turunan dari ColorOS versi 11. Realme UI 2.0 memiliki app drawer yang bisa diakses dengan cara menggeser layar ke arah atas. Saat menggesernya ke arah bawah, maka fitur search akan muncul.

Realme GT ME juga memiliki sebuah fitur untuk melebarkan RAM 8 GB yang dimilikinya. Fitur yang bernama Memory Expansion ini akan menambahkan sebuah memori virtual dengan pilihan 2, 3, hingga 5 GB pada penyimpanan internalnya. Hal ini akan membuat sistem menaruh beberapa cache pada memori virtual sehingga RAM-nya menjadi tidak penuh.

Saat menguji, saya selalu menyalakan fitur ini agar tidak kekurangan RAM. Hasilnya, beberapa aplikasi dan game yang saya tutup tidak lagi harus mengulang dari awal saat kembali digunakan. Namun, berhati-hatilah saat menggunakan fitur ini karena akan mengurangi daur hidup penyimpanan internal dari smartphone ini. Saran saya, matikan saja saat tidak bermain game karena 8 GB sudah cukup untuk pemakaian sehari-hari.

Jaringan

Realme GT ME menggunakan chipset Snapdragon 778G yang ditujukan untuk perangkat mainstream. Untuk itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G maupun 5G. Modem X53 yang digunakan oleh Snapdragon 778G juga sudah mendukung semua jaringan yang ada saat ini.

Smartphone ini sudah mendukung bandwidth 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 26, 28, 38, 39, 40, 41, dan 66 untuk jaringan 4G. Sedangkan untuk jaringan 5G, realme GT ME sudah mendukung bandwidth n1, n3, n5, n7, n8, n20, n28, n38, n40, n41, n77, n78, dan n66. Dengan begitu, perangkat ini sudah mendukung semua jaringan 5G yang digunakan oleh semua operator yang sudah menggelar di Indonesia.

Untuk konektivitas WiFi, realme GT ME sudah bisa terkoneksi dengan WiFi 6 atau yang dikenal dengan 802.11 AX. Tentunya perangkat ini sudah bisa terhubung dengan jaringan 5 GHz dari sebuah router WiFi yang lebih kencang dari 802.11 AC. Kecepatannya sendiri tentunya juga lebih kencang dari WiFi pada jaringan 2.4 GHz. Walaupun WiFi 6 belum umum ditemukan di Indonesia, setidaknya perangkat ini sudah terlebih dahulu mendukungnya.

Kamera: Paduan Omnivision dan Sony IMX

Realme membenamkan tiga buah kamera pada GT Master Edition-nya. Kamera utama yang memiliki resolusi 64 MP datang dari Omnivision dengan OV64B yang memiliki filter quad bayer yang menghasilkan resolusi 16 MP. Kamera kedua adalah wideangle 8 MP yang menggunakan sensor Sony IMX 355 yang ternyata saat ini cukup umum digunakan. Terakhir adalah kamera makro dengan resolusi 2 MP dari Omnivision pula dengan OV02B10.

Pada siang hari, kamera dari Realme GT Master Edition bisa mengambil gambar dengan sangat baik. Tingkat kontras yang diberikan pas untuk ukuran saya. Noise yang dihasilkan juga cukup terjaga serta tingkat ketajamannya juga cukup baik. Kameranya juga cukup baik digunakan saat di malam hari.

Kamera berikutnya menggunakan lensa ultrawide sehingga penangkapan gambarnya lebih luas. Kamera ini mampu menangkap gambar dengan tingkat noise yang cukup rendah. Sayangnya, tingkat ketajamannya memang tidak terlalu baik.

Kamera makro yang ada pada perangkat ini memiliki resolusi yang kecil. Oleh karena itu, kameranya akan menghasilkan gambar yang seadanya saja. Jangan berharap tingkat ketajamannya akan bagus serta warna yang didapat akan akurat.

Untuk hasil selfie-nya, kamera pada realme GT Master Edition memang cukup baik. Warna yang dihasilkan juga cukup baik dan tingkat ketajamannya juga pas. Saat saya zoom hingga 100%, helai kumis dan jenggot yang saya miliki dapat tertangkap dengan baik tanpa blur yang berlebihan.

Pengujian

Realme GT Master Edition menggunakan chipset baru dari Qualcomm, yaitu Snapdragon 778G. Dengan seri 7xx, chipset ini memang didesain untuk digunakan pada perangkat high end sehingga akan memiliki kinerja yang cukup tinggi. SoC ini menggunakan 3 buah cluster yaitu Kryo 670 Prime dengan kecepatan 2,4 GHz pada cluster Prime, 3 inti prosesor Kryo 670 Gold pada cluster performa, dan 4 inti prosesor Kryo 670 Silver pada cluster efisiensi. GPU yang digunakan adalah Adreno 642L.

Lalu sekencang apa chipset Snapdragon 778G ini? Dua skenario tentu saja saya gunakan. Yang pertama sudah pasti untuk bermain game dan yang kedua dipakai untuk bekerja sehari-hari. Perangkat ini sendiri sudah saya gunakan selama tiga minggu penuh.

Bermain: Bisa High Setting

Snapdragon 778G yang digunakan oleh realme GT ME memang hadir tidak seperti SoC sebelumnya. Dengan menggunakan Prime core, membuat kinerja dari perangkat ini menjadi lebih kencang lagi. Performanya akan cukup terasa saat menjalankan beberapa game yang ada di platform Android. Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada aplikasi-aplikasi yang membutuhkan resource yang tinggi.

Kali ini saya menggunakan 3 buah game untuk menguji keandalan realme GT Master Edition. Yang pertama tentu saja Genshin Impact yang masih terbukti cukup berat dijalankan di Android. Saya cukup terkejut bahwa perangkat ini bisa di setting highest dan masih mendapatkan 47 fps dan tidak terasa panas di tangan.

Game kedua adalah Marvel Future Revolution yang cukup berat dijalankan pada beberapa perangkat. Namun, realme GT ME mampu menjalankannya pada setting tertinggi dan masih mendapatkan sekitar 55 fps. Terakhir, saya bermain Pokemon Unite dan masih mendapatkan 60 fps tanpa masalah. Tentunya hal ini membuat realme GT ME sangat cocok digunakan sebagai mesin bermain game Android.

Satu hal yang kurang pada perangkat ini adalah masih menggunakan satu speaker mono saja. Tentunya hal ini cukup mengurangi kenyamanan saat bermain, walaupun sudah tersedia port audio 3,5mm untuk earphone. Saat bermain, saya menggunakan TWS yang sudah memiliki low latency dan hal tersebut membuat saya menjadi lebih nyaman saat bermain karena suara yang dihasilkan bagus.

Dengan menggunakan aplikasi GameBench, berikut adalah hasilnya

Bekerja dan Hiburan: Tidak ada masalah

Aplikasi Trello, Slack, GMail, Whatsapp, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome sudah pasti saya gunakan setiap hari tanpa henti. Selain itu, saya juga menggunakan Filmora Go untuk melakukan editing video. Hasilnya, semua aplikasi tersebut nyaman saya gunakan pada realme GT Master Edition.

Saya juga sesekali menggunakan aplikasi WPS untuk menulis artikel ini dengan menggunakan sebuah keyboard bluetooth. Hasilnya membuat saya bisa bekerja di mana saja tanpa harus membawa sebuah laptop. Tidak ada lag mau pun masalah crash  saat digunakan selama 3 minggu.

Benchmarking

Snapdragon 778G yang digunakan pada realme GT ME memang belum ada yang gunakan di Indonesia. Oleh karena itu, saya membawa beberapa chipset baru yang digunakan pada beberapa smartphone untuk mengukur seberapa cepat perangkat ini. Berikut adalah hasilnya

Jika dilihat pada perbandingan di atas, kinerja Snapdragon 778G kurang lebih sama dengan Snapdragon 860. Akan tetapi pada beberapa bagian, Snapdragon 778G justru mengunggulinya. Dimensity 1100 ternyata memiliki GPU yang lebih kencang dibandingkan dengan Adreno 642L sehingga mengungguli kinerja dari 778G. Akan tetapi secara keseluruhan, kinerja dari Snapdragon 778G memang kencang.

Uji baterai: 4300 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 4300 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Realme GT ME dapat bertahan hingga 19 jam 51 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 65 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 30 menit.

Verdict

Dalam meluncurkan sebuah smartphone, produsen tidak melulu mengeluarkan dengan spesifikasi yang tinggi. Desain juga menjadi sebuah bagian penting dalam menentukan pembelian sebuah smartphone. Hal tersebut juga ditawarkan realme pada smartphone terbarunya ini. Realme GT Master Edition pun bisa menjadi pilihan saat ingin bergaya sekaligus bermain game dan bekerja.

Kinerja yang ditawarkan pada realme GT Master Edition sudah tidak perlu diragukan lagi. Semua game yang ada pada sistem operasi Android bisa saya jalankan dengan setting yang tinggi tanpa lag dan panas. Kinerja seperti ini tentu saja bakal membuat pekerjaan dengan aplikasi yang ada menjadi lancar tanpa halangan. Semua itu dihadirkan pula dengan layar yang cerah dan nyaman dipandang.

Kamera yang ada pada perangkat ini bisa membuat penggunanya nyaman untuk mengambil momen sehari-hari. Tinggal “point and shoot“, perangkat ini akan mengambil gambar dengan baik. Selain itu baterai yang digunakan, walau memiliki kapasitas 4300 mAh saja, ternyata memiliki daya tahan yang panjang. Untuk mengisinya juga hanya butuh menunggu 30 menit saja.

Perangkat yang saya dapatkan menggunakan konfigurasi 8 GB + 256 GB dijual dengan harga Rp. 4.999.000. Sedangkan untuk versi 128 GB nya dijual lebih murah Rp. 300.000an saja. Dengan harga tersebut, pengguna bisa mendapatkan smartphone dengan kinerja baik, desain yang bagus, serta bisa terkoneksi dengan jaringan 5G tanpa harus menguras kantong lebih dalam.

Sparks

  • Menggunakan Snapdragon 778G yang kencang untuk game dan aplikasi
  • Daya tahan baterai yang panjang walau hanya 4300 mAh
  • Layar AMOLED yang nyaman dipandang dan cerah
  • Hasil kamera dapat diandalkan dalam segala kondisi
  • Pengisian baterai hanya 1/2 jam
  • Memory expansion yang membuat RAM lebih lega

Slacks

  • Hanya memiliki sebuah speaker saja
  • Desain Master Edition pada perangkat yang saya dapatkan tidak terasa karena bukan desain koper

[Review] Xiaomi RedmiBook 15: Laptop untuk WFH dan SFH dengan Layar 15 inci

Xiaomi saat ini tidak hanya mengeluarkan produk smartphone saja. Ternyata, Xiaomi juga mengeluarkan sebuah laptop PC dengan sistem operasi Windows 10. Laptop yang bernama Xiaomi RedmiBook 15 ini merupakan notebook pertama yang diluncurkan secara resmi di Indonesia. Walaupun begitu, Xiaomi sendiri sudah banyak mengeluarkan produk laptopnya di luar Indonesia.

RedmiBook 15 datang dengan spesifikasi yang cukup menarik. Pada saat peluncurannya, laptop ini langsung diperkenalkan dengan menggunakan prosesor Intel Core i3 1115G4. Selain itu, RAM 8 GB dan sebuah SSD M.2 SATA juga sudah terpasang pada perangkat yang satu ini. Walaupun memiliki spesifikasi yang mumpuni, RedmiBook 15 menyasar pada mereka yang bekerja dan sekolah di rumah pada masa pandemi.

Laptop yang satu ini sempat mendapatkan diskon perkenalan hingga 1 juta rupiah. Walaupun tanpa diskon, laptop ini ternyata juga masih memiliki harga yang cukup terjangkau. Dengan menggunakan prosesor Intel generasi ke 11, RAM 8 GB, dan sudah menggunakan Windows 10 resmi, RedmiBook 15 masih belum menyentuh harga 7 juta. Hal ini tentu saja menarik bagi mereka yang selalu menanyakan “laptop apa yang bisa dibeli dengan budget maksimum 7 juta rupiah?”.

Xiaomi RedmiBook 15 memiliki spesifikasi sebagai berikut

Prosesor Intel Core i5 1115G4 (2C4T) 3 GHz, Turbo 4,1 GHz
GPU Intel UHD Graphics
RAM 8 GB DDR4 3200 MHz Single Channel
Storage Foresee M.2 SATA 256 GB
Layar TN 15,6 inci 1920 x 1080 NTSC 45%
WiFi 802.11 ac atau WiFi 5
Bobot 1,8 kg
Sistem operasi Windows 10 64 Bit Home Single Language
Dimensi 363.8 x 243.5 x 19.9 mm
Baterai 46 Wh / 3090 mAh

Spesifikasi dari CPU-Z dan GPU-Z bisa dilihat dari gambar berikut ini:

Jika dilihat dari spesifikasi yang ada, memang laptop ini utamanya ditujukan untuk menggunakan software seperti Office, Zoom, dan lainnya yang mendukung pekerjaan dan belajar. Selain untuk para pekerja kantoran, pelajar, dan mahasiswa, laptop ini juga cukup mumpuni untuk digunakan oleh mereka yang bergerak di bidang UMKM. Lalu seperti apa kinerja dari laptop yang satu ini?

Unboxing: Charger bukan USB-C

Selain kartu garansi, laptop ini hanya dibekali dengan kabel power serta charger. Xiaomi kali ini menggunakan standar colokan charger untuk laptop pada umumnya dan bukan USB-C. Charger-nya sendiri buatan LiteOn.

Desain

RedmiBook 15 yang datang ke rumah saya memiliki warna hitam, seperti kebanyakan laptop pada umumnya. Untuk bahan yang dipakai pada badannya, Xiaomi sepenuhnya menggunakan plastik. Bahan plastik ini memiliki finishing matte, sehingga tidak terlalu licin saat dipegang. Namun, minyak masih menjadi musuh bagi laptop ini karena mudah untuk meninggalkan jejak.

RedmiBook 15 menggunakan layar dengan jenis panel TN yang memiliki resolusi 1920 x 1080. Dengan menggunakan panel TN, tentu saja sudut penglihatan yang diberikan tidak sebaik IPS. Xiaomi sendiri mengklaim bahwa akurasi warna pada laptop ini ada pada 45% NTSC, yang memang membuatnya kurang cocok untuk para editor video dan gambar. Walaupun begitu, panel ini masih cukup banyak digunakan pada laptop direntang harganya.

Keyboard yang ada pada laptop ini memiliki ruang yang cukup luas dan nyaman digunakan oleh mereka yang bertangan besar. Sayangnya, Xiaomi tidak menyediakan LED backlit sehingga akan cukup sulit untuk bekerja ditempat yang kurang pencahayaan. Touchpad yang ada di bawah keyboard juga memiliki dimensi yang besar. Touchpad ini juga cukup licin dan nyaman digunakan sebagai mouse serta bisa digunakan untuk semua gesture dari Windows 10.

Pada bagian kanan dapat ditemukan port audio 3,5 mm, SDCard reader, USB 2.0, LAN, serta Kensington Lock. Untuk bagian kirinya dapat ditemukan dua buah port USB 3.2 Gen 1, HDMI 1.4, dan port untuk mengisi daya. Sayang memang, sekali lagi, laptop ini tidak dilengkapi dengan port USB-C yang saat ini sudah mudah ditemukan pada beberapa laptop. Walaupun begitu, penggunaan USB-A memang masih sangat umum digunakan untuk bertukar data ke perangkat lainnya.

RedmiBook 15 datang dengan menggunakan sistem operasi Windows 10 Home Edition. Tentunya hal ini cukup baik karena beberapa laptop yang memiliki spesifikasi yang mirip kerap tidak memberikan sistem operasi Windows 10 yang harganya bisa lebih dari 1 juta rupiah. Xiaomi pun mengatakan bahwa nantinya perangkat ini juga bisa di-upgrade ke Windows 11.

Sistem operasi Windows 10 yang diberikan memang benar-benar bersih. Anda tidak akan menemukan software bawaan Xiaomi pada RedmiBook 15. Walaupun hal tersebut berarti bahwa software Office juga tidak akan ditemukan, namun saya masih bisa menggunakan alternatif gratisnya seperti Office Online, WPS, atau Libre Office. Untuk urusan suara, DTS Surround sudah terpasang pada laptop yang satu ini.

Pengujian: Bukan tanpa masalah

RedmiBook 15 menggunakan prosesor Core i3-1115G4 atau sering dikenal dengan Tiger Lake dan memiliki kartu grafis terintegrasi yang bernama Intel UHD Graphics. Intel UHD Graphics adalah grafis Iris Xe yang memiliki 48 Execution Unit. Prosesornya sendiri memiliki 2 core dengan 4 threads dengan kecepatan 3 GHz dan memiliki Turbo hingga 4.1 GHz yang beroperasi pada TDP 12 watt hingga 28 watt. Tiger Lake sendiri sudah menggunakan litografi 10 nm SuperFin.

RAM yang terpasang pada laptop ini memiliki kapasitas 8 GB yang sayangnya tidak dapat di-upgrade. Selain itu, Xiaomi juga tidak menggunakan mode dual channel yang membuat kinerjanya menjadi tidak optimal. Media penyimpanan yang digunakan adalah SSD SATA M.2 dengan merek Foresee. Foresee sendiri merupakan merek milik Longsys dari Shenzhen yang saat ini juga memiliki merek Lexar.

Problem: Heating dan Freezing

Setelah melihat spesifikasi dari RedmiBook 15 yang saya gunakan semenjak 3 minggu yang lalu, sepertinya laptop tersebut mampu menjalankan game yang saat ini masih naik daun, yaitu Valorant. Game yang satu ini sendiri hanya membutuhkan spesifikasi yang cukup minim untuk menjalankannya pada framerate 60 fps. Dan benar saja, dengan setting low, RedmiBook 15 dapat menjalankannya di 60 fps pada resolusi rendah hingga menengah. Sayangnya, saya menemukan kendala yang sangat mengganggu.

Pada saat bermain Valorant, setelah beberapa menit game akan freezing sekitar 3-5 detik. Hal ini akan berulang-ulang terjadi selama kita menggunakan laptop hingga melakukan restart PC. Saya pikir, masalah itu hanya terjadi pada saat bermain game saja. Hal tersebut membuat saya sangat curiga dengan mode RAM single channel yang digunakan.

Nyatanya, saat menggunakan perangkat ini untuk melakukan editing gambar masalah tersebut muncul lagi. Hal tersebut tentu saja membuat anggapan RAM bermasalah menjadi sirna. Saya menjadi cukup yakin bahwa laptop ini memiliki panas yang berlebih. Hal tersebut pun terbukti pada saat saya melakukan benchmark, suhu dapat mencapai 97 derajat celcius dan bahkan bisa menyentuh suhu 120 derajat celcius walau hanya sebentar saja.

Kipas external pun saya gunakan untuk mendinginkan laptop RedmiBook 15. Tentunya, hal ini berujung pada turunnya panas pada saat melakukan benchmarking sampai ke 85 derajat celcius. Saya pun berhasil mencoba beberapa benchmarking tanpa adanya kendala freezing. Namun, bermain game Valorant membuat perangkat ini kembali freezing.

Untungnya, freezing ini juga terjadi pada saat saya sedang mengatur file yang ada di RedmiBook 15. Saya pun melihat aktivitas media penyimpanan (SSD) di laptop ini yang cukup aneh. Windows 10 tidak menggunakan media penyimpanan ini lebih dari 1 MB/s, namun load SSD bisa mencapai 100% selama 1-5 detik yang menyebabkan komputer berhenti bekerja selama waktu tersebut.

Hal tersebut berarti bahwa program di Windows 10 bukanlah penyebab load dari SSD tinggi. Kecurigaan saya langsung tertuju pada masalah klasik yang pernah ada pada SSD jaman dahulu: Write-Cache Buffer Flushing. Saya langsung mematikan fitur ini pada Device Manager dengan men-tick pilihannya. Dan ‘voila’, masalah freezing pun sirna. Laptop pun dapat bermain game Valorant dengan lancar hingga berjam-jam.

Bagi Anda yang memiliki masalah ini pada laptop RedmiBook 15, Anda bisa mencoba tips yang saya berikan di atas. Saya juga merekomendasikan para pemilik laptop ini untuk membeli cooler eksternal agar bisa menurunkan suhu yang dihasilkan. Hal ini tentu menjadi PR bagi Xiaomi agar meningkatkan sistem pendingin pada setiap laptopnya agar tidak membuat prosesornya throttling.

Benchmarking

Pada kesempatan kali ini, saya membawa kembali laptop dengan Intel Core i7 1185G7 dan Core i5 1135G7. Tentunya hal tersebut untuk membandingkan kinerja sesungguhnya dari prosesor yang digunakan pada Xiaomi RedmiBook 15. Kinerja yang dihasilkan dari prosesor Intel Generasi ke 11 ini memang sudah kencang. Berikut adalah hasilnya

Prosesor yang digunakan oleh RedmiBook 15, yaitu Core i3 1115G4 memang dibawah “kakak-kakak”nya. Walaupun begitu, hal tersebut memang wajar mengingat Core i3 merupakan kelas paling rendah dari jajaran Intel Core i. Hal tersebut tentu saja dikarenakan jumlah core yang lebih sedikit serta grafis terintegrasi yang digunakan. Akan tetapi, dengan kinerja yang ada sudah sangat mumpuni untuk mengerjakan tugas kantoran dan sekolah sehari-hari.

Saya menggunakan laptop RedmiBook 15 untuk menulis artikel ini. Semenjak membenahi masalah yang ada, saya tidak menemukan masalah yang berarti. Menggunakan segala macam software seperti WPS dan Photoshop tidak membuat laptop ini menjadi pelan. Justru, saya bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dari biasanya.

Uji Baterai

DailySocial menguji laptop yang satu ini berdasarkan berapa lama sebuah perangkat bisa menonton file video 1080p dengan container file MP4. Perlu diketahui bahwa tidak satu tes baterai pun yang mampu memberikan hasil yang sama dengan penggunaan sehari-hari. Hanya saja, sebuah riset pernah dilakukan untuk mengukur pemakaian sebuah laptop.

Hasilnya, untuk nonton video, laptop yang satu ini ternyata bisa bertahan selama 9 jam 54 menit. Hasilnya memang sedikit sekali berbeda dengan yang dijanjikan, yaitu 10 jam. Setelah baterai habis total, saya langsung mengisi kembali baterainya. Xiaomi RedmiBook 15 akan penuh dari kosong hingga 100% dalam waktu sekitar 1.5 jam.

Verdict

Xiaomi akhirnya mengeluarkan perangkat laptopnya secara resmi di Indonesia. Hal tersebut dimulai dengan mengeluarkan RedmiBook 15 yang memiliki penyimpanan internal 256 GB. Produk ini oleh Xiaomi ditargetkan untuk dipakai oleh mereka yang sedang bekerja dan sekolah di rumah pada masa pandemi Covid 19.

Kinerja yang ditawarkan oleh RedmiBook 15 yang menggunakan Intel Core i3 1115G4 memang cukup baik. Saat permasalahan yang ada sudah diatasi, laptop ini mampu mengerjakan semua hal dengan cukup baik. Walaupun begitu, panas yang dihasilkan memang cukup mengganggu. Ada baiknya pengguna RedmiBook 15 untuk membeli sebuah cooler tambahan agar membuat laptop ini menjadi lebih awet.

Daya tahan baterai yang dimiliki oleh laptop ini juga sangat baik. Pada pengujian yang saya lakukan, waktunya bisa mencapai hampir 10 jam, sedikit di bawah janji Xiaomi. Hal ini tentu saja bisa menjamin pengguna untuk tidak membawa charger ke mana-mana saat sedang bekerja di sebuah kafe. Selain itu, desain keyboard-nya juga nyaman sehingga mengetik akan menjadi lebih mudah.

Xiaomi menjual RedmiBook 15 dengan penyimpanan SSD 256 GB seperti yang saya dapatkan dengan harga Rp. 6.999.000. Xiaomi juga telah mengeluarkan versi SSD 512 GB-nya dengan harga Rp. 7.999.000. Harga ini memang sangat bersaing dengan pemain-pemain lama di Indonesia, namun terbukti nilainya masih terjangkau. Dengan harga yang dimiliki dan kelengkapan yang diberikan, menjadikan Xiaomi RedmiBook 15 sebuah alternatif untuk memiliki sebuah laptop yang cukup terjangkau.

Sparks

  • Kinerja yang baik dengan Core i3 1115G4
  • Harga yang cukup terjangkau
  • Multifungsi: bisa untuk bekerja dan bermain game
  • Tanpa bloatware
  • Desain minimalis
  • Daya tahan baterai yang cukup panjang

Slacks

  • Suhu prosesor yang dapat mencapai 120 derajat
  • Freezing, walau akhirnya bisa dibenahi
  • Tanpa kehadiran port USB-C
  • RAM single channel dan tidak bisa di-upgrade

[Review] Poco X3 GT: Smartphone 5G Kencang Berkat Dimensity 1100

Poco, sebuah merek independen yang masih di bawah naungan Xiaomi, baru-baru ini meluncurkan sebuah smartphone yang memiliki kinerja tinggi. Selain memiliki kinerja yang tinggi, perangkat yang satu ini juga sudah memiliki kapabilitas untuk terkoneksi dengan jaringan 5G. Poco sendiri juga tidak menjual perangkat ini dengan harga yang melambung tinggi. Smartphone tersebut bernama Poco X3 GT.

Poco X3 GT merupakan perangkat pertama di Indonesia yang menggunakan chipset terbaru dari Mediatek, yaitu Dimensity 1100. Dimensity 1100 sendiri dimasukkan ke dalam chipset flagship oleh sang pembuatnya. Oleh karena itu, Poco X3 GT seharusnya memiliki kinerja yang sama dengan perangkat-perangkat flagship lainnya.

Tidak hanya SoC saja, Poco mempersenjatai X3 GT dengan beberapa peripheral lainnya yang sering ditemukan pada sebuah perangkat flagship. Layar dari Poco X3 GT sudah memiliki kemampuan refresh rate 120 Hz. Selain itu, layar tersebut juga sudah dilindungi dengan Corning Gorilla Glass Victus yang saat ini merupakan yang paling kuat. Baterainya yang berkapasitas 5000 mAh dapat diisi dengan cepat berkat charger 67 watt bawaannya.

Poco X3 GT memiliki spesifikasi sebagai berikut

SoC Mediatek Dimensity 1100
CPU 4 x 2.6 GHz Cortex-A78 +  4x 2.0 GHz Cortex-A55
GPU ARM Mali-G77 MC9
RAM 8 GB LPDDR4x + 2 GB Memory Expansion
Internal 256 GB UFS 3.1
Layar 6,6 inci IPS 2400 x 1080 120Hz Gorilla Glass Victus
Dimensi 163.3 x 75.9 x 8.9 mm
Bobot 193 gram
Baterai 5000 mAh 67 watt charger
Kamera 64 MP / 16 MP utama, 2 MP Macro, 8 MP Ultrawide, 16 MP Selfie
OS Android 11 MIUI 12.5

Untuk hasil pemindaian CPU-Z dan GPU-Z bisa dilihat pada gambar berikut ini

Poco X3 GT juga merupakan yang pertama dari Xiaomi yang memiliki fungsi penambah RAM. Fitur tersebut bernama Memory Extension yang dapat memperluas kapasitas RAM untuk cache sebesar 2 GB. Poco X3 GT juga sudah dilengkapi dengan NFC yang bisa digunakan untuk mengisi kartu uang elektronik. Perangkat ini juga sudah memiliki Dolby Atmos.

Unboxing

Inilah yang akan ditemukan didalam kotak paket penjualannya. Xiaomi sudah memberikan charger 67 watt langsung didalam paket penjualannya. Hal ini tentunya bakal mempercepat pengisian daya baterai dari Poco X3 GT.

Desain

Jika Poco X3 NFC dan X3 Pro memiliki desain belakang yang sama, hal tersebut tidak pada Poco X3 GT. Desain kameranya kembali diletakkan di sebelah kiri atas. Selain itu, logo Poco juga memiliki posisi yang sama dengan Redmi, yaitu di kiri bawah. Untuk warna yang saya dapatkan memiliki nama warna Cloud White.

Layar Poco X3 GT memiliki resolusi 2400×1080 pada layar dengan dimensi 6,6 inci ini serta memiliki refresh rate 120 Hz. Smartphone ini sudah menggunakan layar dengan jenis Super AMOLED dan dilindungi dengan Gorilla Glass Victus terbaru dari Corning sehingga lebih tahan terhadap goresan serta benturan. Hal tersebut menyebabkan Poco X3 GT memiliki kaca yang paling keras pada lini X3 untuk saat ini.

Pada sisi belakangnya, terdapat ruang kotak yang berisikan kamera dengan LED Flash. Kamera utama dengan 64 MP berada pada bagian atas dan LED berada persis di sebelah kanannya. Kamera ultrawide ada pada bagian tengah dari kotak ini. Kamera makro ada pada bawah.

Pada bagian atasnya ditemukan sensor inframerah, microphone, dan speaker tambahan untuk menyajikan suara stereo. Volume naik dan turun serta tombol power yang juga merupakan pemindai sidik jari diletakkan pada sisi sebelah kanan. Dan pada bagian bawahnya terdapat slot USB-C, speaker,  serta microphone utama. Slot nano SIM serta microSD (slot hibrid) terletak pada bagian kirinya.

Poco X3 GT tidak memiliki port audio 3.5 mm, sehingga pengguna diharuskan memakai converter bawaan dari USB-C ke audio. Jika kabel tersebut hilang atau tertinggal, maka pengguna hanya bisa mengandalkan earphone bluetooth atau TWS. Untungnya, Poco X3 GT sudah menggunakan Dolby Atmos sehingga suara yang dikeluarkan dari earphone menjadi lebih lengkap.

Poco X3 GT yang saya uji sudah menggunakan MIUI versi 12.5.1 versi Poco. Versi Poco tidak memiliki pilihan untuk menghilangkan app drawer-nya. Sistem operasi yang digunakan sudah memakai Android 11. Versi 12.5 sendiri sudah memiliki beberapa peningkatan yang membuatnya lebih responsif dibandingkan dengan versi 12.0.x sebelumnya.

Poco X3 GT juga membawa sebuah fitur baru untuk melegakan RAM. Fitur tersebut bernama Memory ExtensionMemory Extension akan memberikan ruang tambahan pada RAM dengan membuat ruang memori virtual pada penyimpanan internal. Hal ini akan membuat sistem menaruh beberapa cache pada memori virtual sehingga RAM-nya menjadi tidak penuh.

Fitur ini kemungkinan besar tidak akan sering digunakan untuk pemakaian sehari-hari. Kecuali Anda membuka banyak aplikasi (yang tentunya akan memboroskan baterai), maka RAM tentu akan menaruh sebagian isinya pada penyimpanan internal. Namun berhati-hatilah, karena penyimpanan internal memiliki daur penulisan yang terbatas.

Jaringan

Poco X3 GT menggunakan chipset Dimensity 1100 yang memang ditujukan untuk perangkat flagship. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G maupun 5G. Modem yang digunakan oleh Dimensity 1100 juga sudah mendukung semua jaringan yang ada saat ini.

Smartphone ini sudah mendukung bandwidth 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 18, 19, 26, 28, 38, 40, 41, dan 42 untuk jaringan 4G. Sedangkan untuk jaringan 5G, Poco X3 GT sudah mendukung bandwidth n1, n3, n28, n41, n77, n78. Sayang memang, perangkat ini belum mendukung jaringan n40 yang digunakan oleh provider seluler terbesar di Indonesia. Walaupun begitu, Poco yakin bahwa Telkomsel nantinya tidak hanya menggunakan n40 saja.

Dimensity 1100 mendukung fungsi Smart 5G Power Saving. Teknologi ini secara cerdas akan mengidentifikasi kekuatan sinyal di sekitarnya dan beralih antara 4G dan 5G tanpa jeda waktu peralihan. Hal tersebut akan menghasilkan konsumsi daya yang 30% lebih rendah dibandingkan dengan smartphone tanpa fitur Smart 5G.

Untuk konektivitas WiFi, Poco X3 GT sudah bisa terkoneksi dengan WiFi 6 atau yang dikenal dengan 802.11 AX. Hal ini menandakan bahwa perangkat ini mampu terhubung dengan jaringan 5 GHz dari sebuah router WiFi yang lebih kencang dari 802.11 AC. Kecepatannya sendiri tentunya juga lebih kencang dari WiFi pada jaringan 2.4 GHz.

Kamera: 64 MP buatan Omnivision

Kali ini, Xiaomi hanya membenamkan tiga buah kamera pada Poco X3 GT. Hal tersebut terdiri dari kamera 64 MP dengan sensor Omnivision OV64B yang memiliki filter quad bayer yang menghasilkan resolusi 16 MP. Kamera kedua adalah wideangle 8 MP yang menggunakan sensor Sony IMX 355. Terakhir adalah kamera makro dengan resolusi 2 MP.

Kamera utama yang dimiliki oleh Poco X3 GT ternyata tidak mengecewakan. Hal ini dapat dilihat pada pengambilan gambar di cahaya yang baik. Menurut saya, hasilnya akan lebih baik lagi saat AI dinyalakan, karena akan menambah sedikit kontras pada gambar. Sayangnya, saya tidak sempat menguji pada malam hari karena hujan.

Kamera ultrawide yang terpasang juga menghasilkan gambar yang cukup baik. Akan tetapi, bagian-bagian yang terkena pendaran cahaya akan menjadi cukup buram. Noise yang dihasilkan juga cukup minim di bagian-bagian yang gelap.

Untuk kamera makro, well, hanya memiliki resolusi 2 MP saja. Hasilnya juga tidak memukau. Walaupun begitu bagi mereka yang gemar mengambil gambar dengan jarak yang dekat, bisa menggunakan kamera ini.

Kamera selfie pada Poco X3 GT memiliki resolusi 16 MP yang juga menggunakan quad bayer. Pada beberapa kasus, hasilnya tidak terlalu tajam dan overexposure. Tingkat noise-nya juga cukup terlihat pada bagian-bagian yang gelap. Akan tetapi, warna yang dihasilkan cukup bagus.

Pengujian

Smartphone Android Poco X3 GT menggunakan chipset kelas flagship dari Mediatek dengan Dimensity 1100. Prosesor yang terpasang pada Dimensity 1100 terdiri dari 4 inti Cortex A78 berkecepatan 2,6 GHz pada cluster performa dan 4 inti Cortex A55 berkecepatan 2 GHz pada cluster efisien. GPU yang digunakan oleh Mediatek adalah ARM Mali-G77 MC9. Dengan spesifikasi seperti ini tentu saja akan memberikan tenaga yang kencang.

Lalu sekencang apa chipset Dimensity 1100 ini? Dua skenario tentu saja saya gunakan. Yang pertama sudah pasti untuk bermain game dan yang kedua dipakai untuk bekerja sehari-hari. Perangkat ini sendiri sudah saya gunakan selama dua minggu penuh.

Bermain: Tidak panas dan lancar

Seperti yang sudah dikatakan di atas, Dimensity 1100 menggunakan empat inti prosesor Cortex A78 yang baru di tambah GPU ARM Mali G77 MC9. Perpaduan ini tentu saja memberikan performa yang sangat baik untuk menjalankan game di lingkungan Android. Hal tersebut juga berarti bahwa pada beberapa game, akan lancar dijalankan dengan menggunakan setting yang tinggi.

Genshin Impact pada 60 fps sudah pasti menjadi benchmark saya. Poco X3 GT terbukti mampu menjalankan setting high dengan frame rate yang cukup baik. Setelah bermain selama sekitar 30 menit, saya tidak merasakan panas yang mengganggu pada tangan saya. Oleh karena itu, saya bisa katakan bahwa LiquidCool Tech 2.0 yang ada pada perangkat ini cukup berhasil.

Selanjutnya untuk PUBG Mobile, sayangnya, belum mendukung layar 120 Hz dan 90 fps pada smartphone ini. Oleh karena itu, game yang satu ini saya skip karena sudah pasti bisa dijalankan pada frame rate yang dibatasi oleh PUBG Mobile. Saya juga menjalankan game Marvel Future Revolution dan mendapatkan frame rate yang tinggi pada setting paling tinggi pula. Terakhir, saya menggunakan game 1945 AirForce untuk membuktikan bahwa layar ini bisa menjalankan game dengan frame rate 120 fps.

Dengan menggunakan aplikasi GameBench, berikut adalah hasilnya

Untuk Bekerja: Lancar

Poco X3 GT tidak hanya nyaman digunakan untuk bermain game. Akan tetapi, mereka yang menggunakan smartphone sebagai perangkat untuk memperlancar pekerjaannya juga akan merasa nyaman menggunakannya. Aplikasi Trello, Slack, GMail, Whatsapp, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome yang menggunakan banyak tab akan berjalan tanpa lag. Apalagi, tambahan 2 GB pada memory Extension juga cukup membantu multitasking.

Menggunakan aplikasi Office seperti WPS juga tidak akan ditemukan masalah. Selain itu, melakukan editing video untuk keperluan tugas sekolah anak juga terasa lebih cepat. Saya juga masih belum merasakan panas yang sangat mengganggu saat melakukan rendering. Hal ini membuat saya cukup nyaman saat menggunakannya.

Benchmarking

Tidak pas rasanya jika keluarga Poco X3 tidak saya hadirkan para pengujian kali ini. Oleh karena itu, saya kembali memasukkan Poco X3 NFC serta Poco X3 Pro sebagai pembanding kali ini. Hal ini tentu saja bukan untuk menentukan siapa yang buruk atau lebih bagus karena setiap perangkat sudah memiliki sasaran pasarnya sendiri.

Berikut adalah hasilnya

Uji baterai: 5000 mAh

Menguji baterai, apalagi dengan kapasitas 5000 mAh, memang akan memakan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Poco X3 GT dapat bertahan hingga 15 jam 31 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 67 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 47 menit.

Verdict

Pilihan dalam membeli sebuah smartphone pada rentang harga 4 jutaan semakin banyak. Hal tersebut dipenuhi oleh Poco yang saat ini sudah melepas brand-nya dari Xiaomi dengan Poco X3 GT. Hal ini juga menjadikan pilihan untuk mereka yang suka dengan chipset Mediatek. Dan tentunya, perangkat ini sudah mendukung jaringan 5G.

Kinerja yang dihasilkan oleh Poco X3 GT memang sangat baik pada rentang harganya. Dengan Dimensity 1100, sepertinya tidak akan ada (kecuali terkena bug) aplikasi dan game yang bakal pelan atau lag. Oleh karenanya, selain nyaman digunakan untuk bermain, perangkat ini juga cocok untuk mereka yang bekerja dengan mengandalkan smartphone. Sehingga pengguna akan nyaman bekerja di mana pun.

Kamera yang digunakan pada Poco X3 GT juga cukup bisa diandalkan. Walaupun begitu, saya masih akan melakukan editing jika ingin mencetak hasil gambarnya. Baterai yang digunakan juga memiliki daya tahan yang cukup panjang. Selain itu, pengisian dayanya juga cepat dan kurang dari 50 menit.

Poco X3 GT dijual dengan harga Rp. 4.799.000 untuk varian yang saya dapatkan, 8/256 serta Rp. 4.399.000 untuk varian 8/128. Harga seperti ini memang tergolong terjangkau jika kita membandingkannya dengan kinerja yang dimiliki. Oleh karena itu, perangkat ini pantas menyandang smartphone terjangkau untuk para gamer serta mobile worker.

Sparks

  • Gorilla Glass Victus membuat kacanya lebih tahan terhadap benturan
  • Refresh rate 120 Hz yang nyaman di mata
  • Dimensity 1100 yang kencang membuat lebih responsif
  • Daya tahan baterai yang panjang serta pengisian daya yang cepat
  • Dual 5G dan WiFi 6
  • Speaker Stereo disertai dengan Dolby Atmos
  • Harga jual yang cukup terjangkau berbanding kinerja yang diberikan

Slacks

  • Walaupun memiliki storage hingga 256 GB, namun microSD masih sering digunakan oleh konsumen Indonesia
  • Kamera makro yang kurang tajam karena hanya 2 MP
  • Kamera utama tidak memiliki OIS
  • Tidak mendukung jaringan 5G Telkomsel di N40

[Review] Samsung Galaxy Buds2, Ringan Tetapi Bisa Diandalkan

Seperti yang sudah-sudah, kalau Samsung mengadakan acara Galaxy Unpacked dan ada perangkat audio yang dirilis, perhatian saya biasanya lebih tertuju pada perangkat audio itu. Begitu pula dengan acara perkenalan Samsung Galaxy Z Fold3 dan Flip3, yang dalam promonya ada juga diperkenalkan Galaxy Buds2.

Saya kenal dengan earbuds buatan Samsung sejak era Gear IconX. Kala itu belum seperti sekarang ketika hampir semua pabrikan smartphone mengeluarkan TWS mereka. Sejak itu, hampir semua perangkat earphone wireless milik Samsung saya coba, mulai dari Galaxy Buds (generasi 1), Buds+, Buds Live, Buds Pro dan kini Buds2.

Galaxy Buds2 saat pertama kali muncul sudah memikat mata saya. Salah satunya adalah karena desain warna yang dual tone yang cukup kontras. Selain itu Buds2 ini juga menjadi seperti versi hemat dari Buds Pro, yang premisnya memiliki fitur mirip dengan TWS segmen paling atas Samsung tersebut tetapi dengan beberapa hal yang dipangkas. Mungkin analoginya bisa dibuat mirip seperti versi lite dan versi plus pada smartphone.

Beruntung Samsung mengontak saya dan memberikan perangkat Buds2 untuk saya uji. Tanpa berlama-lama, mari kita membahas Galaxy Buds2 secara mendalam.

Desain

Dari sisi desain sebenarnya ada sedikit rasa tidak puas, karena desain dari TWS samsung kini hampir seragam dari sisi case. Namun saya memaklumi pilihan Samsung ini salah satunya adalah karena keselarasan desain. Dengan hanya memiliki 1 model bentuk case saja yang sama antara semua lini Buds terbaru mereka, samsung bisa dengan lebih mudah untuk mengkomunikasikan produknya ke pengguna.

Memang akan berbeda ketika kita melihat desain earpiece-nya, masing TWS dari Samsung memiliki desain yang berbeda, Buds Live dengan desain experimental berbentuk seperti kacang, Buds Pro dengan desain yang premium dan kini Buds2 dengan desain yang mungil tetapi masuk memiliki nuansa Buds Pro pada desain earpiece-nya.

Untuk warna sendiri, seperti yang telah disebutkan di atas, komposisi dual tone dari Buds2 memang sangat menarik. Ada 4 pilihan warna yang disediakan Samsung, saya memilih yang berwarna hijau atau dalam bahasa desainnya adalah Olive. Alasan dari pemilihan warna ini adalah untuk melengkapi pengalaman penggunaan TWS, karena dua Buds lain yang ada di studio memiliki warna Lavender untuk Buds Pro dan Mystic Bronze untuk Buds Live.

Semua varian Buds2 memang memiliki warna case luar putih tetapi ketika dibuka akan ada warna utama lain yang menutupi bagian dalam. Warna ini juga akan bisa terlihat dari samping ketika case ditutup. Keren.

Untuk rasa bahannya sendiri, Samsung memilih menghadirkan versi glossy yang bagi saya seperti memberikan label bahwa ini adalah produk kasta paling bawah dari semua TWS terbaru Samsung. Sangat berbeda dengan dua TWS lain, baik Buds Live dan Buds Pro memiliki kesan doff.

Perbedaan desain juga akan tampak ketika Anda membuka case. Bagian detail keterangan tuning suara oleh AKG tidak muncul di bagian depan case tetapi di bagian dalam. Penempatannya cukup manis dan memberikan kesan tersendiri.

Untuk earpiece-nya sendiri, kesan glossy masih nampak di bagian luar TWS. Sedangkan untuk desainnya agak mirip dengan Buds Pro tetapi di sederhanakan. Karena Buds2 adalah TWS entry level untuk seri Buds, maka tidak ada air vent seperti Buds Pro. Earpiece terlihat polos dan dari sisi warna senada dengan bagian dalam case serta tampil dengan finishing glossy juga.

Bagian doff memang tidak lepas dari Buds2. Bagian dalam casing dengan warna sama dengan earpiece hadir dengan tampilan doff. Ini memberikan kesan yang menarik. Doff biasanya dikesankan sebagai kenyamanan, dan penempatan bahan ini di casing (yang dalam artian rumah earpiece) bisa memberikan kesan itu.

Kesan keseluruhan desain dari Buds2 bagi saya adalah baik. Meski bahan glossy tampil di sebagian besar perangkat luar tetapi eksekusinya masih cukup bisa diterima dan masih memberikan kesan highend.

Salah satu yang memang menjadi keunggulan dari Buds2 adalah desainnya yang kecil serta berat perangkat yang cukup ringan. Jauh lebih ringan dari Buds Pro dan bentuk earpiece-nya pun jauh lebih kecil.

Kalau melihat angka dari situs resmi, berat dari Buds2 adalah untuk earpiece-nya 5.0g sedangkan case 41.2g. Untuk Buds Pro adalah earpiece-nya 6.3g dan case 44.9g. Perbedaan beratnya cukup jauh terutama untuk earpiece. Salah satu sebabnya tentu saja karena di Buds Pro disematkan beberapa fitur tambahan seperti air vent.

Kesain mungil yang ada di earpiece Buds2 memang dilihat bukan secara negatif. Samsung malah cukup menjual kesan mungil ini sebagai salah satu keunggulan dari Buds2. Jika Anda telah menonton atau membaca review perangkat ini dan reviewer-nya menyebutkan bahwa ketika menggunakan Buds2 hampir serata tidak menggunakan earphone, maka kurang lebih pendapat itu benar. Earpiece Buds2 memang cukup jauh lebih ringan dari Buds Pro dan juga jauh lebih ringan dari Buds+.

Salah satu perbedaan paling mencolok antara Buds2 dengan desain Buds+ adalah absennya wing tip yang menjadi desain khas TWS era waktu itu. Wing tip ini berfungsi sebagai penahan agar earpiece bisa kokoh pada posisinya dan tidak jatuh ketiga digunakan dalam kegiatan aktif.

Dalam sebuah sesi QnA yang diadakan Samsung, saya bertanya pada perwakilan Samsung yaitu Taufiq Furqan, Product Marketing Manager Samsung Mobile, Samsung Electronics Indonesia tentang alasan Samsung melepas ciri khas Buds+ ini. Taufiq menjelaskan bahwa perubahan desain ini mengikuti keinginan konsumen. Desain Buds2 lebih simple dan lebih trendy. Samsung juga meningkatkan kemampuan kenyamanan dari earpiece Galaxy Buds mereka sehingga tanpa wing tip pun bisa tetap fit pas di telinga. Selain itu tersedia juga fitur fit test agar bisa disesuaikan dengan telinga pengguna.

Alasan ini cukup masuk akal pertama karena desain earpiece kekinian memang sudah agak meningalkan tambahan wing tips dan beralih ke cara-cara lain agar earpiece bisa kokoh di telinga. Dan Samsung telah bisa mengenbangkan cara lain sehingga bisa menggantikan peran wing tip di perangkat earphone mereka.

Dari sisi desain juga sebenarnya dengan absennya wing tip maka bisa terlihat keselarasan bentuk yang mirip dengan Buds Pro sehingga jika SAmsung ingin memposisikan earbuds ini menjadi entry level-nya seri Galaxy Buds maka konsumen tidak akan bingung.

Untuk kesan ringan yang didapat dari Buds2 tidak hanya hadir dari casing, atau earpiece saja tetapi hadir dari keseluruhan desain, termasuk pemilihan kesan glossy dan doff yang tampil di luar dan di dalam perangkat serta menurut saya, penggunaan dual tone di seri ini juga sedikit banyak memberikan kesan ringan karena dua warna membuat kesan desain jadi terpecah tidak mengumpul di satu area. Sehingga tercipta kesan ringan.

Spesifikasi

Untuk spesifikasi perangkat, mari kita bahas apa yang tertera di atas kertas terlebih dahulu. Beberapa keunggulan yang ditampilkan Samsung untuk Buds2 antara lain:

  • Two way dynamic speaker
  • 3 microphone yang terdiri dari 2 outer mic dan 1 inner mic serta ada pula VPU atau voice pickup unit
  • Lalu ada ANC dan ambient sound yang levelnya bisa diatur
  • Baterai 61mAh dan case 473mAh
  • Playtime di klaom up to 5 jam dan 20 jam dengan ANC menyala lalu up to 7.5 jam dan total 19 jam dengan ANC off
  • Charging 1 jam play time dan 5 menit quick charging
  • Wireless charging dengan sertifikasi Qi
  • Konektivitas bluetooth 5.2
  • Codecnya Scalable (Samsung proprietary(, AAC dan SBC
  • Dan yang tidak kalah penting malah dijagokan adalah fit test via aplikasi

Beberapa highlight untuk perangkat Buds2 dari sisi spesifikasi adalah 3 microphone untuk penggunaan panggilan suara yang lebih baik. Kemudian dilengkapi pula dengan voice pickup unit. Lalu yang menjadi andalan di segmen harganya adalah sudah memiliki ANC serta ambient sound yang bisa diatur. Galaxy Buds dijual dengan harga normal 1.699.000 rupiah.

Fitur ANC-nya memang tidak sekelas Buds Pro karena memang berbeda dari sisi segmen dan harga tetapi sudah cukup baik untuk kelas TWS entry level merek Samsung. Salah satu kelebihan lain adalah ambient sound yang membantu penggunaan ketika di tempat umum atau aktivitas yang masih memerlukan suara lingkungan sekitar. Buds2 memang tidak memiliki voice detect yang bisa secara otomatis mengatur perubahan dari mode ANC ke ambient sound yang dimiliki Buds Pro. ANC di Buds2 disebutkan Samsung telah ditingkatkan dari Buds+ sehingga kini bisa mengurangi noise dari luar sampai 98%.

Sedangkan ambient sound latency juga mengalami peningkatan dari 3.2 ms di Buds+ menjadi 0.5 ms di Buds2. Untuk wireless Qi charger mendukung untuk perangkat Samsung yang memiliki fitur wireless charging. Sedangkan koneksi Bluetooth 5.2 juga menjadi kelebihan lain karena sudah yang terbaru. Dari sisi codec. Buds2 menggunakan bawaan dari Samsung yaitu Samsung Scalable Codec. Dijelaskan Samsung bahwa codec ini cocok digunakan untuk smartphone samsung, sudah frekuensi tinggi tapi belum setinggi lossless. Fokus Samsung lebih pada kestabilan suara yang hadir ke penggunanya daripada lossless. Tetapi samsung menjamin kalau sumbernya lossless tetep akan baik di TWS buds dan lebih stabil.

Aplikasi pelengkap (Wear apps dari Samsung)

Saya adalah salah satu yang merasa aplikasi Wear – khususnya untuk perangkat Buds dari Samsung kini menjadi terlalu sederhana. Kurang bisa dieksplorasi dan cenderung ditujukan bagi pengguna yang terbiasa plug and play. Padahal pilihan pengaturan yang lengkap dibutuhkan untuk menemukan pengaturan yang pas untuk audio.

Namun memang jenis pengguna seperti yang saya sebutkan di atas bisa jadi tidak sebanyak konsumen umum atau konsumen kebanyakan. Dan saya mengerti alasan Samsung untuk mengubah aplikasi ini menjadi lebih sederhana untuk bisa digunakan lebih mudah bagi konsumen umum. Yang bisa jadi jarang mengulik atau mengutak atik pengaturan audio secara rutin atau berbeda-beda untuk genre lagu tertentu.

Samsung juga sepertinya kini memfokuskan pada fitur fit test, yang memungkinkan pengguna untuk melakukan uji apakah earbuds yang digunakan sudah pas atau belum untuk dipakai rutin. Aplikasi ini mendeteksi apakah earpiece yang Anda gunakan sudah tepat atau harus diganti dengan pilihan ukuran lain. Buds2 menyediakan 3 pilihan ukuran earpiece termasuk yang menempel pada earbud.

Pengalaman menggunakan

Nah, sekarang bagian utama tulisan kali ini yaitu pengalaman menggunakan Galaxy Buds2 termasuk review mendalam tentang eksperiens lagu-lagu yang saya dengarkan menggunakan Buds2.

Sebelum memulai, seperti biasa karena produknya TWS saya akan menguji dengan perangkat smartphone sebagai alat pemutar musik, kali ini saya menggunakan Samsung Galaxy S20 Plus. Lagu yang dimainkan via aplikasi Spotify rata kanan alias pengaturan kualitas audio very high.

Pengaturan yang digunakan sebagian besar dengan ANC aktif dengan beberapa kali mencoba untuk membedakan kualitas suara dengan ANC atau dengan fitur ambient sound. Untuk equalizer hampir seluruhnya saya dengarkan dalam menu pengaturan Dynamic, karena saya merasa pengaturan ini yang cukup seimbang meski pada awalnya saya tergoda untuk mencoba pilihan bass boost. Namun karena tidak semua lagu yang saya coba menonjolkan bass saja, maka saya memilih pengaturan dynamic.

Pengalaman secara makro (keseluruhan)

Dengan bentuknya yang mungil, suara Buds2 memang menarik untuk disimak. Bass cukup terasa nendang tapi tidak bikin sakit, punchy-nya tidak berlebihan tetapi terasa cukup deep. Kita juga bisa mendengarkan dengan nyaman untuk high note. Namun bagi saya, separasi di Buds2 terasa kurang. Suara yang dihasilkan ketika mendengarkan lagu terasa padat. Elemen-elemen lagu memang tidak saling bertumpuk tetapi terasa dalam satu ruangan yang cukup sempit. Beberapa suara vokal terasa di depan tetapi ada kalanya juga di belakang atau posisinya terdengar agak di atas dari elemen suara lain.

Saya memang lebih sering membandingkan dengan pengalaman menggunakan Buds Pro, meski ini agak kurang pas. Karena seharusnya disandingkan dengan Buds+ karena ini adalah versi terbaru produk yang sama. Namun saya mendapatkan kendala karena Buds+ yang ada di studio saya tidak bisa terkoneksi sampai dengan tulisan ini dibuat (tidak bisa reset koneksi) jadi apa boleh buat saya membandingkannya dengan Buds Pro. Keduanya memiliki ANC dan fitur ambient sound meski secara kualitas dan fitur Buds Pro berada jauh di atas.

Jika dari sisi desain atau pengalaman menggunakan perangkat di luar suara adalah kesan mungil dan compact, maka untuk hasil suara dari Buds2 adalah kenyamanan dengan bass yang agak menonjol.

Untuk pengalaman penggunaan lain seperti meeting via Zoom atau Gmeet serta pengalaman hiburan, Buds2 dua juga bisa digunakan dengan cukup baik. Selama dua minggu ke belakang saya cukup sering menggunakan Buds2 untuk meeting dan tidak menemukan keluhan yang cukup berarti. Fitur ambient sound-nya juga cukup membantu saat meeting/call, karena terkadang harus mengecek ke depan rumah karena ada suara panggilan rutin yang sudah menjadi ciri khas saat WFH, ‘misi paket…’.

Untuk pengalaman spesifik atas lagu tertentu, adalah sebagai berikut:

Pearl Jam – Given to Fly

Suara Eddie Vedder terasa berada di depan dan keseluruhan lagu terasa padat. Saya bisa mendengarkan detail elemen-elemen yang ada di lagu seperti petikan gitar, atau suara rhythm gitar tipis yang muncul di tengah. Tujuan saya mendengarkan lagu ini karena di bagian depan lagu ada petikan gitar yang khas. Dan saya ingin coba merasakan detail petikan gitar tersebut.

Di departemen bass juga cukup terasa namun tidak berlebihan. Lagu dengan dua gitar seperti Given to Fly bagi saya sangat cocok untuk menguji bagaimana earbud merespons atas keharmonisan yang dihadirkan band. Dan Buds2 cukup nyaman untuk mendengarkan tipe-tipe lagu band dengan dua gitar.

Laruku – Mirai

Mendengarkan dengan Buds2 bisa mendapatkan suara detail dari piano atau beberapa elemen lain. Bass yang melaju juga bisa direspon dengan baik karena bagi saya, Laruku adalah tentang bas yang melaju seperti asik sendiri. Selain itu vokal terasa clear dan terasa menonjol di depan.

Sayang memang karena TWS ini memiliki sound stage yang menurut saya kurang luas, kemegahan dari lagu ini, yang memiliki elemen orchestra, jadi terasa kurang. Bisa jadi memang karena karakter TWS ini adalah menghasilkan suara yang padat.

Silk Sonic/Bruno Mars – Leave the Door Open

Lagu ini dipilih bukan hanya untuk mencoba tipe lagu RnB slow yang sedang tren tetapi saya juga ingin menguji respon TWS pada beberapa elemen permainan detail di lagu ini. Seperti yang muncul awal lagu, atau di beberapa bagian ada suara seperti triangle atau tambourine yang berulang kali muncul. Semua bisa direspon dengan baik oleh Buds2.

Untuk vokal, Buds2 juga bisa merespon dengan sangat baik, bahkan saya bisa mendengar detail suara Bruno dengan clear. Bass dan elemen lagu yang lainnya juga terasa cukup baik dan menjadikan Buds2 ini cukup nyaman untuk mendengarkan lagu di genre ini, bahkan dengan volume yang tidak besar.

Yuna – Langit

Lagu favorit saya untuk menguji earbud atau perangkat audio. Terutama untuk menguji bagian vokal, karena lagu ini memang menonjolkan vokal Yuna yang magical.

Buds2 bisa merespon dengan baik dan menghadirkan bagian vokal yang clear. Gabungan berbagai elemen di lagu ini yang keluar dari Buds2 juga memberikan kesan menyenangkan untuk didengarkan dan tidak saling berebut.

Jealousy remastered – Queen

Dengan menggunakan mode dynamic, bass di lagu ini yang dimainkan di Buds2 ternyata cukup menonjol dan terasa agak di depan. Tapi tetap nyaman, apalagi di lagu ini Bass cukup berlari alias bermain layaknya melodi.

Paling menyenangkan menggunakan lagu Queen untuk menguji perangkat audio terutama earphone adalah mendengarkan Freddie menyanyi. Karena cara bercakap Freedie yang khas maka di bagian vokal tertentu akan ada suara khas ketika Freddy bernyanyi dan Buds2 bisa menangkap itu.

Overall lagu ini terasa nyaman terutama bagi Anda penikmat permainan bass yang menari.

Adele – Skyfall

Meski terasa nyaman mendengarkan lagu ini dengan Buds2, tetapi saya merasa lagu jenis seperti Adele ini kurang cocok untuk didengarkan menggunakan Buds2. Lagu Skyfall yang cukup megah terasa biasa saja.

Meski demikian, detail vokal dan keharmonisan lagu tetap bisa dinikmati dengan nyaman sebagai satu lagu utuh.

Bruce Springsteen – Born in the USA

Anda akan merasa tenggorokan Anda serak ketika mendengar lagu ini, karena Buds2 bisa cukup menghadirkan suara Bruce dengan detail.

Meski demikian posisi vokal di lagu ini terasa di belakang dan bass-nya cukup terasa menonjol di depan. Detail lain bisa didengarkan secara jelas terutama piano elektrik yang juga mendominasi dari awal lagu.

Queen – Bohemian Rhapsody remastered 2011

Lagu wajib untuk mencoba TWS.

Keharmonisan vokal di awal lagu adalah kesan yang khas setiap mendengarkan lagu ini, dan Buds2 bisa merespon dengan baik. Petikan gitar bisa dihadirkan dengan baik juga, tone tinggi tidak membuat sakit telinga.

Struktur lagu yang terasa bagi saya adalah, vokal utama terasa ada di atas agak ke dalam dengan elemen lagu lain hadir melengkapi dan membentuk pondasi segitiga ke atas, dengan puncaknya adalah suara Freddie.

Beberapa lagu lain yang saya coba dengarkan: Stuck with you (Ariana Grande – Justin Bieber) lalu lagu old school untuk melihat respon TWS atas aransemen lagi lama lewat Sesaat Kau Hadir – Utha likumahua. Kemudian lagu More than Word – Extreme.

Semua dilahap dengan cukup baik oleh Buds2, lagu populer Ariana yang RnB atau package rekaman jadul dari Utha Likumahua atau lagu wajib no 2 untuk mengetes TWS yaitu More Than Word.

 

Verdict

Samsung Galaxy Buds2 adalah perangkat TWS atau wireless earphone yang cukup menarik. Baik dari desain dan terutama dari hasil suara yang dihasilkan. Di-tuning oleh AKG yang juga men-tuning earphone bawaan smartphone Samsung serta TWS atau Galaxy Buds lainnya.

Untuk hasil suara dari pengalaman saya, keluhannya hanya satu yaitu berbagai elemen suara yang hadir (terutama ketika mendengarkan lagu) terasa penuh dan padat. Meski kualitasnya baik tapi saya lebih memilih Buds Pro jika harus membandingkan.

Galaxy Buds2 akan saya rekomendasikan bagi mereka yang ingin menggunakan TWS untuk kegiatan sehari-hari sampai dengan traveling. Untuk olahraga saya hanya menyarankan untuk olahraga ringan. Bobotnya yang ringan membuat TWS ini bisa menjadi pilihan untuk kegiatan sehari-hari apalagi dengan kualitas suara yang baik serta fitur ANC dan ambient sound.

Untuk desain eartips memang tidak lonjong seperti Buds Pro, yang bagi saya adalah salah satu desain eartips yang paling menyenangkan, terutama bagi pengguna yang terbiasa menggunakan earphone jenis earbud seperti saya. Namun karena bobotnya yang ringan dan desainnya yang ciamik, Buds2 tetap bisa memberikan keunggulan tersendiri.

Menjadi Galaxy Buds entry level alias paling murah dibanding Galaxy Buds terbaru lainnya milik Samsung, Buds2 bisa menjadi pilihan bagi mereka yang baru ingin memiliki TWS dan ingin memiliki TWS keluaran Samsung.

Sparks

  • Kualitas suara baik
  • Ringan
  • Telah tersedia fitur ANC
  • Desain menarik

Slacks

  • Fitur Ambient Sound terasa kurang natural
  • Sound stage kurang luas
  • Meski paling murah di antara Buds terbaru Samsung tetapi harga di pasaran cukup premium.

[Review] AMD Ryzen 7 5800H: Prosesor Mobile untuk Bermain Game di Laptop Tipis

Semenjak kemunculan arsitektur Zen, AMD menjadi pemimpin kecepatan pada pasar prosesor x86. Hal itu pun berlanjut hingga generasi ke 3 yang ada saat ini, yaitu Zen 3. AMD pun juga membawa arsitektur baru ini ke laptop-laptop gaming yang sebelumnya tidak pernah terjadi sebelum arsitektur Zen muncul. Kali ini, saya merasakan prosesor AMD Ryzen 7 5800H.

Ryzen 7 5800H yang datang ke rumah saya terbungkus pada laptop ASUS Zephyrus Duo. Terus terang, saya lebih tertarik untuk membahas prosesor yang digunakan dibandingkan dengan desain yang ada pada ASUS Zephyrus Duo. Sudah lama saya tidak bertemu dengan prosesor AMD, apalagi generasi ke 3-nya ini. Apalagi, prosesor yang satu ini sudah memiliki sebuah kartu grafis terintegrasi.

Prosesor yang memiliki nama Cezanne ini memiliki spesifikasi sebagai berikut

Ryzen 7 5800H
Arsitektur Cezanne
Core / Thread 8 / 16
TDP 45W
Clock 3.2 GHz
Turbo Boost 4.4 GHz
L3 Cache 16 MB
Kecepatan RAM DDR4 3200 MHz / LPDDR4 4266 MHz
Clock iGP / Core 2000 MHz / 8 core
Socket FP6
Pabrikasi 7nm

Prosesor AMD yang satu ini sudah menggunakan proses pabrikasi 7nm. Tentunya ini menjadi sebuah keunggulan tersendiri di mana pesaing utamanya yang masih kesulitan untuk menggunakan pabrikasi tersebut. AMD pun mengambil keunggulan ini untuk meningkatkan efisiensinya dan membuat prosesor ini lebih kencang dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Pada sisi grafis, AMD memasangkan AMD Radeon Graphics dengan 8 GPU core. Grafis terintegrasi ini lebih sering dikenal dengan nama AMD Vega 8, yang memiliki teknologi yang sama dengan yang digunakan pada seri-seri sebelumnya. Pada AMD Ryzen 7 5800H, clock dari IGP ini ditingkatkan menjadi 2 GHz. Hal ini tentu saja membuatnya menjadi lebih kencang jika dibandingkan dengan versi terdahulu.

Berikut adalah hasil CPU-Z dari AMD Ryzen 7 5800H

Arsitektur

Desain dari Zen 3 tentu saja berbeda dengan Zen 2. Selain itu, Zen 3 untuk desktop, Vermeer, juga berbeda dengan Zen 3 untuk laptop, yaitu Cezanne. Cezanne memiliki desain monolithic, yang berarti bahwa ada beberapa komponen yang terintegrasi ke dalam satu cip saja. Hal itu berarti CPU CCD (core complex design), kontroler IO, kontroler memori, dan tentunya grafis terintegrasi.

Pada Zen 2 mobile atau Renoir, sebuah CCX (core complex) akan terdiri dari 4 inti prosesorSelanjutnya, sebuah CCX pada Zen 2 hanya akan memiliki L3 cache hingga 8 MB. Jadi, pada Zen 2, sebuah prosesor yang memiliki L3 cache sebesar 16 MB akan membutuhkan 2 CCX yang aktif di sana.

Pada Zen 3, AMD mengubah lagi arsitekturnya. Sebuah CCX akan memiliki total 8 inti prosesor. AMD juga membuat 8 inti prosesor itu memiliki sebuah shared L3 sebesar 16 MB. Hal ini juga bakal meningkatkan latensi yang dibutuhkan oleh masing-masing inti prosesor tersebut. Dengan tambahan total 4MB pada L2 cache-nya, membuat Ryzen 7 5800H memiliki total cache 20 MB.

AMD juga meningkatkan kinerja instruction per clock-nya dengan cukup signifikan. Pada saat peluncurannya, AMD mengklaim bahwa mereka bisa meningkatkan performanya hingga 19%. Dan walau masih menggunakan proses pabrikasi 7nm, AMD juga berhasil meningkatkan clock-nya dibandingkan Renoir. Hal tersebut juga berlaku pada clock boost-nya.

Pada Cezanne, AMD membuat prosesornya unlocked. Hal ini berarti bahwa perangkat laptop yang memiliki prosesor ini bisa ditingkatkan lagi kinerjanya lebih tinggi. Tentunya, hal tersebut bisa dilakukan dengan meningkatkan multiplier dari prosesor tersebut.

Pada sisi grafisnya, AMD Ryzen 7 5800H masih menggunakan Radeon Vega yang sama dengan Renoir. Walaupun begitu, AMD juga meningkatkan kemampuannya pada sisi clock-nya. AMD juga meningkatkan efisiensi daya sehingga pada clock grafis yang tinggi, daya yang digunakan akan lebih rendah dari generasi sebelumnya.

AMD Ryzen seri H tentunya akan ditemukan pada laptop-laptop yang ditujukan untuk bermain game. Akan tetapi berbeda dengan seri HX, prosesor seri H seperti Ryzen 7 5800H akan dipasarkan untuk laptop-laptop dengan dimensi yang tipis. TDP-nya juga dipasang pada level di bawah seri HX sehingga kemampuannya untuk di-overclock juga lebih rendah.

ASUS ROG Zephyrus Duo GX551QM

Tidak pas rasanya jika saya tidak membahas sedikit mengenai laptop yang menggunakan AMD Ryzen 7 5800H. Perangkat yang satu ini masuk dalam kelas Republic of Gaming, yang merupakan lini gaming dari ASUS. Dengan menyandang nama tersebut, ASUS sudah memastikan bahwa laptop ini bisa dengan lancar digunakan untuk bermain game AAA. Selain itu, spesifikasinya juga bakal bisa digunakan untuk membuat konten.

Laptop ASUS RoG Zephyrus Duo GX551 memiliki dua buah layar. Layar utamanya menggunakan jenis IPS yang memiliki resolusi 1920×1080. Layar kedua diberi nama Screenpad Plus oleh ASUS dan memiliki dimensi 14,1 inci. Layar yang dapat dioperasikan dengan menyentuhnya ini memiliki resolusi yang tinggi pula, yaitu 1920 x 550 piksel. Layar ini akan terangkat dengan sendirinya saat laptop ini dibuka dan membentuk sudut 13 derajat.

Sayangnya, dengan hadirnya ScreenPad Plus, membuat keyboard yang ada harus sedikit turun ke bawah. Hal tersebut menyebabkan hilangnya bagian palm rest yang selalu ada pada setiap laptop. ASUS memang menyediakan bantalan palm rest secara terpisah, namun hal tersebut membuat pengguna harus menyediakan ruang ekstra pada mejanya agar mengetik menjadi lebih nyaman. ASUS juga menaruh touchpad pada sebelah kanan dari keyboard-nya.

Terus terang, saya cukup merasa tidak nyaman bermain dan mengetik artikel dengan menggunakan ASUS Zephyrus Duo. Hal tersebut bukan karena tombol keyboard-nya yang memang sangat responsif serta memiliki dimensi yang pas di tangan saya. Akan tetapi posisi palm rest yang membuat tangan saya sering sakit saat menguji dengan laptop gaming ini. Akan tetapi, saat mencoba melakukan editing video, hal tersebut menjadi lebih menyenangkan berkat ScreenPad Plus-nya.

Pada ASUS Zephyrus Duo, terdapat dua grafis di sana. Yang pertama adalah AMD Radeon Graphics dan yang kedua adalah NVIDIA GeForce RTX 3060. Tentu saja, pada pengujian kali ini saya tidak menggunakan discrete graphics-nya. Semua pengujian menggunakan Radeon Vega 8 sebagai grafisnya.

Pengujian

Untuk mengetahui seberapa kencang prosesor AMD Ryzen 7 5800H, tentu saja harus dilakukan beberapa pengujian. Oleh karena AMD Ryzen 7 5800H menggunakan integrated graphics, pengujian pun dilakukan pada sisi prosesor serta IGP-nya. Saya tidak melakukan pengujian pada NVIDIA GeForce RTX 3060 dengan melakukan setting grafis pada Windows 10 pada power saving.

Pengujian saya lakukan dengan membagi menjadi dua bagian, yaitu sintetis dan gaming. Berikut adalah hasil pengujian benchmark sintetis dari perhitungan pada sisi prosesornya

Selanjutnya, pengujian dilakukan untuk melihat seberapa baik kinerja dari grafis terintegrasinya. Berikut adalah hasil benchmark-nya

Berikutnya adalah pengujian pada game. Saya menggunakan beberapa game seperti Red Dead Redemption 2, Dirt, Borderlands 3, dan Rise of the Tomb Raider. Saya menggunakan resolusi 1680×1050 pada semua pengujian dan menggunakan profile yang berbeda, dari low hingga high pada Dirt. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui batas dari Radeon Vega 8 yang dimiliki oleh Ryzen 7 5800H.

Berikut adalah hasil benchmark-nya.

Verdict

Saat ini, laptop gaming tidak lagi didominasi oleh satu merek prosesor saja. AMD saat ini sudah kembali masuk ke pasar prosesor mobile untuk berbagai lini. Tahun 2021 ini, AMD kembali memasukkan prosesor seri 5000nya ke dalam beberapa laptop gaming. Salah satunya adalah ASUS ROG Zephyrus Duo.

Pada laptop ini, kinerja AMD Ryzen 7 5800H memang hampir tidak ada bedanya dengan kecepatan prosesor yang terpasang pada dekstop. Saat digunakan untuk bermain game, kinerjanya tidak perlu lagi dipertanyakan. Apalagi saat digunakan untuk melakukan rendering video, Ryzen 7 5800H sangat cocok untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Grafis terintegrasi yang ada pada prosesor ini juga memiliki kinerja yang cukup baik. Dengan daya yang rendah, tentu saja akan bisa menghemat baterai lebih baik dibandingkan dengan discrete graphics seperti GeForce RTX 3060 yang ada pada ASUS ROG Zephyrus Duo tersebut. Jika Anda menggunakan prosesor dengan grafis terintegrasi yang sama, yaitu Radeon Vega 8, tentu saja sudah bisa bermain game tanpa lag pada setting tertentu.

Prosesor Ryzen 7 5800H saat ini tersedia pada laptop dengan harga yang cukup tinggi, yaitu 15 hingga 30 jutaan. Walaupun memiliki harga yang tinggi, Ryzen 7 5800H akan menjamin pekerjaan serta game Anda menjadi lancar, apalagi ditambah dengan discrete graphics. Laptop dengan prosesor ini tentu saja bisa menjadi alternatif pilihan untuk bermain game dan membuat konten dengan cepat.

Sparks

  • Kinerja kencang dengan arsitektur yang baru
  • Kinerja IGP yang mumpuni untuk bermain game
  • Menggunakan proses pabrikasi 7 nm yang efisien
  • 8 cores dan 16 threads pada sebuah laptop
  • TDP 45 watt untuk laptop gaming

Slacks

  • Hanya hadir pada laptop dengan harga yang tinggi
  • Tanpa dukungan PCIe Gen 4
  • Tanpa dukungan Thunderbolt terbaru

BenQ MOBIUZ EX2710S: Pilihan Terbaik Monitor Gaming 165Hz

Ada banyak monitor untuk gaming yang tersedia di pasar untuk dipilih bagi pada penikmat gadget. Namun, tidak banyak yang memiliki fitur-fitur untuk menolong penggunanya untuk berhasil dalam sebuah game. Untungnya, BenQ memiliki banyak pilihan untuk monitor yang seperti itu. Salah satunya adalah BenQ MOBIUZ EX2710S Gaming Monitor.

Dengan MOBIUZ EX2710S, BenQ menawarkan pengalaman bermain game untuk gamer enthusiast. Monitor yang satu ini menawarkan refresh rate hingga 165 Hz. Hal tersebut berbeda dengan saudaranya yang memiliki nama sama, namun tanpa akhiran “S”, yaitu EX2710 yang memiliki refresh rate hingga 144 Hz saja. Panelnya sendiri sudah menggunakan IPS.

BenQ MOBIUZ EX2710S datang pula dengan Motion Picture Response Time (MPRT) 1 ms. Selain itu, teknologi HDRi juga mampir pada layar yang satu ini untuk mengoptimalkan gambar untuk meningkatkan warna, kontras, dan detail. Layar  ini juga sudah mendukung standar dari AMD, yaitu Freesync Premium yang menawarkan latensi rendah.

Tidak hanya tampilan saja yang ditawarkan pada BenQ MOBIUZ EX2710S, layar ini juga memiliki speaker. Speakernya sendiri sudah menggunakan treVolo, yaitu lini speaker buatan BenQ dengan daya 2,5 watt sebanyak dua buah. BenQ juga sudah menanamkan chip DSP untuk menambah depth, clarity, definition, presence, dan pencitraan bidang stereo.

BenQ MOBIUZ EX2710S sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut:

Dimensi layar 27″
Rasio 16:9
Resolusi 1920×1080
Tipe panel IPS
Dimensi 539.6 x 614.1 x 216.7 mm
Berat total 6,2 KG
Port 2x HDMI 2.0 / Display Port 1.2 / audio jack‎‎‎
Response Time 1 ms MPRT
Kontras 1000:1
Speaker 2x 2,5 watt
Daya 55 watt

Tentunya, BenQ juga tidak ketinggalan untuk menyematkan teknologi eye care. Teknologi ini sendiri bakal membuat mata para penggunanya tidak lelah jika memakainya seharian. Monitor ini juga sudah bisa diatur tinggi rendahnya sehingga pengguna tidak akan sakit punggung akibat posisi kepalanya yang selalu terlalu ke atas atau ke bawah.

Unboxing

Selain monitor dan kakinya, inilah yang bisa didapatkan pada paket penjualan dari BenQ MOBIUZ EX2710S

Desain

BenQ MOBIUZ EX2710S datang dengan panel layar In-Plane Switching atau IPS. Monitor ini menawarkan response time yang cepat, yaitu 1 ms MPRT. MPRT (Moving Picture Response Time) berhubungan dengan berapa lama piksel tetap terlihat di layar. Semakin lama piksel tetap terlihat, semakin membuat blur atau trail gambar bergerak yang dihasilkan dari sebuah adegan.

Layarnya sendiri juga sudah mendukung refresh rate 165 Hz yang sejajar dengan dapat menampilkan 165 fps tanpa tearing. EX2710S ternyata juga sudah mendukung FreeSync Premium, yaitu standar tampilan gaming dari AMD.

Height Adjustable Monitor ini memang bisa diatur ketinggiannya sehingga pas dengan sudut pandang para penggunanya. Hal ini tentu saja membuat leher dan punggung menjadi tidak pegal. Monitor ini juga bisa diatur untuk “menengok” ke kanan mau pun ke kiri, sehingga posisinya bisa dengan nyaman untuk diatur.

Pada bagian belakang dari monitor ini sudah terdapat beberapa port, yaitu dua buah HDMI 2.0, sebuah Display Port 1.2, serta audio 3,5 mm. Selain itu, pada bagian kanannya terdapat beberapa tombol yang meliputi tombol menu, daya, serta sebuah tombol navigasi 4 arah. Pada bagian bawah terdapat sebuah sensor cahaya untuk mengendalikan fitur Brightness Intelligence secara otomatis. Speaker juga diposisikan pada bagian bawah dari layar monitor ini.

Berbicara mengenai tombol navigasi 4 arah, pada BenQ MOBIUZ EX2710S tentu sudah terdapat On Screen Display yang terdiri dari menu dan juga QuickOSD. Pada QuickOSD sendiri, pengguna dapat mengatur dan beralih ke pengaturan game yang sering digunakan dengan cepat. Dan Anda juga dapat mengatur setting layar ini langsung pada menunya.

HDRi

Saat ini, mungkin kebutuhan akan visual terhadap sebuah konten sudah merupakan keharusan. Bagian gambar dari sebuah gambar, video, mau pun game juga akan lebih baik berkat teknologi ini. HDR (High Dynamic Range) sendiri akan mengangkat bagian yang gelap menjadi lebih terlihat serta membuat warnanya tetap terjaga. Hal inilah yang ingin dipecahkan oleh BenQ.

BenQ telah mengembangkan teknologi miliknya sendiri untuk memenuhi kebutuhan ini, yaitu HDRi. Dengan demikian, pengguna bisa mendapatkan pengalaman visual yang lebih mendalam dengan detail yang jelas dan realistis dalam pemandangan gelap dengan mempertahankan kejernihan di layar. Fitur HDRi juga dapat meningkatkan konten SDR (Standard Dynamic Range) dengan fitur HDR yang diemulasi agar sangat mirip dengan HDR aslinya. BenQ membagi fitur ini untuk game dan cinema.

Pada Game HDRi, akan meningkatkan detail gambar seperti pada detail gelap serta menyeimbangkan tingkat kecerahan. Pada sebuah game, hasilnya akan lebih terlihat pada saat sedang berada di ruang gelap yang ditembus dengan seberkas sinar matahari. Sedangkan untuk Cinema HDRi, warna dan kontras akan ditingkatkan sehingga warna yang tersaturasi akan lebih baik, terutama pada warna kulit. Hal ini juga akan berpengaruh pada gambar yang tingkat kecerahan serta kontras yang tinggi.

Anda bisa melihat perbandingan atau perbedaan hasil antara yang menggunakan HDR dengan yang menggunakan HDRi pada dua foto berikut ini. 

Contoh perbandingan HDR dan HDRi Game:

Contoh perbandingan HDR dan HDRi Cinema:

treVolo

Mungkin bagi mereka yang belum menggunakan BenQ masih asing dengan treVolo. TreVolo sendiri merupakan merek BenQ yang memproduksi perangkat-perangkat audio. EX2710S dilengkapi dengan speaker 2.5W, yang dirancang dan dikalibrasi oleh treVolo. Hal tersebut menghasilkan suara akustik penuh dengan lima pengaturan suara dan mode suara preset secara maksimal.

Dengan menggunakan BenQ MOBIUZ EX2710S, pengguna tidak lagi membutuhkan sebuah speaker tambahan. Namun, jika pengguna ingin menggunakan headphone saat bermain, langsung saja tancapkan pada port audio 3,5 mm di bagian belakang monitor ini.

Menonton dan bermain: Layar enak dipandang dan tidak lelah

Masa pandemi COVID menyebabkan semua orang harus bekerja dan sekolah di rumah. Walaupun PPKM sudah diturunkan level-nya, namun sebagian besar, termasuk saya, masih cukup ngeri untuk pergi keluar rumah. Bermain game dan menonton video merupakan salah satu cara saya dan anak-anak untuk menghilangkan kebosanan di rumah. Dan menggunakan layar dengan dimensi 27 inci memang cukup pas untuk kedua kebutuhan tersebut.

Saat BenQ MOBIUZ EX2710S datang ke rumah saya sekitar dua minggu yang lalu, langsung saya buka dan rakit. Karena ini monitor yang diarahkan untuk bermain game, tentu saja saya tidak sabar untuk bermain game favorit saya dengan monitor dari BenQ Ini. 

Saya pun melakukan pengujian dengan menggunakan beberapa judul game. Game pertama yang saya mainkan adalah Valorant. Pengalaman yang didapatkan tentu saja sangat jauh berbeda ketika menggunakan game ini di 165 fps. Hasilnya memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan monitor 60 Hz yang saya gunakan sampai saat ini.

 

Dengan menggunakan HDRi Game, kecerahannya memang tidak setinggi HDRi Cinema. Akan tetapi, HDRi Game akan menjamin bahwa kita bisa melihat musuh pada tempat-tempat gelap. Hal ini cukup membantu saya saat bermain game action adventure seperti Shadow of The Tomb Raider. Hal tersebut juga berlaku pada saat bermain CS:GO di beberapa map.

Selain untuk teman bermain di PC, monitor BenQ MOBIUZ EX2710S juga akan cocok untuk gaming dengan perangkat lain, misalnya console generasi lanjut seperti PS5 dan Xbox terbaru.

Saya juga mencoba monitor ini untuk menonton beberapa video dari layanan streaming berbayar. Tentunya, saya ingin mencoba menggunakan HDRi dari BenQ dengan profile HDRi Cinema. Ternyata memang setiap video yang saya tonton menjadi lebih cerah dan tajam.

Semua video dengan tone gelap bisa saya lihat dengan lebih baik. Beberapa film superhero juga dapat saya tonton dengan lebih baik jika dibandingkan dengan HDR biasa. Pada monitor ini juga sudah ada HDR biasa yang warnanya sedikit lebih warm dibandingkan dengan HDRi. Tingkat ketajamannya pun juga berbeda.

Saat HDRi saya aktifkan, menu Eye Care pada OSD BenQ MOBIUZ EX2710S pun juga aktif. Hal ini berarti Brightness Intelligence pada layar ini juga bisa diaktifkan. Dan benar saja, menonton beberapa video tidak membuat mata saya lelah. Hal ini bahkan berlanjut hingga malam hari.

Menonton video dengan genre action juga sangat menyenangkan pada layar ini. Tidak ada lagi yang namanya ghosting atau blur saat adegan-adegan dengan kecepatan tinggi. Saya mencoba menonton film Batman v Superman pada adegan melawan Doomsday menjadi lebih nyaman karena memang tajam.

Berbicara mengenai film Zack Snyder yang satu ini, tentu tidak asing lagi dengan scene dark yang menyelimuti filmnya. Jika HDRi Cinema tidak mengangkat kecerahannya, BenQ sudah menyediakan fitur Light Tuner yang bisa mengangkat kecerahannya. Saya menggunakan Light Tuner sampai nomor 6 untuk meningkatkan kecerahannya. Dan film tersebut akan bisa dilihat dengan bagus.

Untuk mencoba refresh rate dari monitor ini, tentu saja Test Ufo masih menjadi salah satu benchmark yang saya unggulkan. Benchmark gratis ini bisa menampilkan refresh rate asli dari sebuah monitor. Dan benar saja, monitor ini langsung terdeteksi sebagai 165 Hz.

Saya juga mencoba menggunakan suara dari speaker yang ada. Saya menggunakan monitor yang satu ini didalam ruangan sekitar 4×3, sehingga suara yang dihasilkan memang sudah cukup untuk bermain dan menonton video. Walaupun begitu, suaranya memang akan terdengar lebih kecil jika digunakan pada ruang keluarga yang cukup terbuka.

Menggunakan tombol navigasi dari BenQ MOBIUZ EX2710S juga memudahkan saya dalam memilih pada menu OSD. Saat menyentuhnya, jari saya gerakkan ke arah yang sesuai dengan option yang ingin saya pilih. Untuk memilihnya, saya tinggal menekan tombol navigasi tersebut di tengah. BenQ sepertinya memang sudah memikirkan untuk navigasi OSD yang nyaman.

Terakhir, tentu saja monitor ini saya gunakan untuk menulis artikel. Sebagai informasi saja, artikel ini saya tulis dengan memakai BenQ MOBIUZ EX2710S sebagai layarnya. Memang sangat nyaman untuk mengetik sebuah artikel pada layar 27 inci dengan fitur kenyamanan mata yang dimiliki oleh BenQ. Biasanya saya harus mengistirahatkan mata sejenak saat menulis, namun sepertinya tidak berlaku untuk BenQ MOBIUZ EX2710S.

Tentunya, Anda harus mencobanya sendiri untuk menggunakan monitor BenQ MOBIUZ EX2710S. Pengalaman tersebut memang akan lebih baik jika langsung melihat dan merasakannya sendiri.

Verdict

Dengan banyaknya monitor gaming yang dijual di Indonesia, tentu membuat susah untuk memilih yang mana yang mau dibeli. Pastikan bahwa monitor tersebut memiliki fitur-fitur yang mampu membuat mata nyaman saat memandangnya. Tentunya, BenQ memiliki banyak solusi monitor yang bisa membuat penggunanya tidak lelah saat melihat layarnya seharian. Salah satunya adalah BenQ MOBIUZ EX2710S.

BenQ MOBIUZ EX2710S memiliki fitur kenyamanan untuk bermain serta menonton video. Dengan fitur HDRi, kualitas gambar yang ditampilkan akan menjadi semakin baik. Untuk bermain game, monitor ini sudah mendukung refresh rate 165 Hz serta mendukung AMD Freesync Premium. Tidak lupa, response time pada BenQ MOBIUZ EX2710S yang sudah 1 ms MPRT.

Selain menampilkan gambar yang baik, monitor ini juga memiliki speaker yang bagus pula. Dengan dua speaker dari treVolo membuat kita bisa mendengarkan suara dari sebuah konten dengan baik. Monitor ini juga sudah memiliki 2 HDMI 2.0 serta sebuah Display Port 1.2. Dan tentunya, monitor ini juga sudah menggunakan Height Adjustable Stand yang bisa membuat posisinya lebih fleksibel.

BenQ menjual MOBIUZ EX2710S pada harga Rp. 6.565.000. Tentunya harga ini tergolong terjangkau untuk sebuah monitor gaming dengan fitur melimpah. Monitor ini cocok untuk para gamer yang memiliki budget terbatas namun tidak ingin melihat tearing saat bermain game. BenQ juga memberikan 3 tahun garansi untuk panel, service, dan spare part.

Informasi Produk: BenQ MOBIUZ EX2710S

Link pembelian:  Tokopedia

Rangkuman keunggulan monitor BenQ MOBIUZ EX2710S

  • Layar yang nyaman untuk dipandang
  • Refresh Rate hingga 165 Hz
  • Mendukung AMD Freesync Premium
  • Menu OSD yang nyaman dan mudah untuk dinavigasi
  • Speaker dengan suara yang bagus dari treVolo
  • Teknologi HDRi yang membantu meningkatkan kualitas gambar untuk game dan video
  • Posisi layar yang adjustable

Disclosure: Artikel ini didukung oleh BenQ. 

 

[Review] Seagate FireCuda 120 SSD: Main Game Lebih Lancar pada Interface SATA

Untuk bermain game pada PC desktop dan laptop, saat ini mungkin penggunaan SSD NVMe sudah menjadi sebuah keharusan. SSD memang sudah dikenal dengan performanya yang kencang sehingga akan meningkatkan kinerja PC secara keseluruhan. Namun, saat ini masih banyak laptop dan desktop yang belum memiliki interface M.2. Oleh karena itu, SSD SATA masih banyak dicari.

Salah satu SSD SATA yang dibuat khusus untuk para gamer datang dari Seagate. Seagate menamakan SSD tersebut sebagai FireCuda 120. Penyimpanan ini pun datang ke meja pengujian tim DailySocial dengan kapasitas 2 TB. Tentunya, kapasitas tersebut masih cukup mumpuni untuk menampung semua game yang ada saat ini.

SSD yang satu ini diklaim dapat melakukan transfer data pada kecepatan 560 MB/s. Kecepatan tersebut memang sangat lazim ditemukan pada perangkat dengan interface SATA 3. Jika dilihat, kinerjanya tentu saja lebih kencang jika dibandingkan dengan sebuah hard disk yang saat ini kebanyakan masih berada di bawah 200 MB/s.

Spesifikasi dari Seagate FireCuda 120 SSD yang saya dapatkan adalah sebagai berikut

Kapasitas 2 TB
Interface SATA 6 Gbps
Tipe konektor SATA 3
Controller Phison PS3112-S12
Jenis memori NAND TLC
Endurance 2800 TBW
Dimensi 100,35 x 70,1 x 7.1 mm
Bobot 50 gram

Seagate memberikan garansi 5 tahun untuk SSD yang satu ini. Selain itu, garansi yang diberikan juga akan akan terpotong oleh TBW (TeraByte Written) yang ditentukan. Jadi, garansi akan berakhir jika sudah terpakai lebih dari 3 tahun atau melebihi penulisan 2800 TB.

Desain

Seagate FireCuda 120 SSD sebagian besar dibalut dengan warna hitam. Di bagian tengahnya terdapat logo dari FireCuda itu sendiri, yang cukup berbeda dengan kebanyakan SSD SATA yang menggunakan stiker berbentuk kotak pada bagian atasnya. Desain seperti ini memang cocok untuk sebuah perangkat game yang menjadikannya berbeda dengan SSD SATA pada umumnya.

Feelnya juga akan terasa sangat baik pada saat merasakan bahannya yang terbuat dari metal. Hal ini tentunya juga akan membuat panas SSD Seagate FireCuda 120 lebih merata. Penggunaan bahan ini juga akan membuat komputer desktop terlihat lebih keren.

Bobot yang dimiliki oleh Seagate FireCuda 120 ini sangat ringan, hanya 50 gram saja. Perangkat ini memiliki dimensi 100,35 x 70,1 x 7.1 mm yang cocok untuk dipasangkan pada laptop yang membutuhkan dimensi ketebalan penyimpanan 7 mm. Interfacenya sendiri adalah SATA 6 Gbps atau SATA III yang sampai saat ini masih banyak digunakan pada PC desktop dan laptop.

Seagate FireCuda 120 memiliki sebuah cip DRAM yang digunakan untuk meningkatkan kinerja serta menambah durabilitasnya. Cip NAND-nya sendiri menggunakan 96-layer BiCS4 3D TLC. Kontroler yang digunakan diproduksi oleh Phison dengan PS3112-S12, sehingga perangkat ini juga sudah mendukung SmartFlush yang bekerja untuk mencegah kehilangan data dengan membersihkan cache DRAM saat idle.

Seagate FireCuda 120 juga sudah didukung dengan Seagate Seatools. Software yang satu ini dapat memonitor keadaan FireCuda 120 sehingga pengguna tahu kapan harus mengganti SSD-nya. Sayangnya, pada Seatools tidak ditemukan fungsi TRIM manual. Firmware baru juga harus di-flash secara manual.

Pengujian

Penggunaan SSD sudah pasti akan lebih kencang jika dibandingkan dengan sebuah HDD. Seagate sendiri menjanjikan kinerja transfer data yang “mentok atas” pada sebuah interface SATA, yaitu 560 MB/s. Akan tetapi, kecepatan itu belum tentu tercapai saat digunakan sehari-hari.

Pada pengujian kali ini, saya akan menggunakan dua buah software benchmark, yaitu Crystal Disk Mark dan ATTO. Crystal Disk Mark sendiri saya gunakan dua versi, yaitu versi 6 dan 8, karena keduanya memiliki perhitungan yang berbeda. Berikut adalah hasilnya

Ternyata, hasil yang saya dapatkan sesuai dengan janji kinerja dari Seagate. FireCuda 120 mampu mencapai kinerja baca hingga 560 MB/s dan kecepatan tulisnya mencapai 540 MB/s. Hal ini tentu saja akan membuat kinerja sebuah komputer menjadi lebih kencang jika dibandingkan dengan sebuah hard disk biasa.

Kinerja gaming tentunya juga akan lebih baik jika dibandingkan dengan sebuah hard disk. Saya sudah mencoba keduanya menggunakan Valorant, di mana menggunakan FireCuda 120 dapat menghemat waktu lebih dari 8 menit. Hal ini juga akan membuat sebuah game terbebas dari lag yang disebabkan oleh loading aplikasi pada penyimpanan internal.

Apakah kecepatan seperti ini hanya untuk bermain game saja? Tentu tidak. Semakin tinggi kecepatannya maka semua pekerjaan akan menjadi lebih cepat diselesaikan. Rendering video mau pun gambar akan lebih cepat selesai jika dibandingkan dengan HDD biasa. Hal tersebut tentu saja berlaku untuk mereka yang menggunakan Office seperti spreadsheet dengan tab yang banyak.

Verdict

Mengganti media penyimpanan pada desktop dan laptop model lama saat ini sudah tidak lagi menjadi masalah. Sebuah HDD memiliki kinerja yang lambat tentu saja juga akan membuat sebuah pekerjaan lebih lama diselesaikan. Apalagi jika Anda seorang gamer, tentu saja membutuhkan kinerja media penyimpanan yang lebih kencang. FireCuda 120 SSD merupakan sebuah jawaban yang ditawarkan oleh Seagate.

Kinerja SSD yang memiliki kecepatan 560 MB/s ini sudah pasti bagus untuk menjalankan banyak game pada sebuah PC. Apalagi, hal tersebut didukung dengan endurance TBW yang panjang. Dengan ketebalan 7 mm membuatnya juga bisa dipasang pada sebuah laptop tipis yang mendukung SATA. SSD ini tentunya akan bertahan hingga waktu yang lama.

Seagate menjual FireCuda 120 2 TB dengan harga Rp. 5.500.000. Jika dilihat, harganya memang tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan yang ada di pasaran. Walaupun begitu, Seagate menawarkan TBW yang lebih panjang untuk sebuah SSD, yang membuatnya akan memiliki umur yang lebih panjang pula.

Sparks

  • Kinerja tinggi untuk sebuah SSD SATA
  • Casing metal
  • Dukungan SeaTools
  • Menggunakan DRAM
  • Dukungan recovery data dari Seagate
  • TBW yang cukup panjang

Slacks

  • Harganya cukup tinggi
  • Tidak tersedia enkripsi 256-bit AES
  • SeaTools tidak mendukung perintah TRIM manual

[Review] ASUS VivoBook S14 (M433) AMD Ryzen 5 5500U, Laptop 10 Juta dengan Performa Konsisten

Untuk segmen anak muda, ASUS mengandalkan lini laptop VivoBook guna menggempur pasar laptop kelas menengah ke atas. Keluarga VivoBook sendiri terdiri dari beberapa seri, mulai dari VivoBook original, VivoBook Pro, VivoBook S dan Ultra yang tampil stylish dengan bodi ringkas, hingga VivoBook Flip yang menawarkan fleksibilitas penggunaan berkat desain convertible 2-in-1.

Selain punya model yang beragam, ASUS juga menggunakan dua jenis prosesor yang berbeda yaitu dari Intel dan AMD yang biasanya harganya lebih terjangkau. Pada bulan Juni lalu, ASUS meluncurkan tiga laptop VivoBook yang ditenagai oleh prosesor mobile AMD Ryzen 5000 Useries, meliputi VivoBook Flip (TM420), VivoBook S14 (M433), dan VivoBook Ultra (M413).

DailySocial Gadget telah kedatangan VivoBook S14 (M433), kali ini saya mendapatkan warna gaia green dengan cover depan hijau yang mencolok dan area keyboard-nya berwarna silver. Unit yang saya review varian prosesor AMD Ryzen 5 5500U yang dibanderol Rp10.099.000. Sedangkan, varian tertinggi dengan AMD Ryzen 7 5700U dijual Rp11.799.000. Pembaruan apa yang disematkan oleh ASUS? Setelah sebulan lebih menggunakannya sebagai daily driver, berikut review ASUS VivoBook S14 (M433) selengkapnya.

Desain Stylish dengan Tepian Diamond Cut

Dari segi desain, penampilan VivoBook S14 (M433) tampak identik seperti pendahulunya. Ia memiliki perawakan tipis dan ringan dengan rupa yang menawan, dimensinya 324x213x15,9 mm dan berbobot 1,4 kg sehingga mudah dibawa bepergian dan cocok untuk bekerja secara mobile.

Cover depannya mengusung desain minimalis yang disebut negative space, dengan tulisan ‘ASUS VivoBook’ kecil berwarna silver. Seperti biasa, kita dapat mendekorasi bagian cover depan yang tersedia dalam gaia green, resolute red, dreamy silver, dan indie black sesuka hati dengan satu set stiker eksklusif di dalam paket penjualan.

Saya kebagian gaia green, warna ini terinspirasi dari alam. Saat laptop dibuka, terpampang layar 14 inci dengan desain NanoEdge display yang menghadirkan bezel samping layar tipis dengan screen-to-body ratio mencapai 85%, namun material bezel yang digunakan masih berbahan plastik. Selain itu, layar Full HD-nya menggunakan panel IPS-level dalam rasio 16:9, menawarkan sudut pandang 178 derajat, punya kecerahan maksimum 250 nits, dan mendukung color space NTSC di angka 45%.

Beralih ke bagian keyboard, VivoBook S14 (M433) punya tepian diamond cut dengan finishing bertekstur. Ciri khas tombol enter dengan tepian color-blocking juga masih disematkan pada chiclet keyboard yang dilengkapi backlit berwarna putih. Keyboard-nya memiliki key travel 1,4mm yang dapat menangani pengetikan cepat dan dilengkapi touchpad yang responsif berukuran besar.

Konektivitas dan Sistem Keamanan

Soal konektivitas, sebagai laptop masa kini VivoBook S14 (M433) hadir dengan beragam port. Termasuk dua port USB 2.0 Type-A dan microSD card reader di sisi kanan. Sedangkan pada sisi kiri terdapat port HDMI 1.4, USB 3.2 Gen 1 Type-A, 3.5mm combo audio jack, serta USB 3.2 Gen 1 Type-C untuk tranfer data lebih cepat dan mengkoneksikannya dengan berbagai perangkat eksternal.

Koneksi nirkabelnya mengandalkan Bluetooth 5.0 (dual band) dan WiFi 6 (802.11ax). WiFi generasi terbaru ini tiga kali lebih cepat, kapasitas jaringan hingga empat kali lebih banyak, dan latency hingga 75 persen lebih rendah daripada generasi sebelumnya.

Untuk masuk ke dalam sistem Windows 10, pengguna tidak perlu mengetik password karena sudah dilengkapi sensor sidik jari di pojok kanan atas touchpad yang terintegrasi dengan fitur Windows Hello. Saya mendaftarkan jari telunjuk, dari pengalaman saya asalkan jari bersih dan tidak basah maka kita dapat login lebih cepat.

Prosesor Mobile AMD Ryzen 5000 U-Series

Perubahan terbesar yang dibawa oleh VivoBook S14 (M433) terletak pada sisi performa, laptop Windows 10 Home yang telah dilengkapi dengan Microsoft Office Home & Student 2019 orisinil pre-Installed ini ditenagai prosesor mobile AMD generasi terbaru Ryzen 5000 U-series. Prosesor berfabrikasi 7nm dengan teknologi Zen 3 ini menawarkan peningkatan performa yang signifikan, namun tetap optimal dalam hal konsumsi daya.

Lebih lanjut, AMD Ryzen 5000 U-series memiliki TDP 15W dan didesain untuk laptop ultra thin yang berorientasi pada daya tahan baterai panjang dan mengedepankan mobilitas tinggi. Untuk varian AMD Ryzen 5 5500U, ia memiliki konfigurasi 6 core dan 12 thread dengan Max Boost hingga 4GHz dan cache 8MB.

Performanya ditopang RAM 8GB DDR4 dual-channel dan penyimpanan M.2 NVMe PCIe 3.0 SSD berkapasitas 512GB. Sementara, kebutuhan olah grafisnya mengandalkan integrated AMD Radeon Graphics. Detail spesifikasi menurut CPU-Z sebagai berikut:

Dengan konfigurasi tersebut, skenario apa yang cocok diemban oleh VivoBook S14 (M433)? Laptop ini ideal untuk menangani komputasi harian bagi pengguna umum, misalnya tugas dan aplikasi kantor ataupun sekolah, hingga mengerjakan project kreatif seperti edit foto dan video berdurasi pendek. Sebagai gambaran, hasil benchmark-nya dapat dilihat pada tabel berikut:

No Pengujian Skor
1 GeekBench 5 Single-Core 1115
2 GeekBench 5 Multi-Core 5504
3 PCMark 10 5274
4 Cinebench R15 1296
5 Cinebench R20 2912
6 3DMark Sky Diver 11219
7 3DMark Cloud Gate 19670

Mengingat prosesor yang digunakan versi hemat daya, laptop ini memang tidak dirancang untuk pekerjaan berat. Sebaliknya, VivoBook S14 (M433) lebih menekankan pada portabilitas, dengan keseimbangan antara performa dan masa pakai baterai. Walau begitu, kalau hanya sesekali diajak ngebut buat bermain game kasual atau editing video pada resolusi 1080p dengan durasi agak panjang harusnya bukan masalah.

Verdict

Kehadiran ASUS VivoBook S14 berbasis AMD selalu layak dinantikan, terlebih kini sudah ditenagai prosesor AMD generasi terbaru Ryzen 5000 series. Tentunya selain karena harganya yang lebih bersahabat daripada versi Intel, dari segi performa dan pengalaman pengguna yang ditawarkan bisa dibilang beda-beda tipis.

Bentuknya ringkas dengan desain stylish yang dirancang untuk generasi muda dan menawarkan performa yang mumpuni untuk menangani komputasi harian pengguna umum. Dua fitur utama yang membedakannya ialah versi Intel memiliki port Thunderbolt 4 dan tambahan discrete graphics NVIDIA GeForce MX350.

Sebagai pembanding, VivoBook S14 (M433) varian AMD Ryzen 5 5500U dibanderol mulai dari Rp10.099.000 dan Rp11.799.000 untuk versi Ryzen 7 5700U. Sementara, harga VivoBook S14 (S433) mulai dari Rp13.299.000 untuk varian Intel Core i5-1135G7 dan Rp15.099.000 untuk versi Intel Core i7-1165G7.

Sparks

  • Bentuk ringkas dan build quality cukup premium
  • Ditenagai prosesor mobile AMD Ryzen 5000 series
  • WiFi 6 dan punya port USB Type-C
  • Harga kompetitif mulai dari Rp10.099.000

Slacks

  • Bezel layar masih berbahan plastik
  • Belum mengadopsi USB Thunderbolt 4

[Review] OPPO Enco Air: TWS Suara Bagus, Cocok untuk Mendengar Musik, Bermain dan Olah Raga

Saat ini, mendengarkan musik mungkin sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi para remaja dan pekerja. Tidak heran jika pasar perangkat audio seperti earphone dan True Wireless Stereo meningkat permintaannya di Indonesia. Untuk ikut meramaikan pasar audio, OPPO juga telah mengeluarkan sebuah TWS baru. Nama dari TWS tersebut adalah OPPO Enco Air.

Terus terang, Enco Air adalah TWS pertama yang saya uji dari OPPO. TWS ini juga memiliki model open-ear yang tentu saja tidak akan masuk sepenuhnya ke dalam lubang telinga. Walaupun begitu, OPPO mempersenjatai perangkat ini dengan menggunakan driver sebesar 12 mm agar semakin banyak detail suara yang bisa terhantar ke dalam lubang telinga.

OPPO juga memberikan latensi yang cukup kecil pada TWS terbarunya ini. Hanya dengan latensi 80 ms akan membuat suara dari game akan terasa seperti tidak ada jeda. Selain itu, OPPO juga membuat baterai pada perangkat yang satu ini bisa bertahan lebih panjang. Jadi, TWS ini akan cocok digunakan dalam waktu satu hari penuh.

Spesifikasi dari OPPO Enco Air yang datang ke Dailysocial adalah sebagai berikut

Bobot 3,75 gram per earbuds, 40,4 gram case
Warna Putih
Versi Bluetooth 5.2
Ukuran Driver ⌀12 mm dynamic
Dimensi 60.0 x 53.2 x 23.5 mm (case), 35.8 x 18.9 x 17.7 mm (buds)
Kapasitas Baterai 440 mAh (case), 25 mAh (buds)

Unboxing

Isi dari paket penjualan OPPO Enco Air bisa dilihat pada gambar berikut ini

Desain

Untuk seri Enco Air, OPPO memilih model open ear. Hal ini tentu saja membuat semua suara yang dikeluarkan dari driver-nya tidak akan masuk secara keseluruhan. Model seperti ini akan menggantung pada daun telinga sang penggunanya. Namun jangan khawatir, OPPO sudah mendesainnya agar tidak mudah jatuh dari telinga.

OPPO menggunakan bahan plastik polikarbonat pada perangkat TWS yang satu ini. Tenang saja, build pada TWS ini termasuk dengan charging shell-nya terasa sangat kokoh. Jadi, tidak perlu khawatir charging shell-nya akan remuk saat ditaruh pada kantong belakang celana Anda dan tertimpa saat duduk. Earbuds-nya sendiri juga terasa kokoh sehingga terasa aman saat terjatuh.

Pada setiap earbuds-nya terdapat sebuah speaker, microphone, serta beberapa sensor. Pada ujung bagian atas dari batangnya, terdapat sensor sentuh yang bisa diubah fungsinya melalui aplikasi HeyMelody. Secara standar, fungsinya hanya akan menaik/turunkan volume, skip lagu, dan memanggil voice assistant. Anda harus mengubah sendiri agar bisa langsung mengubahnya ke mode gaming.

Dengan menggunakan model open ear, tentu saja sebuah driver berukuran besar dibutuhkan untuk menghantarkan suara. OPPO pun menggunakan driver dengan dimensi 12 mm yang tentu saja besar di kelasnya. Hal tersebut juga menandakan bahwa TWS ini akan memiliki suara bass yang cukup baik.

Bagi Anda yang gemar berolah raga juga akan menyukai OPPO Enco Air. Hal tersebut dikarenakan TWS ini sudah memiliki sertifikasi IPX4 yang tahan terhadap air dan debu. Jadi saat Anda sedang berkeringat, tidak lagi harus memikirkan apakah akan merusak TWS ini atau tidak. Saat terjatuh ke tanah, Anda juga tidak perlu khawatir karena debunya tidak akan merusak perangkat ini.

Case dari OPPO Enco Air yang memiliki desain semi transparan ini memiliki baterai yang juga cukup besar, yaitu 440 mAh. Setiap earbuds-nya sudah terpasang baterai sebesar 25 mAh yang mampu bertahan hingga 4 jam. OPPO menjanjikan bahwa dengan kombinasi baterai yang ada, perangkat ini bisa digunakan hingga 24 jam. Untuk mengisi baterai ke charging case, OPPO memilih port USB-C yang bisa digunakan untuk mengisi secara cepat.

Menggunakan OPPO Enco Air

Saat pertama kali menerima perangkat yang satu ini, saya cukup skeptis bahwa model open ear-nya tidak akan cocok dengan bentuk telinga saya. Bagaimana tidak, beberapa perangkat TWS dengan model yang sama selalu saja bergeser keluar sehingga suaranya tidak akan masuk dengan penuh ke rongga telinga dan mengurangi bass-nya. Namun hal tersebut berubah saat saya menggunakannya pertama kali sekitar 2 minggu sebelum artikel ini diterbitkan.

Ada yang berbeda dengan OPPO Enco Air, di mana OPPO berhasil membuatnya tidak tergeser jauh dari rongga telinga. Cukup mengejutkan juga mengingat sampai saat ini model TWS open ear belum banyak yang membuat saya kagum. Walaupun begitu, saat tidak pas, memang membuat suara yang dihasilkan mirip dengan beberapa TWS yang pernah saya uji. Hal tersebut membuat suara bass-nya hilang.

Perangkat ini saya pasangkan ke sebuah smartphone dan terpasang dengan codec AAC (Advanced Audio Coding). Suara yang dihasilkan memang terdengar lebih baik dibandingkan dengan SBC (Sub Band Codec). Proses pairing dari OPPO Enco Air pun sangat mudah dan tidak memerlukan tombol apa pun pada sisi case-nya. Tinggal buka case-nya dan hubungkan pada perangkat yang diinginkan.

Saat menguji, saya juga melakukan pemasangan aplikasi Hey Melody. Saat dijalankan, aplikasi yang satu ini langsung mendeteksi firmware terbaru untuk Enco Air. Tentunya, saya langsung melakukan upgrade firmware agar terhindar dari segala bug yang mungkin muncul.

Saat mendengarkan musik FLAC dan mendekatkan eartips ke rongga telinga, saya bisa merasakan bass yang dalam. Hal tersebut diimbangi dengan suara vokal yang lantang. Suara high terdengar cukup tajam dan seringkali sedikit menusuk. Namun, suara yang dihasilkan secara keseluruhan membuat saya tidak ingin berhenti mendengarkan musik.

Hal tersebut tentu saja berubah pada saat Enco Air sedikit tergeser keluar. Bass yang dikeluarkan memang sedikit menghilang. Sayangnya, suara high yang dihasilkan cukup menusuk ditelinga sehingga posisinya harus diubah dengan benar. Hal ini bisa diselamatkan dengan meningkatkan bass dari equalizer. Untungnya, OPPO Enco Air jarang tergeser terlalu jauh dari rongga telinga karena cukup pas dengan bentuk kuping saya.

Selain untuk mendengarkan musik, saya juga menggunakannya untuk bermain game. Saya beberapa hari menggunakan OPPO Enco Air untuk bermain game Valorant. Hasilnya dengan menyalakan game mode, suara yang dihasilkan hampir tidak memiliki lag sama sekali. Suara yang dihasilkan juga sangat detail untuk mendengarkan langkah kaki musuh serta arah desingan peluru.

Saya juga mencoba menggunakannya untuk melakukan panggilan via Whatsapp dan Telegram. Suara lawan bicara bisa terdengar dengan baik dan lantang. Sebaliknya, microphone-nya juga menghasilkan suara yang bagus untuk terdengar oleh lawan bicara. Pada saat melakukan panggilan inilah fitur noise cancellation dari OPPO Enco Air berfungsi.

Untuk menguji baterai, saya menggunakan OPPO Enco Air saat bermain game tanpa menggunakan mode gaming. Benar saja, perangkat ini akan bertahan hingga kurang lebih empat jam. Kemungkinan, pada saat mode game dinyalakan bakal membuatnya lebih boros lagi.

Untuk mengisi baterainya, saya langsung memasukkan earbuds ke charging case-nya. Untuk terisi secara penuh, OPPO Enco Air membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Waktu yang sama juga tercapai jika saya melakukan isi ulang langsung dengan menancapkan USB-C. Jadi, perangkat ini bisa menemani saya seharian saat sedang bekerja mau pun bermain game.

Verdict

Kebiasaan orang untuk mendengarkan musik tentu menjadi sebuah kesempatan bagi vendor untuk menawarkan produknya. Apalagi, saat ini tren perangkat audio nirkabel sedang naik daun karena tidak ribet dengan kabel yang menggantung. OPPO juga memiliki perangkat mendengarkan musik tanpa kabel sama sekali. Yang terbaru adalah OPPO Enco Air.

Saat mendengarkan dengan OPPO Enco Air, kuping saya terasa cukup nyaman. Saat posisinya benar-benar pas, kualitas suara yang dihasilkan memang terdengar bagus. Namun, akan ada saatnya di mana posisi dari TWS ini tidak pas sehingga kualitas suaranya akan berkurang. Dan memang disayangkan perangkat ini tidak memiliki ANC untuk mendengarkan lagu dan hanya ada noise cancellation untuk panggilan suara.

OPPO juga mempersenjatai Enco Air dengan daya tahan baterai yang cukup panjang. Selain itu, mereka yang gemar bermain game FPS juga bisa menggunakan TWS ini karena memiliki mode game. Untuk yang gemar berolah raga juga tidak perlu khawatir TWS ini akan rusak karena keringat karena sudah memiliki sertifikasi IPX4.

Ternyata, dengan kualitas suara yang baik serta fitur gaming tidak membuatnya dijual sangat mahal oleh OPPO. Konsumen bisa mendapatkan TWS OPPO Enco Air hanya dengan harga Rp. 999.000 saja. Untuk membelinya, konsumen bisa langsung mendatangi jalur distribusi OPPO secara online seperti OPPO Store dan official store pada beberapa ecommerce.

Sparks

  • Suara bass dan mid yang bagus serta detail
  • Latensi rendah dengan menggunakan mode game
  • Daya tahan baterai yang cukup lama
  • Aplikasi Hey Melody yang mampu meningkatkan firmware
  • Tahan terhadap air keringat serta debu
  • Noise Cancellation saat sedang melakukan panggilan suara

Slacks

  • Suara bass berkurang saat posisi tergeser menjauhi rongga telinga
  • Tidak ada Active Noise Cancelling untuk mendengarkan musik