Agresif Ekspansi dan Transformasi Jaringan, Hutchison 3 Indonesia Bersiap Gelar 5G

Di paparan studi ITB tahun lalu, layanan 5G diperkirakan komersial secara penuh paling cepat pada akhir 2021. Salah satu operator memang telah meluncurkan layanan 5G baru-baru ini, tetapi penggunaannya masih terbatas pada cakupan kota dan perangkat tertentu.

Pemerintah juga sebetulnya masih memiliki banyak PR untuk mengakomodasi kebutuhan operator telekomunikasi dalam menggelar 5G. Sembari menanti hal ini terealisasi, operator sudah mulai mempersiapkan infrastruktur jaringannya untuk menyambut teknologi telekomunikasi generasi kelima tersebut.

Di antaranya adalah PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) yang tengah mentransformasikan jaringannya selama beberapa tahun terakhir. Chief Technical Officer H3I Desmond Cheung memamparkan rencana ekspansi jaringan dan pandangan lebih dalam terkait 5G secara eksklusif dengan DailySocial.

Ekspansi jaringan berkelanjutan

Meski telah komersial sejak 2014, penetrasi 4G baru mencapai 73% pada 2019 sebagaimana dilaporkan Katadata. Kondisi geografis Indonesia masih menjadi salah satu tantangan terbesar. Namun, operator telekomunikasi harus dapat memenuhi kebutuhan jaringan seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna smartphone. Kemkominfo mencatat penetrasi smartphone mencapai 89% atau 167 juta dari total populasi Indonesia.

Desmond mengungkapkan, sejak 2019 pihaknya telah menambah jaringan 4G hingga dua kali lipat. Penambahan ini sudah termasuk perluasan cakupan jaringan ke wilayah luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah. Bahkan baru-baru ini, H3I juga menambah lebih dari 200 hotspot di Jabodetabek, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara.

Awal tahun ini, ungkapnya, H3I telah mengomersialisasikan jaringan seluler di Sulawesi Tengah yang disebut dapat menjangkau sebanyak 1,5 juta populasi di lima kota dan kabupaten, seperti Palu, Sigi, Donggala, Parigi, Moutong, dan Poso. Saat ini, pihaknya tengah fokus menyelesaikan rollout jaringan 4G di 70 desa pada akhir Oktober.

H3I telah menjangkau sebanyak 80% dari total populasi Indonesia. Per Desember 2020, H3I tercatat sudah membangun lebih dari 44.000 BTS 4G di seluruh Indonesia. Sementara, per Maret 2021 H3I telah memiliki sebanyak 39,8 juta pengguna.

“Kami terus mengembangkan BTS 4G untuk menyediakan konektivitas broadband di daerah terpencil dan kepulauan Indonesia. Ini adalah salah satu komitmen kami mendukung program pemerintah untuk mengakselerasi transformasi digital di daerah 3T. Kami akan terus memperkuat kapasitas jaringan kami di daerah dense dan yang memiliki trafik tinggi,” jelasnya.

Transformasi jaringan untuk kesiapan 5G

Meski belum ada ketok palu mengenai penetapan frekuensi 5G dan aturan turunannya, operator sudah mulai melakukan mentransformasikan infrastruktur jaringannya. Desmond mengungkap bahwa H3I juga telah melakukan transformasi besar-besaran sembari menanti komersialisasi 5G secara serentak.

“Kami melakukan peningkatan jaringan pada Core, lalu mentransformasikan jaringan PS Core ke Control and User Plane Separation (CUPS) pada arsitektur jaringan terdistribusi kami. Transformasi ini dilakukan untuk lebih jauh memperpendek latensi 5G,” jelasnya.

Selain itu, pihaknya juga melakukan transformasi pada jaringan Transport dengan Segment Routing IPv6. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan jaringan protokol, mengotomatisasi ketersediaan layanan, hingga meningkatkan konsistensi jaringan sehingga dapat memenuhi permintaan kapasitas tinggi di 5G sebagai Ultra-Reliable Low Latency Services (URLLC).

Menurut Desmond, pihaknya berupaya secara efisien untuk melayani permintaan layanan data dengan ketersediaan spektrum saat ini. Pihaknya mengoptimalkan spektrum yang ada untuk meningkatkan kapasitas jaringan. Desmond mengklaim H3I sebagai operator seluler yang memiliki tingkat efisiensi penggunaan spektrum tertinggi dibanding operator seluler lainnya di Indonesia.

Hanya saja, spektrum yang ada belum cukup untuk menggelar 5G. Untuk dapat memberikan kecepatan data 5G, teknologi ini membutuhkan bandwith lebih besar dari spektrum baru. Maka itu, ketersediaan spektrum 5G baru, terutama di 3.500MHz yang dipilih sebagai frekuensi emas, sangat penting untuk mempercepat pengembangan 5G di Indonesia

“Sebelum frekuensi emas ini mendapatkan lisensi resmi untuk 5G, kami akan terus mentransformasikan jaringan kami untuk kesiapan 5G sehingga nantinya akan menjadi salah satu operator yang lebih dulu memimpin penyelenggaraan 5G,” papar Desmond.

Dukungan pemerintah pada penyelenggaraan 5G

Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, 5G diyakini dapat mentransformasikan berbagai aspek kehidupan, mulai dari kegiatan sehari-hari, bisnis, hingga cara industri beroperasi. Hal ini karena teknologi 5G mampu menghubungkan jutaan perangkat dengan kecepatan tinggi dan latensi rendah yang dimilikinya.

Desmond menilai operator seluler punya peluang untuk menghadirkan Enhanced Mobile Broadband (eMBB) untuk pasar consumer. Bentuk pemanfaatannya, misalnya, adalah layanan VR/AR dan video streaming 8K. Dengan berbagai use case ini, operator dapat menghasilkan sumber pendapatan baru dari segmen pasar baru, yaitu korporat dan industrial.

“5G akan menjadi enabler bagi sektor manufaktur, kesehatan, agrikultur, atau pendidikan. Tak hanya itu, 5G dapat dimanfaatkan untuk mengadopsi smart city di ranah transportasi, keamanan publik, dan pelayanan publik. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, jarak menjadi tantangan besar dan 5G bisa mengatasi tantangan itu,” jelasnya.

Kendati demikian, dari segala asas manfaat yang diberikan, tak dimungkiri implementasi 5G membutuhkan banyak pertimbangan. Pertama, soal besarnya investasi yang dikeluarkan. Menurutnya, banyak infrastruktur jaringan yang harus dibangun dan beberapa elemen jaringan harus di-upgrade. Maka itu, menurunkan elemen pada biaya pembangunan akan membantu operator telekomunikasi untuk mengakselerasi pembangunan 5G.

“Pemerintah punya peran besar untuk mengatasi isu ini. Melalui UU Cipta Kerja, dan ini adalah regulasi turunan, pemerintah telah memberikan dukungan untuk menciptakan efisiensi di industri telekomunikasi. Regulasi ini dapat mengizinkan berbagi jaringan di antara operator seluler, termasuk berbagi infrastruktur pasif dan aktif, serta transfer spektrum,” ujar Desmond.

Selain UU Cipta Kerja, Desmond juga menilai bahwa pemerintah sebetulnya dapat membantu lebih banyak memfasilitasi operator seluler dan industri dalam memahami kebutuhan pasar 5G. Menurutnya, upaya ini akan sangat dibutuhkan alih-alih cenderung banyak mempromosikan 5G dengan berbagai use case bermanfaat, seperti telemedicine atau smart farming.

“Demi membantu industri seluler melakukan kick start di 5G, pemerintah mungkin dapat mempertimbangkan untuk menurunkan biaya spektrum 5G. Hal ini terutama pada tahap awal selama beberapa tahun ke depan ketika demand 5G belum besar. 5G akan membutuhkan peningkatan signifikan pada kapasitas transport dan aspek infrastruktur jaringan lainnya. Artinya, license fee mungkin dapat diubah tanpa membebankan industri,” tambahnya.

Belum lagi bicara kesiapan kesiapan ekosistem yang menjadi kunci utama untuk membuat 5G lebih accessible untuk siapapun, baik consumer maupun enterprise. Ekosistem 5G akan selalu dikaitkan pada ketersediaan perangkat dan aplikasi untuk penggunaan berbagai macam use case. Desmond menekankan pentingnya kerja sama dari para pemangku kepentingan di berbagai level dan lintas industri untuk mengawal pengembangan ekosistem 5G dari awal.

“Tak cuma operator dan dukungan pemerintah, pengembangan 5G butuh kerja sama yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pabrik manufaktur perangkat, pengembang software, hingga penyedia konten. Pemerintah sudah meletakkan pondasi yang bagus untuk mengakselerasi pengembangan infrastruktur broadband. Kami yakin ini dapat menekan gap digital dan konektivitas di Indonesia.”

Qlue Mendapat Investasi dari Perusahaan Telekomunikasi Jepang KDDI

Bertujuan untuk mendorong transformasi digital di pasar Asia Tenggara, khususnya Indonesia, KDDI yang dikenal sebagai perusahaan telekomunikasi Jepang mengumumkan investasinya kepada pengembang platform smart city Qlue. Keduanya akan mengintegrasikan berbagai platform yang dikembangkan Qlue dengan basis bisnis KDDI di Asia Tenggara, termasuk layanan infrastruktur teknologi yang dimiliki.

Tidak disebutkan nominal investasi yang diberikan. Pendanaan ini diberikan melalui KDDI Open Innovation Fund III, yakni dana ventura perusahaan yang difokuskan untuk mendukung berbagai startup di bidang hiburan, IoT, big data, dan fintech. Total dana kelolaannya mencapai 20 miliar yen atau setara 260 miliar Rupiah; dan telah diinvestasikan kepada 92 startup.

KDDI sendiri sebenarnya juga sudah memiliki unit di Jakarta, melalui PT KDDI Indonesia. Segmen bisnis mereka di kalangan B2B, B2B2X, dan B2G di berbagai bidang.

Salah satu fokus Qlue di Indonesia saat ini masih membantu digitalisasi layanan pemerintahan di berbagai kota. Teranyar pada April 2021 lalu, perusahaan mengumumkan telah mengimplementasikan solusi smart city yang dimiliki di Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Berbagai solusi baru juga diluncurkan, termasuk rangkaian alat untuk membantu organisasi mendisiplinkan protokol kesehatan di tengah pandemi.

Solusi Qlue saat ini terdiri dari QlueApp (aplikasi pelaporan warga), QlueVision (analisis video CCTV berbasis kecerdasan buatan), QlueWork (mobile workforce management), QlueDashboard (platform visualisasi data), QlueSense (solusi produk berbasis IoT), dan QlueThermal (solusi pemindai suhu tubuh dan penggunaan masker otomatis).

Dalam sebuah kesempatan, Founder & CEO Qlue RaMa Raditya mengatakan, pada tahun 2020 bisnis mereka mencatatkan pertumbuhan 70% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini didorong meningkatnya antusias digitalisasi dan pemanfaatan solusi smart city di Indonesia.

Sejauh ini sudah ada sekitar 120 kota/kabupaten yang memanfaatkan solusi Qlue. Beberapa solusi mereka juga telah diimplementasikan klien dari luar negeri, termasuk di Singapura, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, Rusia, Australia, dua negara di benua Eropa, dan empat negara di benua Amerika. Klien Qlue datang dari sektor pemerintah dengan komposisi 70% dan sisanya swasta 30%.

Application Information Will Show Up Here

Telkomsel Uji Laik Operasi 5G, Siapkan Ekosistem Layanan Menyeluruh

PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) mulai melaksanakan Uji Laik Operasi (ULO) untuk implementasi teknologi 5G. Telkomsel menyebut sebagai operator telekomunikasi pertama yang melakukan ULO 5G di Indonesia.

Dalam keterangan tertulisnya, Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait ULO tersebut.

“Kami ingin memastikan agar implementasi 5G tidak hanya dapat dilakukan dalam waktu dekat, tetapi juga dapat dilakukan sesuai regulasi dan memberikan manfaat optimal bagi semua lapisan masyarakat,” ujar Setyanto.

Sebagaimana diketahui, ULO merupakan salah satu persyaratan yang dipenuhi untuk mengimplementasi teknologi baru. Persyaratan telah diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi.

ULO dilaksanakan dalam rangka menguji seluruh sarana dan prasarana yang telah selesai dibangun. Tujuannya adalah memastikan bahwa perangkat dan semua aspek layanan (produk, kualitas, tarif, hingga pra dan purna jual) siap dioperasikan serta tidak merugikan konsumen ke depan.

Mengutip Kompas.com, Menkominfo Johnny G. Plate mengungkap, Telkomsel akan mengomersialisasikan 5G di enam lokasi residensial di Jakarta dan sekitarnya untuk tahap awal. Keenam lokasi ini antara lain Kelapa Gading, Pondok Indah, PIK, BSD, Widya Chandra, dan Alam Sutera.

Menyiapkan ekosistem menyeluruh

Lebih lanjut, Setyanto menyebutkan pihaknya telah mempersiapkan komersialisasi 5G selama empat tahun terakhir, mulai dari membangun pengetahuan tentang 5G, mengembangkan talenta, dan menyiapkan rencana komprehensif untuk menghadirkan 5G ke Indonesia.

Menurutnya, hal ini perlu dipersiapkan secara matang mengingat komersialisasi 5G bergantung pada ekosistem menyeluruh. Telkomsel menyebut telah berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan mulai dari mitra penyedia infrastruktur dan teknologi, penyedia perangkat, platform aplikasi, dan pemerintah selaku pemegang otoritas dari ketersediaan frekuensi.

Salah satu kolaborasi besar yang tengah dipersiapkan Telkomsel adalah melalui investasinya ke Gojek senilai $150 juta atau setara Rp2,1 triliun pada akhir 2020. Aksi korporasi ini kembali berlanjut di mana Telkomsel kembali menambah investasi kedua dengan nilai yang lebih besar, yaitu $300 juta atau Rp4,3 triliun pada awal Mei ini.

Upaya ini menjadi strategi kunci Telkomsel untuk memperkuat trifecta bisnis digital perusahaan, yaitu Digital Connectivity, Digital Platform, dan Digital Services. Dengan ekosistem besar milik Gojek Group, kedua perusahaan sepakat untuk memperkuat layanan digital dan mendorong inovasi dan produk baru.

“Nantinya, layanan 5G kami tidak hanya untuk segmen consumer, tetapi juga untuk B2B dan UMKM. Kami harap 5G dapat memberdayakan segmen consumer untuk mengubah cara kerja, hidup, dan menikmati hiburan berbasis digital,” paparnya.

Di segmen B2B, Telkomsel akan menghadirkan layanan 5G untuk mengubah bisnis lewat teknologi Artificial Intelligence (AI) dan Mixed Reality (MR). Setyanto menambahkan bahwa 5G akan meningkatkan produktivitas yang lebih tinggi dan inovasi lebih besar.

Menang lelang frekuensi

Di saat bersamaan, Telkomsel juga mengumumkan secara resmi tentang penetapannya sebagai pemenang seleksi spektrum 2,3GHz. Penetapan ini sesuai dengan Keputusan Kemkominfo untuk Keperluan Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler Tahun 2021.

Telkomsel mendapatkan tambahan pita frekuensi selebar 20MHz di spektrum tersebut. Dengan demikian, komposisi lisensi frekuensi yang dimiliki Telkomsel antara lain total 50MHz di spektrum 2,3GHz (30MHz untuk alokasi penggunaan nasional dan 20MHz untuk alokasi per zona/bukan nasional), sebesar 15MHz di 2,1GHz, lalu 22,5MHz di 1,8GHz, dan 15MHz di spektrum 800/900MHz.

Kendati demikian, beberapa pihak sempat mempertanyakan ULO ini mengingat pemerintah belum menerbitkan payung hukum tentang penyelenggaraan 5G. Adapun, Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam studinya memperkirakan jaringan 5G di Indonesia baru dapat dirilis secara komersial paling cepat pada akhir 2021.

Konsultan PT LAPI ITB Ivan Samuels mengatakan, perkiraan ini berdasarkan dua skenario, yakni (1) skenario dasar dengan asumsi spektrum kunci 5G dapat dirilis dari 2021-2023; dan (2) skenario agresif dengan asumsi seluruh spektrum 5G dapat tersedia di akhir 2021.

Application Information Will Show Up Here

Telkomsel Channels Follow-on Funding to Gojek Worth 4.3 Trillion Rupiah

Telkomsel today (5/10) announced follow-on funding to Gojek worth $300 million or equivalent to 4.3 trillion Rupiah. In fact, this act has been discussed since last April, carried by a statement from its President Director, Setyanto Hantoro.

Previously, Telkomsel’s first batch for Gojek was announced in November 2020. Then, the value given has reached $150 million (equivalent to Rp2.1 trillion).

In the official release, it is said that both companies signaled this investment as a momentum to strengthen and deepen collaboration for comprehensive digital services and more innovative solutions.

It is also mentioned taht this strategic investment action was supported by Telkomsel’s shareholders, Telkom Indonesia and the Singtel Group.

“[..] Telkomsel is optimistic that the latest investment will open up more opportunities for the public to see and make use of more advanced local-produced technology-based innovations,” Setyanto said.

He continued, this corporate action is part of Telkomsel’s strategy in strengthening the trifecta of the company’s digital business, Digital Connectivity, Digital Platform, and Digital Services.

Since the first injection, several joint initiatives that have been successfully initiated by the two companies include: (1) integration of Telkomsel MyAds with GoBiz; (2) Gojek partners can become Telkomsel reseller partners through DigiPOS; (3) special data packages for driver partners on GoPartner and MyTelkomsel; (4) Telkomsel partners in the GoShop application; and (5) collaboration between Telkomsel Dunia Games and Gopay.

“[..] Telkomsel’s follow-on funding will clearly optimize the resources and technology expertise of each company to innovate and expand the benefits of the digital economy for more consumers, driver partners, and MSME players throughout Indonesia. We are both confident and committed that this partnership will support the acceleration of Indonesia’s digital transformation which will strengthen Indonesia’s position as the leader of the digital economy market in Southeast Asia,” Gojek Group’s Co-CEO, Andre Soelistyo explained.

Telkomsel’s entrance amidst the merger finalization news of Gojek and Tokopedia –  the joint company is rumored to go public on the stock exchange soon. It’s indeed create a strategic value for Telkomsel as a shareholder, especially since both startups are currently the market leaders [local] in its respective segments.

Meanwhile, Telkomsel and Gojek have crossed paths several times [indirectly]. First, when Gojek announced its investment in the LinkAja payment platform through series B round in early March. It is known that the LinkAja’s root was Tcash service which was previously developed by Telkomsel – Telkom Group and some SOE shareholders.

Second, Telkomsel, through its investment arm, Telkomsel Mitra Inovasi, recently participated in Halodoc’s series C funding worth 1.1 trillion Rupiah. Gojek is an early investor of this healthtech service.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Telkomsel Umumkan Investasi Tambahan ke Gojek Senilai 4,3 Triliun Rupiah

Telkomsel hari ini (10/5) mengumumkan investasi lanjutannya ke Gojek senilai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Sebenarnya rencana ini sudah mulai ramai diperbincangkan sejak April lalu, berbekal pernyataan Direktur Utama Setyanto Hantoro.

Sebelumnya pada November 2020, suntikan pertama Telkomsel ke Gojek diumumkan. Kala itu nilai yang diberikan mencapai $150 juta (setara Rp2,1 triliun).

Dalam rilis resminya dikatakan, kedua perusahaan memaknai investasi lanjutan ini sebagai momentum untuk memperkuat dan memperdalam kolaborasi dalam menghadirkan layanan digital komprehensif serta melahirkan lebih banyak solusi inovatif.

Turut disampaikan, aksi investasi strategis lanjutan ini didukung oleh para pemegang saham Telkomsel yaitu Telkom Indonesia dan Singtel Group.

“[..] Telkomsel menatap optimis upaya penanaman modal terbaru ini akan membuka lebih banyak peluang bagi masyarakat untuk melihat dan menikmati lebih banyak inovasi berbasis teknologi terdepan karya anak bangsa,” ujar Setyanto.

Ia melanjutkan, bahwa aksi korporasi ini merupakan bagian dari strategi Telkomsel dalam memperkuat trifecta bisnis digital perusahaan, yaitu Digital Connectivity, Digital Platform, dan Digital Services.

Sejak investasi pertama digulirkan, beberapa  inisiatif bersama yang berhasil dilakukan kedua perusahaan di antaranya: (1) integrasi Telkomsel MyAds dengan GoBiz; (2) mitra Gojek bisa menjadi mitra reseller Telkomsel melalui DigiPOS; (3) paket data khusus mitra pengemudi di GoPartner dan MyTelkomsel; (4) mitra Telkomsel di aplikasi GoShop; dan (5) kolaborasi Telkomsel Dunia Games dengan Gopay.

“[..] Pendanaan lanjutan Telkomsel jelas akan mengoptimalkan sumber daya dan keahlian teknologi dari masing-masing perusahaan untuk berinovasi dan memperluas manfaat ekonomi digital bagi lebih banyak konsumen, mitra pengemudi, dan pelaku UMKM di seluruh Indonesia. Kami percaya sekaligus berkomitmen bahwa kemitraan ini akan mendukung percepatan transformasi digital Indonesia yang akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin pasar ekonomi digital di Asia Tenggara,” terang Co-CEO Gojek Group Andre Soelistyo.

Masuknya investasi Telkomsel di tengah kabar finalisasi merger antara Gojek dan Tokopedia – untuk selanjutnya perusahaan gabungan dirumorkan segera melenggang ke bursa. Tentu menjadikan nilai strategis tersendiri bagi Telkomsel sebagai shareholder, terlebih kedua startup tersebut kini menjadi pemimpin pasar [lokal] di masing-masing segmen.

Sementara itu ada beberapa irisan hubungan antara Telkomsel-Gojek yang telah dijalin [secara tidak langsung]. Pertama, awal Maret lalu Gojek mengumumkan investasinya ke platform pembayaran LinkAja dalam putaran seri B. Diketahui bahwa cikal-bakal LinkAja adalah layanan Tcash yang sebelumnya dikembangkan oleh unit dari Telkomsel – Telkom Group dan sejumlah BUMN memiliki saham di dalamnya.

Kedua, Telkomsel melalui unit venturanya Telkomsel Mitra Inovasi baru-baru ini turut berpartisipasi dalam pendanaan seri C Halodoc senilai 1,1 triliun Rupiah. Gojek adalah investor awal dari layanan healthtech tersebut.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Kolaborasi Hadirkan Dampak Positif, Telkomsel Segera Tambah Investasi 4,3 Triliun Rupiah ke Gojek

Setelah mengumumkan investasinya senilai $150 juta pada November 2020 lalu ke decacorn Gojek, Telkomsel berencana kembali menyuntikkan dana senilai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Utama Setyanto Hantoro seperti diberitakan Reuters.

Ia mengatakan, perusahaan memang mencanangkan untuk berinvestasi hingga $450 juta di Gojek; dan akan dirampungkan dalam waktu satu tahun setelah investasi perdananya. Pemberian dana baru dikatakan bisa saja akan lebih cepat, terlebih Setyanto menilai kolaborasi kedua perusahaan di awal 2021 memberikan dampak positif.

Salah satu kerja sama strategis yang dibentuk awal tahun ini adalah integrasi layanan iklan digital Telkomsel khusus untuk mitra usaha di ekosistem Gojek. Layanan Telkomsel MyAds telah bisa diakses melalui aplikasi GoBiz, membuka kesempatan para mitra usaha untuk perluas bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru.

Sebelumnya perusahaan juga bekerja sama untuk memboyong 20 ribu mitra seller Telkomsel untuk mendapatkan akses di GoShop. Selain itu, Telkomsel turut mendukung produktivitas mitra pengemudi Gojek melalui Paket Swadaya dengan harga mulai dari Rp25 ribu.

Di sisi lain, Gojek juga memberikan investasi strategis kepada LinkAja yang berujung pada integrasi layanan pembayaran digital tersebut sebagai opsi di aplikasi. Seperti diketahui, cikal-bakal LinkAja adalah layanan dompet digital Tcash yang dikembangkan oleh Telkomsel.

Rencana investasi Telkomsel berada di tengah pematangan upaya merger Gojek dengan Tokopedia. Jika melihat dari sudut pandang kolaborasi bisnis, nantinya dengan GoTo (unit gabungan Gojek-Tokopedia) tentunya akan makin banyak opsi sinergi dan integrasi layanan yang bisa dilakukan – mengingat kapabilitas platform akan bertambah dengan masuknya online marketplace lokal terbesar tersebut. Ini juga bisa menjadi putaran pendanaan terakhir di Gojek sebelum akhirnya menjadi GoTo.

Kolaborasi startup dan Telkomsel

Merasakan dampak baik pada pertumbuhan bisnis membuat Telkomsel memutuskan untuk menyelam lebih dalam ke ekosistem startup digital Indonesia. Lewat unit ventura Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), mereka telah berpartisipasi dalam beberapa putaran pendanaan penting. Terbaru TMI terlibat dalam investasi seri C platform healthtech Halodoc bersama sejumlah korporasi seperti Astra dan Temasek, membukukan dana hingga 1,1 triliun Rupiah.

Sebelumnya mereka juga telah berinvestasi ke sejumlah startup lainnya, termasuk PrivyID dan Kredivo. Dalam debut awalnya, TMI menyiapkan dana hingga 576 miliar Rupiah yang disasarkan untuk startup di bidang big data, IoT, dan industri hiburan.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Kemitraan Telko Jadi Strategi Khas Debut OTT Asing, Lionsgate Play Gandeng Telkomsel

Layanan video streaming Lionsgate Play makin memantapkan penetrasinya di Indonesia. Dari rencana awalnya, platform asal Ameria Serika tersebut memang hendak mulai mengudara di Indonesia di penghujung kuartal pertama tahun ini. Guna mendapatkan traksi awal yang baik, mereka mengumumkan telah bekerja sama dengan Telkomsel.

Seperti diketahui, operator seluler pelat merah tersebut mengoperasikan aplikasi MAXstream. Di dalamnya berisi konten agregasi dari berbagai perusahaan video on-demand, baik lokal maupun mancanegara. Kerja sama non-eksklusif di atas juga akan memungkinkan pengguna MAXstream mengakses konten film dan serial yang disuguhkan Lionsgate.

Kepada DailySocial, General Manager Lionsgate Play Indonesia Guntur S. Siboro mengatakan, kerja sama ini diharapkan bisa memperkenalkan layanan video streaming tersebut ke basis pengguna Telkomsel. Terlebih saat ini mereka juga memiliki paket langganan internet khusus yang memberikan layanan tambahan berupa akses ke MAXstream.

“Kolaborasi ini baru permulaan, dengan perkembangan yang lebih menarik lagi dengan Telkomsel yang direncanakan untuk beberapa bulan mendatang,” kata Guntur.

Disney+ Hotstar dalam debut awalnya juga pakai strategi serupa, menggandeng Telkomsel sebagai mitra awal untuk penetrasinya di Indonesia. Saat ini pengguna Telkomsel mendapatkan akses khusus (bahkan gratis) ke aplikasi VOD tersebut. Strategi tersebut tampak berjalan baik, menurut data terbaru Media Partners Asia (MPA), hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia.

Terlepas dari itu, pasar VOD di Indonesia makin menarik. Di tengah gempuran pemain asing, layanan lokal juga terus mempertajam cengkeramannya. Apalagi konglomerasi media MNC Group mulai memboyong unit OTT-nya untuk melantai di bursa Amerika Serikat, artinya terbuka kesempatan yang lebih besar bagi investor global untuk mulai ikut menggarap pasar VOD di Indonesia.

Selain Vision+ dari MNC, ada pemain lokal lainnya yang juga sudah punya basis pengguna cukup signifikan. Salah satunya Vidio, yang merupakan bagian dari konglomerasi media lainnya, EMTEK. Laporan MPA juga mengatakan di awal tahun ini Vidio sudah memiliki sekitar 1,1 juta pelanggan berbayar.

Decacorn Gojek juga mantap dengan bisnis OTT-nya lewat Goplay. Bahkan mereka sudah mulai menggalang pendanaan secara independen untuk mengakselerasi bisnisnya.

Diyakini pasar VOD masih terbuka lebar untuk persaingannya. Menurut hasil riset Brightcove dalam laporan bertajuk “The Future of OTT in Asia”, konten menjadi salah satu penentu ketertarikan pengguna terhadap layanan VOD. Sehingga dengan strategi pendekatan konten yang tepat, suatu layanan bisa saja memenangkan pasar di kemudian hari.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat. Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama “Star” sebelumnya telah dimiliki terlebih dulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

Application Information Will Show Up Here

Telkomsel dan Gojek Integrasikan Layanan Iklan Digital Khusus Mitra Usaha

Telkomsel dan Gojek kembali mengumumkan kolaborasi bisnis berikutnya, kali ini berkaitan dengan perluasan layanan iklan digital Telkomsel MyAds yang bisa diakses melalui aplikasi GoBiz. Kemitraan ini membuka kesempatan para mitra usaha Gojek untuk perluas bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru.

“Kami harap, kolaborasi antara MyAds dan GoBiz ini dapat membuka lebih banyak peluang dan kesempatan bagi UMKM di Tanah Air, sekaligus membantu perekonomian negara untuk kembali tumbuh secara berkelanjutan,” terang Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro dalam keterangan resmi, Senin (25/1).

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo turut menambahkan, GoBiz adalah salah satu solusi komprehensif Gojek untuk memfasilitas pelaku UMKM go-digital di masa pandemi. “Kami percaya kolaborasi dengan Telkomsel melalui integrasi MyAds Telkomsel dan GoBiz akan membantu ratusan ribu pelaku UMKM di dalam ekosistem Gojek untuk memperluas pangsa pasar dan meningkatkan potensi pengembangan bisnis mereka.”

Melalui integrasi ini, para mitra usaha Gojek dapat mengakses layanan Telkomsel MyAds dari aplikasi GoBiz untuk membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan usaha mereka. Sehingga, mereka dapat memperluas pangsa pasar dan mengembangkan bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru yang mengandalkan solusi iklan yang terarah dari Telkomsel MyAds.

Telkomsel menyiapkan promo berkala khusus para mitra usaha dalam menggunakan layanan Telkomsel MyAds, sebagai nilai tambahnya.

Telkomsel MyAds adalah bagian dari Telkomsel DigiAds, solusi periklanan digital dari Telkomsel. Solusi bisnis ini memfasilitas pelaku usaha dalam membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan berbasis SMS, MMS, dan pesan pop-up secara mandiri. Solusi ini telah dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis dari seluruh skala bisnis dan industri, mulai dari kuliner, otomotif, warung elektronik, dan edukasi.

Sementara, GoBiz adalah super app yang diciptakan khusus mitra usaha Gojek untuk melengkapi solusi bisnis mereka, terkait operasional sehari-hari hingga pengembangan usaha ke tahapan selanjutnya. Dalam aplikasi tersebut, mitra dapat mengatur promosi secara mandiri untuk menarik lebih banyak pelanggan, menyediakan pilihan metode pembayaran non tunai, rekap seluruh transaksi dan manajemen usaha dengan POS.

GoBiz diklaim telah dimanfaatkan oleh ratusan ribu mitra usaha yang datang dari sektor kuliner dan ritel, dan menghubungkan mitra ke jutaan pengguna Gojek di Indonesia.

Kemitraan Telkomsel dan Gojek sebelumnya

Pasca investasi yang dilakukan Telkomsel kepada Gojek pada tahun lalu sebesar $150 juta, kolaborasi kedua perusahaan semakin gencar dilakukan. Sebelumnya, kedua perusahaan bekerja sama untuk GoShop.

Ada lebih dari 20 ribu mitra seller/outlet Telkomsel telah mendapatkan akses untuk berjualan langsung di GoShop dari aplikasi Gojek. Dengan demikian, para mitra reseller dapat menjangkau kebutuhan dari lebih banyak pelanggan secara digital. Selain itu, Telkomsel turut mendukung produktivitas mitra pengemudi Gojek melalui Paket Swadaya dengan harga mulai dari Rp25 ribu.

“Ke depan, kami menatap optimis untuk menghadirkan lebih banyak upaya kolaboratif dari Telkomsel dan Gojek yang mampu menjadi solusi bagi para pelaku UMKM untuk mengakselerasikan bisnisnya, sekaligus memperkuat komitmen Telkomsel dalam mengembangkan ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia lebih jauh lagi,” tutup Setyanto.

Telkomsel, di saat yang bersamaan, bersama dengan Grab menjadi salah satu pemegang saham di LinkAja. Hubungan ini menjadi lebih menarik karena baik Grab dan Gojek merupakan kompetitor. LinkAja pun kini turut hadir sebagai alternatif metode pembayaran baik di Gojek maupun Grab.

Application Information Will Show Up Here

Potensi Merger Indosat-Tri: Babak Baru Persaingan Sehat Industri Telekomunikasi

Pasca merger antara XL Axiata dan Axis di 2014 silam, rumor konsolidasi operator seluler terus muncul. Pasangannya berubah-ubah. Namun, selain Telkomsel, sejumlah petinggi industri telekomunikasi tidak menepis mereka membuka peluang berkonsolidasi demi ekosistem yang lebih sehat.

Di akhir 2020, rumor tersebut mulai menunjukkan titik terang. Sebagaimana diberitakan Bloomberg beberapa waktu lalu, CK Hutchison Limited dan Ooredoo Group dilaporkan menjajaki peluang penggabungan bisnis anak usahanya, yakni PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) dan PT Indosat Ooredoo Tbk (Indosat).

Berselang beberapa hari pasca berita tersebut diturunkan, Indosat Ooredoo buka suara. Di keterangan resminya, Director & Chief Financial Officer Indosat Ooredoo Eyas Naif Assaf membenarkan bahwa induk usahanya Ooredoo Group telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) eksklusif dan tidak mengikat secara hukum dengan CK Hutchison Holdings Limited.

“Hal ini sehubungan dengan kemungkinan transaksi untuk menggabungkan bisnis masing-masing di Indonesia, yakni PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Periode eksklusivitas MoU ini berlaku hingga 30 April 2021. Belum ada informasi lebih lanjut yang bisa diungkapkan untuk saat ini,” ujarnya.

Jika mengacu pernyataan di atas, publik akan melihat hasil negosiasi ekslusif dalam empat bulan mendatang. DailySocial sempat menghubungi pihak Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Namun, keduanya belum dapat berkomentar banyak.

“Mohon maaf, kami dari manajemen belum bisa memberikan tanggapan mengenai hal ini. Sebaiknya ditanyakan kepada CK Hutchison atau Ooredoo Group,” ujar Wapresdir Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah lewat pesan singkat.

Mengejar ketertinggalan dari Telkomsel

Terlepas operator apapun, Ekonom Fithra Faisal menilai bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat untuk berkonsolidasi. Sebetulnya Indosat atau Tri bisa saja melakukan konsolidasi sejak beberapa tahun lalu, namun Fithra menilai pandemi Covid-19 menjadi driven factor yang kuat. Terlebih masyarakat semakin menuntut layanan telekomunikasi yang lebih baik di situasi saat ini.

Yang pelik adalah meski sektor ICT sangat diuntungkan akibat pandemi, industri telekomunikasi tidak ikut di dalamnya.

“Layanan digital banyak dipakai selama pandemi ini, tetapi operator tidak mencicipi keuntungan. Ini menandakan bahwa industri ini belum efisien,” papar Fithra saat dihubungi DailySocial. 

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ATSI menyebut bahwa kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Maka itu, di situasi saat ini operator dinilai memerlukan struktur permodalan yang kuat demi meringankan beban ekspansi jaringan. Apalagi, operator juga perlu melaksanakan kewajiban untuk menyediakan jaringan secara nasional sebagaimana lisensi frekuensi yang diamanatkan.

Induk usaha Indosat, Ooredoo Group merupakan perusahaan telekomunikasi asal Qatar yang menguasai saham mayoritas Indosat sejak 2015. Sementara Tri Indonesia dinaungi CK Hutchison Holdings yang merupakan konglomerasi asal Hong Kong.

Di sisi lain, lanjut Fithra, rencana merger Indosat-Tri menjadi langkah awal untuk mengejar ketertinggalannya dari Telkomsel yang memimpin industri. Menurutnya, Indosat-Tri yang dinilai bergantung pada segmen pelanggan anak muda, cenderung memiliki price elasticity yang tinggi. Akibatnya, pelanggan dapat dengan mudah pindah ke operator lain jika tarif yang mereka pakai lebih mahal.

Indosat Financial Performance (2018-2019/YoY)

Year Total Revenue EBITDA Net (Loss) Profit Subscribers Highlights
2019 Rp26.1 trillion (+12.9%) Rp9.9 trillion (+51.6%) Rp1.6 trillion

(+166%)

59.3 million (+2.1%)
  • Sold 3,100 telco towers to Mitratel and Protelindo worth Rp6,39 trillion
  • 4G coverage nearly 90%
2018 Rp23.1 trillion (-22.7%)  Rp6.5 trillion (-49.1%) -Rp2.4 trillion (-311,6%) 58 million

(-47.3%)

  • Massive network expansion 
  • Reduced its USD debts by 77.7%
2017 Rp29.9 trillion

(+2.5%)

Rp12.8 trillion (+0.8%) Rp1.1 trillion (+2.8%) 110 million (+28.7%)
  • Won additional 5MHz in 2100MHZ in 2017 spectrum auction

Source: Investor Memo

Telkomsel dan XL Axiata dianggap memiliki branding dan loyalitas pelanggan yang lebih kuat sehingga penggunanya cenderung tidak terlalu memikirkan harga. Alhasil pelanggan cenderung bertahan terhadap layanannya karena price elasticity-nya rendah.

“Karena hal tersebut, Telkomsel dan XL punya captive market yang tidak dimiliki Indosat dan Tri. Makanya, Indosat dan Tri bakal menderita jika mereka terus mempertahankan level murah. Pada akhirnya, mereka harus memperkuat permodalan dan branding mereka,” jelasnya.

Ekspansi jaringan, efisiensi, dan persaingan lebih sehat

Pemerintah telah berupaya menciptakan persaingan industri yang sehat. Nyatanya, situasi ini tetap sulit karena sejak awal terlalu banyak operator telekomunikasi. Frekuensi yang diperebutkan tidak cukup untuk dapat memberikan kualitas layanan yang masimal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan setiap tahun untuk membangun jaringan hingga membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.

Perang tarif untuk memenangkan hati pelanggan justru menciptakan jurang terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia. Ketua Umum ATSI Ririek Adriansyah sempat menyebutkan bahwa industri telekomunikasi Indonesia mencatat pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018. Ini adalah pertumbuhan minus pertama kalinya dalam sejarah.

Dihubungi DailySocial, Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) Institute Nonot Harsono mengatakan bahwa konsolidasi ini tentu akan menciptakan persaingan industri yang lebih sehat. Apalagi jika skenarionya XL Axiata dan Smartfren mengikuti jejak mereka. Cita-cita Indonesia untuk memiliki tiga operator seluler saja bakal terealisasi.

“Di industri telekomunikasi, aset terpenting adalah frekuensi. Apabila berkonsolidasi, mereka dapat menggabungkan aset tersebut sehingga tidak menjadi beban. Harapannya, mereka tidak perlu mengembalikan pita frekuensi ke pemerintah karena alokasi Tri tidak banyak. Kalaupun digabung dengan Indosat, selisihnya dengan Telkomsel dan XL tetap tidak melampaui,” ucapnya.

Pertumbuhan Operator "Top 3" di Indonesia
Pertumbuhan Operator “Top 3” di Indonesia / Corporate Digital Transformation

“Kita belum tahu model merger yang bakal terjadi, apakah kedua entitas menyepakati komposisi saham atau jual putus. Mungkin bukan jual putus karena melibatkan uang cash yang banyak. Kalau jual putus, yang berharga cuma frekuensi saja. Selain itu, semuanya adalah beban. Keduanya bisa saja menyatakan nilai bersyarat. Jika regulator meminta sebagian pita, valuasi bisa berbeda dan bisa minta ganti rugi, misalnya,” terang Nonot.

Lagipula, lanjutnya, situasi sekarang tidak bisa disamakan ketika XL mengakuisisi Axis. Menurut Nonot, seharusnya pemerintah memberikan semacam reward apabila keduanya sepakat untuk merger. Jika pemerintah menjamin tidak akan ada penarikan frekuensi, aksi merger ini bisa terjadi.

XL Axiata dan Axis merupakan konsolidasi kedua di industri setelah Mobile-8 dan Fren (sekarang Smartfren). Ketika XL Axiata mencaplok Axis senilai $865 juta, pemerintah meminta anak usaha Axiata Bhd untuk mengembalikan pita selebar 5MHz milik Axis di spektrum 2.100MHz.

Saat ini, Indosat menggunakan pita selebar 20MHz di 1.800MHz dan 15MHz di 2.100MHz. Sementara Tri memiliki pita selebar 15MHz di 2.100MHz dan 10MHz di 1.800MHz. Kedua spektrum ini dipakai untuk menggelar jaringan 3G dan 4G.

Apabila digabungkan, baik Indosat dan Tri dapat memiliki akumulasi spektrum masing-masing 30MHz di 2.100MHz dan 1.800MHz yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas jaringan 4G yang lebih baik.

“Ini menjadi momentum pas bagi pemerintah untuk menegaskan tidak ada pengembalian alokasi frekuensi karena [jika digabung] alokasi pita tidak akan melampaui Telkomsel dan XL. Lagipula, ini kewajiban pemerintah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Bisa saja langkah ini bakal diikuti oleh XL dan Smartfren ke depannya.” Tutup Nonot.

“Operator Digital”, Adu Keberuntungan Tarik Konsumen Baru

Pada awal bulan ini, Indosat Ooredoo meresmikan MPWR (dibaca: Empower), menandai bertambahnya operator telekomunikasi yang masuk ke produk prabayar digital. Sebelumnya, ada Telkomsel (by.U), Smartfren (Switch Mobile), dan XL Axiata (Live.On), tinggal menunggu waktu kapan Hutchison (3) apakah akan mengambil strategi yang sama.

Sejauh ini, belum ada perbedaan yang signifikan dari keseluruhan pemain di atas. Semuanya, secara umum, menyasar generasi muda ke atas sebagai pengguna dengan brand dan model bisnis yang berbeda dari produk seluler terdahulu.

Mereka semua berupaya menawarkan produk yang terpersonalisasi, simpel, dan dapat dikendalikan sendiri lewat aplikasi. Aplikasi menjadi multifungsi untuk mengatur segala aktivitas, mulai dari pemesanan kartu, memilih nomor, registrasi, hingga memilih paket.

Semua pengalaman ini sebelumnya absen dari produk prabayar/pascabayar yang disediakan para operator ini. Kendati serba digital, pengguna tetap membutuhkan kartu fisik layaknya kartu prabayar konvensional untuk terhubung dengan seluruh pengalaman yang ditawarkan.

Sebagai pendatang baru, Indosat Ooredoo percaya diri bahwa MPWR punya diferensiasi kuat di sisi pemenuhan gaya hidup para pengguna milenial untuk mendapatkan promo dari brand yang mereka suka. Diklaim ada ratusan kerja sama dengan brand berisi ribuan penawaran eksklusif.

“Diferensiasi terkuat kami adalah lifestyle offer. Produk lifestyle digabung dengan produk telko, pengguna bisa pursue their digital lifestyle, dengan jaringan premium, bisa pilih nomor yang diinginkan,” ucap MPWR Spokesperson Alexander Christian kepada DailySocial, kemarin (10/12).

Meski pangsa pasar operator telekomunikasi diyakini sudah sempit untuk mendapatkan pengguna baru, Alex meyakini cara mujarabnya adalah meracik produk sebaik mungkin agar dapat menjawab kebutuhan pengguna. Agar MPWR dapat berkembang pesat, tim MPWR disusun terpisah dari Indosat. “Anggap brand baru, tapi powered by Indosat.”

Ia mengaku tidak membuat segmentasi pengguna berdasarkan kelas ekonomi, degan berapa banyak pulsa dan paket kuota internet. Pasalnya pengguna dapat memilih apa yang mereka inginkan sesuai preferensi masing-masing.

Pada tahun lalu tercatat, ada 317,5 juta pelanggan operator di Indonesia. Telkomsel menjadi pemilik pengguna terbanyak dengan total 171,1 juta orang, disusul Indosat dengan 59,3 juta, XL Axiata 56,7 juta dan Hutchison 30,4 juta.

Mengingat produk pascabayar digital ini masih menjadi barang baru, Alex mengakui diperlukan proses edukasi agar dapat diterima dengan baik. Keberadaan pemain sejenis MPWR dianggap dapat memberi pilihan kepada calon pengguna baru.

“Kombinasi telko dengan produk gaya hidup digital itu sesuatu yang baru, dan saat ini sangat dibutuhkan generasi muda.”

Penyegaran di bawah brand baru

Dalam tulisan sebelumnya, munculnya brand baru adalah bagian dari upaya perusahaan untuk penyegaran. Mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini menyebutkan, Telkomsel dianggap sebagai merek lama karena telah berdiri selama 25 tahun. Produk by.U dianggap dapat menyegarkan brand Telkomsel, tanpa menganibalisasi produk yang sudah ada, yakni, Simpati, AS, dan Loop.

“Gen Z itu tidak mau diatur produknya, mereka tidak product-driven. Berbeda dengan selama ini produk-produk yang sudah ada di-drive oleh operator. Nah, by.U ini bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna,” papar Emma.

Dihubungi secara terpisah, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys mengatakan hal senada. Menurutnya, ia ingin merek seluler ini [Switch Mobile] dapat dikenal sebagai produk baru di pasaran tanpa perlu diasosiasikan dengan merek existing Smartfren.

“Saat ini, pelanggan kami sebagian besar berada di kelas C dan D. Dengan Switch ini, kami ingin membidik high market di kelas B dan C,” ungkap Merza.

Application Information Will Show Up Here