Lewat Teknologi, Newman’s Jajakan Layanan Perawatan Rambut Pria

Didirikan pada akhir tahun 2019 lalu, Newman’s fokus menghadirkan produk healthcare perawatan kulit kepala dan rambut khusus untuk pria. Selain itu mereka juga menawarkan layanan konsultasi hingga perawatan oleh dokter.

Kepada DailySocial, Co-Founder Newman’s Anthony Suryaputra mengungkapkan, permasalahan rambut banyak ditemui pria, tidak hanya pada pria lanjut usia, tetapi juga di usia yang masih memasuki 20-an. Dalam mengembangkan bisnis ini, Anthony dibantu dua co-founder lainnya, yaitu Alfred Ali dan Elsen Wiraatmadja.

“Sejak kami luncurkan platform Newman’s, respons yang kami terima cukup antusias dari target pasar. Dalam beberapa minggu kami melihat pertumbuhan positif dalam penjualan. Di saat yang sama kami juga terus memberikan edukasi kepada pelanggan tentang brand kami dan produk yang kami tawarkan.”

Berbeda dengan produk dan layanan serupa yang kebanyakan masih dijalankan secara konvensional, Newman’s mengklaim telah menerapkan teknologi di semua aspek yang mereka tawarkan. Mulai dari pilihan pembayaran hingga pengiriman–diantar langsung dengan tim internal atau logistik pihak ketiga.

“Kami hanya mengambil komisi ketika produk sudah berhasil dibeli, atau jika terjadinya transaksi dalam platform,” kata Anthony.

Layanan bisa diakses melalui situs web. Newman’s juga memiliki mitra dokter berjumlah 15 orang di seluruh Indonesia, yang siap melayani konsultasi pengguna. Saat ini perusahaan juga sedang melakukan perekrutan lebih banyak dokter. Newman’s menargetkan bisa melayani 10-15 pelanggan melalui platform setiap harinya.

Fokus kepada perawatan kulit kepala

Produk perawatan rambut Newman's
Produk perawatan rambut Newman’s

Meskipun di situs disebutkan Newman’s memiliki tiga produk untuk pria seperti Hair Loss, Erectile Dysfunction dan Smoking Cessation; untuk saat ini Newman’s masih fokus kepada perawatan rambut saja atau Hair Loss. Untuk dua produk lainnya baru akan diluncurkan ke publik dalam waktu dekat.

“Newman’s telah hadir di seluruh Indonesia dan siap untuk menawarkan produk kepada target pelanggan yang membutuhkan layanan dengan transaksi secara online,” kata Anthony.

Masih mahalnya produk perawatan rambut di Indonesia diharapkan bisa menjadi pilihan bagi pelanggan untuk memanfaatkan produk yang dimiliki oleh Newman’s. Untuk produk yang dijual Newman’s menawarkan harga mulai dari Rp54 ribu hingga Rp500 ribu. Newman’s juga memangkas biaya konsultasi dokter yang biasanya menghabiskan biaya yang besar. Hanya melalui platform semua pertanyaan tersebut bisa dinikmati secara gratis untuk semua pelanggan.

Dalam rangka mengakselerasi bisnis, perusahaan juga baru tergabung dalam program Y Combinator sesi Winter 2020. Startup yang kini ada di daftar porotoflio EverHause tersebut juga sudah mendapatkan pre-seed senilai US$150.000 atau setara 2,1 miliar Rupiah.

Disinggung apa rencana Newman’s selanjutnya usai mendapatkan dana segar tersebut, Anthony menyebutkan dana investasi akan digunakan untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan, menambah jumlah tim dan menambah pilihan kategori layanan.

“Sebagai platform pertama yang menyediakan klinik untuk pria, kami memanfaatkan teknologi untuk membantu pelanggan kami mendapatkan akses dana layanan dokter hingga perawatan yang lebih baik. Tidak lagi mereka menghabiskan waktu melakukan konsultasi langsung ke dokter, kini pelanggan kami bisa menikmati akses hanya dalam ponsel mereka untuk semua perawatan hingga produk yang diantar ke rumah mereka,” kata Anthony.

Bubays Baby Food Producers Optimizing Technology for Delivery Service

Bubays is an online channel that sells complementary foods for babies (MPASI). The idea appears when the founder participated in Antler‘s startup generator program in Singapore.

“We’re looking for relevant issues with parents on a daily basis. The fact is there are many Indonesian people, especially young moms, having difficulty in finding MPASI. The success of MPASI is due to some factors; from parents knowledge, types and quality of the food; and eating culture,” Bubays’ Co-Founder & CEO, Muhammad Faiz Ghifari

Bubays is currently focused on food types and quality, because there are many kinds of baby food in the market contain a preservative, high added sugar, even the worse is baby food on the shelves has been existing longer than the baby.

“In addition, we’ve seen a high stunting rate in Indonesia, almost at 30%. This can happen because of low nutrition in the Children’s 1000 first days,” he added.

One of the baby food products by Bubays / Bubays
One of the baby food products by Bubays / Bubays

One of the Bubays products is baby porridge with various basic ingredients, made with texture variants according to the age of the child. They also assured each production process is closely monitored by nutritionists. The procedure is also ensured to be safe and hygienic.

“We deliver fresh and ready to eat MPASI. Our experts also ensure that the product received is suitable for the baby’s needs,” Faiz continued.

Faiz is not alone, he has a co-founder named Ifatul Khasanah. Faiz has an educational and career background in engineering and marketing. While Ifatul is a food scientist who focuses on nutrition and child development. To accelerate the business, Bubays has also secured pre-seed funding from Antler worth 1.5 billion Rupiah.

Muhammad Faiz Ghifari and Ifatul Khasanah as Bubays founders / Bubays
Muhammad Faiz Ghifari and Ifatul Khasanah as Bubays founders / Bubays

Currently, Bubays only available around Jabodetabek. There are at least 100 customers are using the service. Nevertheless, they are quite optimistic that consumers will continue to grow. According to BKKBN data, there are at least 4.8 million babies born in Indonesia every year. Millennial trends that associates with busyness and high mobility also become an important point that is considered by the Bubays team to market their products – they need instant nutritious food solutions for their babies.

In Indonesia, it is quite easy to find SMEs who make food products for babies, from the small seller level to the producers with certain brands. Some of them also sell their merchandise through online channels, such as social media and online marketplaces. The easy ordering is kind of an added value that Bubays offer.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Produsen Makanan Bayi Bubays Optimalkan Teknologi untuk Layanan Pesan Antar

Bubays adalah kanal online yang menjual produk makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Ide pengembangan usaha tersebut muncul ketika founder mengikuti program startup generator Antler di Singapura.

“Kami mencari masalah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari yaitu sebagai orang tua. Kami menemukan fakta bahwa masih banyak masyarakat Indonesia, terutama ibu muda, yang kesulitan memberi MPASI. Keberhasilan pemberian MPASI dipengaruhi berbagai faktor; dari pengetahuan orangtua, jenis dan kualitas makanan, hingga budaya makan,” jelas Co-Founder & CEO Bubays Muhammad Faiz Ghifari.

Bubays sendiri fokus pada faktor jenis dan kualitas makanan, karena mereka melihat kebanyakan produk makanan bayi di pasaran mengandung pengawet, tinggi gula tambahan, bahkan yang lebih miris ada makanan bayi di rak toko yang usianya lebih lama dari usia bayi itu sendiri.

“Selain itu kami melihat di Indonesia tingkat stunting masih tinggi, hampir 30%. Hal ini bisa disebabkan salah satunya karena nutrisi yang tidak optimal pada 1000 hari pertama pertumbuhan anak,” imbuhnya.

Bubur Bayi Bubays
Salah satu produk bubur bayi yang diproduksi Bubays / Bubays

Salah satu produk Bubays adalah bubur bayi dengan aneka bahan dasar, dibuat dengan varian tekstur sesuai dengan usia anak. Mereka turut meyakinkan, setiap proses produksi diawasi ketat oleh ahli gizi. Prosedurnya juga dipastikan aman dan higienis.

“Kami mengantarkan MPASI siap makan dan segar. Ahli nustrisi kami juga memastikan bahwa produk yang diterima sesuai dengan kebutuhan bayi,” lanjut Faiz.

Selain Faiz, turut menjadi co-founder adalah Ifatul Khasanah. Faiz memiliki latar belakang pendidikan dan karier di bidang teknik dan pemasaran. Sementara Ifatul merupakan seorang food scientist yang fokus pada permasalahan gizi dan tumbuh kembang anak. Untuk mengakselerasi bisnis, Bubays juga sudah membukukan pre-seed funding dari Antler senilai 1,5 miliar Rupiah.

Muhammad Faiz Ghifari
Muhammad Faiz Ghifari dan Ifatul Khasanah selaku founder Bubays / Bubays

Saat ini cakupan pangsa pasar Bubays baru di seputar Jabodetabek. Sekurangnya kini sudah ada sekitar 100 pelanggan. Kendati demikian, mereka cukup optimis bahwa konsumennya akan terus bertumbuh. Menurut data BKKBN, setidaknya setiap tahun ada 4,8 juta bayi lahir di Indonesia. Tren milenial yang erat dengan kesibukan dan mobilitas tinggi turut menjadi poin penting yang menjadi konsiderasi tim Bubays untuk memasarkan produknya — mereka butuh solusi instan makanan bernutrisi untuk bayinya.

Di Indonesia, cukup mudah ditemukan pelaku UKM yang membuat produk makanan nustrisi untuk bayi, dari yang level penjual kecil sampai ke produsen produk dengan brand tertentu. Sebagian dari mereka turut menjual dagangannya melalui kanal online, seperti media sosial dan online marketplace. Kemudahan pemesanan kini dijadikan poin plus yang coba dihadirkan Bubays.

Startup Agrotech Chilibeli Terapkan Pendekatan “Social Commerce” dan Pemberdayaan Komunitas

Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat besar. Pun bagi startup digital yang menggarap solusi di bidang tersebut. Namun tantangannya, para inovator akan dihadapkan pada isu-isu dengan karakteristik yang unik. Pemain baru yang mencoba peruntungan adalah Chilibeli, mengangkat konsep pemberdayaan komunitas dipadukan dengan platform social commerce.

Konsep bisnis Chilibeli menjembatani produk segar dari petani (sepertisayur-mayur, buah-buahan dll) dengan konsumen akhir. Yang membedakan dengan kanal e-commerce lainnya, pemesanan dilakukan per komunitas, bukan secara individu. Alex Feng selaku founder & CEO mengungkapkan, pendekatan ini diusung dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar berkumpul dan beraktivitas bersama dengan orang lain di sekitar tempat tinggalnya.

Dengan menggunakan model C2M (customer to manufacturer), Alex meyakini cara ini dapat mengakali tantangan menjual produk segar langsung ke tangan pembeli. Ia mengklaim Chilibeli saat ini adalah satu-satunya agritech yang memakai sistem itu di Indonesia.

“Kita harus membuat pemesanan sebelumnya, mengumpulkan permintaan, menginformasikan ke supplier, lalu mengirim produk ke gudang; dan kami akan mengirimnya ke agen. Dengan demikian kita bisa memastikan kesegaran, mendorong efisiensi dan mengurangi kerugian,” imbuh Alex.

Pendanaan dan target

Sebagai platform yang menghubungkan pembeli akhir dengan penyuplai, Chilibeli mengambil keuntungan dari selisih harga yang mereka peroleh. Dengan beragam jenis pangan yang mereka jual, mereka mengakomodir tiga jalur penyuplai yakni petani, pedagang grosir dan pasar.

Dari skema tersebut, pihaknya menargetkan operasional yang selalu profit. Tahun ini mereka menargetkan memperoleh pendapatan US$120 juta atau Rp1,6 triliun.

Soal pendanaan, startup yang berdiri sejak tahun 2019 tersebut kini sudah mengantongi investasi seri A, persisnya pada Desember 2019 dengan nominal US$10 juta atau sekitar Rp137 miliar. Adapun investor yang berpartisipasi meliputi Lightspeed Venture Partners dan Northstar Group. Tak lama lagi, tepatnya kuartal kedua atau ketiga tahun ini, Chilibeli berniat membuka putaran seri B.

Sebelumnya Chilibeli juga masuk dalam program akselerasi Surge yang diinisiasi oleh Sequoia di tahun 2019.

Alex mengatakan visinya menjadi social commerce terbesar di Asia Tenggara untuk produk pertanian. Untuk itu mereka berniat segera melebarkan area pelayanan mereka ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, diikuti dengan penambahan fasilitas gudang di sekitarnya. Seperti diketahui sekarang Chilibeli hanya dapat melayani pelanggan di Jakarta dan sekitarnya.

“Tidak ada pemain lain di negeri ini yang memakai sistem komunitas untuk produk segar, tidak ada baik itu B2B ataupun B2C. Kami memberdayakan ibu-ibu dan komunitas dengan mengombinasikan social commerce dan produk segar,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Snapask Kenalkan Aplikasi Belajar Online Berbasis Tutor

Snapask, startup teknologi pendidikan asal Hong Kong mulai menggarap pasar Asia, termasuk Indonesia. Beberapa pelokalan konten mulai disiapkan. Gerak ekspansi mereka dimulai berkat suntikan dana segar senilai Rp700 miliar pada tahun 2020 ini. Di dalamnya termasuk pendanaan terbaru sebesar Rp487 miliar yang didapat dari Asia Partners (Singapura) dan Intervest (Korea Selatan).

Solusi yang ditawarkan Snapask adalah berupa aplikasi belajar one-on-one dengan tutor secara online. Pengguna bisa menanyakan masalah tugas atau hal lain yang ingin dipelajari. Gamifikasi yang ada di dalam sistem juga dinilai menjadi hal yang membuat pengguna betah, terlebih bagi mereka yang berada di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

CMO Snapask Katherine Cheung kepada DailySocial menjelaskan, pengguna bisa mengabil foto pekerjaan rumah atau persoalan mereka, kemudian mengunggahnya melalui aplikasi. Selanjutnya Snapask akan menghubungkan mereka dengan tutor sesuai kebutuhan. Klaim waktu yang dibutuhkan untuk mencari tutor ini ada di angka 15 detik. Fitur Q&A dan Mini Class (sesi 30 menit dengan pertanyaan unlimited) adalah yang jadi unggulan.

“Kami melihat potensi besar di pasar Indonesia. Sebagian besar negara seperti Indonesia, sumber daya pendidikan sangat terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta. Snapask ingin menjembatani kesenjangan antara pusat kota dan daerah pedesaan, untuk membuat sumber daya pendidikan terbaik tersedia untuk semua siswa,” imbuh Khaterine.

Teknologi pendidikan di Indonesia yang kian mendapat tempat di masyarakat

Di Indonesia ada banyak jenis startup teknologi pendidikan. Ada yang menyasar mereka yang sedang mengenyam pendidikan formal seperti Zenius, Ruangguru dan HarukaEdu. Ada juga yang menargetkan mereka yang ingin menambah keterampilan seperti Dicoding, Kode.id, Skill Academy, Vokraf, dan masih banyak lagi.

Gaung mengenai teknologi pendidikan semakin kencang semenjak Presiden Joko Widodo menunjuk founder Gojek Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, juga founder Ruangguru Belva Devara sebagai Staf Khusus Presiden. Keduanya diharapkan bisa memberikan dampak positif, terutama pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.

Menghadapi kondisi ini Snapask terbilang cukup percaya diri. Sekarang mereka sudah memiliki tim yang ada di Jakarta untuk pelokalan konten, termasuk juga untuk rekrutmen tutor melalui serangkaian seleksi.

“Selalu kualitas layanan yang paling dihargai oleh Snapask. Kami memiliki aturan seleksi yang paling ketat untuk tutor kami, untuk memastikan semua tutor memenuhi syarat untuk mengajarkan pertanyaan yang diajukan siswa. Itu adalah sesuatu yang tidak dapat Anda temukan di platform lain, dan kami sangat bangga untuk terus memberikan janji bimbingan terbaik kami kepada pengguna kami,” jelas Khaterine.

Tak hanya Indonesia, Snapask juga menjajaki pasar Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang dan Korea Selatan; sejak lima tahun kiprahnya sebagai perusahaan teknologi pendidikan. Terbaru, dengan pendanaan yang didapat Vietnam akan menjadi pasar selanjutnya. Mereka juga akan mendirikan kantor pusat regional Asia Tenggara di Singapura.

Sementara untuk pasar Indonesia Snapask mengaku masih akan fokus pada memperkaya konten lokal yang berkualitas. Harapannya dengan banyaknya konten yang berkualitas mereka bisa mengajak pelajar dan masyarakat Indonesia untuk menggunakan Snapask sebagai bagian dalam kegiatan belajar mereka.

Application Information Will Show Up Here

Melalui Teknologi, Produk Perawatan Kulit Lokal “Callista” Hadirkan Personalisasi untuk Pelanggannya

Callista adalah merek produk perawatan kulit lokal yang dirilis sejak tahun 2016. Menyediakan varian produk seperti serum, tooner, mask, sunscreen, celansing dan lain sebagainya. Selain Indonesia, mereka juga telah miliki konsumen dari Malaysia, Filipina dan Hong Kong.

Dibandingkan dengan merek produk serupa lainnya, ada yang unik dari Callista. Mereka mengoptimalkan platform teknologi untuk mengakselerasi bisnis.

“Kami memiliki layanan analisis kulit dan personal beauty assistant yang mempermudah pelanggan untuk mendapatkan paket produk yang dipersonalisasi sesuai dengan masalah dan jenis kulit mereka,” jelas Co-Founder & CEO Callista Ryan Narendra.

Ketika awal memulai bisnis, Callista cuma andalkan media sosial Facebook dan Instagram untuk memasarkan dan menjual produk – atau dikenal dengan social commerce—bahkan saat itu mereka belum memiliki situs jualannya sendiri seperti sekarang. Tim juga manfaatkan WhatsApp untuk terhubung dengan pelanggan, memberikan bantuan konsultasi perawatan kulit.

Seiring dengan meningkatnya jumlah pelanggan, platform media sosial dan aplikasi pesan yang digunakan jadi kurang efisien untuk memberikan pelayanan, karena prosesnya sangat manual. Tak jarang beauty assistant –tim pakar perawatan yang ditunjuk—kewalahan, padahal bisa berimplikasi pada hilangnya prospek pembelian.

“Dari sana kami membuat platform Skin Analysis yang diperkuat dengan AI agar konsumen bisa mendapatkan rekomendasi produk secara langsung, tanpa menunggu dibalas secara manual oleh beauty assistant. Saat ini fitur tersebut bisa diakses melalui situs resmi Callista,” terang Ryan.

Hingga saat ini, dengan bantuan teknologi yang dimiliki, mereka telah berhasil merangkul sekitar 32 ribu konsumen dan mengelola sekitar 150 ribu data analisis kulit.

Teknologi untuk personalisasi produk

Diketahui bersama, produk yang serupa diproduksi Callista sangat banyak di pasaran, bahkan datang dari brand besar kelas dunia. Indonesia memiliki potensi pasar yang luar biasa untuk produk perawatan dan kecantikan. Menurut data yang dihimpun Statista, tahun 2020 keuntungan dari bisnis tersebut diproyeksikan mencapai US$7,288 juta dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Proyeksi keuntungan di pangsa pasar produk kecantikan dan perawatan di Indonesia / Statista
Proyeksi keuntungan di pangsa pasar produk kecantikan dan perawatan di Indonesia / Statista

Menyadari hal itu, Ryan dan tim memutuskan pendekatan personalisasi agar diminati pengguna, salah satunya dengan layanan konsultasi tadi. Model bisnis itu dilakukan sejak awal berdiri, dari yang manual hingga sekarang semi-otomatis.

“Untuk memastikan produk memiliki dampak yang baik, biasanya setiap bulan beauty asisstant kami akan melakukan follow up melalui untuk melihat kemajuan dan melakukan optimalisasi pada paket perawatan selanjutnya kepada tiap pelanggan,” lanjut Ryan.

Pengembangan varian produk dan model bisnis Callista juga masih akan terus dilanjutkan. Jika di tahun-tahun sebelumnya mereka fokus melakukan distribusi produk online, tahun ini akan mulai memperkuat kanal offline melalui “beauty ambassador”. Sederhananya seperti program reseller, membuka peluang bagi pebisnis mikro untuk ikut menjualkan produk-produknya. Sistem manajemennya, tetap masih andalkan platform digital.

“Berdasarkan pengalaman kami, orang akan lebih yakin membeli produk perawatan kulit apabila direkomendasikan oleh teman/keluarganya yang sudah pernah menggunakan dan mendapatkan hasil yang memuaskan,” ujar Ryan.

Dapatkan dukungan dari program akselerasi bisnis

Shinta Priantika Sari dan Ryan Narendra
Founder Callista Shinta Priantika Sari dan Ryan Narendra / Callista

Selain Ryan, ada Shinta Priantika Sari yang juga sebagai co-founder Callista. Ia memiliki latar belakang studi bidang kesehatan di Universitas Indonesia dan telah berpengalaman 8 tahun di bidang perawatan kulit. Ryan sendiri latar belakang pendidikannya di bidang teknologi dan bisnis, sejak lulus dari Queensland University of Technology.

Sejak awal berdiri, Callista berjalan secara bootstrapping, hingga pada awal tahun ini mereka menerima pendanaan pre-seed dari program akselerator SKALA. Saat ini Callista juga tengah bergabung dalam program serupa yang diinisiasi oleh Gojek, yakni Xcelerate.

Upaya Vokraf Hadirkan Sumber Belajar untuk Talenta Industri Kreatif

Satu lagi layanan pembelajaran digital muncul di Indonesia. Diperkenalkan dengan nama Vokraf, platform pendidikan online yang berfokus pada peningkatan kemampuan talenta dengan keahlian yang dibutuhkan oleh industri kreatif.

Dikembangkan oleh Fina Silmi, Mahatma dan Dwi Grahantino; Vokraf menempatkan diri sebagai platform yang diharapkan bisa menjadi rujukan bagi anak muda belajar kemampuan yang dibutuhkan di dunia kreatif.

“Kami sungguh-sungguh dalam menyusun kurikulum untuk pembelajaran yang efektif. Kami meneliti materi-materi yang dibutuhkan oleh talent untuk bisa berkarya pada suatu profesi. Kami bekerja sama dengan expert, konten kami komprehensif. Ada practical assignment dari case study di real industry saat ini dan bisa dijadikan portofolio mereka. Selain itu, terdapat fitur feedback expert, pengguna bisa mendapatkan feedback dari para expert untuk practical assignment yang dia unggah di website,” terang Fina.

Vokraf sendiri aktif melakukan riset pasar sejak Mei 2019 dan baru meluncur penuh pada Oktober 2019. Sejauh ini sudah memiliki 4 rencana pembelajaranyakni copywriter, graphic designer, 3D animator dan YouTube content creator. Mereka juga menjalin kerja sama dengan The Little Giantz, salah satu perusahaan animasi di Indonesia.

Di Indonesia saat ini sudah banyak platform belajar yang memanfaatkan teknologi digital dan platform online. Ruangguru sudah memulainya dengan Skill Academy, ada juga Udemy yang sudah masuk ke pasar Indonesia, Hacktiv8 yang mulai meluncurkan Kode.id, HarukaEdu yang meluncurkan Pintaria, Dicoding dan layanan semacamnya.

Potensi industri ini sebenarnya masih cukup besar mengingat belum ada pemain yang mendominasi. Hanya saja untuk memastikan layanannya bermanfaat, kualitas pembelajaran dan sistemnya harus didesain dengan baik. Poin ini yang coba maksimalkan oleh Vokraf.

“Sejak diluncurkan, kami mendapatkan feedback positif dari pengguna. Mereka menemukan konten yang dibutuhkan. Sudah ada early paid users dan growth. Itu berdasarkan data. Tetapi yang paling penting, kenapa kami optimis bisa tumbuh menjadi besar adalah karena tim kami yang passionate, kompak, dan sangat gigih. Tim kami ingin memberikan yang terbaik untuk talent yang ingin masuk ke industri kreatif, dan kami juga ingin membantu perusahaan-perusahaan industri kreatif supaya grow dengan adanya supply talent yang skillnya memenuhi,” imbuh Fina.

Dari segi bisnis, Vokraf saat ini berjalan dari modal yang digelontorkan oleh angel investor. Sedangkan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnisnya mereka memanfaatkan berbagai kanal media sosial. Fokus Vokraf saat ini adalah untuk memperbanyak konten melalui kerja sama dengan perusahaan yang bergerak di industri kreatif.

“[Kami] membuat lebih banyak career track, dan me-reach lebih banyak pengguna, sehingga semakin banyak orang yang mendapatkan ilmu dan manfaat,” tutup Fina.

Greenly Practices the New Retail Concept for Healthy Food Products Market

The new retail concept is getting popular among businessmen. The tech-based operation is quite fit to speed up offline business’ growth. Greenly, a fast-casual F&B retail network offering various healthy food and beverages has adopted the approach.

Greenly was founded by Liana Gonta Widjaja and Edrick Joe Soetanto. Liana is a Bachelor of Science from the University of California majoring in nutritional science, dietetics, who has begun her career as a nutritionist. Erick is a serial entrepreneur who also graduated from the University of California.

The healthy food business debuted in January 2019 in Surabaya, with 5 outlets. One is located in the mall with a restaurant and cafe concept, while the other 4 branches serve orders as cloud kitchen – taking orders through on-demand applications such as GoFood or GrabFood.

In a year, Greenly claims to have managed growth up to five times with hundreds of orders every day.

“Our business model is new retail with an online to offline (O2O) approach, we adopt a multi-channel sales pattern in distributing products. Using this strategy, Greenly not only has a physical store in a shopping center like traditional retail but also operates a cloud kitchen and sales through online platforms,” Greenly’s Director & Co-founder Edrick Joe Soetanto said.

Entering its second year Greenly managed to secure seed funding led by East Ventures. The fresh funds received will be used for product innovation, technology development and expanding its network in Surabaya, including other cities.

Optimizing technology to leverage business

Furthermore, Soetanto said the new retail strategy with the O2O approach is what distinguishes the business from other conventional services and other similar businesses.

Greenly also developed a system with some leading features in order to be more effective, developed, and loved by its customers. The stuff being implemented are including supply chain management, POS, accounting and taxation systems, HRIS and payroll, also third-party delivery systems, user loyalty, and pick-up orders.

“The current technology has supported Greenly run business and serve customers in maximum effort. The development of backend technology helps us manage the supply chain efficiently, particularly since we manage fresh & perishable products with a very short extent. With the development of infrastructure technologies such as demand forecasting, inventory management, and logistics optimization, we can maximize production output, manage resource capacity effectively, track inventory accurately, minimize waste, and optimize distribution,” Soetanto added.

He also mentioned that technology integration and supply chain efficiency enable them to cut into the minimum operational cost, therefore we can offer products at affordable prices.

Integration with delivery services of third parties through the cloud kitchen concept is claimed to have succeeded in making dozens of Greenly customers comfortable.

Today, for the first three months of 2020, they are targeting to open 3 new outlets in Pakuwon Mall and Tunjungan Plaza, Surabaya. The first outlet in Jakarta will also be launched, located in the Senopati area. This year, Greenly is to focus on product development, technological innovation, customer growth, and expansion both in Jakarta, Surabaya, and other cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Greenly Adopsi Konsep “New Retail” untuk Jual Produk Makanan Sehat

Konsep new retail tampaknya mulai banyak dilirik oleh pebisnis. Potensi pemanfaatan teknologi dirasa cocok untuk bisa membantu “bisnis offline” melanjut lebih kencang. Pendekatan tersebut kini juga diadopsi Greenly, jaringan ritel fast casual F&B yang menawarkan aneka makanan dan minuman sehat.

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah seorang Bachelor of Science dari University of California di bidang nutritional science, dietetics dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi  kesehatan. Sedangkan Edrick adalah seorang serial entrepenuer yang juga lulusan University of California.

Bisnis makanan sehat tersebut pertama beroperasi pada Januari 2019 di Surabaya, dengan 5 outlet. Satu outlet berada di mall dengan konsep restoran dan cafe, sementara 4 cabang lainnya melayani pesan antara dengan konsep cloud kitchen — menerima pesanan melalui aplikasi on-demand seperti GoFood atau GrabFood.

Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim telah berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

“Bisnis model kami adalah new retail dengan pendekatan online to offline (O2O), kami mengadopsi pola penjualan multi-kanal dalam mendistribusikan produk. Dengan strategi ini, Greenly tidak hanya memiliki toko fisik di pusat perbelanjaan layaknya ritel tradisional, namun juga mengoperasikan cloud kitchen dan penjualan via platform online,” terang Director & Co-founder Greenly Edrick Joe Soetanto.

Memasuki tahun keduanya Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

Memaksimalkan teknologi untuk perkuat bisnis

Lebih jauh Edrick bercerita, bahwa strategi  new retail dengan pendekatan O2O  menjadikan mereka berbeda dengan layanan konvensional dan bisnis sejenis lainnya.

Greenly juga mengembangkan sistem dengan sejumlah fitur yang dibutuhkan agar mereka bisa lebih efektif, berkembang, sekaligus dicintai pelanggannya. Yang diimplementasikan mulai dari manajemen supply chain, POS, sistem akuntansi dan perpajakan, HRIS dan payrol, hingga sistem pengantaran pihak ketiga, loyalitas pengguna dan pick-up order.

“Teknologi yang kami pergunakan membantu Greenly menjalankan bisnis dan melayani pelanggan dengan lebih optimal. Pengembangan teknologi backend membantu kami dalam mengatur supply chain dengan lebih efisien, terlebih karena kami mengelola produk fresh & perishable dengan shelf life yang sangat singkat. Dengan pengembangan teknologi infrastruktur seperti demand forecasting, inventory management hingga logistic optimization, kami dapat memaksimalkan output produksi, mengatur kapasitas sumber daya secara efektif, melacak inventaris secara akurat, meminimalkan waste, hingga mengoptimalkan distribusi,” lanjut Edrick.

Ia juga menerangkan bahwa integrasi teknologi dan efisiensi supply chain membuat mereka bisa memangkas biaya operasional ke level minimum sehingga kami dapat menawarkan harga terjangkau untuk produk-produknya.

Integrasi dengan layanan pesan antar pihak ketiga melalui konsep cloud kitchen yang dibangun juga diklaim berhasil membuat nyaman puluhan ribu pelanggan Greenly.

Kini untuk tiga bulan pertama di tahun 2020 mereka menargetkan untuk membuka 3 gerai baru di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza, Surabaya. Gerai pertama di Jakarta juga akan diresmikan, tepatnya di kawasan Senopati. Sepanjang tahun ini Greenly akan fokus pada pengembangan produk, inovasi teknologi, pertumbuhan pelanggan, dan ekspansi baik di Jakarta, Surabaya, juga kota-kota lainnya.

Memproduksi Hardware di Indonesia Masih Jadi Impian

Tidak hanya produk berbasis perangkat lunak (software) seperti aplikasi atau website, saat ini beberapa startup Indonesia mulai luncurkan produk teknologi perangkat keras (hardware). Dua di antaranya adalah Sugar Technologi dan Widya Wicara.

Sugar Technology memproduksi berbagai produk perangkat pintar seperti gembok sidik jari, smart tumblr, smart backpack dan smart luggage. Startup di bawah naungan PT Avalon Global Technology ini menyasar kalangan konsumen untuk menunjang gaya hidup digital.

Sementara Widya Wicara memproduksi smart speaker, di dalamnya  ditanamkan teknologi kecerdasan. Inovasi ini lahir berkat kolaborasi antara startup Botika dan Widya Indonesia. Mereka juga mendapat dukungan dari investor UMG Idealab Indonesia.

Sebagai dua startup yang menjual perangkat keras, keduanya memilih memproduksi komponen fisik dari produk di luar negeri. Alasan utamanya adalah biaya yang lebih terjangkau.

“Sugar Technology mendesain dan membuat sendiri produk tersebut, namun untuk assembling sendiri masih dilakukan di luar negeri karena beberapa alasan. Tapi tidak menutup kemungkinan ke depan bakal produksi hardware di dalam negeri,” terang Product Spesialist Sugar Technology Philip Gozali.

Hal senada juga disampaikan Co-founder Widya Wicara Alwy Herfian, mereka saat ini memproduksi hardware di luar negeri, meski banyak konten dan teknologi dari pengembang lokal.

“Produksi hardware ada luar negeri, namun seluruh kegiatan pembuatan software dan engine AI ada di Indonesia berlokasi di Jakarta dan Yogyakarta,” imbuh Alwy.

Ia menambahkan, mereka akan memasarkan 25 ribu unit produk di Februari ini. Di samping itu, Widya Wicara juga tengah mengusahakan agar tahun ini bisa memproduksi hardware sendiri di Indonesia, sehingga bisa bersaing dengan Google Home atau Amazon Alexa.

Lini produksi Sugar Technology saat ini ditempatkan di Tiongkok. Namun untuk desain dan integrasi sistem sudah dilakukan di Indonesia. Biaya tambahan seperti untuk pengiriman dan pajak dinilai masih bisa diterima dibanding dengan membangun unit produksi di Indonesia untuk saat ini.

“Karena kalau mau bikin di sini, manufacturing-nya belum siap, kalau mau dibikin siap kita harus invest buat pabrik, di mana itu akan menjadi cost yang besar bagi kami,” imbuh Philip.

Untuk saat ini Sugar Technology mendistribusikan produknya tidak hanya melalui e-commerce tetapi juga secara offline. Mereka juga menyebutkan telah bekerja sama dengan Traveloka untuk meluncurkan smart luggage. Mereka juga memiliki warehouse di daerah Sunter sebagai pusat pengiriman pembelian.