Penerapan Strategi “Omnichannel” di Bukalapak dan Tokopedia untuk Tingkatkan Pengalaman Pengguna

Hingga tahun 2023 mendatang, Market Research Future memprediksi pasar platform ritel omnichannel global tumbuh hingga US$11,1 miliar. Dalam 2-3 tahun ke depan, faktor pendorong utamanya peningkatan adopsi layanan e-commerce dan meningkatnya penggunaan smartphone/tablet untuk transaksi jual-beli.

Menurut Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo, strategi omnichannel di layanan e-commerce dan marketplace dilakukan untuk membuahkan diversifikasi di berbagai lini produk dan program, baik secara online maupun offline.

“Kami ingin menyebut Bukalapak sebagai technology commerce, di mana seluruh kegiatan dagang di platform dan program yang dijalankan memanfaatkan teknologi inovatif sebagai akselerator bisnis para UKM. Namun yang terpenting adalah, apapun bentuknya, Bukalapak akan terus berkomitmen pada visinya  menjadi perusahaan yang mampu memberdayakan UKM Indonesia dan penggerak perekonomian bangsa,” kata Teddy.

Salah satu contoh program online-to-offline mereka adalah Mitra Bukalapak. Perusahaan mencoba merangkul agen individual dan warung tradisional agar  memanfaatkan teknologi dan fitur yang dimiliki Bukalapak, sehingga mereka mendapatkan nilai tambah.

Hal senada juga diungkapkan Head of Brand Tokopedia Nirmala Rahmawati, sesuai dengan DNA perusahaan yaitu “focus on consumer” diharapkan bisa memberikan pengalaman terbaik bagi lebih dari 90 juta pengguna bulanan aktif.

“Kami terus berupaya memahami masyarakat dalam menggunakan berbagai fitur dan layanan kami. Brand harus bisa menggunakan berbagai alat dan solusi untuk membangun pengalaman pelanggan yang mudah dan berkesan di berbagai platform.”

Strategi konten cross-channel

Seiring masifnya pemanfaatan teknologi, pasar global telah melihat perubahan besar dalam perilaku konsumen, termasuk Indonesia. Akibatnya, sebagian besar industri menghadapi tantangan baru untuk memenuhi tersebut. Kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda membutuhkan pendekatan dan perspektif kreatif baru untuk menyelesaikan masalah.

Strategi omnichannel juga sering dikaitkan dengan distribusi konten secara cross-channel demi meningkatkan pengalaman pengguna. Hal tersebut mencakup integrasi dari pesan yang ingin dikomunikasikan melalui medium digital dan non-digital.

“Dengan mempelajari perilaku konsumen berdasarkan analisis data menggunakan AI dan machine learningkami dapat mempersonalisasi setiap pesan yang dikirim melalui berbagai kanal untuk memastikan relevansi bagi pengguna Tokopedia. Langkah ini sangat penting dalam menciptakan brand experience yang bermakna. Selain itu, informasi tersebut juga membantu kami menyampaikan berbagai pesan lewat beragam kanal yang sesuai dengan preferensi pengguna kami, sehingga kami dapat mengubah perilaku konsumen untuk melakukan pembelian lewat platform Tokopedia,” kata Nirmala.

Saat ini Tokopedia mengklaim telah memiliki lebih dari 250 juta produk terdaftar dengan harga transparan yang dipasarkan oleh lebih dari 7,2 juta pedagang. Selain itu, mereka juga memiliki 35 produk digital yang melayani berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan begitu banyak produk dan fitur yang tersedia di Tokopedia untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan konsumen, maka diperlukan pengalaman omnichannel yang semulus mungkin.

Menurut Business Delopment Manager MoEngage Divya Jagwani, brick and mortar telah menjadi pelopor untuk industri ritel sejak dulu, namun dalam beberapa tahun terakhir model pembelian telah bergeser untuk pengguna dan sekarang penjualan online nilainya setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan penjualan secara offline. Salah satu alasannya adalah, makin bertambahnya jumlah konsumen yang mencari kenyamanan sekaligus jaminan yang pasti atas produk yang mereka beli.

“Saya percaya untuk saat ini tidak ada banyak perbedaan di toko offline atau online. Harapan konsumen adalah agar toko offline bisa menjadi perpanjangan dari toko online yang menawarkan pengalaman yang sama kepada mereka di seluruh channel dan sebaliknya,” kata Divya.

Secara khusus pendekatan secara online bisa menargetkan konsumen yang tepat, sesuai dengan segmentasi dan produk yang ditawarkan oleh brand. Contohnya pada penempatan iklan digital seperti display dan video, serta penggunaan homepage banner di berbagai platform digital.

Di sisi lain pendekatan secara offline memungkinkan konsumen untuk melihat dan merasakan secara langsung barang yang menarik minat mereka. Contohnya adalah menggunakan iklan TV, beberapa penempatan billboard dan kegiatan pemasaran out-of-home lainnya seperti , seperti titik spot iklan di MRT Jakarta. Untuk itu dibutuhkan biaya yang cukup besar ketika strategi omnichannel mulai dilakukan.

“Poin yang paling penting untuk bisa dipahami oleh brand adalah, konsumen tidak melihat perbedaan antara situs, smartphone, toko offline, email atau SMS. Bagi mereka, penting bagi brand untuk mengenal mereka, tidak peduli channel apa atau cara komunikasi apa yang dipilih untuk bisa lebih personal. Dengan begitu banyaknya data yang dimiliki brand saat ini, mereka seharusnya tidak lagi memasarkan kepada pelanggan dengan mengirim buletin dan kampanye promosi biasa, tetapi menambah nilai pada kehidupan mereka sehari-hari melalui komunikasi di seluruh channel,” kata Divya.

Personalisasi dan penggunaan data

Personalisasi adalah jantung dan faktor penting dalam dunia digital saat ini. Dikenal sebagai “brand intimacy”, kemampuan untuk menghasilkan emosi positif dengan pelanggan diklaim bisa membantu brand mendorong penjualan dan loyalitas pelanggan.

Pada tahun ini diprediksi makin banyak brand yang mencoba untuk “memanusiakan” titik kontak di seluruh channel yang mereka miliki dengan tujuan membangun hubungan emosional yang kuat. Untuk itu bagi brand yang masih menjalankan bisnis secara konvensional sudah harus mulai mengadopsi teknologi, penjualan langsung ke konsumen dan meningkatkan hiper-personalisasi, analisis perilaku pelanggan, dan kemampuan pembelajaran mesin oleh AI.

“Kami berupaya melakukan personalisasi untuk setiap pengguna Tokopedia berdasarkan berbagai data yang kami kumpulkan saat pengguna berinteraksi dengan platform kami. Seluruh langkah ini kami lakukan dengan tujuan untuk membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan kami dan mempermudah masyarakat Indonesia untuk memulai dan menemukan apa pun lewat Tokopedia,” kata Nirmala.

Untuk itu penting bagi brand mulai mengelola dengan baik data yang mereka miliki, untuk mendorong kegiatan pemasaran secara digital. Data ini memungkinkan brand untuk membangun algoritma AI dan machine learning yang secara progresif mempelajari lebih lanjut tentang pengguna, menyajikan analisis yang bermakna dan dapat ditindaklanjuti untuk brand yang pada gilirannya bisa memberikan pengalaman pengguna secara personal.

“Penting untuk memahami data dikumpulkan. Tidak cukup hanya melacak data pengguna, tetapi menyusun dan menemukan wawasan yang bermakna serta dapat ditindaklanjuti. Penting bagi brand untuk kemudian menggunakan data ini untuk mencapai komunikasi dengan pelanggan pada waktu yang tepat, melalui channel yang tepat dengan pesan yang tepat untuk mereka,¨tutup Divya.

Teddy Oetomo tentang Posisi CSO, Strategi M&A, dan Potensi IPO Bukalapak

Salah satu orang baru yang direkrut Bukalapak di jajaran manajemen tahun ini adalah Chief Strategy Officer (CSO) Teddy Oetomo. Memiliki gelar PhD di bidang Ekonomi dari Universitas Sydney, Teddy berlatar belakang pengalaman belasan tahun di industri finansial, khususnya investment banking.

Dalam sebuah artikel di tahun 2007, Harvard Business Review menjelaskan posisi CSO sebagai “mini CEO”, seseorang yang memiliki mandat, credential, dan keinginan untuk melakukan eksekusi sekaligus sebagai penasihat.

DailySocial berkesempatan berdiskusi lebih lanjut tentang apa makna posisi ini, mengapa Teddy kini berkiprah di industri digital (khususnya melalui Bukalapak), dan bagaimana strategi Bukalapak dalam melakukan sinergi dengan pihak ketiga (termasuk dalam strategi M&A).

Teddy menyebutkan startup unicorn di Indonesia sudah mulai menganggap posisi CSO sebagai hal penting. Tidak bisa semua peranan dipegang oleh seorang CEO, apalagi bisnisnya kini tidak hanya di satu lini bisnis.

“Kalau perusahaan sudah besar, tidak mungkin semua role dipegang satu orang. Di Bukalapak juga sama. [..] Strategi itu kadang butuh diam, take a step back, jangan diganggu. Kalau tidak, tidak bisa berpikir,” ujarnya.

Teddy menyebutkan corporate finance dan corporate communication menjadi bagian yang diurusinya. Termasuk di dalamnya adalah M&A yang akhir-akhir ini menghangat. Tahun ini Bukalapak mulai agresif menjalankan strategi M&A, meskipun cara yang ditempuh terbilang cukup unik.

Menjadi bagian Bukalapak

Teddy mengaku sudah cukup lama mengenal investor signifikan di startup yang didirikan Achmad Zaky, M. Fajrin Rasyid, dan Nugroho Herucahyono ini. Menurutnya, Bukalapak adalah tipe perusahaan yang menawarkan real time result untuk hasil-hasil kerjanya, berbeda dengan perusahaan multinasional yang memang membutuhkan waktu untuk memperoleh hasil secara menyeluruh.

“Jadi mungkin personal satisfaction-nya beda. Selain itu dengan pengalaman di capital market selama 17-18 tahun, sudah saatnya saya mencari pengalaman baru,” ujar Teddy.

Teddy melanjutkan, “Bukalapak selalu menyebutkan diri empowering SME. Are we really empowering SME?”

Fokus Bukalapak kini mulai beralih ke bisnis O2O, memanfaatkan jaringan mitra Bukalapak yang berjumlah 300 ribuan di seluruh Indonesia. Teddy menganalogikan bisnis O2O ini sebagai empowering SME 2.0.

“Bukalapak bukan omdo [omong doang -red]. Memang benar-benar passion para Co-Founder-nya mau empower SME secara real. Tidak gampang mengajari ibu-ibu penjaga warung [menggunakan platform ini]. Tidak cuma kesabaran, juga perlu dedikasi. Yet they did it. Itu mungkin sebuah pembeda yang luar biasa bagi saya.”

Strategi sinergi

Teddy menyebutkan tidak ada strategi khusus dalam bersinergi dengan pihak lain. Saat ingin mengakuisisi pihak lain, Bukalapak disebut melihat dari sisi bisnis, kontrak, dan orang-orang di balik bisnis tersebut.

Rule untuk bisa berhasil di startup itu dinamis. Semua perusahaan yang kita lihat [ingin berkolaborasi], kepentingannya berbeda-beda. Semuanya custom made. Tugas kita adalah bagaimana membuat satu tambah satu lebih dari dua.”

Terkait aksi korporasi terhadap Prelo, Teddy mengatakan, “Prelo agak special case, karena merupakan sebuah perusahaan yang punya target yang komplemen, punya founder yang skill-nya berbeda. Oleh karena itu Founder Prelo, Fransiska PW Hadiwidjana, menjadi Head of Business di Bukalapak [yang membawahi bisnis O2O].”

It’s multilayer reason [ketika melakukan aksi terhadap Prelo]. Shareholder Prelo mendapatkan fee, tapi mereka masih ada [di struktur perusahaan]. Ini adalah struktur yang kompleks. Detailnya tidak saya disclose [termasuk soal kepemilikan Bukalapak di Prelo], karena kalau [kompetitor] sampai tahu soal strukturnya, jadi tahu Bukalapak ingin ngapain. Mungkin 1-2 tahun lagi kita disclose,” lanjutnya.

Teddy menyebutkan tahun ini Bukalapak sudah melakukan 3 deal, dengan target hingga akhir tahun mencapai 5 deal. Ia memastikan Prelo tetap eksis sebagai suatu bisnis, tapi tidak mau mendetailkan bagaimana operasional di dalamnya.

“Strukturnya sengaja dibikin unik supaya win-win buat semua pihak.”

Potensi pendanaan atau IPO

Teddy mengatakan, jika tanpa ada growth, Bukalapak bisa profit dalam waktu 18-24 bulan ke depan. Pendanaan, jika dibutuhkan, akan disesuaikan dengan arahan perusahaan untuk mendukung growth, baik sisi organik maupun anorganik. Anorganik dalam hal ini berbentuk M&A.

Bukalapak disebut telah mencoba melakukan use case skenario ini tahun lalu. Hasilnya perusahaan hanya tumbuh 100%, sementara saat ini mereka tumbuh sebanyak 200%. Teddy memastikan mereka sudah menyiapkan cost structure untuk memastikan semua skenario bisa terpenuhi.

Terkait IPO, ia menyebutkan, “Apakah kita [Bukalapak] pasti IPO? Pasti IPO. Kapan? When we are ready. [..] Kalau kita sudah IPO, publik akan mendengarkan soal [skema bisnis] O2O dua tahun yang lalu, bukan dua bulan yang lalu, karena itu menjadi kewajiban untuk disclose informasi. Itu yang bikin repot, sedangkan industri kita gerilyanya masih banyak. Inovasi kan kalau sudah mapan [artinya] bagus, kalau masih uji coba dan tiba-tiba ada yang berkompetisi, inovasinya malah tidak jadi. Sama-sama rugi karena [bisa] terjebak price war dan sebagainya.”

“Kita akan IPO ketika kita bisa men-deploy inovasi kita dengan yakin [mampu berkompetisi] setiap kali ada kompetitor.”

Mengunggulkan O2O

Skema bisnis berbasis O2O yang sudah dijalankan sejak dua tahun lalu kini menyumbang 20% GMV bagi perusahaan. Teddy menampik bahwa skema ini mengganggu skema distribusi tradisional. Justru ia mengklaim perusahaan distributor FMCG berlomba-lomba untuk bermitra dengan Bukalapak.

“Mereka bekerja sama karena information flow yang Bukalapak punya [untuk penyaluran distribusi] akurat. Mereka bisa menjalankan kapasitas operasional secara optimal [berdasarkan data distribusi tersebut] dengan cost yang lebih rendah. Itulah mengapa banyak distributor talking to us. Actually we are empowering the distributor, not disrupting.”

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak “Acquires” Prelo’s Talents and Technology

Bukalapak has taken a strategic step this year by performing acquihire acquiring Prelo’s talents and technology. We’ve been informed that Fransiska Hadiwidjana, Prelo’s Founder, is now Bukalapak’s Head of Business.

There’s no further information following this strategic step, whether Prelo will be closed or keep running independently. Prelo’s operation is still active by the time this article is published.

Teddy Oetomo, Bukalapak’s Chief Strategy Officer, confirmed to DailySocial, “Bukalapak didn’t acquire Prelo, we only acquire the talents with unique and special skills according to Bukalapak’s requirements.”

“Sorry, we can’t share the further plan or strategy just yet,” he said.

This isn’t Bukalapak’s first acquisition or acquihire. Previously, M. Fajrin Rasyid, Bukalapak’s Co-Founder and President, explained that they had begun to acquire several software houses (in terms of acquihire).

On the occasion, he said the company is on progress to explore the acquisition of e-commerce players which already synergised and Prelo was one of the first target. Prelo and Bukalapak have similar C2C market segment.

Prelo is a marketplace for pre-loved or secondhand items. Prelo is based in Bandung and Bukalapak has already opening R&D center in the region.

Update: Bukalapak insists the correct term is “a creative scheme to acquire Prelo’s talents and technology”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Lakukan “Akuisisi Terhadap Talenta dan Teknologi” Prelo

Layanan marketplace Bukalapak melakukan langkah strategisnya tahun ini dengan melakukan acquihire “akuisisi terhadap talenta dan teknologi” Prelo. Informasi yang kami peroleh memastikan Founder Prelo Fransiska Hadiwidjana kini menjadi Head of Business Bukalapak.

Belum ada informasi lebih lanjut tentang nasib Prelo sebagai bisnis pasca langkah strategis ini, apakah akan ditutup atau tetap berjalan secara independen. Juga siapa saja talenta yang mengikuti jejak Fransiska. Saat tulisan ini dimuat, situs Prelo masih aktif beroperasi.

Kepada DailySocial, Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo mengonfirmasi, “Bukalapak tidak mengakuisisi Prelo, namun kami hanya mengakuisisi talenta-talenta dari Prelo yang memiliki talenta unik  dan istimewa yang sesuai dengan kebutuhan Bukalapak.”

“Mohon maaf terkait rencana maupun strategi ke depan kami belum bisa share,” ujarnya.

Ini bukanlah skema akuisisi atau acquihire pertama yang dilakukan Bukalapak. Sebelumnya Co-Founder dan President Bukalapak M. Fajrin Rasyid menjelaskan bahwa pihaknya sudah mulai melakukan akuisisi terhadap beberapa software house.

Di kesempatan tersebut Fajrin menyebutkan, pihaknya tengah dalam tahap penjajakan akuisisi terhadap pemain e-commerce yang bersinergi dengan perusahaan dan tampaknya Prelo yang menjadi sasaran pertamanya. Prelo dan Bukalapak memiliki segmen pasar yang beririsan sebagai marketplace C2C.

Prelo merupakan marketplace yang memiliki semangat memerangi barang palsu dengan menghadirkan platform jual beli barang-barang pre-loved atau barang tangan kedua. Prelo berbasis di Bandung dan kebetulan tahun ini Bukalapak membuka pusat R&D baru di Kota Kembang ini.

Update: Bukalapak bersikukuh langkah yang diambil bukan merupakan akuisisi atau acquihire, melainkan “skema kreatif” untuk mengakuisisi talenta dan teknologi Prelo

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Mengungkap Layanan E-Commerce Terpopuler di Indonesia

Melati sering berbelanja secara online. Untuk keperluan pribadi, terutama membeli aksesoris smartphone, grocery, dan lainnya ia mempercayai layanan asal Tiongkok, JD.id. Alasannya cukup sederhana, ia percaya dengan tagline #Dijaminori, yaitu hanya menjual produk original. Soal harga atau cepatnya pengiriman ternyata bukan menjadi pilihan pertama.

Di sisi lain, bagi Adel, bebas ongkos kirim justru menjadi pemicu utama. Tak heran jika ia memilih Shopee Indonesia sebagai layanan e-commerce favorit.

Semua alasan tersebut mengerucut pada bagaimana layanan e-commerce menangkap kebutuhan dan keinginan konsumen. Tidak lagi tergoda dengan diskon atau promo, konsumen lebih mencari kepuasan personal, karena dimudahkan untuk membeli produk yang diinginkan.

Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee melesat

iPrice Group, pengusung layanan metasearch engine yang beroperasi di Asia Tenggara, baru-baru ini menghadirkan The Map of E-commerce Indonesia yang mengupas peta layanan e-commerce berdasarkan average quarterly traffic, mobile application ranking, social media followers dan jumlah pegawai. Hasil data terkini berdasarkan data Q2 2018.

Hal menarik yang menjadi highlight adalah melajunya Tokopedia dan Bukalapak sebagai layanan e-commerce dengan traffic tertinggi, di atas Lazada yang selama ini merajai pasar Asia Tenggara. Memang metrik yang digunakan hanya menghitung traffic di browser (desktop dan mobile) dan tidak menghitung penggunaan aplikasi, tetapi data ini menunjukkan pergeseran tentang bagaimana konsumen Indonesia memilih layanan e-commerce favoritnya.

Statistik kunjungan dan ranking aplikasi mobile untuk e-commerce Indonesia
Statistik kunjungan dan ranking aplikasi mobile untuk e-commerce Indonesia

Kepada DailySocial, Head of Corporate Communications Tokopedia Priscilla Anais mengungkapkan, Tokopedia dikunjungi lebih dari 73 juta masyarakat (unique visit) Indonesia per bulannya (situs dan aplikasi), dengan total kunjungan dalam sebulan mencapai 332 juta (total visit), pada bulan Mei 2018.

Hal menarik yang menjadikan Tokopedia mengalami lonjakan pengunjung di kuartal kedua 2018 adalah festival belanja online Ramadhan Ekstra. Program ini menghadirkan ratusan produk eksklusif, flash sale, dan potongan harga yang sangat menarik untuk berbagai kebutuhan Ramadhan.

Disebutkan penggunaan layanan Tokopedia 80% berbasiskan mobile, sejalan dengan perilaku konsumen Indonesia yang mobile first dan harga smartphone yang semakin terjangkau.

Sementara Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo, kepada DailySocial, mengungkapkan, pihak Bukalapak tidak dapat membenarkan atau menyalahkan hasil perhitungan iPrice tersebut.

Teddy merinci, berdasarkan data yang dimiliki Bukalapak, traffic di Q2 2018 naik hampir 3 kali lipat dibandingkan Q2 2017, sementara jumlah active user meningkat hingga 2 kali lipat. Sepanjang Q2 2018, Bukalapak mencatat jumlah pengguna terbanyak menggunakan platform Android, disusul mobile web dan desktop.

Informasi enam layanan e-commerce terbesar di Indonesia
Informasi enam layanan e-commerce terbesar di Indonesia

Hal yang tak kalah menarik adalah berjayanya Shopee sebagai layanan yang menduduki posisi pertama di ranah aplikasi mobile, baik untuk Android maupun iOS. Angka ini cukup mengejutkan, mengingat Shopee baru tiga tahun hadir bersaing di Indonesia.

Country Brand Manager Shopee Indonesia Rezki Yanuar kepada DailySocial mengatakan, sesuai data yang dikumpulkan iPrice, Shopee selama ini fokus kepada inovasi aplikasi mobile. Menurut data yang dikumpulkan Shopee, saat ini Shopee telah diunduh lebih dari 61 juta kali dengan rata-rata tiap bulannya mencapai 110 juta kunjungan. Lebih dari 95% pengguna Shopee melakukan transaksi melalui smartphone.

Survei ke masyarakat

Untuk mendukung data ini, DailySocial melakukan survei, bekerja sama dengan JakPat, untuk mengetahui layanan e-commerce favorit versi responden. Survei dilakukan terhadap 2026 responden di seluruh Indonesia.

Berdasarkan survei ini, Shopee ternyata menjadi layanan e-commerce yang paling sering digunakan oleh responden (34%). Posisi berikutnya berturut-turut diikuti Tokopedia (28%), Bukalapak (17,5%) dan Lazada (14%). Blibli menduduki posisi juru kunci dalam hal popularitas di masyarakat.

Berdasarkan survei DailySocial dan JakPat, Shopee kini jadi layanan e-commerce terpopuler
Berdasarkan survei DailySocial dan JakPat, Shopee kini jadi layanan e-commerce terpopuler

 

Lebih lanjut, hasil survei ini mengungkapkan bahwa sebuah layanan e-commerce dianggap favorit dengan alasan harga yang lebih terjangkau (31%), promo diskon (26%), variasi pilihan produk (19%), dan pengiriman gratis (15%).

Urusan harga masih jadi faktor penting yang mendorong preferensi layanan e-commerce
Urusan harga masih jadi faktor penting yang mendorong preferensi layanan e-commerce

Potensi masa depan

Studi McKinsey pada tahun 2016 memprediksi bahwa di tahun 2025 dampak ekonomi digital bagi Indonesia bisa meningkatkan GDP hingga $35 miliar dan menambah 3,7 juta lapangan pekerjaan baru.

Menurut Ketua Umum idEA Ignatius Untung, ke depannya persaingan antara layanan e-commerce akan semakin sengit. Dibutuhkan dana yang besar agar bisnis bisa berjalan. Mereka yang tidak memiliki strategi akan terancam merger, diakuisisi atau terpaksa gulung tikar. E-commerce yang masih berusaha mencari dan membangun pembeli yang loyal dengan memberikan harga murah, akan mengalami kesulitan.

Dari enam besar pemain industri ini, tiga layanan e-commerce di Indonesia memiliki investor yang terafiliasi dengan Alibaba, yaitu Lazada (akuisisi penuh), Tokopedia, dan Bukalapak (melalui Ant Financial). Sementara dua layanan lainnya terafiliasi dengan Tencent, yaitu Shopee dan JD.id. Hanya Blibli yang murni dimiliki konglomerasi lokal melalui GDP Venture.

“Karena pada akhirnya produk yang dijual sama, hari ini brand A bisa lebih murah, tapi hari lain bisa gantian. Untuk itu kemungkinan pemain akan mulai fokus ke area yg lebih unik. Tidak cuma sekedar asal lebih murah, karena semua juga bisa murah dengan promo,” kata Untung.

Bareksa Incar Investor Strategis Baru Tahun Depan

Marketplace reksa dana Bareksa mengungkapkan sedang mencari investor strategis baru untuk pendanaan lanjutan, sebagai upaya mendukung bisnis perusahaan. Rencananya, perusahaan akan mengumumkan identitas investor tersebut pada kuartal II tahun depan.

Hanya saja yang sedikit berbeda, Bareksa tidak sekadar mencari investor untuk dukung pendanaan saja. Melainkan untuk mengnyinergikan Bareksa dengan sumber daya yang dimiliki calon investor tersebut.

“Tahun depan kami berencana mencari investor strategis, ada yang dari asing dan lokal, ada juga yang dari Tiongkok. Kemungkinan kuartal II tahun depan akan diumumkan,” terang Presiden Direktur Bareksa Karaniya Dharmasaputra, Rabu (18/10).

Nantinya, dengan jaringan yang dimiliki investor strategis diharapkan dapat membantu perusahaan menembus pasar tak hanya nasional, tapi juga regional.

Karaniya tidak hanya mengungkapkan rencana mencari investor strategis, tetapi juga pertimbangan untuk melantai di BEI. Menurutnya, rencana itu memang telah menjadi pertimbangan perusahaan sejak pertama kali berdiri. Hanya saja, dia tidak mengungkapkan kapan rencana tersebut akan direalisasikan.

“IPO itu memang telah menjadi pertimbangan untuk mendapatkan tambahan dana segar sejak pertama kali kami berdiri. Namun kami lebih mendahulukan rencana untuk ekspansi ke regional dengan bantuan jaringan investor strategis.”

Pada April 2017, Bareksa memperoleh sejumlah dana segar dengan nilai yang tidak disebutkan dari salah satu pemegang saham DOKU, yakni PT Gemilang Dana Sentosa lewat skema right issue. Investor tersebut menguasai 20% saham Bareksa dari total keseluruhan saham.

Pendanaan tersebut merupakan pertama kalinya perusahaan meraup dana dari eksternal sejak dua tahun berdiri. Sebelumnya perusahaan menggunakan dana sendiri untuk proses bisnisnya.

Schroder ikut memasarkan produk reksa dana di Bareksa

Dalam kesempatan yang sama, Bareksa juga mengumumkan bergabungnya Schroder Investment Management Indonesia sebagai perusahaan aset manajemen ke 29 yang berjualan reksa dana secara online. Untuk tahap awal, Schroder memasarkan tujuh produknya, diantaranya adalah jenis pasar uang, pendapatan tetap, dan campuran.

Adapun nama produknya a.l Reksa Dana Schroder Dana Likuid, Reksa Dana Schroder Dana Kombinasi, Reksa Dana Schroder Dana Terpadu II, Reksa Dana Schroder Dana Mantap Plus II, Reksa Dana Schroder Dana Andalan II, Reksa Dana Syariah Balanced Fund, dan Reksa Dana Schroder Dynamic Balanced Fund.

Produk tersebut dipilih lantaran perusahaan mempertimbangkan aspek profil risikonya yang rendah, lantaran pemasaran lewat online lebih menyasar untuk nasabah pemula dibandingkan investor profesional.

“Indonesia adalah negara kepulauan yang luas sehingga sulit memasarkan produk reksa dana jika memasarkan dengan mendatangi satu per satu. Oleh karena itu, kami perlebar jaringan dengan platform online,” tutur Head of Intermediary Business Schroders Indonesia Teddy Oetomo.

Schroder merupakan manajer investasi terbesar di Indonesia dengan dana kelolaan sebesar Rp83,52 triliun per kuartal III 2017. Bergabungnya Schroder, turut menambah daftar total produk reksa dana yang dipasarkan di Bareksa sebanyak 128 produk, setara dengan 20% dari produk reksa dana secara nasional.

Ditargetkan sampai akhir tahun ini, akan ada tambahan satu perusahaan manajer investasi lainnya yang bergabung yaitu Manulife Asset Management Indonesia (MAMI).

Karaniya menargetkan sampai tahun depan dapat menambah sekitar 10-20 perusahaan baru sebagai mitra. Sehingga total akhir perusahaan yang memasarkan produk di Bareksa dapat mencapai 40-50 perusahaan.

“Kami akan tetap selektif dalam memilih produk reksa dana karena tidak semuanya berkinerja baik.”

Perusahaan juga menargetkan sampai tahun dapat dapat menyalurkan dana yang diinvestasikan sebesar Rp1 triliun, saat ini posisinya telah mencapai lebih dari Rp350 miliar dengan jumlah nasabah lebih dari 52 ribu orang.