Scale Up: Pengertian, Fungsi Ciri, dan Strategi untuk Melakukannya

Scale up adalah salah satu strategi bisnis untuk mengembangkan sebuah perusahaan agar semakin besar. Tujuannya, agar perusahaan mampu bersaing di pasar yang lebih luas dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Lantas, apa yang sebenarnya dimaksud dengan scale up dan kapan waktu yang tepat untuk melakukannya? Simak penjelasan selengkapnya dalam artikel ini!

Pengertian Scale Up

Pada dasarnya, scale up adalah meningkatkan sesuatu. Mengutip dari Tech Nation, scale up adalah fase pertumbuhan perusahaan ketika mereka sudah mengalami berbagai proses perkembangan dan kesuksesan, sehingga siap untuk memasuki fase selanjutnya.

Sebuah perusahaan yang melakukan scale up berarti cukup mapan dan mumpuni untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Oleh sebab itu, metode scale up yang dilakukan harus mampu mendorong perusahaan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar tanpa mengeluarkan banyak biaya dan sumber daya yang ada.

Fungsi Scale Up

Secara umum, scale up memiliki fungsi utama untuk mengembangkan suatu perusahaan menjadi sebuah bisnis dengan skala yang lebih besar. Hal ini dilakukan agar perusahaan mampu mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya.

Selain itu, scale up juga berfungsi agar perusahaan dapat berkembang dan bertahan dalam menghadapi persaingan antar kompetitor dalam pasar.

Ciri Perusahaan yang Siap Melakukan Scale Up

Meski memiliki fungsi yang menguntungkan, scale up tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Untuk itu, sebelum melakukan scale up, ada baiknya jika kamu mengetahui ciri-ciri perusahaan yang siap melakukannya.

  1. Perusahaan yang memiliki trafik penjualan konsisten dan terus meningkat seiring berjalannya waktu.
  2. Memiliki pelanggan tetap yang loyal dalam membeli dan menggunakan produk.
  3. Berhasil mengatasi berbagai risiko dan hambatan dengan baik.
  4. Terbatasnya sumber daya hingga berpengaruh dalam memenuhi permintaan konsumen.
  5. Membutuhkan campur tangan profesional yang bermanfaat untuk meningkatkan mutu produksi serta kelancaran distribusinya.

Strategi untuk Melakukan Scale Up

Apabila perusahaanmu sudah mengalami beberapa ciri-ciri di atas, maka tandanya perusahaanmu perlu melakukan scale up. Untuk itu, kamu perlu mengetahui beberapa strategi yang tepat untuk menerapkannya.

Lakukan Evaluasi dan Buat Rencana

Sebelum melakukan scale up, kamu perlu melakukan evaluasi dulu terhadap perusahaanmu. Evaluasi diperlukan untuk mengetahui apakah bisnismu benar-benar siap berkembang menjadi lebih besar.

Jika evaluasi telah dilakukan, jangan lupa buat rencana yang matang untuk melakukannya. Dalam hal ini, kamu bisa menentukan strategi apa yang paling tepat untuk kamu gunakan dan bagaimana cara mengimplementasikannya.

Pahami Risiko dan Hambatan

Risiko dan hambatan adalah dua hal yang mungkin tidak bisa dihindari dalam bisnis, tanpa terkecuali dalam proses scale up. Meski begitu, risiko dan hambatan bisa diatasi jika kamu sudah menyiapkan diri untuk menghadapinya.

Untuk menghadapinya, kamu perlu mencari tahu dan memahami berbagai risiko yang mungkin akan terjadi dalam proses scale up. Beberapa risiko yang mungkin terjadi, seperti kurangnya keterampilan pemimpinan, kurangnya dana, arus kas yang lemah, dan lain sebagainya.

Siapkan Dana yang Cukup

Biaya adalah hal utama yang perlu diperhatikan dalam proses scale up. Pasalnya, untuk mengembangkan sebuah perusahaan, tentu kamu membutuhkan biaya yang jumlahnya tidak sedikit.

Oleh sebab itu, sebelum melakukan scale up, kamu harus memastikan kondisi keuangan perusahaanmu terlebih dahulu. Jika dinilai tidak cukup, maka kamu perlu untuk mendapatkan modal tambahan dengan cara mengajukan pinjaman ke bank, mencari investor, capital venture, dan lainnya.

Belajar dari Perusahaan Lain yang Telah Berhasil

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Untuk itu, agar proses scale up yang kamu lakukan berhasil, kamu juga perlu belajar pada perusahaan lain yang telah berhasil melakukannya.

Meski mereka dianggap sebagai kompetitor, namun tidak salahnya untuk belajar dari mereka. Kamu bisa melakukan analisis sederhana mengenai cara mereka untuk mendapat kesuksesan yang mungkin bisa kamu terapkan juga pada bisnismu.

Pertahankan Nilai Bisnismu

Nilai bisnis adalah hal penting yang perlu dipertahankan agar sebuah bisnis dapat berkembang sesuai tujuan yang diinginkan. Meski mengembangkan bisnis kemungkinan akan mengubah banyak aspek dalam perusahaanmu, namun jangan jadikan hal tersebut sebagai hal yang dapat mengubah nilai bisnismu.

Bentuk Tim yang Dapat Mendukungmu

Aspek paling penting dalam mengembangkan perusahaan adalah dengan membentuk tim yang dapat mendukungmu. Sebab, karyawan yang kompeten dan memiliki kinerja yang bagus akan membantumu dalam meningkatkan kualitas perusahaanmu.

Nah, demikian penjelasan lengkap mengenai scale up dalam bisnis. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa scale up adalah proses penting yang perlu dilakukan untuk mengembangkan sebuah perusahaan menjadi lebih besar.

Kiat Scale Up Bisnis Beserta Tipsnya, Ronald: Tidak Perlu Tergoda Ikutan Trend, Instant Itu Cenderung Rentan

Istilah scale up mungkin sudah tidak asing lagi bagi Anda pelaku bisnis. Setiap bisnis pasti berharap untuk bisa melakukan scale up. Namun, nyatanya, tidak semua bisa mengeksekusinya dengan baik. Lalu, sebenarnya bagaimana cara untuk melakukan scale up bisnis dengan baik?

Ronald Sipahutar, Country Manager Borong Indonesia, membagikan beberapa tips dan cara melakukan scale up untuk bisnis dari berbagai skala, baik UMKM maupun skala besar sekalipun. Tapi, sebelum itu, simak terlebih dahulu pengertian dari istilah scale up menurut Ronald.

Apa Itu Scale Up?

Secara umum, kata atau istilah scale up ini artinya adalah berkembang. Namun, dalam bisnis, scale up memiliki arti berkembang dalam berbagai bentuk, seperti memperluas cakupan layanan, memperbesar volume produksi, dan menambah jenis layanan. Ronald juga memberikan contoh untuk masing-masing bentuk perkembangan tersebut.

“Memperluas cakupan layanan, misalnya dari penjualan hanya sekitar rumah, sekarang berkembang sekelurahan atau sekecamatan. Memperbesar volume produksi, misalnya selama ini hanya produksi PO based, kemudian kuota per 1000 pack. Menambah jenis layanan, sebelumnya hanya melayani pembelian retail satuan, kemudian mulai menyediakan layanan B2B atau catering untuk F&B,” tuturnya.

Dalam kata lain, scale up dalam bisnis merupakan sebuah strategi untuk mengembangkan bisnis, baik dari segi penjualan, produksi, atau layanan.

Kapan Sebuah Bisnis Harus Melakukan Scale Up?

Ronald mengatakan bahwa terdapat satu hal yang bisa menjadi tanda sebuah bisnis perlu melakukan scale up, yakni ketika growth sales mulai mengalami stagnan.

“Saat market yang mereka layani saat ini sudah mulai masuk tahap mature, yang biasanya ditandai dengan growth penjualan yang mulai mengecil dan cenderung stagnan. Dimana ini artinya frekuensi pembelian sudah mendekati maksimal atau maximum wallet share customer sudah mentok,” ujarnya.

Jadi, ketika jumlah penjualan menurun atau bertahan di angka yang sama, di situlah sebuah bisnis perlu melakukan scale up dari segi penjualan, produksi, atau layanan agar bisa meningkatkan pertumbuhan penjualan atau setidaknya bertahan di market yang sudah ada.

Tahapan Persiapan Scale Up untuk Bisnis

Di atas telah disebutkan bahwa dalam tidak sedikit bisnis yang gagal dalam melakukan scale up. Hal itu mungkin dikarenakan kurangnya persiapan matang sebelum proses eksekusi scale up.

Menurut Ronald, sebelum melakukan scale up, terdapat beberapa aspek yang perlu di-assess sebagai persiapan. Beberapa aspek tersebut kemudian ia bagi menjadi dua, yaitu aspek internal dan eksternal.

Asesmen Aspek Internal

Aspek internal merupakan aspek yang terdapat di dalam bisnis. Melakukan asesmen terhadap aspek internal akan membantu suatu bisnis untuk bisa menilai apakah bisnis tersebut sudah siap atau belum untuk melakukan scale up.

Ronald menyebutkan aspek internal yang perlu dinilai oleh suatu bisnis sebelum melakukan scale up adalah kemampuan atas 3C, capital, capacity, dan capability.

Pertama adalah capital atau modal. Perhitungan modal sangat penting untuk dilakukan oleh bisnis sebelum memutuskan untuk melakukan scale up. Hal ini dikarenakan scale up juga memiliki resiko gagal.

“Apakah kita punya “nafas” untuk membuka market baru misalnya. Karena ingat, langkah ini pasti punya resiko yang artinya bisa jadi failed. Untuk itu mesti dilakukan kalkulasi, untuk tau kapan mesti stop atau lanjut,” kata Ronald.

Kedua, capacity. Capacity ini mencakup kemampuan produksi, jaringan supply chain yang dimiliki, hingga supporting system. Melakukan scale up berarti adanya harapan akan peningkatan penjualan yang mana juga berarti peningkatan jumlah barang keluar. Untuk itu, sangat penting bagi bisnis dapat memastikan bahwa ia bisa memenuhi stok yang diminta.

“Ini tidak hanya soal kemampuan produksi, namun juga keberlangsungan supply dari vendor kita serta jaringan supply chain yang kita miliki. Biasanya ini suka terlupakan sehingga tak jarang saat scale up dimulai tiba-tiba nggak ada stok. Termasuk apakah kita didukung oleh teknologi atau system yang bisa support perkembangan kita. Tanpa itu, cost of growth kita bisa tidak terkontrol.”

Ketiga, capabillity. Asesmen capability ini merujuk kepada penilaian kemampuan atau kesanggupan SDM untuk mengimplementasikan rencana untuk scale up. Scale up bukan berarti hanya menjangkau market baru, tapi juga mempertahankan market yang ada saat ini.

“Apakah kita punya people yang bisa lead dan implementasi ini? Karena scale up artinya current market mesti tetap terjaga saat kita masuk ke market baru,” ujar Ronald.

Asesmen Aspek Eksternal

Pada aspek eksternal, sebuah bisnis perlu melakukan asesmen terhadap Total Available Market (TAM) dan Service Available Market (SAM).

Total Available Market (TAM) merupakan istilah yang merujuk kepada besaran total market potensial. Dengan begitu, sebuah bisnis bisa mengetahui potensi growth yang dapat dijangkau dengan scale up.

Setelah mengetahui Total Available Market, selanjutnya perlu dilakukan penilaian mengenai seberapa besar Service Available Market. Service Available Market (SAM) adalah besaran market yang bisa kita ambil pertama kali dengan melihat kemampuan 3C yang dimilki. Pastikan besaran SAM dapat mendukung basic fundamental growth agar memudahkan proses menjangkau TAM yang tersisa.

Lakukan Pilot Project

Pilot project merupakan proyek percontohan yang biasanya dilakukan sebagai pengujian atau trial. Dalam strategi scale up bisnis, istilah ini merujuk kepada uji coba scale up sebelum nantinya mengeluarkan full effort. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir resiko yang mungkin terjadi.

“Pastikan kedua hal tersebut (TAM dan SAM) diukur dengan data. Sangat recommend untuk lakukan pilot project sebelum full blown effort dikeluarkan,” kata Ronald.

Tips Melakukan Scale Up untuk UMKM

Scale up tidak hanya bisa dilakukan untuk bisnis dengan skala besar, tapi juga untuk skala kecil dan menengah selama bisnis tersebut siap dengan memperhatikan beberapa aspek yang telah dijelaskan di atas.

Namun, untuk UMKM, Ronald memberikan tips untuk selalu melakukan scale up secara bertahap. Hal ini dapat menjadi cara untuk mengurangi resiko.

“Tips untuk scale up adalah biasakan menggunakan milestone alias bertahap. Ini untuk managing resiko dan memastikan bahwa setiap kali kita scale up, kita benar benar menguasai market-nya. Jangan hanya sekedar ada karena akan jadi sasaran empuk kompetitor,” jelasnya.

Ronald juga memberikan contoh scale up secara bertahap untuk UMKM. Misalnya saat ini penjualannya hanya berfokus di lingkungan komplek, selanjutnya lebarkan sayap untuk menargetkan ke satu kelurahan, kemudian satu kecamatan, hingga dapat mudah menjangkau se-Indonesia.

Apakah Scale Up Membutuhkan Modal Besar?

Jika berbicara tentang rencana mengembangkan bisnis, beberapa dari Anda mungkin langsung bertanya-tanya berapakah modal yang diperlukan? Apakah membutuhkan modal yang besar?

Asumsi scale up membutuhkan modal besar memang telah menjadi asumsi umum. Namun, Ronald berpendapat bahwa scale up tidak selalu membutuhkan modal besar. Semua tergantung pada jenis scale up yang akan dilakukan.

“Tergantung keputusan dari scale up. Biasanya yang butuh modal cukup besar jika scale up menyangkut capacity, karena ini selalu impact dengan pembelian aset.”

Selain itu, melakukan scale up secara bertahap juga bisa menjadi solusi agar modal yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Dengan menggunakan milestone, biaya yang dikeluarkan juga akan naik secara bertahap.

Sebaliknya, jika langsung melakukan scale up besar-besaran, maka biaya yang dibutuhkan juga akan langsung besar dengan resiko yang sama besarnya.

“Tidak perlu tergoda untuk ikut trend tiba tiba besar, karena instant itu cenderung rentan akibat tidak memiliki fundamental yang kuat untuk mendukung size yang cenderung besar,” ujar Ronald.

Itu dia kiat-kiat melakukan scale up bisnis ala Ronald. Kesempatan scale up ini terbuka untuk siapa saja, baik untuk bisnis kecil, menengah, maupun besar. Hal yang terpenting adalah selalu melakukan persiapan matang sebelum mengimplementasikannya, serta lakukan secara bertahap. Dengan begitu, resiko dapat diminimalisir dan beban modal tidak terlalu besar.

Jangan lupa juga untuk selalu memanfaatkan teknologi digital untuk memudahkan proses scale up di era digital seperti sekarang.

4 Langkah Founder Memulai Tahap “Scale Up”

Pada masanya, setiap startup akan melalui tahap scale up atau tahap berkembang. Tahap ini dilakukan seiring dengan penambahan jumlah pengguna dan produk yang telah tervalidasi.

Biasanya, scale up ditandai dengan penambahan jumlah karyawan hingga diversifikasi produk. Tujuannya tak lain untuk mengejar pertumbuhan bisnis dan menciptakan pasar baru melalui perluasan produk.

Dalam melakukan scale up, startup perlu memperhitungkan sejumlah hal, mulai dari bagaimana menentukan produk/fitur baru hingga langkah strategis apa yang harus dilakukan.

Sejumlah hal ini dijawab oleh Co-founder Jubelio Andra Yusuf yang berbagi sejumlah tips dan pengalamannya dalam membangun bisnis omni-channel di sesi #SelasaStartup kali ini.

Langkah memulai scale up

Sebetulnya, kedua hal ini terbilang sangat fundamental bagi para founder saat membangun startup, yakni visi-misi dan mindset.

Menurut Andra, founder perlu memastikan kembali visi-misi dan mindset mereka. Kedua hal ini akan menjadi sebuah pengingat penting untuk  menentukan langkahnya membesarkan bisnis.

“Kita perlu pastikan apakah founder memiliki visi dan misi yang jelas. Demikian juga mindset, apakah membangun startup hanya untuk mendapatkan fresh money atau bisnis jangka panjang,” ungkapnya.

Memperbanyak kolaborasi

Ketika membangun startup, founder akan bertemu dengan banyak orang. Dalam kaitannya dengan scale up, Andra menilai pentingnya menjaga koneksi dengan banyak pihak karena mereka berpotensi menjadi mitra bisnisnya di masa depan.

Di Jubelio, Andra menyebutkan pihaknya telah bermitra dengan sejumlah e-commerce di bidang marketplace, seperti Shopee dan Bukalapak. Ini menjadi keuntungan karena marketplace memiliki basis pengguna, baik seller dan buyer, yang besar.

“Kita perlu tahu bahwa income terbesar bukan dari sales melainkan partnership. Maka itu, jangan mengeksklusifkan bisnis karena ruang lingkup menjadi terbatas. Partnership harus diperbanyak dan dijaga,” paparnya.

Kunci diversifikasi produk: kenali pasar dan masalahnya

Dalam melakukan diversifikasi produk, startup tidak boleh hanya mengikuti ego perusahaan, tetapi mengikuti apa yang diinginkan oleh konsumen. Hal ini dapat diketahui dengan memvalidasi data dengan masalah yang terjadi di lapangan.

“Misal, kami mengembangkan fitur inventori produk. Ternyata setelah divalidasi dengan data, bukan fitur itu yang benar-benar dibutuhkan pengguna. Makanya kita perlu mengenali pasar yang diincar karena produk yang kita ciptakan akan menjadi solusi mereka” ujar Andra.

Andra melanjutkan, ada hal lain yang tak kalah penting saat mengembangkan produk baru, yakni jangan terpaku pada produk yang mudah. Menurutnya, jika suatu produk/fitur baru mudah dikembangkan, lantas menjadi prioritas.

“Mudah dikembangkan tetapi belum tentu produk itu dibutuhkan pasar. Jangan takut untuk mengembangkan produk yang lebih sulit,” tambahnya.

Belajar dari startup yang sukses

Kunci dari membangun startup adalah tidak takut gagal dalam berinovasi dan mengembangkan suatu hal. Setiap startup akan memiliki pengalaman jatuh-bangun sendiri dalam membangun bisnisnya.

Membesarkan bisnis tentu menantang. Perubahan dan dinamika startup akan terjadi seiring bertambahnya karyawan, fokus bisnis, dan target yang ingin dicapai.

“Maka itu, kita tidak perlu malu untuk mau belajar startup-startup lain yang sudah sukses. Pengalaman mereka bisa jadi inspirasi kita untuk mengembangkan bisnis,” ujarnya.

Menentukan Cara Tepat “Scale Up” Produk

Dalam sesi #SelasaStartup minggu ini, DailySocial mengundang Go-Life Product Management Lead, Adi Purwanto Sujarwadi. Belajar dari pengalamannya membuat produk yang makin popular di kalangan pengguna, Adi membagikan tips seru seputar cara tepat membuat produk dan kapan waktu yang pas untuk melepaskan produk jika tidak berjalan dengan baik.

Berikut adalah tips tentang bagaimana startup membangun produk dan harus melakukan scale up.

Temukan masalah yang ada

Sebelum produk dibuat temukan dulu masalah yang ada. Jangan membuat produk berdasarkan idealisme saja atau sekedar menghadirkan teknologi yang baru. Jika produk tersebut pada akhirnya tidak dibutuhkan oleh target pasar, upaya yang sudah dilakukan akan menjadi sia-sia. Yang perlu diingat adalah, produk tidak hanya aplikasi, namun berupa layanan yang ditawarkan kepada pengguna.

“Aplikasi hanya alat, namun produk dari startup yang sebenarnya adalah layanan itu sendiri. Produk tersebut harus bisa menjadi solusi dari problem yang ada,” kata Adi.

Hipotesis

Setelah solusi untuk mengatasi problem tersebut ditemukan, langkah selanjutnya adalah melakukan hipotesis. Buatlah prototipe atau contoh kasus yang bisa validasi ide. Adi mengingatkan untuk membuat produk paling mendasar dulu.

Jangan pernah bertanya ke target pasar tentang produk apa yang mereka inginkan. Jawaban yang didapatkan nantinya akan terlalu luas dan tidak relevan. Buatlah produk secara bertahap, dimulai dengan hal paling mendasar kemudian tambah fitur lainnya sesuai dengan kebutuhan dan demand dari target pasar.

Uji coba

Proses ini saatnya startup melakukan MVP (minimum viable product), namun demikian upayakan untuk membuat produk tersebut sebaik mungkin dan jangan terlalu cepat dilemparkan ke pasar. Hal ini menurut Adi kurang baik untuk produk itu sendiri. Pada akhirnya proses MVP ini juga harus memberikan nilai lebih kepada target pengguna.

“Banyak yang menganggap proses MVP tersebut harus dilakukan secara cepat, namun jika produk tersebut belum siap, proses yang tergesa-gesa akan mengganggu proses selanjutnya.”

Hasil produk

Setelah semua proses dilakukan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan hasil tersebut (result) yang kebanyakan dalam bentuk data. Rangkum semua feedback, error hingga keberhasilan yang dicapai, kemudian olah semua dan kumpulkan data untuk kemudian di lihat dan diprediksi produk yang ada. Data menjadi penting untuk bisa mengembangkan dan melanjutkan tahap scale up produk.

Proses ini juga bisa digunakan untuk mempelajari dan melakukan koreksi terhadap produk yang sudah dibuat. Adi juga mengingatkan jangan terlalu fokus dengan data saja, gunakan data tersebut sesuai kebutuhan, hindari untuk menjadi “budak” data.

“Saat startup siap masuk ke tahap scale up, harus memikirkan retention. Utamakan pengguna yang loyal agar aspek word of mouth bisa berjalan, yang ternyata sangat efektif untuk promosi secara organik,” kata Adi.

Pertumbuhan Bisnis Moka POS Terdorong Inovasi Produk Berkelanjutan

Sejak berdiri dari tahun 2015 sebagai pengembang SaaS (Software as a Services) untuk sistem Point of Sale (POS), Moka mencatat pertumbuhan bisnis yang cukup meyakinkan. Per akhir tahun 2016, setidaknya ada lebih dari 5000 usaha, baik berupa cafe ataupun usaha ritel yang memanfaatkan jasanya untuk sistem pencatatan transaksi pembelian. Sementara hingga pertengahan tahun 2017 ini tercatat sudah ada sekitar 8000 merchant yang menggunakan layanannya di seluruh wilayah Indonesia.

Moka POS mengklaim sudah berhasil membangun ekosistem pelanggan di berbagai kota, seperti di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Balikpapan, Samarinda, Bali, dan Makassar. Salah satu yang dilakukan Moka untuk bisa scale up sejauh ini ialah menghadirkan produk intuitif yang mudah digunakan dan diadaptasi pengguna.

Bayangkan saja jika outlet harus memesan pengembangan aplikasi untuk mencatat dan mengelola transaksi harian, investasi yang dibutuhkan tidak kecil. Moka hadir dengan sistem berlangganan bulanan, yang membuat outlet tersebut lebih fleksibel. Terlebih layanan POS yang ditawarkan Moka berbasis mobile, bisa berjalan di platform iOS dan Android. Namun solusi praktis saja ternyata tidak cukup, perlu pendekatan lain yang dilakukan agar produk selalu tampil memuaskan pelanggannya.

Pembaruan fitur untuk memaksimalkan pengalaman pengguna

Setelah fitur Cost of Goods Sold yang diluncurkan bulan lalu untuk mengetahui harga pokok penjualan, hari ini Moka kembali merilis fitur baru yakni Moka Loyalty Program. Fitur ini didesain agar merchant dapat meningkatkan traksi penjualan dengan memberikan apresiasi kepada konsumen setia mereka. Sistem tersebut memungkinkan merchant memilih model layanan loyalitas, misalnya melalui poin atau reward untuk setiap transaksi. Kehadiran fitur ini diharapkan akan meningkatkan omset penjualan hingga 30 persen.

Pendekatan berbasis produk ini juga yang membuat Moka tetap mampu berdiri tegak mengembangkan bisnis, di tengah berbagai jenis layanan digital baru yang terus menggempur. Pihak Moka meyakini, selama inovasi dijalankan secara berkelanjutan maka akan memberikan kepuasan kepada pelanggan dan memberikan dampak baik pada bisnis.

Sejatinya pendekatan seperti ini bisa diaplikasikan untuk berbagai jenis startup digital. Roadmap produk harus selalu menjadi prioritas founder untuk didefinisikan dengan baik. Seiring dengan kebutuhan transformasi digital para konsumen, berbagai penyesuaian harus rutin dilakukan, karena teknologi bersifat cukup dinamis. Selalu berubah-ubah mengikuti kebutuhan pangsa pasar.

Melihat lanskap pembayaran digital saat ini, pemain seperti Moka juga dihadapkan dengan persaingan yang cukup ketat. Misalnya dengan sistem pembayaran yang disediakan oleh provider telekomunikasi atau penyedia layanan on-demand yang kian gencar melakukan integrasi di sana-sini.

“Moka optimis bahwa layanan yang diberikan oleh provider bukanlah sebuah ancaman, namun hal itu malah membuat Moka semakin jeli untuk meningkatkan kualitas produk dibarengi dengan berbagai macam kerja sama yang menggandeng produk dari provider tersebut. Terbukti saat ini Moka sedang menjalin kerja sama dengan salah satu provider terkemuka di Indonesia, dan sedang berjalan juga roadshow di berbagai kota di Indonesia untuk memberikan informasi mengenai produk Moka yang di-bundling dengan fasilitas dari provider untuk Small Medium Enterprise,” terang PR Moka Athalia Damaria.

Application Information Will Show Up Here

Membangun Kultur Kerja di Tahap Pertumbuhan Startup

Startup yang sudah masuk ke dalam tahap berkembang atau scale-up bukan berarti mengisyaratkan founder memiliki kultur bisnis yang tepat dan harus dipertahankan. Sebaliknya, kultur adalah sesuatu yang dinamis mengikuti laju bisnis yang sedang berjalan –sedangkan yang perlu dipertahankan adalah visi.

Kultur erat kaitannya dengan bagaimana perlakukan terhadap tim. Di fase berkembang, ada beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan oleh founder. Berikut ini adalah lima hal yang dapat dipraktikkan terkait dengan pengembangan kultur bekerja untuk startup yang tengah dalam tahap perkembangan.

Mengoptimalkan tim sembari mengukur potensi bisnis

Dimulai dari tim yang kecil –dan solid, startup yang sedang bertumbuh biasanya akan mengalami kebimbangan. Saat potensi bisnis bertumbuh, sedangkan jumlah anggota masih sama. Namun jangan buru-buru melakukan perekrutan, ukur kemampuan tim terlebih dulu. Apakah kemampuan mereka masih bisa untuk menangani tanggung jawab lebih –misalnya untuk melakukan multi-tasking. Dalam praktik terbaik startup, memberikan tantangan lebih kepada tim akan menjadi professional development yang baik di lingkungan bisnis.

Kadang yang perlu diubah justru workflow, dari yang sebelumnya sepenuhnya manual coba ditangani sebagian dengan teknologi. Sebagai contoh ketika traksi pelanggan derastis meningkat, layanan seperti CRM bisa dimanfaatkan untuk membantu tim pemasaran untuk menangani berbagai keluhan atau bahkan melakukan analisis terhadap kecenderungan pelanggan. Cara berkomunikasi, pembagian kerja dan sebagainya juga dapat disederhanakan dengan teknologi, sehingga lebih menghemat waktu.

Membuka kesempatan untuk berkolaborasi antar tim

Berbeda dengan korporasi yang sangat disiplin dengan sekat-sekat divisi atau pembagian departemen bisnis, startup cenderung lebih bisa terbuka. Sebagai contoh, ketika tim pemasaran membutuhkan performa lebih untuk melakukan kampanye kegiatan, coba libatkan juga tim dari divisi lain untuk menyederhanakan pekerjaan, semisal dari tim operasional. Bahkan untuk divisi yang mungkin terkesan jauh fungsionalitasnya. Selain menghidupkan kultur kolaboratif, langkah ini juga memberikan kesempatan untuk masing-masing anggota tim mencoba hal baru.

Saat perusahaan bertumbuh, sudah semestinya memikirkan pertumbuhan kompetensi pegawai. Selain memberikan tantangan pada pekerjaan tambahan, hadirkan juga kesempatan untuk memperdalam kemampuan mereka, atau mengeksplorasi hal-hal baru. Berikan motivasi lebih, bisa saja dengan peningkatan gaji atau berikan kesempatan untuk menimba ilmu di luar.

Sediakan waktu untuk melakukan hal yang menyenangkan

Hal-hal seperti makan bersama atau berlibur bersama tetap dijadikan agenda, lebih sering bahkan. Selain untuk memberikan waktu refreshing, kegiatan seperti ini dapat membuat tim lebih solid. Mereka akan lebih dekat satu sama lain, dan mengerti kekurangan dan kelebihannya. Sehingga diharapkan dapat seling mengisi dalam kegiatan kolaborasi di perusahaan.

Jika harus merekrut pegawai baru

Dalam perusahaan baru yang berpotensi tumbuh, dibutuhkan pegawai yang dapat menyesuaikan diri dengan perusahaan. Perusahaan dapat mencocokkan dengan kepribadian maupun keterampilan yang mereka miliki. Memilih untuk merekrut pegawai dengan cara ini demi menciptakan tim jangka panjang yang memiliki kontribusi inovatif.

Empat Kiat Mengembangkan Tim Kecil dalam Startup

Kunci dari kesuksesan startup adalah bertumbuh. Baik dari segi layanan, pasar, produk hingga tim. Salah satu pertumbuhan yang luput dari perhatian banyak pengembang startup adalah pertumbuhan tim. Selain dari segi kemampuan teknis tim harus berkembang. Mulai dari tanggung jawab mengoptimalkan kemampuan di dalam tim.

Berikut beberapa tips yang dimanfaatkan untuk menumbuhkan tim.

Evolusi peran co-founder

Co-founder bisa jadi salah satu peranan penting dalam berkembangnya startup. Para co-founder bisa jadi tidak hanya sebagai inisiator ide, tetapi juga eksekutor bahkan operator untuk bisnis di tahap awal. Pergantian atau evolusi peranan co-founder ini sekaligus menandakan ada yang berkembang dari segi tim. Ada tanggung jawab yang mulai ditanggung oleh anggota tim yang lain. Dan peranan co-founder tidak lagi soal teknis, tapi sudah masuk ke ranah manajerial.

Mencari bagian keuangan dan human resource lebih dini

CEO Preply Kirill Bigai dalam sebuah tulisan membagikan pengalamannya mengenai perekrutan bagian keuangan dan human resource. Hal tersebut diakui sebagai strategi yang cukup jitu untuk membangun fondasi keuangan dan proses perekrutan yang lebih baik. Sehingga co-founder bisa memfokuskan diri untuk melakukan hal lain. Seperti mengoptimalkan pemasaran dan mencari pasar baru.

Memperkerjakan yang terbaik

Mencari talenta terbaik adalah hal krusial. Untuk bisa mengoptimalkan perkembangan tim bisnis harus mulai mencari talenta terbaik. Tidak hanya soal teknis atau yang berkaitan dengan keahlian masing-masing, tapi juga mengenai kemampuan berbagi dan berkembang bersama tim. Orang-orang seperti ini nantinya tidak hanya berguna bagi bisnis, tetapi perkembangan orang-orang di dalamnya.

Pendekatan fungsi silang

Masih berkaitan dengan mencari orang-orang dengan kemampuan berbagi, pendekatan seperti ini bisa membudayakan kerja sama tim yang lebih baik. Misalnya, coba sekali waktu gabung antara tim pemasaran dengan tim IT untuk menemukan solusi terbaik untuk kampanye. Dengan orang IT di dalamnya, hal-hal teknis mengenai pemasaran bisa mulai dipetakan dan diselesaikan dengan pendekatan IT. Ini juga bagus untuk menghasilkan kultur teknologi informasi di dalam perusahaan.

Pertimbangan Startup Pemula dalam Pendanaan Modal Ventura

Tren pendanaan dalam usaha rintisan menjadi sangat booming saat apa yang disebut dengan startup (digital) berkembang di Indonesia. Sebenarnya bukan saja di Indonesia, tren tersebut juga terjadi secara menyeluruh di Asia Tenggara –mengikuti apa yang sudah ada sebelumnya di barat, khususnya Silicon Valley. Model pendanaan pun semakin beragam, setelah modal ventura, ada juga angel investor, corporate investor, hingga grant khusus yang diberikan oleh pemerintah setempat.

Alasan mendasar untuk startup dalam mengejar pendanaan adalah akselerasi bisnis. Butuh modal tambahan untuk memperkuat anggota tim atau memperlancar pengembangan produk. Namun demikian bagi startup baru kadang perlu mempelajari lebih dalam, apakah sebenarnya startup yang didirikan sudah saatnya mendapatkan pendanaan. Faktanya banyak juga startup pemula atau tahap awal yang sudah didanai akan tetapi berakhir dengan kegagalan –pun dengan di Indonesia.

Khusus untuk pendanaan dari modal ventura, startup tahap awal perlu juga memahami beberapa hal berikut sebelum benar-benar memastikan deal dengan mereka:

Memahami kesepakatan yang akan dijalin

Sudah menjadi rahasia umum, ketika seseorang atau organisasi berinvestasi pada suatu hal, maka ia mengharapkan sebuah pengembalian yang lebih menguntungkan. Ini wajar dalam sebuah bisnis, dan memang demikian jalannya, kerja sama untuk saling menguntungkan. Hal yang perlu diperhatikan di sini lebih ke arah detail untuk setiap kesepakatan yang ditawarkan.

Ketika investasi disuntikkan maka akan ada perhitungan valuasi dan kepemilikan dari bisnis tersebut. Angka-angka itu harus dipahami secara cermat. Termasuk penawaran pembagian keuntungan dari setiap persen investasi yang diberikan. Sehingga bisa dikatakan, dalam proses ini tidak hanya investor yang bertaruh –karena saat startup gagal maka mereka juga yang akan rugi—namun juga startup. Ada baiknya untuk mendapat mentoring sebelum benar-benar mulai fundraising.

Kesuksesan startup adalah yang utama

Sebelum mempertimbangkan pendanaan, penting juga untuk mendiskusikan secara intend bersama anggota tim –khususnya sesama co-founder—tentang apa yang sebenarnya akan dikejar oleh startup bersama bisnisnya. Definisikan dengan pasti milestone yang harus diraih, termasuk alasan mengapa pendanaan tersebut penting.

Pada dasarnya perusahaan modal ventura tidak hanya akan memberikan pendanaan saja, lebih dari itu, mereka akan menawarkan berbagai value added untuk mendorong perkembangan startup itu sendiri. Diskusi tadi penting untuk disampaikan di sini, sehingga bisa saja kompetensi yang belum dimiliki startup untuk meraih sukses, bisa dilengkapi dengan apa yang akan disediakan oleh modal ventura –bisa berupa kesempatan dihubungkan dengan rekanan bisnis atau penempatan ahli dalam board advisory.

Menyiapkan strategi peningkatan secara tepat

Salah satu implikasi dari permodalan bagi startup biasanya terkait likuiditas. Akuisisi atau IPO menjadi pilihan yang sering ditawarkan ketika menjadi well-funded, terlebih oleh modal ventura. Trennya masa pendanaan berkisar 7-10 tahun, tiga tahun pertama akan didedikasikan pada optimasi dana untuk kegiatan operasional dan produksi.

Tujuan pemodal ventura pun pasti ke arah sana, saat startup bisa exit maka akan memberikan keuntungan yang bergelimang, terlebih saat dalam keadaan bertumbuh. Untuk itu strategi peningkatan skala bisnis harus juga diperhitungkan, untuk mengoptimalkan pendanaan modal ventura. Karena ketika exit, yang diuntungkan pun juga founder. Sementara skala bisnis dan pertumbuhannya menjadi ukuran mendasar untuk mencapai sana.

Kebutuhan “Scaling-Up” Lebih Mendesak untuk Ekosistem Startup Indonesia

Bersamaan penyusunan artikel menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-72 beberapa waktu lalu, kami mewawancara beberapa pihak, termasuk dari kalangan investor startup Indonesia. Salah satu narasumber kami adalah Nicko Widjaja, CEO MDI Ventures. Dari review seputar perjalanan startup Indonesia yang dipaparkan Nicko, ada satu hal yang menjadi garis besar sekaligus sebuah penegasan: we need more scale-ups, not startups. Menarik menjadi perhatian, pasalnya banyak pihak masih menggemborkan tentang penumbuhan startup digital dari sisi kuantitas.

“Series A Crunch”, startup terpaku pada pendanaan awal

“Saya memulai bisnis venture capital sejak tahun 2010, saat itu industri startup mulai terlihat arahnya, seperti Koprol diakuisisi oleh Yahoo! pada bulan Mei 2010, Kaskus oleh Djarum di tahun berikutnya, dan beberapa akuisisi kecil berdatangan setelahnya. Dari pandangan pemodal ventura, tentunya hal ini menjadi perhatian karena terlihat jalan exit, meskipun pasar modal di Indonesia sampai saat ini belum mempersiapkan platform untuk IPO bagi startup,” terang Nicko menceritakan pengalamannya.

Terkait dengan proposisi investor, Nicko memberikan pandangan bahwa yang ada di Indonesia saat ini semakin banyak pemodal yang siap untuk bertaruh. Tidak hanya dari kalangan venture capital –kendati saat ini porsi investasi startup digital masih didominasi VC—tetapi juga pihak permodalan lain, baik private equity maupun konglomerat pun, ingin ikut ke dalam rancah startup digital di Indonesia.

“Sayangnya para pemodal tersebut tidak siap untuk bermain di pendanaan berikutnya. Selain pemodal ventura, tidak banyak yang mengerti industri startup. Industri startup bukan UKM yang hanya sekali dua tiga kali diinvestasi lalu akan menghasilkan dividen. Yang terjadi saat ini yaitu ‘Series A Crunch’ di mana startup yang laku saat pendanaan awal, tidak laku ketika menawarkan growth runway berikutnya,” ujar Nicko menerangkan fenomena pendanaan startup saat ini.

Menurut Nicko, fenomena Series A Crunch terjadi karena overvaluation. Disebabkan karena banyak pemodal ventura yang ingin menggoreng valuasi bagi keuntungan mereka. Pada akhirnya tidak banyak venture capital yang siap Seri A percaya dengan valuasi sebelumnya. Series A Crunch bukan terjadi karena tidak ada modal, tetapi tidak ada startup yang valid dengan valuasi yang diinginkan.

“Jika anda berbicara dengan top-tier investor di luar sana, mereka akan berkomentar sama, bahwa Indonesia memiliki demand (dana) yang besar tetapi tidak dipenuhi dengan supply (startup) yang mencukupi. Sekali lagi saya tekankan, bukan berarti tidak memiliki banyak startup, tetapi tidak memiliki startup yang mampu berkompetisi dan melakukan scaling-up dengan cepat,” terang Nicko.

Akses menuju “growth” mutlak dibutuhkan startup Indonesia

Pada kenyataannya dari ekosistem startup mulai terlihat signifikan –kurang lebih tahun 2010 sampai sekarang, banyak pemodal yang akhirnya menyerah dengan startup, hanya segelintir yang bertahan. MDI Ventures menjadi salah satu yang bertahan. Walau pada akhirnya pihaknya memilih bergabung dengan Telkom dalam menginkubasi dan mengakselerasi startup binaannya.

“Kami belajar banyak sebelum akhirnya bergabung dengan Telkom, dan kami percaya bahwa ekosistem startup di Indonesia hanya unik di Indonesia. Mereka yang berpikir dapat copy-paste model dari luar dibawa ke sini sudah belajar mahal, lihat saja Rocket Internet,” ujar Nicko.

Nicko lanjut memaparkan, bahwa mereka (VC) yang melakukan ‘spray model‘ akan terimbas lebih mahal lagi, karena terlihat dari spraying seperti itu hanya kurang dari setengah persen yang menjadi unicorn dan yang berbahaya lagi path to liquidity-nya belum jelas terlihat.

“Setelah sekian tahun, akhirnya model yang saya lihat adalah ‘synergy model’. Inilah yang menjadi fondasi tesis kami ‘bits by bricks’. Tanpa adanya fondasi bisnis brick-and-mortar, tidak mungkin bisnis digital (bit) ini dapat scale-up, karena model pasar di Indonesia ini hybrid, tidak seperti di Amerika Serikat, bahkan India.”

Akses terhadap growth yang penting dalam membangun sebuah ekosistem. Menurut Nicko, tanpa adanya bentuk korporasi yang mendukung, bisnis startup dan modal ventura pada akhirnya akan bubble and burst. Investor akan hilang kepercayaan kepada industri dan industri akan hilang dengan sendirinya.

Memberikan Manfaat Dulu, Baru “Mengganggu” Pasar

Ada sebuah pernyataan menarik yang kami dapatkan ketika berbincang dengan Co-Founder & CEO Dicoding Narenda Wicaksono beberapa waktu lalu, ketika ia mengatakan “disruptive menjadi syarat kekinian dari startup digital”. Semua ide startup difokuskan untuk mengganggu tatanan pasar yang sudah ada. Cerita kesuksesan Go-Jek, Tokopedia, BrideStory dan beberapa startup lokal lainnya makin memompa semangat pengembang startup untuk mendestruksi model konvensional yang ada sebelumnya. Apakah salah? Jawabannya tidak, asalkan konsep sudah berada di tatanan yang tepat.

Sederhananya, tren startup “disruptive” adalah dengan menghadirkan pendekatan baru (dalam hal ini dengan digitalisasi) sehingga memberikan kemudahan dan efisiensi, tanpa mekanisme yang memaksakan. Namun jika menilik bagaimana perjalanan pembangunan startup sukses seperti Go-Jek, cerita mereka tidak ada yang ingin menjadi pengganggu model konvensional. Nadiem Makarim dan kawan-kawan awalnya membentuk Go-Jek sebagai layanan pemesanan ojek berbasis SMS, karena kala itu komunikasi handphone dengan medium SMS paling populer. Dan kini Go-Jek berevolusi menjadi aplikasi, ketika mobile app menjadi lebih populer ketimbang SMS.

Dari situ dapat disimpulkan, memulai startup untuk bisa seperti Go-Jek adalah dengan fokus pada produk yang bermanfaat, tidak mencari-cari unsur konvensional apa yang mencoba untuk diubah, kendati nantinya akan sampai ke tahap itu juga. Ada beberapa pertimbangan mengapa sebuah startup baru harus sangat berfokus pada ide yang memberikan manfaat secara riil bagi penggunanya.

Berikut ini lima hal tersebut:

Pasar semakin selektif, konsumen membutuhkan kesempurnaan

Konsumen digital di Indonesia bertumbuh pesat dengan kemajuan tren media sosial, yang menjadikannya semakin memiliki banyak wawasan dan pandangan dari orang berbeda secara mudah. Dampaknya berbagai informasi dan pengalaman dengan mudah tersebarkan. Hal ini berimplikasi pada bagaimana persaingan antar bisnis melayani konsumennya. Orang bisa dengan mudah memilih dan meninggalkan suatu layanan, lantaran ketidaknyamanan yang ia dapatkan. Tentu kita sering menemui komplain di media sosial tentang kekurangan layanan tertentu.

Konsumen makin memburu kesempurnaan karena selalu ada pesaing di antara sebuah layanan yang sama. Untuk itu inovasi di dalam startup harus selalu fokus pada improvisasi yang berimplikasi pada kenyamanan pengguna. Pada ujungnya konsumen kini bisa menilai langsung (di publik) tentang kualitas layanan tertentu.

Bukankan startup dikatakan disruptive ketika ia mampu meyakinkan banyak konsumennya untuk memilih layanan tersebut dibandingkan dengan moda konvensional yang sudah terlebih dulu ada?

Orisinilitas ide dikalahkan dengan eksekusi yang baik

Berapa banyak layanan pemesanan tiket pesawat yang saat ini bisa dengan mudah kita temui? Berapa banyak layanan antar makanan online yang saat ini bisa kita manfaatkan? Berapa banyak aplikasi produktivitas yang dapat kita pilih untuk menunjang kesibukan harian kita? Semua aplikasi selalu sudah ada pendahulunya. Namun jika dikaitkan dengan poin sebelumnya seputar konsumen, maka masih ada celah yang dapat dimanfaatkan startup baru untuk hadir di tengah persaingan antar layanan, yakni memberikan eksekusi yang lebih baik.

Eksekusi yang lebih baik dapat diwujudkan dengan fitur yang lebih andal, pelayanan yang lebih cepat hingga penawaran yang lebih terjangkau. Fokus pada “pembeda”, dalam hal ini berkaitan dengan kualitas layanan, akan lebih menjanjikan ketimbang harus berpikir keras untuk membuat sesuatu yang benar-benar baru. Sesuatu yang baru tersebut biasanya muncul bersamaan dengan temuan seiring dengan makin dituntutnya inovasi fitur dari masukan konsumen, sehingga pengembangannya akan lebih komprehensif dan tepat sasaran.

Ketepatan memaksimalkan kesempatan

Pasar digital banyak dinilai sangat bersifat dinamis. Artinya tren tersebut akan pasang surut berkembang di kalangan masyarakat. Melihat dari sisi lain, startup yang dapat lebih gesit dalam menyesuaikan produk dapat memanfaatkan tren ini.

Contoh sederhana, saat ini konsumen mulai terbiasa dengan layanan kredit tanpa kartu kredit, maka dalam layanannya startup dapat membuat promo atau fitur yang memberikan kemudahan kepada konsumennya untuk memanfaatkan fitur tersebut. Mungkin tidak akan lama, tapi setidaknya dapat mendongkrak popularitas brand dan traksi pengguna.

Digitalisasi dilakukan semua bisnis

Jika dari awal mencoba untuk mengganggu tatanan yang sudah ada, maka startup akan berhadapan dengan pemain yang sudah besar. Saat ini para bisnis (pemain lama) berbondong-bondong membuka kanal digital masing-masing. Terakhir ada Kimia Farma yang meluncurkan layanan e-commerce B2C-nya. Bayangkan saja jika ada startup yang ingin mencoba men-disrupt layanan pemesanan obat, berhadapan langsung dengan pabrik yang memproduksi obat-obatan yang dijualnya.

Berbeda ketika menargetkan kepada kebermanfaatan. Dalam kasus di atas, startup fokus pada jasa konsultasi apotekernya dalam mode chat atau on-demand, atau mekanisme lainnya, akan memiliki sasaran bisnis yang lebih spesifik, sehingga muncul dengan brand yang berbeda.

Starting up dituntut cepat, karena scaling up lebih menantang

Pada akhirnya startup saat ini harus memiliki kecepatan saat memulai, artinya tidak boleh terlalu lama dalam menggodok ide. Tantangan sebenarnya adalah pada proses scaling-up, saat startup harus dihadapkan pada dinamika pasar, persaingan hingga berbagai permasalahan internal yang mungkin muncul. Fokus pada ide yang bermanfaat, sifat ide akan berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Eksekusi ide tersebut secara cepat, kenalkan pada konsumen, revisi, maka product-market fit akan lebih cepat didefinisikan.