Bukalapak Meluncurkan Aplikasi Pencatatan Keuangan “BukuMitra”

PT Bukalapak Tbk (IDX: BUKA) resmi meluncurkan aplikasi BukuMitra yang ditujukan bagi pelaku UMKM. Sebelumnya, BukuMitra masih tergabung dalam aplikasi Mitra Bukalapak.

Melalui keterangan resminya, aplikasi BukuMitra menawarkan sejumlah fitur pengelolaan keuangan, seperti pembukuan dan pencatatan utang secara digital. Pemilik usaha mulai dari warung, kios pulsa, kedai makanan, jasa laundry, hingga social commerce dapat memanfaatkan fitur-fitur tersebut.

Ada pula fitur media yang memudahkan pengguna untuk membuat poster, katalog, kartu nama, dan spanduk untuk mempromosikan bisnis usaha ke teman atau kolega mereka.

President Bukalapak Teddy Oetomo mengatakan, aplikasi Mitra Bukalapak telah membantu 8,7 juta pelaku UMKM di seluruh Indonesia untuk mengembangkan skala bisnisnya. Misalnya, dari warung atau toko yang awalnya hanya menjual kebutuhan sehari-hari menjadi tempat pembelian voucher game, pembayaran tagihan, hingga menjadi agen pengiriman barang.

Namun, sering kali bisnis yang sedang bertumbuh ini masih dikelola dengan metode pembukuan tradisional dengan buku tulis atau kertas. Sementara, metode ini terbilang berisiko karena bisa tak sengaja terbuang, hilang, atau ketumpahan sesuatu.

“Hal ini yang mendasari lahirnya fitur SaaS di Mitra Bukalapak. Fitur ini telah digunakan lebih dari 300 ribu pengguna untuk melalukan pembukuan dan pencatatan utang. Dengan kesuksesan ini, Mitra Bukalapak meluncurkan aplikasi BukuMitra sehingga semakin banyak pelaku usaha berskala kecil yang mengelola bisnis secara efektif dan efisien,” tuturnya.

Disampaikan Teddy, seluruh catatan pembukuan pengguna BukuMitra akan tersimpan di cloud sehingga mengurangi risiko kehilangan data apabila perangkat pengguna rusak.

Fitur yang ditawarkan aplikasi BukuMitra
Fitur yang ditawarkan aplikasi BukuMitra

Pada kesempatan sama, Komisaris Bukalapak Bambang Brodjonegoro menambahkan bahwa kehadiran aplikasi pencatatan keuangan seperti BukuMitra dapat berkontribusi dalam merealisasikan salah satu pencapaian Sustainable Development Goals (SDG) yang dicanangkan oleh PBB, yaitu pertumbuhan ekonomi serta pengurangan ketidaksetaraan.

“Terdapat 64 juta pelaku UMKM di Indonesia yang diperkirakan berkontribusi terhadap lebih dari 60% PDB negara dan mempekerjakan 97% populasi negara. Dengan aplikasi BukuMitra, ini akan memberikan peluang kepada pelaku UMKM untuk tumbuh dan sejajar dengan pelaku bisnis ritel modern. Ini tentunya akan membawa dampak positif bagi ekonomi nasional,” ujarnya.

UMKM go digital

Digitalisasi UMKM merupakan salah satu potensi yang tengah digarap secara serius oleh pelaku startup di Indonesia. Digitalisasi ini tak hanya semata ditawarkan dalam bentuk sistem pembayaran saja, tetapi layanan-layanan turunan yang relevan dengan model bisnis mereka. Seperti halnya pencatatan atau pembukuan keuangan.

Beberapa startup Indonesia yang menawarkan produk atau aplikasi sejenis di antaranya seperti Credibook, Payfazz, dan Lababook. Misalnya, Payfazz Buku, aplikasi ini menghadirkan sejumlah fitur terintegrasi bagi para agen/mitra, mulai dari laporan penjualan, laporan stok produk, pencatatan keuangan, penagihan, hingga pembayaran.

Momentum akselerasi digital ini juga tengah dimanfaatkan Pemerintah untuk mencapai target digitalisasi 30 juta UMKM di 2023. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, jumlah UMKM yang sudah on-boarding ke ekosistem digital mencapai 15,9 juta atau 24,9% dari total 65 juta UMKM di Indonesia. Jumlah ini naik signifikan dari 8 juta UMKM yang bergabung di platform digital pada era sebelum Covid-19.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Siap Tercatat di BEI pada 6 Agustus Mendatang

PT Bukalapak.com Tbk akhirnya mengumumkan secara terbuka untuk segera melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan yang akan memakai kode emiten BUKA ini, bakal listing di BEI pada 6 Agustus 2021.

Aksi unicorn ini jelas menarik perhatian karena menjadi perusahaan teknologi pertama di industri e-commerce Indonesia yang melantai ke bursa saham.

Berdasarkan prospektus yang disampaikan perseroan pada hari ini (9/7), Bukalapak melepas 25.765.504 lembar saham biasa atas nama yang seluruhnya merupakan saham baru, mewakili sebanyak-banyaknya 25% dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah Penawaran Umum Perdana Saham.

Dari total tersebut, penjatahan untuk terpusat untuk investor ritel adalah 2,5% atau senilai Rp75 miliar. Namun akan disesuaikan kembali bila terjadi oversubscribed selama masa bookbuilding.

Harga penawaran saham berkisar antara Rp750 sampai Rp850 per lembar. Dengan demikian, nilai transaksi IPO ini sebanyak-banyaknya sebesar Rp21,9 triliun. Aksi ini bakal menjadi IPO terbesar sepanjang sejarah di Indonesia.

Perseroan akan segera melakukan roadshow menjaring investor besar di luar negeri dan di dalam negeri untuk berpartisipasi dalam aksi korporasi ini.

Dana yang diraup akan dialokasikan sekitar 66% untuk keperluan modal kerja. Sisanya digunakan untuk modal kerja entitas anak, yakni sekitar 15% dialokasikan untuk Buka Mitra Indonesia, sekitar 15% untuk Buka Usaha Indonesia. Kemudian, sekitar 1% untuk Buka Investasi Bersama, sekitar 1% untuk Buka Pengadaan Indonesia, sekitar 1% untuk Bukalapak Pte. Ltd., dan sekitar 1% untuk Five Jack (itemku).

Masa penawaran awal dilangsungkan pada 9 Juli-19 Juli 2021. Lalu, masa penawaranumum perdana saham pada 28 Juli-30 Juli 2021. Jika proses berjalan lancar, maka pencatatan saham perdana Bukalapak di BEI akan berlangsung pada 6 Agustus 2021 mendatang.

Dari total saham yang dilepas ke publik, perseroan akan mengaplikasikan sebanyak 0,1% untuk program alokasi saham kepada karyawan (employee stock allocation/ESA) atau sebanyak-banyaknya sebesar 25,76 juta dengan harga pelaksanaan ESA yang sama dengan harga penawaran.

Penawaran umum perdana saham perseroan tidak menggunakan sistem elektronik atau e-IPO. Manajemen menyebutkan tata cara pemesanan saham berdasarkan Peraturan No.IX.A.2 dan Peraturan No.IX.A.7 dengan penyesuaian tertentu berdasarkan surat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. S-108/D.04/2021 tanggal 7 Juli 2021.

Bukalapak menyediakan tautan khusus untuk memudahkan investor memperoleh informasi cara pemesanan. Ada 4 informasi yang disampaikan, yakni informasi emisi saham Bukalapak, harga saham, formulir pemesanan pembelian atau FPPS, serta prospektus awal dan prospektus.

Pemesanan saham Bukalapak dilakukan secara khusus. Investor wajib memiliki Single Investor Identification (SID), Sub Rekening Efek (SRE), dan Rekening Dana Nasabah (RDN).

Rencana berikutnya

Dari prospektus, perseroan membukukan nilai transaksi mencapai Rp85 triliun per tahun, meningkat dari sebelumnya Rp28 triliun. Peningkatan ini membuat pendapatan Bukalapak naik 4,6 kali menjadi Rp1,35 triliun dari Rp290 miliar per tahun.

“Tumbuh 115% rata-rata per tahun. Banyak perusahaan teknologi yang harus bakar uang untuk tumbuh, tapi cara berpikir kami beda. Kami ingin tumbuh dan memperbaiki profitabilitas kami. Kami memperbaiki EBITDA dan terus berusaha agar tren ini dapat terus berlanjut dan bisa menjadi perusahaan yang menguntungkan di masa mendatang,” ucap Presiden Direktur Bukalapak Rachmat Kaimudin dalam public expose, hari ini (9/7).

Ia juga menyampaikan bahwa aksi IPO ini adalah tonggak sejarah di industri teknologi dan pasar modal karena saham perusahaan unicorn sudah dapat dimiliki masyarakat luas. Sebelumnya Bukalapak hanya aplikasi yang sudah berdiri selama 11 tahun.

“Dengan mimpi yang besar, dimulai dari kos-kosan dan modal dari Rp80 ribu tapi punya tujuan besar memajukan UMKM.”

Menurutnya, masalah yang dihadapi UMKM di Indonesia cukup kompleks dan belum tersentuh teknologi, sehingga proses bisnisnya masih dijalankan secara tradisional. Teknologi menjadi solusi yang bisa dipakai untuk melayani masyarakat yang belum terlayani.

Kehadiran layanan e-commerce di satu sisi juga belum merata. Sebesar 70% transaksinya datang dari lima kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Semarang. Populasi di kota tersebut hanya 10% dari total populasi di Indonesia.

Manajemen dan tim IPO Bukalapak

Sementara, 90% populasi Indonesia yang datang di luar lima kota tersebut hanya melakukan transaksi di layanan e-commerce sebesar 30% dari nilai transaksi. “Jadi perbandingannya 20:1 dari segi populasi masyarakat Indonesia. Strategi kami adalah membuka jaringan O2O melalui digitalisasi warung yang bisa menjadi infrastruktur tambahan.”

Pasca IPO, sambung Rahmat, perseroan akan melanjutkan strategi bisnis all commerce, melalui aplikasi Bukalapak dan Mitra Bukalapak (beserta aplikasinya), untuk menambah produk dan layanan buat mitra agar makin banyak yang terdigitalisasi dan punya banyak tambahan sumber pendapatan.

Direktur Bukapalak Teddy Oetomo turut menambahkan, pendapatan yang disumbang dari Mitra Bukalapak kemungkinan ke depannya bakal lebih dominan dari layanan e-commerce. Ia beralasan karena pertumbuhannya belakangan yang fantastis dan inovasi yang selalu dilakukan perusahaan.

“Bukalapak akan mendapat komisi bila pelapak kami bisnisnya tumbuh, maka bisnis kami itu saling beriringan. Semakin bisnis mereka berkembang, mereka dapat semakin loyal dengan Bukalapak,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Anak Usaha Bukalapak Resmikan BMoney, Aplikasi Investasi Reksa Dana

Bukalapak dan PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (“Ashmore”) melalui PT Buka Investasi Bersama (“BIB”) hari ini (25/6) secara resmi meluncurkan aplikasi BMoney untuk investasi reksa dana.

Seperti diketahui sebelumnya, Asmore mengakuisisi 20% saham BIB yang merupakan anak perusahaan Bukalapak pada akhir tahun 2020 lalu. Melalui aksi korporasi tersebut, keduanya sepakat untuk menghadirkan layanan investasi untuk kalangan “underserved” atau mereka yang sebelumnya kurang terlayani produk investasi — mencerminkan sebagian besar pengguna Bukalapak, termasuk pelaku UMKM.

Ada beberapa kelebihan yang coba dihadirkan aplikasi BMoney, seperti bisa berinvestasi mulai dari Rp1.000, proses registrasi yang mudah kurang dari 5 menit, tidak ada biaya transaksi, serta pengguna dapat mengakses BMoney 24/7 di mana saja dan kapan saja untuk mengatur portofolio.

CEO Buka Investasi Bersama sekaligus President Bukalapak Teddy Oetomo menyatakan, “Kolaborasi Bukalapak dan Ashmore melalui BIB dalam aplikasi BMoney ini merupakan realisasi dari kerja sama strategis kita, yang merupakan penggabungan dari infrastruktur teknologi, yang merupakan salah satu kekuatan kunci Bukalapak, serta kemampuan dan pengalaman Ashmore sebagai salah manajer investasi terbesar di Indonesia.”

Lebih lanjut, Teddy kembali menekankan bahwa Buka Investasi Bersama telah memiliki izin APERD (Agen Penjual Efek Reksa Dana) yang terdaftar dan diawasi oleh OJK. BMoney menargetkan untuk mengajak 500.000 pengguna di tahun pertama.

Sementara itu Direktur Utama Ashmore Ronaldus Gandahusada mengatakan,“Ashmore percaya bahwa pertumbuhan di industri aset manajemen dapat diakselerasi melalui strategi digital yang terdefinisikan dengan baik. Aksesibilitas dan kepercayaan terhadap platform investasi merupakan dua hal penting yang harus dimiliki oleh agen penjual untuk dapat terus bersaing di era digitalisasi yang masih terus berkembang.”

Hadirnya BMoney menambah panjang daftar aplikasi digital yang menyediakan layanan investasi reksa dana. Akhir Mei 2021 lalu, Pluang juga baru membuka layanan yang sama. Pendekatannya di balik layarnya sedikit beda dengan BIB yang sepenuhnya [transaksi] dikelola perusahaan, karena Pluang menggunakan Pluang Grow (PT Sarana Santosa Sejati) yang saat ini sudah terdaftar di OJK dan KSEI, untuk menghubungkan investor ritel dengan perusahaan Asset Management.

Pendekatan BIB justru mirip dengan Ajaib yang mengoperasikan produk reksa dana lewat Ajaib Reksadana (PT Takjub Teknologi Indonesia). Belum lama ini mereka membukukan pendanaan seri A dengan total nilai $90 juta dan membuat perusahaan cukup percaya diri bisa melakukan penetrasi pasar secara lebih agresif. Selain reksa dana, mereka juga memiliki Ajaib Sekuritas (PT Ajaib Sekuritas Asia – hasil akuisisinya terhadap Primasia Unggul Sekuritas) untuk investasi saham.

Selain itu aplikasi digital lain yang juga mengakomodasi kebutuhan investasi reksa dana lainnya, seperti disebutkan dalam Fintech Report 2020, adalah Bibit, Bareksa, Raiz Invest, Invisee, IndoPremier, dan Tanamduit.

Application Information Will Show Up Here

Putaran Seri G Bukalapak Dikabarkan Tembus 5,7 Triliun Rupiah Sebelum Realisasikan IPO

Kabar terkait pendanaan tahap akhir Bukalapak masih bergulir. UBS Group AG (bank investasi asal Swiss cabang London, Inggris) dan Resorts World (anak usaha Genting Berhad, Malaysia) turut terlibat di putaran Seri G tersebut. Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh DealStreetAsia. Diproyeksikan untuk putaran kali ini Bukalapak mengumpulkan dana lebih dari $400 juta atau setara 5,7 triliun Rupiah.

Pada April ini, sebelum kedua investor tersebut masuk, Bukalapak ditaksirkan berhasil mengumpulkan dana hingga $234 juta atau setara 3,3 triliun Rupiah dari sejumlah investor, termasuk Microsoft, GIC, Emtek, Naver, Mandiri Capital, dan BRI Ventures.

Kami sudah mencoba mengonfirmasi kabar tersebut ke eksekutif Bukalapak, namun pihak terkait masih enggan memberikan respons. Disinyalir putaran pendanaan kali ini adalah putaran privat terakhir sebelum perusahaan melakukan IPO tahun ini.

Menurut Forbes, UBS AG London kini mengantongi 2,5% dari total saham Bukalapak, meskipun bisa jadi UBS hanya proxy bagi pihak lain yang tidak ingin disebut. Diestimasikan valuasi pasar Bukalapak kini di angka $3,5 miliar.

Diversifikasi

Tak dimungkiri, berbicara tentang Bukalapak mau tidak mau harus membandingkannya dengan unicorn lokal lain yang bermain di segmen yang sama, yakni Tokopedia. Ditinjau dari statistik situs, sebagai salah satu matriks penggunaan, Bukalapak masih terpaut cukup jauh dengan Tokopedia. Pada Q1 2021, diketahui Tokopedia menempati puncak klasemen kunjungan situs, disusul Shopee dan Bukalapak.

Valuasi terbaru Tokopedia diproyeksikan mencapai $7,5 miliar. Belum lagi soal kabar merger-nya bersama Gojek Hal ini cukup menjadi perhatian tersendiri bagi para pesaingnya. Ada beberapa potensi inovasi gabungan yang dapat terlahir dari keduanya.

Kembali ke Bukalapak, kendati sama-sama menjajakan platform online marketplace, masing-masing memiliki proposisi nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang menurut kami unggul di sisi Bukapalak. Pertama terkait program kemitraan yang mereka miliki. Mitra Bukalapak adalah salah satu pionir program kemitraan e-commerce dengan warung (kendati saat ini semua platform juga memiliki program serupa).

Menurut data terbaru, sejak dirilis tahun 2016 Mitra Bukalapak telah merangkul lebih dari 7 juta UMKM di Indonesia. Mitra Bukalapak juga sudah menjadi unit perusahaan tersendiri yang pimpin Howard Gani. Program ini juga dinilai berperan aktif dalam menjaring merchant di luar kota tier-1. Perusahaan juga telah mencanangkan ekspansi merchant di kota tier-1 sebagai fokus bisnis tahun 2021.

Kedua, Bukalapak cukup serius menggarap lini finansial, terutama terkait investasi. Tahun lalu Buka Investasi Bersama (BIB) diumumkan sebagai anak perusahaan Bukalapak yang akan fokus mengembangkan layanan investasi untuk instrumen reksa dana. Ini menjadi unit bisnis kedua setelah PT Buka Pengadaan Indonesia (BukaPengadaan / unit B2B Commerce). Presiden Bukalapak Teddy Oetomo memiliki jabatan tambahan sebagai CEO BIB.

Memiliki lisensi APERD, BIB lebih leluasa dalam mengembangkan produk reksa dana menyesuaikan target konsumennya dan meracik produk bersama dengan Manajer Investasi (MI) untuk menyediakan produk reksa dana pasar uang (RDPU), pendapatan tetap (RDPT), dan beberapa produk reksa dana lainnya. Perusahaan memasang target dapat mengakuisisi investor baru dari pengguna Bukalapak sebanyak 500 ribu orang pada 2021.

Dalam sebuah kesempatan, CEO Rachmat Kaimuddin mengatakan, dalam periode tersebut 2018-2020 perusahaan mampu mencapai pertumbuhan EBITDA 80% sebagai hasil dari juga upaya mengurangi cashburn. Saat ini, Bukalapak telah mengantongi 100 juta pengguna. Tahun lalu Bukalapak juga mencatat pertumbuhan signifikan, terutama dari segmen B2C melalui BukaMall dengan pertumbuhan 17% setiap bulan di sepanjang 2020. Per Desember 2020, transaksi Bukamall tumbuh 3,1 kali dibandingkan tahun lalu.

Kepemimpinan

Bukalapak juga dikabarkan menjadi unicorn lokal keempat yang menjajaki potensi IPO lewat SPAC. Mereka mulai menjajaki potensi go public di BEI (dengan sebagian kecil saham), lalu akan dilanjutkan melantai di bursa Amerika Serikat lewat mekanisme SPAC. Perusahaan dikatakan tengah dalam pembicaraan awal dengan beberapa perusahaan cek kosong dan sudah mulai menjalin eksplorasi dengan sejumlah investment bank.

Selain laju pertumbuhan bisnis, kepemimpinan perusahaan menjadi hal yang akan disoroti kala sebuah perusahaan berada di bursa saham. Bukalapak kini sudah “ditinggal” pada pendirinya [tidak lagi terlibat di posisi eksekutif], yakni Achmad Zaky (mundur dari posisinya sebagai CEO tahun 2020), Nugroho Herucahyono (2020, CTO), dan Fajrin Rasyid (2020, Presiden). Suksesi dilakukan dengan merekrut Rachmat dan mempromosikan Teddy.

Rachmat Kaimuddin Teddy Oetomo
Posisi CEO Bukalapak, Komisaris BIB President Bukalapak, CEO BIB
Perusahaan sebelumnya ·         KB Bukopin (Direktur Keuangan, Komisioner)

·         Bosowa Semen (Direktur)

·         Naring Priate Equity (Wakil Direktur)

·         Quvan Management (Principal)

·         Cardig Air Services (Direktur Keuangan)

·         IFC (Konsultan)

·         BCG (Konsultan)

·         Schroders (Head of Intermediary Business)

·         Credit Suisse (Direktur Riset Ekuitas)

·         Capital Markets (Analis)

Dari pekerjaan sebelumnya, Rachmat dan Teddy memiliki pengalaman yang cukup mumpuni di bidang manajemen keuangan dan investasi. Selain kedua sosok ini, Bukalapak juga masih memiliki Willix Halim yang menempati posisi sebagai COO.

Selain upaya terus mengurangi burn rate, dalam beberapa pernyataan para pemimpin Bukalapak juga mengungkapkan strategi bisnisnya untuk mengejar profitabilitas — termasuk dengan mengeksplorasi berbagai sektor di luar bisnis intinya sebagai layanan e-commerce.

Sempat diumumkan juga bahwa perusahaan tengah merekrut beberapa posisi strategis untuk sebuah unit bisnis baru di negara baru. Menurut spekulasi yang beredar, Bukalapak mencoba mengeksplorasi pasar Filipina. Terkait hal ini, kami juga sudah mencoba mengonfirmasi ke pihak Bukalapak, namun mereka memilih tidak berkomentar.

Persaingan ketat platform e-commerce terus meruncing, namun besarnya pangsa pasar Indonesia masih menyisakan peluang untuk dieksplorasi. Masih banyak isu yang belum benar-benar tuntas untuk diselesaikan, mulai dari logistik sampai pendekatan yang lebih hyperlocal. Melenggangnya para unicorn ke bursa saham dianggap sebagai langkah naik kelas untuk menarik lebih banyak investor luar memahami pendekatan digital dengan kearifan lokal yang disajikannya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Reportedly Aims for IPO, Enhancing Business Diversification

The news about a local unicorn planning for an IPO has spread, it’s coming to Bukalapak. According to a Bloomberg source, it started to explore the potential to go public on the IDX (at low shares), then continue to take it on the US stock exchange through the SPAC scheme. The company is said to be in discussion with several blank check companies and has started working with investment banks to explore.

Through SPAC, Bukalapak’s valuation is to reach $4-5 billion from the current value at $3.5 billion. Apart from Ant Group, GIC, and EMTEK Group, Bukalapak is supported by a number of investors and corporations including GIC, Naver Corp, Microsoft, and Standard Chartered. In Indonesia itself, according to research findings, Bukalapak is in third place after Shopee and Tokopedia – with an online marketplace high-tension competition with fast business dynamics.

In order to confirm, DailySocial is in contact with Bukapalak’s President, Teddy Oetomo. However, he avoids commenting on this matter. Meanwhile, the company representative said that after 11 years of operation, they are now focused on building a sustainable business to create a long-term impact on MSMEs and the Indonesian people through reliable online and online-to-offline platforms.

The news surfaced after Bukalapak’s CEO, Rachmat Kaimuddin said on an occasion, “We still want to be independent and run Bukalapak as a standalone company. IPO is an option to be able to obtain funds and technology companies will eventually want to IPO. We are open to that option and are now preparing the infrastructure.”

In his writing, Bukapak’s founder and former President Fajrin Rasyid signaled his support for Indonesian startups for an IPO. One thing he emphasized was that the net benefit for this country would be better if the IPO was conducted domestically, or at least a dual listing at home and abroad.

Business Diversification

Bukalapak is still on track to pursue profitability by exploring various sectors outside its core business as an e-commerce service. For example, through a subsidiary called Buka Investasi Bersama, it’s to deepen the mutual fund investment business, especially targeting the underserved. On a general note, this investment instrument is getting its momentum along with the increase in financial literacy of various circles of society.

Through the LinkedIn post, Bukalapak’s COO, Willix Halim published that his team was recruiting various strategic positions for a new business unit. He wrote that the ability to speak Tagalog (the native language of the Philippines) will be prioritized. Rumor has it that Bukalapak is trying to explore the Philippine market with a new business. We tried to confirm with Bukalapak regarding this issue, however, they avoid making further comments.

Business diversification is an important strategy in Bukalapak. Related to e-commerce supporting businesses, the stall partnership program “Mitra Bukalapak” has found quite strong performance – it is considered to be one of the most significant innovations. Throughout 2020, Rachmat said, the growth of this line will reach 50%. The business unit under the legal name “Buka Mitra Indonesia” has its own CEO, Howard Gani. Currently, Bukalapak has 100 million users with 7 million partners.

Bukalapak is the fourth unicorn that is reportedly taking the floor on the stock exchange. Previously, Gojek, Tokopedia, and Traveloka had been widely discussed regarding their plans for an IPO through SPAC. In addition to the rapidly growing business, currently, it is considered to be the right momentum to take this corporate action – considering market conditions and readiness.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Dikabarkan Mulai Pertimbangkan IPO, Terus Upayakan Diversifikasi Bisnis

Kabar mengenai unicorn lokal yang berencana melakukan IPO kembali mencuat, kali ini giliran Bukalapak. Menurut sumber Bloomberg, mereka sudah mulai menjajaki potensi go-public di BEI (dengan sebagian kecil saham), lalu akan dilanjutkan melantai di bursa Amerika Serikat lewat mekanisme SPAC. Perusahaan dikatakan tengah dalam pembicaraan awal dengan beberapa perusahaan cek kosong dan sudah mulai menjalin kerja sama dengan investment bank untuk mengeksplorasi.

Lewat SPAC, diperkirakan valuasi Bukalapak akan terdongkrak menjadi $4-5 miliar dari posisi saat ini sekitar $3,5 miliar. Selain Ant Group, GIC, dan EMTEK Group, Bukalapak didukung sejumlah investor dan korporasi termasuk GIC, Naver Corp, Microsoft, dan Standard Chartered. Di Indonesia sendiri, menurut beberapa temuan riset, Bukalapak berada di posisi ketiga setelah Shopee dan Tokopedia — persaingan di lanskap online marketplace bertensi tinggi dengan dinamika bisnis yang kencang.

Untuk mengonfirmasi rencana tersebut, DailySocial sempat menghubungi Presiden Bukapalak Teddy Oetomo. Namun ia masih enggan memberikan komentar. Sementara perwakilan perusahaan mengatakan, setelah beroperasi selama 11 tahun kini fokusnya adalah membangun bisnis yang berkelanjutan untuk menciptakan dampak jangka panjang kepada UMKM dan masyarakat Indonesia melalui platform online dan online-to-offline yang dapat diandalkan.

Kabar ini mencuat setelah sebelumnya CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin dalam sebuah kesempatan mengatakan, “Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company. IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dalam tulisannya, pendiri sekaligus mantan Presiden Bukapak Fajrin Rasyid mengisyaratkan dukungannya bagi startup Indonesia untuk IPO. Satu hal yang ia tekankan, bahwa net benefit bagi negara ini akan lebih baik apabila IPO tersebut dilakukan di dalam negeri, atau setidaknya dual listing di dalam dan di luar negeri.

Upayakan diversifikasi bisnis

Bukalapak masih berusaha terus mengejar profitabilitas dengan mengeksplorasi berbagai sektor di luar bisnis intinya sebagai layanan e-commerce. Misalnya lewat anak usaha yang dinamai Buka Investasi Bersama, mereka hendak mendalami bisnis investasi reksa dana, khususnya menyasar kalangan undeserved. Seperti diketahui, instrumen investasi tersebut kini lambat laun mulai populer seiring peningkatan literasi finansial berbagai kalangan masyarakat.

Dalam sebuah unggahan di LinkedIn, COO Bukalapak Willix Halim mempublikasikan bahwa pihaknya tengah melakukan perekrutan untuk berbagai posisi strategis untuk sebuah unit bisnis baru. Dalam kalimatnya, ia menuliskan kemampuan berbahasa Tagalog (bahasa asli Filipina) akan diprioritaskan. Spekulasi yang beredar, Bukalapak tengah coba mengeksplorasi pasar Filipina dengan sebuah bisnis baru. Terkait ini, kami juga sudah mencoba mengonfirmasi ke pihak Bukalapak, namun mereka memilih tidak berkomentar.

Diversifikasi bisnis menjadi strategi penting bagi Bukalapak. Kaitannya dengan bisnis pendukung e-commerce, program kemitraan warung “Mitra Bukalapak” yang dimiliki mendapati performa cukup kuat – bahkan bisa dikatakan menjadi salah satu yang paling signifikan. Sepanjang tahun 2020, disampaikan Rachmat, pertumbuhan lini ini mencapai 50%. Unit bisnis dengan nama legal “Buka Mitra Indonesia” tersebut juga sudah memiliki CEO sendiri, yakni Howard Gani. Saat ini, Bukalapak telah mengantongi 100 juta pengguna dengan 7 juta Mitra.

Bukalapak menjadi unicorn keempat yang dikabarkan segera melantai di bursa. Sebelumnya Gojek, Tokopedia, dan Traveloka telah terlebih dulu santer diperbincangkan terkait rencananya untuk IPO lewat SPAC. Selain bisnis yang memang sudah berkembang pesat, saat ini dinilai menjadi momentum tepat untuk melakukan aksi korporasi tersebut – ditinjau dari kondisi dan kesiapan pasar.

Application Information Will Show Up Here

Lewat Unit Bisnis Tersendiri, Bukalapak Semakin Lincah Berjualan Reksa Dana

Kemarin (5/9), Bukalapak membuktikan keseriusannya bermain di reksa dana dengan mendirikan unit bisnis terpisah PT Buka Investasi Bersama (BIB) dan sudah mengantongi lisensi sebagai APERD. Ini adalah unit bisnis kedua yang didirikan Bukalapak setelah PT Buka Pengadaan Indonesia.

Dalam keterangan resminya, BIB didirikan atas hasil kolaborasi para petinggi Bukalapak yang memiliki latar belakang di dunia finansial. Mereka ialah Rachmat Kaimuddin (CEO Bukalapak), Teddy Oetomo (President Bukalapak), dan Dhinda Arisyiya (AVP of Investment Solution and Financing Bukalapak).

CEO BIB Teddy Oetomo mengatakan, dalam perjalanan perusahaan menghadirkan layanan investasi pada 2016 yang lalu melalui BukaReksa, ada benang merah yang dapat ditarik bahwa investasi dan layanan keuangan sangat berperan penting untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi setiap individu.

“Untuk itu, berbekal latar belakang dan dukungan kuat dari para talenta yang sudah berpengalaman di bidang investasi dan manajemen keuangan, kami meluncurkan BIB tahun ini. Harapan kami, ini semakin memberikan solusi investasi yang dapat diakses semua kalangan, sehingga akan mengubah stigma yang beranggapan bahwa investasi hanya diperuntukkan bagi sebagian kalangan masyarakat tertentu saja,” kata Teddy.

BukaReksa telah melakukan beragam transformasi untuk menyasar target penggunanya, yakni dari luar kota besar dan berlatar belakang sosial ekonomi status (SES) C dan D yang bisa disebut dengan segmen underserved. Tidak disebutkan berapa banyak dana kelolaan dan jumlah investor di BukaReksa. Hanya disebutkan ada lebih ratusan ribu investor pemula yang dapat memulai investasi dengan nominal yang terjangkau.

Dhinda sebagai COO BIB menambahkan, BukaReksa adalah platform awal BIB untuk memahami pendekatan terbaik dalam menghadirkan solusi investasi mikro berbasis teknologi. Dalam perjalanannya, ada beberapa aspek penting yang menjadi prioritas, yakni independensi, peningkatan dari segi operasional, keamanan dan pengawasan regulator yang menjadi sangat penting untuk meningkatkan kepuasan dan kenyamanan konsumen.

“Dengan memiliki APERD yang terdaftar dan diawasi OJK, artinya pemenuhan kepatuhan juga telah dilakukan dengan sangat baik dengan operasional yang diawasi penuh oleh OJK,” tandasnya.

Secara terpisah kepada DailySocial, Teddy melanjutkan, sebagai marketplace pertama yang memiliki APERD, BIB berkomitmen untuk mengambil peran besar dalam membantu pemerintah melakukan inklusi keuangan dengan berfokus pada pemanfaatan teknologi dalam meningkatkan akses untuk berinvestasi.

“Terutama bagi investor potensial yang belum memiliki eksposur tinggi terhadap produk finansial disertai penyediaan skema produk investasi dari nominal yang semakin terjangkau.”

Memiliki lisensi APERD, BIB akan lebih leluasa dalam mengembangkan produk reksa dana menyesuaikan target konsumennya dan meracik produk bersama dengan Manajer Investasi (MI) untuk menyediakan produk reksa dana pasar uang (RDPU), pendapatan tetap (RDPT), dan beberapa produk reksa dana lainnya di bawah bendar BIB.

“Selain itu, kami juga senantiasa melakukan pengembangan fitur investasi mikro berbasis teknologi yang sesuai dengan target pasar kami.”

Ambisi BIB cukup tinggi, perusahaan ini memasang target dapat mengakuisisi investor baru dari pengguna Bukalapak sebanyak 500 ribu orang pada 2021 mendatang. Sebelumnya BukaReksa menggandeng Bareksa dan tanamduit sebagai mitra APERD yang menjual produk-produk reksa dana melalui BukaReksa. Teddy memastikan bahwa kemitraan tersebut akan tetap berjalan.

”BIB adalah pelengkap APERD yang sudah tersedia pada aplikasi Bukalapak, terutama dalam hal pemilihan produk yang sesuai dengan kebutuhan nasabah,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Burn Less Money, Bukalapak Is on The Right Track to Profitability

Bukalapak sets foot in the right position as a sustainable company and towards profitability as a local unicorn compared to its competitors. The company’s business sources are said to be dominated by outside first-tier cities, through its business units, Buka Procurement, Bukalapak Partners, and virtual products.

In Bukalapak’s performance review for the second quarter of this year, Bukalapak’s President, Teddy Oetomo, explained the total processing value (TPV) growth for almost 400% compared to the first quarter of 2018. It is claimed that more than 50% came from transactions outside the first-tier cities.

Related to EBITDA, it was said to increase by more than 60% compared to the fourth quarter of 2018. The company’s burn rate is still in a rational rate. This means that the company continues to make efforts to acquire new users by providing promotions, but in rational numbers. In terms of growth, market share is said to remain stable even during the pandemic.

“Our main key is healthy growth that is in line with the industry and what we have done for 18 months is to continue to increase monetization, rationalize spending so that our income can be more robust,” he explained during a virtual press conference, Friday (11/9).

In terms of the burn-money strategy, Teddy mentioned that promotion is not a bad thing. All newly opened stores must use this strategy. The thing is, too much promotion can be an issue. He said a business considered successful when it can provide the services that users need.

“The key is in added value. Promotions can accelerate growth, but if you are not disciplined you will definitely get headaches. [..] There are our peers who maybe what they spent in that month, is enough for us for a year. ”

Bukalapak CEO Rachmat Kaimuddin also emphasized, “Not all businesses only focused on growth. The solution is to provide added value to encourage the company’s sustainability. ”

Teddy continued, with the company’s focus on Mitra Bukalapak – in line with the plan for the next five years – is in accordance with the current conditions. That e-commerce services are really needed by consumers who are in lower-tier cities, not in the first tier.

“Since 3-4 years ago, we started to make partners in Bukalapak because they need financial inclusion. People just come to the shop to pay for virtual products. In Indonesia alone, there are 5 million stalls. ”

Bukalapak’s main business contributor

On this occasion, also participated in the officials of each Bukalapak’s main business. Regarding Mitra Bukalapak, in the last year, the number of stalls and individuals joining has tripled to a total of around 5 million partners.

The majority of them are still concentrated in Java with 4.5 million partners, then Sumatra (550 thousand partners), East Indonesia (226 thousand partners), and Kalimantan (128 thousand partners). This expansion is supported by additional wholesale stock distribution coverage to more than 50 cities, working with national and local distributors to ensure the availability of goods for partners.

In terms of payment innovation, transactions at Mitra stalls using the QRIS payment method increased by more than 50%. “We have also launched products based on financial inclusion, therefore, our hope goes with product diversification in the shop partners can get more turnover and become agents of change,” Howard Gani, SVP of Mitra Bukalapak said.

Virtual products are the second flagship product at Bukalapak. During the pandemic, the average growth of virtual products reached more than 60% compared to before the pandemic period. This increase occurred for pulses and data packages, bill payments, streaming vouchers, study vouchers for online courses, and gift card purchases.

The company alone provides more than 30 types of digital products, which are available on the marketplace platform or the Bukalapak Partners application. This virtual product category includes investment products; bill payments, credit cards, and BPJS; travel, purchase of credit and electricity tokens; and credit loans.

“There are various kinds of virtual products, some have dropped due to the impact of the pandemic, such as travel tickets, events, and transportation,” Bukalapak’s Director of Payment, Fintech & Virtual Products, Victor Putra Lesmana said.

Moreover, there is BukaPengadaan product that has been released since 2017. The director of BukaPengadaan Hita Supranjaya said that the growth in the number of customers was more than 48% and more than 32% of sellers who joined from the beginning of the year to August 2020. The most sought-after products were MRO tools. , masks, disinfectants, PPE & rapid tests, electricity vouchers, pulses, shopping vouchers, smartphones, and laptops.

“As well as supporting products for lifestyle such as bicycles and medical devices are the list of top corporate or government needs that are fulfilled by SME players,” he explained.

Eventually, the marketplace becomes the oldest service at Bukalapak. VP of Marketplace at Bukalapak. Kurnia Rosyada said, during this pandemic, the company was recorded as receiving around 20 thousand new traders who registered every week. Now it is noted that Bukalapak has around 6 million pelapak and users of more than 90 million people. The platform has also been integrated with 26 financial institutions and 12 logistics partners.

Regarding shopping trends, Kurnia explained that there is currently a shift in online shopping time activity. Before the pandemic, the biggest increase was at night when I came home from work, now it is evenly distributed every day. Even the products that are widely purchased are also more dynamic, the beginning of a pandemic, the most sought-after products are health-related.

“The currently rising products are in the category of bicycles, sports equipment, games for children, such as tents, swimming pools, and gardening tools. This cycle of market changes is much faster than before the pandemic,” he concluded.

Competitor’s performance

Bukalapak’s enthusiasm is quite different from its competitors. Shopee is the closest, considering that the company also boasted of its achievements in the second quarter of 2020.

In the performance exposure of Shopee’s parent company, SEA, it is said that the company’s adjusted revenue growth was $ 510.6 million, up 187.7% YoY from the same period in the previous year.

Indonesia is Shopee’s biggest source of business, recording more than 260 million transactions during the second quarter. On average, Shopee manages to record more than 2.8 million transactions a day. Compared to the second quarter of 2019, Shopee recorded an increase of more than 130%.

However, the company is yet to be profitable. It is due to the adjusted loss at $305.5 million or greater than the previous year’s $248.3 million. However, the company is making progress towards profitability, adjusted EBITDA loss per order from $1.01 to $ 0.5.

Looking at the GMV number, there was a drastic growth of 109.9% or $ 8 billion, compared to the previous quarter in the first quarter with an increase of 74.3% YoY.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kurangi Bakar Uang, Bukalapak Dalam Posisi Tepat Menuju Profitabilitas

Bukalapak membuktikan posisinya dalam posisi yang tepat sebagai perusahaan berkelanjutan dan menuju arah profitabilitas sebagai unicorn lokal dibandingkan kompetitornya. Sumber bisnis perusahaan dikatakan didominasi dari kota-kota di luar tier 1, melalui unit-unit bisnisnya yakni Buka Pengadaan, Mitra Bukalapak, dan produk virtual.

Dalam paparan kinerja Bukalapak untuk periode kuartal II tahun ini, President Bukalapak Teddy Oetomo menerangkan pertumbuhan total processing value (TPV) hampir 400% dibandingkan dari kuartal pertama 2018. Diklaim pertumbuhan TPV ini mayoritas lebih dari 50% datang dari transaksi yang berasal di luar kota tier 1.

Berikutnya, terkait EBITDA tercatat naik hingga lebih dari 60% dibandingkan kuartal IV 2018. Burn rate perusahaan berada dalam posisi yang masih rasional. Artinya, perusahaan tetap melakukan upaya akuisisi pengguna baru dengan memberikan promosi, akan tetapi dalam angka yang rasional. Dari sisi pertumbuhan marketshare dikatakan tetap stabil walau di masa pandemi.

“Kunci utama kami adalah pertumbuhan sehat yang selaras dengan industri dan yang kita lakukan selama 18 bulan adalah terus meningkatkan monetisasi, merasionalkan pengeluaran sehingga penghasilan kita bisa lebih robust,” terangnya saat konferensi pers secara virtual, Jumat (11/9).

Terkait strategi bakar uang, Teddy bilang bahwa memberikan promosi itu bukanlah hal yang salah. Semua toko yang baru buka pasti menggunakan strategi tersebut. Hanya saja, promosi yang kebablasan tersebut bisa menjadi masalah. Menurutnya, bisnis yang berhasil itu kalau kita bisa memberikan layanan yang dibutuhkan pengguna.

“Kuncinya ada di value added. Untuk percepat pertumbuhan bisa dengan promosi, tapi kalau enggak disiplin pasti akan pusing kepala. [..] Ada peers kita yang mungkin apa yang mereka spent dalam sebulan itu, cukup buat kita selama setahun.”

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin turut menegaskan, “Enggak selalu bisnis berharap ke growth semata. Solusinya adalah memberikan nilai tambah yang bisa membuat perusahaan dapat sustain.”

Teddy melanjutkan, dengan fokusnya perusahaan ke Mitra Bukalapak -sesuai dengan rencana sampai lima tahun mendatang- telah sesuai dengan kondisi apa yang paling dibutuhkan konsumen. Bahwa sejatinya layanan e-commerce ini sangat dibutuhkan konsumen yang berada di kota lapis bawah, bukan di tier 1.

“Sejak 3-4 tahun lalu kita mulai bergerak dengan membuat Mitra Bukalapak karena mereka butuh inklusi keuangan. Masyarakat tinggal datang ke warung untuk bayar produk virtual. Di Indonesia sendiri ada 5 juta warung.”

Kontributor bisnis utama Bukalapak

Dalam kesempatan ini turut hadir dalam paparan tersebut oleh petinggi di masing-masing bisnis utama Bukalapak. Untuk Mitra Bukalapak, dalam setahun terakhir jumlah warung dan individu yang bergabung naik hingga tiga kali lipat dengan total sekitar 5 juta mitra.

Lokasinya mayoritas masih terpusat di Jawa dengan angka 4,5 juta mitra, lalu Sumatera (550 ribu mitra), Indonesia Timur (226 ribu mitra), dan Kalimantan (128 ribu mitra). Perluasan ini didukung oleh tambahan cakupan distribusi stok grosir ke lebih dari 50 kota, bekerja sama dengan distributor nasional dan lokal untuk memastikan ketersediaan barang untuk para mitra.

Dari sisi inovasi pembayaran, transaksi di warung Mitra yang menggunakan metode pembayaran QRIS naik lebih dari 50%. “Kami juga meluncurkan produk-produk berbasis inklusi keuangan, sehingga harapan kami dengan adanya diversifikasi produk di warung, mitra bisa mendapatkan omzet lebih banyak dan jadi agen perubahan,” kata SVP of Mitra Bukalapak Howard Gani.

Produk virtual menjadi produk andalan kedua di Bukalapak. Selama pandemi berlangsung, pertumbuhan rata-rata produk virtual mencapai lebih dari 60% dibandingkan sebelum masa pandemi. Kenaikan ini terjadi untuk produk pulsa dan paket data, pembayaran tagihan, voucher streaming, voucher belajar untuk kursus online, dan pembelian gift card.

Perusahaan sendiri menyediakan lebih dari 30 jenis produk digital, yang tersedia di platform marketplace ataupun aplikasi Mitra Bukalapak. Kategori produk virtual ini mencakup produk investasi; pembayaran tagihan, kartu kredit, dan BPJS; perjalanan, pembelian pulsa dan token listrik; dan pinjaman kredit.

“Produk virtual ini beraneka macam, ada juga yang turun karena berdampak pada pandemi, seperti tiket perjalanan, event, dan transportasi,” tutur Director of Payment, Fintech & Virtual Products Bukalapak Victor Putra Lesmana.

Berikutnya adalah produk BukaPengadaan yang telah dirilis sejak 2017. Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya mengatakan, pertumbuhan jumlah pelanggan lebih dari 48% dan lebih dari 32% penjual yang bergabung dari awal tahun hingga Agustus 2020. Produk-produk yang paling banyak dicari adalah alat-alat MRO, masker, desinfektan, APD & rapid test, voucher listrik, pulsa, voucher belanja, smartphone dan laptop.

“Serta pendukung gaya hidup seperti sepeda dan alat-alat kesehatan menjadi daftar kebutuhan teratas korporasi atau pemerintah yang dipenuhi oleh para pelaku UMKM,” terangnya.

Terakhir untuk produk marketplace yang menjadi produk tertua di Bukalapak. VP of Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada mengatakan, hingga pandemi ini tercatat perusahaan menerima sekitar 20 ribu pelapak baru yang mendaftar setiap minggunya. Kini tercatat Bukalapak memiliki sekitar 6 juta pelapak dan pengguna lebih dari 90 juta orang. Platformnya juga telah terintegrasi dengan 26 institusi keuangan dan 12 mitra logistik.

Terkait tren belanja, Kurnia memaparkan bahwa saat ini terjadi pergeseran waktu belanja online. Sebelum pandemi, kenaikan terbesar adalah saat malam hari ketika pulang kerja, sekarang justru lebih merata setiap harinya. Pun dari produk yang banyak dibeli juga lebih dinamis, awal pandemi produk yang paling banyak dicari berkaitan dengan kesehatan.

“Sekarang yang naik justru kategori sepeda, alat-alat olahraga, permainan untuk anak, seperti tenda, kolam renang, dan alat berkebun banyak dicari. Siklus perubahan pasar ini jauh lebih cepat daripada sebelum pandemi,” tutup dia.

Kinerja kompetitor

Semangat yang digelorakan Bukalapak memang berbeda dengan apa yang terjadi di kompetitornya. Shopee menjadi yang terdekat, mengingat perusahaan tersebut juga sempat sesumbar dengan pencapaiannya di kuartal II 2020.

Dalam paparan kinerja induk Shopee, Sea, dikatakan pertumbuhan pendapatan yang disesuaikan (adjusted revenue) perusahaan sebesar $510,6 juta atau naik 187,7% secara yoy dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Indonesia menjadi sumber bisnis terbesar Shopee, mencatatkan pencapaian transaksi lebih dari 260 juta transaksi selama kuartal II. Jika di rata-rata dalam sehari Shopee berhasil mencatatkan lebih dari 2,8 juta transaksi. Dibandingkan dari kuartal II 2019, Shopee mencatat adanya peningkatan lebih dari 130%.

Kendati demikian, perusahaan ini masih mencatat rugi. Lantaran, kerugian yang disesuaikan (adjusted loss) sebesar $305,5 juta atau lebih besar dari tahun sebelumnya $248,3 juta. Tetapi perusahaan membuat ada kemajuan untuk menuju profitabilitas, kerugian EBITDA yang disesuaikan per pesanan dari $1,01 menjadi $0,5.

Melihat dari angka GMV, tercatat terjadi pertumbuhan yang drastis mencapai 109,9% atau senilai $8 miliar, dibandingkan sebelumnya pada kuartal pertama dengan kenaikan 74,3% secara yoy.

Application Information Will Show Up Here

Perluas Tanggung Jawab Jabatan, Teddy Oetomo Ditunjuk Jadi Presiden Bukalapak

Bukalapak mengumumkan penunjukan Teddy Oetomo sebagai Presiden Bukalapak, menggantikan posisi Fajrin Rasyid yang resmi diangkat menjadi Direktur Digital Business Telkom Group. Dengan posisi baru ini, Teddy nantinya bersama dengan Rachmat Kaimuddin (CEO), Willix Halim (COO), dan Natalia Firmansyah (CFO) akan memimpin manajemen perusahaan.

“Dengan tugas utama yang nantinya bakal diterapkan adalah, untuk terus mendorong dan mempersiapkan Bukalapak menjadi sebuah organisasi yang kokoh, dengan tugas harian menjaga Bukalapak secara terus menerus, baik dari segi bisnis dan reputasi, agar dapat terus tumbuh berkembang menjadi perusahaan yang sustainable, yang pada akhirnya dapat berhasil merealisasikan misi Bukalapak, yakni a fair economy for all,” kata Teddy kepada DailySocial.

Teddy mengawali kariernya sebagai dosen, juga memiliki lebih dari 11 tahun pengalaman di bidang pasar modal dan manajemen aset. Di luar dari itu, Teddy juga telah mempublikasikan 7 tulisan di jurnal akademik internasional. Dia mendapatkan gelar PhD di bidang Ekonomi dari University of Sydney di tahun 2005.

Sebelum bergabung dengan Bukalapak, Teddy adalah Head of Intermediary Business di Schroders Indonesia. Teddy juga menempati posisi selama 8 tahun (2006-2014) sebagai Head of Equity Research di Credit Suisse Indonesia.

Ekspansi posisi dan tanggung jawab

Teddy menempati posisi Chief Strategy Officer sejak tahun 2018 membawahi fungsi strategi dan investasi, corporate finance, customer satisfaction management, investment solutions & financing; akan diperluas meliputi fungsi legal.

“Kalau perusahaan sudah besar, tidak mungkin semua role dipegang satu orang. Di Bukalapak juga sama [..] strategi itu kadang butuh diam, take a step back, jangan diganggu. Kalau tidak, tidak bisa berpikir,” ujarnya.

Teddy menegaskan, corporate finance dan corporate communication menjadi bagian yang diurusnya. Termasuk di dalamnya adalah M&A yang akhir-akhir ini menghangat. Sejak tahun 2018 Bukalapak agresif menjalankan strategi M&A, meskipun cara yang ditempuh terbilang cukup unik. Langkah strategis yang dilakukan oleh Bukalapak tahun 2018 di bawah kepemimpinannya sebagai CSO adalah, melakukan akuisisi terhadap talenta dan teknologi Prelo.

Application Information Will Show Up Here