Bukalapak Dikabarkan Mulai Pertimbangkan IPO, Terus Upayakan Diversifikasi Bisnis

Kabar mengenai unicorn lokal yang berencana melakukan IPO kembali mencuat, kali ini giliran Bukalapak. Menurut sumber Bloomberg, mereka sudah mulai menjajaki potensi go-public di BEI (dengan sebagian kecil saham), lalu akan dilanjutkan melantai di bursa Amerika Serikat lewat mekanisme SPAC. Perusahaan dikatakan tengah dalam pembicaraan awal dengan beberapa perusahaan cek kosong dan sudah mulai menjalin kerja sama dengan investment bank untuk mengeksplorasi.

Lewat SPAC, diperkirakan valuasi Bukalapak akan terdongkrak menjadi $4-5 miliar dari posisi saat ini sekitar $3,5 miliar. Selain Ant Group, GIC, dan EMTEK Group, Bukalapak didukung sejumlah investor dan korporasi termasuk GIC, Naver Corp, Microsoft, dan Standard Chartered. Di Indonesia sendiri, menurut beberapa temuan riset, Bukalapak berada di posisi ketiga setelah Shopee dan Tokopedia — persaingan di lanskap online marketplace bertensi tinggi dengan dinamika bisnis yang kencang.

Untuk mengonfirmasi rencana tersebut, DailySocial sempat menghubungi Presiden Bukapalak Teddy Oetomo. Namun ia masih enggan memberikan komentar. Sementara perwakilan perusahaan mengatakan, setelah beroperasi selama 11 tahun kini fokusnya adalah membangun bisnis yang berkelanjutan untuk menciptakan dampak jangka panjang kepada UMKM dan masyarakat Indonesia melalui platform online dan online-to-offline yang dapat diandalkan.

Kabar ini mencuat setelah sebelumnya CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dalam sebuah kesempatan mengatakan, “Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company. IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dalam tulisannya, pendiri sekaligus mantan Presiden Bukapak Fajrin Rasyid mengisyaratkan dukungannya bagi startup Indonesia untuk IPO. Satu hal yang ia tekankan, bahwa net benefit bagi negara ini akan lebih baik apabila IPO tersebut dilakukan di dalam negeri, atau setidaknya dual listing di dalam dan di luar negeri.

Upayakan diversifikasi bisnis

Bukalapak masih berusaha terus mengejar profitabilitas dengan mengeksplorasi berbagai sektor di luar bisnis intinya sebagai layanan e-commerce. Misalnya lewat anak usaha yang dinamai Buka Investasi Bersama, mereka hendak mendalami bisnis investasi reksa dana, khususnya menyasar kalangan undeserved. Seperti diketahui, instrumen investasi tersebut kini lambat laun mulai populer seiring peningkatan literasi finansial berbagai kalangan masyarakat.

Dalam sebuah unggahan di LinkedIn, COO Bukalapak Willix Halim mempublikasikan bahwa pihaknya tengah melakukan perekrutan untuk berbagai posisi strategis untuk sebuah unit bisnis baru. Dalam kalimatnya, ia menuliskan kemampuan berbahasa Tagalog (bahasa asli Filipina) akan diprioritaskan. Spekulasi yang beredar, Bukalapak tengah coba mengeksplorasi pasar Filipina dengan sebuah bisnis baru. Terkait ini, kami juga sudah mencoba mengonfirmasi ke pihak Bukalapak, namun mereka memilih tidak berkomentar.

Diversifikasi bisnis menjadi strategi penting bagi Bukalapak. Kaitannya dengan bisnis pendukung e-commerce, program kemitraan warung “Mitra Bukalapak” yang dimiliki mendapati performa cukup kuat – bahkan bisa dikatakan menjadi salah satu yang paling signifikan. Sepanjang tahun 2020, disampaikan Rachmat, pertumbuhan lini ini mencapai 50%. Unit bisnis dengan nama legal “Buka Mitra Indonesia” tersebut juga sudah memiliki CEO sendiri, yakni Howard Gani. Saat ini, Bukalapak telah mengantongi 100 juta pengguna dengan 7 juta Mitra.

Bukalapak menjadi unicorn keempat yang dikabarkan segera melantai di bursa. Sebelumnya Gojek, Tokopedia, dan Traveloka telah terlebih dulu santer diperbincangkan terkait rencananya untuk IPO lewat SPAC. Selain bisnis yang memang sudah berkembang pesat, saat ini dinilai menjadi momentum tepat untuk melakukan aksi korporasi tersebut – ditinjau dari kondisi dan kesiapan pasar.

Application Information Will Show Up Here

Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Red Carpet for Startup on the Stock Market

The rhetoric of unicorn startups’ going IPO has been heating up since the beginning of this year considering it’s “time” for early generation’s VC investment startups to reach the mature stage, aka cash out to be returned to the LPs.

Therefore, it is only natural that the Indonesia Stock Exchange (IDX) openly announced that the three Indonesian unicorns are to get a dual listing. At least Gojek, Tokopedia, and Traveloka have been widely reported about its IPO this year. IPO is a way of exit for investors, apart from mergers, acquisitions, or issuing new shares.

Regardless of the technology startup status, the company’s ambition to go public is a very strategic decision as it requires a commitment to obeying stock exchange rules with good governance.

To date, technology startups that have gone public is not quite many. The IDX racked the brains to make IPOs friendly to disruptive types of companies and chose to focus on pursuing growth rather than looking for profit. Establishing acceleration boards, simplifying regulations, and creating the IDX Incubator program are some of the efforts.

IDX Incubator was first started in Jakarta in 2017, next to Surabaya and Bandung a year later. It is said to gather 114 startups, 62 startups from Jakarta, 24 startups from Bandung, and 28 startups from Surabaya.

To date, there are three startups that have successfully go public. Those are PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO), and PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH). The stock exchange officials said that there will be two startups to follow in this first semester.

Separately, DailySocial reached the Head of IDX Incubator Saptono Adi Junarso regarding the IDX Incubator evaluation. There’s no significant answer for the stock exchange study. He said his team will continue to learn and improve, therefore, the current program will be upgraded.

It requires support from various parties in order to prepare the company for an IPO. Not only from professional institutions, but also from other stakeholders such as investors, the government, and the community.

“We seek to cooperate with institutions that can support more startups and small and medium-scale companies to go public,” he said.

One of the adjustments by IDX Incubator was changing the curriculum to be more focused on helping companies with small and medium scale assets to list their shares on the IDX. This curriculum is called “Road to IPO” which has been effective since 2019.

Road to IPO has a curriculum that contains training and mentoring. With this distinction, IDX Incubator is claimed to be in a more strategic position in the ecosystem. Nor does it overlap with other incubator/accelerator programs.

“There are already some existing players for the incubation program that emphasizes business development. Therefore, we want to be a follow-on incubation program for IPO preparation,” IDX Incubator’s Operational Manager, Aditya Nugraha said.

This curriculum adjustment affects the tightening requirements for advanced startups to join. One requirement is a startup that with one step below the IPO process. However, those who join do not have to be tech startups. Conventional SMEs have the same opportunity.

Sumber: BEI
Source: BEI

Lack of enthusiasm

Apart from the three IDX Incubator graduates who made it to go public, there are 20 technology companies have run the IPOs, citing the IDX website. Five companies have been listed on the existing acceleration board. Two of those are Cashlez and Pigijo. Other technology companies are listed majority on the development board, then the main board. The acceleration board itself has been officially announced by the IDX since 2019, cited in the Regulation Number I-V.

Sumber: BEI
Source: BEI
Sumber: BEI
Source: BEI

IDX Development Director, Hasan Fawzi explained, although there aren’t many companies on the acceleration board, it does not necessarily mean that IDX missed the target. In fact, he said that the IDX remains prudent in performing its duties. Not just any company can pass the selection.

“We take a deep view of the company’s condition and its concerns about the future growth prospects. There is a mini expose for us to see from the company management perspective and whether it has confirmed business plan prospectus,” he explained.

The IDX tends to be more strict in assessing companies to enter this board as there is a responsibility to protect investors. The IDX makes different monitoring parameters because of its own board. On one side, investors are expected to fully understand all the risks of buying shares, apart from seeing the potential business being offered.

“We have required stock exchange members to submit a disclaimer for each share on the acceleration board, the interface will be different, especially for the transactions. This has been done by all stock exchange members.”

Fawzi said that the stock exchange has positioned itself as an inclusive place by offering alternative sources of funding through IPOs. “It’s possible because it is still small [the scale of the business] is still difficult to obtain conventional [financial institutions] funding sources.”

According to Indef’s economist and researcher, Nailul Huda, the stock exchange still needs a long time to grow enthusiasm for startups to go public. Basically, IDX Incubator is only a means. The success or failure of an IPO depends on the ability of the company itself.

“Currently, there is equity crowdfunding as an alternative to IPO besides the IDX. This is more possible as it is a very complicated process with the IDX and you have to deposit standardized financial reports. It’s tough for those who may not have capable financial staff.”

Another thing that may be burdensome for startups is maintaining share prices. There are many US-based tech companies which stock prices went down after the IPO. On average, they do not have a strong pathway to ascertain how the company will be profitable in the future.

“[Because] the aim is valuation. As calculated from the GMV and the number of subscriber coverage. The business model is yet to explain how the future profits will be.”

Huda also said that the concept of stock prices does not always reflect company performance.

“High stock prices with bad fundamentals will surely be a hit and irrational buyers, it’ll be brief. However, if the company’s performance and fundamentals are good, the stock price will tend to increase. One interesting example [that does not reflect the company’s performance] is Gamestop.”

When the three unicorns successfully enter the market, Nailul is not certain that other startups will immediately be motivated to follow the same steps. They definitely monitor the listing results. If it makes a good share price at the beginning, that means they are only looking for money at the beginning. After that, the stock price is no longer matters.

“It will indeed be a standard for other technology companies not to be listed early. However, if it makes a good result, it will definitely become a benchmark for other companies to list.”

Sumber: Traveloka
Source: Traveloka

Separately, at a media gathering held by East Ventures (19/2), East Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Willson Cuaca said that all startups must eventually be listed on the stock exchange, but not all startups can do because each is in a different stage. Moreover, IPO is only part of the cycle of a company.

For startups, the advantages are having additional liquidity and having very good compliance as they have to comply with stock exchange rules. Meanwhile, being a public company is the valuation validation for investors that have been measured before investing in the startup, whether it is a good deal or not.

“Which startups do I think should list? All startups must be listed because there is validation of valuation, liquidity, and increased compliance. But can all startups be listed? No, because it takes time to get to that point. If the early-stage startup is busy taking that step, they will not be able to make products,” Cuaca said.

Significant groundwork

The stock exchange is getting serious about encouraging unicorns to enter the capital market by making a number of adjustments. Their presence is considered to motivate other startups for listing.

Fawzi explained that his team had intensive meetings with unicorn stakeholders to discuss the obstacles. First is the demand to enter the main board because it provides more added value for its investors, than a development or acceleration board.

This makes sense given that the valuation of each company deserves to be aligned with a public company with large capitalization in Indonesia.

Sumber: Tokopedia
Source: Tokopedia

Therefore, the IDX is finalizing the change to regulation number I-A, this rule will later accommodate various characteristics of issuers, including technology companies for IPOs. “We really want to [enforce the rules], but now we are in the process of discussing it to get approval from the OJK.”

According to the current stock exchange regulations, there is an obligation for companies attempting to enter the main board to have tangible assets (net worth). Meanwhile, the characteristic of startups is intangible assets are larger than tangible assets. Therefore, the stock exchange will provide other measurement aspects, such as revenue and market utilization.

“We can’t deny the fact that we had not been prepared for companies which strategy development was different from companies in general.”

Second, that is a concern and currently being prepared by the stock exchange is the classification of the sub-sectors according to the business of the unicorns. The stock exchange launched the IDX Industrial Classification (IDX-IC) on January 25. This classification changes the stock exchange classification used previously since 1996, the Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA). The transition process was run for three months.

IDX-IC uses a grouping method based on market exposure for the final goods or services used by listed companies, aiming to provide guidance for users regarding groups of companies with similar market exposure.

The categories are more detailed into four levels, sector, sub-sector, industry, and sub-industry. Currently, JASICA has classified issuers by sector based on the principle of economic activity, therefore, it is only divided into two levels, sector and sub-sector.

Fawzi explained, the IDX-IC uses benchmarks of global exchanges, similar to the index published by private parties such as Bloomberg.

Global investors will be happier if they can compare company shares to similar industrial groups in other countries. As compared by sector, it is more apple-to-apple to see the growth or performance of its peers.

“In fact, it is more comparable now. Companies that have been listed can also benefit as they were previously included in the general category, some have entered services or trading, now there is a sports to entertainment sub-sector which is more suitable in their field.”

The final request is related to the potential implementation of several rules, such as the special right of the founders to conduct dual class shares by giving different voting weight to the founding shareholders and public shareholders. Next, the multiple voting share scheme or one share owned by the founder has more rights than ordinary shares in terms of decision making.

Junarso added, in finalizing this framework, IDX will not only focus on increasing the supply side, but also on investment demand from sophisticated investors for technology companies, such as venture capital, private equity, and other investors by engaging and inviting them to enter the Indonesian capital market.

Dual listing

Dual listing is not a new thing in the global exchange world, however, this strategy is rarely chosen by most companies in Indonesia. Global tech companies, such as Alibaba and Sea Group, choose the United States stock exchange as it is the largest stock market in the world. NYSE (New York Stock Exchange) is the largest, followed by NASDAQ, which consists of technology companies.

For example, millions of shares can travel fast [per second] between buyers and sellers on the NYSE. Due to the high volume of exchange, the transaction process is relatively easy. In other words, the U.S. stock market is very liquid with low transaction costs.

To date, only a few local companies going public on the global stock exchange. Quoting from Bisnis.com, a number of state-owned companies that are making dual listings were Indosat, Telkom Indonesia, Aneka Tambang, and Timah. Telkom and Antam are the only ones still implementing this strategy.

Telkom has been listed on the NYSE since 25 years ago. The journey has not always very smooth along the way. They were threatened with delisting as they failed to meet the submission deadline of the 2002 financial report audit.

Samuel Sekuritas Indonesia’s (SSI) Head of Research, Suria Dharma believes that dual listings have a positive impact on companies in general because they can have access to bigger sources of funding. However, there is a price to pay, that regulations and reporting are often more strict than at home.

Meanwhile, for unicorns, because they are predicted to have a large market capitalization, this dual listing scheme is expected to make a broader penetration for potential investors. It will result in a chunk of fresh funds.

He described the stock price movements for the dual listing companies to adjust to one another. “Previously, it only follows the global price but now vice versa, it’s often to follow Indonesian price. It might be because Indonesian investors are getting more of the latest information.”

Willson added that the dual listing to be performed by local unicorns can combine the two best things, entering the US and local exchanges. “This is related to nationalism. If it can be dual, of course the local market will be more excited. We have to go to the US because there is a huge capital market, this is the perfect combination.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Gelar Karpet Merah Bursa untuk Startup

Sejak awal tahun ini, wacana IPO startup unicorn semakin memanas mengingat sudah “waktunya” investasi VC untuk startup generasi awal masuk tahap mature, alias harus cash out untuk dikembalikan ke para LP.

Untuk itu wajar jika Bursa Efek Indonesia (BEI) terang-terangan mengeluarkan wacana bahwa tiga unicorn Indonesia akan memilih dual listing. Setidaknya Gojek, Tokopedia, dan Traveloka sudah santer diberitakan bakal IPO tahun ini. IPO adalah salah satu cara exit bagi investor, selain merger, akuisisi, atau menerbitkan saham baru.

Kepentingan perusahaan untuk melantai, terlepas statusnya startup teknologi atau bukan, adalah keputusan yang sangat strategis karena harus berkomitmen tunduk ke aturan bursa dengan tata kelola yang baik.

Hingga kini, startup teknologi yang sudah melantai masih bisa dihitung jari. Bursa memutar otak untuk membuat IPO ramah terhadap jenis perusahaan yang disruptif dan memilih fokus mengejar pertumbuhan daripada cari untung. Membuat papan akselerasi, menyederhanakan regulasi, dan membuat program IDX Incubator, adalah beberapa upaya tersebut.

IDX Incubator pertama kali dimulai di Jakarta pada 2017, menyusul Surabaya dan Bandung pada setahun kemudian. Disebutkan saat ini memiliki 114 startup binaan, sebanyak 62 startup dari Jakarta, 24 startup dari Bandung, dan 28 startup dari Surabaya.

Sejauh ini, ada tiga startup binaan yang berhasil melantai. Mereka adalah PT Yelooo Integra Datanet Tbk (YELO), PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO), dan PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH). Pejabat bursa menyebut pada semester I ini akan ada dua startup binaan yang menyusul.

Secara terpisah, DailySocial menghubungi Head of IDX Incubator Saptono Adi Junarso terkait evaluasi IDX Incubator sejauh ini. Ia tidak memberikan jawaban spesifik seperti apa pembelajaran bursa. Dijelaskan bahwa pihaknya terus belajar dan berbenah agar program yang dijalankan semakin baik.

Dibutuhkan lebih banyak dukungan dari berbagai pihak guna mempersiapkan perusahaan menuju IPO. Tidak hanya dari lembaga profesi penunjang, tapi juga dari stakeholder lainnya seperti investor, pemerintah, dan komunitas.

“Kami senantiasa berusaha bekerja sama dengan instansi-instansi yang dapat mendukung lebih banyak lagi startup maupun perusahaan skala kecil menengah untuk go public,” katanya.

Salah satu penyesuaian yang dilakukan IDX Incubator adalah mengubah kurikulum agar lebih fokus membantu perusahaan dengan skala aset kecil dan menengah untuk mencatatkan sahamnya di BEI. Kurikulum ini dinamai “Road to IPO” yang berlaku sejak 2019.

Road to IPO memiliki kurikulum yang berisi training dan mentoring. Dengan pembeda seperti ini, IDX Incubator diklaim berada di posisi yang lebih strategis di ekosistem. Tidak tumpang tindih pula dengan program inkubator/akselerator lainnya.

“Untuk incubation program yang menekankan kepada pengembangan bisnis, sudah ada beberapa pemainnya. Nah kami ingin menjadi incubation program lanjutan untuk persiapan IPO,” kata Operational Manager IDX Incubator Aditya Nugraha.

Penyesuaian kurikulum ini berdampak pada pengetatan syarat startup binaan yang ingin bergabung. Salah satunya adalah startup yang sudah satu langkah di bawah proses IPO. Kendati demikian, mereka yang bergabung tidak harus berbentuk startup teknologi. UKM konvensional punya kesempatan yang sama.

Sumber: BEI
Sumber: BEI

Antusiasme masih minim

Selain tiga lulusan IDX Incubator yang berhasil melantai, mengutip laman BEI, ada 20 perusahaan teknologi yang sudah IPO. Bila melihat dari papan yang digunakan, tercatat ada lima perusahaan yang tercatat di papan akselerasi. Dua di antaranya adalah Cashlez dan Pigijo. Perusahaan teknologi lainnya tercatat mayoritas di papan pengembangan, lalu papan utama. Papan akselerasi itu sendiri sudah diresmikan BEI sejak 2019, termuat dalam Peraturan Nomor I-V.

Sumber: BEI
Sumber: BEI
Sumber: BEI
Sumber: BEI

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menjelaskan, meski perusahaan di papan akselerasi masih bisa dihitung jari, bukan dalam artinya ini tidak sesuai dengan target yang dibidik BEI. Ia justru memandang bahwa BEI tetap prudent dalam menjalankan tugasnya. Tidak sembarang perusahaan yang bisa lolos seleksi.

“Kami lihat betul kondisi perusahaan dan bagaimana concern mereka terhadap prospek pertumbuhan ke depannya seperti apa. Ada mini expose untuk kami lihat dari sisi manajemen perusahaan dan prospektus business plan-nya terkonfirmasi atau enggak,” paparnya.

BEI cenderung lebih ketat dalam menilai perusahaan yang ingin masuk ke papan ini karena ada tanggung jawab untuk melindungi investor. BEI membuat parameter pengawasan yang berbeda karena papannya tersendiri. Di satu sisi, investor diharapkan sudah betul-betul paham dengan segala risiko membeli saham di sana, selain melihat potensi bisnis yang ditawarkan.

“Kami sudah wajibkan anggota bursa untuk menyampaikan disclaimer untuk setiap saham di papan akselerasi, interface-nya akan berbeda khusus untuk transaksi di sini. Ini sudah dilakukan oleh semua anggota bursa.”

Hasan menuturkan saat ini bursa menempatkan diri sebagai tempat yang inklusif dengan menawarkan sumber pendanaan alternatif melalui IPO. “Kan mungkin saja karena masih kecil [skala bisnisnya] masih sulit dapat sumber pendanaan dari [institusi keuangan] konvensional.”

Menurut ekonom sekaligus peneliti Indef Nailul Huda, bursa masih butuh waktu panjang untuk menumbuhkan antusiasme startup untuk melantai. Pada dasarnya IDX Incubator hanya sebatas sarana. Sukses atau tidaknya IPO tergantung kemampuan perusahaan itu sendiri.

“Saat ini ada equity crowdfunding sebagai alternatif IPO selain di BEI. Hal itu lebih memungkinkan karena jika di BEI ini prosesnya sangat ribet dan harus setor laporan keuangan terstandarisasi. Berat bagi mereka yang mungkin tidak memiliki staf bidang keuangan yang mumpuni.”

Hal lain yang mungkin memberatkan startup adalah menjaga harga saham. Banyak cerita perusahaan teknologi di Amerika Serikat yang justru harga sahamnya memburuk setelah IPO. Rata-rata mereka tidak memiliki jalur yang kuat untuk memastikan bagaimana perusahaan bisa untung ke depannya.

“[Sebab] yang dikejar kan hanya valuasi. Dihitung dari GMV dan besaran jangkauan subscriber. Model bisnisnya belum bisa menjelaskan bagaimana keuntungan ke depan.”

Nailul juga berpendapat, konsep harga saham tidak selalu mencerminkan kinerja perusahaan.

“Harga saham tinggi tapi fundamental perusahaan jelek sudah pasti banyak bermain dan pembeli irasional, hanya sebentar biasanya. Tapi kalau kinerja perusahaan dan fundamentalnya bagus harga saham akan cenderung meningkat. Salah satu contoh menarik [yang tidak mencerminkan kinerja perusahaan] adalah Gamestop.”

Seandainya tiga unicorn ini sukses masuk ke bursa, Nailul berpendapat belum tentu startup lainnya langsung terdorong untuk mengekor ke strategi yang sama. Mereka pasti memantau dari hasil listing. Kalau harga sahamnya oke di awal saja, artinya mereka hanya mencari cuan di awal. Setelahnya masa bodoh sama harga saham.

“Tentu akan menjadi patokan bagi perusahaan teknologi lainnya untuk tidak listing dulu. Tapi kalau hasilnya bagus pasti akan menjadi patokan bagi perusahaan lainnya juga untuk listing.”

Sumber: Traveloka
Sumber: Traveloka

Secara terpisah, dalam temu media yang diselenggarakan East Ventures (19/2), Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memandang semua startup pada akhirnya harus tercatat di bursa, tapi tidak semua startup bisa melakukan itu karena masing-masing berada dalam tahap yang berbeda. Terlebih lagi, IPO hanyalah bagian dari cycle dari suatu perusahaan.

Bagi startup, keuntungan bisa tercatat adalah punya tambahan likuiditas dan memiliki kepatuhan yang sangat baik karena harus tunduk pada aturan bursa. Sementara itu, bagi investor, menjadi perusahaan terbuka itu adalah pembuktian validasi valuasi yang selama ini diukur sebelum melakuan investasi ke startup tersebut, apakah tepat atau tidak.

“Menurut saya startup mana yang harus listing? Semua startup harus listing karena ada validasi valuasi, likuiditas, dan compliance ditingkatkan. Tapi apakah semua startup bisa listing? Tidak bisa, karena untuk sampai ke titik itu butuh waktu. Kalau startup awal sibuk ke sana enggak akan bisa buat produk,” ucap Willson.

Persiapan serius lainnya

Bursa semakin serius mendorong unicorn masuk ke pasar modal dengan membuat sejumlah penyesuaian. Kehadiran mereka dianggap bisa mendorong gairah startup lain untuk listing.

Hasan menerangkan, mereka telah bertemu secara intensif dengan para stakeholder unicorn untuk berdiskusi tentang hal apa saja yang menjadi ganjalan. Permintaan pertama adalah keinginan untuk masuk ke papan utama karena memberikan lebih banyak nilai tambah untuk para investornya, ketimbang papan pengembangan atau akselerasi.

Hal ini memang masuk akal melihat valuasi masing-masing perusahaan layak untuk disejajarkan dengan perusahaan terbuka dengan kapitalisasi besar di Indonesia.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Untuk itu, BEI tengah memfinalisasi perubahan peraturan nomor I-A, nantinya aturan ini akan mengakomodasi berbagai karakteristik emiten, termasuk perusahaan teknologi untuk IPO. “Kita sih benar-benar ingin segera [aturan diberlakukan], tapi sekarang sedang proses pembahasan agar mendapat persetujuan dari OJK.”

Menurut aturan bursa yang berlaku saat ini, ada kewajiban perusahaan yang berniat masuk ke papan utama adalah memiliki tangible assets (aset yang berwujud bersih). Sementara itu, karakteristik dari startup adalah kepemilikan intangible assets yang lebih besar dari tangible assets. Maka dari itu bursa akan memberikan aspek pengukuran lainnya, seperti pendapatan dan market utilisasi.

“Kami tidak memungkiri kenyataan dulu belum terakomodir untuk perusahaan seperti mereka yang pengembangan strateginya berbeda dengan perusahaan pada umumnya.”

Hal kedua yang menjadi perhatian dan sudah disiapkan bursa adalah klasifikasi sub-sektor yang sesuai dengan bisnis dari para unicorn. Pihak bursa meluncurkan IDX Industrial Classification (IDX-IC) pada 25 Januari lalu. Klasifikasi ini mengubah klasifikasi bursa yang dipakai sebelumnya sejak 1996, yakni Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA). Proses transisi dilaksanakan selama tiga bulan.

IDX-IC menggunakan metode pengelompokkan berdasarkan eksposur pasar atas barang atau jasa akhir yang digunakan perusahaan tercatat, bertujuan untuk memberikan panduan bagi para pengguna terkait kelompok perusahaan dengan eksposur pasar yang sejenis.

Pembagiannya lebih mendetail dalam empat tingkat, yakni sektor, subsektor, industri, dan subindustri. Adapun JASICA selama ini mengelompokkan emiten per sektor berdasarkan prinsip aktivitas ekonomi, sehingga pembagiannya hanya dua tingkat, yakni sektor dan subsektor.

Hasan menerangkan, IDX-IC menggunakan benchmark yang dipakai bursa global, termasuk mirip dengan indeks-indeks yang diterbitkan pihak swasta seperti Bloomberg.

Investor global akan lebih senang kalau saham yang mereka tanamkan untuk perusahaan dapat dibandingkan dengan kelompok industri sejenis di negara lain. Ketika dibandingkan berdasarkan sektornya jadi lebih apple-to-apple untuk melihat pertumbuhan atau kinerja dari peer-nya.

“Sehingga sekarang jadi lebih comparable. Perusahaan yang sudah listed juga dapat manfaatnya karena tadinya masuk kategori yang umum, ada yang masuk ke jasa atau trading, sekarang sudah ada subsektor sport hingga entertainment yang lebih cocok di bidangnya.”

Permintaan terakhir terkait potensi penerapan beberapa aturan, seperti hak khusus para founder melakukan dual class share dengan cara memberikan bobot pemungutan suara (vote) yang berbeda antara pemegang saham pendiri dan pemegang saham publik. Lalu penerapan skema multiple voting share atau satu saham milik founder punya memiliki hak yang lebih besar dari saham biasa dalam hal pengambilan keputusan.

Saptono menambahkan, dalam menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah ini, BEI tidak hanya fokus meningkatkan sisi supply, tapi juga dari demand investasi dari para sophisticated investor untuk perusahaan-perusahaan teknologi, seperti modal ventura, private equity, maupun investor lainnya dengan melakukan engagement dan mengajak mereka masuk ke pasar modal Indonesia.

Dual listing

Dual listing bukan hal baru di dunia bursa global, namun di Indonesia strategi ini jarang dipilih kebanyakan perusahaan. Perusahaan teknologi global, seperti Alibaba dan Sea Group, memilih bursa Amerika Serikat karena di sana adalah pasar saham terbesar di dunia. NYSE (New York Stock Exchange) adalah yang terbesar, disusul NASDAQ yang komposisinya dihuni perusahaan teknologi.

Di NYSE misalnya, jutaan saham dapat berpindah tangan antara pembeli dan penjual per detiknya. Karena volume pertukaran yang tinggi, maka relatif mudah proses transaksinya. Dengan kata lain pasar saham A.S sangat likuid dengan biaya transaksi yang rendah.

Sejauh ini perusahaan lokal yang melantai di bursa global masih bisa dihitung jari. Mengutip dari Bisnis.com, sejumlah BUMN yang melakukan dual listing ada Indosat, Telkom Indonesia, Aneka Tambang, dan Timah. Hanya Telkom dan Antam yang masih melakukan strategi ini sampai sekarang.

Telkom sudah tercatat di NYSE sejak 25 tahun lalu. Perjalanannya tidak selalu mulus. Mereka sempat terancam delisting karena tidak dapat memenuhi batas akhir penyampaian audit laporan keuangan tahun 2002.

Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Suria Dharma berpendapat dual listing punya dampak positif bagi perusahaan pada umumnya karena bisa memiliki akses ke sumber pendanaan yang lebih besar. Meskipun demikian, di balik itu ada harga yang harus dibayar, yakni peraturan dan pelaporannya seringkali lebih ketat daripada di dalam negeri.

Sementara bagi unicorn, karena mereka diprediksi punya kapitalisasi pasar yang besar, skema dual listing ini diperkirakan membuat potensi penyebaran ke calon investor juga jauh lebih besar. Alhasil dana segar yang bisa diraup lebih besar.

Dia menggambarkan pergerakan harga saham bagi perusahaan yang dual listing itu saling menyesuaikan satu sama lain. “Dulu seringkali mengikuti harga di luar negeri, tapi sekarang malah kebalikannya lebih sering mengikuti harga di Indonesia. Mungkin karena semakin banyak info yang lebih dahulu diketahui investor di Indonesia.”

Willson menambahkan, dual listing yang akan dilakukan unicorn lokal dapat menggabungkan dua hal yang terbaik, masuk ke bursa AS dan lokal. “Ini berhubungan dengan nasionalisme. Kalau bisa dual, tentu pasar lokal akan lebih bergairah. Harus ke AS karena di sana capital market-nya besar sekali, jadi ini menggabungkan the best of both.”


Gambar header: Depositphotos.com

Traveloka Drops Strong Signal to Go Public on The New York Stock Exchange

Traveloka’s plan to go public on the stock exchange is getting obvious. In an interview with Bloomberg, Traveloka’s Co-Founder & CEO Ferry Unardi said, after going through his most difficult period at the beginning of the Covid-19 pandemic, this year is the right time for companies to go public. He believes that the company’s current state is great and the market is quite welcoming.

He said Traveloka’s business model has a clear profit path. Currently, its main business (travel and accommodation) is claimed to be profitable, while continuing to explore other business models, such as fintech. One of Traveloka’s focuses is providing paylater services.

He also implied that the company has been prepared to go public this year. Ferry has mentioned that Traveloka is to go public on the New York Stock Exchange (NYSE), then the local stock exchange.

The SPAC scheme may be an option due to its efficiency in terms of time. He emphasized that companies like Traveloka need an agile approach, therefore, they can focus on executing business growth post going public.

Previously, a Bloomberg source said Traveloka had chosen JPMorgan Chase & Co. as a strategic partner to explore potential IPOs on the NYSE. In addition, a Reuters source said, several blank check companies were in discussion to help with this process, including Provident Acquisition, COVA Acquisition, and Bridgetown Holdings.

SPAC is becoming a startups’ choice to go public on the NYSE. In a simple way, a blank check company that already goes public will conduct M&A on startups in need to go public on the stock exchange, therefore the startup is automatically listed on the exchange (direct listing). The process is faster, it can be within weeks as it doesn’t require a complex financial reporting process like the traditional IPO.

Traveloka is a leading regional OTA platform that is available in 6 Southeast Asian countries and Australia.

Is it the right momentum?

The pandemic had stopped the OTA business globally. Traveloka transaction volume was seriously affected. Ferry claims, the company started to climb back up in July 2020, and the transaction volume has getting recovered, reaching 50% pre-Covid-19, making their core business profitable.

Last year, Traveloka has secured new funding of $250 million or the equivalent of 3.6 trillion Rupiah. In order to raise the fund, Traveloka’s valuation is estimated to drop to $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). This down round action was taken because the company’s business was hit by Covid-19 and experienced a decrease in service traction.

There are some risk mitigation acts as the impact of Covid-19, one of which was performing business and operational efficiency. The company reportedly made a significant number of employee layoffs. Domestic travel is being optimized to maximize sales potential amid the relaxing massive social restrictions implemented in many regions.

It becomes an interesting question, after the business dropping and conditions are yet to fully recovered (especially in the travel industry), is this the right time for an IPO? What is clear is that Traveloka’s IPO plan has been revealed since before the pandemic. At the end of 2019, Ferry said that the startup is to perform an IPO in the next 2-3 years.

We had a chance to talk with Traveloka’s early investors, Willson Cuaca, Managing Partner of East Ventures and EV Growth, regarding the startup’s IPO process. He said that the pandemic will not affect the IPO plans. He said Indonesia’s startup current situation is quite ready.

“Whether there is a pandemic or not, the IPO is about time. For example, Tokopedia is 11 years old, Traveloka 8 years old, and others. Besides, monetization has getting visible, many have started to be profitable, the roadmap is getting clear, it’s only a matter of means. However, due to the pandemic, the government has issued more initiative. [..] It can accelerate the opportunity for IPO,” Willson explained.

Apart from East Ventures and EV Growth, Traveloka is also supported by some other investors, such as GIC, Expedia Group, and Rocket Internet. The company’s valuation is estimated at $3 billion and they want to go public on the stock exchange with a market capitalization of $4-6 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Traveloka Beri Sinyal Kuat Melantai di Bursa Saham New York Tahun Ini

Rencana Traveloka melantai di bursa semakin terang terbaca. Dalam wawancara bersama Bloomberg, Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi mengatakan, setelah melewati masa tersulitnya di awal Covid-19, tahun ini menjadi waktu yang tepat bagi perusahaan untuk go public. Ia meyakini kondisi perusahaan sudah siap dan pasar juga dinilai akan menyambut baik.

Ia mengatakan model bisnis Traveloka sudah memiliki jalur profit yang jelas. Untuk sekarang, bisnis utama mereka (travel dan akomodasi) diklaim sudah mendapatkan profit, sembari terus mengeksplorasi model bisnis lain, seperti fintech. Salah satu fokus Traveloka menghadirkan layanan paylater.

Secara implisit tahun ini persiapan go public sudah diagendakan perusahaan. Ferry sudah menyebut Traveloka akan terlebih dulu melantai di bursa saham New York (NYSE), kemudian menyusul di bursa lokal.

Mekanisme SPAC kemungkinan menjadi pilihan karena efisiensi di sisi waktu. Ia menekankan perusahaan seperti Traveloka butuh pendekatan gesit, agar segera fokus ke eksekusi pertumbuhan bisnis pasca go public.

Sebelumnya sumber Bloomberg menyebutkan Traveloka telah memilih JPMorgan Chase & Co. sebagai mitra strategis untuk mengeksplorasi potensi IPO di NYSE. Sebelumnya sumber Reuters menyebutkan, beberapa perusahaan cek kosong (blank check company) tengah berdiskusi untuk membantu proses ini, di antaranya Provident Acquisition, COVA Acquisition, dan Bridgetown Holdings.

SPAC makin menjadi pilihan bagi startup melantai di NYSE. Secara sederhana, perusahaan cek kosong yang sudah go public akan melakukan M&A terhadap startup yang ingin melantai di bursa, sehingga secara otomatis startup tersebut langsung terdaftar di bursa (direct listing). Prosesnya lebih cepat, bisa dalam hitungan minggu, karena sudah tidak ada lagi proses pelaporan finansial yang kompleks seperti tahapan IPO tradisional.

Traveloka adalah platform OTA regional terdepan yang sudah hadir di 6 negara Asia Tenggara dan Australia.

Apakah akan jadi momentum terbaik?

Pandemi sempat menghentikan bisnis OTA secara global. Volume transaksi Traveloka pun sempat terdampak serius. Ferry mengklaim, perusahaan mulai merangkak kembali di bulan Juli 2020 dan kini volume transaksi mulai pulih, menyentuh angka 50% pra-Covid-19, membawa core business mereka jadi profitable.

Tahun lalu Traveloka juga membukukan pendanaan baru senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

Beberapa hal dilakukan sebagai langkah mitigasi dampak akibat Covid-19, salah satunya dengan melakukan efisiensi bisnis dan operasional. Perusahaan dikabarkan melakukan lay off pegawai dengan jumlah signifikan. Perjalanan domestik juga terus dioptimalkan untuk memaksimalkan potensi penjualan di tengah pelonggaran setelah pembatasan sosial besar-besaran yang dilakukan di banyak daerah.

Menjadi pertanyaan menarik, setelah bisnis dihantam dan kondisi belum sepenuhnya baik (khususnya di industri perjalanan), apakah ini menjadi waktu yang tepat untuk IPO? Yang jelas rencana IPO Traveloka sudah mulai diungkapkan sejak sebelum pandemi. Di sebuah kesempatan pada akhir tahun 2019, Ferry menyebutkan IPO akan dilakukan startupnya dalam 2-3 tahun mendatang.

Kami sempat berbincang dengan investor awal Traveloka, Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures dan EV Growth, terkait proses IPO startup. Ia mengatakan bahwa pandemi tidak akan berpengaruh pada rencana IPO. Menurutnya saat ini kondisi startup di Indonesia sudah sangat siap untuk melakukan itu.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. [..] Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Selain East Ventures dan EV Growth, Traveloka juga didukung beberapa investor lain, seperti GIC, Expedia Group, dan Rocket Internet. Valuasi perusahaan ditaksir berada di angka $3 miliar dan mereka ingin melantai di bursa dengan kapitalisasi pasar $4-6 miliar.


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

SPAC Melejit: Unicorn Asia Tenggara Enggan Melirik IPO Tradisional

Ketika ekonomi digital China semakin matang, perusahaan teknologi telah memiliki sumber penawaran umum perdana (IPO) yang stabil di bursa AS dan bursa domestik di Hong Kong, Shanghai, dan Shenzhen.

Di Asia Tenggara, IPO Sea Group 2017 di Bursa Efek New York menjadi contoh bagi perusahaan teknologi di kawasan sekitarnya yang bercita-cita menjadi perusahaan publik, termasuk unicorn bernilai tinggi seperti aplikasi perjalanan Indonesia Traveloka, platform e-commerce Bukalapak, dan Tokopedia, bersama dengan raksasa layanan digital yang berbasis di Singapura, Grab.

Namun, sampai perusahaan-perusahaan ini beranjak dewasa dan mempertimbangkan untuk melakukan penawaran umum, IPO konvensional telah kehilangan pamornya. Sekarang, akuisisi perusahaan dengan tujuan khusus, atau SPAC, menjadi solusi. Juga dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Jenis perusahaan ini tidak memiliki model bisnis independen selain transaksi keuangan ini.

Dengan karakter tersebut, ketua Komisi Sekuritas dan Bursa AS, Jay Clayton, menyarankan investor untuk mengukur motivasi sponsor SPAC. Sering kali merupakan perusahaan ekuitas swasta (PE) terkemuka yang menggunakan SPAC untuk melewati bank investasi dan biaya emisi mereka untuk membawa perusahaan swasta ke pasar publik.

Proses IPO konvensional itu rumit, mahal, dan memakan waktu. Untuk startup teknologi di Asia, SPAC adalah opsi penggalangan dana yang lebih murah dan lebih efisien.

SPAC telah mendapatkan momentum besar di AS pada tahun 2020. Lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar USD 70 miliar, memberikan referensi pada pasar Asia untuk tahun 2021.

Unicorn di Asia Tenggara

Tokopedia menjadi salah satu target Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li, untuk penggabungan cek kosong pada Desember 2020. Jika kesepakatan berlanjut, hal ini bisa menjadi trendsetter di regional.

Grab, yang menjadikan SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.
Grab, dimana SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing berperan sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.

“Sebagai gambaran, SPAC telah hadir selama beberapa dekade. Mereka sangat populer di pertengahan hingga akhir tahun sembilan puluhan, tetapi menjadi ketinggalan zaman ketika investor kehilangan uang,” ungkap Joel Shen, pengacara perusahaan di firma hukum global Withers kepada KrASIA. Dia percaya bahwa kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

SoftBank, salah satu investor Tokopedia, mengajukan IPO SPAC pada bulan Desember dengan tujuan untuk mengumpulkan USD 525 juta. SoftBank telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan tahap pertumbuhan di seluruh dunia, dan beberapa di antaranya mungkin menjadi target yang menarik untuk SPAC-nya, SVF Investment Corp.

Dengan SoftBank — raksasa dalam investasi teknologi — memasuki ruang SPAC, perusahaan portofolionya seperti Grab dapat menemukan rute cepat ke simbol saham New York. “SPAC memungkinkan target mereka untuk mendaftar tanpa terlebih dahulu melalui proses IPO yang mahal dan memakan waktu, dan berpotensi menawarkan pemegang saham target, termasuk investor institusional seperti VC, jalan keluar yang lebih cepat daripada IPO tradisional,” kata Shen .

Jika unicorn Indonesia bisa melalui model ini, maka hal ini akan menjadi barometer yang baik untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan Asia Tenggara dengan fokus pasar lokal akan diterima di bursa asing.

Namun demikian, SPAC memiliki kelemahan. Karena mereka adalah perusahaan cek kosong, investor bertaruh pada sponsor SPAC daripada kualitas bisnis, kata Shen.

Selain itu, merger SPAC harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu — biasanya antara 18 dan 24 bulan. Jika tidak ada akuisisi yang dilakukan sebelum akhir jangka waktu, sponsor dapat mempertimbangkan kualitas aset dan daya tawar.

Sementara pasar modal China di Shanghai dan Shenzhen menawarkan rute alternatif ke perusahaan teknologi dalam negeri untuk penggalangan dana yang signifikan, perusahaan rintisan teknologi Asia Tenggara tidak memiliki opsi yang sama di dalam negeri, hal ini mendorong mereka ke arah merger SPAC di valuta asing.

Menurut seorang analis yang akrab dengan subjek tersebut, ledakan SPAC pada tahun 2020 menandai awal dari era baru di mana investor institusional teratas, biasanya perusahaan PE swasta terkemuka, menjadi kekuatan pasar yang lebih berperan dalam penetapan harga IPO. “Secara tradisional, harga IPO ditentukan oleh bankir investasi yang membangun pembukuan melalui serangkaian pembicaraan tertutup dan berturut-turut dengan perusahaan PE. Namun, dengan SPAC di tangan, manajer PE bisa menanggalkan peran bankir ini dan mencapai kesepakatan langsung dengan pemilik aset,” ujar analis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Traveloka Dikabarkan Juga Segera “Go Public”, Buka Opsi Melalui SPAC

Traveloka menjadi startup unicorn kedua yang disebutkan segera melantai di bursa saham. Kali ini mereka lebih terbuka mengungkapkan mempertimbangkan penggunaan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) di proses go public-nya. Tidak disebutkan siapa mitra potensialnya, tapi hal ini memastikan Bursa Saham New York menjadi tujuan utama.

Seperti diberitakan Reuters, President Traveloka Henry Hendrawan menyebutkan perusahaan cek kosong SPAC sebagai salah satu opsi yang dievaluasi perusahaan. Henry mengklaim pihaknya telah didekati beberapa SPAC untuk proses ini.

Disebutkan Traveloka sedang mempertimbangkan opsi IPO atau SPAC dan mencari kapitalisasi pasar $5-6 miliar (70-85 triliun Rupiah). Tahun ini Traveloka telah mendapatkan pendanaan $250 juta (3,6 triliun Rupiah) dari sejumlah investor. Opsi SPAC saat ini dianggap memberikan proses go public yang lebih mudah dan cepat ketimbang IPO.

Sebagai startup OTA, Traveloka termasuk pihak yang terkena dampak paling besar selama pandemi. Perusahaan sempat melakukan pengurangan pegawai sepanjang tahun ini, tetapi mereka yakin bisa kembali ke jalur profit tahun  depan dengan fokus perjalanan domestik. Tak hanya di Indonesia, Traveloka juga beroperasi di 5 negara Asia Tenggara lainnya.

Sebelumnya Tokopedia dikabarkan menjajaki potensi go public dengan SPAC Bridgetown Holdings sebagai salah satu opsi mitra. Perusahaan mengonfirmasi telah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai penasihat.

Sumber DailySocial memberikan sinyalemen bahwa kedua proses go public ini bakal dilaksanakan dalam waktu dekat untuk memberikan kesempatan exit bagi para investornya yang telah mendukung perusahaan selama 8-10 tahun terakhir.

Application Information Will Show Up Here

Tokopedia is Reportedly in Talks to Go Public on the New York Stock Exchange through SPAC

Indonesian based marketplace service, Tokopedia, as reported by Bloomberg, is currently exploring possible IPO on the New York Stock Exchange through Bridgetown’s Special Purpose Acquisition Company (SPAC) backed by well-known Silicon Valley investor Peter Thiel (through Thiel Capital) and Hong Kong conglomerate Richard Li (through the Pacific Century Group). Bridgetown shares surged to 29% after today’s market close.

As we contacted one of Tokopedia’s representatives, there is no further statement regarding this matter.

Through the disclosure at the IPO on October 16, the blank check company Bridgetown aims to support Southeast Asian companies focusing on the technology, financial services, or media sectors to go public. Bridgetown secured $550 million (around Rp.7.8 trillion) in public funding from the IPO.

According to a Bloomberg report, Tokopedia’s possible IPO is still in its early stage and if it’s true, around next year, the company’s market capitalization is to reach the peak at $8-10 billion (110-150 trillion Rupiah).

Tokopedia is currently the second-largest [valuation] unicorn in Indonesia, after Gojek. Sea Ltd which operates Shopee, its closest competitor, had an IPO on the New York stock exchange in 2017 with the current market capitalization of over $96 billion or around Tokopedia’s ten times.

Pacific Century Group is currently involved as Tokopedia’s investor with Bridgetown’s CEO and Pacific Century Group’s SVP Daniel Wong serving on Tokopedia’s board of commissioners, according to Bridgetown’s SEC S-1 data filing. In Indonesia, Pacific Century Group’s business is known as FWD insurance company.

SPAC’s current reputation

The arrival of the blank check company, SPAC, paints a new color to the company’s IPO method in developed country exchanges, especially the United States. From our observation, approximately $78 billion of public funds have been disbursed through SPAC on US exchanges this year. In comparison, only $13 billion in funds went public using the same methods last year, increased by 6 times.

SPAC makes it easy for companies to go public, as IPO tends to be a long and complex process to ensure accurate financial data and assess the integrity of its executives. The downfall of WeWork’s IPO last year has proven the difficulty of startups that failed to comply with good governance principles to go public.

SPAC has no complex financial data to be audited, therefore, the process tends to be easier, within just weeks, not months for the IPO.

After going public, SPAC is to merge with a private company, therefore, the company can automatically be listed (direct listing) on ​​the stock exchange.

Pandemic conditions have not dampened the euphoria of listings this year. New York stock exchanges, including the Nasdaq technology stock exchange, have broken all year-long index listing records. Several technology companies’ IPOs throughout this year are also considered to have received positive responses from the market, for example Snowflake, DoorDash, and the latest Airbnb.

To date, Tokopedia has raised $2.8 billion funding from investors (around IDR 40 trillion) according to the data compiled by DailySocial and Crunchbase. The company has just introduced Google and Temasek into its ranks of investors this year.

SPAC’s existence as a new means for IPO provides a big chance for private investors who want to exit through the stock market. However, it’s still necessary to watch over this scheme to reduce the risk of investors’ failed to chip in, which will remind us of the dotcom bubble 20 years ago.

This year, Nikola becomes one of the SPAC graduates that steals the spotlight as the business practice is considered “deceiving the public“. This led to an investigation by the United States Department of Justice and the resignation of Nikola’s Founder, Trevor Milton.

In Indonesia, the SPAC scheme is not quite common. On several occasions, the Indonesian Stock Exchange (IDX) keeps encouraging unicorn startups to go public in dual listings, on local and foreign exchanges, in order to provide opportunities for local investors to be a part of domestic startups.

J.P. Morgan through the Indonesia Equity Strategy 2021 report projects Tokopedia in the #10 position for the company with the largest capitalization in LQ45 if it is to go public today at IDX.

Tokopedia’s Co-Founder and CEO, William Tanuwijaya has given hints that the company is to go public in the next 1-2 years since last year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Tokopedia Dikabarkan Jajaki Potensi “Go Public” di Bursa New York Melalui SPAC

Layanan marketplace Tokopedia, melalui pemberitaan Bloomberg, dikabarkan menjajaki potensi go public di Bursa New York melalui Special Purpose Acquisition Company (SPAC) Bridgetown yang didukung investor kenamaan Silicon Valley Peter Thiel (melalui Thiel Capital) dan konglomerat Hong Kong Richard Li (melalui Pacific Century Group). Saham Bridgetown naik 29% pasca penutupan bursa hari ini.

Juru bicara Tokopedia yang kami kontak belum memberikan pernyataannya terkait hal ini.

Melalui keterbukaannya saat IPO tanggal 16 Oktober lalu, perusahaan cek kosong (blank check company) Bridgetown menargetkan membantu perusahaan Asia Tenggara yang beroperasi di sektor teknologi, layanan finansial, atau media untuk go public. Bridgetown mendapatkan dana publik $550 juta (sekitar Rp7,8 triliun) dari IPO itu.

Menurut pemberitaan Bloomberg, penjajakan go public Tokopedia ini masih di tahap awal dan jika benar terjadi, kemungkinan tahun depan, akan memberikan kapitalisasi pasar perusahaan di angka $8-10 miliar (110-150 triliun Rupiah).

Tokopedia saat ini menjadi startup unicorn Indonesia dengan valuasi terbesar kedua setelah Gojek. Pesaing terdekatnya, Sea Ltd yang mengoperasikan Shopee, telah IPO di bursa New York tahun 2017 dan saat ini memiliki kapitalisasi pasar lebih dari $96 miliar atau sekitar 10x lipat Tokopedia.

Pacific Century Group saat ini adalah investor Tokopedia dengan CEO Bridgetown dan SVP Pacific Century Group Daniel Wong menjadi anggota dewan komisaris Tokopedia, menurut data filing SEC S-1 Bridgetown. Di Indonesia bisnis Pacific Century Group adalah perusahaan asuransi FWD. 

Popularitas SPAC di tahun 2020

Kehadiran perusahaan cek kosong SPAC membawa nuansa baru cara IPO perusahaan di bursa-bursa negara maju, khususnya Amerika Serikat. Menurut data yang kami peroleh, ada sekitar $78 miliar dana publik yang digelontorkan melalui SPAC sepanjang tahun ini di bursa Amerika Serikat. Sebagai pembanding, hanya $13 miliar dana yang dimasukkan publik dengan metode yang sama tahun lalu atau naik sekitar 6x lipat.

SPAC memberikan kemudahan perusahaan untuk go public, karena proses IPO cenderung panjang dan berliku untuk memastikan data finansial yang akurat dan menilai integritas para eksekutifnya. Kegagalan IPO WeWork tahun lalu adalah salah satu bukti sulitnya startup yang tidak taat asas good governance untuk go public.

SPAC tidak memiliki data finansial kompleks yang perlu diaudit sehingga prosesnya cenderung lebih mudah, dalam hitungan minggu, tidak lagi berbulan-bulan melalui proses IPO.

Setelah go public, SPAC akan dimerger dengan perusahaan privat sehingga perusahaan tersebut otomatis langsung terdaftar (direct listing) di bursa.

Kondisi pandemi tidak menyurutkan euforia listing sepanjang tahun ini. Bursa saham New York, termasuk bursa saham teknologi Nasdaq, telah memecahkan rekor pencatatan indeks sepanjang tahun. Beberapa IPO perusahaan teknologi pun sepanjang tahun ini pun dianggap mendapatkan respon positif dari pasar, misalnya Snowflake, DoorDash, dan yang terbaru Airbnb.

Tokopedia sejauh ini telah mengumpulkan pendanaan dari para investor sebesar $2,8 miliar (sekitar Rp40 triliun) menurut kompilasi DailySocial dan Crunchbase. Perusahaan baru saja memasukkan Google dan Temasek tahun ini ke dalam jajaran investornya.

Kehadiran SPAC sebagai sarana go public memberikan angin besar bagi para investor privat yang ingin exit di bursa saham. Meskipun demikian, skema ini patut terus dicermati untuk mengurangi risiko kegagalan investor berinvestasi, yang mengingatkan pada peristiwa dotcom bubble 20 tahun lalu.

Tahun ini Nikola menjadi salah satu “lulusan” SPAC yang menjadi sorotan karena praktik bisnisnya yang dianggap “membohongi publik”. Hal ini mendorong adanya investigasi Departemen Kehakiman Amerika Serikat dan mundurnya Pendiri Nikola Trevor Milton.

Di Indonesia sendiri skema SPAC belum umum. Pihak Bursa Efek Indonesia (IDX) di beberapa kesempatan terus mendorong startup unicorn untuk go public secara dual listing, di bursa lokal dan asing, agar juga memberikan kesempatan investor lokal menjadi pemilik saham startup anak negeri.

J.P. Morgan di laporan Indonesia Equity Strategy 2021 mengestimasikan Tokopedia berada di posisi #10 untuk perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di LQ45 seandainya go public hari ini di IDX.

Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya sendiri sejak tahun lalu mengisyaratkan perusahaannya bakal melantai dalam 1-2 tahun ke depan.

Application Information Will Show Up Here