Sejasa Raih Pendanaan Seri A 56,7 Miliar Rupiah Dipimpin Morning Crest Capital dan BTFV

Platform layanan penyedia jasa Sejasa berhasil meraih pendanaan seri A senilai $4 juta atau 56,7 miliar Rupiah dipimpin oleh modal ventura yang berbasis di Shanghai, Morning Crest Capital (MCC) dan BTFV dari Singapura. MCC sendiri merupakan investor utama sebuah startup dengan model bisnis serupa di Australia yang telah terdaftar di bursa setempat.

Pendanaan ini memiliki tiga fokus, yaitu untuk perluasan area layanan Sejasa di luar Jabodetabek. Selanjutnya, perusahaan juga akan menggunakan sebagian dari pendanaan tersebut untuk meningkatkan inovasi teknologi dan menambah talenta, terutama divisi pengembangan produk. Terakhir, akuisisi penyedia layanan serta pemeliharaan kualitas.

Sejasa telah menyediakan lebih dari 200 jenis layanan jasa, termasuk perawatan rumah, perbaikan rumah, jasa pertukangan, servis elektronik, kebersihan dan disinfektan, hingga kecantikan. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 2015 ini menawarkan layanan penyedia jasa rumah tangga yang cepat, aman, dan nyaman yang akan tiba di rumah konsumen dalam waktu 45 menit setelah pemesanan.

Managing Partner MCC, Fred (Xiaofan) Bai mengungkapkan, “Kami telah melihat bagaimana platform ini dapat ditingkatkan untuk mencakup berbagai jenis layanan dan bahkan lintas geografi, dan kami memiliki keyakinan pada tim Recommend Group untuk mempercepat digitalisasi layanan rumah di seluruh Asia Tenggara, yang merupakan peluang pasar yang sangat besar. Kami terus optimis dalam digitalisasi layanan lokal secara global dalam 5-10 tahun ke depan,”

Selain verifikasi dokumen, untuk memastikan bahwa layanan yang disediakan di Sejasa adalah yang terbaik, perusahaan menerapkan sistem rating dan review agar penyedia jasa bisa lebih menjaga kualitas layanan mereka. Di samping melalui proses kurasi, terdapat beberapa penyedia jasa yang merupakan rekomendasi dari pihak-pihak yang sudah ahli dalam bidangnya.

Untuk bisa lebih meyakinkan penggunanya, Sejasa memberikan garansi 30 hari dan asuransi ganti rugi sebesar Rp300 juta kepada setiap pelanggan untuk setiap kemungkinan yang terjadi, seperti kerusakan properti, pencurian, kebakaran, dan lain-lain. Dalam menyediakan hal tersebut, perusahaan bekerja sama dengan penyedia layanan asuransi Allianz.

Saat ini, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 40.000 UKM informal dan individu profesional penyedia jasa untuk menstandarisasi cakupan dan harga layanan, meningkatkan kualitas layanan, dan memungkinkan penyedia jasa untuk mengumpulkan pembayaran tanpa uang tunai. Sebelumnya, Sejasa juga bekerja sama dengan Grab untuk menyediakan layanan “Clean & Fix”.

Lokalisasi pasar

Sejasa merupakan bagian dari Recommend Group, yang berasal dari Singapura dan juga beroperasi di Malaysia dengan nama Recommend.my. Terkait hal ini, Co-Founder & CEO Recommend Group Jes Min Lua mengungkapkan bahwa sejak mulai bekerja di Indonesia pada tahun 2008, ia melihat potensi luar biasa di negara ini. Setiap orang memiliki keinginan untuk berubah, mengadopsi hal baru serta membawa Indonesia ke tahap selanjutnya.

Dalam hal lokalisasi pasar, timnya mengakui bahwa kedua pasar, Indonesia dan Malaysia, cenderung memiliki kesamaan dalam hal kondisi pasar yang fragmented. Terdapat gap yang cukup besar di antara penyedia layanan yang berkualitas dengan jasa “abal-abal”. Dalam hal ini, Sejasa ingin menjembatani penyedia jasa yang berkualitas, dan tidak menutup kemungkinan untuk penyedia jasa yang ingin meningkatkan kualitas.

Sementara itu, terdapat perbedaan namun tidak mendasar pada sifat masyarakat di kedua negara. Contohnya kebanyakan orang di Indonesia menginginkan layanan yang bisa hadir dalam waktu cepat, sementara di Malaysia, masyarakatnya cenderung merencanakan paling tidak satu hari sebelum memesan. Maka dari itu, Sejasa berusaha menghadirkan penyedia layanan yang tidak hanya baik dalam hal kualitas namun juga geografis untuk bisa menjangkau masyarakat yang membutuhkan layanan dalam waktu cepat.

“Kami menggunakan algoritma pencocokan untuk mengetahui keinginan konsumen dan menggunakan faktor-faktor penentu, seperti lokasi, kompleksitas pekerjaan, dan jadwal untuk memberikan rekomendasi layanan profesional terbaik,” tambah Jes.

Hingga saat ini, Sejasa telah melayani lebih dari satu juta rumah di Indonesia dan Malaysia. Beberapa platform yang juga menawarkan layanan sejenis di Indonesia termasuk Seekmi, KliknClean, OKHome, dan Adain.

Application Information Will Show Up Here

Maudy Ayunda Chips In to Segari’s Series A Funding

Segari online grocery startup announced public figure Maudy Ayunda as one of the angel investors participating in its series A round. The fundraising was previously announced in early September 2021 of $16 million led by Go-Ventures.

SIG, Alfamart, Gunung Sewu Group (one of the largest agricultural and food groups in Indonesia), and Intrinity Capital (affiliated with Gulaku) also participated in this round. In addition, the ranks of investors in its previous stage, including Beenext, AC Ventures, and Saison Capital.

Both Maudy Ayundy and Segari’s Co-founder, Farand Anugerah know each other, it is due to their educational background that took place in the United States.

“When we were studying in America, we wanted to return to Indonesia and make a positive impact by using technology. When I told the Segari team’s dream to develop e-grocery services, Maudy expressed a very positive response,” Farand said in an official statement, Tuesday (19/10).

Maudy Ayunda added, “Before decided to invest, I was already a Segari customer and I immediately became a fan since I always get fresh products and directly come from farmers. Ordering products is also very easy and delivered directly to the house.”

She also said, Segari’s impact in helping local farmers to earn a fair income from the products they sell encouraged her to invest more in Segari. “I think this is a business model that can be the future of the Indonesian e-grocery industry.”

The company is committed to simplifying complex distribution chains by leveraging technology and empowering communities as more efficient sales and distribution partners. Thus, farmers can continue to sell their crops at a more fair price.

Segari has a network of farmer partners in Java and Sumatra and utilizes a decentralized warehouse system to maintain product quality in the A+ grade category. Also, cooperate with sales partners to deliver goods within 15 hours of ordering.

Within just one year of operation, Segari’s business is thriving. The company managed to boost its performance and rose over 20 times for the number of customers and revenue. They offered various products, ranging from fruit, vegetables, meat, basic necessities, to ready-to-cook ingredients.

Instead only using e-commerce platform, the company has a social commerce service called Mitra Segari. This service is to target housewives and SMEs to open an online supermarket business from home and earn additional income. Farand explained that partners only need to have a smartphone and WhatsApp to be able to sell.

“In addition to these opportunities, Mitra Segari also received additional assistance in the form of marketing materials and guidance from the Segari team to continue developing their business.”

Online grocery market size

The online grocery industry has fierce competition, however, there’s still a space for growth because its penetration is still concentrated in big cities.

A report from Statista said, last year the online grocery market share in this country only reached 0.3%, it is predicted that it will increase by 20 basis points to 0.5% in 2022. The pandemic is said to be one of the main factors that triggered the increase in the popularity of online grocery services among consumers.

Based on the data, a further impact of the pandemic apart from changing consumer online buying behavior, is a change in consumer mindset in shopping. “Concerned about the economic impact of the pandemic, many Indonesian consumers are becoming more budget conscious. Also, it’s visible that consumers are making basic necessities and health purchase as the priority during the pandemic,” the report said.

However, e-grocery platforms in this country is still at its premature stage. In terms of coverage, almost all services are still focused on tier-1 cities. The biggest players like HappyFresh covers only the Greater Jakarta area, Surabaya, and several other big cities. Meanwhile, newcomers such as Segari still serve a limited area in Jadetabek.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Maudy Ayunda Berpartisipasi dalam Putaran Pendanaan Seri A Segari

Startup online grocery Segari mengumumkan figur publik Maudy Ayunda sebagai salah satu angel investor yang berpartisipasi dalam putaran seri A. Penggalangan ini sebelumnya sudah diumumkan pada awal September 2021 senilai $16 juta dipimpin oleh Go-Ventures.

SIG, Alfamart, Gunung Sewu Group (salah satu grup perusahaan pertanian dan pangan terbesar di Indonesia), dan Intrinity Capital (afiliasi dengan Gulaku) turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Serta, jajaran investor di tahap sebelumnya, meliputi Beenext, AC Ventures, dan Saison Capital.

Baik Maudy Ayundy maupun Co-founder Segari Farand Anugerah saling mengenal, tak lain dikarenakan keduanya sama-sama pernah bertemu saat menempuh pendidikan di Amerika Serikat.

“Saat kami menempuh pendidikan di Amerika, kami ingin kembali ke Indonesia dan memberikan dampak positif dengan menggunakan teknologi. Begitu saya menceritakan impian tim Segari untuk mengembangkan layanan e-grocery, Maudy memberikan respons yang sangat positif,” ucap Farand dalam keterangan resmi, Selasa (19/10).

Maudy Ayunda turut menambahkan, “Sebelum memutuskan untuk berinvestasi, saya sudah menjadi pelanggan Segari dan saya langsung menjadi penggemar karena produk yang saya dapatkan selalu segar karena langsung dari petani. Pemesanan produk juga sangat mudah dan diantarkan langsung ke rumah.”

Menurutnya, dampak Segari yang membantu petani lokal untuk mendapatkan penghasilan yang adil dari produk yang mereka jual, membuat dirinya semakin tertarik dengan Segari. “Saya rasa ini adalah model bisnis yang bisa menjadi masa depan industri e-grocery Indonesia.”

Perusahaan berkomitmen untuk menyederhanakan rantai distribusi yang kompleks dengan memanfaatkan teknologi dan memberdayakan komunitas sebagai mitra penjualan dan distribusi yang lebih efisien. Dengan demikian, para pertani bisa tetap menjual hasil kebunnya dengan harga yang lebih adil.

Segari memiliki jaringan mitra petani di Jawa dan Sumatera dan memanfaatkan sistem desentralisasi gudang untuk menjaga kualitas produk tetap dalam kategori grade A+. Serta, bekerja sama dengan mitra penjualan untuk mengirim barang dalam waktu 15 jam setelah pemesanan.

Meski baru beroperasi selama satu tahun, bisnis Segari tumbuh subur. Perusahaan berhasil mendongkrak kinerja perusahaan yang naik lebih dari 20 kali lipat untuk jumlah pelanggan dan pendapatan. Produk yang tersedia semakin lengkap, mulai dari buah, sayur, daging, sembako, hingga bahan siap masak.

Tak hanya memanfaatkan platform e-commerce, perusahaan memiliki layanan social commerce Mitra Segari. Layanan tersebut hadir untuk menyasar ibu rumah tangga dan pelaku UMKM membuka usaha supermarket online dari rumah dan mendapat penghasilan tambahan. Farand menjelaskan, mitra cukup bermodalkan smartphone dan WhatsApp untuk dapat berjualan.

“Selain peluang tersebut, Mitra Segari juga mendapatkan bantuan tambahan berupa bahan pemasaran dan bimbingan dari tim Segari untuk terus mengembangkan usahanya.”

Pangsa pasar online grocery

Industri online grocery memiliki persaingan yang sengit, namun masih memiliki ruang tumbuh yang tinggi karena penetrasinya yang masih terpusat di kota-kota besar.

Laporan dari Statista menyampaikan, pada tahun lalu pangsa pasar online grocery di negara ini baru mencapai 0,3%, diprediksi akan meningkat 20 basis poin menjadi 0,5% pada 2022 mendatang. Pandemi yang melanda tanah air disebut-sebut sebagai salah satu faktor utama yang memicu peningkatan popularitas layanan online grocery di kalangan konsumen.

Menurut data, dampak lebih lanjut dari pandemi selain mengubah perilaku pembelian online konsumen, adalah perubahan pola pikir konsumen dalam berbelanja. “Karena khawatir akan dampak ekonomi dari pandemi, banyak konsumen Indonesia menjadi lebih sadar anggaran. Selain itu, prioritas pembelian kebutuhan pokok dan kesehatan di kalangan konsumen juga terlihat selama pandemi,” tulis laporan tersebut.

Namun demikian, apa yang dilakukan platform e-grocery masih di tahap yang sangat awal. Mengenai cakupan sendiri, hampir semua layanan masih fokus di kota tier-1. Pemain terbesar seperti HappyFresh masih mencakup kawasan Jabodetabek, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya. Sementara pendatang baru seperti Segari masih melayani area terbatas di Jadetabek.

Application Information Will Show Up Here

KitaBeli Umumkan Pendanaan Seri A Tambahan

Platform social commerce KitaBeli mengumumkan telah mendapatkan pendanaan tambahan untuk putaran seri A. Sejumlah investor yang berpartisipasi termasuk Vidit Aatrey dan Sanjeev Barnwal (founder Meesho, India), Kopi Kenangan Capital, dan Banana Capital. Perolehan ini berselang sekitar 6 bulan dari pendanaan seri A $10 juta yang dibukukan perusahaan pada Maret 2021 lalu.

Dana tambahan akan digunakan untuk mempercepat ekspansi ke lebih banyak kota, serta membangun SKU bagi konsumen guna menciptakan one-stop-shop untuk berbagai kebutuhan e-commerce di luar perkotaan besar.

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore. Dengan konsep ‘group buying’, platform mereka menjual kebutuhan sehari-hari seperti FMCG, produk segar, kecantikan, elektronik, dan lain-lain. Fokus utamanya di pasar kota tier-2 sampai 4 — melihat daftar di situsnya, saat ini mereka telah beroperasi di 13 kota, mulai dari Solo, Medan, Kediri, Depok, Madiun, Yogyakarta, dll.

Vidit dari Meesho mengatakan bahwa kombinasi model bisnis yang dijalankan KitaBeli potensial untuk bertumbuh di pasar Indonesia. KitaBeli menggabungkan pendekatan ‘group buying’ ala PinDuoDuo dan menggabungkan dengan pendekatan komunitas lokal.

Cara kerjanya, melalui aplikasi KitaBeli, pengguna atau tokoh masyarakat yang menjadi ‘team leader’ dapat membagikan informasi mengenai katalog/harga produk di lingkaran sosial mereka. Kemudian, orang-orang dapat turut memesan barang tersebut melaluinya. Dengan harga bersaing, pendekatan jaringan offline ini dinilai akan efektif.

“Kami memiliki keyakinan kuat bahwa strategi KitaBeli dalam memiliki hubungan pelanggan akhir adalah faktor pembeda utama yang membedakannya dalam ruang kompetitif,” kata Turner Novak dari Banana Capital.

Berbondong melayani kota kecil

Menurut data yang disampaikan, saat ini Indonesia menjadi pasar utama untuk e-commerce di Asia Tenggara. Namun demikian penetrasi layanan di negara tersebut masih kurang dari 10% dari total GMV ritel yang ada. Artinya masih ada potensi pasar signifikan yang belum digarap.

Sementara basis konsumen di kota tier 2-4 telah menyumbang  75% dari total $175 miliar dalam GMV ritel. Penetrasi pengguna e-commerce di kota-kota ini bisa dikatakan minim dan memberikan ruang gerak untuk digitalisasi selanjutnya.

Atas dasar tersebut, startup social commerce berbondong-bondong hadir meramaikan pasar dengan berbagai pendekatannya masing-masing.  Bulan ini saja sudah ada dua startup social commerce yang umumkan pendanaan, yakni Dagangan untuk seri A senilai 163 miliar Rupiah dan Evermos untuk seri B 427 miliar Rupiah. Dengan dana segar yang didapat, keduanya juga berkomitmen untuk melakukan penetrasi lebih dalam ke kota-kota kecil di seluruh Indonesia.

Gambaran proses bisnis layanan social commerce / Trootech

Pendekatan social commerce juga dinilai cocok untuk mengedukasi pengguna baru yang sebelumnya tidak terlalu akrab dengan e-commerce. Cara kerjanya memadukan antara jaringan online dan offline, memanfaatkan komunitas masyarakat, baik sebagai perantara pembelian maupun reseller. Konsumen akhir akan berhubungan dengan orang di sekitarnya untuk pembelian [offline], sementara orang tersebut akan melakukan pemesanan dengan proses bisnis yang sepenuhnya ditangani pemilik platform [online].

Application Information Will Show Up Here

Oy! Konfirmasi Pendanaan Seri A Senilai 427 Miliar Rupiah dan Statusnya sebagai Centaur

Hari ini (23/9), Oy! resmi mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $30 juta atau setara 427 Miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh SoftBank Ventures Asia dengan keterlibatan MDI Ventures, Pavilion Capital, AC Venture, CCV, Wavemaker, PT SAT, Saison Capital Pte. Ltd., dan Orion Advisors.

Sebelumnya, pertama kali kami mengabarkan tentang perolehan pendanaan ini pada Juli 2021 lalu. Kala itu pihak terkait masih enggan memberikan komentar lebih lanjut.

Rencananya, pendanaan ini akan digunakan untuk ekspansi bisnis dan memperkuat infrastruktur layanan keuangannya di Indonesia. Beberapa investor sebelumnya seperti Temasek dan Alternate Ventures juga terus berkontribusi dalam membantu operasional bisnis perusahaan.

Didirikan pada tahun 2018, Oy! memosisikan dirinya sebagai aplikasi solusi finansial. Tidak hanya transfer gratis, mereka juga melengkapi layanan dengan fitur-fitur pembayaran yang telah terhubung dengan kartu debit. Saat ini Oy! Indonesia sudah bekerja sama dengan 80 bank dan telah memiliki lisensi dari Bank Indonesia untuk kegiatan transaksi ini.

Founder & CEO Oy! Indonesia Jesayas Ferdinandus mengungkapkan, “Kami saat ini sedang menikmati pertumbuhan yang luar biasa dengan total valuasi lebih dari $100 juta atau setara dengan Rp. 1,4 triliun, ini menempatkan Oy! Indonesia sebagai startup yang sukses menyandang predikat centaur.”

Dalam wawancara bersama media lokal di acara Fintech Week bulan Juni lalu, Jesayas juga berbagi informasi terkait pertumbuhan volume transaksi Oy! yang mencapai 20-30% setiap bulannya. Hal ini bermula sejak masa PSBB yang pertama hingga saat ini seiring pulihnya daya beli masyarakat Indonesia.

Sementara kegiatan offline sudah mulai kembali normal, pihaknya juga menyebutkan tengah menyiapkan layanan sharing service yang bisa digunakan semua perusahaan fintech untuk menjangkau konsumen secara offline. Inovasi ini disebut sebagai hasil kolaborasi bersama beberapa bank dan Bank Indonesia. Hal ini ditengarai karena 70-80% pengguna Oy! adalah korporasi yang membutuhkan infrastruktur transaksi baik online maupun offline.

Jesayas juga menyebutkan bahwa pertumbuhan yang tengah dialami ini harus didukung dengan komitmen untuk mewujudkan visi Oy! Indonesia sebagai penyedia infrastruktur agregator sistem pembayaran terbaik dan terlengkap di Indonesia.

Melalui transformasi dan ekspansi yang berkelanjutan, Oy! Indonesia berencana untuk terus memperkuat layanannya sebagai sistem pembayaran yang memfasilitasi semua transaksi keuangan, mulai dari kebutuhan sehari-hari individu hingga kebutuhan bisnis di antara beberapa institusi, seperti bank umum, bank digital, p2p lending, e-money, dan perusahaan fintech lainnya.

Solusi sistem pembayaran digital di Indonesia

Solusi sistem pembayaran digital terbukti bisa menjadi pilar utama bagi kelanjutan bisnis selama pandemi Covid-19. Hal ini ditunjukkan dari terus meningkatnya transaksi menggunakan uang elektronik di Indonesia yang mencapai Rp24,8 Triliun per Agustus 2021. Selain itu, Bank Indonesia juga mencatat nilai transaksi digital banking sebanyak Rp3.468,4 triliun atau tumbuh sebanyak 61,80%.

Pesatnya perkembangan digital kian mengubah kebiasaan konsumen dalam bertransaksi. Mereka lebih rasional terhadap harga. Mencari layanan yang memberikan harga yang murah, proses mudah, termasuk layanan transfer uang antar rekening. Hal ini telah membuka peluang bisnis yang besar bagi penyedia jasa transfer.

Terkait solusi sistem pembayaran, Partner SoftBank Ventures Asia, Cindy Jin mengungkapkan, “Kami berpikir bahwa solusi sistem pembayaran tidak hanya merupakan peluang pasar yang besar tetapi juga dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, kami menghargai apa yang telah dibangun oleh Oy! Indonesia, yaitu membangun infrastruktur keuangan di berbagai metode pembayaran baik online dan offline.”

Dalam sektor ini, persaingan ketat terjadi antara Oy! dan Flip. Sementara Flip dan Oy! berlomba-lomba menyediakan solusi yang lebih efisien, beberapa layanan dompet digital seperti DANA, LinkAja atau Ovo juga menyediakan opsi transfer tanpa atau dengan biaya admin yang lebih kecil.

Application Information Will Show Up Here

Dagangan Secures 163.7 Billion Rupiah Series A Funding, Intensifying Penetration to Tier 3 & 4 Cities

Social commerce startup Dagangan announced its series A funding worth of $11.5 million or equivalent to 163.7 billion Rupiah. The round was led by Monk’s Hill Ventures with the participation of MMS Group, K3 Ventures, Spiral Ventures, and Plug and Play.

Previously, the startup that was founded in 2019 announced a pre-series A funding with an undisclosed value from CyberAgent Capital, Spiral Ventures, 500 Startups, and Bluebird Group in June 2021.

Dagangan’s Co-Founder & CEO, Ryan Manafe revealed to DailySocial, the company has achieved revenue record in mid-2020, the trend continues today. It is suspected that various restrictions during the pandemic has resulted in the demand for daily needs online are rising.

Unlike in urban areas, people in rural areas have their own challenges in getting their daily needs online. “The situation is getting worse as accessibility issues that persist in rural areas, where retailers have to bear the cost of inefficient logistics for commuting to and from the city. Dagangan aims to address these issues and is now on the right track,” Ryan said.

He continued, “Our vision is to enable 100 million people in underserved rural areas to have easy access to quality daily necessities at affordable prices.”

The fresh money is to be used to develop private-label local products such as frozen foods, groceries, and household appliances. In addition, they will continue product development and add new features including paylater. Access to logistics services will also be sharpened, while talent acquisition efforts and partnership expansion will be enhanced.

Dagangan will intensify expansion in tier 3-4 cities and villages in Java, Sumatra, and Kalimantan.

Business challenges

To date, there are some challenges remain by the company as it started to reach tier 3-4 cities and villages. Among them is user acquisition with low technology adaptation. Education is highly needed, therefore, they are accustomed to using applications and making purchases online. The next effort was to intensify user acquisition activities offline.

“However, we are indirectly helped by social distancing awareness and user willingness to learn and adapt [to digital services]. In the future we plan to reduce the offline acquisitions by gradually switching to digital acquisitions,” Ryan said.

Another challenge is the dependence on local approaches. Therefore, companies need to build strong local teams in each area and establish partnerships.

Problem also arise on the limited logistics infrastructure. With limited infrastructure in rural areas, both suppliers and consumers face the challenge of selling and buying products. Even as e-commerce services increase, the magnitude of logistics costs is difficult to avoid. Dagangan implements Hub-and-Spoke to help solve this problem.

“This also gives us a challenge as we have to keep opening new hubs in various regions. We plan to expand our business not only to other regions, but also to other channels, such as selling our private-label products through e-commerce and export services,” Ryan added.

One of the Dagangan’s focus this year is to develop private-label products. There are many local products with great potential, but only available for the area or focused on tourists (eg bakpia in Yogyakarta). Some of these products are getting exported, but are not widely available even in Java. For people in big cities, they may be able to easily buy these products through e-commerce services, but rural markets remain underserved due to expensive logistics costs.

“This is where Dagangan comes in handy. We want to empower these products, especially those in high demand and most of the not-widely-recognized products (eg honey, brown sugar, local snacks) through our private-label products. beneficial for stakeholders, but can also increase profitability,” Ryan said.

Social commerce outsite big cities

Various social commerce startups focus on markets in rural areas. The concept offered is considered more relevant, because in general, social commerce helps empower the surrounding community as part of the business, for example becoming a reseller.

Another startup in the vertical is Super. Recently received its series B funding of IDR 405 billion in April 2021, they have operated in 17 koa in East Java. The company utilizes a hyperlocal logistics platform to distribute consumer goods to agents in less than 24 hours after ordering. Super works with thousands of agents to distribute thousands to millions of necessities every month. Most of these agents are women.

In addition, there are RateS, Evermos, KitaBeli, and others. The size of the market is tempting. According to Bain & Co. data, in 2020 the total GMV for online trading businesses in Indonesia has reached $47 billion. Although the majority come from e-commerce or online marketplaces, social commerce services have no small contribution, which is around $12 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dagangan Kantongi Pendanaan Seri A 163,7 Miliar Rupiah, Gencarkan Penetrasi ke Kota Tier-3 dan 4

Startup social commerce Dagangan mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri A senilai $11, 5 juta atau setara 163,7 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures dengan keterlibatan MMS Group, K3 Ventures, Spiral Ventures, dan Plug and Play.

Sebelumnya, startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut mengumumkan pendanaan pra-seri A dengan nilai dirahasiakan dari CyberAgent Capital, Spiral Ventures, 500 Startups, dan Bluebird Group pada Juni 2021 lalu.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Dagangan Ryan Manafe mengungkapkan, perusahaan mencatatkan rekor pendapatan pada pertengahan tahun 2020, trennya berlanjut sampai saat ini. Hal ini ditengarai adanya berbagai pembatasan selama pandemi, menjadikan opsi pemenuhan kebutuhan sehar-hari secara online makin diminati.

Berbeda dengan orang yang tinggal di perkotaan, masyarakat di pedesaan memiliki tantangan tersendiri untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari secara online. “Kondisi tersebut diperburuk dengan masalah aksesibilitas yang berlangsung di daerah pedesaan, di mana pengecer harus menanggung biaya logistik yang tidak efisien untuk perjalanan pulang-pergi ke kota. Dagangan mencoba mengatasi persoalan tersebut dan saat ini telah berada di lintasan yang benar,” ujar Ryan.

Ia melanjutkan, “Visi kami menjadikan 100 juta orang di pedesaan yang kurang terlayani bisa memiliki akses mudah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berkualitas dengan harga terjangkau.”

Dana segar yang didapat rencananya juga akan digunakan untuk mengembangkan produk lokal private-label seperti makanan beku, bahan makanan, dan peralatan rumah tangga. Selain itu mereka akan melanjutkan pengembangan produk dan menambah fitur baru termasuk paylater. Akses ke layanan logistik juga akan dipertajam, sembari upaya akuisisi talenta dan perluasan kemitraan.

Dagangan akan memperluas  ekspansi di kota dan desa tier 3-4 di wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Tantangan bisnis

Hingga saat ini masih ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh perusahaan saat mulai menjangkau kota dan desa tier 3-4. Di antaranya adalah akuisisi pengguna dengan adaptasi teknologi yang rendah. Dibutuhkan edukasi agar mereka terbiasa untuk menggunakan aplikasi dan melakukan pembelian secara online. Upaya yang kemudian dilakukan adalah menggencarkan kegiatan akuisisi pengguna secara offline.

“Namun secara tidak langsung kami terbantu social distancing awareness serta kemauan pengguna untuk belajar dan beradaptasi [dengan layanan digital]. Ke depannya kami berencana untuk mengurangi porsi akuisisi offline dengan secara bertahap beralih untuk akuisisi secara digital,” kata Ryan.

Tantangan lainnya yang juga masih dihadapi adalah ketergantungan pada pendekatan lokal. Oleh karena itu, perusahaan perlu membangun tim lokal yang kuat di setiap area dan menjalin kemitraan.

Persoalan lain adalah terbatasnya infrastruktur logistik. Dengan infrastruktur yang terbatas di daerah pedesaan, baik pemasok dan konsumen menghadapi tantangan menjual dan membeli produk. Bahkan ketika layanan e-commerce meningkat, besarnya biaya logistik sulit untuk dihindari. Dagangan mengimplementasikan Hub-and-Spoke untuk membantu memecahkan masalah ini.

“Ini juga memberi kami tantangan karena kami harus tetap membuka hub baru di berbagai daerah. Kami berencana untuk memperluas bisnis kami tidak hanya ke daerah lain, tetapi juga ke kanal lain, seperti menjual produk private-label kami melalui layanan e-commerce dan ekspor,” kata Ryan.

Salah satu fokus bisnis Dagangan tahun ini yang ingin dikembangkan adalah produk private-label. Terdapat banyak produk lokal dengan potensi besar, tetapi biasanya hanya tersedia untuk kawasan tersebut atau terfokus untuk wisatawan (misalnya bakpia di Yogyakarta). Beberapa dari produk tersebut ada yang kemudian diekspor, tetapi tidak tersedia secara luas bahkan di pulau Jawa. Bagi masyarakat di kota besar, mereka mungkin dapat dengan mudah membeli produk tersebut melalui layanan e-commerce, namun pasar pedesaan tetap kurang terlayani karena biaya logistik yang mahal.

“Di sinilah Dagangan datang untuk membantu. Kami ingin memberdayakan produk-produk ini, terutama yang memiliki permintaan tinggi dan kebanyakan produk yang belum dikenali secara luas (misalnya madu, gula merah, makanan ringan lokal) melalui produk private-label kami. Ini tidak hanya bermanfaat bagi para stakeholder, tetapi juga dapat meningkatkan profitabilitas,” kata Ryan.

Social commerce di luar kota besar

Berbagai startup social commerce fokus menggarap pasar di pedesaan. Konsep yang ditawarkan dinilai lebih relevan, karena pada umumnya social commerce turut memberdayakan masyarakat sekitar sebagai bagian dari bisnis, misalnya menjadi reseller.

Startup lain yang turut bermain di vertikal tersebut adalah Super. Baru mendapatkan pendanaan seri B 405 miliar Rupiah pada April 2021 lalu, mereka telah beroperasi di 17 koa di Jawa Timur. Perusahaan memanfaatkan platform logistik hyperlocal untuk mendistribusikan barang kebutuhan konsumen ke agen-agen dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemesanan. Super bekerja sama dengan ribuan agen untuk mendistribusikan ribuan sampai jutaan barang kebutuhan setiap bulannya. Kebanyakan para agen tersebut adalah perempuan.

Selain itu masih ada RateS, Evermos, KitaBeli, dan lain-lain. Ukuran pasarnya memang menggiurkan. Menurut data Bain & Co., pada tahun 2020 total GMV untuk bisnis perdagangan online di Indonesia telah mencapai angka $47 miliar. Kendati mayoritas datang dari e-commerce atau online marketplace, layanan social commerce memiliki sumbangsih yang tidak kecil, yakni sekitar $12 miliar.

Application Information Will Show Up Here

Komunal Kantongi Dana Seri A 30 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Komunal selaku startup fintech penyedia layanan ‘neo bank’ untuk BPR mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $2,1 juta (sekitar 30 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari Skystar Capital, keduanya merupakan investor awal Komunal. Dana segar akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi inklusi finansial dengan memperkuat produk teranyar mereka “DepositoBPR“.

DepositoBPR adalah produk tabungan deposito dengan bunga tertinggi dijamin pemerintah yang dapat dibuka melalui BPR di daerah mana pun. Di sisi lain, BPR tetap bisa menerima deposit dari seluruh Indonesia tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membuka cabang dan kegiatan pemasaran.

Indonesia memiliki kurang lebih 1.500 BPR yang tersebar di seluruh Indonesia. Cakupan bisnisnya juga terbatas karena mereka hanya diperbolehkan menyalurkan kredit di provinsi masing-masing. Namun, mereka diperbolehkan untuk menerima deposit dari berbagai daerah dengan jaminan bunga hingga 2,5% lebih tinggi dari bunga komersial dari pemerintah.

Kendati begitu, kontribusi BPR terhadap total deposan di Indonesia baru mencapai 1,5% karena sebagian besar BPR terletak di daerah pinggiran kota. Mereka juga belum terdigitalisasi, sehingga produk mereka tidak dikenal dan tidak dapat diakses oleh deposan perkotaan.

Melalui DepositoBPR, BPR tetap dapat menerima setoran tanpa memperdulikan batasan geografi dan bisa mengalokasikan biaya operasional yang lebih rendah untuk jasa Komunal, dengan menggunakan platform DepositoBPR.

Saat ini DepositoBPR telah mendapatkan lisensi sebagai funding agent (agen pendanaan) dari OJK di bawah regulasi IKD. Funding agent bertugas untuk menyediakan platform yang bisa menghubungkan deposan dan peminjam dengan institusi finansial, terutama dengan BPR, menawarkan produk pendanaan yang menarik.

Co-Founder Komunal Hendry Lieviant mengatakan, di masa pandemi ini masih terjadi ironi, bank komersial memiliki likuiditas tinggi dengan penawaran bunga yang rendah, sementara BPR kesulitan menerima deposit hanya karena 95% dari deposan Indonesia tinggal di area perkotaan.

“Kami berharap platform ini bisa menjembatani masalah tersebut. Kami sangat menghargai segala bentuk dukungan dan saran yang telah OJK dan Asosiasi BPR berikan, untuk mengasah produk pertama di kategori ini,” ucap dia dalam keterangan resmi, Selasa (21/9).

Dia melanjutkan, salah satu tantangan utama dalam mengembangkan DepositoBPR adalah membakukan dan mengoptimalkan proses-proses BPR yang saat ini masih terpecah-belah, sehingga diperlukan peningkatan agar pengalaman deposan meningkat jadi lebih baik. Dicontohkan, misalnya mengganti tanda tangan basah menjadi digital, e-KYC melalui video call, dan yang paling penting mengubah bilyet fisik menjadi e-bilyet. “Semua ini belum pernah dilakukan dalam sejarah BPR.”

Berkaitan dengan itu, pada akhir tahun ini Komunal akan meluncurkan e-bilyet deposito BPR pertama di Indonesia. Sebelumnya, BPR di Bali harus mengirimkan bilyet fisik ke deposan yang berlokasi di Jakarta, begitu pun sebaliknya saat deposan ingin menarik depositnya. Akibatnya biaya logistik harus ditanggung oleh konsumen.

“Melalui e-bilyet, masalah ini bisa teratasi dan visi Komunal untuk membuat produk yang dapat diakses secara nasional bisa tercapai,” tambah Co-Founder Komunal Kendrick Winoto.

Hingga kini, Komunal telah bermitra dengan 60 BPR di Jawa dan Bali. Produk DepositoBPR telah dirilis versi beta pada bulan lalu. Komunal menargetkan ingin melipatgandakan market share BPR dengan menawarkan bunga yang lebih tinggi dan memberikan layanan transaksi yang lebih mulus kepada nasabah lama dan baru.

Selain DepositoBPR, perusahaan juga menyalurkan pinjaman untuk UKM hingga saat ini sebesar $50 juta (sekitar 713 miliar Rupiah) untuk ratusan UKM di Indonesia. Angka tersebut naik dua kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Dengan melihat pencapaian tersebut, perusahaan akan meningkatkan pemberian pinjaman sebesar $150 juta (sekitar 2,1 triliun Rupiah) hingga 2022 mendatang.

Pada masa pandemi ini, perusahaan mengklaim telah memperkuat arus kas perusahaan dengan burn rate rendah berkat bisnis pinjamannya yang telah meraih keuntungan baru-baru ini.

Co-Founder dan Managing Partners East Ventures Willson Cuaca menambahkan, sering sekali mendengar banyak startup yang memberi solusi kepada konsumen yang tidak memiliki rekening bank dan tidak mendapatkan layanan yang baik, maupun kepada usaha kecil dan mikro yang tidak memiliki kredit. Namun, belum ada yang memberikan solusi kepada BPR.

“Komunal memperkenalkan sebuah konsep baru, yaitu “neo-rural bank” untuk mengembangkan bank kecil dengan kapabilitas yang canggih. Kami berharap langkah ini dapat mengakselerasi inklusi finansial secara masif dan mendalam untuk seluruh daerah di Indonesia,” tutupnya.

Digitalisasi BPR

Solusi DepositoBPR merupakan langkah revolusioner dalam mendigitalkan BPR. Selain Komunal, ada ALAMI yang mengakuisisi BPR Syariah yang kini sudah di-rebrand dengan nama Hijra. Ambisinya pun sama, ALAMI ingin mendigitalisasi BPR ke level lebih jauh.

Di level perbankan komersial, ada Bank Permata yang berkolaborasi dengan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) DKI Jaya untuk menghadirkan teknologi API untuk melayani nasabah BPR secara online. Aktivitas perbankan yang disediakan meliputi transfer dana, bill-payment, top up, inquiry, reconciliation, dan lainnya.

Secara industri, OJK telah mendorong BPR untuk kolaborasi dengan menyusun kolaborasi dengan berbagi pihak, misalnya kerja sama channeling antara BPR dengan startup fintech.

OJK telah memberikan lampu hijau bagi BPR dan fintech lending dalam melakukan kerja sama melalui dua skema, yakni channeling dan referral. Hal tersebut tertuang dalam Buku Panduan Kerja Sama BPR dan Fintech Lending yang telah diterbitkan pada Maret 2021 lalu.

Selanjutnya, dengan menginisiasi pengembangan BPR e-Cash bekerja sama dengan Finnet Indonesia. BPR e-Cash adalah semacam uang elektronik berbasis mobile yang nantinya dapat digunakan untuk beragam transaksi seperti pembayaran QR, isi pulsa, kirim uang, dan lain-lain.

Celebrating Its First Anniversary, Segari Announces Series A Funding Worth of 227.6 Billion Rupiah Led by Go-Ventures

After 12 months of operation, Segari online grocery startup announced Series A follow-on funding. The value reached $16 million or equivalent to 227.6 billion Rupiah. This round was led by Go-Ventures with the participation of SIG, Alfamart, Gunung Sewu Group, and Intrinity Capital.

Participated also in this round the previous investors, including Beenext, AC Ventures, and Saison Capital. In total, according to our source, Segari has scored an investment fund of around $18 million.

The company will use the fresh funds to strengthen infrastructure, ensuring a more efficient process from farmers to consumers. In addition, they also plan to buckle up and hire more talents in various fields, including operations, technology, and marketing.

Through its solutions, Segari is committed to simplifying complex distribution chains by leveraging technology and empowering communities as partners in more efficient sales and distribution.

“The agricultural distribution chain is one of the most complex problems in Indonesia. There are still many layers from farmers to agricultural products to consumers,” Yosua Setiawan, Co-Founder & CEO of Segari said.

He continued, “We expect to have a positive impact where consumers can receive quality food ingredients faster and at lower costs. On the farmer’s side, we also help them to receive a fair price for the products they sell.”

Through the application or website, users can order fruit, vegetable, meat and other primary food products. Within only 15 hours, fresh food products will reach consumers from farmers. Most of the products are sourced directly from partner farmers in Java and Sumatra.

With a decentralized approach to warehouses and a network of sales partners, Segari claims to be able to provide faster delivery times, better product quality, and lower costs for customers.

Agro startup in Go-Ventures

Segari is Go-Ventures’ 16th portfolio. Previously, the Gojek-owned venture capitalist also invested in several startups with similar business models, including eFishery (Fresh), FoodMarketHub, and KitaBeli.

Through the GoMart feature, Gojek is indeed trying to tighten its online grocery vertical. Its capabilities provide ordering systems, payment infrastructure, and delivery services. In terms of products, Gojek has collaborated with several companies and startups, including Alfamart and Sayurbox. Segari’s entrance clearly has integration potential into GoMart.

Regarding the Segari investment, Go-Ventures’ Partner, Aditya Kamath said, “The pandemic has become a catalyst for the growth of the online market (e-grocery) in Indonesia. More consumers are shifting to online purchases, especially for daily needs. During last year, Joshua, Farand Anugerah (COO) and Farandy Ramadhana (CTO) have shown outstanding execution, Segari is growing very fast and still maintaining the best economic unit in the sector.”

Indonesia’s online grocery

Social restrictions due to pandemic have become a separate momentum for online grocery players in Indonesia. In addition to new players keep arising, old players and superapps are also strengthening its coverage in this market.

According to the Asia Pacific IGD analysis, as of 2019 the overall grocery market size has reached $140.2 billion. It is projected to grow to $169.4 billion by 2020 at a CAGR of 5.2% in two years — making the country the 13th largest grocery market in the world. Online grocery alone is considered to have an increasing percentage. Indeed, there are dozens of digital players trying their luck to acquire the market.

However, the digital platform is still at a very early stage. Regarding the coverage, almost all services are still focused on tier-1 cities. The biggest players like HappyFresh still cover the Greater Jakarta area, Surabaya, and several other big cities. Meanwhile, Segari as a newcommmer still serves a limited area in Jadetabek.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Satu Tahun Beroperasi, Segari Dapatkan Pendanaan Seri A 227,6 Miliar Rupiah Dipimpin Go-Ventures

Setelah 12 bulan beroperasi, startup online grocery Segari mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan dalam putaran seri A. Nilainya mencapai $16 juta atau setara 227,6 miliar Rupiah. Investasi dipimpin oleh Go-Ventures dengan partisipasi SIG, Alfamart, Gunung Sewu Group, dan Intrinity Capital.

Investor di tahap sebelumnya turut berpartisipasi, meliputi Beenext, AC Ventures, dan Saison Capital. Secara total, dari sumber informasi yang kami dapat, Segari telah membukukan dana investasi sekitar $18 juta.

Perusahaan akan menggunakan dana segar untuk memperkuat infrastruktur, memastikan proses lebih efisien dari petani ke konsumen. Selain itu mereka juga berencana memperkuat dan menambah tim di berbagai bidang, termasuk operasional, teknologi, dan pemasaran.

Melalui solusi yang ditawarkan, Segari berkomitmen menyederhanakan rantai distribusi yang kompleks dengan memanfaatkan teknologi dan memberdayakan komunitas sebagai mitra dalam penjualan dan distribusi yang lebih efisien.

“Rantai distribusi pertanian adalah salah satu masalah paling kompleks di Indonesia. Masih terdapat banyak lapisan dari petani hingga produk pertanian sampai ke tangan konsumen,” ujar Co-Founder & CEO Segari Yosua Setiawan.

Ia melanjutkan, “Kami berharap dapat memberikan dampak positif di mana konsumen bisa menerima bahan makanan berkualitas dengan lebih cepat dan biaya yang lebih murah. Di sisi petani, kami juga membantu mereka untuk menerima harga yang adil dari produk yang mereka jual.”

Melalui aplikasi atau situs web, pengguna dapat memesan produk buah, sayur, daging, dan makanan pokok lainnya. Hanya dalam waktu 15 jam saja produk makanan segar akan sampai ke tangan konsumen dari petani. Sebagian besar sumber produk didapatkan langsung dari para mitra petani di Jawa dan Sumatera.

Dengan pendekatan desentralisasi gudang dan jaringan mitra penjualan, Segari mengklaim bisa menyuguhkan waktu pengiriman yang lebih cepat, kualitas produk yang lebih baik, dan biaya yang lebih rendah yang bisa dinikmati pelanggan.

Startup agro di Go-Ventures

Segari menjadi portofolio ke-16 bagi Go-Ventures. Sebelumnya, pemodal ventura milik Gojek tersebut juga berinvestasi ke beberapa startup yang memiliki model bisnis serupa, termasuk eFishery (Fresh), FoodMarketHub, dan KitaBeli.

Melalui fitur GoMart, Gojek memang sedang berupaya untuk memperkuat lini online grocery. Kapabilitas mereka menyajikan sistem pemesanan, infrastruktur pembayaran, dan layanan pengantaran. Sementara untuk produk, sejauh ini Gojek menggandeng beberapa perusahaan dan startup, termasuk Alfamart dan Sayurbox. Masuknya Segari jelas memiliki potensi integrasi ke GoMart.

Lalu terkait investasinya ke Segari, Partner Go-Ventures Aditya Kamath menyampaikan, “Pandemi telah menjadi katalis bagi pertumbuhan pasar online (e-grocery) di Indonesia. Semakin banyak konsumen yang beralih ke pembelian online, terutama belanja kebutuhan sehari-hari mereka. Selama satu tahun terakhir, Yosua, Farand Anugerah (COO), dan Farandy Ramadhana (CTO) telah menunjukkan eksekusi yang luar biasa, Segari tumbuh dengan sangat cepat dan tetap mempertahankan unit ekonomi terbaik pada sektor ini.”

Online grocery di Indonesia

Pembatasan sosial yang disebabkan akibat pandemi menjadi momentum tersendiri bagi pemain online grocery di Indonesia. Selain pemain baru yang terus berdatangan, pemain lama dan superapp juga makin menguatkan jangkauannya di pasar tersebut.

Daftar pemain online grocery di Indonesia / DailySocial.id

Menurut analisis IGD Asia Pasifik, per tahun 2019 ukuran pasar grocery secara keseluruhan telah mencapai $140,2 miliar. Diproyeksikan bertumbuh menjadi $169,4 miliar pada 2020 dengan CAGR 5,2% dalam dua tahun — menjadikan negara ini menjadi pasar grocery terbesar ke-13 di dunia. Online grocery sendiri dinilai akan memiliki porsi yang terus meningkat di sini. Tak ayal, kini ada puluhan pemain digital yang mencoba peruntungan untuk mengakuisisi pasar.

Namun demikian, apa yang dilakukan platform digital masih di tahap yang sangat awal. Mengenai cakupan sendiri, hampir semua layanan masih fokus di kota tier-1. Pemain terbesar seperti HappyFresh masih mencakup kawasan Jabodetabek, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya. Sementara pendatang baru seperti Segari masih melayani area terbatas di Jadetabek.

Application Information Will Show Up Here