Satgas Waspada Investasi Tutup Hampir 700 Fintech Ilegal di Paruh Pertama 2020

Satgas Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan telah menutup 694 fintech lending ilegal pada paruh pertama tahun 2020. Dibandingkan tahun lalu saja, angka ini sudah hampir separuh dari jumlah perusahaan yang ditutup SWI sebesar 1493 perusahaan.

Momentum pandemi, menjadi kesempatan para pemain ilegal itu lebih berkembang lebih liar, terlihat dari jumlahnya yang berlipat ganda dibandingkan sebelum pandemi. SWI mencatat sepanjang Maret-Juni 2020 telah menutup 574 perusahaan ilegal. Adapun pada Januari saja ada 120 perusahaan. Bila ditotal secara akumulatif dari 2018 hingga sekarang SWI telah menutup 2591 entitas.

“Dengan kemajuan teknologi yang memudahkan orang buat aplikasi, sebar SMS, fintech ilegal ini jadi semakin sulit diberantas. Jadi yang kita rutin lakukan setiap hari adalah cyber patrolling bersama Kemenkominfo sebelum jatuh korban lagi,” terang Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing dalam konferensi pers secara online, Senin (13/7).

Dia merinci lebih jauh dari temuan SWI, fintech ilegal tersebut memiliki server mayoritas dari luar negeri. Server dari lokasi tidak terdeteksi jumlahnya mencapai 44%, lalu dari Amerika Serikat (14%), Singapura (8%), Tiongkok (6%), Malaysia (2%), lain-lain (3%), dan sisanya dari dalam negeri (22%).

Seluruh fintech ini menurutnya tidak melakukan kegiatan pinjam meminjam uang seperti apa yang dilakukan oleh perusahaan p2p lending yang sudah tercatat di OJK. Mereka justru bertindak kurang lebih seperti perusahaan pembiayaan (multifinance). Ditambah itu, mayoritas aduan yang diterima berasal dari sisi peminjam, bukan pemberi pinjaman.

“Dari sisi pendana tidak pernah ada yang mengadu, yang mengadu adalah korban yang sering kena tipu karena persyaratan sering berubah-ubah, denda tidak terbatas, dan ada tindakan intimidasi saat mereka tidak mampu membayar,” tambahnya.

Dalam menjalankan kegiatan penutupan ini, SWI mengaku telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, mulai dari perbankan, antar kementerian, kepolisian, hingga Google. Dengan perbankan misalnya, SWI meminta untuk memblokir rekening yang terdeteksi melakukan transaksi yang dicurigai dan tidak melayani fintech lending sebelum mengantongi surat tanda terdaftar dari OJK.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede mengingatkan masyarakat agar sebelum melakukan pinjaman, perlu dipastikan pihak yang menawarkan pinjaman online tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.

“Yang legal itu harus terdaftar di OJK dan sudah menjadi anggota AFPI. AFPI adalah asosiasi resmi dan mitra OJK memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada anggota bila terbukti melanggar aturan dan kode etik,” ujar Tumbur.

Kesulitan karena tidak ada payung hukum

Tongam mengaku, dalam praktiknya pelaku memanfaatkan celah dari kekosongan hukum. Adapun perangkat hukum yang dibutuhkan antara lain ketiadaan UU Fintech untuk menjerat yang ilegal dan penyebaran data pribadi dan penagihan tidak beretika dengan KUHP, UU ITE, dan lainnya.

Dari sisi korban, mereka cenderung tidak melapor ke polisi malah lebih memilih lapor ke media sosial yang sebenarnya tidak akan memberi efek jera untuk pelaku fintech ilegal. Pun dari sisi SWI sendiri sulit untuk mencatat nilai valid kerugian ekonomi buat negara dari potensi pajak yang berhasil lari ke luar dari negara. Juga data rill jumlah peminjam dan investor tidak berhasil diperoleh.

Berikutnya, dari sisi penegak hukum belum ada prioritas penanganan perkara. Proses hukum lebih ke arah desk collection. Ditambah, biaya perkara tidak sebanding dengan kerugian yang diderita konsumen. “Kerugian ada di masyarakat, selain rugi materil ada juga psikis karena mereka diteror dan intimidasi saat penagihan.”

Langkah preventif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengetahui ciri-ciri fintech lending, antara lain tidak terdaftar di OJK; bunga dan jangka waktu pinjaman tidak jelas; alamat peminjaman tidak jelas dan sering berganti nama; media yang digunakan tidak hanya memakai aplikasi, tapi juga link unduh yang disebar melalui SMS atau dicantumkan dalam situs milik pelaku.

Berikutnya, ada penyebaran data pribadi peminjam; dan terakhir, tata cara penagihan tidak hanya kepada ke peminjam, tapi juga kepada keluarga, rekan kerja, hingga atasan, penyebaran fitnah, ancaman, hingga pelecehan seksual, dan biasanya penagihan sebelum jatuh tempo.

Survei AFPI: 88 P2P Lending Beri Keringanan Kredit Senilai 237 Miliar Rupiah Selama Pandemi

Survei internal AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) teranyar terkait restrukturisasi kredit akibat pandemi kembali dipaparkan. Kali ini mengungkapkan sebanyak 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Jumlah pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674.068 akun/transaksi.

Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden. Lebih lanjut dijabarkan, sebanyak 61,5% atau 88 platform mendapat permohonan restrukturisasi dari borrower. Sementara, sisanya 38,5% atau 55 platform tidak mendapat permohonan.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menjelaskan, dari 88 platform yang melaporkan, hanya 60 di antaranya menyampaikan informasi jumlah akun dan nilai total transaksi. Enam platform lainnya menyampaikan nilai total transaksi, dan 14 platform sisanya hanya menyampaikan jumlah akun.

“Total permohonan restrukturisasi mencapai 1,96 juta akun/transaksi, nilainya mencapai Rp1,08 triliun, tapi yang disetujui lender nilainya hanya Rp237 miliar,” katanya dalam konferensi pers secara online, Selasa (2/6).

Dia menekankan, penyelenggara platform p2p lending berbeda dengan industri perbankan. Platform hanya mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman, sementara bank bertindak langsung sebagai pemberi pinjaman.

Oleh karenanya, platform tidak berwenang untuk memberi restrukturisasi pinjaman tanpa persetujuan dari lender. “Kewenangan ada di pemberi pinjaman, namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam.”

Ditambahkan, dalam survei itu juga memperlihatkan terkait Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB90). Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik.

TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Persyaratan baru untuk pengajuan izin

Sumber: AFPI
Sumber: AFPI

Pada saat yang sama, AFPI mengumumkan delapan platform yang baru mengantongi izin usaha dari OJK. Mereka adalah Pinjam Modal, Taralite, Danarupiah, Pinjamwinwin, Julo, Indodana, Awantunai, dan Alami. Adapun total platform yang sudah berizin di OJK mencapai 33 platform dari 161 anggota AFPI, yang sisanya masih berstatus terdaftar.

Ketua Harian AFPI Kuseryansyah menambahkan, ada tambahan persyaratan yang harus dipenuhi oleh platform saat mengajukan izin. Yakni, memiliki keamanan sistem informasi berupa ISO 27001 dan telah terintegrasi dengan sistem Fintech Data Center (FDC). “Ini adalah requirement yang baru untuk pengajuan pada tahun lalu, pada batch sebelumnya belum ada,” ujarnya.

Integrasi dengan FDC menjadi fokus utama asosiasi saat ini agar bisa memberikan dampak yang optimal untuk mengurangi potensi penipuan di industri. Oleh karenanya, seluruh anggota didorong untuk terintegrasi, termasuk untuk platform yang sedang mengajukan izin.

Berkaitan dengan itu pula, asosiasi menutup sementara proses pendaftaran untuk anggota baru pada beberapa waktu lalu. Kus menyebut, ada 35 pemain baru yang masih dalam daftar tunggu dan belum diproses asosiasi.

“Sebentar lagi kami mau rapat untuk menentukan kapan akan buka lagi. Kami pun sedang ada studi bersama dengan OJK untuk melihat seberapa banyak idealnya p2p lending di Indonesia, hasilnya akan segera keluar.”

Dari data teranyar OJK pada April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Kus juga mencatat angka pinjaman per bulan sepanjang empat bulan ini mengalami tren kenaikan. Sektor-sektor yang naik drastis adalah pembiayaan untuk industri kesehatan, seperti UKM farmasi, obat-obatan, dan alat pendukung kesehatan. Begitu pula sektor yang terkait distribusi pangan, produk agrikultur, dan makanan kemasan.

Sektor lainnya adalah telekomunikasi dan ekosistem online yang semakin banyak digunakan untuk mendukung kehidupan sehari-hari dan berpotensi untuk berkembang seiring pergeseran perilaku konsumsi masyarakat.

Survei AFPI: P2P Lending Catat Penurunan Bisnis 5% Akibat Pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melaporkan industri p2p lending mengalami penurunan penyaluran pinjaman sebesar 5% dari Maret 2020 dibandingkan bulan sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Disebutkan juga penurunan bisnis belum memberi dampak terhadap tingkat kredit bermasalah.

Dalam survei singkat yang diselenggara asosiasi pada 6 April 2020, responden menyatakan TKB90 (Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari) tercatat stabil. Asosiasi belum mendapat data teranyar untuk melihat kondisi terkini. Bila melihat dari data OJK, TKB90 industri berada di angka 96,08% atau NPL 3,92% per Februari 2020. Angka tersebut tergolong sehat untuk industri.

Survei ini diikuti oleh 130 anggota AFPI sebagai responden. Dijelaskan, sebanyak 52% di antaranya atau 68 pemain mengaku sudah mendapat permohonan restrukturisasi dari peminjam.

“Survei ini baru secara industri. Kita akan lakukan survei ketika melihat pandemi ini sudah berlangsung panjang, bagaimana penurunan dari masing-masing platform baik dari nominal maupun debiturnya,” terang Ketua Harian AFPI Kuseryansyah dalam video conference bersama media, Senin (20/4).

Pria yang kerap disapa Kus ini menambahkan, gelombang dampak pandemi diprediksi akan ada di posisi puncak antara bulan depan sampai Juni 2020. Pada saat itu, diprediksi tingkat TKB90 dan NPL akan mengalami koreksi. Perusahaan dianjurkan untuk terus aktif melakukan pemantauan secara harian dan stress test untuk mengurangi dampak.

“Covid-19 sedikit banyak berpengaruh terhadap rencana bisnis perusahaan, termasuk target seluruh anggota penyelenggara. Pandemi juga dikhawatirkan membuat risiko kegagalan pembayaran berpotensi meningkat, sehingga akan semakin memperketat mitigasi risiko atas pengajuan pinjaman-pinjaman baru.”

Bila di dalami lebih jauh, dari semua segmen p2p lending ada yang justru mengalami berkah. Salah satunya Tokomodal yang bergerak pada pinjaman produktif untuk pemilik warung. CEO & Co-Founder Tokomodal Chris Antonius menerangkan, bisnisnya justru menunjukkan tanda peningkatan drastis karena transaksi warung yang meningkat.

“Ketika mal dan pusat belanja ditutup, masyarakat kembali belanja di warung buat beli kebutuhan pokok. Makanya pinjaman di Tokomodal justru naik. Terlebih itu, tenor kami hanya tujuh hari jadi turn over-nya cepat,” ujarnya.

Dari analisis perusahaan sejak dua bulan lalu hingga sekarang, Tokomodal tidak memiliki pengajuan restrukturisasi kredit. Untuk dukung operasional warung, kini perusahaan membuat program dukungan dengan membebaskan biaya admin setiap pengajuan pinjaman.

Kondisi sedikit berbeda dihadapi oleh Investree. Mereka mencatat dari total outstanding kredit sekitar 15% pinjaman yang berpotensi terkena dampak pandemi. Rata-rata industri tersebut bergerak di bidang ritel, seperti restoran dan kedai kopi.

Kurang dari 1% di antaranya adalah realisasi dari pinjaman yang pembayarannya terlambat. Sisanya, sekitar 2%-3% bersikap proaktif dengan meminta pengajuan restrukturisasi. Namun persetujuan ini tergantung dari keputusan pemberi pinjaman. Bentuk keringanan yang diberikan Investree yakni perpanjangan tenor dan payment holiday atau libur pembayaran.

“Kita enggak bisa langsung restrukturisasi karena p2p itu bukan on balance sheet, tapi off balance sheet. Jadi harus ada persetujuan dari lender, apakah setuju untuk restrukturisasi atau ada payment holiday,” tambah Chief Risk Officer Investree Amalia Safitri.

Hal yang sama juga dilakukan Crowdo. Perusahaan menganalisis bisnis peminjam yang terdampak pandemi sejak Maret lalu. Di antaranya consumer goods yang mengalami pengajuan keringanan tertinggi, ada juga sektor lainnya.

“Kami analisis peminjam mana yang kira-kira akan terdampak Covid-19. Pada April, sudah ada yang minta. Saat ini baru 3% peminjam yang mengajukan restrukturisasi. Kami berkomunikasi intensif dengan para peminjam yang meminta keringanan kredit untuk kontrol hariannya,” ujar COO Crowdo Indonesia Nur Fitriani.

Chris melanjutkan, dampak yang terasa setiap pemain p2p akan sangat tergantung pada segmen industri yang dilayani. Ambil contoh, bila ada warung makan yang mengajukan pinjaman produktif, tapi lokasi usahanya di lokasi wisata, otomatis bisnisnya akan ikut terdampak.

“Saya melihat pinjaman yang sifatnya justru lebih mendekati kebutuhan dasar akan meningkat bisnisnya. Logistik, alat kesehatan, e-commerce juga menunjukkan tren naik jumlah pinjamannya,” sambung Chris.

Ketua Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede menerangkan p2p lending berbeda dengan bank. Mereka hanya bertindak sebagai platform penyelenggara yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman. Jadi, platform tidak berwenang untuk memberikan persetujuan restrukturisasi tanpa persetujuan dari pemberi pinjaman.

“Namun penyelenggara dapat memfasilitasi permintaan pengajuan restrukturisasi bagi peminjam UMKM yang terdampak Covid-19 kepada pihak pemberi pinjaman,” tambahnya.

Hingga akhir Februari 2020, OJK mencatat penyaluran pinjaman p2p lending senilai Rp95,39 triliun naik 225,58% secara year on year. Dari sisi pemberi pinjaman ada 630 ribu entitas dan peminjam 22,32 juta entitas. Total penyelenggara p2p lending yang terdaftar di OJK ada 161 perusahaan, dengan 25 di antaranya sudah berizin.

Terus merekrut karyawan

Dampak Covid-19, bagi sebagian startup justru menjadi kesempatan untuk merekrut lebih banyak talenta baru. Tumbur yang juga CEO Tunaikita menerangkan, perusahaan merekrut lebih banyak tenaga customer service karena ada kebutuhan yang tinggi dalam hal komunikasi dengan para peminjam.

Selain itu, tenaga di bidang penilaian kini semakin dibutuhkan untuk melihat potensi di daerah baru yang tidak terdampak Covid-19 atau mencari peminjam baru. “Pengurangan karyawan belum berdampak, di industri justru makin dicari karyawan yang memang spesifik melakukan tugas-tugas dan fungsinya meningkat.”

Bisnis p2p lending, sambungnya, memperoleh pendapatan dari fee atas transaksi pinjam meminjam. Sementara, pendapatan bunga dan denda atas pinjaman adalah milik pihak pemberi pinjaman. Oleh karenanya, pendapatan mereka bergantung pada jumlah nilai penyaluran, sedangkan penyaluran ini tergantung pada kepercayaan pihak pemberi pinjaman terhadap kinerja platform.

“Momen ini sekaligus memperlihatkan fondasi bisnis yang kuat. Menurut efisien saya, momen-momen ini justru bisa menjadi pembuktian bahwa kita sudah melakukan yang benar [punya fondasi bisnis yang kuat],” tutup Chris.

Apakah Perlu Mengkaji Jumlah Pelaku “Fintech Lending”

Dalam tiga bulan mendatang, OJK akan kembali membuka proses pendaftaran putaran baru untuk pemain fintech lending. Penangguhan yang berlaku mulai paruh pertama tahun ini, sebelumnya diambil atas rekomendasi AFPI karena mereka tengah membangun pusat data dan butuh waktu untuk integrasi dengan semua platform lending.

Mengutip dari berbagai pemberitaan, regulator dan asosiasi saat ini fokus pada pengembangan pusat data fintech atau Pusdafil (Fintech Data Center/FDC) yang telah dirilis pada November 2019. Salah satu manfaatnya adalah mengindentifikasi peminjam ‘nakal.’ Bagi regulator, karena ini adalah bagian komponen dari penyempurnaan sistem, maka proses pendaftaran dihentikan sementara.

“Penghentian itu dilakukan untuk memberi waktu dalam menyempurnakan sistem pengawasan dan memastikan peningkatan kualitas industri ini,” ujar Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi dikutip dari akun resmi OJK di Twitter.

AFPI merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit
Perayaan hari jadi AFPI yang pertama, turut dihadiri perwakilan OJK / DailySocial

Sepanjang penangguhan berlangsung, AFPI berfokus pada mengintegrasikan platform seluruh anggotanya dengan Pusdafil. Pusdafil dapat menjadi cara untuk mendeteksi dan mencegah calon nasabah melakukan peminjaman berlebihan melalui banyak platform fintech pada waktu bersamaan.

“Butuh waktu sekitar enam bulan untuk mengintegrasikan secara penuh dan real time [Pusdafil] bagi seluruh anggota AFPI saat ini,” terang Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Lebih jauh dijelaskan, Pusdafil akan berperan optimal jika seluruh anggota terintegrasi karena seluruh data yang dapat meningkatkan manajemen risiko di industri. Mereka semua bisa mengetahui portofolio calon peminjam dan credit assessment sehingga bisa mencegah potensi kredit bermasalah.

Adrian menyampaikan, informasi terkini sudah ada 21 perusahaan yang sudah terintegrasi dari 161 anggota AFPI yang terdaftar di OJK. “Ada sekitar 36 [perusahaan] yang sedang dalam tahap finalisasi. Target dalam tiga minggu ke depan bisa live lagi [Pusdafil],” ujar Adrian secara terpisah kepada DailySocial, Senin (16/3).

Sembari itu pula, OJK masih tetap memproses perusahaan yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Menurut regulator, terdapat 164 perusahaan yang sudah beroperasi, sebanyak 25 diantaranya sudah mengantongi izin.

Apakah perlu kaji ulang jumlah perusahaan?

Ada pertanyaan yang muncul dari pasca keputusan yang diambil regulator dan asosiasi, apakah sebenarnya durasi penangguhan perlu diperpanjang? Apakah jumlah pemain fintech yang terdaftar sebenarnya bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan kredit yang belum bisa dijamah perbankan?.

Pengamat Indef Nailul Huda berpendapat dalam perlambatan ekonomi yang sedang dialami Indonesia, juga negara lainnya, kredit itu ibarat darah. Sehingga selalu dibutuhkan untuk menggenjot dunia usaha apalagi buat usaha kecil dan mikro agar terus bergerak dalam cashflow yang ideal. Fintech lending bisa menjadi channel yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.

“Gap kredit masih sangat lebar. Kita perlu membuka pintu untuk fintech. Saya kira masih banyak jenis fintech yang mampu didorong untuk memenuhi gap kredit di Indonesia. Equity crowdfunding salah satu yang bisa didorong untuk masuk ke pasar pembiayaan domestik,” imbuh Huda kepada DailySocial.

Sementara itu, Adrian belum bersedia memberikan pandangannya terkait pertanyaan ini. Dia berujar, asosiasi dan akademi sedang menyiapkan studi terkait credit gap dan kebutuhan akses pembiayaan untuk UMKM per sektor yang bisa dilayani fintech dan masuk ke segmen fintech.

“Sehingga tentunya terkait dengan kuantitas dan kebutuhan segmen UMKM bisa terpenuhi. Dari sisi kualitas [penyaluran kredit] tetap bagus. Sekitar sementar kedua akan dipublikasi.”

Dari hasil studi tersebut diharapkan akan muncul sejumlah rekomendasi valid yang bisa menjadi bahan pertimbangan buat para pengambil kebijakan. Kekhawatiran kerap muncul karena pesatnya pertumbuhan fintech lending, sejalan dengan kenaikan tindakan fraud yang dilakukan oleh pemain ilegal.

Satgas Waspada Investasi (SWI) menemukan 508 entitas ilegal pada kuartal pertama tahun ini. Bila menarik rentang waktu lebih jauh, total pinjaman fintech ilegal yang berhasil diringkus SWI sejak 2018 hingga Maret 2020 mencapai 2.406 perusahaan. Angka ini berbanding jauh dengan jumlah pemain yang legal.

Belajar dari Tiongkok

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Quality over quantity. Kuantitas tidak melulu menjadi perkara baik kalau tidak bisa diimbangi dengan kualitas. Ketimpangan penyaluran kredit di Indonesia sebesar Rp1.000 triliun ini seperti pisau bermata dua, sehingga tidak bisa hanya dijawab dengan menghadirkan banyak pemain.

Skandal yang terjadi di Tiongkok menjadi bekal bahan pembelajaran agar tidak mengulangi yang sama. Saat ini pemain p2p lending diambang gulung tikar karena regulator Tiongkok memperketat ruang gerak laju pemain p2p lending dengan membuat sejumlah aturan. Kepercayaan masyarakat pun akhirnya pupus, meski angka permintaan kredit dari bisnis kecil dan individu tidak menunjukkan tanda mereda.

“Meningkatnya aturan dan modal untuk pemberi pinjaman p2p Tiongkok terus memberikan tekanan pada keberlanjutan model bisnis di seluruh sektor pada tahun ini, yang mengarah ke kontradiksi industri lebih lanjut,” kata Direktur Lembaga Keuangan Non Bank Fitch Ratings Katie Chen, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Pengetatan aturan terefleksi dari berkurangnya jumlah pemain. Disebutkan pada 2016 angkanya mencapai 2.680 pemain, lalu turun drastis menjadi 343 pemain pada tahun lalu. Lebih dari separuh pemain berbasis di Beijing, ibukota Tiongkok.

Menurut laporan Wangdaizhijia, angka penyaluran menyusut menjadi 491 miliar Yuan ($70,4 miliar) pada tahun lalu. Padahal pada Juni 2018, angkanya tembus mencapai 1,32 triliun Yuan ($189,2 miliar). Perkembangan yang terlalu pesat dan kebijakan drastis yang diambil regulator mengakibatkan keruntuhan industri dalam waktu singkat.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

“Uang telah mengering karena regulator mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membersihkan sektor pinjaman non-bank dari penipuan dan penyalahgunaan yang terlalu merajalela,” kata Ketua dan Kepala Eksekutif China First Capital (bank investasi berbasis di Shenzhen) Peter Fuhrman. “Operator yang baik dihukum bersama bajingan,” sambungnya.

Salah satu pemain p2p lending terbesar di Tiongkok, Ezubao, disebutkan mengumpulkan dana sebesar 59,8 miliar Yuan ($8,5 miliar) dari lebih dari 900.000 investor. Perusahaan ini menjanjikan bunga pengembalian antara tiga hingga empat kali lebih besar dari bank. Tapi ini hanya sekadar janji manis, berbagai kasus bunuh diri terjadi karena mereka frustasi kehilangan dana.

Pada November 2019, regulator membuat ketentuan perusahaan harus memenuhi batas modal minimal 1 miliar Yuan ($143 juta) untuk memperoleh lisensi pembiayaan mikro online dan dapat beroperasi secara nasional. Besaran ini sama dengan persyaratan untuk bank komersial.

Regulator juga membatasi perusahaan untuk mengandalkan lembaga sebagai sumber dana, tidak lagi mengambil dari investor ritel. Fitch Ratings melihat persyaratan ini cenderung menjadi hambatan pertumbuhan untuk industri p2p lending, meski angka permintaan dari kalangan usaha kecil dan individu tidak menunjukkan tanda-tanda peredaan.

Frost & Sullivan memperkirakan p2p lending akan tumbuh menjadi 2,17 triliun Yuan ($311 miliar) pada 2023, naik drastis dari posisi 789 miliar Yuan ($113 miliar) pada 2018.

Mantan Presiden ICBC Yang Kaisheng mengatakan bahwa regulator Tiongkok perlu belajar dari kesalahan mereka dalam bertindak terlalu lambat dalam menangani risiko p2p lending.

“Jika enam atau tujuh tahun lalu ketika gelombang keuangan digital memanas, jika ada peraturan yang disarankan saat itu, meski kemungkinan [aturan] tidak terlalu matang, [risiko] mungkin agak samar, itu akan jauh lebih baik daripada apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian,” katanya.

Kualitas di Indonesia sejauh ini

Dalam mengukur kualitas suatu industri indikatornya bisa dilihat dari kinerja. Menurut data yang dirangkum OJK, per Januari 2020, akumlasi penyaluran pinjaman secara nasional mencapai Rp88,37 triliun naik 239,85% yoy. Pulau Jawa masih mendominasi dari total portofolio sebesar Rp75,71 triliun dan luar Pulau Jawa Rp12,67 triliun.

Tingkat keberhasilan 90 hari (TKB90) mencapai 96,02% (skala 100), turun dibandingkan Desember 2018 sebesar 98,55%. Meski turun, angka ini menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede masih dalam tahap wajar, sehingga tidak akan mengurangi kepercayaan pemberi pinjaman.

“Turunnya tingkat keberhasilan tahun lalu dianggap merupakan konsekuensi dari upaya penetrasi ke daerah-daerah yang tengah gencar dilakukan oleh pemain. Di luar Jawa, mereka gencar dengan sasaran utamanya adalah pinjaman bersifat konsumtif,” kata Tumbur dikutip dari Bisnis.com.

TKB adalah istilah lazim dalam dunia p2p lending, untuk memberi gambaran kepada calon pemberi pinjaman sebelum berinvestasi melalui platform. TKB merujuk pada tingkat keberhasilan dari perusahaan dalam menyediakan fasilitas penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu 90 hari sejak jatuh tempo.

TKB wajib dicantumkan dalam laman situs platform sebagai perwujudan transparansi. Semakin tinggi persentase TKB 90 dalam sebuah platform menunjukkan bahwa perusahaan memiliki strategi yang solid untuk mencegah terjadinya gagal bayar kepada pemberi pinjaman.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Penyaluran peminjaman memang sudah merambah ke daerah luar Jawa. OJK mencatat, titik lokasinya terlihat sudah menyentuh Aceh hingga Papua. Dari pertumbuhan yoy terbesar, dipegang oleh Sulawesi Utara (458,37%), Sulawesi Tengah (437,1%), Papua Barat (432,73%), Maluku Utara (392,71%), dan Kalimantan Tengah (380,24%).

Meskipun secara nominal belum besar, tapi pertumbuhan ini menjadi indikasi bahwa ada kebutuhan yang besar di sana. Angka pertumbuhan yang dipegang lima provinsi ini kalah jauh dengan pertumbuhan di Pulau Jawa dan Bali.

Peluang tersebut, bisa dijawab oleh pemain fintech lending entah baru atau petahana dengan meracik produk pinjaman yang bisa menjawab kebutuhan pasar. Jadi sebenarnya ini bukan soal perlu atau tidaknya banyak pemain baru. Melainkan seberapa cepat perusahaan berinovasi menangkap peluang. Kesempatan terbuka ini berlaku buat semua perusahaan.

Keberadaan platform digital, sangat membantu perusahaan ekspansi lebih cepat. Pemberi pinjaman dari manapun bisa meminjamkan dananya untuk peminjam di lokasi lain. Memanfaatkan keberadaan pemain industri keuangan konvensional seperti koperasi dan BPR, atau membuat skema urun dana seperti Amartha bisa menjadi cara untuk mengendalikan potensi fraud dan kredit macet.

Laporan East Ventures bertajuk EV-DCI 2020 menjadi rujukan terbaik (untuk saat ini) dalam memetakan potensi ekonomi digital dari masing-masing kota atau provinsi yang bisa dikembangkan lebih dalam. Di Sulawesi Utara, misalnya, masuk urutan ke-15 dengan skor 30,2 (dari skala 0-100).

Kekuatan di provinsi ini adalah pilar penggunaan ICT (54,9; urutan ke-10 dari semua provinsi). Pilar tersebut didukung oleh indikator rasio penduduk yang mengakses internet dengan smartphone (93,1; ke-8). Selain itu, infrastruktur juga sudah cukup baik (46,9; ke-17).

Akan tetapi, dari sisi SDM masih tertinggal dan ada di posisi ke-24 karena jumlah program studi digital yang sangat minim. Alhasil mahasiswa berkemampuan digital menjadi sangat terbatas. Input dan penunjang yang masih kurang membuat kewirausahaan digital di provinsi ini sulit berkembang (5,8; ke-24).

Kondisi ini selaras dengan jumlah Usaha Menengah Besar (UMB) dan Usaha Mikro Kecil (UMK) yang menggunakan internet (3,3) dan rasio antara keduanya (21,7).

Bagi sektor fintech lending, menciptakan produk pinjaman dimulai dari bersifat konsumtif bisa menjadi panduan awal sebelum diperkenalkan lebih dalam dengan produk pinjaman lainnya yang diperuntukkan buat modal usaha di sektor usaha yang paling dominan.

Di sana, kontribusi PDRB (produk domestik regional bruto) terbesar dipegang oleh ICT (38,3), sektor jasa keuangan (29,6), dan subsektor pergudangan, penunjang angkutan, pos & kurir (16,4).

EV-DCI mencatat rasio desa yang memiliki ATM sangat kecil (9,2). Angka ini selaras dengan ketersediaan kantor cabang bank (9,7). Dengan kata lain, provinsi ini punya peluang yang besar untuk dirambah pemain fintech, khususnya lending.

Four Fintech Lending Startup Acquired License from OJK

Indonesian Fintech Lenders Association (AFPI) announces its four members, Investree, Amartha, Dompet Kilat, and Kimo to acquire license from OJK as fintech lending. In total, with Danamas, there are only five out of 113 AFPI members listed in OJK.

“We appreciate our four members to acquire OJK’s license after the long process to make sure the fintech lending industry was build upon a strong infrastructure,” AFPI’s Head of Institutions and Public Relation, Tumbur Pardede said.

He continued, the four startups reflect all fintech lending’s business models. Investree with the SME’s productive sector and supply chain, Amartha focused on women’s micro businesses. Dompet kilat aims for consumptive sector with quick loan, and Kimo runs payment for balance top-up sellers.

In order to fasten the other members to acquire business license, AFPI is to build a special working group for license. Therefore, all startups which already listed are encouraged to share insights for members that suits their respective segments.

Therefore, they should be faster in completing requirements from OJK, the positive image will built among society.

Investree’s Co-Founder and CEO, Adrian A Gunadi said, the company needs two years to complete the requirements, as for Amartha. In the process, there are series of agreements in terms of administration or risk management that is completely essential.

One of those is to comply with ISO 27001, it doesn’t apply to every tech-based startup. The license isn’t simple and requires so things, particularly for startup working in financial service. Confidentiality is one of the example.

Furthermore, the integration system must adapt per OJK request, devices to monitor in order to run along the APU PPT (anti money laundering) it should be perfect, the auditor must be included in OJK.

“Any [requirements] to be integrated with system must be prioritized and meet the OJK standard. Some product development plans should be ‘hold’ for it,” he added.

After acquiring license, the company’s build up its confidence for partnership with all classes, either the government or private company. Also, there are companies and financial industries in need for partner with official license from regulator to guarantee their users.

“I think what we’ve been planning this year should worked. Starting to expand agressively with new partners is to be realized next year for we’ve grown confident through license,” Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said.

In terms of industry, fintech lending has distributed Rp33 trillion loans per April. For further detail, Amartha is claimed to distribute more than Rp 1 trillion for 230 thousand entrepreneurs with 98,26% payment success rate (TKB).

While, Dompet Kilat has distributed more than Rp10 billion loans for 20 thousand active consumers, the payment success rate has reached 97%. Investree has distributed over Rp2 trillion for 4 thousand borrowers. There are 66 thousand lenders with payment success rate up to 90,99%.

Lastly, Kimo has distributed Rp1 trillion loans since founded in 2016 with 10 thousand balance top-up partners.

Success payment rate is OJK’s requirement for all p2p lending entities with license to display success rate in the 90th day of its operation. It intends to improve transparency and help the lenders to know the risk of its funding placement.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Empat Startup Fintech Lending Terima Izin Usaha dari OJK

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengumumkan empat anggotanya, yakni Investree, Amartha, Dompet Kilat, dan Kimo telah mengantongi izin usaha dari OJK sebagai perusahaan fintech lending. Bila ditotal, ditambah Danamas, baru ada lima startup sudah berizin dari total 113 anggota AFPI yang sudah berstatus terdaftar.

“Kami mengapresiasi kepada empat anggota kami yang berhasil memperoleh izin OJK setelah melalui serangkaian proses panjang demi memastikan industri fintech lending dibangun dengan infrastruktur yang kuat,” terang Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede, Kamis (16/5).

Dia melanjutkan, keempat startup ini mencerminkan semua bisnis model yang diterapkan oleh fintech lending. Investree bergerak di sektor produktif UKM dan supply chain, Amartha fokus untuk pembiayaan mikro usaha perempuan. Dompet Kilat menyasar sektor konsumtif dengan layanan pinjaman kilat, dan Kimo bergerak pembiayaan untuk penjual pulsa.

Untuk mempercepat anggota AFPI lainnya memperoleh izin usaha, asosiasi akan membuat working group khusus mengenai perizinan. Jadi setiap startup yang sudah berizin didorong untuk berbagi catatan apa saja yang harus dipenuhi anggota, sesuai dengan segmen usahanya masing-masing.

Dengan demikian, mereka akan semakin cepat memenuhi ketentuan dari OJK, citra positif industri pun lambat laun akan semakin positif di mata masyarakat.

Co-Founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi menerangkan, perusahaan butuh waktu dua tahun untuk memenuhi ketentuan dari OJK, sama seperti Amartha. Dalam prosesnya, ada serangkaian ketentuan baik dari tata kelola dan manajemen risiko yang harus betul-betul dijaga perusahaan.

Di antaranya adalah memenuhi ISO 27001, aturan ini belum tentu diberlakukan buat startup berbasis teknologi lainnya. Lisensi ini tidak sederhana dan mencakup banyak hal yang harus dipatuhi perusahaan, apalagi buat startup yang bergerak di jasa keuangan, misalnya tentang kerahasiaan data pengguna.

Kemudian, dari sisi integrasi sistem harus menyesuaikan dengan apa yang OJK minta, perangkat untuk monitor agar sejalan dengan APU PPT (anti pencucian uang) harus sempurna, auditor pun harus masuk ke dalam daftar rekanan OJK saat audit.

“Apapun [ketentuan] yang harus integrasi ke sistem itu harus didahulukan dan harus memenuhi aturan OJK. Bahkan ada beberapa rencana pengembangan produk harus di-hold demi OJK,” terangnya.

Dari sisi perusahaan, pasca memperoleh izin usaha tentunya menambah kepercayaan diri untuk lebih gencar melakukan kemitraan dari berbagai kalangan baik dari pemerintah maupun swasta. Pasalnya, banyak perusahaan dari industri keuangan yang butuh mitra dengan status izin resmi dari regulator demi meyakini para konsumennya.

“Buat kami apa yang sudah direncanakan tahun ini tetap akan dijalankan. Mulai melebarkan sayap lebih agresif dengan cari mitra baru akan dilakukan pada tahun depan karena kami sudah percaya diri lewat izin resmi,” tambah Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra.

Secara industri, fintech lending per April telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp33 triliun. Dirinci lebih dalam, Amartha diklaim telah menyalurkan lebih dari Rp1 triliun untuk 230 ribu pengusaha dengan tingkat keberhasilan bayar (TKB) 98,26%.

Sementara, Dompet Kilat menyalurkan lebih dari Rp10 miliar pinjaman untuk 20 ribu konsumen aktif, TKB-nya 97%. Investree menyalurkan lebih dari Rp2 triliun untuk 4 ribu peminjam. Terdapat 66 ribu pemberi pinjaman dengan TKB 90,99%.

Terakhir, Kimo telah menyalurkan pinjaman Rp1 triliun sejak berdiri di 2016 dan memiliki 10 ribu mitra penjual pulsa.

TKB adalah kewajiban dari OJK untuk seluruh entitas p2p lending yang terdaftar untuk menampilkan tingkat keberhasilan pengembalian pada hari ke-90 di situsnya. Maksudnya untuk meningkatkan transparansi sekaligus membantu calon pemberi pinjaman untuk mengetahui risiko penempatan dananya.