Platform Distribusi Konten Video Pitchplay Tawarkan Alat Monetisasi Baru di Industri Musik

Industri musik menjadi salah satu yang terkena dampak paling besar dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan protokol kesehatan termasuk Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan seni pertunjukan terhenti total. Ditiadakannya konser offline serta pembatasan-pembatasan dalam interaksi sosial nyatanya sangat berpengaruh terhadap aktivitas musisi.

Salah seorang musisi Febrian Nindyo Purbowiseso atau dikenal sebagai Febrian HIVI menyebut bahwa sekitar 55 persen dari musisi Indonesia kini telah menjual alat musiknya untuk bertahan hidup selama masa pandemi Covid-19. Angka ini didapatnya saat melakukan survei bersama Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) kepada 186 orang, dalam wilayah kerja untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Seiring dengan berjalannya waktu, industri musik mulai bangkit dengan inovasi-inovasi yang tercipta melalui platform digital. Lalu, dengan protokol kesehatan yang ketat dan selebihnya pertunjukkan offline mulai kembali diadakan namun lebih banyak yang beralih ke virtual. Meskipun begitu, tidak sedikit musisi yang mengaku kesulitan untuk memonetisasi karyanya secara virtual. Salah satu pemain yang coba menawarkan solusi untuk masalah ini adalah Pitchplay.co.

Co-Founder & CEO Pitchplay Fauzan Rezda mengungkapkan bahwa saat ini eksistensi para musisi tanah air sedang terguncang. Selain karena live performance yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama musisi berkurang signifikan di masa pandemi, namun juga polemik revenue model pada digital music streaming yang hanya berpihak pada musisi berskala besar.

Melalui Pitchplay, Fauzan beserta timnya berkomitmen ingin menyediakan sebuah sustainable revenue model untuk musisi tanpa menggantikan revenue model yang telah ada sebelumnya.

Alat monetisasi baru di industri musik

Pitchplay pertama didirikan pada Juni 2020 oleh tiga founder, yaitu Fauzan Rezda sebagai CEO, Egi Purwana sebagai CTO, dan Daus Gonia sebagai CMO. Platform ini dirilis secara resmi pada Oktober 2020.

Ia turut mengungkapkan bahwa ide dibalik pembentukan Pitchplay adalah keinginan untuk menciptakan sebuah model bisnis yang memungkinkan musisi mendapatkan revenue stream baru tidak hanya dari produk jadinya (karya lagu) tetapi juga dari proses kreatifnya dalam bentuk konten video dan langsung kepada penggemar, tidak ketergantungan kepada sponsor/brand.

Saat ini, Pitchplay memiliki 3 fitur yaitu rent-to-view, bundle, dan support. Fitur utamanya sendiri adalah rent-to-view, yang memungkinkan musisi menjual konten video langsung kepada fans. Sekali membayar, penggemar dapat menonton konten tersebut tanpa batas selama 7 hari dan Pitchplay hanya akan
mengenakan biaya potongan kepada musisi per transaksi.

Sedangkan untuk bundle, musisi dapat menjual lebih dari satu konten atau dengan merchandise. Selain itu, ada juga fitur support yang memungkinkan fans memberikan dukungan dalam bentuk uang dan juga pesan kepada musisi kesayangannya.

Sekilas mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan platform distribusi konten lain seperti YouTube atau sejenisnya. Namun, salah satu yang menjadi musuh bebuyutan para musisi adalah piracy atau pembajakan. Sementara konten virtual yang didistribusikan secara gratis melalui platform digital rentan sekali dengan isu pembajakan. Dalam hal ini, Pitchplay juga menawarkan wadah bagi musisi untuk mendistribusikan karya dengan nyaman dan aman dari ancaman pembajakan.

Dari sisi teknologi, timnya mengaku telah menerapkan beberapa teknologi penunjang untuk memenuhi standar keamanan konten, seperti DRM, blocker third party download, serta watermarking untuk mencegah pembajakan. “Kita yakin pembajakan tidak bisa 100% dihilangkan, tapi bisa dioptimalkan dalam pencegahannya baik preventif atau penanggulangannya,” tambah Fauzan

Merujuk kepada peraturan Pasal 3 PP 56/2021 yang menyebutkan bahwa setiap orang bisa menggunakan lagu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan catatan harus membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait.

Untuk konten sendiri, timnya juga melakukan proses kurasi yang akan dipajang di platform. Jika isi dan kualitas konten dirasa tidak relevan, maka konten tersebut tidak akan dinaikkan atau secepatnya di take down.

Sebagai platform yang memiliki model B2B2C, Pitchplay berfokus kepada akuisisi artis sebagai penyedia konten. Untuk mendukung strategi akuisisi, timnya juga telah melakukan beberapa program edukasi baik secara langsung ke artis atau melalui program di media sosial.

Tantangan dan peluang

Sejauh ini, analisa dan tesis awal Pitchplay menunjukkan bahwa adopsi pasar terbilang cukup baik bahkan dengan biaya pemasaran yang kecil. Namun ada beberapa tantangan yang muncul, salah satunya adalah banyak fans yang bahkan belum memiliki akun e-wallet atau m-banking untuk pembayaran. Maka dari itu, selain OVO dan GoPay, platform ini juga menyediakan pembayaran lewat Alfamart.

Dari sisi pengguna sendiri, Pitchplay mengaku antusiasmenya cukup kuat bahkan dari segmen yang sebelumnya tidak bisa diprediksi. Kekuatan eksklusifitas dan tipe konten masih menjadi faktor utama bagi pengguna untuk mau membeli konten.

Menurut Fauzan, potensi konten berbayar sendiri masih sangat besar dan terus berkembang di Indonesia. Kuncinya adalah bagaimana bisa menjangkau target market yang menjanjikan tidak hanya dari sisi kualitas namun juga kuantitas.

“Hal tersebut yang membuat kami berfokus pada musik, karena bagi kami musik merupakan hal yang dekat dengan target market di Indonesia terutama jika kita berbicara segmen milenial dan second-tier cities, yang mana secara angka terbilang sangat besar,” ujarnya.

Dalam industri musik tanah air, sudah ada beberapa platform yang juga menawarkan revenue tambahan bagi para musisi. Salah satunya adalah GoPlay Live yang sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menawarkan pengalaman real-time melalui platformnya. Selain itu juga ada aplikasi Modular yang memungkinkan konser virtual menggunakan teknologi Augmented Reality.

Selain itu, tantangan yang kemudian muncul adalah sulitnya musisi untuk membuat konten baru dengan terkendala masalah kreatif ataupun pendanaan. Platform ini pun sedang mempersiapkan solusi untuk masalah tersebut lewat beberapa fitur yang akan dirilis ke depannya.

Target ke depan

Terlepas dari tantangan yang muncul, layanan ini mendapat cukup banyak respons positif dari para musisi. Fauzan juga menyebutkan bahkan muncul permintaan dari industri lain selain musik yang memiliki masalah dan kebutuhan yang sama.

Saat ini sudah ada 43 artis terdaftar di Pitchplay dengan 20 konten eksklusif dan jumlah tersebut terus berkembang seiring diskusi dengan beberapa artis yang masih berjalan. Terkait pengguna sendiri, saat ini telah terdaftar lebih dari 3.500 pengguna terdaftar aktif. Beberapa band ternama yang sudah memajang konten eksklusif di Pitchplay seperti Mocca (Mocca’s Valentine Special), Burgerkill (25th Annivesary Virtual Concert), juga The SIGIT (Footnote: The SIGIT – Behind the Stage) dan lain-lain.

Sejak didirikan, Pitchplay menjalankan kegiatan operasional secara bootstrapping. Di tahun ini, timnya mengaku sudah berhasil mendapatkan pendanaan eksternal pertama, namun untuk saat ini, nama investor dan jumlahnya masih belum bisa disebutkan.

Melalui musik, platform ini yakin dapat menjangkau untapped market yang selama ini belum terjamah secara optimal. Timnya juga sempat mengadakan survey yang menunjukkan 4 dari 5 pengguna berbayar Pitchplay melakukan pembelian konten digital pertama di Pitchplay. Sebelumnya mereka belum pernah berlangganan/membeli konten digital termasuk layanan music streaming/VOD.

Selain memposisikan platformnya yang berfokus pada musik, Pitchplay juga berusaha menyediakan layanan 360° bagi musisi yang tidak hanya dapat menjual konten berbayar, tapi juga menyediakan fanengagement lewat beberapa fitur baru mendatang.

Saat ini, Pitchplay disebut sedang menyiapkan untuk merilis mobile app dan beberapa fitur baru. “Lewat beberapa fitur baru tersebut, fokus kami akan tetap memperkuat solusi sustainable revenue model bagi musisi dan juga menyediakan pengalaman yang lebih menyenangkan bagi pengguna,” tambah Fauzan.

Verihubs Kembangkan Solusi Verifikasi Berbasis API untuk Perusahaan Digital

Proses verifikasi menjadi komponen penting dalam setiap aktivasi atau transaksi yang terjadi secara digital. Implementasinya sendiri sangat diperlukan untuk mengukur kebenaran dan kompatibilitas satu sama lain dalam berbagai ekosistem perusahaan, termasuk dalam e-commerce, lembaga keuangan, permainan online, dan bahkan media sosial.

Salah satu pemain yang coba menyasar segmen ini adalah Verihubs, sebuah layanan berbasis API yang membantu perusahaan digital dalam proses verifikasi menggunakan sumber data lokal dan mengakses informasi keuangan dan identitas pengguna. Platform ini baru saja lulus dan berhasil meraih seed funding dari program akselerator Y Combinator.

Berawal dari isu pinjaman ilegal yang menerpa salah satu anggota keluarganya, CEO & Co-founder Verihubs, Rick Firnando yang pada saat itu bekerja pada sebuah perusahaan SaaS, mulai melihat hal ini sebagai peluang. Lalu, semasa bekerja ia juga mendapati beberapa permintaan dari perusahaan untuk solusi verifikasi. Pertemuannya dengan Williem yang ketika itu sedang mendalami ilmu AI untuk face recognition di salah satu universitas di Korea, semakin memantapkan niat Rick untuk membangun solusi verifikasi berbasis API ini.

Dalam peluncuran produknya, Rick juga mengungkapkan, “Misi kami adalah untuk membantu perusahaan layanan berbasis digital baru dan yang sudah ada (termasuk fintech) untuk memulai bisnis mereka dan transisi dari verifikasi manual ke proses yang sepenuhnya otomatis, masing-masing dengan menyediakan platform tunggal untuk semua solusi KYC, memungkinkan pelanggan untuk mendapatkan autentikasi, verifikasi, dan otorisasi ke layanan klien kami dalam hitungan detik.”

Model bisnis dan target ke depan

Verihubs mulai menawarkan solusinya di tahun 2019 yang mencakup proses orientasi pelanggan, mulai dari verifikasi nomor telepon, proses KYC ujung ke ujung, deteksi penipuan, hingga menautkan akun bank. Selain itu, platform ini juga menyediakan interkoneksi antarplatform keuangan yang memungkinkan pengguna akhir dapat segera menarik dana langsung dari rekening bank pilihan melalui verifikasi instan.

Teknologi deep learning yang diterapkan diklaim dapat mengurangi risiko kesalahan dan memastikan proses berjalan mulus demi meningkatkan pengalaman pengguna. Perusahaan menggunakan lima teknologi autentikasi berbasis AI, yaitu Face Recognition, Liveness Detection, Face Search, Text Recognition, dan Telco Credit Score.

Dalam perjalanan mengembangkan solusi ini, Rick mengakui adanya tantangan ketika di masa awal mereka masih merintis bisnis. Saat itu perusahaan baru mendapat pre-seed dengan tim yang relatif sedikit, sementara talenta teknis sangat dibutuhkan untuk bisa mengembangkan sebuah platform SaaS. Namun seiring waktu, perusahaan semakin berkembang dan hingga kini timnya telah memiliki 25 anggota dengan 75% adalah tim produk dan engineer.

Perusahaan menerapkan model bisnis berbasis transaction fee, klien akan membayar sesuai dengan jumlah verifikasi yang berhasil dilakukan. Hingga saat ini Verihubs sudah memproses lebih dari 6 juta verifikasi dan dipercaya oleh sekitar 45 perusahaan terkemuka, setengah di antaranya bergerak di bidang keuangan; seperti Payfazz, Bank Central Asia, dan Bank Commonwealth.

Untuk target dalam setahun ke depan, timnya mengaku sedang menjajaki solusi open banking untuk akses finansial. Selain itu, salah satu yang juga ada di pipeline adalah ekspansi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailan, Vietnam dan Malaysia.

Kompetisi pasar

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menargetkan segmen sejenis seperti ASLI RI. Bekerja sama dengan LoginID, perusahaan asal Silicon Valley, ASLI RI luncurkan produk AsliLoginID, sebuah platform Biometric-Authentication as a Service (BaaS) yang mempunyai sertifikasi FIDO2. Sertifikasi tersebut menjadi salah satu standar keamanan yang paling ketat saat ini, diakui secara internasional dan kompatibel dengan beragam jenis sistem operasi perangkat komputasi.

Selain itu, salah satu startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux juga memiliki lini bisnis yang fokus mengembangkan solusi untuk mempermudah proses eKYC yaitu Identifai. Nodeflux sendiri menjadi salah satu mitra Ditjen Dukcapil sebagai penyedia platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan.

Terkait lanskap industri SaaS yang spesifik mengembangkan solusi verifikasi berbasis API, Rick turut menyampaikan bahwa dari segi edukasi, target pasar untuk layanan ini sudah memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya solusi verifikasi. “Seiring pertumbuhan industri fintech serta perusahaan lain yang berbasis digital, solusi ini akan semakin dibutuhkan dan berkembang,” ujarnya.

Menurut laporan dari ReportLinker, pasar perangkat lunak sebagai layanan (SaaS) global diperkirakan akan tumbuh dari $225,6 miliar pada tahun 2020 menjadi $272,49 miliar pada tahun 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 20,8%. Pasar diperkirakan akan mencapai $ 436,9 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12,5%.

Program akselerator

Didirikan pada tahun 2019, Verihubs sempat terlibat dalam beberapa program akselerator. Di akhir tahun 2020, timnya menjadi salah satu partisipan dalam batch pertama dari Startup Studio Indonesia, sebuah program yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk memfasilitasi startup digital yang sedang dalam proses mencapai tahap product-market fit.

Setelah itu, Verihubs juga ikut serta dalam Indigo Demo Day 1-2021 yang diadakan oleh Indigo Creative Nation pada 15 Juni 2021 silam, timnya berkesempatan pitching secara langsung dan disaksikan oleh Venture Capital terkemuka dari dalam dan luar negeri. Dari sini, mereka berhasil meraih perhatian serta pendanaan seed dari program akselerator yang berbasis di Amerika, Y Combinator.

Sebagai salah satu yang berkesempatan untuk menjalani program akselerator YC, Verihubs mengaku mendapat banyak sekali keuntungan selain pendanaan. “Bukan cuma pendanaan, tapi kita juga benar-benar diajari dari sisi produk dan komunitasnya sangat kuat. Kita jadi punya koneksi yang luas untuk bisa going global,” ujar Rick yang saat diwawancara sedang menyiapkan sesi Demo Day dan dijadwalkan lulus dari program Y Combinator di minggu ini.

Dilansir dari Crunchbase, selain Indigo Creative Nation, perusahaan yang berbasis di Indonesia ini juga turut didukung oleh beberapa angel investor untuk pre-seed termasuk dari Co-Founder Payfazz, Hendra Kwik serta Co-Founder & CEO Xfers, Tianwei Liu.

Catatkan Pertumbuhan Positif, Aplikasi Bahasa Isyarat “Hear Me” Mulai Rambah Segmen B2B

Hear Me meluncur awal tahun 2021 ini, sebagai platform social technology yang menyediakan layanan penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Aplikasi ini juga jadi yang pertama yang menyuguhkan tampilan animasi 3D untuk menjembatani komunikasi antara teman tuli dan teman dengar. Disampaikan saat ini mereka telah memiliki sekitar 2 ribu pengguna aktif.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Hear Me Athalia Mutiara Laksmi mengungkapkan, untuk memberikan layanan lebih dalam waktu dekat mereka akan meluncurkan fitur baru yaitu pemesanan untuk Juru Bahasa Isyarat (JBI) dengan layanan video call.

“Tidak hanya itu, fitur tersebut rencananya juga akan dilengkapi dengan praktik bahasa isyarat kategori alfabet dan angka yang dapat mendeteksi gerakan tangan. Selain belajar melalui visual, diharapkan orang-orang dapat mempraktikkan gerakan isyarat mereka melalui fitur pendeteksi tersebut,” kata Athalia.

Hear Me juga ingin memberikan fleksibilitas kepada para juru bahasa isyarat untuk mendapatkan akses langsung ke pengguna dan penghasilan tambahan dengan bergabung menjadi mitra. Dalam hal ini Hear Me memberikan pembagian komisi dan bonus bagi mereka juru bahasa isyarat yang bergabung.

Melihat besarnya peluang untuk menghadirkan juru bicara bahasa isyarat yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh rumah sakit, bank, hingga organisasi lainnya yang banyak bersinggungan dengan pemerintah, fitur terbaru tersebut diklaim oleh Hear Me bisa membantu mereka menyebarkan informasi kepada teman tuli.

“Saat ini meskipun masih tahap awal kita mulai menjangkau segmen B2B dan ke depannya B2G,” kata Athalia.

Hear Me juga memiliki rencana untuk menghadirkan fitur penerjemah bahasa isyarat secara freemium. Rencana lainnya yang akan dikembangkan oleh Hear Me di antaranya adalah membuka slot iklan di aplikasi dan menyediakan lisensi teknologi dengan menampilkan layar atau monitor di tempat umum seperti bandara hingga pusat perbelanjaan. Tujuannya membantu teman tuli memperoleh informasi dengan mudah dalam memanfaatkan monitor yang memberikan akses bahasa isyarat.

Manfaatkan dana hibah

Selain Athalia, layanan ini turut didirikan beberapa co-founder lain meliputi Nadya Sahara Putri, Octiafani Isna Ariani, Safirah Nur Shabrina, dan Ivan Octa Putra.

Saat pandemi, Hear Me mengklaim tidak mengalami kendala yang berarti. Namun demikian terkait dengan kegiatan pemasaran menjadi terhambat karena idealnya dilakukan secara offline. Misi perusahaan yang ingin mempertemukan teman tuli dengan teman dengar secara langsung juga menjadi terhambat akibat pembatasan fisik yang diberlakukan.

Tantangan lain yang juga masih dihadapi adalah masih rendahnya aweresness dan sedikitnya jumlah komunitas di beberapa daerah. Tercatat hanya Jakarta dan Bandung saja yang cukup aktif dengan kegiatan komunitas teman tuli dan teman dengar. Namun di kota lain seperti Surabaya dan Makassar, jumlah komunitas tersebut masih sedikit dan tidak terlalu aktif.

“Melalui Hear Me kami ingin mengaktifkan kembali komunitas dan awareness kepada masyarakat luas terhadap keberadaan teman tuli dan teman dengar saat ini,” kata Athalia.

Masih belum memiliki investor, selama ini Hear Me menjalankan bisnisnya memanfaatkan dana hibah yang telah diterima oleh perusahaan. Tercatat hingga kini Hear Me telah mendapatkan sekitar 7 hibah dari berbagai organisasi dan lembaga. Perusahaan juga terus menjalin kolaborasi dengan pihak terkait seperti Gerkatin Jawa Barat, Dinas Sosial dan Dinas Budaya & Pariwisata.

“Tahun ini kita masih ingin fokus ke product dan business validation hingga bulan Oktober mendatang. Sementara tahun depan kita juga memiliki rencana untuk penggalangan dana,” kata Athalia.

Application Information Will Show Up Here

TransTRACK.ID Bags Seed Funding, to Enhance Logistics Fleet Management Product

Officially launched in April 2019, the fleet management service provider TransTRACK.ID managed to close the seed funding round. Investors participated are including Cocoon Capital, Accelerating Asia, and PT Modal Ventura YCAB.

Overall, they managed to raise an investment of SGD755 thousand (equivalent to $570 thousand or 8 billion Rupiah). Previously, TransTRACK.ID was one of DSLaunchPad 2.0. selected participants. This startup was founded by Anggia Meisesari and Aris Pujud.

“The fresh funds will be used to support product development and sales growth. Currently, TransTRACK.ID is also looking for strategic partnerships and networks for the next funding round,” The CEO, Anggia said.

During the pandemic, the company made a revenue growth of more than 150% compared to the previous season. The need for transportation and logistics during the pandemic creates full potential to supply products and services. These conditions are crucial for monitoring the proper use and functioning of the fleet, drivers, and safety.

“TransTRACK.ID is here to help our customers who operate in the logistics sector and its support, therefore, they don’t have to face various problems such as late deliveries, theft, bad drivers, inefficient costs, and the difficulty of integrating into other systems,” Anggia added.

To date, there are almost 3000 users of the TransTRACK.ID system. The company can serve customers throughout Indonesia, with temporary service points located throughout Java, North Sumatra and South Sumatra. TransTRACK.ID focuses on B2B and B2B2C business models.

In terms of logistics fleet tracking services, there are several startups trying to provide similar solutions in Indonesia. These include Lacak.io, Waresix, Logisly, Webtrace, and others.

Product excellence

The majority of their revenue stream comes from subscription fees for the Fleet Management System usage and other complementary and supporting applications such as Transportation Management System, Employee Tracking, Vehicle Maintenance and Driver Management. In addition, the company also earns revenue from software sales (GPS equipment and sensors) as well as development projects.

TransTRACK.ID also provides accident compensation (without additional costs) for customers whose vehicles are equipped, amounting to a maximum of IDR 50 million per person in the event of death, permanent disability, and medical expenses of a maximum of IDR 5 million per person. This compensation applies to 1 driver and 1 passenger, regardless of identity, who was in the vehicle at the time of the accident.

“Our platform is very flexible and capable for integration with more than 1000 types of GPS devices on the market, easy to adapt to customer needs, easy to integrate with other systems, multiple alerts and notifications either via SMS, push notifications on mobile apps, browsers, and windows, also via email in real time, multiple reports, and multiple users with access rights,” Anggia said.

Fleet telematics platform potential

Currently, the number of land vehicles in Indonesia has reached more than 150 million units, and the logistics market in Indonesia is very large. It is predicted to reach $300.3 billion by 2024. The need for fleet telematics is increasing.

It is based on the need to track and monitor vehicle usage, drivers, and safety. Government regulations, in this case the Ministry of Transportation, have issued regulations through PP no. KP.2081/AJ.801/DRJD/2019 which requires the use of GPS for all public transportation operators to monitor operations and improve efficiency.

However, according to a survey conducted by the Indonesian Telematics Equipment Industry Association, the use of GPS tracking on public transport in Indonesia is still less than 10%, or less than 2% of the total number of vehicles in Indonesia. This shows that there is still huge potential for the growth of fleet telematics technology services in Indonesia, such as the services offered by the TransTRACK.ID platform.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kantongi Dana Tahap Awal, TransTRACK.ID Genjot Pengembangan Produk Manajemen Armada Logistik

Setelah resmi meluncur bulan April tahun 2019 lalu, penyedia layanan manajemen pengelolaan armada TransTRACK.ID berhasil menutup putaran pendanaan tahapan awal. Investor yang terlibat adalah Cocoon Capital, Accelerating Asia, dan PT Modal Ventura YCAB.

Secara keseluruhan mereka berhasil mengumpulkan investasi senilai SGD755 ribu (setara dengan $570 ribu atau 8 miliar Rupiah). Sebelumnya TransTRACK.ID juga merupakan salah satu peserta terpilihDSLaunchPad 2.0. Startup ini didirikan oleh dua founder, yakni Anggia Meisesari dan Aris Pujud.

“Dana segar tersebut akan digunakan untuk mendukung pengembangan produk dan pertumbuhan sales. Saat ini TransTRACK.ID juga sedang mencari kemitraan strategis dan relasi untuk putaran pendanaan berikutnya,” kata Anggia selaku CEO.

Selama pandemi perusahaan mencatat mengalami pertumbuhan revenue lebih dari 150% dibanding sebelumnya. Besarnya kebutuhan transportasi dan logistik saat pandemi, menjadikan beroperasi dengan potensi penuh untuk memasok produk dan layanan. Kondisi tersebut menjadi krusial untuk memantau penggunaan dan fungsi yang tepat dari armada, pengemudi, dan keselamatan.

“TransTRACK.ID hadir untuk membantu para pelanggan kami yang beroperasi di sektor logistik dan pendukungnya, sehingga mereka tidak perlu menghadapi berbagai masalah seperti pengiriman yang terlambat, pencurian, pengemudi yang buruk, biaya yang tidak efisien, dan sulitnya terintegrasi ke sistem lain,” lanjut Anggia.

Hingga saat ini pengguna sistem TransTRACK.ID sudah hampir 3000 unit. Perusahaan dapat melayani pelanggan di seluruh Indonesia, dengan service point sementara ini berada di seluruh pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. TransTRACK.ID fokus pada model bisnis B2B dan B2B2C.

Untuk layanan pelacakan armada logistik, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang mencoba memberikan solusi. Di antaranya Lacak.io, Waresix, Logisly, Webtrace, dan lain-lain.

Keunggulan platform

Revenue stream mereka mayoritas berasal dari subscription fee (biaya berlangganan) untuk penggunaan Fleet Management System dan aplikasi pelengkap dan pendukung lainnya seperti Transportation Management System, Employee Tracking, Vehicle Maintenance dan Driver Management. Selain itu perusahaan juga mendapatkan revenue dari penjualan perangkat lunak (alat GPS dan sensor) serta proyek pengembangan.

TransTRACK.ID juga menyediakan kompensasi kecelakaan (tanpa biaya tambahan) bagi pelanggan yang kendaraannya terpasang alat, sebesar maksimal Rp50 juta per orang apabila terjadi kematian, cacat tetap, dan biaya pengobatan maksimal Rp5 juta per orang. Kompensasi ini berlaku untuk 1 pengemudi dan 1 penumpang, siapa pun identitasnya, yang saat itu berada dalam kendaraan yang mengalami kecelakaan.

“Platform kami sangat fleksibel dan dapat terintegrasi dengan lebih dari 1000 jenis alat GPS di pasaran, mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan, mudah untuk diintegrasikan dengan sistem lain, multiple alert dan notifikasi baik itu melalui SMS, push notif di mobile apps, browser, dan windows, juga melalui email secara real time, multiple report, dan multiple user yang dapat diatur hak aksesnya,” kata Anggia.

Potensi platform telematika armada

Tercatat saat ini jumlah kendaraan darat di Indonesia mencapai lebih dari 150 juta unit, dan pasar logistik di Indonesia sangat besar. Diprediksi akan mencapai $300,3 miliar pada tahun 2024. Kebutuhan akan penggunaan telematika armada semakin meningkat.

Hal ini didasari adanya kebutuhan untuk melacak dan memonitor penggunaan kendaraan, pengemudi, dan keamanan keselamatan. Regulasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, telah mengeluarkan aturan melalui PP No. KP.2081/AJ.801/DRJD/2019 yang mensyaratkan penggunaan GPS kepada seluruh operator transportasi umum untuk memantau operasional dan peningkatan efisiensi.

Akan tetapi menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia, tingkat penggunaan GPS tracking pada angkutan umum di Indonesia masih kurang dari 10%, atau kurang dari 2% dari total jumlah kendaraan di Indonesia. Hal ini memperlihatkan potensi yang masih sangat besar untuk pertumbuhan layanan teknologi telematika armada di Indonesia, seperti layanan yang ditawarkan oleh platform TransTRACK.ID.

Application Information Will Show Up Here

Platform “Crowdgiving” Bantoo.id Jembatani Kegiatan Donasi secara Digital

Besarnya minat masyarakat umum untuk melakukan donasi secara online, menjadi salah satu alasan platform Bantoo.id hadir. Kepada DailySocial.id, Co-founder Bantoo.id Ratna Veronica menyebutkan, Indonesia sebagai negara teratas dalam inisiatif untuk memberi (oleh World Giving Index) ditambah dengan kultur gotong-royong yang sudah mendarah daging.

“Namun online giving platform sebagai sociotech masih jauh kalah kuantitas dan perkembangannya dibanding fintech dan tentunya online marketplace,” kata Ratna.

Secara khusus Bantoo.id memadukan donasi barang dan uang. Berbeda dengan platform serupa lainnya, Bantoo.id bukan hanya sekedar crowdfunding platform, namun merupakan crowdgiving. Ke depannya ada beberapa vertical product dan layanan lagi yang akan dikembangkan.

Mereka juga berupaya untuk tidak menjual kesedihan, baik lewat cause campaign, konten cerita campaign, maupun foto. Perusahaan lebih mengedepankan semangat, perjuangan, inspirasi kebaikan dan berita positif. Bantoo.id juga  menerapkan 5 tahap verifikasi untuk setiap kampanye yang dijalankan.

“Bantoo.id dapat diakses oleh pengguna di seluruh Indonesia. Untuk penggalang dana sendiri tersebar hampir di seluruh Indonesia dengan cause penggalangan yang beragam. Pertumbuhan unique visitor kami cukup baik dengan conversion rate to donate yang cukup tinggi. Kami mulai dari nol, dan saat ini ada di angka 200 ribu visitor per bulan,” kata Ratna.

Strategi monetisasi yang dilancarkan pada platform crowdfunding adalah 5% platform fee dari donasi terkumpul dan dikarenakan adanya crowdgiving, monetisasi bertambah dengan persentase margin dari barang donasi yang terjual di Bantoo.id. Campiagner dan mitra cukup beragam.

Diawasi oleh Kemensos dan Kominfo

Saat ini Bantoo.id diawasi oleh Kementrian Sosial dan Kominfo. Disinggung apakah nantinya Bantoo.id akan bertransformasi lebih dari sekadar platform donasi, mereka menegaskan untuk saat ini dan ke depannya akan terus menjadi platform crowdgiving di Indonesia.

Cara unik yang kemudian dilancarkan oleh mereka yaitu menawarkan pilihan donasi bukan hanya uang, namun juga barang, zakat, hingga bagi ilmu. Dengan demikian memberikan pilihan kepada orang banyak untuk melakukan donasi dengan opsi yang lebih luas.

“Saat ini donasi paling banyak adalah donasi dana. Namun dengan menawarkan pilihan seperti #BagiBarang bisa menjembatani mereka secara individu hingga perusahaan yang ingin melancarkan kegiatan CSR memanfaatkan layanan pilihan dari Bantoo.id,” kata Ratna.

Salah satu pemicu pertumbuhan layanan donasi Bantoo.id adalah saat pandemi. Pandemi secara langsung memberikan dampak positif, banyak social cause yang memerlukan bantuan dan dapat dibantu. Secara negatif, walaupun tidak terlalu signifikan adalah berkurangnya nilai donasi (basket size) per user.

Meskipun baru berusia 1 tahun, namun Bantoo.id memiliki beberapa rencana yang ingin dilancarkan. Di tahun ini Bantoo.id fokus pada perkuatan dan pengembangan system internal, automated verification & automated withdrawal system.

“Oleh sebab itu kami secara selektif memilih campaign baru. Ke depannya di tahun ini kami akan menambah 1-2 vertical product/services untuk memperkuat Bantoo.id sebagai Point of Charity (POC),” kata Ratna.

Disinggung apakah Bantoo.id memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, Ratna menegaskan belum ada rencana untuk melakukan penggalangan dana hingga saat ini. Namun demikian perusahaan tidak menutup kemungkinan jika adanya investor yang berniat untuk memberikan dana segar kepada perusahaan.

“Kami saat ini belum fokus untuk mencari investor, namun kami sangat terbuka untuk berdiskusi dengan semua yang melihat sociotech dan pengembangan fintech adalah sesuatu yang baik di Indonesia,” tutup Ratna.

Pertumbuhan platform donasi digital

Bukan hanya platform crowdfunding seperti Kitabisa, BenihBaik, hingga crowdgiving seperti Bantoo.id yang saat ini dilirik oleh masyarakat umum, kegiatan donasi online saat ini juga mengalami pertumbuhan yang cukup baik selama 2 tahun terakhir.

Gojek pun tahun 2019 lalu telah meluncurkan GoGive, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa sebagai mitra eksklusif. Go-Give memungkinkan pengguna untuk berdonasi, zakat, infaq, dan sedekah (ZIS), dan kalkulator zakat langsung dalam aplikasi Gojek dengan metode pembayaran Go-Pay.

Data yang dirangkum oleh Katadata terungkap, nilai donasi digital rata-rata naik 72% selama pandemi. Studi juga menggambarkan bahwa derma dari generasi Z atau masyarakat usia di bawah 24 tahun meningkat. Jumlah donatur yang menggunakan layanan digital juga naik 9% menjadi 76%. Dibandingkan empat tahun lalu, nilai dan volume donasi melalui platform digital meningkat 13 kali lipat.

Indonesia Millenial Report 2019 mencatat sebanyak 2,7% milenial pernah berdonasi secara online. Laporan hasil riset yang dirilis IDN Research Institute ini menyatakan Dompetdhuafa.com sebagai situs donasi favorit milenial.

Edu-Wellness Startup “Mindtera” Secures Seed Funding from East Ventures

Educational platform for self-development (edu-wellness) Mindtera has announced seed funding with undisclosed amount led by East Ventures. Silicon Valley-based Hustle Fund, Henry Hendrawan, and several angel investors in the tech industry participated in this round.

The fresh funds will be used to accelerate its mission in helping people live their best lives, by providing access to a curriculum for self-development learning across a wide range of lives.

“This latest funding will be used to strengthen product and technology teams, launch more exciting features, increase brand awareness, and build capacity in response to market needs. We welcome passionate talent to join us on this journey,” Mindtera‘s Co-founder & CMO Bayu Bhaskoro said in an official statement, Monday (23/8).

The concept

This startup’s other founder is Tita Ardiati. She is a licensed life coach who has spent more than 500 hours with 100 clients and is a senior statistician with experience working at multinational research institutions, such as YouGov and Nielsen. Meanwhile, Bayu has experience as a senior creative professional with various achievements.

Mindtera’s Co-Founder & CEO, Tita Ardiati said, this platform was established to provide education and training on emotional, social and physical intelligence in digital format for individuals and companies. Mindtera’s multiple intelligence curriculum has been scientifically and clinically validated by life coaches, educators, and clinical psychologists.

In addition, this learning platform will also build a community as a daily support system for its users. “Mindtera aims to overcome this imbalance by designing and building educational products containing multiple intelligences (multi-intelligence approach),” she explained.

She also mentioned, “[..] We provide content that opens up insights about multiple intelligences to more individuals and companies. Through Mindtera, look forward to accessibility, relevance and community in a digital format that will help increase your potential.”

According to the Harvard Business Review (HBR), emotional intelligence (EQ) is twice as important as any other skill for achieving personal growth and well-being, whether at home or at work. Generally, in schools, even edtech, focus on technical and academic abilities.

Nowadays, it’s almost hard to find solutions to improve an individual’s EQ in a structured way to better navigate life. Especially amidst the pandemic, EQ has become an important aspect to help people adapt to unprecedented changes and uncertainties.

East Ventures’ partner, Melisa Irene said, “[..] We believe Mindtera will pave the way for changing people’s understanding of intelligence as a whole, equipping people with the right curriculum and services to achieve life satisfaction.”

Wellness market share

Indonesia’s market share for fitness and wellness industry has grown significantly over the past few years. Euromonitor International’s data shows that Indonesia’s health and wellness food and beverage market has grown 51% in five years and become the current $9 billion industry.

Meanwhile, according to a report from the International Association of Health Clubs, Rackets and Sports, the country’s fitness industry grew by 45% in three years to $271 million in 2017. In Indonesia, wellness players serve across multiple verticals. It includes Fit Company, DOOgether, Jovee, YouVit, ClassPass, R Fitness, and many more.

Source: Euromonitor

The lucrative potential for economic value has made several digital innovators jump into this area. Carrying the concept of an educational application that focuses more on fitness and physical health activities, Telkomsel released the “Fita” application this year. To date, the app is still in its early access phase. It offers several products, from 1-on-1 tutoring services with professional trainers, on-demand workout videos, exercise programs, tips and nutritious food recipes.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Edu-Wellness “Mindtera” Tutup Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Platform edukasi pengembangan diri (edu-wellness) Mindtera mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan yang dipimpin East Ventures. Hustle Fund yang berbasis di Silicon Valley, Henry Hendrawan, dan beberapa angel investor di industri teknologi turut berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Dana segar ini akan digunakan perusahaan untuk mempercepat misinya dalam membantu orang menjalani kehidupan terbaiknya, dengan menyediakan akses kurikulum pembelajaran pengembangan diri di berbagai kehidupan.

“Pendanaan baru ini akan digunakan untuk memperkuat tim produk dan teknologi, meluncurkan lebih banyak fitur menarik, meningkatkan brand awareness, dan membangun kapasitas dalam menanggapi kebutuhan pasar. Kami menyambut talenta yang bersemangat untuk bergabung dengan kami dalam perjalanan ini,” kata Co-founder & CMO Mindtera Bayu Bhaskoro dalam keterangan resmi, Senin (23/8).

Konsep layanan

Selain Bayu, startup ini turut didirikan oleh Tita Ardiati. Tita adalah life coach berlisensi yang telah menghabiskan lebih dari 500 jam dengan 100 klien dan ahli statistik senior dengan pengalaman kerja di lembaga penelitian multinasional, seperti YouGov dan Nielsen. Sementara, Bayu memiliki pengalaman sebagai senior kreatif profesional yang telah memenangkan berbagai penghargaan.

Co-Founder & CEO Mindtera Tita Ardiati menjelaskan, platform ini didirikan untuk memberikan edukasi dan pelatihan kecerdasan emosional, sosial dan fisik dalam format digital untuk individu dan perusahaan. Kurikulum kecerdasan majemuk Mindtera telah divalidasi secara ilmiah dan klinis oleh para life coach, edukator, dan psikolog klinis.

Selain itu, platform pembelajaran ini juga akan membangun komunitas sebagai support system harian bagi penggunanya. “Mindtera bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan ini dengan merancang dan membangun produk edukasi bermuatan kecerdasan majemuk (multi-intelligence approach),” terangnya.

Dia melanjutkan, “[..] Kami menyediakan konten yang membuka wawasan tentang kecerdasan majemuk ke lebih banyak individu dan perusahaan. Melalui Mindtera, nantikan aksesibilitas, relevansi, dan komunitas dalam format digital yang akan membantu meningkatkan potensi diri.”

Menurut Harvard Business Review (HBR), kecerdasan emosional (EQ) dua kali lebih penting daripada keterampilan lain untuk mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan pribadi, baik di rumah atau di tempat kerja. Umumnya, di sekolah, bahkan edtech, berfokus pada kemampuan teknis dan akademis.

Namun, solusi untuk meningkatkan EQ individu secara terstruktur dalam menavigasi kehidupan dengan lebih baik hampir sulit ditemukan pada saat ini. Khusus di tengah pandemi ini, EQ menjadi aspek penting untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, “[..] Kami percaya Mindtera akan membuka jalan untuk mengubah pemahaman masyarakat tentang kecerdasan secara keseluruhan, membekali masyarakat dengan kurikulum dan layanan yang tepat sehingga mereka dapat mencapai kepuasan hidup.”

Pangsa pasar wellness

Pangsa pasar industri fitness dan wellness Indonesia telah tumbuh secara signifikan selama beberapa tahun terakhir. Data dari Euromonitor International menunjukkan bahwa pasar makanan dan minuman kesehatan dan kebugaran Indonesia telah tumbuh 51% dalam lima tahun menjadi industri senilai $9 miliar saat ini.

Sementara itu, menurut laporan dari Asosiasi Internasional Klub Kesehatan, Raket dan Olahraga, industri kebugaran negara itu tumbuh sebesar 45% dalam tiga tahun menjadi $271 juta pada tahun 2017. Di Indonesia, pemain wellness tersebar di berbagai vertikal. Di antaranya Fit Company, DOOgether, Jovee, YouVit, ClassPass, R Fitness, dan masih banyak lagi.

Sumber: Euromonitor

Potensi nilai ekonomi yang menggiurkan membuat beberapa inovator digital terjun ke ranah tersebut. Mengusung konsep aplikasi edukasi yang lebih fokus ke kegiatan kebugaran dan kesehatan fisik, Telkomsel tahun ini juga merilis aplikasi “Fita”. Sampai saat ini aplikasi tersebut masih di fase early access. Di dalamnya menawarkan beberapa produk, mulai dari layanan bimbingan 1-on-1 dengan pelatih profesional, video latihan on-demand, program olahraga, tips dan resep makanan bergizi.

Durianpay Revolusi Kemudahan Proses “Checkout” untuk Bisnis Online

Di tengah geliatnya transaksi e-commerce di Indonesia, masih menyisakan solusi pembayaran yang masih terfragmentasi, manual, dan belum optimal. Kondisi tersebut mengakibatkan tingginya drop off pada saat checkout pembayaran. Pun bagi merchant, proses verifikasi dan rekonsiliasi yang masih manual sangat rawan terjadi kesalahan serta penipuan.

Kesempatan tersebut ingin diselesaikan oleh startup agregator pembayaran Durianpay. Startup yang didirikan oleh Antara Sara Mathai, Kumar Puspesh, dan Natasha Ardiani pada tahun lalu. Ketiganya memiliki pengalaman yang mendalam di industri pembayaran.

Mathai berpengalaman dalam membangun produk payment gateway di India dan Amerika Serikat, lalu membawanya ke Indonesia dan membangun produk-produk untuk memudahkan konsumen membayar segala jenis pajak di OnlinePajak, perusahaan Mathai sebelumnya. Mathai bertemu dengan Puspesh saat keduanya bekerja di Zynga, platform gaming terkemuka di India. Puspesh sempat bekerja di Moonfrog, salah satu pengembang game di India.

Sementara, Natasha memiliki pengalaman kuat sebagai praktisi kebijakan publik dan mulai menjadi kariernya sebagai entrepreneur untuk pertama kalinya. Sebelumnya Natasha bekerja di pembayaran digital milik Shopee, yakni ShopeePay dan Shopee PayLater, serta memimpin bisnis pinjaman dan penagihan di OVO.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder Durianpay Natasha Ardiani menjelaskan dengan melihat tantangan dan solusi yang dibutuhkan untuk melancarkan proses checkout, Durianpay menyusun solusi pembayaran yang memudahkan merchant dan konsumen.

Solusi satu atap

Durianpay sebagai agregator pembayaran bekerja sama dengan sejumlah payment gateway dan penyelenggara transfer dana untuk membangun solusi-solusi yang dibutuhkan merchant dari berbagai skala usaha. Di antaranya, fitur rekonsiliasi otomatis; pembayaran instan; fitur promo (memudahkan penjual mengkurasi promo berdasarkan metode pembayaran).

Kemudian, fitur split payment (memungkinkan konsumen membayar satu pesanan dengan dua atau lebih metode pembayaran yang berbeda); dan refund management untuk permudah proses pengembalian dana ke konsumen. “Fitur-fitur tersebut yang membedakan Durianpay dari platform sejenis,” terang dia.

Solusi tersebut bersifat plug-and-play sehingga mempermudah merchant memilih solusi mana yang mereka butuhkan. Metode pembayaran yang disediakan perusahaan, meliputi transfer bank (virtual account), direct debit, kartu debit dan kredit, pembayaran melalui gerai ritel, uang elektronik, pembayaran paylater, hingga internet banking. “Kami hanya membebankan biaya berdasarkan penerimaan pembayaran dan pengiriman pembayaran yang berhasil.”

Merchant yang sudah memanfaatkan solusi Durianpay di antaranya Ruangguru, Kopi Kenangan, Aplikasi Super, Chilibeli, Shox Rumahan, dan masih banyak lagi. “Kami menyasar bisnis besar hingga kecil sebagai klien/konsumennya berhubung langsung dengan solusi yang ditawarkan dan dapat diterapkan di segala macam dan tingkatan bisnis.”

Tak hanya menyasar perusahaan startup, Durianpay juga menyasar pelaku bisnis social commerce hingga pekerja lepas. Natasha menjelaskan, saat ini beberapa solusi yang disediakan pemain SaaS B2B pembayaran memerlukan integrasi yang kompleks, sehingga pemilik bisnis harus melakukan banyak intervensi manual untuk rekonsiliasi pembayaran. Mayoritas dari mereka juga membebankan harga tinggi untuk pengusaha kecil.

“Mencoba mengatasi masalah ini, Durianpay berinovasi dengan menghadirkan produk yang dapat menjembatani kesenjangan teknologi di pasar.”

Solusi tersebut dinamai Instapay. Melalui integrasi tunggal, perusahaan menawarkan akses ke berbagai pilihan pembayaran dan antarmuka tanpa kode yang dapat digunakan pebisnis untuk membuat alur kerja secara otomatis. Juga, menerapkan infrastruktur pembayaran yang instan dan mudah. Proses checkout dan pembayaran sepenuhnya dapat disesuaikan dan dimodifikasi oleh pemilik bisnis.

“Kami ingin terus berinovasi mengeluarkan produk-produk yang modern dan relevan di pasar dan nantinya membuat bisnis jenis apa pun dapat memfasilitas pembayaran untuk apa saja dan di mana saja,” tutup Natasha.

Potensi pembayaran digital

Sejumlah perusahaan dengan solusi sejenis, seperti Midtrans dengan produk Payment Link juga menyasar solusi yang sama dengan Durianpay. Xendit dengan aplikasi Xendit Bisnis juga menawarkan kemudahan berjualan dan mengelola bisnis lewat smartphone. Di luar itu, ada DOKU, Xfers, Faspay, dan lainnya yang berusaha menggarap lebih banyak segmen bisnis dapat merasakan kemudahan sistem pembayaran terintegrasi.

Salah satu faktor yang memaksa bisnis harus mengadopsi sistem di atas ini karena tingginya adopsi layanan pembayaran digital di masyarakat. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saat ini tak sedikit masyarakat terutama di perkotaan yang lebih memanfaatkan dompet digital melalui ponsel pintarnya.

Menurut data, adopsi aplikasi yang elektronik di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun — baik dari sisi pengadopsi maupun nilai transaksi yang dihasilkan.

Kenaikan adopsi pembayaran digital Indonesia / Sumber : The Asian Banker

Untuk memaksimalkan potensi tersebut, Durinapay juga baru mendapatkan pendanaan sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India. Dana segar akan dimanfaatkan untuk mengembangkan lebih banyak solusi dan perdalam penetrasi bisnisnya agar diterima lebih banyak pengguna.

Startup Kuliner Kokikit Hadir dengan Konsep “Chef as a Services”

Besarnya peluang memanfaatkan sumber daya koki profesional menjadi alasan platform chef as a services Kokikit diluncurkan. Para konsumen dapat menikmati signature dish dari para juru masak dalam bentuk ready meal yang dikemas secara praktis dengan biaya yang lebih efisien.

Didirikan oleh CEO Andry Suhaili bersama co-founder lainnya yaitu CTO Sebastian Wijaya, CMO Donald D. Kusumo, Chef Culinary Officer Hendro Soejadi, dan Chief Content Officer Untung Pranoto; Kokikit ingin menghadirkan pilihan koki-koki profesional untuk para konsumen (perorangan, restoran, hotel) tanpa harus memiliki atau mempekerjakan koki itu sendiri.

“Visi kami adalah mempopulerkan cita rasa Indonesia ke seluruh dunia, agar saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri dapat membuka restoran Indonesia dengan rasa dan kualitas terbaik lewat Recipe Kit dari Kokikit,” kata Andry.

Berbeda dengan layanan cloud kitchen atau ghost kitchen yang saat ini makin marak kehadirannya, Kokikit tidak membutuhkan investasi properti dan peralatan dapur untuk melayani konsumen dari berbagai kota. Seluruh makanan Kokikit adalah hasil kreasi seorang koki profesional.

“Pemain ready meal serupa juga belum memanfaatkan teknologi sebagai strategi utama. Mereka masih mengandalkan metode konvensional dan pasar modern ritel dan dalam bentuk frozen. Kokikit memiliki produk frozen dan tahan suhu ruang (shelf-stable food atau ambient food),” imbuh Andry.

Meal Kit dan Recipe Kit

Para chef profesional Kokikit / Kokikit

Secara khusus Kokikit adalah produsen Meals Ready to Eat (MRE) dalam bentuk Meal Kit (full meal) dan Recipe Kit (daging saja). Meal Kit ditujukan untuk perorangan (end user) yang tidak mau repot masak atau mengotori dapur. Sementara Recipe Kit ditujukan untuk restoran agar mereka bisa menambahkan menu dengan mudah; dan hotel-hotel yang tidak memiliki dapur.

Seluruh produk adalah kreasi tim koki profesional yang dikolaborasikan dengan para artis, untuk melahirkan Celebrities Favorite Signature Dish. Kokikit mengklaim semua rasa dan kualitas sudah divalidasi oleh para selebriti yang terlibat. Sejak beroperasi 2 bulan lalu, Kokikit sudah mencatat lebih dari 5000 konsumen. Saat ini Kokikit dapat diakses melalui WhatsApp, situs, dan di berbagai platform online marketplace.

“Saat ini Kokikit telah bekerja sama dengan 9 selebriti dan sedang menjalankan program sosial dengan Digiresto lewat gerakan #IndonesiaPastiBisa dengan menghadirkan paket nasi di harga Rp10.000 kepada warga-warga isoman di seluruh Jabodetabek dan Bandung,” jelas Andry.

Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Kokikit adalah membangun mitra penjualan (agen). Meal Kit dan Recipe Kit dapat dibeli dalam bentuk satuan, bundling, katering, dan dapat dikustomisasi. Kokikit juga menyediakan 3 jenis aplikasi seluler yang dapat digunakan secara gratis. Yaitu untuk pelanggan, mira (restoran dan hotel), hingga aplikasi mitra agen yang bertugas untuk mencari prospek, mendapatkan laporan performa penjualan dari pelanggan mereka secara real time, membuat promosi diskon dan mengelola pelanggan.

“Tahun ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Kokikit, di antaranya adalah melakukan ekspansi kapasitas produksi Kokikit dan membutuhkan mitra yang dapat mendukung dari sisi finansial. Tujuannya agar Kokikit dapat memperluas dapur sentral, mesin dapur dan kemasan komersial yang membutuhkan biaya cukup besar,” kata Andry.

Pertumbuhan layanan meal kit

Layanan pengiriman meal kit telah mendapatkan popularitas luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, karena menawarkan kemudahan dan menghemat waktu saat menyiapkan makanan. Meal kit adalah pilihan yang praktis berisi resep yang mudah diikuti, tips memasak, takaran bahan yang tepat yang diperlukan untuk menyiapkan makanan.

Vendor juga menyediakan pilihan berlangganan, konsumen bisa mendapatkan meal kit yang dikirimkan tanpa perlu melakukan pemesanan setiap hari. Ketersediaan opsi yang nyaman seperti itu akan mendorong pertumbuhan pasar layanan pengiriman meal kit ke depannya.

 

Di Indonesia, konsumsi makanan ready meal masih belum populer, dibanding dengan negara lain seperti Singapura, Korea, Jepang hingga Inggris Raya. Menurut laporan dari Technavio Research, ukuran pasar layanan pengiriman meal kit memiliki potensi untuk tumbuh sebesar $15,93 miliar selama 2020-2024, dan momentum pertumbuhan pasar akan meningkat pada CAGR lebih dari 18%.

Adapun di Indonesia startup lain yang jajakan produk serupa adalah Cooklab. Lewat aplikasi mereka menjual paket makanan siap masak, termasuk di dalamnya bahan sesuai takaran, kartu menu, dan juga video resep. Sebelumnya nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019.