Kolaborasi Hadirkan Dampak Positif, Telkomsel Segera Tambah Investasi 4,3 Triliun Rupiah ke Gojek

Setelah mengumumkan investasinya senilai $150 juta pada November 2020 lalu ke decacorn Gojek, Telkomsel berencana kembali menyuntikkan dana senilai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Utama Setyanto Hantoro seperti diberitakan Reuters.

Ia mengatakan, perusahaan memang mencanangkan untuk berinvestasi hingga $450 juta di Gojek; dan akan dirampungkan dalam waktu satu tahun setelah investasi perdananya. Pemberian dana baru dikatakan bisa saja akan lebih cepat, terlebih Setyanto menilai kolaborasi kedua perusahaan di awal 2021 memberikan dampak positif.

Salah satu kerja sama strategis yang dibentuk awal tahun ini adalah integrasi layanan iklan digital Telkomsel khusus untuk mitra usaha di ekosistem Gojek. Layanan Telkomsel MyAds telah bisa diakses melalui aplikasi GoBiz, membuka kesempatan para mitra usaha untuk perluas bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru.

Sebelumnya perusahaan juga bekerja sama untuk memboyong 20 ribu mitra seller Telkomsel untuk mendapatkan akses di GoShop. Selain itu, Telkomsel turut mendukung produktivitas mitra pengemudi Gojek melalui Paket Swadaya dengan harga mulai dari Rp25 ribu.

Di sisi lain, Gojek juga memberikan investasi strategis kepada LinkAja yang berujung pada integrasi layanan pembayaran digital tersebut sebagai opsi di aplikasi. Seperti diketahui, cikal-bakal LinkAja adalah layanan dompet digital Tcash yang dikembangkan oleh Telkomsel.

Rencana investasi Telkomsel berada di tengah pematangan upaya merger Gojek dengan Tokopedia. Jika melihat dari sudut pandang kolaborasi bisnis, nantinya dengan GoTo (unit gabungan Gojek-Tokopedia) tentunya akan makin banyak opsi sinergi dan integrasi layanan yang bisa dilakukan – mengingat kapabilitas platform akan bertambah dengan masuknya online marketplace lokal terbesar tersebut. Ini juga bisa menjadi putaran pendanaan terakhir di Gojek sebelum akhirnya menjadi GoTo.

Kolaborasi startup dan Telkomsel

Merasakan dampak baik pada pertumbuhan bisnis membuat Telkomsel memutuskan untuk menyelam lebih dalam ke ekosistem startup digital Indonesia. Lewat unit ventura Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), mereka telah berpartisipasi dalam beberapa putaran pendanaan penting. Terbaru TMI terlibat dalam investasi seri C platform healthtech Halodoc bersama sejumlah korporasi seperti Astra dan Temasek, membukukan dana hingga 1,1 triliun Rupiah.

Sebelumnya mereka juga telah berinvestasi ke sejumlah startup lainnya, termasuk PrivyID dan Kredivo. Dalam debut awalnya, TMI menyiapkan dana hingga 576 miliar Rupiah yang disasarkan untuk startup di bidang big data, IoT, dan industri hiburan.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Insurance Companies Strategy to Tighten Distribution Channels by Collaborating with Startups

Last week, Home Credit announced collaboration with PT Asuransi Harta Aman Pratama to launch an insurtech product called “MyLifeCOVER” on the fintech platform. Users can now register, pay, and process claims through the Home Credit application.

Earlier this month, Grab has also announced PT PFI Mega Life Insurance as its partner. The collaboration is formed through the “Sobat Proteksi” feature on the superapp, making it easier for users to get insurance products for critical illness protection.

In 2020 we recorded a total eight launching of similar collaboration, between digital platforms and insurance companies – apart from platforms developed by startups that specifically work on insurtech businesses – including:

Platform Digital Perusahaan Asuransi
DANA AXA Financial Indonesia, Mandiri AXA General Insurance
Traveloka FWD Life Indonesia
Grab Asuransi Simas Jiwa
Good Doctor AXA Financial Indonesia
JD.id Asuransi Jiwa Sequis Life
Modal Rakyat Adira Insurance
OYO Asuransi Simas Insurtech
Halodoc Avrist Assurance

Quoting from 2020 Corporate Digital Transformation Report, digital innovation for insurance products and services is divided into several aspects. Nearly all collaboration models are focused on “digital customer engagement”, or as a channel to connect insurance products and services to their users. The question is: how effective is that?

Insurtech Innovation

Grab Financial (a unit of Grab that focuses on financial and insurance platforms) recently announced that during its two years of operation in Southeast Asia, their insurtech unit has successfully sold 100 million insurance policies. In the release, Tokopedia also said that micro insurance products such as “Gadget Protection” had experienced an increase in transactions of up to 70 times by the end of 2020. These two examples are obviously extraordinary.

The potential is there; according to Nielsen’s research in 2020, public awareness of having life insurance products in major cities in Indonesia during the pandemic has increased to 24%. Previously, it only stuck in single digit. Although in Indonesia, insurance ownership in average is relatively low, with insurance penetration (total premium/GDP) of 3%.

Industry player’s perspective

In the launching of its collaboration with insurance company partners, Home Credit Indonesia’s Head of Payments & Value-Added Services, Randy Pragustio Priantoro said, “It takes innovation through digital technology, therefore, insurance can reach the widest possible range of Indonesian people and is able to provide a good understanding of the importance of soul protection.”

In his observation, consumer applications like the current products are indeed the right approach to reach these groups. Moreover, one of the fintech missions is to protect those who have not been fully served by banking services while helping to improve financial literacy.

Grab Financial Group’s Head of Insurance, Tom Duncan said similar thing when launching the partnership with Mega Life Insurance, “This product [Sobat Proteksi] is an extension of our micro and fractional pricing approach, therefore, more underserved people can benefit from insurance products that is accessible and arrived in a transparent manner.”

In terms of insurance company, Niharika Yadav as President Director of AXA Financial Indonesia also said at the launching of the collaboration with DANA, that product accessibility is a priority to develop with digital application developers. “We strive to always innovate and present life and health insurance solutions that focus on customers and provide easy access for everyone to have and experience the benefits of insurance protection.”

Education through product relevance

The best way to provide education is to provide practical experience. This model seems relevant in relation to the proliferation of microinsurance products currently integrated with services from digital startups. The microinsurance product referred to here is protection for something of relatively smaller value, for example gadget insurance, short-distance travel insurance, etc. The price is quite affordable.

For instance, OVO charges a monthly fee ranging from IDR 15,000 to IDR 65,000 for insurance to cracked screens on smartphone – in (1) 100% guarantee for new screen replacement; (2) repair warranty whether the screen have another damage within 90 days; (3) flexible protection period ranging from 3 to 12 months; (4) claim free pick-up and delivery service from the user’s residence to the service center and vice versa; (5) new and original spare parts.

Gojek offers similar product, in collaboration with its portfolio, PasarPolis. Gopay’s Chief Risk and Compliance Officer, Budi Gandasoebrata said the focus of GoSure (insurtech unit) is to facilitate public access to affordable insurance products. In addition, products or services must also be ensured with daily needs. “[As an example] In presenting this product [gadget insurance], we fully understand the importance of protecting gadgets, which currently have almost become a primary need in a society that has become increasingly digitalized since the Covid-19 pandemic.”

With a more mature understanding of insurance products / services and how they work – especially by experiencing the direct benefits – it is not impossible that the penetration of insurance products (including life insurance) will increase in the future.

Quoting from the DSResearch report, Indonesian people still reluctant to gent insurance because of some reasons. Related to the procedure to get it (33.62%); prices that are considered too expensive (24.15%); do not understand about the product and its benefits (20.76%). There are some respondents (13.56%) who associate it with the prohibition of religion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi dengan Startup Jadi Strategi Perusahaan Asuransi Perdalam Kanal Distribusi

Pekan lalu, Home Credit mengumumkan kerja samanya dengan PT Asuransi Harta Aman Pratama meluncurkan lini insurtech bernama “MyLifeCOVER” di platform fintech tersebut. Pengguna kini bisa mendaftarkan diri, membayar, hingga proses klaim secara daring melalui aplikasi Home Credit.

Sebelumnya pada awal bulan ini, Grab juga baru mengumumkan masuknya PT PFI Mega Life Insurance ke jajaran mitranya. Kerja sama direalisasikan dengan peluncuran fitur “Sobat Proteksi” di superapp tersebut, memudahkan pengguna dalam mendapatkan produk asuransi perlindungan penyakit kritis.

Total di tahun 2020 kami mencatat ada delapan peresmian kerja sama serupa, antara platform digital dengan perusahaan asuransi – di luar platform yang dikembangkan oleh startup yang spesifik menggarap bisnis insurtech—meliputi:

Platform Digital Perusahaan Asuransi
DANA AXA Financial Indonesia, Mandiri AXA General Insurance
Traveloka FWD Life Indonesia
Grab Asuransi Simas Jiwa
Good Doctor AXA Financial Indonesia
JD.id Asuransi Jiwa Sequis Life
Modal Rakyat Adira Insurance
OYO Asuransi Simas Insurtech
Halodoc Avrist Assurance

Mengutip laporan Corporate Digital Transformation Report 2020, inovasi digital untuk produk dan layanan asuransi terbagi ke dalam beberapa aspek. Model kerja sama yang dilakukan di atas hampir semua memfokuskan pada “digital customer engagement” alias sebagai kanal untuk menghubungkan antara produk dan layanan asuransi kepada penggunanya. Tentu pertanyaannya: seberapa efektif?

Insurtech Innovation

Baru-baru Grab Financial (unit dari Grab yang fokus menangani platform finansial dan asuransi) mengumumkan bahwa sepanjang dua tahun beroperasi di Asia Tenggara, unit insurtech mereka berhasil menjual 100 juta polis asuransi. Dalam rilisnya Tokopedia juga menyampaikan, per akhir 2020 produk asuransi mikro seperti “Proteksi Gadget” yang dijajakan kepada pengguna telah mengalami peningkatan transaksi hingga 70 kali lupat. Jelas dua contoh ini adalah pencapaian yang luar biasa.

Potensinya juga masih bisa terus digali; menurut riset Nielsen di tahun 2020, kesadaran masyarakat untuk memiliki produk asuransi jiwa di kota-kota besar di Indonesia selama pandemi meningkat menjadi 24%. Sebelumnya peningkatan selalu mentok di angka satu digit. Kendati secara umum saat ini di Indonesia kepemilikan asuransi secara umum masih terbilang rendah, dengan penetrasi asuransi (total premi/PDB) sebesar 3%.

Perspektif penyaji layanan

Dalam sesi peresmian kerja samanya dengan mitra perusahaan asuransi, Head of Payments & Value-Added Services Home Credit Indonesia Randy Pragustio Priantoro mengatakan, “Dibutuhkan inovasi melalui teknologi digital agar asuransi dapat menjangkau seluas-luasnya masyarakat Indonesia dan mampu memberikan pemahaman yang baik tentang pentingnya perlindungan jiwa.”

Ia sendiri berpendapat bahwa aplikasi consumer seperti yang diusung memang jadi pendekatan tepat untuk menjangkau kalangan tersebut. Terlebih salah satu misi fintech juga mengayomi mereka yang belum terlayani sepenuhnya oleh layanan perbankan sembari membantu meningkatkan literasi keuangan.

Hal senada juga disampaikan Head of Insurance Grab Financial Group Tom Duncan saat mengumumkan kerja samanya dengan Mega Life Insurance, “Produk ini [Sobat Proteksi] merupakan perpanjangan dari pendekatan penetapan harga mikro dan fraksional kami sehingga lebih banyak orang Indonesia yang kurang terlayani dapat memperoleh manfaat dari produk asuransi yang dapat diakses dan disampaikan secara transparan.”

Di sisi perusahaan asuransi, Niharika Yadav selaku Presiden Direktur AXA Financial Indonesia juga berujar saat meresmikan kerja samanya dengan DANA, bahwa aksesibilitas produk menjadi prioritas dalam kerja sama yang dibangun dengan pengembang aplikasi digital. “Kami berupaya untuk selalu berinovasi dan menghadirkan solusi asuransi jiwa dan kesehatan yang berfokus pada nasabah serta memberikan kemudahan akses bagi semua orang untuk memiliki dan merasakan manfaat perlindungan asuransi.”

Edukasi lewat relevansi produk

Cara terbaik memberikan edukasi adalah dengan memberikan pengalaman praktik. Model ini tampaknya relevan saat mengaitkan maraknya produk asuransi mikro yang saat ini diintegrasikan dengan layanan dari startup digital. Produk asuransi mikro yang dimaksud di sini adalah perlindungan untuk sesuatu yang nilainya relatif lebih kecil, contohnya asuransi gadget, asuransi perjalanan jarak pendek dll. Harganya pun cukup terjangkau.

Ambil contoh asuransi untuk perlindungan smartphone dari layar retak, OVO mengenakan biaya bulanan berkisar Rp15.000,- hingga Rp65.000,- untuk  (1) 100% jaminan penggantian layar yang baru; (2) garansi perbaikan jika layar kembali rusak selama 90 hari; (3) periode perlindungan yang fleksibel mulai dari 3 hingga 12 bulan; (4) layanan klaim pick-up dan delivery gratis dari tempat tinggal pengguna ke service centre dan sebaliknya; (5) spare part baru dan asli.

Gojek pun miliki produk serupa, bekerja sama dengan portofolionya PasarPolis. Menurut Chief Risk and Compliance Officer Gopay Budi Gandasoebrata, fokus GoSure (unit insurtech) adalah memudahkan akses masyarakat terhadap produk asuransi yang terjangkau. Selain itu, produk atau layanan juga harus dipastikan dengan kebutuhan sehari-hari.  “[sebagai contoh] Dalam menghadirkan produk ini [asuransi gadget], kami memahami betul pentingnya melindungi gadget yang saat ini telah hampir menjadi kebutuhan primer di masyarakat yang semakin terdigitalisasi sejak pandemi Covid-19.”

Dengan pemahaman yang semakin matang terkait produk/layanan asuransi dan cara kerjanya –terlebih dengan merasakan langsung manfaat yang diberikan—bukan tidak mungkin bahwa penetrasi produk asuransi (termasuk asuransi jiwa) akan semakin meningkat di kemudian hari.

Mengutip dari laporan DSResearch, faktor-faktor keengganan orang Indonesia terhadap asuransi disebabkan oleh sejumlah alasan. Yakni, terkait prosedur untuk mendapatkannya (33,62%); harga yang dinilai terlalu mahal (24,15%); tidak memahami tentang produk dan manfaat (20,76%). Ada beberapa responden (13,56%) yang mengaitkan dengan larangan agama.

Pentingnya Kolaborasi dan Sinergi antara Startup dan Korporasi

Tahun 2020 menjadi tahun yang menarik bagi dunia perbankan dan perusahaan teknologi di Indonesia. Besarnya transaksi keuangan digital hingga meningkatnya traksi jual-beli online, mendorong perbankan seperti CIMB Niaga dan raksasa e-commerce seperti Tokopedia menghadirkan layanan serta pilihan payment secara menyeluruh untuk mengembangkan bisnis mereka.

Untuk memaksimalkan potensi, sinergi antara perbankan dan startup menjadi esensial untuk mendorong adopsi digital dan inklusi keuangan di Indonesia.

Dalam sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial menghadirkan Payment & Fintech Business Head of Tokopedia Vira Widiyasari dan Branchless Banking Business Development Head of CIMB Niaga Lusiana Saleh, membahas pentingnya sinergi dan kolaborasi antara startup dan enterprise untuk pertumbuhan bisnis.

Pandemi dorong adopsi digital perbankan

Menurut Lusiana, pandemi secara langsung telah mengakselerasi transaksi melalui mobile banking saat nasabah melakukan pembayaran di layanan e-commerce, food delivery, dan lainnya. CIMB Niaga mencatat transaksi perbankan secara digital pertumbuhannya sangat luar biasa, hampir dua kali lipat jumlahnya. Selain itu sekitar 96% transaksi dilakukan melalui digital space, hanya 4% saja yang dilayani di cabang bank CIMB Niaga.

“Menurut saya digital adoption terutama setelah Covid-19 tahun 2020 semakin pesat. Jadi untuk platform fintech atau layanan e-commerce yang sebelumnya mengalami pertumbuhan tinggi, tahun 2020 pastinya menjadi lebih meningkat lagi jumlah pertumbuhannya,” kata Lusiana

Ditambahkan olehnya, saat ini yang menjadi fokus dari CIMB Niaga adalah untuk bisa masuk ke digital space dengan memberikan kemudahan kepada nasabah melakukan pembayaran di beberapa layanan e-commerce atau platform yang saat ini menjadi tren secara digital.

“Tercatat di Indonesia pertumbuhan transaksi fintech dalam beberapa tahun terakhir mencapai lebih dari 50%, terutama untuk lending dan payment. Kenapa lending penting karena Indonesia memiliki lanskap yang luas. Saya melihat pertumbuhan digital masih akan terus berkembang dan mobile banking masih mendominasi. Selain itu ke depannya akan semakin banyak tren M&A di antara startup,” kata Lusiana.

Tahun 2020 lalu menjadi wake up call bagi dunia perbankan dan tentunya semua bisnis secara keseluruhan. Untuk itu CIMB Niaga berupaya untuk terus mengadopsi semua perubahan teknologi, dengan tujuan untuk bisa memberikan layanan terbaik kepada nasabah.

Terkait dengan kemitraan, selama ini CIMB Niaga telah membuka semua peluang bagi startup hingga perusahaan teknologi ternama seperti Tokopedia untuk menjalin kolaborasi dengan mereka. Sebagai perbankan, CIMB Niaga memiliki layanan API, yang bisa dimanfaatkan bukan hanya layanan fintech, namun juga UKM dan perusahaan lainnya yang ingin memanfaatkan koneksi API CIMB Niaga.

“Semua proses tersebut terbilang mudah dan fleksibel. Namun kembali lagi sebagai perbankan kami wajib untuk mengikuti semua aturan yang ditetapkan oleh regulator. Meskipun semua proses tersebut bisa di kustomisasi, namun kita akan mengakomodir semua kebutuhan melihat aspek regulasi dan keamanan menyesuaikan OJK sebagai regulator kami,” kata Lusiana.

Tokopedia dan pentingnya memperluas kemitraan

Sementara itu sebagai perusahaan teknologi yang sudah menginjak usia 11 tahun, Tokopedia kerap melakukan transformasi dengan memberikan layanan yang dibutuhkan dan pilihan pembayaran yang beragam. Mulai dari pilihan cicilan yang dihadirkan berkat kerja sama dengan perbankan dan layanan finansial hingga fintech, e-wallet, asuransi dan lainnya, menjadi fokus Tokopedia demi mewujudkan visi mereka yaitu pemerataan ekonomi secara digital.

“Sebagai perusahaan teknologi di Indonesia, Tokopedia ingin menghadirkan berbagai inovasi keuangan digital untuk mendukung pemerataan finansial melalui teknologi,” kata Vira.

Untuk memperbesar ekosistem yang dimiliki, menjadi penting bagi Tokopedia untuk memperluas kolaborasi mereka dengan layanan finansial. Dalam hal ini mitra yang dinilai relevan untuk bergabung bersama Tokopedia, adalah mereka yang memiliki lisensi seperti reksa dana dan memiliki sertifikasi dan diawasi oleh OJK.

“Mitra perbankan juga sangat penting bagi Tokopedia untuk mendorong literasi dan inklusi finansial di Indonesia,” kata Vira.

Ditambahkan oleh Vira, kolaborasi dengan perbankan memungkinkan Tokopedia memberikan pilihan pembayaran penuh hingga cicilan untuk pembeli dan lebih dari 10 juta penjual yang terdaftar. Tokopedia berupaya untuk memiliki misi dan visi yang selaras dengan semua mitra, sesuai dengan DNA dari Tokopedia yaitu fokus kepada pelanggan.

“Kolaborasi yang dilakukan bisa memberikan solusi pain point customer yang dimiliki. Sebelumnya kami melakukan riset dengan harapan bisa membuat solusi positif  mutual dan beneficial, bukan cuma untuk mitra dan Tokopedia tapi juga untuk pelanggan juga,” kata Vira.

Sumber Gambar: Depositphotos.com

Perkuat Upaya Digitalisasi Usaha Mikro, BukuWarung Gandeng Warung Pintar

Memasuki akhir tahun 2020, pengembang aplikasi pengelola arus kas pengusaha mikro BukuWarung mengklaim telah mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Pandemi juga tidak terlalu mengganggu jalannya bisnis.

Kepada DailySocial, Co-Founder BukuWarung Chinmay Chauhan mengungkapkan, secara keseluruhan pertumbuhan bisnisnya justru bergerak positif selama pandemi ini, dengan semakin banyak pedagang yang bersedia melacak arus kas mereka dan mengadopsi perangkat digital untuk menjalankan bisnis mereka.

“Faktanya hanya dalam dua bulan setelah meluncurkan pembayaran digital, kami telah mencapai total nilai transaksi sebesar $200 juta atau setara 2,8 triliun Rupiah (total payment value/TPV tahunan). Adanya pandemi ini mendorong lebih banyak UKM untuk melakukan digitalisasi.”

Beberapa bisnis seperti warung makan dan warteg terlihat mengalami penurunan transaksi, namun outlet lainnya seperti warung pulsa, warung barang eceran, dan sembako mengalami pertumbuhan bisnis yang baik.

Banyak pemilik bisnis saat ini memutuskan untuk menjual produknya secara online dan menggunakan aplikasi BukuWarung untuk melakukan pembukuan. Secara khusus BukuWarung menawarkan solusi untuk membantu mereka mengatasi periode sulit ini, di antaranya peluncuran Tokoko dan Solusi Pembayaran Digital.

BukuWarung didirikan oleh Chinmay Chauhan dan Abhinay Peddisetty pada tahun 2019. Akhir bulan September lalu BukuWarung mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan dengan nilai yang tidak dikemukakan.

Pendanaan ini didapat setelah mereka melakukan demo day dalam rangkaian agenda program akselerator Y Combinator. Sejumlah pemodal ventura yang turut andil meliputi Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, dan VentureSouq. Sebelumnya di bulan Juli 2020 lalu, BukuWarung tengah menyelesaikan pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Quona Capital.

Jalin kerja sama strategis dengan Warung Pintar

Bertujuan untuk membangun solusi digital yang dapat mengakomodasi kebutuhan khusus para pelaku UKM di Indonesia, seperti warung-warung kecil, BukuWarung meresmikan kerja sama strategisnya dengan Warung Pintar akhir bulan Oktober lalu. Kerja sama ini meliputi penerapan pembukuan secara digital dan penyediaan layanan ketersediaan barang.

Sebagai informasi, BukuWarung dan Warung Pintar sama-sama portofolio East Ventures.

“Kami melakukan kerja sama ini mengingat kebutuhan untuk memberdayakan sektor UKM di Indonesia semakin penting. Pemerintah Indonesia baru saja memasang target untuk membantu 10 juta UKM mengalihkan usahanya ke ranah digital pada akhir 2020. Guna memberikan dukungan terhadap
upaya pemerintah dalam mendorong produktivitas dan daya saing UKM Indonesia, kami menjalin kolaborasi dengan Warung Pintar untuk membantu pelaku UKM dalam memenuhi kebutuhan digital yang masih belum terpenuhi dan terus menerus menjadi tantangan yang dihadapi UKM Indonesia,” kata Chinmay.

Kolaborasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan akses 60 juta UKM di Indonesia untuk mengadopsi solusi digital di tengah tren ekonomi digital yang diprediksi bisa mencapai $150 miliar pada 2025. Ke depannya diharapkan  bersama Warung Pintar bisa meningkatkan ekosistem yang inklusif, pedagang dapat memperoleh manfaat dari kapasitas supply chain yang memadai milik Warung Pintar.

Disinggung apa rencana jangka pendek BukuWarung dan Warung Pintar melalui kerja sama ini, dengan kapasitas rantai pasokan yang kuat, pedagang yang merupakan pengguna aplikasi BukuWarung akan mendapatkan berbagai keuntungan. Di antaranya kesempatan untuk mendapatkan barang dengan harga lebih kompetitif dan kenyamanan mendapatkan barang dagangannya, sebab barang akan diantarkan langsung ke warung mereka. Sementara itu, pedagang Warung Pintar akan mendapatkan eksposur tentang solusi pembukuan yang ditawarkan oleh BukuWarung.

Aplikasi BukuWarung saat ini telah melayani hampir 2 juta pedagang di 750 lokasi di Indonesia, sementara Warung Pintar memiliki hampir 60 ribu pedagang yang menggunakan platformnya untuk memesan barang dagangan hingga saat ini.

“Visi BukuWarung adalah untuk memberdayakan UKM di Indonesia untuk menjadi lebih melek secara finansial dan membantu mereka untuk mengelola serta menumbuhkan bisnisnya menggunakan platform teknologi, dimulai dari pembukuan dan pembayaran digital. Sementara Warung Pintar berfokus pada kebutuhan pedagang untuk mendapatkan akses yang mudah dan nyaman dalam memperoleh barang dagangan dengan harga lebih terjangkau,” kata Chinmay.

Application Information Will Show Up Here

MENA Indonesia Dukung Ekonomi Kreatif di Kampung Adat

Melalui platform, MENA Indonesia mengembangkan bisnis sosial berbasis komunitas untuk memasarkan produk tradisional. Mereka turut memberdayakan ekosistem lokal dengan melibatkan kampung adat, salah satunya menghasilkan diversifikasi produk tenun.

Tidak hanya sebagai cendera mata, produk tenun ini juga dijadikan tiket masuk wisatawan ke kampung adat yang tentunya proses produksi, manajemen keuangan, dan pemasaran dikelola oleh organisasi di kampung adat.

Kepada DailySocial, Co-founder MENA Indonesia Ni Nyoman Sri Natih mengungkapkan, selain memberikan solusi di internal kampung adat, produk turunan tenun juga dikembangkan menjadi brand lifestyle berbasis ekosistem dengan semangat nilai-nilai lokal yang dikawinkan dengan desain kontemporer.

Pemasaran produk juga didukung oleh cerita (storytelling) dibalik proses perancangan dan pembuatannya yang memperkuat identitas produk itu sendiri sebagai agen preservasi budaya Ngada.

“Dimulai dari Ngada, kami sepakat dan komit untuk melanjutkan kolaborasi bersama masyarakat lokal di beberapa kampung adat, melanjutkan program sembari merintis kewirausahaan sosial dalam bentuk brand kultural yang merepresentasi nilai-nilai lokal sejak tahun 2018,”kata Ni Nyoman.

Dengan model bisnis B2C dan direct-to-consumer, segmentasi pasar MENA adalah wisatawan mancanegara yang menyukai perjalanan wisata eco-culture dengan konsep live-in bersama komunitas lokal. Selain itu juga menargetkan masyarakat Indonesia dengan penghasilan tergolong ke dalam A-B+ dari generasi (X, Y, Z) yang mencintai nilai-nilai budaya lokal dalam desain lebih kontemporer dalam sebuah produk kerajinan tangan.

Memperluas kolaborasi dan kemitraan

[Ki-Ka] Ni Nyoman Sri Natih S; Justine Yohana; Steven Ellis; Ignatia Dyahapsari; Savira Lavinia Raswari / MENA
[Ki-Ka] Ni Nyoman Sri Natih S; Justine Yohana; Steven Ellis; Ignatia Dyahapsari; Savira Lavinia Raswari / MENA
Secara keseluruhan saat ini MENA telah memiliki 5 penenun perempuan, 2 laki-laki pembuat gelang anyam, 1 mitra koordinator lokal. MENA telah menjalin kemitraan dengan beberapa toko seperti Dia.Lo.Gue dan matalokal MBlocSpace di Jakarta; dan to~ko concept Rumah Sanur di Bali.

Secara berjualan di toko, MENA juga tersedia online di marketplace seperti KuKa Indonesia dan Moselo. MENA juga telah bermitra dengan tokotoko.us di Amerika Serikat, dan terlibat dalam berbagai pesta belanja kultural.

“Strategi monetisasi yang kami terapkan adalah revenue stream dari penjualan produk dengan kerja sama dengan partnerstore (offline), platform marketplace, media sosial, dan webstore. Sharing profit baru dilakukan untuk produk masker. Sebelumnya kami memberikan insentif apresiasi sesuai dengan jumlah produk yang selesai dibuat oleh penenun,” kata Ni Nyoman.

Di masa pandemi ini, tim bekerja lebih responsif dan adaptif dengan kondisi yang ada. Produk aksesoris yang tersebar di partner store harus tutup sementara. MENA kemudian bergerak dengan penjualan online melalui Instagram. Tidak hanya kasus Covid-19 yang berdampak ke Ngada, Nusa Tenggara Timur, juga kasus DBD yang tinggi menjadi perhatian MENA Indonesia.

“Kami berinisiatif membuat masker tenun dari perca dan berhasil membuat 52 masker yang 30% hasil penjualannya untuk donasi kesehatan – 5 KG ABATE untuk Ngada. Melihat antusiasme tinggi dari penjualan masker dan mempertimbangkan kampung adat kolaborator MENA yang menjadi tujuan wisata ditutup, kami merespons dengan membuka produksi masker tenun batch 2 dengan tujuan agar local economy tetap berjalan di desa dengan skema sharing profit dengan penenun,” kata Ni Nyoman.

Rencana usai program Gojek Xcelerate

MENA merupakan salah satu startup dari 11 startup yang tergabung dalam program Gojek Xcelerate Batch 4. Seluruh startup terpilih ini bergerak di bidang direct-to-consumer, menyesuaikan dengan tantangan bisnis di masa pandemi. Disinggung apa rencana usai mengikuti program, MENA yang menjalankan bisnis sosial mulai terdorong lebih progresif untuk menentukan strategi mengingat bahwa “scale up our business” beriringan dengan impact metric. Perusahaan juga berencana melakukan penggalangan dana.

“Ke depan rencananya kami akan lebih memasifkan strategi digital marketing dan teknologi untuk mengoptimalkan peningkatan sales. Hal lainnya, membangun valuable partnership dengan kolaborator dan investor yang sevisi dengan kami. Kolaborator lain dan investor ini akan menambah kesempatan dan demand agar local economy terus berjalan di desa, selain peningkatan kapasitas masyarakat yang terus dilakukan. Kami terus berupaya agar dampak dirasakan secara holistik, baik oleh tim, konsumen, kolaborator, investor, dan masyarakat,” kata Ni Nyoman.

Awali Tahun 2020, Halofina Jalin Kerja Sama dengan LinkAja

Menyambut tahun baru 2020, Halofina mengumumkan kerja sama dengan LinkAja. Rencananya kolaborasi ini akan ditandatangani pada 31 Januari 2020 mendatang. Bentuk kolaborasi keduanya diawali dengan integrasi sistem perencanaan keuangan milik Halofina ke dalam aplikasi LinkAja.

“Sejak awal Halofina berdiri, misi kami adalah ikut serta dalam mendorong literasi dan inklusi keuangan di Indonesia, melalui solusi berbasis teknologi. Terjalinnya kerja sama bisnis ini merupakan peluang positif untuk dapat mewujudkan misi serta dukungan kami kepada pemerintahan Joko Widodo dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia,” tutur Co-founder &  CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Pihak Halofina lebih jauh menjelaskan bahwa kolaborasi dari segi integrasi produk dan teknis akan dilakukan bertahap. Dimulai dengan fitur financial planning. Tidak menutup kemungkinan juga akan ada beberapa integrasi lainnya yang dikembangkan untuk menguatkan kedua belah pihak.

“Strategi tumbuh Halofina akan semakin menguatkan posisi kita sebagai financial advisory, bukan hanya product aggregator. Kita juga akan terus memperluas kerjasama dengan pihak mitra agar fitur financial planning di Halofina dapat digunakan oleh lebih banyak pengguna,” terang Adjie kepada DailySocial.

Sementara itu pihak LinkAja ketika dihubungi DailySocial menjelaskan bahwa dengan kolaborasi ini di aplikasi LinkAja akan muncul tautan langsung menuju sistem Halofina sehingga memudahkan pengguna yang ingin merencanakan keuangan. Selanjutnya LinkAja juga akan mengembangkan fitur yang memungkinkan pengguna untuk bisa langsung mengakses produk-produk keuangan yang disediakan oleh partner bisnisnya.

Sejauh ini LinkAja sebagai salah satu penyedia digital wallet memang tampak tengah menggenjot jumlah integerasi dengan sistem mereka. Sebelumnya dalam urusan pembayaran investasi, dalam hal ini reksadana, LinkAja juga sudah tersedia sebagai pilihan pembayaran di aplikasi Bibit, Tanamduit dan Xdana.

“LinkAja adalah dompet digital milik perusahaan negara yang kami harapkan bisa membantu growth dan traction penggunaan fitur perencanaan keuangan lebih luas lagi. Peluang dan kesempatan besar untuk halofina ketika berkolaborasi strategis dengan LinkAja di mana penggunanya sudah tersebar di seluruh Indonesia,” imbuh Adjie.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

HappyFresh Buka Kemungkinan Bawa “Konsep GrabFresh” di Platform Lain

HappyFresh mengungkapkan terbukanya kemungkinan membawa konsep GrabFresh ke platform lain, agar konsumen semakin mudah mengakses layanan groceries dari perusahaan. Rencana tersebut masih dimatangkan, sehingga belum ditentukan apakah bakal diterapkan di Indonesia atau di negara lain.

CEO HappyFresh Guillem Segarra menjelaskan, pendekatan partnership seperti dengan Grab ini akan memudahkan konsumen dalam mengakses layanan groceries dari aplikasi yang mereka pakai, tanpa harus mengunduh aplikasi HappyFresh. Untuk itu, perusahaan tengah mencari platform apa pun yang menawarkan berbagai solusi dan memiliki basis pengguna yang banyak.

“Kita percaya dengan pendekatan partnership dan sudah terbukti dengan Grab. Mereka sangat membantu kami dalam mendapatkan konsumen baru. Dari sini kami memutuskan untuk terbuka ke platform lain yang memiliki basis pengguna yang banyak,” terang Segarra, Rabu (3/7).

Adapun kabar terbaru dari GrabFresh, rencananya perusahaan akan membuka kehadirannya di Malaysia, Grab dan HappyFresh juga beroperasi di sana. Namun belum diputuskan kapan akan direalisasikan. Sejauh ini, GrabFresh telah hadir di Indonesia dan Thailand.

Segarra enggan menyebut kontribusi yang diberikan GrabFresh pasca peresmiannya. Tanpa menyebut angka detail, transaksi secara keseluruhan dikatakan selalu tumbuh double digit tiap bulannya sejak 18 bulan yang lalu.

Di samping itu, Segarra juga menyebutkan fokus perusahaan untuk ekspansi, baik lokasi baru maupun layanan groceries yang bisa menyasar berbagai segmen konsumen. Setidaknya dalam setahun ke depan, akan ada tambahan lokasi baru yang akan disasar perusahaan di tiga negara operasionalnya.

“Ada juga rencana untuk buka di negara baru, tetap dalam kawasan Asia Tenggara. Tapi kami masih belum tentukan.”

Sebagai pemain grocery delivery, HappyFresh kini menyediakan berbagai kebutuhan belanja mingguan lintas segmen. Tidak hanya supermarket saja, tapi juga bekerja sama dengan toko khusus yang menjual produk organik, kosmetik, kue, wine, bunga, dan makanan hewan.

Menurut Segarra, strategi ini diharapkan dapat menarik konsumen untuk terus berbelanja. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan mingguan mereka, juga menyediakan kebutuhan khusus yang tidak selalu dibutuhkan.

“Dari situ, kami ingin HappyFresh bisa hadir dan memenuhi semua kebutuhan konsumen.”

Resmikan tampilan baru

Di saat yang bersamaan, HappyFresh memperkenalkan wajah baru; baik logo, maskot, dan tampilan aplikasi; untuk menarik konsumen dari kalangan milenial. Fitur chat dalam aplikasi juga ikut disertakan, untuk memudahkan komunikasi antara konsumen dan shopper, terutama saat stok produk yang dipesan tidak tersedia.

Fitur ini juga dilengkapi dengan terjemahan otomatis yang berguna untuk konsumen yang hanya bisa berbahasa asing, saat ingin berhubungan dengan shopper. Dari segi layanan, terdapat peningkatan untuk peralatan antar, seperti kantong kemas termal untuk membawa produk beku dan dingin.

Disediakan pula kotak kardus atau tas biodegradable yang ramah lingkungan untuk mengirimkan barang pesanan konsumen. Peningkatan ini dimulai terlebih dahulu di Indonesia, kemudian diikuti Malaysia dan Thailand pada akhir tahun ini.

“Peningkatan integrasi dengan mitra supermarket juga kami lakukan, update stok lebih cepat, promosi dengan menawarkan harga yang terbaik untuk konsumen. Sebab pada dasarnya, teknologilah yang memungkinkan kami untuk menyelesaikan masalah di lapangan.”

Seluruh strategi di atas adalah rangkaian rencana perusahaan pasca mengumumkan perolehan pendanaan Seri C sebesar $20 juta pada April 2019, dipimpin oleh Mirae Asset-Naver Growth Fund, serta mitra strategis lainnya, seperti Line Ventures, Singha Ventures dan Grab Ventures.

Operasional HappyFresh di Indonesia tersebar di Jadetabek, Bandung, Surabaya, dan Malang. Untuk pengemudi dan shopper diklaim ada ribuan yang telah bergabung.

Application Information Will Show Up Here

Lima Hal yang Perlu Dicermati Startup sebelum Menjalin Kemitraan

Saat ini sudah banyak partnership atau kemitraan yang dilancarkan satu startup dengan starup lainnya. Selain untuk menambah jumlah pelanggan, kemitraan tersebut juga bisa memberikan keuntungan strategis sekaligus menciptakan layanan yang menyeluruh. Sebelum startup memutuskan untuk bekerja sama dengan startup lain, ada baiknya untuk mencermati lima hal berikut ini.

Pilih tipe pelanggan yang sama

Meskipun pelanggan yang ditargetkan tidak harus serupa, paling tidak pelanggan calon mitra bisa menjadi alternatif baru untuk layanan dan produk yang ada. Misalnya jika startup menargetkan target pasar kalangan menengah ke atas, cari layanan serupa yang mencoba untuk merangkul target pelanggan tersebut. Hadirkan juga pilihan baru untuk pelanggan melengkapi layanan yang telah dimiliki.

Bukan kompetitor

Mitra yang ideal adalah mitra yang memiliki layanan atau produk yang pada akhirnya tidak akan menjadi pesaing Anda. Misalnya jika Anda memiliki layanan on-demand, carilah mitra yang bisa mendukung bisnis Anda tersebut. Apakah dari sisi logistik, layanan pelanggan dan hal terkait lainnya.

Memberikan prospek untuk pelanggan baru

Salah satu strategi lain saat berencana untuk membina kemitraan adalah dengan melihat jumlah pelanggan yang dimiliki oleh calon mitra tersebut. Idealnya temukan bisnis yang memiliki jumlah klien dalam jumlah banyak, yang membutuhkan layanan yang Anda miliki. Dengan demikian bisa membuka kesempatan untuk akuisisi pelanggan baru dari kemitraan tersebut.

Memiliki minat besar untuk menjadi mitra

Hal lain yang harus diperhatikan saat menentukan mitra yang tepat adalah keinginan mereka yang cukup besar untuk menjadi mitra Anda. Dengan demikian visi dan misi bisa diselaraskan dan tujuan akhir yang ingin diraih bisa dijalankan bersama.

Tertarik dengan layanan yang dimiliki

Cara lain agar bisa mengajak mitra yang tepat, jika bisnis yang Anda miliki menarik perhatian calon mitra tersebut. Untuk itu lakukan riset dan buatlah rencana saat memilih calon mitra. Pastikan calon mitra tersebut belum memiliki layanan atau produk yang Anda miliki, agar bisa menarik perhatian mereka lebih besar lagi.

Tujuh Pertanda Salah Memilih Partner Bisnis

Kolaborasi bisnis menjadi suatu keniscayaan, terlebih bila tujuannya ingin mengembangkan bisnis ke jenjang yang lebih tinggi. Jarang sekali menemukan suatu perusahaan, terutama startup, yang mampu tumbuh berkat kemampuan sendiri (beragam hal dikomandoi oleh satu orang).

Akan tetapi tidak semua kolaborasi bisnis berjalan mulus, di tengah jalan tiba-tiba perkembangan tidak sesuai apa yang dibayangkan sejak awal. Atau kondisi lebih parah, mitra kerja menunjukkan sikap yang mengarah ke sisi negatif. Artikel berikut akan membahas lebih jauh pertanda apa saja yang menandakan bahwa Anda sudah salah memilih kerja sama bisnis:

1. Lebih banyak bermimpi daripada bertindak

Kasus ini tidak selalu terjadi dalam kerja sama bisnis. Menurut Angela Delmedico dari Elev8 Consulting Group, pihaknya pernah mengalami kejadian ini ketika beberapa startup mendekati perusahaannya dengan iming-iming pembayaran akan dilakukan ketika bisnisnya mendapat pendanaan atau ketika bisnis sedang tinggi-tingginya.

Tawaran ini sangat tidak sesuai dengan model bisnis yang dianut oleh Delmedico. Sebab semua orang itu punya ide, langkah eksekusi dan membawa ide tersebut ke pasar adalah kunci terpenting dalam meraih kesuksesan.

2. Tidak ada ketertarikan

Jessica Baker dari Aligned Signs mengatakan, ketika Anda tidak dapat menargetkan konsumen secara spesifik, berarti ada kemungkinan bisnis Anda tidak berhasil. Untuk itu, menurutnya sebaiknya Anda lakukan riset pasar. Cari tahu demografi konsumen Anda, mulai dari usia, jenis kelamin, lokasi, dan apa ketertarikannya.

3. Mereka tidak menjelaskan alasan melakukan kemitraan bisnis

Steven Buchwald dari Buchwald & Associates menerangkan, perusahaan itu memiliki taste masing-masing. Tapi dia menemukan ada beberapa ciri kesalahan umum dari orang-orang yang mengandalkan praktik saat berbisnis. Salah satunya sangat bergantung pada unsur konsep, contohnya seperti kemajuan karier, desakan untuk berkolaborasi demi mendapat kesempatan yang lebih besar, namun disertai keengganan untuk elaborasi lebih dalam.

4. Terlalu terburu-buru

Kejadian ini sering kali dirasakan oleh beberapa founder startup. Salah satunya, Ben Walker dari Transcription Outsourcing LLC. Dia menceritakan sudah beberapa kali jadi korban dari mitra bisnisnya. Tiba-tiba seseorang datang ke tempat Anda untuk menawarkan kerja sama dan sangat berusaha agar bisa dekat dengan Anda.

Dia sering kali terhenyuh dengan penawaran-penawaran tersebut dan dengan cepat memutuskan untuk segera bisa bekerja sama dengan cepat bersama mereka, tanpa mencari tahu motif apa di balik itu semua.

Maka dari itu, saran dari Walker adalah sebaiknya Anda pergunakan waktu dengan baik untuk mempertimbangkan kerja sama tersebut dan melakukan due diligence. Selain itu, cari tahu perusahaan tersebut lewat internet.

5. Mereka terlambat membayar tagihan

Christopher Rodgers dari Colorado SEO Pros bilang, “Secara tradisional kami sangat berhati-hati memilih mitra bisnis. Kami hati-hati memilih dokter hewan untuk setiap klien untuk memastikan mereka cocok bekerja sama dengan kami, memiliki potensi kerja sama jangka panjang. Sayangnya, jika klien Anda tidak dapat membayar tagihan mereka, artinya mungkin mereka tidak dapat mengelola bisnis dengan baik. Anda pun bisa jadi korban berikutnya.”

6. Mereka agak pemilih

Menurut Ajmal Saleem dari Suprex Learning, mitra bisnis yang pemilih (picky) itu adalah tanda peringatan terkuat dari kerja sama bisnis yang buruk. Orang yang picky itu menunjukkan kepribadian dari orang tersebut dan berpotensi menyebabkan perpecahan. Saleem bilang, sebaiknya Anda cari orang yang lebih fleksibel dan bersedia untuk bekerja dengan Anda.

7. Terlalu muluk-muluk

Arry Yu dari GiftStarter mengatakan sebaiknya Anda mendengar intuisi. Jika terlalu muluk-muluk untuk jadi kenyataan dan merasa semuanya bergerak terlalu cepat, maka sudah saatnya untuk memperlambat. Menurutnya sebaiknya Anda membuat fondasi bisnis yang lebih solid dan kokoh, dan kembali menata visi misi bisnis Anda sesuai semangat awal.