White Star dan Alpha JWC Pimpin Pendanaan 459 Miliar Rupiah untuk Una Brands

Startup agregator brand e-commerce asal Singapura, Una Brands, telah merampungkan pendanaan seri B senilai $30 juta atau setara 459 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh White Star Capital dan Alpha JWC Ventures. Perolehan ini membuat total investasi yang terkumpul sejak tahun 2021 mendekati $100 juta.

Dana segar ini akan digunakan perusahaan untuk melakukan akuisisi lebih banyak lagi brand berkualitas di beberapa kategori, mulai dari Rumah & Tempat Tinggal, Ibu & Bayi, dan Kecantikan & Perawatan Pribadi.

Selain itu, Una Brands juga akan terus berinvestasi dalam pengembangan infrastruktur teknologi milik sendiri yang memungkinkan perusahaan untuk membangun infrastruktur yang lebih efisien, layanan penjualan multi-kanal, dan platform manajemen bisnis.

Menurut CEO Una Brands Kiren Tanna, pendanaan ini membuktikan kepercayaan dan dukungan berkelanjutan yang dimiliki investor atas bisnis Una Brands, tim manajemen, dan organisasi secara keseluruhan.

“Pendanaan semakin memperkuat balance sheet dan posisi kas kami, saat kami ingin terus mengakuisisi brand terbaik dan berinvestasi kepada keunggulan teknologi agar bisa bergerak maju.”

Sebelumnya Una Brands telah mengantongi pendanaan seri A senilai $15 juta yang dipimpin salah satunya oleh Alpha JWC Ventures. Sejak mulai beroperasi pada awal tahun 2021 lalu, Una Brands mengklaim telah mengakuisisi dan mengoperasikan lebih dari 20 brand e-commerce di enam negara.

Una Brands juga memiliki dan membangun platform teknologi, operasional, dan pertumbuhannya untuk memperoleh, mengoperasikan dan menskalakan berbagai brand di kanal e-commerce seperti Amazon, Shopify, Shopee, Lazada, dan Tokopedia.

“Una Brands telah mengembangkan pedoman untuk mengakuisisi, meningkatkan, dan mengintegrasikan bisnis di seluruh saluran di beberapa pasar. Buku pedoman ini terbukti berhasil dan mempercepat kinerja Una Brands. Kita bersemangat untuk melanjutkan kemitraan kami dengan Kiren dan tim Una Brands melalui pendanaan dan dukungan nilai tambah kami,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Pertumbuhan bisnis Una Brands

Dalam waktu 18 bulan, perusahaan telah melakukan akuisisi sebanyak 20 brand. Tahun lalu Una Brands telah mengakuisisi ErgoTune dan EverDesk+, yang secara konsisten terpilih sebagai dua brand furnitur ergonomis unggulan untuk pasar Asia Tenggara.

Sejak akuisisi tersebut, Una Brands telah berhasil memperluas brand lokal tersebut ke Australia dan meningkatkan pendapatan mereka menjadi lebih dari 40% dalam waktu kurang dari setahun. Tercatat secara keseluruhan, Una Brands saat ini memiliki pendapatan tahunan lebih dari $50 juta dan diperkirakan akan mencapai profitabilitas grup pada akhir tahun 2022.

“Kami saat ini sedang berada di pertumbuhan yang luar biasa dan menempatkan posisi nomor satu di Asia Pasifik. Lanskap e-commerce, khususnya di Asia Tenggara, dengan akses ke lebih dari 600 juta populasi, memiliki penarik sekuler yang luar biasa,” kata Kiren.

Didirikan pada tahun 2021, Una Brands adalah agregator e-commerce multi-saluran terkemuka di Asia Pasifik yang misinya adalah membentuk masa depan e-commerce dengan mengakuisisi brand dengan memperkenalkan mereka secara global. Una Brands bukanlah pemain pertama yang merambah segmen “rollup e-commerce” di Indonesia, sudah ada Hypefast dan OpenLabs.

Sebagai perbandingan, di pasar global, konsep yang dianut ketiganya mengacu pada template yang dibuat Thrasio, pemain sejenisnya dari Amerika Serikat. Tak hanya Indonesia, template ini juga ramai-ramai diadopsi di masing-masing pemain di negara lainnya.

Somethinc Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B

Perusahaan beautytech yang dikenal dengan brandSomethinc”, dikabarkan tengah menggalang dana seri B. Dari data yang telah diinputkan ke regulator, saat ini mereka telah membukukan investasi senilai $10 juta atau lebih dari 150 miliar Rupiah. Pemodal ventura yang telah masuk ke putaran pendanaan ini adalah Sequoia Capital dan Prosus Ventures.

Sebelumnya, Sequoia Capital sudah lebih dulu mendukung perjalanan bisnis perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 2019 ini. DailySocial.id mencoba menghubungi tim terkait untuk meminta konfirmasi, namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan atas surel yang dikirimkan.

Potensi pasar kecantikan yang cukup besar di Indonesia telah mengundang berbagai inovasi baru di sektor ini. Somethinc menjadi salah satu produk lokal yang bersinar di tengah gempuran merek global yang mendominasi industri. Belum genap tiga tahun berdiri, perusahaan ini sudah merajai berbagai situs-situs belanja dalam kategori kosmetik atau skincare.

Dirintis dari tahun 2014 oleh Irene Ursula, Somethinc merupakan sebuah merek dari perusahaan teknologi, Beautyhaul. Kala itu e-commerce masih di tahap early, Ia membangun Beautyhaul, sebuah marketplace brand kecantikan dan perawatan yang terkurasi. Platform ini menyediakan berbagai brand kosmetik, baik global maupun lokal.

Secara bisnis, Somethinc tidak hanya menerapkan satu model bisnis. Perusahaan memosisikan diri sebagai creative business, yang berarti ada penciptaan di mana “content is king and distribution is God“. Perusahaan memproduksi konten internal, lalu menjalankan supply chain dan warehouse sendiri. Selain itu mereka juga fokus untuk omnichannel dan distribusi, termasuk langsung ke konsumer (D2C).

Dalam wawancara terakhir bersama Co-Founder Marsela Limesa, perusahaan saat ini tengah intensif mengimplementasikan teknologi dan gencar mencari talenta untuk mendukung pertumbuhan bisnis. Ke depannya, perusahaan berharap bisa menawarkan layanan end-to-end, jika memungkinkan, memiliki supply sendiri.

Investasi di industri kecantikan

Seputar tahun 2020-2021, industri kecantikan cukup disoroti karena pendanaan yang tidak sedikit untuk sektor yang sering kali dianggap tidak mengimplementasikan teknologi. Pada kenyataannya, beberapa perusahaan bermunculan dengan inovasi yang cukup baru untuk mendisrupsi sektor ini.

Sebelumnya DailySocial.id sempat mengulas tren beautytech di Indonesia, yang didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Perusahaan seperti Sociolla berhasil meraih lebih dari 841 miliar Rupiah dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Selain itu, beberapa startup lokal berhasil mendapatkan pendanaan dari venture capital (VC) termasuk Base, Nusantics, SYCA, Callista, Raena dan Alatte Beauty. Masing-masing perusahaan telah memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan produk dan mengenali kebutuhan konsumen.

Menurut Statista, permintaan untuk produk kecantikan akan meningkat hingga $9.6 miliar di tahun 2025. Di masa yang akan datang, bukan tidak mungkin beauty tech startup akan melebarkan sayapnya di Asia Pasifik. Asia Pasifik merupakan pasar industri kecantikan terbesar di dunia, sebesar 43% dari total pasar dunia. Beberapa negara yang menjadi pasar terbesar yaitu Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang.

Jet Commerce Peroleh Dana 900 Miliar Rupiah, Perkuat Solusi “Omnichannel Commerce”

Perusahaan e-commerce enabler “Jet Commerce” mengumumkan penyelesaian putaran pendanaan seri B lebih dari $60 juta (sekitar 900 miliar Rupiah). Pendanaan ini dipimpin sejumlah VC, yakni Jinqiu Capital, Hidden Hill Capital, dan Zhejiang SilkRoad Fund. Investor sebelumnya, seperti ATM Capital, Hui Capital, dan lainnya turut berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Founder & CEO Jet Commerce Group Oliver Yang mengatakan, tambahan dana ini akan digunakan untuk memperkuat infrastruktur ekosistem Jet Commerce, merekrut lebih banyak talenta lokal profesional, melakukan riset dan pengembangan teknologi, serta memperkuat kemampuan perusahaan dalam menginkubasi merek.

“Kami percaya pendanaan dan dukungan dari para investor ini dapat semakin meningkatkan kapabilitas Jet Commerce dalam membantu para mitra brand kami menangkap peluang dari pesatnya pertumbuhan pasar e-commerce di Asia Tenggara,” ucapnya dalam keterangan resmi, Selasa (30/8).

Chairman & Managing Partner Hidden Hill Capital Dongfang Hao turut menyampaikan terkait optimismenya terhadap potensi sektor e-commerce di pasar berkembang, seperti Asia Tenggara dan Amerika Latin.

“Kita dapat melihat dengan jelas bahwa seluruh pasar akan secara cepat beralih menuju online dan berfokus pada branding. Untuk itu, kami optimis layanan e-commerce menyeluruh seperti yang ditawarkan Jet Commerce akan semakin bernilai tinggi, terutama bagi brand yang ingin memenangkan pangsa pasar di emerging market,” kata Hao.

Perkembangan bisnis Jet Commerce

Perusahaan sendiri berdiri di Indonesia sejak 2017, terhitung telah ekspansi ke lima negara Asia lainnya, seperti Thailand, Vietnam, Filipina, Tiongkok, dan Malaysia dalam lima tahun terakhir. Perusahaan mempekerjakan lebih dari 1.000 orang dengan 90%-nya merupakan talenta lokal di tiap negara.

Ekspansi akan terus berlanjut ke dua negara berikutnya, yaitu Brazil dan Singapura. Guna memperkuat bisnis regional, pada 2020 perusahaan membentuk grup perusahaan dan mendirikan kantor pusatnya di Hangzhou, Tiongkok. Berkat kehadiran Jet Commerce Group, kini perusahaan telah berhasil bermitra secara regional dengan beberapa brand kenamaan dunia seperti OPPO, Unicharm, DJI, Nivea, Shiseido, dan FOREO.

“Tiongkok merupakan pusat e-commerce dunia dengan teknologi dan pola belanja online masyarakatnya yang sudah jauh lebih matang. Dengan berpusat di Tiongkok, kami dapat memperluas jaringan dengan para pemimpin industri, dan belajar dari model bisnis mereka yang sudah terbukti kesuksesannya, untuk mendorong inovasi Jet Commerce selanjutnya,” tambah Oliver.

Selain memperluas jangkauannya ke negara lain, perusahaan juga memperkuat layanannya. Salah satunya menyediakan sistem omnichannel, berkat kerja sama dengan UPFOS, pada awal tahun ini. Dengan demikian, Jet Commerce mampu meningkatkan efisiensi pengelolaan operasional bisnis e-commerce mitra brand-nya. Tak hanya menyederhanakan kompleksitas dalam operasi e-commerce, perusahaan kini mampu menangani lebih dari 100 ribu pesanan per hari berkat kehadiran sistem tersebut.

Inovasi berikutnya adalah menghadirkan layanan live commerce melalui unit bisnis terbaru “Lumbalumba” sekaligus meresmikan pusat live streaming di Pluit, Jakarta. Pusat live streaming ini berisi 14 studio berfasilitas lengkap, seperti perangkat OBS (Open Broadcaster Software) untuk meningkatkan kualitas video, lightning set yang lengkap, dan berbagai peralatan lainnya.

Lumbalumba menyediakan layanan live commerce secara menyeluruh untuk mitra brand Jet Commerce Indonesia, mulai dari live streaming, talent management, termasuk menyediakan kreator konten atau influencer ternama, TikTok Shop Management, hingga content marketing.

Live commerce sendiri merupakan aktivitas perdagangan yang menyiarkan produknya secara digital melalui video dan terhubung langsung dengan konsumen secara daring, yang dinilai telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam laporan terbaru Statista, tercatat terjadi peningkatan rata-rata pembelian melalui live streaming sebesar 76% di seluruh dunia, sejak awal pandemi hingga saat ini.

Persaingan omnichannel commerce

Sebagai catatan, pangsa pasar belanja online di Indonesia, menurut laporan e-Conomy SEA 2021 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company, menunjukkan pertumbuhan kuat yang terjadi di semua sektor ekonomi digital di Indonesia. Ekonomi internet di Indonesia diprediksi mencapai $70 miliar dalam Gross Merchandise Value (GMV) pada 2021 dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat menjadi $146 miliar pada 2025.

Adapun, sektor e-commerce tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital. Alasannya, karena semakin banyak pedagang yang ingin bergabung ke platform e-commerce. Angkanya diprediksi mencapai $53 miliar pada 2021, naik 52% dari tahun sebelumnya, kemudian pada 2025 diprediksi akan naik menjadi $104 miliar, tumbuh 18%.

Karena demikian, lahan basah ini menjadi kesempatan bagi para pemain untuk terus menggarapnya. Kompetitor terdekat Jet Commerce, yakni SIRCLO juga turut aktif berinovasi agar proses belanja online dari brand ke konsumen semakin seamless. Perusahaan ini memiliki tiga fokus utama yang terbagi ke dalam pilar-pilar solusi, yakni Enterprise, Entrepreneur (UMKM), dan new retail. Masing-masing solusi menyesuaikan kebutuhan bisnis.

Diklaim perusahaan mencatatkan lebih dari 150 ribu brands dan lebih dari 500 ribu warung yang telah dilayani secara akumulatif; lebih dari 25 juta end-consumers telah terlayani; dan lebih dari 80 titik distribusi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Salah satu turunan inovasi dari vertikal e-commerce yang mulai ramai dirambah adalah social commerce. Layanan ini relevan dengan kultur budaya orang Indonesia karena memberdayakan komunitas sosial dan online teknologi untuk meningkatkan pasar dengan upaya yang lebih rendah.

Model bisnisnya cukup membutuhkan seorang agen untuk membagikan tautan rujukan produk dan untuk mendapatkan impression dari orang-orang terdekat mereka melalui media sosial atau pertemuan tatap muka. Cara promosi seperti ini akan lebih native dan personal.

Mengutip dari laporan Research and Markets (2021), pangsa pasar bisnis social commerce diestimasi bakal menyentuh angka $8,6 miliar di 2022, tumbuh 55% per tahunnya. Pemain social commerce rata-rata masuk ke kota lapis dua dan tiga yang memiliki komunitas yang kuat dan literasi digital yang masih minim.

Esensi Solusi Buana Raih Pendanaan Seri B 420 Miliar Rupiah; Masuk ke Jajaran Centaur [UPDATED]

*Update 29/8 pukul 19.30: kami menambahkan informasi kisaran valuasi ESB

Startup SaaS bisnis kuliner Esensi Solusi Buana (ESB) meraih pendanaan seri B sebesar $29 juta atau sekitar 420 miliar Rupiah. Investasi ini dipimpin oleh Northstar Group dan Alpha JWC Ventures serta partisipasi dari BEENEXT, Vulcan Capital, dan AC Ventures.

Sebelumnya, ESB telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $10,6 juta dari sejumlah investor antara lain Alpha JWC, Vulcan Capital, BEENEXT, AC Ventures, Skystar Capital, dan Selera Kapital.

Dari pendanaan yang ada, menurut sumber yang kami dapat, saat ini valuasi ESB telah mencapai lebih dari $100 juta dan menjadikannya sebagai salah satu startup Centaur dari kategori SaaS.

ESB merupakan pengembang platform SaaS yang mengelola bisnis kuliner secara all-in-one. Startup ini didirikan oleh Gunawan Woen, Eka Prasetya, Setiadi Prawiryo Moeljadi, dan Dwi Prawira pada 2018. Berbekal pengalaman puluhan tahun di F&B dan rantai pasokan, para pendiri ESB memiliki misi membantu pemilik bisnis meningkatkan profitabilitas, penjualan, dan efisiensi operasional melalui solusi berbasis cloud.

Sejumlah solusi yang ditawarkan mencakup aplikasi pengambilan pesanan front-end, Point of Sales (POS), solusi operasi dapur, dan sistem Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (ERP) F&B back-end. Selain itu, pemilik bisnis akan mendapatkan akses ke ekosistem penyedia pihak ketiga, seperti pasokan bahan, pengiriman makanan, dan pembayaran digital.

Melalui ESB, pengusaha F&B juga mendapatkan akses ke ekosistem penyedia ESB telah melayani lebih dari 2.000 merek F&B dan mengelola lebih dari 100 juta pesanan per tahun.

Managing Director Northstar Group Carlson Lau mengungkap, ESB telah menunjukkan kinerja yang baik dan bahkan mampu melawan pesaing global yang punya kapitalisasi lebih besar dalam memenangkan F&B internasional di Indonesia. “Kami senang melihat produk dan pengembangan strategi go-to-market yang matang,” tuturnya.

Sementara, Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, “Platform ESB menghadirkan solusi berbasis cloud secara end-to-end bagi pemilik restoran agar dapat mengurangi biaya, mengelola operasional, dan meningkatkan pengiriman online. ESB siap merevolusi pasar multi-miliar dine-in dan takeaway di Indonesia,” tutur Li.

Ekspansi dan pengembangan produk

Adapun, pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauannya di pasar UMKM  dan meluncurkan produk baru. Proposisi nilai yang ditawarkan mencakup: (1) fitur pembayaran dan pinjaman yang sederhana, (2) fasilitas modal kerja, (3) pengembangan fitur untuk mendorong produktivitas UKM, (4) solusi manajemen pemesanan dan pengiriman, (5) kemampuan fitur akuntansi, dan (6) kemampuan sistem informasi SDM.

Co-Founder & CEO ESB Gunawan Woen mengatakan, pandemi telah mengakselerasi adopsi digital pada ekosistem yang terlibat di value chain F&B, mulai dari pelanggan hingga pemasok bahan. Dengan akselerasi ini, pemilik F&B terdorong untuk menjalankan operasional yang lebih ringkas dan mengeksplorasi kanal penjualan baru. Solusi ini juga diharapkan mendorong pertumbuhan bisnis di tengah pemulihan ekonomi.

Selain itu, kenaikan biaya akibat inflasi harga komoditas di awal 2022 memaksa pelaku usaha F&B untuk lebih mengoptimalkan struktur biayanya. Hal ini mendorong mereka untuk mengadopsi tools yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan produktivitas melalui layanan mandiri konsumen, otomatisasi alur kerja internal, dan pengurangan limbah makanan. ESB siap untuk memanfaatkan tren ini.

“Kami memandang mitra F&B kami setara, baik pelaku UMKM hingga bisnis skala besar. Kami berkomitmen untuk membantu pedagang kami menghasilkan penjualan lebih banyak dan meningkatkan efisiensi mereka. Dengan mencapai itu, kami dapat memastikan keberlanjutan, bankability, dan pertumbuhan mereka. Ketika mitra kami tumbuh, ESB ikut tumbuh,” ujar Gunawan.

Beberapa platform digital di Indonesia yang memiliki komitmen untuk mendukung pelaku F&B terutama skala UKM ada DigiResto yang dikembangkan MCAS. DigiResto sempat mendapat investasi dari SiCepat. Ada pula Runchise yang punya model pengelolaan bisnis waralaba (franchise) dan kuliner.

Dagangan Tengah Rampungkan Pendanaan Seri B, Sebuah Korporasi Lokal akan Turut Berpartisipasi

Sebagai platform social commerce yang mendukung pemilik warung di kota lapis 3 dan lapis 4, sejauh ini Dagangan telah mendapatkan pendanaan dari sejumlah investor. Salah satu investasi strategis yang telah diperoleh melalui pendanaan pra-seri B senilai $6,6 juta (lebih dari 95 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh BPTN Syariah Ventura.

Dari pendanaan strategis tersebut telah dilahirkan aplikasi “Warung Tepat” melalui integrasi API bersama BTPN Syariah. Selain integrasi API dan paylater, kemitraan antara kedua perusahaan juga dilakukan untuk pemberian akses pembiayaan pada mitra Dagangan dan perluasan akses pasar.

Sebelumnya Dagangan juga telah didanai oleh perusahaan tambang asal Kalimantan yaitu MMS Group, dalam putaran pendanaan seri A senilai $11, 5 juta atau setara 163,7 miliar Rupiah. Dalam pendanaan pra-seri A, Bluebird Group juga sempat berinvestasi kepada startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut.

Segera rampungkan pendanaan terbaru

Akhir tahun 2022 ini Dagangan sedang dalam proses diskusi dan finalisasi dengan salah satu investor strategis dari kalangan korporasi. Co-Founder & CEO Dagangan Ryan Manafe menyebutkan, jika semua berjalan lancar mereka akan merampungkan pendanaan seri B akhir tahun ini. Disinggung siapa korporasi yang kemungkinan akan memimpin putaran pendanaan kali ini, Ryan enggan untuk menjawab lebih lanjut.

“Jika kita perhatikan sejak awal ada beberapa investor non-VC yang kemudian tertarik untuk memberikan investasi kepada kami. Artinya mereka melihat ada ekonomi yang berbeda di Dagangan. Saat melakukan perbincangan dengan investor kalangan korporasi juga sangat berbeda dengan VC. Mereka pada umumnya langsung menanyakan apakah kami sudah untung atau EBITDA positif,” kata Ryan.

Tiga tahun sejak berdiri, Dagangan mengklaim telah mengalami pertumbuhan signifikan, di semester pertama tahun 2022 mengalami peningkatan 5x dari periode sama tahun lalu. Selain itu, tercatat 60% kenaikan pendapatan untuk pelaku UMKM di desa jangkauan Dagangan. Saat ini Dagangan telah memiliki 30.000+ pengguna aktif dengan lebih dari 500.000+ transaksi belanja bulanan melalui aplikasi dan situs web.

Pembayaran COD masih menjadi pilihan utama

Menyadari masih rendahnya penggunaan rekening bank di kalangan pemilik warung di lokasi yang disasar Dagangan, sejak awal mereka telah memberikan pilihan pembayaran Cash on delivery (COD) kepada pemilik warung. Hal ini dilakukan juga melihat dari kebiasaan para pemilik warung saat mereka melakukan pembelian di pasar hingga toko grosir sekitar menggunakan pembayaran tunai.

Saat ini pembayaran COD masih menjadi pilihan utama para pemilik warung, dan masih sulit untuk kemudian mengajak mereka untuk melakukan adopsi kepada pembayaran non tunai.

Menurut Co-Founder & President Dagangan Wilson Yanaprasetya, ke depannya mereka juga memiliki rencana untuk menambah pilihan pembayaran kepada penjual dan pembeli hingga menambahkan fitur pembiayaan, bermitra dengan pihak terkait. Namun untuk saat ini pembayaran COD masih menjadi fitur yang kemudian banyak digunakan oleh sebagian besar pemilik warung di kota lapis 3 dan 4.

Sebagai langkah awal, Dagangan kemudian meluncurkan layanan pembayaran terbaru dari BRI Virtual Account, dengan tujuan untuk menambah performa dari platform Dagangan dalam mempercepat digitalisasi pembayaran bagi masyarakat rural Indonesia.

Saat ini Dagangan telah melakukan percobaan di dua lokasi hub milik mereka yaitu di Sleman dan Magelang. Nantinya jika ada pertumbuhan dan respons positif dari dua lokasi tersebut terkait dengan pilihan pembayaran secara nontunai, akan diaplikasikan ke lokasi hub milik Dagangan lainnya. Layanan pembayaran terbaru dari BRI Virtual Account Dagangan ini sebelumnya sudah masuk dalam roadmap dari perusahaan.

Luncurkan kampanye #DimanapunJadiMudah

Model bisnis Dagangan sejak awal adalah fokus memberikan kemudahan bagi pengguna untuk berbelanja melalui berbagai channel. Mulai dari platform Dagangan ataupun dari jaringan reseller dan mitra dengan memanfaatkan digitalisasi serta analisa big data.

“Kami membangun jaringan gudang mikro (hub-and-spoke) di kota-kota tier 3-4 dan wilayah pedesaan untuk memberikan penetrasi paling dalam bagi produsen besar menjangkau desa-desa serta mendekatkan masyarakat di desa tersebut dengan akses kebutuhan sehari-hari sehingga biaya logistik menjadi lebih efisien dengan harga terjangkau,” kata Ryan.

Terkait hal ini, Dagangan pun meluncurkan kampanye terbaru #DimanapunJadiMudah untuk memaksimalkan digitalisasi rural commerce sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup, serta menciptakan ekosistem ekonomi inklusif di wilayah rural Indonesia.

“Ke depannya kami ingin menargetkan 75.000 desa di seluruh pelosok Indonesia akan terjangkau oleh platform Dagangan. Selain itu, kami ingin terus mengembangkan setiap fitur dan layanan platform kami dengan pemanfaatan big data yang kami miliki. Sehingga kami bisa membantu mencari solusi tepat atas masalah yang dihadapi masyarakat di pedesaan,” kata Wilson.

Saat ini Dagangan termasuk startup social commerce yang terus mengalami pertumbuhan positif. Sejak 2019, layanan Dagangan telah membangun lebih dari 40 hub untuk menjangkau 17.000 desa di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Terkait dengan ekspansi di luar pulau Jawa, Ryan menegaskan tidak akan mudah untuk menerapkan model yang sama di kota lapis 3 dan 4 di luar pulau Jawa. Jika nantinya mereka akan melakukan ekspansi di lokasi tersebut, target audience dan operasi pun kemungkinan besar akan berbeda. Idealnya jika memang Dagangan akan melakukan ekspansi, lokasi yang relevan untuk mereka garap di antaranya adalah Sulawesi, Kalimantan hingga Bali.

“Saat melakukan ekspansi kami juga akan melakukan konsultasi dengan produsen besar kita. Artinya akan dilakukan diskusi dengan penjual dan pembeli untuk penentuan ekspansi pasar,” kata Ryan.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Leads RPG Commerce’s Series B Funding

East Ventures is leading a $29 million or approximately 431 billion Rupiah series B funding round for RPG Commerce. In addition, this round was also led by UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), and RHL Ventures.

In his official statement, East Ventures’ Co-founder and Managing Partner, Willson Cuaca said, RPG Commerce has a unique position as it takes an approach by serving various categories, brands, and roll-up models in e-commerce sector.

He said this is an important strategy for D2C businesses to attract international interest in ensuring its success in the market. “RPG Commerce is capable to grow a loyal customer base in the United States, Canada, and Europe, through quality products and innovation in the supply chain,” Willson said.

RPG Commerce’s Co-founder & CEO, Melvin Chee said he would use the additional funding to add to the brand portfolio and the team numbers, encourage R&D innovation, also M&A. “We wanted to quickly add to our talent and leverage technology capabilities to expand our consumer landscape,” Melvin said.

On a general note, RPG Commerce is a D2C-based social commerce startup from Malaysia. The platform offers in-house brand products in the categories of daily necessities, clothing to basic household. Currently, RPG partners with more than ten brands, including Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, and Cosmic Cookware.

RPG manages various brands from product launch, operations, and optimization supported by end-to-end production and delivery. According to the company’s data, RPG is supported by state-of-the-art back-end technology and a visionary creative team that has been able to rapidly expand its brand portfolio and grow its customers by 300% over the past year.

With the spirit of supporting independent businesses with on-demand products, he aims to empower small business owners through incubation and acquisition programs to serve consumers in various verticals.

Investment climate and social commerce potential

In a recent interview with DailySocial.id, Willson Cuaca mentioned some interesting notes regarding the investment climate. Despite the negative sentiment in the Indonesian startup ecosystem, he believes that this has not changed his position in finding potential startups.

He said, there are still many startups with good fundamentals. “Remain calm and alert in dealing with this situation. Seek support from your investors, be more prudent in spending, and don’t do fundraising when your company needs money,” Willson advises the founders.

In the context of social commerce in Indonesia, this model shows the potential for great growth in the future. Bain & Co data recorded that transactions from social commerce contributed $12 billion to the total GMV of e-commerce in the country which amounted to $47 billion in 2020.

In addition, social commerce trends continue to develop considering that rural communities still have limited access to fulfill their needs through online platforms compared to people living in urban areas.

By empowering the distribution network model or reseller, social commerce can open access to products and wider job opportunities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Pimpin Pendanaan Seri B di RPG Commerce

East Ventures memimpin putaran pendanaan seri B senilai $29 juta atau sekitar 431 miliar Rupiah kepada RPG Commerce. Selain East Ventures, putaran ini juga dipimpin oleh UOB Venture Management, Vertex Ventures SEA & India (VVSEAI), dan RHL Ventures.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, RPG Commerce memiliki posisi unik karena mengambil pendekatan dengan melayani berbagai kategori, merek, dan model roll-up di sektor e-commerce.

Menurutnya, ini menjadi strategi penting bagi bisnis D2C untuk memiliki daya tarik internasional demi memastikan kesuksesannya di pasar. “RPG Commerce mampu menumbuhkan basis pelanggan loyal di Amerika Serikat, Kanada, hingga Eropa, melalui produk berkualitas dan inovasi di supply chain,” tutur Willson.

Co-founder & CEO RPG Commerce Melvin CHee menyebutkan akan menambah portofolio merek dan jumlah SDM, mendorong inovasi R&D, hingga M&A dengan tambahan pendanaan ini. “Kami ingin menambah talenta kami dengan cepat dan meningkatkan kemampuan teknologi untuk memperluas lanskap konsumen kami,” ujar Melvin.

Sebagai informasi, RPG Commerce merupakan startup social commerce berbasis D2C asal Malaysia. RPG menawarkan produk merek in-house pada kategori kebutuhan sehari-hari, pakaian hingga rumah tangga. Saat ini, RPG bermitra dengan lebih dari sepuluh merek, termasuk Thousand Miles, Bottom Labs, Eubi, Montigo, dan Cosmic Cookware.

RPG mengelola berbagai merek mulai dari peluncuran produk, operasional, hingga optimalisasi yang didukung oleh produksi dan pengiriman secara end-to-end. Menurut perusahaan, RPG didukung teknologi back-end canggih dan tim kreatif yang visioner sehingga mampu melakukan ekspansi portofolio merek dengan cepat dan pertumbuhan pelanggan hingga 300% selama satu tahun terakhir.

Dengan semangat mendukung bisnis secara independen dengan produk sesuai permintaan, pihaknya berharap dapat memberdayakan pemilik bisnis kecil melalui program inkubasi dan akuisisi demi melayani konsumen di berbagai vertikal.

Iklim investasi dan potensi social commerce

Dalam wawancara dengan DailySocial.id baru-baru ini, Willson Cuaca memberikan beberapa catatan menarik terkait iklim investasi. Terlepas dengan adanya sentimen negatif di ekosistem startup Indonesia, ia menilai hal tersebut tidak mengubah posisinya dalam mencari startup yang potensial.

Menurutnya, masih banyak startup-startup yang memiliki fundamental yang baik. “Tetap bersifat tenang dan sigap dalam menghadapi situasi ini. Mencari dukungan dari para investor Anda, be more prudent in spending, dan jangan melakukan fundraising di saat perusahaan Anda memerlukan uang,” saran Willson untuk para founder.

Dalam konteks social commerce di Indonesia, model ini termasuk yang menunjukkan potensi pertumbuhan besar di masa depan. Data Bain & Co mencatat transaksi dari social commerce menyumbang $12 miliar terhadap total GMV e-commerce di tanah Air yang sebesar $47 miliar di 2020.

Di samping itu, tren social commerce terus berkembang mengingat masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan akses dalam memenuhi kebutuhannya melalui platform online dibanding masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Dengan memberdayakan model jaringan distribusi atau reseller, social commerce dapat membuka akses terhadap produk dan kesempatan kerja lebih luas.

Dailybox Rampungkan Pendanaan Seri B Senilai 355 Miliar Rupiah

Setelah mengantongi pendanaan seri A tahun 2021 lalu, platform restoran online multi-brand Dailybox kembali mengumumkan pendanaan seri B senilai $24 juta atau sekitar 355 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Northstar Group dan Vertex Growth. Turut berpartisipasi Vertex Ventures SEA & India dan Kinesys Group.

Dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi secara nasional, mengembangkan teknologi, serta menambah brand F&B baru.

Sejak mendapatkan pendanaan awal, perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan revenue hingga 16x. Mereka juga telah memiliki tiga brand , termasuk di dalamnya Dailybox, Shirato, dan BreadLife — brand yang mereka akuisisi akhir tahun 2021 lalu.

Dailybox saat ini mengoperasikan lebih dari 150 outlet di lebih dari 20 kota di seluruh Indonesia. Selanjutnya perluasan cakupan wilayah akan difokuskan pada kota lapis kedua dan ketiga.

“Rencana ekspansi strategis kami di kota-kota non-metropolitan juga akan menciptakan banyak lapangan kerja untuk mendukung ekonomi lokal dan konsumen sekaligus memperkuat kehadiran kami secara nasional,” kata Co-founder Dailybox Group Kelvin Subowo.

Selama pandemi, Dailybox Group mencatat peningkatan transaksi lebih dari 100x, didorong oleh pendirian platform pengiriman makanan dan perubahan perilaku konsumen.

“Dailybox Group telah tumbuh secara signifikan dalam dua tahun terakhir di tengah pandemi dengan tetap menjaga ekonomi unit yang menarik. Kami terkesan dengan Kelvin dan timnya dan berharap dapat bekerja bersama-sama untuk mendorong pertumbuhan,” kata Chief Investment Officer Northstar Group Wong Chee-Yann.

Sebagai platform restoran online multi-brand, Dailybox selalu berupaya untuk fokus ke capaian profit. Meskipun sempat mengalami kendala saat awal pandemi tahun 2020 lalu, mereka mampu untuk bertahan sebagai early adopter cloud kitchen di Indonesia.

Menurut Managing Partner VVSEAI Chua Joo Hock, Dailybox Group adalah contoh startup yang berhasil menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas. Dari satu merek dengan jejak terbatas, Dailybox telah melipatgandakan pendapatannya dan bertransformasi menjadi platform kolaboratif di tengah pandemi.

“Dailybox Group telah mengembangkan formula untuk menghadirkan masakan lokal terbaik Indonesia ke masyarakat konsumen yang lebih luas dari Sumatera hingga Papua. Melalui kolaborasi erat dengan koki terkemuka, mereka telah menciptakan kembali makanan favorit dari berbagai daerah di Indonesia, membuatnya dapat diakses sambil mempertahankan rasa otentik mereka. Kami sangat terkesan dengan apa yang telah dicapai tim dan berharap dapat bekerja sama dengan Grup Dailybox,” kata Managing Director Vertex Growth Tam Hock Chuan.

Sepanjang kuartal kedua ini, kami mencatat sejumlah startup di bidang F&B mendapatkan kucuran dana investor. Mereka adalah Haus!, Ismaya, Mangokku, Flash Coffee, Green Label, dan Hangry.

Application Information Will Show Up Here

Flash Coffee Is Listed as Centaur after Closing Series B1 Funding Round

Flash Coffee has recently closed another funding in the Series B1 round. The representative confirms this information as contacted by DailySocial, however, the company is reluctant to mention further details. It is said that the closing of the B2 round will soon follow and it potentially turns the coffee chain startup into a unicorn.

From the data that has been submitted to the regulator, a number of investors were involved in the B1 Flash Coffee round. The funds raised amounted to more than $30 million, catapulting the company’s valuation to $175 million and cementing them in the centaur ranks.

Previously, Flash Coffee has secured Series A funding worth $15 million in 2021. White Star Capital led this funding, followed by a number of other investors, including DX Venture, Global Founders Capital, and Conny & Co.

Flash Coffee’s Founder & CEO, David Brunier revealed at that time that the company would expand to 10 countries in the Asia Pacific by targeting 300 new outlets or three new outlets every week.

Brunier considers that the retail coffee outlet market in Indonesia is very attractive and has great room for growth. In addition to the high population, the upper-middle-class segment with a thirst to try new products, and coffee consumption per capita keep increasing.

Flash Coffee was founded in January 2020 and now has more outlets in Indonesia, Singapore, and Thailand. It is claimed that the majority of Flash Coffee outlets have made a profit while demonstrating the success of their business model

Based on its website, there are currently around 82 outlets spread across the Greater Jakarta area. Flash Coffee remains attractive to coffee lovers even during the pandemic.

The growth of coffee tech

In the last two years, technology-enabled coffee shop platforms have received substantial funding. Starting from Fore Coffee, Janji Jiwa, Jago Coffee, and Kopi Kenangan.

Even though the F&B business has been under a lot of pressure during the pandemic, a technology-based (O2O) approach allows these coffee chain startups to survive and accelerate their business. One of them is the grab & go concept — using the developed application, users can place orders and make payments to be picked up at the nearest outlet. On the other side is taking advantage of the food delivery service.

According to research (MIX, 2020), 40% of young coffee customers in Indonesia are starting to switch to grab & go outlets. This demand is encouraged by the shifting behavior from instant coffee, as consumers want a higher quality drink — as well as pairing it with complimentary snacks. The products sold on average are in the middle price range — below premium coffee, but above instant coffee.

The presence of the application is not solely for transactions but also as a medium to increase user retention through a series of loyalty-based promotional programs and activities. Moreover, app traffic becomes useful data for studying user habits and trends to be later translated into product and service innovations.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Flash Coffee Masuk ke Jajaran Centaur Setelah Tutup Pendanaan Seri B1

Flash Coffee baru-baru ini kembali membukukan pendanaan, kali ini untuk seri B1. Kendati enggan menyebutkan detailnya, ketika dihubungi DailySocial.id, perwakilan perusahaan membenarkan kabar tersebut. Bahkan dikatakan, penutupan putaran B2 juga tidak lama lagi akan menyusul dan berpotensi membawa startup coffee chain tersebut menjadi unicorn.

Dari data yang telah disetorkan ke regulator, sejumlah investor terlibat di putaran B1 Flash Coffee. Adapun dana yang dikumpulkan berkisar lebih dari $30 juta, melambungkan valuasi perusahaan di angka $175 juta dan mengokohkan mereka di jajaran cenatur.

Sebelumnya tahun 2021 lalu, Flash Coffee telah membukukan pendanaan seri A sebesar $15 juta. White Star Capital memimpin pendanaan ini, diikuti oleh sejumlah investor lain yaitu DX Venture, Global Founders Capital, dan Conny & Co.

Founder & CEO Flash Coffee David Brunier kala itu mengungkapkan, perusahaan akan melakukan ekspansi ke-10 negara di Asia Pasifik dengan menargetkan sebanyak 300 gerai baru atau tiga gerai baru setiap minggunya.

Brunier menilai bahwa pasar gerai kopi ritel di Indonesia sangat menarik dan punya ruang pertumbuhan besar. Selain tingginya jumlah populasi jiwa, segmen kelas menengah atas yang haus mencoba produk baru dan konsumsi kopi per kapita terus meningkat.

Flash Coffee berdiri sejak bulan Januari 2020, dan sekarang telah memiliki lebih gerai di Indonesia, Singapura, dan Thailand. Diklaim mayoritas gerai Flash Coffee telah meraih keuntungan, sekaligus memperlihatkan kesuksesan model bisnisnya

Menurut data di situsnya, saat ini ada sekitar 82 gerai yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Flash Coffee tetap mampu menarik minat para pecinta kopi walaupun dalam masa pandemi. .

Pertumbuhan gerai kopi berbasis teknologi

Dalam dua tahun terakhir platform gerai kopi yang didukung oleh teknologi telah mendapatkan pendanaan yang cukup masif. Mulai dari Fore Coffee, Janji Jiwa, Jago Coffee, hingga Kopi Kenangan.

Kendati bisnis F&B banyak mengalami tekanan saat pandemi, pendekatan berbasis teknologi (O2O) memungkinkan para startup coffee chain ini untuk tetap bertahan dan mengakselerasi bisnis. Salah satunya dengan konsep grab & go  — menggunakan aplikasi yang dikembangkan, pengguna bisa melakukan pemesanan dan pembayaran untuk kemudian diambil di outlet terdekat. Atau memanfaatkan layanan food delivery.

Menurut riset (MIX, 2020), 40% pelanggan kopi kalangan muda di Indonesia juga mulai beralih ke gerai grab & go. Permintaan ini didukung oleh pergeseran dari kopi instan, karena konsumen menginginkan minuman yang lebih berkualitas — serta memadukan dengan makanan ringan pelengkap. Produk yang dijajakan rata-rata ada di rentang harga menengah — di bawah kopi premium, namun di atas kopi instan.

Hadirnya aplikasi juga tidak semata-mata hanya dimanfaatkan untuk transaksi. Namun juga sebagai media meningkatkan retensi pengguna melalui serangkaian program promosi dan aktivitas berbasis loyalty. Lebih dari itu, trafik di aplikasi juga menjadi data yang bermanfaat untuk mempelajari kebiasaan dan tren pengguna untuk kemudian diterjemahkan menjadi inovasi produk dan layanan.

Application Information Will Show Up Here