Hambatan Terus Hantui Bisnis Digitalisasi Warung

Dinamika startup terus berjalan, setelah pandemi usai terjadi tech winter yang menyebabkan para pendiri kesulitan menggalang pendanaan. Bendera putih pun banyak dikibarkan karena pendiri tidak mampu menyelamatkan perusahaannya setelah berbagai skenario ditempuh.

Salah satu fenomena yang terjadi pada saat itu adalah maraknya pendanaan untuk startup yang bersemangat ingin mendigitalisasi warung, melalui pembukuan digital dan rantai pasok untuk kulakan warung.

Lummo (pembukuan digital) dan Ula (rantai pasok) adalah contoh terdekat yang sejak awal kehadirannya cukup heboh karena raihan pendanaannya dalam waktu singkat yang didukung oleh jajaran investor kelas kakap. Keduanya masuk ke jajaran portofolio dari bos Amazon, Jeff Bezos, melalui Bezos Expedition.

Dalam waktu singkat keduanya mengumumkan pendanaan dengan nominal fantastis. Lummo terima pendanaan senilai Rp1,14 triliun untuk putaran seri C pada Januari 2022 dalam tiga tahun sejak berdiri. Sementara, pendanaan terakhir yang diperoleh Ula sebesar Rp1,3 triliun pada Oktober 2021, atau setahun sejak berdiri pada Januari 2020. Keduanya sempat menempuh berbagai penyelamatan sampai akhirnya sepakat untuk tutup pada tahun lalu.

Di tahun yang sama, startup yang digawangi oleh GoTo dan Unilever, GoToko berhenti beroperasi pada Mei, hanya dalam waktu kurang lebih 2,5 tahun berdiri. GudangAda sempat ditimpa rumor serupa, kendati perwakilan perusahaan sudah memberikan bantahannya. Startup ini memperoleh pendanaan seri B Rp1,4 triliun pada Juli 2021 meski baru berdiri pada 2019.

Dari catatan DailySocial.id, sejauh startup pembukuan digital relatif dapat bertahan karena dapat dikombinasikan sebagai fitur tambahan. Kompetitor terdekat Lummo pada saat itu, BukuWarung misalnya, kini menjelma jadi aplikasi keuangan all-in-one untuk menyederhanakan dan menyediakan proses bisnis; pembayaran; dan akses ke pinjaman, mengambil langkah-langkah proaktif untuk mendukung kesehatan keuangan usaha kecil.

Kondisi sebaliknya datang dari startup rantai pasok untuk kulakan tergolong sulit bertahan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, berikut pemetaan startup yang dirangkum DailySocial.id:

Startup kulakan sembako
Sebagai solusi utama Warung Pintar (diakuisisi Sirclo), Super, GudangAda, Credimart (rebrand jadi Jooalan), Dagangan, GrosirOne, Baskit (sasar pemain distributor), Peeba (regional player), Mitra Bukalapak
Sebagai solusi pelengkap Majoo Supplies, Youtap Bos
Startup pembukuan digital
Sebagai solusi utama BukuWarung, Credibook
Sebagai solusi pelengkap Fazz Agen (fitur Kasir Warung), Moka, Majoo, Youtap, Cashlez, Qasir, Paper.id, Pawoon, iSeller, Olsera

Bangun bisnis beraset ringan

Warung Pintar pernah membuat laporan pada 2020, disampaikan bahwa lebih dari 75% sistem distribusi di rantai pasok ritel masih bersifat konvensional dengan ciri alur rantai pasok yang panjang, melibatkan banyak aktor penengah, tidak ada transparansi alur barang, dan bergantung pada tenaga manusia di setiap tahapnya, sehingga menyebabkan sistem distribusi ini kurang efisien.

Di tambah itu, secara garis besar masalah utama pelaku UMKM warung terletak pada: 50% ketersediaan stok, 61% kesulitan mendpatkan harga kompetitif, dan 33% ketepatan dan kecepatan pengiriman. Temuan ini dilakukan dengan metode wawancara dengan lebih dari 340 warung dan grosir yang sudah bergabung di Warung Pintar selama satu tahun.

Warung Pintar pun membuat alur rantai pasok yang lebih sederhana, mengintegrasikan teknologi dalam alur distribusi, operasional, sampai optimalisasi potensi usaha. Tujuannya untuk mengoptimalisasi peran dan kolaborasi para aktor yang terlibat dalam rantai pasok ritel tradisional.

Rata-rata pemain startup berusaha membuat jalur distribusi baru, yang mana menurut Founder & CEO of Baskit Yann Schuermans, langkah ini terbilang sangat sulit. Di negara berkembang seperti di Indonesia, bermain di rantai pasok itu seringkali sulit karena kompleksitasnya, biaya, kurangnya teknologi, dan hubungan yang merupakan bagian integral dari fungsinya.

Baskit CEO and Co-founder Yann Schuermans

Selama pasar VC sedang naik, banyak startup bermodal besar menyelesaikan masalah di depan mata ini dengan mendisintermediasi masalah tersebut dan menciptakan rantai yang benar-benar baru.

Hal ini bisa dimaklumi, lantaran semangat startup itu didorong oleh keinginan untuk mendisrupsi pasar. Menghilangkan perantara (pedagang grosir), dan berupaya mengubah keadaan secara tiba-tiba. Sementara di sisi lain, pedagang grosir adalah perantara yang menyediakan sumber kehidupan bagi seluruh rantai pasokan. Mereka telah melakukan bisnis seperti ini selama beberapa dekade dan menguasai lapangan.

“Hanya sedikit startup yang mencoba bekerja sama dengan mereka karena hal itu dianggap tidak seksi,” terang Schuermans saat dihubungi DailySocial.id.

Baskit berbeda dengan kebanyakan pemain, Schuermans menghargai keberadaan perantara dan melihat peluang dalam meningkatkan lebih dari 200 ribu pedagang grosir di Indonesia yang ada saat ini. Kunci penting lainnya adalah menjaga biaya tetap rendah, teknologi dikalibrasi, dan tim tetap fokus pada pelanggan.

“Hal ini tidaklah sulit untuk dipecahkan. Banyak orang menganggap FMCG memiliki margin yang rendah. Ya, tapi [scope-nya] juga sangat besar. Itu sangat tergantung pada sudut serangnya. Ada banyak peluang di bidang ini dan mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri akan berkembang,” imbuhnya.

Dia melanjutkan, pedagang grosir adalah gudang yang menjual ke grosir dan warung yang lebih kecil. Jadi tantangannya adalah memastikan mereka dapat menghasilkan lebih banyak uang tanpa memakan terlalu banyak margin. Sensitivitas harga adalah suatu hal mutlak, maka dari itulah jadi penegas mengapa menjaga aset tetap ringan sangatlah penting.

“Agar kita tidak bertengkar langsung dengan pedagang grosir dan juga membiarkan mereka melakukan yang terbaik. Warung/toko adalah permainan yang penuh perbedaan. Jumlahnya terlalu banyak, dan mereka hanya peduli pada harga.”

Schuermans menambahkan, “Banyak startup yang harus membayar mahal karena mencoba fokus pada warung dengan harapan bisa membangun ekosistem. Mereka gagal memahami bahwa brand dan distributor telah memainkan permainan ini (dan lebih baik lagi) selama beberapa dekade sebelumnya.”

Penyesuaian lainnya yang dilakukan Baskit adalah menjadikan perusahaan beraset ringan yang selalu mengedepankan efisiensi dari rantai pasokan. Baskit membangun platform yang akan mengurangi titik kegagalan sistemik (konsentrasi pendapatan, pembakaran yang tinggi, tenaga penjualan yang besar), dan mendiversifikasi sumber pendapatannya.

Saat ini Baskit bermain di beberapa sektor, termasuk perawatan pribadi, komoditas, barang konsumsi, dan tekstil. Diklaim, pihaknya telah menghasilkan margin laba kotor yang sangat sehat dan tidak bergantung pada tenaga penjualan yang besar untuk mendatangkan pelanggan baru.

Diungkapkan, pendapatan tahunannya akan melampaui sebesar $4 juta pada Q1 2024, telah mencapai titik impas operasional, dan berharap mendapatkan arus kas positif pada awal tahun 2025. Baskit memiliki 10.000 bisnis distribusi di platform-nya dan berharap dapat terus memecahkan banyak permasalahan rantai pasokan yang paling menarik di Indonesia selama beberapa dekade mendatang.

“Pencapaian ini bisa terlampaui dalam 15 bulan sejak peluncuran Baskit,” pungkasnya.

Baskit membawa misi untuk memajukan rantai pasok tradisional dengan menyediakan dukungan komersial dan teknologi sederhana bagi bisnis distribusi offline, sebagai target penggunanya. Terdapat tiga fitur yang ditawarkan: fitur untuk meningkatkan penjualan; perangkat digital untuk efisiensi operasional (contoh: manajemen inventori dan pembukuan dasar); serta akses untuk modal kerja. Dalam menyediakan solusi terakhir, Baskit bekerja sama dengan Koinworks, Modalku, dan Finfra.

Ambil langkah konservatif

Cerita menarik disampaikan oleh Co-founder dan CEO Aplikasi Super Steven Wongsoredjo. Alih-alih tumbuh eksponensial, pihaknya justru memilih untuk tumbuh perlahan seperti perusahaan konvensional pada umumnya. Strategi ini diterjemahkan saat di lapangan, terutama saat ekspansi lokasi baru. Sejauh ini Super baru beroperasi di Jawa Timur dan Makassar sejak pertama kali berdiri di 2018.

Co-Founding Team Super

“Kita benar-benar bangun dan fokus di satu provinsi dulu, di Jawa Timur, bahkan di empat tahun pertama sampai sekarang masih di Jawa Timur. Kalau dilihat dari generasi pertama e-commerce, mayoritas volume mereka dari Jabodetabek dengan PDB $200 miliar, sementara Jatim $160 miliar. Buat apa jauh-jauh ke sana, kalau beruntung jadi unicorn. Bangun tanpa pasokan supply chain tidak sesimpel itu, ada stakeholder yang harus dipenuhi,” jelasnya.

Sebagai catatan, Super merupakan aplikasi marketplace untuk warung belanja stok sembako dan kebutuhan pokok secara kulakan. Super bermitra dengan ribuan agen komunitas seperti individu dan warung untuk mengumpulkan dan mendistribusikan ke konsumen akhir. Sebanyak 47 ribu agen aktif per bulannya aktif di Super, tersebar di 45 kota di Jawa Timur, Madura, dan Makassar.

Menurutnya, pemain baru itu perlu membangun relasi dengan banyak stakeholder dan prosesnya tidak bisa instan. Jadi tidak serta merta Super langsung mendapat harga bagus sebelum didistribusikan ke jaringan agennya. Ekspansi cakupan layanan Super juga tidak semasif seperti startup kebanyakan. Pertama masuk ke ibu kota Jawa Timur, lalu ke kota-kota kecil di sekitarnya. Implikasinya secara tim bisa overlap. Tim di Surabaya bisa sekaligus menangani bisnis di Sidoarjo dan Gresik.

“Prinsip pertumbuhan kita itu intercities growth, jadi kota yang lebih besar akan meng-carry ekonomi di kota yang lebih kecil. Kalau pakai strategi langsung hajar banyak kota, saat summer enak bisa raise [funding] terus, tapi jadi berat pas winter. Untuk putar balik bisnis mengurangi volume, tidak segampang itu. Memang growth kita jadi lebih steady, enggak secepat lain. Tapi saat winter kita lebih resilient,” lanjut dia.

Karena bangun bisnis rantai pasok ini tidak bisa instan, menurut Steven, banyak pemain yang berusaha untuk copy-paste model bisnis rantai pasok yang sukses di India dan Tiongkok lalu di bawa masuk ke Indonesia. Sementara, segmen ini memang secara naluriah punya margin yang tipis, apalagi kalau hanya main di kategori FMCG saja.

Maka ia putar otak apa model bisnis lainnya yang bisa direplikasi dari pemain petahana yang masih beroperasi hingga sekarang. Contoh terdekat yang bisa dilihat adalah perkembangan Indofood yang memiliki banyak private label. Super pun membangun divisi khusus sejak empat tahun lalu.

Terhitung pada 2022, perusahaan mulai masuk ke pengembangan produk private label yang bergerak di kebutuhan sembako dan kebutuhan sehari-hari, seperti beras, tepung terigu, minyak goreng, air mineral, dan makanan ringan. Merek-mereknya adalah: Beras Buncit, Cap Opung, Karya Alam, Perirasa, Pirlo, dan Udalado.

Salah satu private label dari Super

Steven menjelaskan merek-merek tersebut adalah hasil akuisisi brand prinsipal lokal yang sebelumnya bekerja sama dengan Super dan sudah dipantau performanya. Super pun mengakuisisi saham mayoritas terhadap PT dari brand prinsipal tersebut dan menghubungkannya dengan jaringan agen di 45 kota agar dapat mencapai product-market-fit.

“Super itu pure marketplace, penyalur barang-barang seperti Tokopedia. Di dalamnya ada seller-seller bagus yang kita investasikan. Tapi mereka dan kita tetap bergerak sendiri-sendiri dengan PT yang terpisah. Dalam 12 bulan terakhir pertumbuhan [sales private label] naik 3x-4x dari. Marketplace fee kita jadinya lebih besar dari company lainnya, makanya kita lebih sehat.”

Masalah klasik lainnya di distribusi produk FMCG di Indonesia itu sering sekali produk yang seharusnya untuk general trade malah tertukar di modern trade. Sudah ada masalah inefiensi rantai pasok, ditambah lagi mubazir karena orang di pinggiran yang seharusnya bisa dapat produk khusus general trade dengan harga terjangkau malah harus bayar mahal karena yang ditemukan justru produk untuk modern trade.

Alhasil, orang di pinggiran kota memilih untuk menurunkan kualitas produk yang dikonsumsinya dan mencari merek lain yang mirip, namun dengan harga yang lebih murah.

“Kita mau tackle isu itu. Cari substitusi seller yang lawannya winner contender karena contender butuh mengembangkan market-nya dan lebih friendly buat kasih kita gross profit. Ketika harga friendly, bisnis seller principal bisa grow, kita pun bisa sustainable, enggak perlu bakar duit. Kita bisa set harga lebih murah, jadinya harga bisa lebih affordable untuk agen.”

Keseluruhan strategi di atas: fokus di satu area, bangun private label, dan bangun relasi intens dengan brand principal, mampu membuat Super tumbuh stabil di kisaran 1,5x-3x tiap tahunnya. Diklaim juga, Super memiliki runway hingga 8 tahun setelah memperoleh pendanaan terakhir sebesar $70 juta yang diumumkan pada Juni 2022. Kecukupan dana ini membuat Super tidak harus bergantung untuk melakukan putaran pendanaan baru dalam menjalani operasionalnya.

“Karena lagi tech winter, yg penting startup punya cash yang banyak. Harus jaga balance antara topline growth, profitability, dan play safe. Sejauh ini kita masih health netburn, enggak mau profit cepat-cepat. [..] Kompetisi akan meredup karena ada beberapa pemain yang ke-trapped karena high burn, jadi terpaksa harus winding down. By the time, akan tersisa sejumlah player dan kita akan sangat diuntungkan,” pungkas Steven.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Utilisasi Data dalam Personalisasi Layanan

Tiga startup Indonesia, yakni Blibli, Cakap, dan Super, duduk bersama dan berbagi wawasan tentang pemanfaatan AI dalam penciptaan produk/layanan yang sangat personal (hyper-personalization) bagi bisnis mereka.

Berbeda dari acara tahun lalu, kali ini panel diskusi The Big Leap yang dihelat oleh e27 bersama CleverTap mengulas topik “Engagement Playbook Indonesia: Harnessing Automation and AI for Hyper Personalization”.

Sebagai pengantar, hyper-personalization umumnya dikenal sebagai teknik pemasaran yang sangat ditarget dan dipersonalisasi kepada pelanggan dengan memanfaatkan data secara real-time.

Strategi ini banyak digunakan untuk membangun hubungan dengan pelanggan lewat produk/layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Lewat strategi ini pemilik usaha dapat mendorong tingkat penjualan dan retensi pengguna.

Ketiga narasumber, yaitu VP of CLM Marketing Blibli Fanky Mulia, Chief Growth Officer Cakap Margarita Tan, dan Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo bicara tentang pemanfaatan data hingga pengembangan produk dalam lingkup bisnisnya yang berbeda-beda di sektor e-commerce, edtech, dan social commerce.

Simplifikasi dan utilisasi

Ada beberapa catatan penting yang diperoleh dari paparan panelis terkait automasi dan personalisasi, serta relevansinya dalam bisnis mereka masing-masing.

CEO Super Steven Wongsoredjo menyoroti pentingnya simplifikasi pada personalisasi layanan yang mereka kembangkan. Hal ini dikarenakan target pasarnya berada di area rural yang mana memiliki perilaku konsumen berbeda dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan.

Simplifikasi ini tercermin dari cara Super melakukan strategi akuisisi pengguna maupun upayanya mendorong penggunaan layanannya. Strategi ini dapat dieksekusi melalui data yang mereka kumpulkan, misalnya transaksi pembelian terakhir, produk yang dibeli, atau biaya yang dihabiskan untuk belanja.

“Salah satu tantangan kami adalah membangun strategi scalable yang applicable untuk mereka. Pengguna di area rural tidak menggunakan perangkat mobile yang mahal, paket data yang dibeli juga tidak besar. Ketika kami buat fitur, ini akan menyedot data mereka dengan cepat. They will drop, they will churn. Maka itu, simplifikasi sangat sulit, tetapi penting bagi kami. Once you make things simpler, kita dapat memahami mereka,” jelasnya.

Sementara, VP of CLM Marketing Blibli Fanky Mulia mengamati aspek personalisasi dari aspek teknologi. Automasi memang dapat membantu scale up, tetapi ia melihat teknologi hanya sebuah tool. Justru penting untuk fokus mengutilisasi data menjadi sebuah insight bernilai.

“Kalau insight yang dihasilkan salah, ini bakal mendorong keputusan yang salah. Terlalu filosofis dalam memanfaatkan AI juga tidak akan membawamu menuju target yang ingin dicapai. Personalisasi itu tentang mengutilisasi data yang sudah ada. Apabila data yang diutilisasi tidak mencapai ROI, misalnya, mungkin bakal jadi keputusan tepat untuk menutupnya. Personalization is not a magic potion,” papar Fanky.

Prioritas

Meningkatnya perilaku digital ikut memicu terjadinya ledakan data dalam beberapa tahun terakhir. Pelaku bisnis dituntut untuk memahami pelanggan lebih baik dengan memanfaatkan data yang mereka miliki. Namun, di tengah ledakan data ini, apakah relevan menyebut istilah “terlalu banyak data”?

Chief Growth Officer Cakap Margarita Tan menilai belajar adalah proses jangka panjang yang tidak akan berhenti. Selama proses itu masih berjalan, data akan tetap diperlukan untuk mengenal customer dan memberikan layanan yang sesuai kebutuhannya.

There’s no such thing as too much data selama ini tidak perlu mengeluarkan biaya. Ini masalah prioritas saja kapan data ini akan diutilisasi. Data ini dapat dimanfaatkan kembali untuk peluang lainnya. Setiap marketer dapat memilih mana yang dapat dikejar dan mana yang dapat kembali ditindaklanjuti,” ujarnya.

Sementara, Fanky justru memberikan sudut pandang berbeda dari sisi teknis. Menurutnya, semakin banyak data yang dimiliki tentu akan memengaruhi aspek biaya. Pasalnya, data memerlukan tempat penyimpanan (storage) yang besar. Di sini lah penting untuk dapat memilih data yang dapat bernilai.

Cerita CEO eFishery dan Super dalam Memikat Investor, Kendati Bisnisnya di “Niche Market”

Dalam sesi acara “TechinAsia Conference 2022“, Co-Founder & CEO eFisery Gibran Huzaifah dan Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo mengungkapkan, ketika keadaan sulit saat ini penting bagi perusahaan kembali kepada fundamental dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan produk yang relevan untuk pengguna.

Kedua founder tersebut juga bercerita sempat mengalami kesulitan saat awal membangun bisnis dan meyakinkan investor untuk memberikan pendanaan kepada startup mereka.

Kesulitan meyakinkan investor di awal

Sebagai entrepreneur Gibran menyadari benar bahwa ketika membangun bisnis yang harus diperhatikan adalah mendapatkan keuntungan. Sebagai platform yang menyasar sektor aquaculture, masih sulit bagi perusahaan untuk mendapatkan investasi dari pemodal ventura.

Ketika layanan e-commerce dan on-demand dulunya sempat menjadi primadona, tidak demikian dengan produk yang dikembangkan eFishery.

“Kami cukup beruntung tidak harus bersaing dengan sektor yang terbilang seksi dan paling banyak diminati oleh investor. Dengan demikian kami mengandalkan semua yang ada untuk fokus kepada produk dan memberikan layanan yang baik kepada target pengguna,” kata Gibran.

Hal serupa juga dialami oleh Steven, sewaktu awal membangun Super sudah fokus dengan misi awal mereka yaitu menyasar kepada kawasan pedesaan (rural). Meskipun dirinya yakin dengan peluang yang ada menyasar kawasan pedesaan, namun tidak demikian dengan kalangan investor.

“Sejak awal saya selalu memiliki keyakinan bahwa kawasan pedesaan memiliki peluang yang besar,” kata Steven.

Mengklaim sebagai underdog, Steven kemudian memanfaatkan dana yang mereka miliki sebaik mungkin. Kegiatan penggalangan dana juga tidak menjadi fokus dari Steven dan tim, sehingga mereka tidak terlalu sering fundraising. Kegiatan tersebut mereka lakukan ketika perusahaan sudah mencapai milestone.

Tercatat saat ini Super sudah mengantongi pendanaan seri C sebesar $70 juta (lebih dari 1 triliun Rupiah) yang dipimpin New Enterprise Associates (NEA), VC berbasis di Silicon Valley. Jajaran investor lain yang turut berpartisipasi meliputi Insignia Ventures Partners, SoftBank Ventures Asia, DST Global Partners, Amasia, B Capital, dan TNB Aura.

Serupa dengan Super, eFishery juga sudah dalam tahapan seri C. Dana segar tersebut diperoleh oleh mereka awal tahun ini senilai $90 juta (lebih dari 1,2 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Temasek, SoftBank Vision Fund 2, Sequoia Capital India, dengan partisipasi investor sebelumnya, yaitu Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, dan Wavemaker Partners.

“Sejak awal kami konsisten dengan misi perusahaan. Kami memanfaatkan waktu untuk melihat fundamental bisnis, fokus kepada produk yang bisa kita berikan kepada target pengguna yang loyal, buat kami itu adalah cara terbaik untuk bertahan,” kata Gibran.

Fokus kepada bisnis dan target pengguna

Istilah “Tech Winter” makin kencang digaungkan oleh para penggiat startup. Kondisi ini juga diartikan sulitnya untuk mendapatkan kapital dari investor. Jika sebelumnya banyak dari kalangan investor memberikan investasi dengan mudah dan fokus kepada growth, kini kondisi sudah berubah.

Investor juga mulai memikirkan kepada profitablitas. Jika dulunya growth dan kegiatan membakar uang menjadi fokus, kini ketika berbicara dengan kalangan investor, apa strategi startup untuk mendapatkan revenue atau profit yang kemudian menjadi prioritas mereka.

Hal tersebut dirasakan benar oleh Gibran dan Steven. Dulu ketika mereka masih melakukan penggalangan dana di tahap awal, kebanyakan investor ingin agar startup fokus kepada growth. Bahkan bersedia untuk menambahkan pendanaan mereka, demi pertumbuhan. Kini mereka pun mulai melihat growth tidak lagi menjadi fokus investor namun lebih kepada profitabilitas.

Agar startup bisa bertahan saat keadaan sulit ini, Gibran memberikan saran agar fokus kepada bisnis dan target pengguna. Sementara bagi Steven cara terbaik untuk bisa bertahan ketika kapital sulit didapatkan adalah, membangun fundamental sebelum akhirnya bisa berada dalam siklus untuk melakukan penggalangan dana.

“Saya melihat investor saat ini semakin hati-hati untuk memberikan investasi. Namun demikian saya melihat perusahaan terbaik akan bisa lahir dari ekosistem yang ada saat ini,” kata Steven.

Social Commerce Platform Super Secures Over 1 Trillion Rupiah Series C Funding

Super social commerce announced a $70 million (over 1 trillion Rupiah) series C funding round led by New Enterprise Associates (NEA), a Silicon Valley-based VC. Also participating in this round, Insignia Ventures Partners, SoftBank Ventures Asia, DST Global Partners, Amasia, B Capital, and TNB Aura.

In fact, a number of angle investors were also involved, including Stephen Pagliuca (Chairman of Bain Capital), Eric Feng (former General Partner of Kleiner Perkins and Gold House), and Moses Lo (Xendit’s CEO).

It is said that they have reached $106 million (over 1.5 trillion Rupiah) in total funding since its debut. Also, this is the highest figure for the social commerce vertical in Indonesia. The latest round was announced after a year of Super’s $28 million Series B funding led by SoftBank Ventures Asia.

In an official statement today (2/6), Super’s Co-founder and CEO, Steven Wongsoredjo said the company will use the additional capital to continue its mission of equal access for people in Kalimantan, Bali, West Nusa Tenggara, East Nusa Tenggara, Maluku, and Papua in the next few years.

One way is to focus on regional expansion for multinational and local FMCG suppliers in rural areas. In the meantime, empowering more community leaders to optimize their income to have a better quality of life.

“The two and third tier cities have 3-5 times lower GDP per capita than Jakarta. However, the cost of consumer goods is higher by 20-200%. In fact, more than 30% of Indonesia’s GDP comes from East Java, Kalimantan and East Indonesia. Super is targeting a huge untapped market,” Steven said.

NEA’s partner, Andrew Schoen added, “We are thrilled to be able to support the entire Super team. The company is positioned to improve the lives of the 260 million Indonesians living outside the Indonesian capital. Super will continue to improve access to basic goods, create meaningful and rewarding jobs, and streamline supply chains for tier-2, tier-3, and Indonesian rural areas.”

Future plans

Super’s Head of Strategy and Business Development, Gisella Tjoanda said, in its fourth year, Super gets the meaning of data collection and analysis as one of the keys to success in launching new SKUs. Therefore, they will expand the engineer team to improve the warehouse management system.

“By applying machine learning, we can help Super make better use of data to expand its SKUs in the future,” she said.

Currently, Super has successfully launched two private-label brands to realize product-market fit. The company is to reinvest some of the fresh money to develop additional private-label FMCG brands in the next few years. In addition, launching cosmetic products due to the increasing market demand for this segment throughout Indonesia.

In order to accomplish its mission of being a sustainable company, Super will launch a feature for community agents to track end consumer transactions to help community agents offer better-designed experiences for end customers.

Super was founded in 2018, offering differentiation that utilizes a hyperlocal logistics platform to deliver consumer goods to thousands of agents within 24 hours of ordering. Super partners with thousands of community agents such as individuals and stalls to collect and distribute millions of dollars worth of goods to their communities each month.

It is said that Super is currently available in 30 cities in East Java and South Sulawesi, primarily targeting areas with $5,000 or lower GDP per capita.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Social Commerce “Super” Raih Pendanaan Seri C Lebih dari 1 Triliun Rupiah

Startup social commerce Super mengumumkan perolehan pendanaan seri C sebesar $70 juta (lebih dari 1 triliun Rupiah) yang dipimpin New Enterprise Associates (NEA), VC berbasis di Silicon Valley. Jajaran investor lain yang turut berpartisipasi meliputi Insignia Ventures Partners, SoftBank Ventures Asia, DST Global Partners, Amasia, B Capital, dan TNB Aura.

Selanjutnya, sejumlah angle investor juga turut terlibat, di antaranya Stephen Pagliuca (Chairman Bain Capital), Eric Feng (eks-General Partner Kleiner Perkins dan Gold House), dan Moses Lo (CEO Xendit).

Disebutkan, total perolehan dana yang berhasil raih Super hingga kini mencapai $106 juta (lebih dari 1,5 triliun Rupiah) sejak pertama kali berdiri. Diklaim angka ini tertinggi untuk vertikal social commerce di Indonesia. Putaran teranyar ini didapat selang setahun lebih pasca Super mengantongi pendanaan Seri B sebesar $28 juta yang dipimpin oleh SoftBank Ventures Asia.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (2/6), Co-founder dan CEO Super Steven Wongsoredjo menuturkan, dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk melanjutkan misinya pada pemerataan akses bagi masyarakat di Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua dalam beberapa tahun ke depan.

Salah satunya caranya, yakni berfokus pada perluasan wilayah bagi para pemasok FMCG multinasional dan lokal di daerah pedesaan. Sekaligus, memberdayakan lebih banyak pemimpin masyarakat untuk mengoptimalkan pendapatan mereka agar memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

“PDB per kapita di kota-kota tingkat dua dan tiga itu lebih rendah hingga 3-5x dari Jakarta. Namun, biaya barang-barang konsumsi lebih tinggi sebesar 20-200%. Padahal, lebih dari 30% PDB Indonesia berasal dari Jawa Timur, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Super mengejar pasar besar yang belum dimanfaatkan,” kata Steven.

Partner NEA Andrew Schoen menambahkan, “Kami sangat senang dapat mendukung seluruh tim Super. Super diposisikan untuk meningkatkan kehidupan 260 juta orang Indonesia yang tinggal di luar ibu kota Indonesia. Super akan terus meningkatkan akses ke barang-barang dasar, menciptakan pekerjaan yang berarti dan bermanfaat, dan merampingkan rantai pasokan untuk wilayah tingkat-2, tingkat-3, dan pedesaan di Indonesia.”

Rencana berikutnya Super

Head of Strategy and Business Development Super Gisella Tjoanda menuturkan, di tahun keempatnya, Super memahami pentingnya pengumpulan dan analisis data sebagai salah satu kunci sukses dalam meluncurkan SKU baru. Oleh karena itu, pihaknya akan memperluas tim engineer untuk meningkatkan sistem manajemen gudang.

“Dengan menerapkan machine learning, dapat membantu Super memanfaatkan data dengan lebih baik untuk memperluas SKU-nya di masa mendatang,” kata dia.

Saat ini, Super berhasil meluncurkan dua merek private-label untuk merealisasikan product-market fit. Perusahaan akan kembali berinvestasi sebagian dari modal baru mereka untuk mengembangkan merek private-label FMCG tambahan dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, meluncurkan produk kosmetik karena melihat dari keinginan pasar yang meningkat untuk segmen ini di seluruh Indonesia.

Untuk melanjutkan misinya menjadi perusahaan berkelanjutan, Super akan meluncurkan fitur bagi agen komunitas untuk melacak transaksi konsumen akhir guna membantu agen komunitas menawarkan pengalaman yang dirancang lebih baik bagi pelanggan akhir.

Super dirintis sejak 2018, membawa diferensiasi yang memanfaatkan platform logistik hyperlocal untuk mengirimkan barang-barang konsumen ke ribuan agen dalam waktu 24 jam dari waktu pemesanan. Super bermitra dengan ribuan agen komunitas seperti individu dan warung untuk mengumpulkan dan mendistribusikan barang bernilai jutaan dolar AS ke komunitas mereka setiap bulan.

Diklaim, saat ini Super beroperasi di 30 kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, terutama menargetkan daerah yang memiliki PDB per kapita $5.000 atau lebih rendah.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Melihat Potensi Platform “Social Commerce” di Indonesia

DailySocial bersama CEO Super Steven Wongsoredjo berbagi cerita tentang pertumbuhan perusahaan, khususnya di masa pandemi, dan strategi layanan social commerce Super mewujudkan kesetaraan ekonomi digital di Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Social Commerce Platform Super Secures 405 Billion Rupiah Series B Funding Led by Softbank Ventures Asia

Social commerce platform Super announced a series B funding of $28 million (over 405 billion Rupiah) led by Softbank Ventures Asia. Several investors returned to participate in this round, including Amasia, Insignia Ventures Partners, Y Combinator Continuity Fund, and Stephen Pagliuca (Co-Chairman of Bain Capital and Owner of Boston Celtics). New investors included in this series are Partners from DST Global and TNB Aura.

To date, Super has raised funding worth more than $36 million (more than IDR 502 billion), which is claimed to be the largest for a social commerce company in Indonesia. The series A round had previously been held by the companyearlier last year and succeeded with $7 million (more than Rp.101 billion) led by Amasia. With the participation of some other investors, Y Combinator, B Capital, Insignia Ventures Partners, Alpha JWC Ventures, Indonesia FMCG Group UNIFAM, Mari Elka Pangestu, and Arrive, part of the Roc Nation founded by Jay-Z.

The fresh money will be used to increase the company’s business activities in East Java, as its headquarter, and expand to other provinces in eastern Indonesia this year. In addition, Super business which focuses on FMCG products will expand its product range, as well as develop a white label brand, called SuperEats.

In an official statement, Super’s Co-Founder & CEO, Steven Wongsoredjo said that as a consumer tech-company, Super’s mission is to provide equal economic access for all people. Currently, the grocery price in Indonesian regions and remote areas can reach 200% higher than the price in Jakarta. However, the purchasing power of people in remote areas is not as large as those in the capital city area.

“I think it’s unfair when a mother in a remote area can only afford one glass of milk, while with the same amount of money she can buy two or three glasses of milk in Jakarta. We want to provide a fair price for people everywhere, that’s why we built Super,” Steven explained, Thursday (29/4).

Some of the representative investors also commented on this. Softbank Ventures Asia’s partner, Cindy Jim said, the social commerce trend is increasing in the global industry, they are also proud of the Super team’s commitment to the remote areas of Indonesia with lack of attention.

“We believe that a hyperlocal team like them [Super] will be able to navigate and build a platform in Indonesia. Super is at the forefront of capturing the momentum of social commerce in remote areas in Indonesia,” Cindy said.

Amasia’s Co-Founder & Managing Partner, John Kim added, “There are more than two families living outside Jakarta and the majority of trading is still offline. This great opportunity will present great competition, but Steven is a leader with a solid mission. We will continue to support Super on the way forward.”

Super currently operates in 17 cities in East Java. The company utilizes a hyperlocal logistics platform to distribute consumer goods to agents in less than 24 hours after ordering. Super works with thousands of agents to distribute thousands to millions of goods every month. Most of these agents are women.

It is said, by linking large suppliers to small agents, Super was able to reduce the need for excess warehouses and fleets in the less effective supply chain. In this way, as the company expands its reach, Super helps reduce carbon emissions in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform Social Commerce “Super” Kantongi Pendanaan Seri B 405 Miliar Rupiah Dipimpin Softbank Ventures Asia

Platform social commerce Super mengumumkan perolehan pendanaan seri B senilai $28 juta (lebih dari 405 miliar Rupiah) yang dipimpin Softbank Ventures Asia. Beberapa investor kembali berpartisipasi dalam putaran ini, di antaranya Amasia, Insignia Ventures Partners, Y Combinator Continuity Fund, dan Stephen Pagliuca (Co-Chairman Bain Capital dan Pemilik Boston Celtics). Investor baru yang masuk dalam seri ini adalah Partners dari DST Global dan TNB Aura.

Hingga kini Super telah mengantongi pendanaan senilai lebih dari $36 juta (lebih dari Rp502 miliar), diklaim terbesar untuk perusahaan social commerce di Indonesia. Putaran seri A sebelumnya telah selesai digelar perusahaan pada awal tahun lalu berhasil mengantongi $7 juta (lebih dari Rp101 miliar) yang dipimpin Amasia. Diikuti oleh jajaran investor lainnya, yakni Y Combinator, B Capital, Insignia Ventures Partners, Alpha JWC Ventures, Indonesia FMCG Group UNIFAM, Mari Elka Pangestu, dan Arrive, bagian dari Roc Nation yang didirikan oleh Jay-Z.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk meningkatkan aktivitas bisnis perusahaan di Jawa Timur, yang merupakan markasnya, dan merambah ke provinsi lain di Indonesia bagian timur pada tahun ini. Tak hanya itu, bisnis Super yang fokus pada produk-produk FMCG akan memperluas cakupan produknya, serta mengembangkan brand white label, dinamai SuperEats.

Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO Super Steven Wongsoredjo menyampaikan sebagai perusahaan teknologi konsumer, misi Super adalah menyediakan akses ekonomi yang setara bagi semua masyarakat. Saat ini, harga barang kebutuhan di daerah dan pelosok Indonesia bisa lebih tinggi sampai 200% dibandingkan harga barang yang sama di Jakarta. Akan tetapi, kemampuan membeli masyarakat di pelosok tidak sebesar dengan kemampuan di area ibu kota.

“Menurut saya ini tidak adil ketika seorang ibu di area pelosok hanya mampu membeli satu gelas susu, sedangkan dengan jumlah uang yang sama ia bisa membeli dua tau tiga gelas susu di Jakarta. Kami ingin memberikan harga yang adil untuk masyarakat di mana pun karena itu kami membangun Super,” terang Steven, Kamis (29/4).

Sejumlah perwakilan dari para investor juga turut memberikan pernyataannya. Partner Softbank Ventures Asia Cindy Jim mengatakan, tren social commerce sedang meningkat di ranah global, mereka pun bangga dengan komitmen tim Super pada daerah-daerah Indonesia yang kurang diperhatikan.

“Kami percaya bahwa hyperlocal team seperti mereka [Super] akan mampu menavigasi dan membangun platform di Indonesia. Super ada di garda terdepan untuk menangkap momentum social commerce di area pelosok di Indonesia,” kata Cindy.

Co-Founder & Managing Partner Amasia John Kim menambahkan, “Terdapat lebih dari keluarga yang tinggal di luar Jakarta dan mayoritas perdagangan masih dilakukan secara offline. Peluang besar ini akan menghadirkan kompetisi yang besar, akan tetapi Steven adalah seorang pemimpin dengan misi yang solid. Kami akan terus mendukung Super dalam perjalanan ke depan.”

Super saat ini beroperasi di 17 kota di Jawa Timur. Perusahaan memanfaatkan platform logistik hyperlocal untuk mendistribusikan barang kebutuhan konsumen ke agen-agen dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemesanan. Super bekerja sama dengan ribuan agen untuk mendistribusikan ribuan sampai jutaan barang kebutuhan setiap bulannya. Kebanyakan para agen tersebut adalah kaum perempuan.

Diterangkan, dengan menghubungkan pemasok besar ke agen-agen kecil, Super mampu mengurangi kebutuhan gudang dan armada yang berlebih dalam rantai suplai yang kurang efektif. Alhasil, dengan cara ini, saat perusahaan memperluas jangkauan, Super membantu mengurangi emisi karbon di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Perlukah Strategi “Exit” Startup Dipersiapkan Sejak Awal

Antara merger, akuisisi, dan IPO, mana strategi exit yang tepat untuk startup Anda? Apakah founder startup perlu mempersiapkan strategi exit sejak awal? Jawaban pertanyaan tersebut perlu dilihat dari berbagai sisi.

Menurut Partner Golden Gate Ventures Michael Lints, saat awal startup berdiri sangat sulit untuk membuat strategi exit. Saat itu, founder akan disibukkan untuk mencari tahu product market fit, retensi pengguna, roadmap produk, dan bagian penting bisnis lainnya, sehingga memikirkan strategi exit hampir mustahil karena masih terlalu dini.

Di sisi lain, investor ingin founder fokus bangun bisnis mereka, menambah value dengan distraksi sedikit mungkin. Pepatah mengatakan bahwa perusahaan yang kuat dapat menggalang dana (atau exit). Exit itu sendiri merupakan tonggak penting buat perusahaan — bukan berarti founder yang exit.

Kapan dan bagaimana exit yang tepat

Lints menuturkan, waktu dan strategi exit sangat penting untuk memaksimalkan keuntungan dari perusahaan dan investor. Pada kenyataannya, tidak ada yang bisa memprediksi kapan hal tersebut datang karena tidak ada yang bisa memprediksi masa depan.

“Mitos pertama adalah rencana exit startup membuahkan hasil. Terlalu banyak situasi tak terduga untuk memprediksi seperti apa jalan keluar pada lima atu tujuh tahun kemudian.”

Realita kapan harus keluar harus didukung strategi antara founder dan investor. Ibarat menata rumah, seluruh proses perlu dilakukan secara teratur. Tidak masalah apakah Anda sedang bersiap untuk exit atau putaran penggalangan dana tahap akhir, sebab Anda ingin memastikan rumah dalam keadaan rapi.

Berikut ini adalah beberapa checklist yang perlu disiapkan jika sudah berpikir untuk melakukan exit:

  1. Apakah semua laporan keuangan sudah terkini dan diaudit? Sebab acquirer ingin meninjau aspek penting ini. Jika tidak diaudit, perusahaan perlu memberikan argumen jelas mengapa demikian.
  2. Apakah semua prosedur perusahaan sudah ada dan didokumentasikan?
  3. Bagaimana proyeksi bisnis berdasarkan historis laporan keuangan?
  4. Bagaimana prospek perusahaan, produk dan peta jalan industri?
  5. Apa skenario exit untuk semua pendiri, staf dan pemegang saham? Dalam kasus keuntungan, apakah insentif selaras?

Secara terpisah, DailySocial juga meminta pandangan investor lokal terhadap hal ini. CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro menuturkan, strategi exit itu sudah harus dipersiapkan secara jeli oleh founder saat memetakan roadmap — saat memulai putaran pendanaan dari tahap awal hingga seterusnya.

Di mata investor, strategi exit itu artinya bisa menjual saham di startup pada investor lain atau melalui IPO.

“Idealnya startup sudah ada roadmap, termasuk fundraising dan exit, karena investor pasti nanya.”

Menurutnya, founder pasti sadar betul bahwa investor butuh exit setelah berinvestasi sekian lama. Mayoritas VC mengelola dana dari sekumpulan investor, alias bukan uang VC itu sendiri.

Oleh karena itu, investor juga punya andil untuk mengarahkan portofolionya tipe-tipe exit yang cocok untuk masing-masing portofolionya. “Ada yang cocoknya IPO dan ada yang cocoknya misalnya dibeli oleh unicorn, dan lain-lain.”

MCI sendiri sudah exit untuk dua portofolionya, yakni Moka (saat diakusisi penuh oleh Gojek) dan Cashlez (saat IPO pada Mei 2020).

“Semakin terjadi investasi dan divestasi, ekosistem startup dan VC akan semakin sehat.”

Pandangan founder startup

Mengungkap strategi exit suatu startup ke publik bukan menjadi suatu kewajiban seorang founder, namun melihat pandangan mereka tentang strategi exit menarik untuk disimak. DailySocial menghubungi dua founder startup dari Modalku dan Super (Nusantara Technology) untuk memberikan pandangannya terhadap isu ini. Keduanya sama-sama telah mengantongi pendanaan dari pihak eksternal.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya memandang strategi exit tidak memiliki urgensi yang penting. Ia beralasan karena exit adalah suatu hal yang tidak dipikirkan secara konstan karena dinamika industri startup yang bergerak cepat, sehingga tidak tepat untuk fokus ke hal-hal lain selain mengembangkan perusahaan itu sendiri.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu mengembankan fundamental dan bisnis. Exit merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UMKM yang berpotensi,” papar Reynold.

Meskipun demikian, ia berpendapat opsi exit untuk setiap perusahaan pasti berbeda-beda. Tidak ada satu opsi yang cocok untuk diimplementasikan untuk seluruh jenis startup karena perlu disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan perusahaan.

“Fokus utama kami bukan untuk mempersiapkan strategi exit, melainkan untuk mengembangkan perusahaan dan menjangkau lebih banyak UMKM di Indonesia untuk mewujudkan dunia keuangan Indonesia yang lebih inklusif.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan CEO Super Steven Wongsoredjo. Super adalah aplikasi social commerce yang dijalankan Nusantara Technology.

Steven menuturkan, ketika pihaknya memutuskan untuk merintis Super, ia tahu bahwa tim akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Menurutnya, skenario exit terbaik adalah kondisi di mana aplikasi Super dapat menjadi bisnis yang berkelanjutan dan berdampak pada masyarakat.

“Artinya kami menciptakan bisnis yang berdampak pada masyarakat dan pemangku kepentinngan. Oleh karena itu, bagian ekuitas dari investor dan founder akan menjadi hot deal di pasar likuid.”

Super sendiri masih tergolong baru di ranah social commmerce. Layanan ini didirikan sekitar dua tahun lalu. Untuk itu, di proses perintisan Super, tim bekerja keras membangun product market fit yang sesuai dengan target konsumennya di kota lapis dua dan tiga.

“Fakta menariknya, saya tidak mengambil gaji selama dua tahun di perusahaan ini. Sebab hal yang paling mendesak adalah menemukan product market fit dan menumbuhkan perusahaan, yang akan membawa keuntungan nantinya.”

Steven berpandangan, buat startup Indonesia, cara terbaik adalah melikuidasi saham lewat pasar swasta untuk jangka pendek. Maka dari itu, perlu ada diskusi antara investor lama untuk menentukan kapitalisasi agar mendapat keputusan terbaik yang menguntungkan semua pihak.


Gambar header: Depositphotos.com

Super Berambisi Jadi “Social Commerce” untuk Pengguna di Pedesaan

Konsep social commerce yang menggabungkan aktivitas sosial dan niaga dalam suatu platform terbukti memiliki traksi yang kuat karena sangat berkorelasi dengan budaya di Indonesia, terlebih di masa pandemi seperti ini. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pemain teknologi, Gojek sekalipun.

Pemain lainnya juga turut terjun, salah satunya adalah Super. Aplikasi ini berdiri di bawah holding Nusantara Technology, yang memiliki unit bisnis digital lainnya yakni media online Yukepo dan Keepo.

Kepada DailySocial, CEO Super Steven Wongsoredjo menerangkan, pasca mengikuti program Y Combinator Winter 2018 atau delapan bulan setelah perusahaan mengoperasikan kedua media online, Nusantara Technology menjadikan Super sebagai bisnis utamanya.

Dia bilang, pihaknya tertarik masuk ke bisnis teknologi konsumer karena ingin mendapatkan model bisnis dengan skalabilitas yang lebih baik. Social commerce ditaksir punya kue bisnis $200 miliar (total addressable market/TAM), jauh lebih besar daripada bisnis media online.

“Merintis Super adalah salah satu keputusan terbaik kami, sejak saat itu bisnis kami tumbuh sangat pesat. Kami sudah melakukan raise funding pada Desember 2019 untuk pendanaan seri A senilai jutaan dolar dari sejumlah investor Amerika Serikat. Semua waktu dan investasi para co-founder didedikasikan hanya untuk Super,” terangnya.

Baik Yukepo dan Keepo disebutkan telah tumbuh signifikan dan cetak untung sejak hari pertamanya. Salah satu parameternya adalah kanal YouTube diklaim terbesar daripada startup media milenial lainnya di Indonesia. Pencapaian tersebut, membuat bisnis media online di Nusantara Technology pada akhir tahun lalu memperoleh laba yang signifikan dan arus kas positif, sehingga tidak membebani konsentrasi para founder.

“Selain itu, kami memutuskan untuk merekrut pemimpin yang kuat. Oleh karena itu, [unit] bisnis memiliki otonomi yang layak untuk dijalankan dengan sendirinya.”

Dia membandingkan Super kurang lebih seperti Gojek yang juga terintegrasi dengan media online Kumparan. Super dengan komponen utama social commerce, akan segera punya fitur Super Kabar di dalam aplikasinya. “Ini akan segera berada dalam satu ekosistem. Semua investor kami mendukung ini karena bisnis kami, secara umum, tumbuh dengan cepat dan berkelanjutan.”

Sumber: Super
Sumber: Super

Fokus di pedesaan

Steven menuturkan, Super mendeklarasikan dirinya sebagai pemain social commerce terdepan untuk pedesaan di Indonesia. Super memiliki konsep hybrid seperti pemain asal Tiongkok yakni Pinduoduo dan Shihuituan. Oleh karenanya, Super berbeda dengan pemain kebanyakan.

Super membangun rantai pasokan social commerce untuk pedesaan yang memiliki ekonomi unit positif. Misalnya, bagian dari pengembangan rantai pasokan adalah membangun hub-hub kecil di desa-desa yang dekat dengan rumah Agen. Nantinya Agen Super akan mengambil produk dari hub untuk diteruskan ke komunitasnya.

Prosesnya, Agen Super mengumpulkan pesanan di sekitar lingkungan mereka; bisa melalui WhatsApp dengan membagikan tautan Super dari aplikasi Super (termasuk produk yang ingin mereka jual) atau bertemu langsung dengan calon pelanggan.

Jika pesanan minimal $70, Super akan mengirimkan pesanan ke rumah Agen Super, tetapi jika pesanannya $20- $70, Agen harus mengambil pesanan dari Super Center terdekat di desa. Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer bank atau COD. Setelah itu, Agen Super akan mengatur pengiriman mil terakhir ke pelanggan mereka.

Kemudian, Super juga menetapkan konsep group buying dengan minimal pesanan untuk memastikan mereka memiliki nilai pemesanan rata-rata. Dengan cara ini, Super dapat cetak untung dalam setiap transaksi yang terjadi.

Dalam proses distribusinya, Super memiliki gudang sendiri dan bekerja sama dengan penyedia logistik untuk pengirimannya. Super membangun sistem manajemen gudang untuk membantu perusahaan memutuskan rute terbaik dalam membangun efisiensi terbaik.

Sumber: Super
Sumber: Super

Yang cukup menarik adalah saat proses pengiriman ke pembeli, Steven menuturkan jika mereka bersedia membayar lebih, mereka akan mendapatkan produk lebih cepat dari platform mana pun. Namun, Super mencoba mengoptimalkan rantai pasokan, sehingga biayanya murah.

Strategi ini dianggap tepat karena mengingat wilayah operasional Super di kota tingkat dua dan tiga, pembeli lebih mementingkan harga daripada waktu pengiriman. Jika pengguna memesan sebelum jam 3 sore, mereka akan mendapatkan produknya besok, tetapi jika memesan setelah jam 3 sore, barang akan dikirimkan lusa.

“Dengan kebijakan logistik pendekatan tunggal, kami dapat memprediksi dengan lebih baik dan memiliki ekonomi unit yang lebih baik dalam mengirimkan barang ke agen kami agar menguntungkan.”

Ambisi besar Super

CEO Super Steven Wongsoredjo / Super
CEO Super Steven Wongsoredjo / Super

Dengan model bisnis ini, Super sudah memiliki cara monetisasi yang jelas. Untuk jangka pendek, perusahaan mengambil margin dengan harga terbaik dari para manufaktur rekanan dan mengambil untung saat menjual produk tersebut ke Agen. Lalu, mengambil margin keuntungan dari produk FMCG label pribadi yang dijual ke Agen.

“Untuk jangka panjang, kami ingin menjadi platform untuk bisnis apa pun di Indonesia yang ingin memasuki daerah pedesaan. Kami akan menerima komisi per transaksi dengan bekerja sama dengan produsen di luar FMCG atau perusahaan yang membutuhkan jaringan agen kami untuk mendistribusikan produk mereka.”

Saat ini Super telah memiliki lebih dari 650 SKU bekerja sama dengan lebih dari 50 merek nasional. Cakupan areanya baru di lebih dari 20 kota lapis dua dan tiga di Pulau Jawa. Steven mengatakan medan perang di kota non-Jakarta itu unik dan kompleks, makanya menjadi penghalang bagi semua orang karena memecahkan masalah ini tidak semudah yang terlihat.

Menurutnya, social commerce adalah tahap awal dari ambisi besar Super yang ingin membangun solusi rantai pasokan menyeluruh. Ia ingin menjadi Indofood, namun sarat dengan sentuhan teknologi dan strategi bisnis yang relevan untuk pedesaan Indonesia.

Bila Indofood dari hulu ke hilir ada Indogrosir (hub) dan Indomaret (ritel). Maka, rencananya Super dapat memiliki white label (Supercare dan Supereats), hubs (Superwarehouse dan Supercenter), dan ritel (Superagent).

“Dengan memiliki seluruh infrastruktur ini, kami akan menjadi perusahaan yang kuat yang dapat bertahan lebih dari seratus tahun.”

Application Information Will Show Up Here