Qoala Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B 113 Miliar Rupiah [UPDATED]

*28/3/2023: Kami memperbarui informasi nominal pendanaan sesuai dengan rilis yang diterbitkan oleh Qoala

Startup insurtech Qoala mengumumkan telah menyelesaikan tambahan pendanaan seri B  sebesar $7,5 juta (lebih dari 112 miliar Rupiah). Investor baru dalam putaran ini adalah Responsability dan AppWorks. Sejumlah investor terdahulu juga turut berpartisipasi, di antaranya Eurazeo dan Indogen.

Bila ditotal dengan pendanaan Seri B di Mei 2022 kemarin sebesar $65 juta, maka total perolehan Qoala untuk putaran ini sebesar $72,4 juta (lebih dari 1,09 triliun Rupiah). Putaran ini diikuti oleh investor terdahulu Qoala, seperti Flourish Ventures, KB Investment, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India. Beberapa investor baru juga ikut bergabung, di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

“Sama seperti Series B kemarin, kami ingin gunakan dana untuk mendukung pengembangan teknologi sehingga pelayanan asuransi menjadi lebih baik,” ucap Co-founder & Deputy CEO Qoala Tommy Martin kepada DailySocial.id, Rabu (18/1).

Pencapaian Qoala

Startup yang dirintis pada 2018 ini memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Kemudahan ini membantu tenaga pemasar, atau yang disebut Mitra Qoala Plus, memperoleh penghasilan tak terbatas dan instan dengan kebebasan waktu. Variasi produk asuransi milik Qoala Plus yang sesuai kebutuhan dan gaya hidup masyarakat saat ini, seperti asuransi jiwa, kesehatan, asset berharga seperti mobil dan properti, serta asuransi gaya hidup seperti travel dan lainnya; secara otomatis memberikan kesempatan bagi para tenaga pemasar untuk mendapatkan penghasilan lebih.

Dalam paparan perusahaan baru-baru ini, Qoala Plus diklaim berhasil mencatatkan pertumbuhan lebih dari 10 kali lipat sejak awal berdiri di 2019. Selama satu tahun terakhir, Qoala Plus telah menjaring lebih dari 60,000 tenaga pemasar dengan lebih dari 20 kota operasional di seluruh Indonesia dan berencana membuka lebih banyak di masa depan.

Qoala Plus menawarkan 34 jenis produk asuransi yang berbeda sesuai keperluan masyarakat dan terhitung telah membantu sebanyak 115.000 proses klaim polis. Mitra perusahaan asuransi yang telah dirangkul, mulai dari Zurich Insurance, Great Eastern Life Indonesia, KB Insurance, Asuransi MAG, Asuransi Sinar Mas, Tugu Insurance.

Sebagai catatan, dalam mengoperasikan Qoala Plus, perusahaan bermitra dengan PT Mitra Jasa Pratama. Menurut situs Mitra Jasa, Tommy Martin menjabat Komisaris Utama, mengindikasikan posisi perusahaan pialang tersebut terafiliasi dengan Qoala. Kendati, belum ada keterangan resmi yang diungkap terkait ini dari Qoala.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Memperoleh Pendanaan Seri B Sebesar 948 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala memperoleh pendanaan seri B sebesar $65 juta atau sekitar 948 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut akan digunakan untuk memperkuat posisi dan jangkauan pasar Qoala di Asia Tenggara.

Disampaikan dalam keterangan resminya, pendanaan ini disuntik oleh sejumlah investor terdahulu antara lain Flourish Ventures, KB Investment, MassMutual Ventures, MDI Ventures, SeedPlus, dan Sequoia Capital India.  Beberapa investor baru juga ikut bergabung di antaranya BRI Ventures, Daiwa PI Partners, Indogen Capital, Mandiri Capital Indonesia, dan Salt Ventures.

Menurut catatan DailySocial.id, jika ditotal dengan pendanaan seri sebelumnya, kisaran investasi yang berhasil dibukukan telah mencapai $87 juta. Berpotensi membawa valuasi perusahaan di angka $300 juta.

Co-founder & COO Qoala Tommy Martin mengaku optimistis untuk menjaga pertumbuhan bisnisnya di tahun ini. Terlebih, ia menyebut telah mengantongi pertumbuhan bisnis di Thailand sebesar tiga kali lipat pasca-bergabung dengan FairDee pada Februari 2021. “Hal ini memberi kami keyakinan akan kemampuan ekspansi Qoala di Asia Tenggara,” tambahnya.

Qoala mencatat pertumbuhan 30 kali lipat sejak menerima pendanaan seri A pada April 2020. Dengan pencapaian ini, Qoala mengklaim sebagai perusahaan insurtech dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.

Pertumbuhan ini didorong oleh berbagai jenis asuransi ritel yang ditawarkan, mulai dari produk mobil, sepeda, rumah, dan kesehatan. Selain itu, Qoala juga berkolaborasi dengan sejumlah platform digital, seperti Traveloka, Shopee, Kredivo, dan Investree untuk produk asuransi mikro. Saat ini, Qoala beroperasi di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Sementara itu, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menambahkan bahwa Qoala punya peluang besar untuk berkembang secara B2B di berbagai sektor industri, mulai dari logistik, logistik, kesehatan, dan pariwisata. “Kami yakin pendanaan ini juga dapat memperkokoh posisi Qoala sebagai perusahaan insurtech terdepan di Asia Tenggara yang memiliki keselarasan inovasi dan sinergi dengan Mandiri Group,” tuturnya.

Ekspansi pasar

Lebih lanjut, Founder & CEO Qoala Harshet Lunani mengungkap akan memperluas jangkauan Qoala di seluruh Asia Tenggara. Ekspansi ini juga termasuk dengan pengembangan teknologi dan layanan untuk mengurangi kendala dalam mengakses produk asuransi.

Di samping itu, ia menilai ruang pertumbuhan asuransi masih sangat besar. Di Indonesia jauh dari penetrasi rata-rata global yang sebesar 6%. “Indonesia, Thailand, dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar pasar asuransi global dengan proyeksi pertumbuhan tercepat pada dekade berikutnya,” ucapnya.

Saat ini, total tenaga pemasar dan mitra bisnis yang terdaftar di Qoala mencapai 50.000 tenaga. Qoala juga telah bermitra dengan lebih dari 50 perusahaan asuransi. Tahun ini, mereka berencana menambah lebih dari 250 karyawan, serta berinvestasi pada pengembangan teknologi dan produk. Selain itu, perusahaan juga berencana memberikan kompensasi dalam bentuk saham untuk memperkuat kepemilikan karyawan di perusahaan.

Sebagai informasi, Qoala berdiri di 2018 dengan memosisikan diri sebagai platform insurtech untuk ritel. Qoala menawarkan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C).

Qoala meyakini dapat memecahkan masalah utama bagi pemasar asuransi dan konsumen melalui kecepatan penerbitan polis, penetapan harga instan, dan komisi instan kepada para tenaga pemasar asuransi. Inovasi ini juga dinilai dapat memungkinkan Qoala mengakuisisi konsumen dengan biaya lebih rendah dan mencapai unit ekonomi yang unggul.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia tercatat 3,18% yang mencakup asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), asuransi sosial (1,45%), dan asuransi wajib (0,08%). Adapun angka densitas (biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk bayar premi) sebesar Rp1,82 juta.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Memosisikan Diri Sebagai Platform Insurtech untuk Segmen Ritel

Digitalisasi industri asuransi tidak sekadar bicara soal mengubah channel penjualan ke kanal digital. Usahanya mengubah seluruh proses bisnis secara end-to-end, mulai dari pembuatan produk, pemasaran, pembelian, hingga klaim. Kolaborasi antara perusahaan asuransi dan platform insurtech pada akhirnya menjadi kunci penting dalam meningkatkan penetrasi asuransi yang masih mini di Indonesia.

Qoala menyadari strategi tersebut harus dilakukan dengan cara mutakhir, yaitu menempatkan asuransi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari agar masyarakat dapat mengenal manfaat dasar berasuransi. Selama ini industri asuransi masih cukup tradisional, mengandalkan agen dengan produk yang dipasarkan punya high value, tidak bisa dijual dengan murah.

“Tapi dengan adanya channel digital, kita tidak bisa semudah itu convert dari tradisional ke digital karena channel digital itu harus berbeda. Harus sesuai dengan kegiatan masyarakat yang beli lewat platform, yang terjangkau, mudah dipahami, dan karena tujuannya edukasi, harus lebih mudah saat klaim,” terang COO Qoala Tommy Martin dalam wawancara bersama DailySocial.id.

Dalam perjalanan meracik produk asuransi mikro, Qoala dan perusahaan asuransi saling bekerja sama dengan keahliannya masing-masing agar produk dapat tepat sasaran. Tommy mencontohkan, produk asuransi perjalanan akan mendapat nilai lebih apabila dikaitkan dengan kebiasaan mereka saat mengakses aplikasi OTA yang selalu mereka kunjungi.

Misalnya membeli tiket pesawat di era pandemi ini muncul risiko keterlambatan/pembatalan/penjadwalan ulang penerbangan dan perlindungan risiko apabila tiba-tiba positif Covid-19. Risiko-risiko yang muncul tersebut bisa memberikan nilai urgensi bagi konsumen untuk membelinya. Kelebihan ini sebelumnya belum bisa diberikan oleh perusahaan asuransi karena mereka memiliki keterbatasan dalam memperoleh analisa data kebiasaan digital konsumen sebagai bekal terpenting.

Keahlian tersebut menjadi kekuatan Qoala dan mengawinkannya dengan kapabilitas underwriting yang dimiliki perusahaan asuransi sebagai manajemen risikonya. Underwriting secara sederhananya adalah proses identifikasi dan seleksi risiko. Saat mengajukan asuransi, calon tertanggung akan terlebih dahulu melewati proses underwriting sebelum akhirnya mereka dibebankan premi dengan jumlah tertentu.

Di luar itu, mereka tidak memiliki kapabilitas untuk membangun pemahaman terhadap perilaku masyarakat yang sudah berbasis digital dan memahami memahami risiko apa yang dihadapi di era masa kini. Ini bicara mengenai data yang tidak semuanya bisa diakses oleh perusahaan asuransi.

Dibutuhkan kehadiran layanan insurtech untuk mengakses dan menganalisa data, misalnya data keterlambatan penerbangan yang diperoleh dari Angkasa Pura untuk asuransi perjalanan. Jutaan data tersebut kemudian diolah platform insurtech untuk mendapatkan masukan dan mendeteksi keterlambatan penerbangan secara real-time saat proses klaimnya.

Bagi perusahaan asuransi, klaim yang diajukan untuk keterlambatan penerbangan berkisar antara Rp150 ribu sampai Rp500 ribu. Ini angka yang kecil, namun untuk membentuk tim klaim khusus, produk ini memakan biaya investasi yang tidak sedikit, karena dunia digital bicara soal kuantitas agar tidak menjadi isu bila klaim yang diterima itu sampai ribuan.

“Yang kita kembangkan adalah kerja sama untuk flight status [dengan Angkasa Pura], supaya bisa deteksi keterlambatan. Jadi konsumen enggak perlu klaim, bahkan Qoala bisa kasih notifikasi berhak untuk klaim sehingga mereka tinggal ajukan klaim dengan mudah. Harapannya ke depannya mereka bisa memahami asuransi dengan cara yang mudah.”

Tiap kali ada inovasi yang mengubah perilaku masyarakat akan menimbulkan risiko baru. Kesempatan inilah yang bisa digarap perusahaan asuransi, sehingga produknya juga dituntut untuk terus berinovasi. Dunia asuransi itu sendiri dikenal sebagai industri yang kaku dengan proses kerja yang tidak sedinamis layanan insurtech.

Dalam setahun, volume polis yang diproses mungkin puluhan ribu karena produk yang dijual harganya mahal karena mengandalkan channel pemasaran agen yang memakan biaya. Sementara, bila melalui kanal digital polis, yang diproses bisa jutaan karena produk yang dijual bersifat mikro.

“Asuransi harus menjadi lifestyle yang bukan dicari untuk satu tahun, tapi bisa dibeli beberapa kali dalam setahun. Makanya harus dikaitkan dengan lifestyle.”

Perjalanan bisnis Qoala

Sejak beroperasi di 2018, Qoala menempatkan diri sebagai platform insurtech untuk ritel dengan dua produk, yakni Qoala Plus (keagenan) dan Qoala for Enterprise (B2B dan B2B2C). Pendekatannya kurang lebih sama dengan apa yang dilakukan PasarPolis, kompetitor terdekatnya.

Qoala Plus adalah platform untuk tenaga pemasar asuransi agar proses kerjanya lebih efisien dan terdigitalisasi. Mereka juga lebih independen dalam menyediakan opsi produk yang lebih beragam, karena tidak terikat pada satu perusahaan asuransi saja.

“Kita sudah bekerja sama dengan 30 perusahaan. Tenaga pemasar bisa memasarkan semua produk asuransi lewat aplikasi. Kelebihan-kelebihannya sudah diinfokan sehingga mereka bisa memberikan solusi yang lebih baik dan pelayanan yang lebih bagus.”

Sementara Qoala for Enterprise menawarkan solusi untuk bisnis di berbagai industri, baik untuk keperluan internal maupun sebagai growth avenue dan sumber peningkatan kepuasan end customer atau profitabilitas. Lebih dari 60 perusahaan teknologi dari lokal dan luar negeri telah bekerja sama dengan Qoala untuk memasarkan produk asuransi inovatif.

“Suatu hari masyarakat yang teredukasi lewat Qoala for Enterprise dapat menyadari keterlambatan penerbangan tidak akan mengubah hidup mereka. Akhirnya mereka sadar bahwa yang terpenting dari asuransi itu adalah asuransi jiwa, kecelakaan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang bisa memberikan dampak finansial kepada seseorang kalau bisa terjadi.”

Kaitan antara Qoala Plus dan Qoala for Enterprise ini bicara mengenai strategi perusahaan dalam meningkatkan penetrasi asuransi. Inovasi digital yang dilakukan pun berbeda tapi punya irisan yang sama. Qoala Plus fokus pada digitalisasi pelayanan tenaga pemasar. Produk asuransi tradisional saat ini sudah bagus dan teregulasi dengan baik, tapi perlu ditingkatkan dari segi pelayanan seperti menerbitkan polis dan proses klaim yang lebih cepat.

Sedangkan Qoala for Enterprise fokus pada edukasi. Dengan demikian produknya harus bersifat mikro, penerbitan polis dan klaim harus instan dan otomatis. Maka dari itu, inovasi digital yang dilakukan perlu dilakukan secara menyeluruh, sebab pengembangan produknya bergantung pada ketersediaan data dan kebutuhan masyarakat yang harus dikaitkan dengan platform digital populer.

Ekspansi bisnis Qoala

Menurut pengalaman yang didapat Qoala dari negara tetangga, produk asuransi tradisional tetap butuh pemasaran lewat kanal tenaga pemasar. Hal tersebut disebabkan kompleksitasnya, sehingga tetap lebih nyaman menjelaskan produk melalui tenaga pemasar. Kebiasaan ini mirip dengan pergadaian. Bahkan, di negara maju sekalipun, dengan penetrasi asuransi yang sudah tinggi, tetap membutuhkan kehadiran tenaga pemasar.

Di Thailand, salah satu negara yang dirambah Qoala berkat akuisisi  terhadap FairDee, perusahaan menjalankan model bisnis keagenan sejak pertama kali beroperasi di 2019 dan terbukti mampu jadi pemain terdepan dengan lebih dari 10 ribu tenaga pemasar. Konsep FairDee direplikasi dan dibawa masuk ke Indonesia.

Para tenaga pemasar yang bergabung di Qoala Plus dinamai Mitra Qoala Plus, diklaim jumlahnya mencapai lebih dari 50 ribu orang tersebar di Batam, Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Samarinda, hingga Manado.

Meski Tommy tidak bersedia memberikan secara rinci, kontribusi bisnis Qoala terbesar datang dari Qoala Plus dengan ticket size premi mulai dari Rp3 juta sampai Rp4 juta dengan ribuan polis terjual. Sementara Qoala for Enterprise produknya lebih mikro dengan ticket size mulai dari Rp5 ribu sampai Rp10 ribu dengan jutaan polis terjual. “Sementara pertumbuhan grup, secara preminya tumbuh lima kali dari tahun lalu.”

Qoala bisa dikatakan sebagai platform insurtech lokal dengan ekspansi regional terbanyak. Terhitung saat ini perusahaan telah beroperasi di Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Kecuali di Thailand, Qoala membangun bisnisnya dari awal di masing-masing negara. Kontribusi Thailand terhadap pendapatan grup dikatakan cukup mendominasi setelah Indonesia, dengan model tenaga pemasarnya.

Sementara di Vietnam dan Malaysia, perusahaan menjalankan solusi Qoala for Enterprise dan mulai beroperasi sejak tahun lalu. “Sebab di Enterprise ini kerja samanya dibangun dengan perusahaan dari Indonesia yang punya bisnis di kedua negara tersebut. Salah satunya dengan Traveloka juga.”

Banyak pembelajaran yang didapat Qoala dari negara tetangga untuk membantu pengembangan bisnis asuransi di Indonesia. Di Thailand dan Malaysia misalnya, tingkat kesadaran masyarakat untuk berasuransi tinggi karena diwajibkan untuk tiap pemilik kendaraan bermotor. Di sana regulasinya sudah menyatakan bahwa asuransi kendaraan harus disertakan untuk setiap perpanjangan STNK setiap tahunnya.

“Regulatornya sudah lebih advanced, dari manajemen risiko, infrastruktur yang lebih bagus. Di Indonesia itu keunggulannya potensi market terbesar dengan jumlah platform digital, masuk urutan ke-5 di dunia dari jumlah startup. Banyak pembelajaran dari perusahaan asuransi yang lebih maju untuk diadopsi di Indonesia.”

Perusahaan menargetkan sepanjang tahun ini keseluruhan bisnisnya dapat tumbuh hingga lima kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Proposisi yang dibawa perusahaan diharapkan dapat melambungkan posisinya sebagai platform insurtech untuk ritel terbesar di regional. Produk ritel yang dimaksud itu adalah asuransi kendaraan, perjalanan, gadget, kesehatan, jiwa, dan properti.

“Sudah cukup [ekspansi negara], sebab semua market yang kita rambat ini market potensial. Rencana berikutnya tetap fokus di Indonesia. Mengembangkan teknologi dan inovasi terutama Qoala Plus.”

Rencana lainnya yang disegerakan Qoala adalah mengajukan diri sebagai perusahaan asuransi. Tommy mengatakan, rencana tersebut kemungkinan besar akan dijajaki maksimal dua tahun dari sekarang. Tren tersebut secara alamiah menjadi perhatian bagi para pemain insurtech di belahan dunia mana pun karena kemampuan underwriting yang hanya bisa dilakukan apabila berada di bawah bendera perusahaan asuransi.

Tak hanya itu, lisensi ini juga memberikan mereka lebih banyak kendali atas produk dan operasi inti mereka, serta eksposur yang lebih besar terhadap keuntungan penjaminan emisi. Namun, karena asuransi adalah industri yang sangat diatur dan padat modal, menjadi perusahaan asuransi berlisensi akan memaksa startup insurtech untuk merealokasi sumber daya dan modal dari inisiatif pertumbuhan.

Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan tren yang terjadi belakangan, seperti perusahaan lending atau fintech yang mengakusisi perbankan untuk menjadi layanan digital. Di kancah global, sejumlah perusahaan insurtech kini sudah menjadi perusahaan asuransi sepenuhnya, di antaranya Bestow, Hippo, Pie Insurance, Lemonade, Metromile, dan Root.

“Di Indonesia variasi perusahaan asuransi itu sangat penting karena bisnis asuransi itu besar. Bukan berarti nantinya jadi perusahaan asuransi kita jadi tidak kolaborasi dengan perusahaan yang sudah ada. Kerja sama harus tetap berjalan karena melayani masyarakat luas,” pungkasnya.

Lewat Asuransi Mikro, Jalan Panjang Insurtech Bersinar di Indonesia

Penetrasi asuransi di Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Selama ini pendekatan yang diambil perusahaan asuransi dalam menjual produknya bisa dikatakan belum tepat. Dalam artian, produk yang dijual preminya terlalu mahal, pun masyarakat masih belum teredukasi dengan manfaat asuransi.

Alhasil, cara tidak berhasil dalam menarik calon pembeli, apalagi jika kondisi ekonomi mereka kurang mampu untuk membelinya. Kesenjangan tersebut akhirnya memicu munculnya insurtech.

Insurtech bukan sebagai perusahaan asuransi, melainkan mitra teknologi dari perusahaan asuransi untuk meracik produk asuransi dan memasarkannya lewat kanal digital. Pada tahap awal ini, insurtech memperkenalkan produk asuransi mikro dengan harga terjangkau untuk menangkap traksi dari masyarakat.

Menurut tren di negara maju, insurtech menjadi generasi dari fintech berikutnya yang akan bersinar, setelah pembayaran dan pembiayaan. Apakah tren ini akan terjadi di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial mengangkat pembahasan tersebut ke dalam sesi #SelasaStartup dengan mengundang Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin.

Model bisnis ideal insurtech

Menurut Tommy, model bisnis yang ideal buat perusahaan insurtech tergantung di mana negara operasional mereka. Buat Indonesia, salah satu keunggulannya adalah memiliki jumlah pemain startup digital yang melimpah. Itu bisa menjadi model bisnis yang bisa diterapkan.

“Keberadaan startup ini otomatis menjadi potensi yang bisa Qoala lakukan untuk kerja sama dengan mereka. Umumnya mereka sudah melayani konsumen masing-masing, seperti OTA, e-commerce, fintech lending, yang bisa dimasuki oleh produk asuransi sebagai pelengkap,” terangnya.

Cara jemput bola ini cukup tepat untuk diterapkan di Indonesia karena sebelumnya pemain insurtech yang hadir masih berbentuk marketplace menjual beragam produk asuransi. Hal ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa kesadaran orang Indonesia untuk membeli asuransi masih sangat rendah.

“Di Malaysia mungkin model marketplace sudah efektif karena kesadaran masyarakat di sana sudah tinggi. Di sana pemerintah mewajibkan untuk memiliki asuransi kendaraan. Jadi cukup buat portal untuk membeli asuransi sudah cukup.”

Mulai dari produk mikro

Tommy melanjutkan, posisi insurtech sebagai mitra teknologi dari perusahaan asuransi sebenarnya dapat mengakselerasi penetrasi asuransi dengan meracik produk yang dikostumisasi sesuai target konsumen. Ini bisa dimulai dengan menjual produk asuransi mikro yang menjadi produk komplementer mereka saat bertransaksi di platform digital favorit dengan harga murah, perlindungan simpel, dan proses klaim yang mudah.

Semakin relevan dengan kebutuhan mereka, maka kemungkinan besar produk asuransi tersebut pasti mereka beli. Misalnya seperti asuransi perjalanan, asuransi handphone, asuransi saat pembelian paket, dan sebagainya.

Dengan premi Rp15 ribu sampai Rp20 ribu menjadi harga permulaan yang sekiranya tidak akan membebankan konsumen saat membelinya. Tidak hanya menekankan harga yang murah, yang terpenting adalah proses yang simpel baik saat pembelian maupun klaim.

Klaim adalah moment of truth yang membuktikan bahwa produk asuransi yang dibeli konsumen benar-benar memberikan mereka manfaat. Produk asuransi itu sendiri adalah produk virtual yang bentuk polisnya hanya secarik kertas, bahkan tanpa kertas karena dikirim secara digital.

“Klaim adalah fokus utama Qoala, dari dulunya proses manual butuh mingguan sekarang jadi hanya hitungan detik. Dengan permudah klaim, suatu hari ketika konsumen beli produk asuransi mahal mereka sudah paham manfaatnya.”

Mengembangkan produk seperti ini tentunya akan menjadi tantangan bagi Qoala kepada perusahaan asuransi konvensional untuk meyakinkan mereka. Di satu sisi perusahaan harus tetap prudent bagaimana meminimalisir risiko penipuan dari setiap nasabah yang klaim.

Tommy menceritakan pada pertama kali menggandeng perusahaan asuransi, mereka butuh waktu enam bulan untuk memastikan mereka untuk percaya dengan teknologi dari Qoala. Menariknya, setelah berhasil diluncurkan, Qoala berhasil menggaet lebih dari 25 perusahaan dalam waktu setahun setelahnya.

Kini perusahaan telah melindungi kurang lebih 2 juta sampai 5 juta nasabah asuransi setiap bulannya. Mayoritas nasabah ini berada di kota-kota besar.

Perjalanan masih panjang

Produk mikro diyakini akan menjadi pintu awal dalam meningkatkan penetrasi asuransi di Indonesia. Di luar sana, solusi asuransi jauh lebih kompleks dan butuh bantuan insurtech untuk mengatasinya.

“Kalau kita bisa beri layanan asuransi dengan mudah, kita yakin masyarakat dapat memahami lebih cepat karena proses beli dan klaimnya sudah terbukti cepat. Ketika momen itu ada, kita baru bisa masuk ke tahapan berikutnya bagaimana menjadikan asuransi jadi top of mind dalam hidup mereka. Naik tahap belum akan terjadi cepat ketika kesadaran terbentuk.”

Dalam menyiapkan masa itu tiba, pekerjaan rumah yang dilakukan oleh perusahaan insurtech dengan asuransi adalah meracik produk-produk yang lebih kompleks dan menyederhanakannya dengan pendekatan teknologi. Salah satu yang sudah dilakukan Qoala adalah untuk asuransi kendaraan.

Qoala menggunakan teknologi machine learning untuk permudah klaim, sehingga petugas asuransi tidak perlu langsung mendatangi lokasi. Nasabah cukup mengambil foto dari masing-masing sisi kendaraan yang sudah ditentukan dan mengambil vdeo. Dari sistem akan mendeteksi dan memilah apakah badan kendaraan masih utuh atau tidak, lalu akan melaporkan analisa tersebut kepada asuransi.

“Bagusnya dengan teknologi adalah machine learning akan semakin pintar dalam menganalisis bagian mana yang rusak dan menurut kita suatu hari saat fraud menurun, mungkin harga premi akan turun karena risikonya semakin minim. Sebab yang membuat asuransi itu mahal karena proses analisa risikonya,” tutup dia.

Peran dan Strategi Insurtech di Tengah Pandemi

Penerapan PSBB di situasi pandemi telah mendorong banyak bisnis untuk beralih ke ranah digital. Hal ini menjadi momentum bagi industri bisa mempercepat laju transformasi digital, salah satunya di sektor asuransi. Sebelum pandemi melanda negeri ini, sudah ada beberapa platform insurtech yang meluncur di tanah air menawarkan berbagai macam asuransi mulai dari yang paling dasar kesehatan, perjalanan hingga perangkat lainnya. Beberapa di antaranya adalah Qoala, Futuready, PasarPolis, dan Igloo.

Tim DailySocial berdiskusi dengan sejumlah pemain dan pengamat industri mengenai dampak dan peran insurtech dalam situasi pandemi ini. Beberapa di antaranya sudah muncul dengan inovasi baru guna berkontribusi dalam masyarakat serta melanjutkan bisnis di tengah krisis.

Bergerak secara digital

CEO Futuready Indonesia Keet Peng Onn menyampaikan bahwa dampak pandemi ini belum terlalu signifikan pada perusahaannya, jika dibandingkan dengan industri lainnya, salah satunya adalah travel. Saat ini, pihaknya mengaku sedang fokus membantu menjembatani para pemegang polis untuk memperoleh refund (pengembalian dana) atas produk asuransi perjalanan yang mengalami pembatalan akibat pembatasan travel.

COO Qoala Tommy Martin menyebut pihaknya turut merasakan dampak pandemi pada aspek bisnis dan operasional perusahaan. Karena itu, pihaknya menerapkan beberapa strategi untuk bisa tetap beroperasi secara digital. Pertama, dengan mengikuti anjuran pemerintah dan menerapkan full WFH policy. Kedua, melancarkan strategi keuangan dengan fokus pada pengurangan anggaran operasional daripada mengambil jalur PHK. Ketiga, memaksimalkan pemasaran di jalur online serta melakukan inovasi produk untuk tetap dapat menjangkau masyarakat.

Igloo, perusahaan rebranding Axinan yang belum lama ini mendapatkan pendanaan, mengaku dengan keterbatasan aktivitas offline serta traffic e-commerce yang semakin padat, asuransi terkait transaksi online menjadi esensial.

“Kami memahami bahwa ini adalah masa yang sulit, karenanya Igloo, bersama dengan mitra asuransi kami, membuat beberapa perubahan pada klaim kebijakan untuk mengakomodasi perkembangan rantai pasok dalam ekosistem kami,” ujar Country Manager Igloo Indonesia Pradityo Anggoro Kusumo.

Kolaborasi menciptakan inovasi

Seperti diketahui, pandemi ini telah membatasi banyak sekali aspek bisnis dan operasional perusahaan. Dibutuhkan inovasi untuk mengatasi isu-isu yang muncul selama situasi pandemi ini berlangsung, salah satunya melalui kolaborasi.

Qoala, berbekal pendanaan Seri A yang baru saja didapat, bekerja sama dengan perusahaan asuransi menyediakan layanan asuransi yang mencakup risiko terjangkit Covid-19 untuk konsumen dan UMKM di seluruh Indonesia. Selain itu, Qoala juga bekerja sama dengan sejumlah asuransi kredibel terkait Covid-19 melalui sejumlah platform, salah satunya GrabKios.

Sementara itu, dalam rangka berkontribusi di masa pandemi, Futuready telah memfasilitasi beberapa produk asuransi terkait Covid-19, salah satunya yang mengakomodasi Uang Santunan Harian pada nasabah yang dirawat, serta turut membagikan 500 polis asuransi kesehatan secara cuma-cuma.

Pengamat asuransi dan pengajar Sekolah Tinggi Asuransi Trisakti Azuarini Dyah berpendapat pemasaran asuransi melalui digital bisa meningkatkan kesadaran untuk berasuransi dengan tren masyarakat yang mulai melek teknologi. Ia  menyampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan. “Regulator diharapkan bisa membuat batasan batasannya mana yang bisa dijual via digital atau tidak. Menurut saya, tidak bisa semua aspek asuransi bergerak via digital karena tergantung jenis perlindungan, mekanisme penutupan, dan preminya,” sebut Azuarini dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Qoala Insurtech Platform Bags 209 Billion Rupiah Series A Funding

The insurtech company founded by Harshet Lunani and Tommy Martin has secured another funding, a Series A round worth of $13.5 million or around 209 billion Rupiah. The current round was led by Centauri Fund.

There are new investors involved in this round, such as Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, and Mirae Asset Sekuritas. The previous investors include Bank Central Asia’s investment arm Central Capital Ventura, MDI Ventures, Surge, MassMutual Ventures Southeast Asia, and SeedPlus.

The company is to use fresh money to invest further in technology, HR and brands in order to support the company’s strategy in providing better services to customers, platform partners, and insurance companies. Qoala targets to employ 300 talents by the year 2021.

“Through this funding, we will invest further in technology, HR, and brands to be able to support our strategy in providing better services to customers, platform partners, and insurance companies,” Qoala’s Co-Founder and COO Tommy Martin said.

Previously, Qoala secured seed funding of $ 1.5 million (equivalent to 21.6 billion Rupiah) from Sequoia Capital India (Surge). Some other players engaged in the similar industry include PasarPolis, Fuse Insurtech, and 9Lives.

Insurance product for Covid-19

Tim dan manajemen Qoala
Qoala team and management

Qoala is to launch a product innovation for special insurance that covers Covid-19 for individuals and SMEs.This product is to complete the BPJS Health service by providing additional benefits.

“Particularly in the current crisis and the PSBB situation, we see an increasing need for innovation to support the insurance industry especially the limitations of offline product marketing,” said Tommy.

As an insurance technology platform, Qoala claims to have been able to process more than 2 million policies per month, up from the previous 7,000 policies per month in March 2019. Qoala has also expanded its services to cover five core industries, namely tourism, fintech, retail, logistics, and employees’ health.

“As a newcomer to the insurance / Insurtech technology industry, we are pleased to have the trust of leading global investors who continue to support us in developing innovations in insurance technology. This support makes us very optimistic in achieving Qoala’s vision and mission in promoting insurance and facilitating insurance access for all people,” Qoala’s Founder and CEO, Harshet Lunani said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform Insurtech Qoala Kantongi Pendanaan Seri A Senilai 209 Miliar Rupiah

Platform insurtech Qoala yang didirikan oleh Harshet Lunani dan Tommy Martin kembali mengantongi pendanaan, kali ini untuk tahapan Seri A senilai $13,5 juta atau sekitar 209 miliar Rupiah. Putaran pendanaan kali ini dipimpin oleh Centauri Fund.

Beberapa investor baru dalam putaran pendanaan ini termasuk Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, dan Mirae Asset Sekuritas. Investor terdahulu antara lain Central Capital Ventura dari Bank Central Asia, MDI Ventures, Surge, MassMutual Ventures Southeast Asia, dan SeedPlus.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk berinvestasi lebih jauh dalam teknologi, SDM dan brand untuk dapat mendukung strategi kami dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, mitra platform, dan perusahaan asuransi. Qoala juga memiliki target bisa menambah jumlah pegawai menjadi 300 orang hingga tahun 2021 mendatang.

“Melalui pendanaan ini, kami akan berinvestasi lebih jauh dalam teknologi, SDM dan brand untuk dapat mendukung strategi kami dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, mitra platform, dan perusahaan asuransi,” kata Co-Founder dan COO Qoala Tommy Martin.

Sebelumnya Qoala telah mengantongi pendanaan tahap awal senilai $1,5 juta (atau setara 21,6 miliar Rupiah) dari Sequioa Capital India (Surge). Beberapa pemain yang berada di ranah yang sama antara lain PasarPolis, Fuse Insurtech, dan 9Lives.

Produk asuransi Covid-19

Tim dan manajemen Qoala
Tim dan manajemen Qoala

Salah satu inovasi produk yang akan dihadirkan Qoala dalam waktu dekat adalah penawaran produk asuransi khusus yang mencakup risiko terjangkit Covid-19 untuk konsumen perorangan dan UKM.

Qoala menganggap produk ini menjadi komplemen BPJS Kesehatan yang dimiliki masyarakat dengan memberi manfaat tambahan.

“Terlebih dengan kondisi krisis dan pemberlakuan PSBB saat ini, kami melihat meningkatnya kebutuhan atas inovasi untuk mendukung industri asuransi terutama adanya keterbatasan pemasaran produk secara offline,” kata Tommy.

Sebagai platform insurtech, Qoala mengklaim telah mampu memroses lebih dari 2 juta polis per bulan, naik dari sebelumnya sebanyak 7.000 polis per bulan pada Maret 2019. Qoala juga telah meluaskan layanannya mencakup lima industri inti, yaitu pariwisata, fintech, ritel, logistik, dan kesehatan karyawan.

“Sebagai pendatang baru di industri teknologi asuransi / Insurtech, kami senang mendapat kepercayaan dari investor global terkemuka yang terus mendukung kami mengembangkan inovasi di bidang teknologi asuransi. Dukungan ini membuat kami sangat optimistis dalam mencapai visi misi Qoala dalam memasyarakatkan asuransi dan mempermudah akses asuransi bagi semua orang,” kata Founder dan CEO Qoala Harshet Lunani.

Application Information Will Show Up Here

Qoala Secures Seed Round Investment Over 21.6 Billion Rupiah, Ready to Offer Insurtech Product in All Sectors

Qoala insurtech startup recently secured funding in seed round of $1.5 million (around 21.6 billion Rupiah) from Sequioa Capital India (Surge). In addition, it was supported by some investors, including SeedPlus, MassMutual Ventures SEA, Golden Gate, MDI Venture, Central Capital Ventura and Genesia. However, the value is still undisclosed.

Tommy Martin, Qoala‘s Co-Founder and COO said this round is to be focused on insurtech in all industries, either digital or conventional. This technology and experience are expected to improve education and coverage of micro insurance, particularly in small towns in Indonesia.

He further explained the three main technologies on development. First, there is fraud detection system using artificial intelligence, it’ll improve risk management for fasten verification process. Next, data analytic and insight platform to help insurance company (partners) in creating more relevant product for consumers. Those three integrated aspects are to facilitate customers for management policy and product information.

“Qoala is currently in partnership with ACA and Simasnet related to train and flight insurance product with digital based claim. The company also partnered up with some travel agents, such as PegiPegi, Padiciti, AeroTravel, Golden Nusa, MNC Travel, and others,” he said.

The next business target is Qoala to expand product coverage to other industry outside travel, among those are smartphones and automotive. Some supported technology are being developed, such as image/video recognition feature to detect screen crack on device or vehicle.

“our recognition technology we develop intends to reduce insurance company requirements of physical exam of the broken device to fasten the claim process,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Qoala Bukukan “Seed Round Investment” Lebih dari 21,6 Miliar Rupiah, Siap Hadirkan Produk Asuransi Digital di Berbagai Sektor

Startup insurtech Qoala belum lama ini mendapatkan pendanaan dalam seed round sebesar $1,5 juta (atau setara 21,6 miliar Rupiah) dari Sequioa Capital India (Surge). Tidak hanya itu, putaran pendanaan tersebut dilanjutkan dengan keterlibatan beberapa investor meliputi SeedPlus, MassMutual Ventures SEA, Golden Gate, MDI Venture, Central Capital Ventura dan Genesia. Hanya saya nominal pendanaan lanjutan tidak disebutkan.

Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin mengatakan, pendanaan tersebut akan difokuskan untuk inovasi teknologi asuransi di berbagai industri, baik digital maupun konvensional. Harapannya dengan teknologi dan pengalaman klaim yang mudah tersebut dapat meningkatkan edukasi dan jangkauan produk asuransi mikro terutama pada kota kecil di Indonesia.

Lebih lanjut Tommy menjelaskan tiga teknologi utama yang dikembangkan. Pertama ada sistem fraud detection menggunakan kecerdasan buatan, memungkinkan peningkatan aspek manajemen risiko sehingga proses verifikasi klaim bisa lebih cepat. Kemudian platform data analytic and insight yang akan membantu perusahaan asuransi (mitra) dalam membuat produk yang lebih relevan untuk konsumen. Dan ketiga aplikasi terpadu yang memudahkan pelanggan mengelola berbagai polis dan mendapatkan informasi produk.

“Qoala saat ini sudah bekerja sama dengan ACA dan Simasnet terkait produk asuransi penerbangan dan kereta api dengan proses klaim berbasis digital. Perusahaan juga bekerja sama dengan berbagai agen perjalanan seperti PegiPegi, Padiciti, AeroTravel, Golden Nusa, MNC Travel, dan sebagainya,” terang Tommy.

Target bisnis selanjutnya, Qoala akan mengembangkan cakupan produk ke industri lain di luar travel, di antaranya untuk asuransi pada produk ponsel pintar dan otomotif. Beberapa teknologi penunjang tengah dikembangkan, salah satunya fitur image/video recognition untuk mendeteksi layar retak pada kerusakan perangkat ponsel dan kendaraan.

“Teknologi recognition yang kami kembangkan bertujuan untuk mengurangi kebutuhan perusahaan asuransi untuk pemeriksaan fisik atas kerusakan tersebut sehingga dapat mempercepat proses klaim,” ujar Tommy.

Qoala Digitalkan Proses Klaim Asuransi

Penetrasi asuransi di Indonesia baru menyentuh angka 1,7%, tergolong rendah dibandingkan negara tetangga. Melihat minimnya ketertarikan tersebut, startup insurtech Qoala mencoba hadir menyederhanakan proses klaim asuransi dengan pendekatan digital. Diharapkan memberikan citra positif layanan asuransi dan pengalaman pengguna yang lebih baik.

Founder dan CEO Qoala Harshet Lunani menjelaskan, perusahaan mengembangkan layanan secara end-to-end dengan teknologi; mulai dari tahap KYC, fraud management saat proses klaim, dan proses pembayaran. Dengan solusi tersebut, perusahaan asuransi dapat mengurangi biaya operasional dan menciptakan pengalaman klaim yang machine-driven.

Contoh pemrosesannya, Qoala dapat membantu menilai kerusakan layar ponsel dalam hitungan detik melalui embedded machine learning pada teknologi video assesment. Dengan teknologi ini, perusahaan asuransi dimungkinkan untuk dapat memproses dan membayar klaim asuransi lebih cepat.

“Kami bertujuan untuk terus mendukung pertumbuhan industri asuransi dan inklusi asuransi dengan menyediakan layanan mobile yang sepenuhnya automated dengan proses yang disederhanakan,” terang Harshet, Kamis (13/12).

Fokus bisnis Qoala lebih mengarah ke post-sales, berbeda dengan pemain agregator yang pre-sales. Secara regulasi, belum ada payung hukum yang selaras dengan model bisnis Qoala. Oleh karena itu, diungkapkan saat ini perusahaan masih dalam proses pendaftaran untuk masuk ke regulatory sandbox mengikuti aturan POJK Nomor 13/2018 tentang inovasi keuangan digital (IKD).

“Sejak 3-4 bulan lalu kami sudah mulai berkomunikasi dengan OJK. Mereka cukup terbuka dengan model bisnis seperti ini karena bisa mendukung industri asuransi,” tambah COO dan Co-Founder Qoala Tommy Martin.

Pada tahap awal ini, Qoala baru menyediakan produk yang khusus mengurangi risiko bagi para konsumen yang bepergian seperti produk 90 menit penundaan penerbangan tanpa klaim dan 100% pengembalian uang untuk pembatalan kereta. Dua produk ini dihadirkan berkat kolaborasi antara Asuransi ACA dan Simasnet.

Nasabah yang membeli asuransi dari perusahaan asuransi cukup mendaftarkan polisnya ke dalam sistem Qoala. Berikutnya mengunggah KTP, tiket penerbangan (apabila membeli asuransi perjalanan), dan memasukkan nomor rekening bank untuk permudah pembayaran klaim. Nanti sistem Qoala akan memberi notifikasi apabila ada pembayaran klaim.

Nasabah tidak perlu lagi melakukan dokumentasi ulang apabila ingin klaim atas risiko yang menimpa mereka. Pasalnya, dalam sistem Qoala juga terhubung dengan jadwal dari berbagai maskapai penerbangan.

Harshet mengatakan dengan teknologi Qoala nasabah dapat menerima klaim asuransi perjalanannya dalam kurun waktu 1,5 jam saja. Sementara kalau memakai proses manual, bisa memakan waktu hingga 4 jam.

“Perusahaan asuransi dapat menghemat biaya operasional hingga 25% dari 40% biaya yang mereka keluarkan setiap kali membayarkan klaim asuransi perjalanan kepada nasabahnya.”

Dalam model bisnisnya, Qoala menganut konsep B2B2C. Ada delapan mitra travel yang sudah bekerja sama dengan perusahaan; di antaranya Pegipegi, Panorama JTB, Padiciti, MNC Travel, Bravo Wisata, Travel Nusa, dan sebagainya.

Rencana bisnis

Tommy melanjutkan dalam waktu dekat, perusahaan akan merilis beragam teknologi untuk mendukung produk asuransi umum. Asuransi produk gadget ditargetkan bakal rilis dalam waktu dekat.

Berikutnya adalah asuransi kendaraan dengan teknologi. Bahkan dalam situs, Qoala tengah mempersiapkan produk asuransi untuk e-commerce, kesehatan, dan p2p lending.

“Tidak menutup kemungkinan kami akan mengembangkan ke asuransi jiwa, namun untuk tahap awal kami akan mengedukasi masyarakat dengan asuransi umum yang produknya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.”

Untuk mengakses layanan Qoala, sementara ini bisa diakses melalui versi PWA (Progressive Web Apps). Harshet menjelaskan paling lambat aplikasi Qoala bakal meluncur pada kuartal I/2019.

Qoala beroperasi sejak Februari 2018 dan kini memiliki 30 karyawan, lebih dari separuh adalah tim engineering. Diklaim Qoala telah digunakan oleh puluhan ribu pemegang polis. Perusahaan telah menerima investasi awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari Central Capital Ventura (CCV), Seedplus, dan Genesia Ventures.