Disrupsi Teknologi Bisa Terjadi di Semua Industri

“Uber is redefining the transportation industry now; Airbnb is doing it to the hotel industry. You can expect that to happen in every single industry.”

– Masayoshi Son, Founder of Softbank

Sebagai seorang wirausahawan teknologi, nama Masayoshi Son sudah dikenal secara global. Tercatat hingga bulan Oktober 2021, Masayoshi Son telah mempercepat langkah investasi startupnya, melipatgandakan jumlah perusahaan dalam portofolio Vision Fund 2-nya dalam waktu kurang dari 9 bulan.

Selain kesuksesan berinvestasi di e-commerce melalui Alibaba yang legendaris, Son telah berinvestasi di berbagai vertikal industri, termasuk transportasi, pengantaran makanan, ruang kerja, gaming, dan lainnya.

Ia percaya bahwa disrupsi teknologi bakal terjadi di semua vertikal industri. Ini adalah keniscayaan. Sebagai inovator, ia ingin berada di kursi terdepan dengan ambil bagian dalam sejarah.

Irzan Raditya tentang Masa Depan Industri: AI Berpotensi Memanusiakan Teknologi

Manusia adalah makhluk yang rumit, jikalau sebuah mesin akan menggantikan perannya jelas bukan perkara sederhana. Irzan Raditya menyadari sepenuhnya fakta ini, namun ia tetap percaya bahwa kekuatan teknologi dapat membuat ekosistem manusia menjadi lebih baik. Dia, melalui Kata.ai, memungkinkan teknologi untuk berinteraksi dengan orang-orang dengan cara yang mirip manusia, dengan percakapan AI (Artificial Intelligence).

Perjalanan awal

Sebagai seseorang yang berprivilese untuk mengakses teknologi sejak usia dini, Irzan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ayahnya memegang peran penting dalam tumbuh kembang minatnya pada teknologi. Ia mulai jatuh cinta dengan menggambar sejak sekolah dasar, Paint menjadi pintu gerbang pertamanya dalam dunia komputer. Sekitar usia yang sama, mulai tumbuh keyakinan untuk belajar tentang IT dan menjadi seorang programmer suatu saat nanti.

Bakat bisnisnya sudah terlihat sejak kelas 6 SD. Kegemarannya terhadap video game semakin mempertajam sisi kreatifnya. Menggunakan perangkat yang ada serta pengetahuan teknologi dari rumah, ia berhasil mengumpulkan uang dari membuat game mod untuk teman-temannya. Ketika ia mulai mengenal internet broadband, sekitar akhir SMP dan awal SMA, ia bisa mendalami minatnya terhadap musik dengan menjual bot game [ragnarok]. Semua yang ia lakukan semata-mata otodidak, berkat eksistensi internet.

Perjalanan membangun karir di bidang TI dimulai ketika ia diterima di Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin dalam perjuangan meraih gelar sarjana di bidang Ilmu Komputer. Di tahun 2009, perusahaan teknologi Jerman tidak semarak di AS. Irzan suka menggambar, tetapi dalam hal karier dan bisnis, ia memutuskan untuk mengambil jurusan aplikasi seluler daripada desain grafis.

Dia memanfaatkan waktunya di Jerman dengan mengeksplorasi pengalaman yang berharga, dia menjadi teknisi magang di Zalando (anak perusahaan dari Rocket Internet). Di sinilah ia belajar bahwa pemrograman bukanlah bakat terbaiknya, tetapi dia memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Ia menemukan banyak sekali pertanyaan tanpa jawaban pasti dan akhirnya dari rasa penasaran itu mempelajari peran/skill dalam manajemen produk, karena Anda bekerja tidak hanya dari segi teknis tetapi juga dari sisi bisnis dan desain.

Sembari mengampu pendidikan, ia berhasil memulai sebuah proyek kecil bernama Amplitweet, sebuah platform bagi para musisi agar musiknya bisa diunduh dengan cara menggunggah tweet dan follow. Dalam upaya pertama, Irzan merasakan bahwa menjadi pendiri solo membutuhkan kerja ekstra, ia kemudian berhenti dan fokus belajar. Namun, selalu ada perasaan gelisah ingin melakukan sesuatu di waktu senggangnya. Lalu terpikir sebuah ide, clothing line untuk para geek yang turut menampilkan ilustrator dari Indonesia, aplikasi ini bernama Cape & Fly. Rencananya sudah matang tetapi eksekusinya belum sempurna. Waktu yang tidak pas serta sempitnya peluang menjadi penghalang. Tidak berhenti di situ. Sekitar tahun 2012, Instagram mulai booming tetapi tidak ada satu platform pun yang menyediakan feed untuk fashion dan belanja. Styyli bisa jadi jawabannya, sayangya mereka bertemu partner yang salah dan produk pun jadi berantakan. Gagal maning.

Meskipun begitu, selalu ada hikmah di balik setiap kegagalan. Saat itu, ia menjabat sebagai Head of Mobile Product di sebuah platform pengiriman makanan di Jerman, ia bertanggung jawab atas lini bisnis di 11 negara dan menerima laporan dari sekitar 10 orang setiap harinya. Bosnya adalah seorang yang pantas menjadi panutan, muda dan ambisius, ia pun termotivasi. Percobaan terakhir Irzan di Jerman adalah Rumah Diaspora, sebuah platform yang menghubungkan orang-orang dari negara asal yang sama yang ingin tinggal bersama. Saat itu, ia berhasil, platform diluncurkan.

Dari perjalanan itu, Irzan belajar tiga hal, (1) Kamu tidak bisa melakukannya sendiri. Dia bekerja dengan Reynir [sekarang CMO Kata.ai] dan belajar banyak hal bersama melalui Styyli. Selain itu, ia menemukan dedikasi dan etos kerja yang baik pada Wahyu Wrehasnaya [sekarang COO Kata.ai] ketika bekerja bersama melalui Rumah Diaspora (2) Memecahkan masalah di tempat yang tepat, inilah alasan ia mendirikan Rumah Diaspora di Jerman. (3) Mulailah dengan apa yang Anda miliki, salah satu alasan kegagalan Styyli adalah karena merek fesyen biasanya digunakan oleh pengguna iOS, sedangkan Irzan memiliki latar berlatar belakang Android. Dengan kata lain, tidak cocok.

Mendirikan perusahaan teknologi

Pada tahun 2015, Irzan memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan berhasrat untuk membangun bisnis sendiri. Yang ia dengan, Indonesia adalah negara dengan banyak isu, dan hal itu merupakan surga bagi para pengusaha. Sementara itu, di Eropa, tidak ada cukup masalah. Sebagai wirausahawan, memang tidak seseksi di Indonesia.

Awalnya ia mempelajari pasar di Indonesia. Terinspirasi dari sebuah perusahaan di AS yang menyediakan asisten virtual yang kemudian dipadukan dengan budaya masyarakat Indonesia yang berbasis pada chat serta memegahkan segala sesuatu yang praktis. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendirikan YesBoss – sebuah perusahaan yang menawarkan layanan asisten virtual dengan dua Co-founder dari perusahaan sebelumnya, Reynir [Styyli] dan Wahyu [Rumah Diaspora].

“Saya percaya untuk membangun tim co-founder yang kuat, harus ada kepercayaan dan komitmen sebagai pondasi dasar, hal-hal lain bisa dipelajari dan akan berjalan seiring. Itu sebabnya saya bersyukur bisa tetap bertahan bersama Co-Founder saya. ” Kata Irzan.

YessBoss akhirnya mendapatkan eksposur dan berhasil membuat VC mengantre menawarkan term sheet. Salah satu VC di US yang fokus di tahap akhir bahkan bersedia menghubungkan mereka dengan Managing Partner di 500 Startups. Sejak hari pertama, tim kami menyadari bahwa teknologi ini sangat manual. Akan sulit untuk bisa scalable tanpa memiliki kemampuan dalam pembelajaran mesin dan NLP, yang merupakan bagian AI. Kami pun meminta Jim Geovedi untuk menjadi penasihat teknis untuk algoritma NLP. Perusahaan kemudian berhasil mengumpulkan dana dan dalam satu setengah tahun telah mengembangkan sayap ke Filipina [dengan mengakuisisi perusahaan serupa, HeyKuya] dengan total 100 karyawan.

Namun, semuanya tidak berjalan semulus yang direncanakan. Datanglah episode kelam, waktu berlalu dan perusahaan masih tidak dapat menemukan model bisnis yang berkelanjutan.

“Sangat sulit untuk menjadi scalable jika Anda mencoba menjadi segalanya untuk semua orang. Di sisi lain, kami memiliki kewajiban kepada investor dan untuk bisa bertahan. Akibat perubahan model bisnis, kami harus merumahkan 90% karyawan kami. Saat itu keadaan sangat sulit,” kata Irzan.

Anggota tim lainnya bekerja keras untuk mencari solusi, dan masa depan teknologi adalah AI. Pada akhir 2016, perusahaan secara resmi beralih ke bisnis B2B yang menawarkan teknologi percakapan AI untuk korporasi yang dinamai Kata.ai. Pertama kali mereka menjalin kerjasama dengan LINE dan Unilever untuk chatbot. Mereka mulai dengan 10 orang pada saat itu, dan mereka kembali ke 100 orang. Saat ini perusahaan telah mencapai pertumbuhan bisnis 3 kali dalam setahun dan masih terus bertambah.

Kiprah AI yang fenomenal

Irzan mengatakan bahwa pertemuannya dengan AI adalah tidak sengaja. Di Jerman, ia pernah bekerja paruh waktu, salah satunya menjadi agen call center. Dia bekerja sekitar 4-6 bulan untuk perusahaan outsourcing di Inggris dalam menerima keluhan dan pertanyaan. Ia selalu berpikir ini hanya pekerjaan yang berulang yang membuat orang-orang menderita karena teriakan dan tekanan. Kata.ai salah satunya hadir untuk bisa menjadi solusi terbaik dalam masalah semacam ini.

Dia juga menyebutkan, “AI sebenarnya adalah alat, bukan tongkat sihir. Selalu ada pihak yang melihat AI sebagai ancaman, sisi lain yang cukup ekstrim menganggap AI sebagai penyelamat. Saya berada di antara keduanya, dan lagi itu semua kembali kepada kita, sebagai manusia. Secanggih apapun teknologi yang kita miliki, semua akan jadi sia-sia jika kita tidak bisa memanfaatkannya dengan baik.”

AI akan menjadi hal fenomenal seperti internet dan listrik dalam 5-10 tahun mendatang. Setiap hari, kita berinteraksi dengan aplikasi yang didukung AI. Google speech to text, rekomendasi youtube, dan apa yang Kata.ai lakukan dengan percakapan AI melalui chatbot. Setiap produk/perusahaan yang tidak menggunakan AI akan segera tertinggal. Banyak masalah di luar sana yang bisa diselesaikan melalui AI, khususnya di Indonesia. Namun, kita belum cukup mengeksplorasi dan mengekspos lebih jauh tentang hal ini. AI dalam perawatan kesehatan, AI melalui pendidikan, AI bekerjasama dengan pemerintah, AI untuk pengembangan kota pintar. AI memiliki kemampuan untuk memanusiakan teknologi dan membuatnya lebih efektif.

Dari teknologi AI yang luar biasa, menjadi penting untuk mengetahui skenario terburuk yang bisa diakibatkan oleh teknologi yang menyinggung dunia manusia ini. Pertama, ketika Indonesia tertinggal jauh dalam pengadopsian teknologi AI, maka peluang beralih ke pemain lain dan mereka akhirnya memimpin pasar. Kedua, kita berbicara tentang AI yang menyebabkan hilangnya pekerjaan. Manusia memiliki perasaan, mereka selalu menemukan cara dan mencari peluang. Di era disrupsi, berbagai jenis pekerjaan baru ditemukan. Tidak akan ada pekerjaan yang hilang tetapi akan ada peralihan tugas. Menggunakan percakapan AI , tugasnya bisa sangat ‘manusiawi’. Manusia cenderung lupa dan mengira bahwa AI bisa belajar dengan sendirinya. Sementara itu, ada banyak pekerjaan dan kebutuhan tenaga manusia di balik pekerjaan AI yang luar biasa.

Karya kecerdasan buatan telah ditangkap dan disalurkan melalui beberapa media. Misalnya, ada banyak film yang menyoroti karya-karya AI yang luar biasa, beberapa di antaranya memaparkan visi bahwa AI bisa begitu kuat, bisa tumbuh lebih besar dari manusia serta pemikirannya. Irzan mencoba menjelaskan dari sudut pandang pakar AI tentang masalah ini, Kai Fu Li dan Andrew Ng. Dia mengatakan kecerdasan buatan yang digunakan di beberapa film yang dapat melebihi kapasitas manusia disebut AGI (Artificial General Intelligence). Namun, dari status quo sekarang menuju visi yang utopis, kita masih dalam proses mencerna. Deep learning yang ada saat ini masih belum memadai, kurasi sudah baik namun fokus masih terpaku pada satu hal. Meskipun pertumbuhan terjadi secara eksponensial, masih membutuhkan kemampuan kognitif.

Selain AI percakapan dan AGI, teknologi ini memiliki cabang ilmu yang cukup luas. Neuroteknologi, misalnya, adalah disiplin ilmu lain yang cukup diminati Irzan. Ini adalah jenis proses di mana mesin dapat membaca pikiran orang. Penelitian ini masih berlangsung, tetapi idenya sendiri sangat mencengangkan sekaligus menakutkan.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Irzan Raditya on the Future of Tech: AI Has The Ability to Humanize Technology

Humans are complicated creatures, to say a machine can replace one is obviously not a simple matter. Irzan Raditya is fully aware of this fact, yet he still believes in the power of technology can make a better human ecosystem. He, through Kata.ai, allows technology to interact with people in a human-like way, with conversational AI (Artificial Intelligence).

Early ventures

As one of the privileged kids who have access to technology in early childhood, Raditya did not take it for granted. His father held an important role in the development of his interest in tech matters. Having a crush on drawing since elementary school, Paint was his first gateway to the computer. Around the same age, he gains the conviction to learn about IT and to become a programmer someday.

His flair for business has seen since 6th grade. Being obsessed with video games has sharpened his creative mind. Using all the tools and tech knowledge at home, he was able to collect money from creating some popular game mod for his friends. By the time he was introduced to internet broadband, sometimes around late junior and early high school, he can afford his passion for music by selling game [ragnarok] bot. Everything he did is self-taught, thanks to the internet.

The pursuit of a career in IT began when he entered Hochschule für Technik und Wirtschaft Berlin to get his bachelor’s degree in Computer Science. The year was 2009, German’s tech company was not as blooming as in the US. Raditya loves drawing, but when it comes to career and business, he decided to major in the mobile app instead of graphic design. 

He made the most of his time in Germany by exploring valuable experience, he became an intern Engineer at Zalando (a subsidiary of Rocket Internet). This is where he learned that programming wasn’t his best talent, but he kinda has the ability to see things from a different perspective. He discovered lots of questions without certain answers and finally intrigued with role/skill on product management, as you work not only from the technical view but also the business and design part. 

While busy studying, he managed to start a small project called Amplitweet, for musicians can have their music downloaded by users who tweet and follow. In the first attempt, Raditya gets that being the sole founder requires extra work, he then quit and focused on the study. However, there’s always this itch to keep doing something in his leisure time. Another idea comes to mind, a clothing line for geeks featuring illustrator from Indonesia called Cape&Fly. The plan was perfect but the execution flopped. Bad timing and lack of opportunity had to come in the way. Moving on to the next venture. Around 2012, Instagram started to boom but not a single platform provides people to have feeds for fashion and shopping. Styyli can be the answer, but they met the wrong partner and the product was a mess. Another failed story.

Anyway, there is always a pearl of wisdom behind every failure. At that time, he was the Head of Mobile Product in mobile food delivery in Jerman, in charge of 11 multiple business line countries with around 10 people reporting to him every day. His boss was quite the role model, young and ambitious, and he got motivated. Raditya’s last try in Germany was Rumah Diaspora, a platform that connects people from the same origin country who wants to live together. That time, it worked, it was launched.

From the journey, Raditya learned three things, (1) You cannot do it alone. He was working with Reynir [currently Kata.ai’s CMO] and learn many things together through Styyli. Also, he found dedication and good work ethic in Wahyu Wrehasnaya [currently Kata.ai’s COO] while trying to make things worked with Rumah Diaspora (2) Solve the problem in the right proximity, this is the reason he created Rumah Diaspora in Germany. (3) Start with what you have, one of the reasons for Styyli’s failure is because the fashion brand usually used by iOS users, while Raditya has a background in Android. In other words, It’s not a match.

Building a tech company

In 2015, Raditya decided to come home to Indonesia and exercised his passion to build his own business. He also heard that Indonesia is a country with lots of problems, it’s a paradise for entrepreneurs. Meanwhile, there are not as many problems in Europe. As an entrepreneur, it’s not as sexy as in Indonesia. 

At first, he studied the market in Indonesia. Inspired by a company in the US that provides virtual assistants, combined with the culture of Indonesian people that is chat-based and craving for anything practical. Eventually, he decided to create YesBoss – a company that offers virtual assistant services with two Co-founders from his previous companies, Reynir [Styyli] and Wahyu [Rumah Diaspora].

“I believe to building a strong co-founding team, there must be trust and commitment as the basic foundation, other things can be learned and will follow. That’s why I’ve been thankful to be able to stick with my Co-Founders.” Irzan said.

YessBoss finally gained exposure and have VCs lining up with term sheet. One of US’ VC for late-stage even does the favor to connect them with 500 startups’ Managing Partner. Since the first day, our team aware that this technology is not quite automatic. This will never be scalable without having the capability in machine learning and NLP, which is the AI part. We requested Jim Geovedi to be the tech advisor for the NLP algorithm. The company managed to raise funding and within a year and a half has expanded to the Philippines [by acquiring a similar company, HeyKuya] with 100 employees in total. 

However, things didn’t go as smoothly as planned. Here comes the dark episode, time passed and the company still can’t find a sustainable business model.

“It was very hard to scale if you tried to be everything for everyone. On the other side, we have an obligation to investors and to survive. As a result of changing business models, we have to lay off 90% of our employees. It was devastating,” Raditya said.

The rest of the team worked hard to figure out the solution, and the future is AI. In late 2016, the company officially pivots into a B2B business that offers conversational AI technology for corporations named Kata.ai. The first time they were approached by LINE and Unilever for a chatbot. They start with 10 people at that time, and they’re back to 100 people. Currently, the company has reached business growth 3 times a year and still counting.

The remarkable works of AI

Raditya said that he came across AI by accident. He used to do part-time jobs in Germany, one of which is becoming a call center agent. He was working around 4-6 months for an outsourcing company in England to receive complaints and inquiries. He thought this is just repetitive work and people are suffering from the shouting and pressure. Kata.ai can be the best solution for this kind of problem.

He also mentioned, “AI is actually a tool, it’s not a magic wand. There is always a side that sees AI as a threat, another side is quite extreme, considering AI as a savior. I’m somewhere in between, and it goes back to us, to people. With every kind of technology in our hand, if we can’t make it useful, it’ll just go up in smoke.”

AI will be the biggest thing just like the internet and electricity in the next 5-10 years. Every day, we interact with AI-powered apps. Google speech to text, youtube recommendation, and what Kata.ai’s been doing with conversational AI through the chatbot. Every product/company that didn’t use AI will soon be left behind. Many problems out there can be solved through AI, especially in Indonesia. The thing is, we are yet to explore and expose further on this. AI in healthcare, AI through education, AI featuring the government, AI for the smart city. AI has the ability to humanize technology and make it more seamless.

From the remarkable works of AI, it’s necessary to know the worst scenario of this thing that can affect the human world. First, when Indonesia far left in the adoption of AI technology, therefore, the opportunity goes to other players and they ended up leading the market. Second, we’re talking about AI to cost some job losses. People have compassion, they always find ways and look for opportunities. In the age of disruption, different kinds of new jobs are founded. There wouldn’t be any job lost but there will be a shift of task. Using conversational AI, the task can be quite high-touch works. People tend to forget and thought that AI can learn by itself. Meanwhile, there is a lot of work and the need for human labor behind AI’s remarkable work. 

The work of Artificial intelligence has been captured and channeled through some medium. For example, there are many films highlighting the remarkable works of AI, some of those are giving a vision that AI can be so powerful, it can outgrow the human as its brain. Raditya tried to explain from the AI experts’ view on this matter, Kai Fu Li and Andrew Ng. He said the artificial intelligence used in some of the movies that can outgrow the human capacity is called AGI (Artificial General Intelligence). However, from the present status quo towards the utopist vision, we still digest away. The current deep learning is yet to be sufficient, it performs good curation but still focuses only on a specific task.  With exponential growth, it still lacks the cognitive capability.

Aside from conversational AI and AGI, this technology has quite a large branch of science. Neurotechnology, for example, is another discipline that Raditya quite has an interest in. It is the kind of process where machines can read people’s minds. The research is still ongoing, but the idea is breathtaking and frightening at the same time.

Validasi Ide: Sebuah Awal Penting bagi Startup

Melakukan validasi ide merupakan kegiatan fundamental yang penting untuk dilakukan para pelaku startup. Bahkan, dapat dikatakan fase ini merupakan fase krusial dimana founder dapat melihat apakah ide startup yang dimiliki dapat diterima oleh pasar dengan baik atau tidak.

Setiap orang bisa membuat ide bisnis. Akan tetapi, tanpa divalidasi dengan baik ide tersebut belum dapat dibuktikan skalabilitasnya. Hal ini juga yang menjadi topik pertama dalam rangkaian mentoring program akselerasi DSLaunchpad 2.0 bersama Amazon Web Services (AWS). Pada sesi mentoring yang dilakukan sebanyak dua sesi ini, DSLaunchpad 2.0 menghadirkan Pandu Sjahrir (Managing Partner of Indies Capital Partners) dan Willson Cuaca (Co-Founder of East Ventures) sebagai mentor untuk berbagi pengalaman dan pengetahuannya terkait idea validation kepada para peserta.

Dimulai dengan Memastikan Problem Statement

Salah satu unsur penting yang harus diperhatikan oleh para founder ketika melakukan validasi ide adalah memastikan problem yang ingin diselesaikan oleh ide tersebut. Setelah menentukan problemnya, founders harus dapat mem-breakdown apa yang harus diketahui dan dilakukan untuk merealisasi ide bisnis tersebut. “Pertama (untuk melakukan idea validation) kita tau dulu apa yang mau kita address, isunya apa, dari situ berapa besar marketnya, dan apa yang membuat orang pakai barang kita.” ujar Pandu Sjahrir.

Proses menentukan problem statement dalam validasi ini juga berguna untuk membantu Anda melihat beberapa hal seperti:

  • Apakah ide ini nantinya akan berguna di masyarakat,
  • Apakah ide ini dapat meningkatkan efisiensi pada suatu sistem,
  • Melakukan pembentukan formula produk di awal untuk menemukan perbedaan dengan para kompetitor; serta
  • Sebagai bahan untuk meyakinkan investor terhadap scalability.

At the end of the day, kecuali punya dana sendiri, itu pasti (penting untuk melakukan) validasi dulu karena Anda ingin menggunakan dana pihak ketiga. Dia (pihak ketiga) akan meminta apa yang membuat Anda convince dengan hipotesis (bisnis) Anda, di luar presentasi yang bagus.” tambah Pandu Sjahrir.

Interaksi dengan Konsumen untuk Dapatkan Feedback selama Validasi

Untuk melakukan validasi, tentunya sebagai founder Anda perlu berinteraksi dengan para konsumen maupun calon konsumen. Feedback dari konsumen dalam fase ini dapat menjadi acuan untuk iterasi berikutnya hingga ide tersebut benar-benar dapat menyelesaikan problem yang dimiliki oleh konsumen. Terkait hal ini, Willson Cuaca mengatakan, “Tentukan problemnya, bangun produknya, kemudian coba cocokkan apakah problem itu bisa diselesaikan, ngomong ke banyak orang, dapatkan feedback, cocokkan lagi, bener gak problemnya selesai, jadi banyak trial and error. Tapi problem statement itu harus very clear.

Di satu sisi, selain menyelesaikan masalah yang ada, bertanya ke konsumen juga merupakan hal yang krusial untuk mengetahui apakah produk yang dibuat dapat diterima atau tidak oleh pasar. “Tanya ke user apakah problem yang dimiliki bisa diselesaikan dengan baik. Itu baru ide dan validasi pertama: product-market fit, kita belum bicara tentang monetisasi dan lain-lain.” tambah Willson

Berinteraksi untuk mendapatkan feedback langsung dari pengguna juga dapat menghindarkan Anda dari founder bias, dimana para founder merasa bahwa idenya adalah ide yang terhebat, terbaik, terbaru, dan tidak ada founder lain yang dapat meniru idenya. Untuk itu, dalam proses ini sebaiknya founder juga turut mendengarkan hal-hal buruk terkait idenya, sehingga dapat melakukan iterasi dengan lebih baik. Pandu Sjahrir juga menegaskan bahwa hal ini merupakan kesalahan yang banyak dilakukan oleh para founder. “Kesalahan terbesar banyak founders adalah tidak mau mendengarkan orang dan tidak mau mendengarkan customer.” tegasnya.

Eksekusi sebagai Bagian dari Langkah Awal Memvalidasi Ide

Namun, proses validasi ide tidak berhenti sampai disitu saja. Justru hal yang paling penting dilakukan oleh para founder dalam proses ini adalah mengeksekusi ide tersebut. Dalam pembuatan ide, bisa saja seorang founder memiliki ide yang sama dengan founder lainnya. Namun yang akan membedakan ide tersebut adalah bagaimana ide tersebut dieksekusi dan siapa yang mengeksekusinya.

Menurut Willson Cuaca, langkah pertama dalam proses validasi ini adalah melakukan eksekusi. “Jadi langkah pertama dari semua itu adalah eksekusi ide kamu, jangan merasa ide itu adalah ide terbaik, (lalu) coba validasi.” Hal senada juga diutarakan oleh Pandu Sjahrir, Ia berujar bahwa pada akhirnya percuma memiliki ide yang banyak bila tidak bisa dieksekusi. “At the end of the day, bisa punya ide banyak tapi kalau gak bisa eksekusi kan what for.” ucapnya.

Kekhawatiran yang mungkin muncul ketika melakukan eksekusi adalah hasil yang kurang memuaskan atau tidak sesuai ekspektasi. Akan tetapi, dari kekurangan atau kegagalan tersebut masing-masing founder dapat melihat apa yang perlu diperbaiki dan diiterasi dari ide startupnya. “Tidak ada namanya eksekusi 100% baik, tapi yang ada itu adalah eksekusi yang efisien, yang tepat sasaran, pada waktu yang tepat, tempat yang tepat, problem yang tepat, dan mendapat feedback yang baik dari user. Feedback itu digunakan untuk (selanjutnya) melakukan eksekusi yang baik lagi.” ujar Willson terkait eksekusi kepada para peserta webinar.

Eksekusi adalah hal krusial sebagai bagian dari proses melakukan validasi ide, Willson juga berkata bahwa semakin cepat melakukan eksekusi ide, para founder bisa belajar lebih cepat untuk perbaikan di masa mendatang. “Semakin menunggu, semakin kamu telat dibanding yang lain, dengan semakin cepat mengerjakannya, bukan artinya kamu mendapat first mover advantage saja, tapi kamu bisa belajar dengan lebih cepat dari orang yang mungkin mengeksekusinya besok.” tegasnya.

Dengan melakukan validasi ide, para founder dapat segera mengidentifikasi problem sekaligus menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan problem tersebut. Selain itu, founder juga harus tetap terus memikirkan misi dan mimpi apa yang ingin mereka capai melalui ide bisnis tersebut. Akan tetapi, hal tersebut juga harus dilakukan dengan mengeksekusi ide tersebut. Dengan begitu, para founder dapat terus melakukan iterasi sampai menemukan formula yang tepat dalam penyusunan ide bisnisnya.

Cerita Transisi Profesional Pemodal Ventura Menjadi CEO Startup

Menjadi seorang CEO dan mendirikan startup sejak awal tidak mudah. Sudah banyak pengalaman seorang founder yang membangun bisnisnya sejak awal hingga sukses atau harus berakhir gagal karena rapuhnya startup. Salah satu CEO startup yang mengalami proses tersebut adalah Agung Bezharie Hadinegoro, Co-Founder dan CEO Warung Pintar.

Berangkat dari pengalamannya sebagai CGI Program Officer di Global Enterpreneurship Program Indonesia (GEPI) hingga terakhir Special Project Associate di East Ventures, banyak pengalaman menarik yang didapat Agung.

Tidak mudah untuk melakukan transisi dari seorang profesional yang bertanggung jawab melakukan analisis bisnis startup yang ingin didanai menjadi seorang CEO yang harus cerdas mengelola perusahaan dan orang-orang di dalamnya.

Menurut Agung, meskipun saat ini sudah mulai terbiasa setelah menjalaninya selama dua tahun terakhir, proses tersebut tidak selalu berjalan dengan mudah.

“Perbedaan dengan pekerjaan saya sebelumnya di venture capital dan saat ini sebagai CEO lebih kepada pandangan saja sebenarnya. Jika dulu hanya bekerja dengan segelintir orang saja, ketika masuk dalam jajaran manajamen di startup saya harus bisa berinteraksi sekaligus mengelola tim yang jumlahnya jauh lebih banyak. Belum lagi tanggung jawab ke partner, shareholder, hingga media yang semua memiliki ekspektasi masing-masing.”

Untuk bisa memahami benar peranan seorang CEO startup, Agung memberikan beberapa poin menarik yang wajib untuk diketahui mereka yang berencana untuk mendirikan startup atau para founder yang sudah menjalankannya dan kerap menemui kendala.

Pentingnya mengelola talenta

Berawal dari uji coba yang dilakukannya saat bekerja sebagai Associate dan Special Project Associate di East Ventures, Agung dan rekan-rekan lainnya menemukan ide menarik untuk mengembangkan Warung Pintar. Atas kepercayaan East Ventures, sejak bulan Oktober 2017 Agung menjadi CEO Warung Pintar.

Salah satu poin menarik adalah bagaimana talenta yang berada dalam ekosistem perusahan memiliki peranan penting untuk kemajuan perusahaan itu sendiri. Agung banyak menemui kendala untuk memahami masing-masing individu yang jumlahnya selalu bertambah. Untuk itu penting bagi seorang founder mencari tahu cara tepat agar selalu melakukan pendekatan secara personal.

“Idealnya sebuah startup dituntut untuk bisa bekerja dengan cepat, namun terkadang hal tersebut tidak selalu didukung dengan talenta yang ada. Untuk itu penting bagi Founder atau CEO untuk bisa memahami masing-masing skill dan kemampuan tim yang ada sekaligus memahami mereka secara lebih dekat dan personal.”

Learning by doing

COO Warung Pintar Harya Putra dan CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro saat acara di Banyuwangi
COO Warung Pintar Harya Putra dan CEO Warung Pintar Agung Bezharie Hadinegoro saat acara di Banyuwangi

Hal menarik lainnya yang ditemui Agung saat menduduki posisi manajemen adalah tantangan baru banyak ditemui seiring makin bertambahnya jumlah tim dan makin berkembangnya perusahaan. Penting bagi pemimpin startup untuk terus beradaptasi dan terus belajar.

Ketika bekerja dengan sudut pandang investor, poin yang selalu dipegang Agung adalah lebih kepada situasi makro. Ketika menjadi seorang CEO, aspek yang wajib diperhatikan lebih besar lagi.

“Belajar dari pengalaman sendiri, saya melihat pada akhirnya memang lebih ideal untuk berinvestasi ke pendiri startup jika startup ingin sukses dan terus berkembang,” kata Agung.

Salah satu kegiatan yang wajib untuk dilakukan adalah untuk selalu mencari informasi dan belajar dari buku-buku yang relevan. Biasanya seorang CEO atau pemimpin di startup akan selalu merasa kurang dan haus akan informasi. Untuk bisa memenuhi semua keinginan tersebut, buku bisa menjadi sumber yang paling tepat.

“Sekarang saya juga jadi lebih mengerti kenapa banyak yang menyebutkan sangat baik untuk membaca buku 12 jam sehari. Tujuannya adalah untuk bisa memenuhi semua rasa ingin tahu dari rasa kekurangan yang kerap menghampiri pikiran seorang Founder dan CEO di startup,” kata Agung.

Kesehatan mental

Menjadi seorang CEO dan pemimpin startup pada umumnya sangat melelahkan. Dengan semua beban dan tanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga tim yang ada di perusahaan, biasanya mereka kerap kehilangan motivasi.

Penting bagi CEO atau Founder untuk selalu bisa memikirkan ide atau solusi setiap harinya, agar startup yang sifatnya rapuh bisa terus berjalan dan tumbuh. Tekanan tersebut biasanya akan berpengaruh kepada kesehatan mental mereka. Untuk itu, menurut Agung, sah-sah saja bagi seorang CEO atau founder untuk berbagi pengalaman atau tantangan dengan sesama atau dengan rekan di luar pekerjaan.

Di Amerika Serikat sendiri, persoalan ini sudah banyak dibicarakan. Para Founder harus jatuh bangun mendirikan startup dan mengorbankan kesehatan mental mereka. Colin Kroll (Co-Founder Vine), Austen Heinz (Founder Cambrian Genomics), dan Jody Sherman (Founder Ecomum) adalah contoh pemimpin bisnis yang sukses, tetapi perjalanan mereka harus berhenti tiba-tiba dan berakhir dengan kematian.

Kesehatan mental memainkan peran penting di dalamnya. Meski di Indonesia belum terlalu ekstrem kondisinya, kesehatan mental menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.

Agung menyebut ada Founder startup lokal sukses yang pernah berbagi tentang pengalaman kesehatan mental yang diderita dan berhasil dilaluinya.

“Penting bagi mereka untuk memikirkan kesehatan mental. Karena hal ini masih belum banyak dibicarakan yang faktanya banyak dialami oleh CEO atau Founder startup,” tutup Agung.

Kiat Menyiapkan Diri Menjadi Pemimpin Startup ala Hadi Wenas

#SelasaStartup edisi pertama tahun 2020 cukup spesial. Hadi Wenas hadir sebagai pemateri, menceritakan pengalamannya saat memimpin bisnis digital di Indonesia. Sejak Mei 2019 ia menjabat sebagai COO Amartha, dengan track record kepemimpinan di Zalora, aCommerce, hingga Mataharimall.

Dalam pemaparannya ada banyak aspek penting yang disorot Wenas, sebagai landasan dalam memimpin sebuah bisnis digital. Berikut ulasannya:

Menentukan prioritas

Menurut Wenas, salah satu pekerjaan krusial di kepemimpinan startup adalah menentukan prioritas pekerjaan. Di dalamnya termasuk proses memahami isu, mencarikan solusi dan melakukan kalkulasi untuk setiap pengarahan yang akan diberikan kepada timnya.

Bagi Wenas, cara cepat untuk menentukan prioritas adalah sesegera mungkin mengeksekusi pekerjaan yang telah dibebankan. Setelah dijalankan nantinya akan terlihat proses dan perkembangan.

“Intinya langsung saja mulai bekerja dan pada akhirnya prioritas atau urutan yang sesuai akan segera terlihat. Jangan terlalu lama memikirkan planning, langsung saja mulai bekerja,” kata Wenas.

Jangan takut gagal

Kegagalan tentunya kerap menghantui semua pendiri startup. Apakah itu saat mulai membangun startup hingga startup sudah berjalan selama 2-3 tahun. Ketika startup pada akhirnya mengalami kegagalan, ada baiknya untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Menurut Wenas, faktor keberuntungan terkadang menjadi kunci keberhasilan atau kegagalan sebuah bisnis. Jika bisnis berjalan dengan baik, menurutnya faktor mujur tadi bisa menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu ketika gagal lakukan introspeksi dan mulai mencari inspirasi hingga cara untuk mulai lagi dengan bisnis atau usaha yang baru.

Ketika Wenas dipercaya untuk menjabat sebagai CEO MatahariMall, terdapat tugas cukup berat yang wajib diselesaikan oleh timnya. Untuk itu penting bagi pimpinan untuk bisa mengenali terlebih dulu kepribadian diri dan timnya, sehingga ketika beban kerja mulai dirasakan, semua tantangan dan permasalahan yang dihadapi bisa diselesaikan secara tuntas.

Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce
Hadi Wenas saat menjabat sebagai Co-CEO aCommerce

Temukan jati diri

Poin penting lainnya yang kemudian disampaikan oleh Wenas adalah menemukan jati diri. Sebagai seorang introvert, ia terkadang merasa kesulitan untuk melakukan sosialisasi, namun di sisi lain sifat tersebut menjadikan dirinya menjadi lebih teratur dan haus akan detail. Sifat kurang sabar yang sebelumnya menjadi kendala ternyata saat ini justru dianggap sifat yang mendukung kinerja Wenas, karena semua pekerjaan bisa selesai dengan cepat dan membantu dirinya hingga tim untuk bekerja lebih baik lagi.

“Bagi saya yang seorang introvert justru menyukai segala hal serba teratur. Dengan demikian semua permasalahan dan bagaimana cara tepat untuk bisa mengatasinya bisa dengan mudah diselesaikan secara bertahap. Secara otomatis jika ritme kerja sudah ditemukan, pekerjaan tersebut akan selesai lebih cepat,” kata Wenas.

Meditasi mendukung produktivitas

Salah satu kebiasaan yang sudah dilakukan oleh Wenas sejak tahun 2008 lalu adalah secara rutin melakukan meditasi. Meskipun pada awalnya lebih kepada proses penyembuhan tubuh, namun meditasi yang dilakukan olehnya secara rutin justru kini mampu melatih kesabaran hingga meningkatkan produktivitas kerja. Intinya adalah temukan work-life balance, yang akan memberikan pengaruh positif untuk kesehatan tubuh dan karir.

“Meditasi mampu membantu saya melatih kesabaran dan menemukan keseimbangan tersebut. Apakah Anda seorang introvert, extrovert, gemar melakukan secara teratur atau peduli dengan detail. Jika sudah ditemukan jati diri tersebut, pada akhirnya semua pekerjaan akan bisa diselesaikan lebih santai dan tentunya lebih mudah,” tutup Wenas.

Tiga Tipe Pemilik Startup yang Wajib Dihindari

Maraknya kehadiran startup saat ini telah melahirkan banyak pendiri dan pemilik startup yang memiliki ide segar, teknologi terkini, dan produk yang menarik.

Dari sekian banyak pendiri startup saat ini, hanya sebagian saja yang masuk dalam kategori enthusiast founder, atau pendiri startup yang memliki kecintaan cukup besar terhadap startup yang dimiliki. Tipe pendiri startup seperti ini, biasanya enggan untuk menyerah ketika mulai mengalami kendala dan selalu berhasil menghadirkan inovasi baru untuk kemajuan startup sekaligus memberikan manfaat lebih kepada orang banyak.

Artikel berikut ini akan membahas tiga jenis pemilik startup yang wajib dihindari karena memiliki tujuan dan sikap yang kurang sesuai dengan karakter pendiri startup yang ideal.

Hanya ingin menjadi “founder”

Berawal dari mengikuti tren dan sekedar mencoba saat ini masih banyak pendiri startup yang membangun startup hanya demi mengejar title atau jabatan yang bergengsi sebagai Founder. Tipe pendiri startup seperti ini biasanya tidak memiliki tujuan dan rencana jangka panjang, namun hanya fokus kepada status dan popularitas, ketika berhasil mendapatkan pendanaan dari investor ternama, telah meluncurkan startup dan diliput oleh berbagai media.

Menjadi seorang pendiri startup merupakan tanggung jawab besar, memerlukan proses,dan rencana jangka panjang. Tidak hanya bersifat sementara atau “in the moment” saja.

Cenderung “lari” ketika mendapatkan masalah

Untuk membangun startup dibutuhkan kemampuan, kesabaran dan dedikasi yang tinggi, ketika pendiri startup hanya memikirkan cara cepat untuk keluar dari permasalahan atau hanya memikirkan exit strategy, bisa jadi pendiri startup tersebut tidak memiliki cukup ambisi dan keinginan untuk menjalankan bisnis startup.

Tipe pendiri startup seperti ini biasanya juga akan gampang menyerah ketika dihadapkan dengan masalah atau tantangan dan cenderung lari atau menghindar ketimbang mencari solusi terbaik untuk terus menjalankan bisnis. Keberhasilan sebuah startup sepenuhnya tergantung dari keyakinan dan kemampuan pendiri mencari solusi terbaik ketika sedang mengalami kesulitan.

Hanya mengejar keuntungan

Idealnya ketika startup didirikan harus memiliki nilai dan bagaimana layanan serta produk yang ada bisa memberikan kontribusi untuk orang banyak. Meskipun mendapatkan keuntungan atau profit merupakan tujuan utama dari sebuah startup, namun jika tidak dibarengi dengan visi dan misi yang bernilai akan menjadikan Anda pendiri startup yang hanya memikirkan kepada keuntungan saja.

Tipe pendiri startup seperti ini biasanya akan menghiraukan cara-cara yang tepat untuk membangun bisnis dan hanya fokus kepada mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan hanya mengejar kesempatan dan popularitas saja, tipe pendiri seperti ini akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi.