EV Growth Bukukan 3,4 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Pertamanya

EV Growth, perusahaan modal ventura hasil joint-venture East Ventures, SMDV, dan Yahoo! Japan Capital, hari ini (30/12) mengumumkan telah membukukan $250 juta (hard cap) setara 3,4 triliun Rupiah dalam pengumpulan dana pertamanya. Angka ini melebihi nominal yang ditargetkan sebelumnya, yakni $150 juta. Temasek dan beberapa perusahaan keluarga di kawasan Asia turut terlibat dalam putaran ini sebagai LP (Limited Partner).

Perusahaan mengklaim, saat ini mereka telah menyalurkan lebih dari 50% total dana yang dikumpulkan ke dalam 20 kesepakatan pendanaan. Sebanyak 80% startup yang mendapatkan kucuran dana dari Indonesia. Turut diinformasikan internal rete of return pendanaan berkisar 36%.

Sejak didirikan pada Maret 2018, pemodal ventura berbasis di Singapura tersebut sudah mengucurkan dana investasinya ke beberapa startup, termasuk pendanaan seri C Ruangguru, seri D Sociolla, seri B Warung Pintar, dan sebagainya.

“Pengalaman operasi perusahaan kami, kecepatan transaksi, pengetahuan lokal dan jaringan regional telah membantu kami mendapatkan beberapa penawaran terbaik di wilayah ini. Kami berencana untuk menggelontorkan $325 juta untuk startup Asia Tenggara yang menggabungkan pendanaan aktif untuk tahap perusahaan awal dan perusahaan fase pertumbuhan,” ujar Willson Cuaca, selaku Managing Partner EV Growth sekaligus Co-Founder East Ventures.

Selain Willson, EV Growth turut dinakhodai oleh Roderick Purwana dari SMDV, dan Shinichiro Hori dari Yahoo! Japan Capital. Tidak hanya di Indonesia, fokusnya menyasar startup di seluruh Asia Tenggara.

EV Growth “Oversubscribed”, Kumpulkan Dana 2,9 Triliun Rupiah

EV Growth, dana investasi untuk startup tahap lanjut Asia Tenggara, mengumumkan telah mengumpulkan dana Fund 1 sebesar $200 juta (hampir 2,9 triliun Rupiah), lebih besar dari target awal $150 juta. Termasuk dalam jajaran investor untuk dana kali ini adalah SoftBank Group Corp, Pavilion CapitaI, Indies Capital, dan investor regional lainnya.

Didirikan pada awal tahun 2018 lalu, EV Growth dikelola East Ventures, SMDV, dan Yahoo Japan (YJ) Capital untuk membantu startup yang membutuhkan dana tahap Seri B atau lebih lanjut (growth stage). Sejauh ini EV Growth telah menginvestasikan 40% dananya ke 12 startup, 90% di antaranya berasal dari Indonesia, termasuk Sociolla, Ruangguru, IDN Times, Moka, dan Warung Pintar.

Partner EV Growth Willson Cuaca mengatakan, “Kami mendirikan EV Growth untuk membantu para startup terbaik di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas pada portofolio East Ventures. Waktu pendirian, besarnya dana investasi, dan kecepatan kami dalam mengeluarkan dana investasi, semuanya tepat, dan kami senang bisa mengundang dana investasi ‘pintar’ [smart money] selama masa penggalangan dana yang singkat ini. Kami percaya bahwa EV Growth akan memberikan pengaruh kepada ekonomi digital di Asia Tenggara dalam waktu yang cepat.”

Masuknya Softbank Group sebagai investor di dana ini menegaskan besarnya potensi startup di pasar Asia Tenggara ini. Sebelumnya Softbank telah berinvestasi di beberapa startup unicorn, seperti Tokopedia dan Grab.

“Bagi SMDV, kolaborasi ini menandai evolusi selanjutnya dari apa yang telah kami lakukan di sektor teknologi Asia Tenggara selama lima tahun terakhir. [..] Kami percaya bahwa kami telah memiliki sistem dan tim yang tepat untuk menghadapi peluang yang terus berkembang dalam pendanaan startup di tahap pertumbuhan (growth stage) di Asia Tenggara,” ujar Partner EV Growth Roderick Purwana.

East Ventures, Yahoo Japan Capital, dan SMDV Dirikan EV Growth

Masih rendahnya jumlah startup lokal yang masuk dalam tahapan pendanaan Seri B ke atas menjadi salah satu alasan mengapa East Ventures, SMDV dan Yahoo Japan Capital melakukan kolaborasi dengan mendirikan venture capital bernama EV Growth.

Kepada media hari ini, Managing Partner dan Pendiri East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan, dengan hadirnya EV Growth diharapkan startup lokal tidak harus keluar negeri saat melakukan fundraising tahapan B ke atas.

“Saya masih melihat adanya gap untuk startup lokal yang ingin masuk ke tahap pendanaan Seri B dan selanjutnya. Meskipun EV Growth terbuka untuk pasar di Asia Tenggara, namun fokus kami masih di Indonesia.”

Sebelum meluncurkan EV Growth, perwakilan East Ventures, Yahoo Japan Capital dan SMDV sudah melakukan pertemuan sejak bulan September 2017 lalu. Karena adanya kesamaan visi dan misi tersebut, akhirnya pendirian EV Growth diresmikan.

“Yahoo Japan Capital sendiri selama ini kesulitan untuk menemukan startup yang tepat untuk didanai. Sesuai dengan tujuan kami untuk menjalin kemitraan dengan partner lokal, kami memutuskan untuk melakukan kolaborasi dengan East Ventures dan SMDV sesuai dengan track record yang baik selama ini,” kata CEO Yahoo Japan Capital Shinichiro Hori.

Salah satu fokus EV Growth adalah startup yang sudah masuk dalam growth stage dan post-revenue. Pendanaan, networking, dan pengalaman yang telah dimiliki East Ventures, SMDV dan Yahoo Japan, bisa dimanfaatkan startup melalui EV Growth.

“Kami dari Yahoo Japan memiliki pengalaman di bidang layanan internet, C2C marketplace, bank online, layanan kartu kredit hingga mobile payment services. Bukan hanya memberikan pendanaan diharapkan pengalaman tersebut bisa dimanfaatkan oleh startup,” kata Shinichiro.

Implementasi pemberian dana untuk startup

EV Growth akan aktif beroperasi di kuartal kedua tahun 2018 dan menargetkan pengumpulan pendanaan sebesar $150 juta. Saat ini disebut sudah ada komitmen sebesar $100 juta oleh ketiga perusahaan modal ventura.

“Nantinya kita akan melakukan pendekatan yang berbeda dari East Ventures terkait dengan pemilihan hingga pemberian investasi kepada startup. Bukan hanya portofolio dari East Ventures, EV Growth membuka kesempatan untuk semua startup di Indonesia,” kata Wilson.

Di pendanaan tahap pertama, EV Growth diharapkan dapat berinvestasi di startup dengan nilai investasi awal di tiap perusahaan dimulai dari $5 juta. Target yang ingin dicapai adalah pendanaan untuk 20-30 startup.

“Perjanjian dengan pendiri startup nantinya berupa 10 tahun, yaitu 5 tahun pertama pemberian investasi dan 5 tahun terakhir fokus kepada return, menyesuaikan kondisi pasar,” kata Shinichiro.

Fokus EV Growth saat ini adalah mencari startup yang masuk dalam kategori incaran. Disinggung apakah sudah ada bocoran nama-nama startup yang bakal mendapatkan pendanaan, Managing Partner SMDV Roderick Purwana mengungkapkan sudah ada beberapa yang dalam proses eksekusi, namun enggan menyebutkan siapa saja.

“Baik East Ventures, SMDV, dan Yahoo Japan Capital masing-masing memiliki pengalaman dan investasi untuk menambahkan modal startup di Indonesia agar bisa mengembangkan bisnisnya, sesuai dengan tujuan EV Growth,” kata Penasihat Senior SMDV Franky O. Widjaja.

Gambaran Kondisi Investasi Startup Indonesia Di Mata Pemain Modal Ventura

Startup digital di Indonesia jumlahnya memang terus tumbuh hingga kini, tidak ada data pasti yang menyebut berapa total startup yang beroperasi di Indonesia. Sebagai gambaran, Telkomtelstra pernah menyebut jumlah startup sekitar 2 ribu perusahaan atau tertinggi di Asia Tenggara. Untuk fintech sendiri, OJK mendata ada sekitar 157 perusahaan fintech yang beroperasi, sekitar 80% di antaranya bergerak di bisnis lending.

Lahirnya berbagai startup tersebut menjadi indikasi timbul semangat dari orang Indonesia untuk menjadi wirausahawan dengan membangun usaha sendiri. Bisnis yang mereka jalankan sebagian besar mengklaim bertujuan untuk memberikan pemecahan masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Sebuah diskusi panel yang diadakan Convergence Ventures, kemarin (21/2), menyoal tentang peluang investasi teknologi di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Abraham Hidayat (Skystar Capital), Dirk van Quaquebeke (Beenext), Eddi Danusaputro (Mandiri Capital Indonesia), dan Roderick Purwana (Sinar Mas Digital Ventures), serta dimoderatori Adrian Li (Convergence Ventures).

Mengenai hal-hal yang telah dipelajari para pemain modal ventura semenjak menginvestasikan dananya ke perusahaan startup, ada beberapa poin yang perlu ditekankan. Roderick mengatakan pihaknya mempelajari bahwa kebanyakan dari mereka belum mampu menunjukkan rencana matang untuk proses scaling up.

Padahal scaling up itu merupakan tantangan startup yang sebenarnya. Berapa lama mereka bisa bertahan dalam kondisi ketika harus dihadapkan pada perubahan dinamika pasar, persaingan, hingga berbagai permasalahan internal.

Menurutnya, untuk mendapatkan traksi saat pertama kali baru berdiri memang cukup mudah. Meskipun demikian, ketika dituntut untuk bertumbuh, mereka mengalami kesulitan.

Di sisi lain, Abraham bilang dirinya lebih memerhatikan kualitas founder itu sendiri, bagaimana mereka dapat memimpin diri sendiri, orang lain, dan membangun tim yang solid. Abaraham juga menekankan pada pentingnya komunikasi rutin secara fisik tanpa memanfaatkan fasilitas video chat.

“Sebab pada akhirnya komunikasi tatap muka dan berkumpul secara rutin itu lebih mudah dalam mengelola suatu perusahaan, ketimbang harus video chat karena lokasi tempat tinggal yang berbeda. Mengelola tim yang remote memiliki kelemahan tersendiri,” kata Abraham.

Tak hanya itu, Abraham mengatakan bahwa Indonesia masih mengalami kekurangan talenta yang berkualitas. Inti permasalahan ini sebenarnya karena belum dianggap pentingnya potensi dari ilmu bidang teknologi informasi. Padahal, bidang ilmu ini adalah dasar dari pengembangan kualitas talenta di dunia startup.

Senada dengan Abraham, Quaquebeke menambahkan kurangnya talenta Indonesia membuat negara ini jadi masih tertinggal dari India dan Tiongkok.

“Karakter orang tua di India, mereka selalu mendorong anaknya untuk terus merasa penasaran dan mendorong anaknya untuk menuntut ilmu di luar negeri. Beberapa hal inilah yang membuat India jadi lebih baik dari Indonesia,” katanya.

Sementara bagi Eddi, dia menekankan pada sikap proaktif pemerintah Indonesia dalam membuat suatu regulasi, dalam hal ini adalah OJK dan Bank Indonesia. Menurutnya, regulasi mengenai bisnis fintech di Indonesia saat ini memang belum lengkap, namun sikap yang ditunjukkan regulator memperlihatkan bahwa mereka sangat memerhatikan kondisi terkini.

Dalam proses pembuatan regulasi pun, regulator seringkali mendiskusikan terlebih dahulu dengan para pemain untuk dimintai masukan sebagai bahan dasar pertimbangan. Eddi menyarankan kepada para investor untuk mempelajari dengan betul bagaimana aturan main di Indonesia.

Sektor startup lainnya yang berpotensi akan besar

Eddi melanjutkan, dirinya melihat ada potensi yang besar dari sektor big data dan keamanan data. Dua sektor ini dinilai akan menunjang bisnis layanan keuangan Indonesia. Tak hanya itu, keamanan data juga disebut Quaquebeke bakal dibutuhkan ke depannya, terutama untuk menunjang sektor Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Sementara itu, Roderick memprediksi bahwa sektor startup yang bakal pesat ke depannya adalah machine learning, sebab hal ini dapat membantu startup untuk scale up.

Adapun bagi Abraham, beberapa sektor startup yang bakal menarik adalah fintech, healthtech, dan edutech. Ia menilai sudah ada beberapa startup yang bergerak di sektor tersebut hanya saja, menurutnya, masih ada pasar yang belum dijangkau oleh mereka.

Menyelaraskan Dunia Startup dan Korporat

Ibarat minyak dan air, cara kerja startup sangat berbeda dengan korporat. Akan tetapi, di sisi lain, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya kedua entitas ini saling membutuhkan satu sama lain. Terlebih perkembangan saat ini yang mulai mengarah ke digitalisasi. Sekarang pertanyaanya adalah mengapa keduanya membutuhkan sinergi dan bagaimana caranya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Managing Partner SMDV Roderick Purwana menjelaskan sejatinya tidak ada korporat besar yang bisa mahir dalam segala hal. Dengan segala kelebihannya, korporat juga memiliki keterbatasan. Mereka tidak bisa bergerak ‘selincah’ startup, padahal mereka selalu membutuhkan inovasi agar bisnisnya terus berjalan dan sejalan dengan perkembangan zaman.

Akan tetapi, terkadang inovasi itu tidak selalu berasal dari dalam orang dalam perusahaan saja. Makanya korporat butuh para inovator dari pihak luar yang memiliki cara berpikir “out of the box”, tidak seperti karyawan korporat yang sudah terpatri dengan ketatnya aturan.

Sinar Mas Group mendirikan perusahaan modal ventura yang diberi nama SMDV (Sinar Mas Digital Venture). Modal ventura korporat ini memiliki tugas untuk menyinergikan seluruh lini pilar bisnis, yang bergerak di pulp & kertas, agribisnis & makanan, jasa keuangan, telekomunikasi, properti, energi & infrastruktur, media, dan lainnya, untuk mengarah ke digital.

SMDV sifatnya menjadi katalis, bertugas sebagai jembatan antara startup digital yang mereka danai dengan Sinar Mas Group. “Korporat itu ibarat kapal besar dengan navigasi yang rumit dan susah, sementara startup itu seperti speedboat yang fleksibel karena resource-nya tidak butuh banyak. Makanya mereka itu butuh digandeng,” terang Roderick.

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Direktur Astra International Paulus Bambang. Dia mengatakan dalam korporat sebesar Astra pun sebenarnya butuh semangat kerja “startup” yang menyebabkan perusahaan bisa maju. Sementara ini, Astra baru membuka kesempatan “pitching” ide untuk kalangan karyawan Astra. Jadi, setiap karyawan yang memiliki ide dipersilahkan untuk menuangkannya dalam sehelai halaman berformat Power Point.

“Kami hanya fokus ke Indonesia saja [untuk ide], sebab kami paham orang Indonesia tahu persis Astra seperti apa. Makanya diharapkan bisa menciptakan inovasi yang tepat untuk Astra. Just one page PPT [format Power Point] berisi data untuk proof concept dan silahkan kirim. Tidak perlu yang kompleks. Bila terpilih, karyawan akan diajak untuk turun langsung [mewujudkan idenya],” kata Paulus.

Untuk mendukung ekosistem startup digital di Indonesia, sementara ini Astra baru menjadi mitra Plug and Play Indonesia. Astra International saat ini belum memiliki rencana mendirikan perusahaan modal ventura yang bergerak khusus menyuntik dana segar ke startup digital.

Astra International sudah memiliki modal ventura sendiri, yakni Astra Mitra Ventura (AMV). Hanya saja, AMV saat ini masih memfokuskan ke pendanaan untuk sektor UKM non digital, beberapa di antaranya merupakan mitra Astra yang bergerak di manufaktur, otomotif, perkebunan, dan lain sebagainya.

“AMV itu baru untuk UKM biasa. Kami belum tahu apakah nantinya mau pakai itu [AMV] atau bentuk khusus [untuk startup digital]. Belum ada pembicaraan. Kami kan sudah ada arm [modal ventura], belum tahu apakah akan digabung ke AMV atau bentuk lagi terpisah.”

Ambil porsi saham minoritas

Hubungan simbiosis mutualisme antara startup dengan korporat harus terus terjalin. Agar jiwa semangat startup tetap hidup, menurut Roderick, sebaiknya korporat harus menyuntik dana dengan penyertaan saham minoritas. Tujuannya agar startup yang didanai tidak terkekang dengan aturan korporat yang menjelimet dan semangat kerja startup tidak luntur.

“Makanya dalam SMDV, kami ambil porsi minoritas agar identitas startup dalam perusahaan yang kami danai tetap hidup. Kami bantu mereka agar inovasi bisa terus berkembang, maintain, dan support apa yang bisa kami berikan kepada mereka agar bisa sama-sama sukses,” sambung Roderick.

Selain itu, antara investor dengan startup harus memiliki batasan fungsi kontrol dan kepemilikan. Model bisnis SMDV sedari awal adalah fungsi kontrol dengan tidak mengambil saham mayoritas, sehingga manajemennya terpisah.

“Kami tidak ikut kontrol perusahaan startup karena kebanyakan setiap pendanaan baru kami tidak masuk sendiri, ada investor lainnya. Keuntungannya bagi startup, mereka masih memiliki identitas sendiri dan secara finansial independen karena manajemennya terpisah.”

Cara startup gaet konsumen korporat

Tak ketinggalan, dalam acara diskusi panel dihadiri oleh Founder dan CEO Bizzy Peter Goldsworthy. Bizzy merupakan salah satu pelopor e-commerce B2B untuk suplai perlengkapan kantor dan layanan bisnis. Meski tergolong perusahaan startup, Goldsworthy mengklaim pihaknya mampu melayani kebutuhan korporat sebagai target konsumen Bizzy.

Menurutnya, kunci utama agar bisa menarik korporat menjadi konsumen, sekaligus investor adalah membuat produk yang sesuai kebutuhan. Selain itu, startup harus bisa merekrut pekerja yang tepat untuk mendukung proses bisnis.

“Startup itu seperti yang dikatakan Roderick adalah speedboat. Oleh karena itu geraknya harus cepat dan tepat agar bisa mendapatkan perhatian dari korporat besar,” ujarnya.

Baru-baru ini, Bizzy mengeluarkan produk terbarunya Bizzy Travel dan Bizzy Guide. Kedua produk ini diklaim dapat membantu korporate untuk mengatur dan memonitor pemesanan hotel domestik, dan panduan pembelian perangkat TI yang tepat untuk UKM.

East Ventures Buka Co-Working Space EV Hive Kedua

East Ventures mengumumkan kehadiran co-working space EV Hive yang kedua di kawasan The Breeze, BSD City. Pendirian lokasi kedua ini berkolaborasi dengan perusahaan investasi Sinar Mas, SMDV. EV Hive kedua ini memiliki luas area 432 meter persegi dengan 32 tempat duduk di common area, 6 kantor privat, dan 4 ruang konferensi. Sebagai kelengkapan, co-working space ini memiliki satu game room dan 2 quite room untuk melakukan conference call.

Pemilihan kawasan BSD, yang sebenarnya cukup jauh dari Jakarta, berbasiskan kepercayaan bahwa BSD nantinya juga bisa menjadi sebuah hub bisnis dan teknologi. Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyebutkan kehadiran 4 universitas di sekitar BSD menjadi pendorong kuat potensi ini.

Willson mengatakan, “Permasalahan startup teknologi saat ini adalah merekrut talenta yang tepat. Startup dapat mengatasi permasalahan ini dengan memposisikan kantor dekat tempat yang percaya adalah hub talenta.”

Universitas di seputaran BSD adalah Binus, Prasetiya Mulya, UMN, dan Swiss German University (SGU).

Managing Partner SMDV Roderick Purwana menambahkan, “Kami percaya bahwa BSD City akan berada di posisi vital di ekosistem teknologi Indonesia dalam waktu dekat. Bahkan sekarang, lokasi ini sudah memiliki semua bahan yang dibutuhkan, termasuk infrastruktur, akses, dan orang-orang [yang terlibat di ekosistem]. Kehadiran EV Hive tidak hanya memvalidasi kepercayaan ini, tetapi juga mengakselerasi BSD City sebagai pendorong komunitas.”

Sebelumnya EV Hive pertama sudah berdiri di kawasan Kebayoran Baru, sementara SMDV juga memiliki ruang komunitas teknologi D.LAB di daerah Menteng yang menjadi kantor sejumlah startup binaannya.

Meskipun co-working space menjadi tren baru berkantor dan berkolaborasi, tidak semua bisnis di sektor ini mampu bertahan lama. Comma, sebuah co-working space yang berdiri sejak tahun 2012, mengucapkan selamat tinggal akhir Maret lalu.

EV Hive The Breeze dibuka untuk umum, baik untuk UKM di industri kreatif, freelancer, dan startup tahap awal pada tanggal 28 April mendatang. Untuk memperkenalkan konsep co-working space bagi konsumen di seputaran BSD, EV Hive The Breeze menyediakan kesempatan uji coba gratis selama 3 hari bagi yang mengisi data di halaman ini.

Mengenal Ruang Komunitas Teknologi D.LAB

Ruang komunitas teknologi D.LAB buatan SMDV / SMDV

Memiliki kantor atau inkubator bagi startup portolionya menjadi tren baru bagi investor di Indonesia. Setelah CyberAgent Ventures dan East Ventures mengembangkan konsep ini di Jakarta, kini giliran Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) yang memperkenalkan D.LAB. D.LAB yang berlokasi di pusat kota Jakarta akan menjadi pusat kegiatan SMDV dan perusahaan portofolionya, termasuk yang dikembangkan oleh Ardent Capital.

Continue reading Mengenal Ruang Komunitas Teknologi D.LAB

Ardent Capital Receives $12.5 Million Funding from Sinarmas Group and Opens Indonesia Office

The investment company and venture builder Ardent Capital, which is based in Thailand, announces that it has already received $12.5 million (around Rp 150 billion) from group of investor led by Sinarmas Group and supported by several existing investors. The fund will be utilized to expand the business built by Ardent within Ardent Labs, including aCommerce and online retail group WhatsNew. Roderick Purwana from Sinarmas will join Ardent board.

Continue reading Ardent Capital Receives $12.5 Million Funding from Sinarmas Group and Opens Indonesia Office

Ardent Capital Peroleh Dana $12,5 Juta dari Sinarmas dan Buka Kantor di Indonesia

Perusahaan investasi dan pembangun bisnis Ardent Capital yang berbasis di Thailand mengumumkan perolehan dana sebesar $12,5 juta (sekitar Rp 150 miliar) dari grup yang dipimpin oleh Sinarmas dan didukung oleh sejumlah investor lainnya. Dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan bisnis yang dibangun oleh Ardent Capital dalam Ardent Labs, termasuk di dalamnya aCommerce dan grup ritel online WhatsNew. Roderick Purwana bergabung di dewan direksi Ardent sebagai perwakilan Sinarmas.

Continue reading Ardent Capital Peroleh Dana $12,5 Juta dari Sinarmas dan Buka Kantor di Indonesia