Program Akselerator Sequoia “Surge” Masuki Batch Ketiga, Incar Lebih Banyak Startup Indonesia

Surge, program akselerator Sequoia Capital India, kembali dibuka untuk batch ketiga. Menargetkan lebih banyak startup Indonesia untuk bergabung ke dalam ekosistem Sequoia dalam mengembangkan perusahaannya.

Komitmen Sequoia untuk startup Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi. Mereka masuk ke ASEAN dan Indonesia pada 2014, ditandai lewat pendanaan untuk Tokopedia bersama SoftBank. Berlanjut untuk Gojek dan Traveloka, hingga kini disebutkan ada 15 startup lokal masuk ke dalam portofolionya.

“Tiap tahunnya perkembangan Indonesia selalu pesat, makanya selalu punya daya tarik kuat buat para investor. Kami berharap dapat menggaet lebih banyak startup lokal bisa bergabung dalam Surge,” ujar Managing Director Surge Rajan Anandan, kemarin (18/12).

Dari batch pertama dan kedua, startup lokal yang terpilih jumlahnya bertambah dari dua (Bobobox dan Qoala) menjadi tiga (Storie BP, Chilibeli, dan Rukita). Rajan berharap angka itu dapat bertambah, malah dia berharap Indonesia bisa mendominasi dari setiap kuota startup yang dibuka per batch-nya.

Surge membuka dua batch dalam setahun dengan kuota sekitar 15-20 startup untuk dibina selama 16 minggu per batch. Startup yang bergabung bisa masih berupa ide atau konsep, asal founder tersebut berkomitmen full time untuk mengembangkannya jadi bisnis nyata.

Startup tahap awal yang sudah punya bisnis diwajibkan mencantumkan kinerja bisnisnya, seperti traksi untuk mengukur seberapa besar potensi industrinya. Surge juga tidak membatasi segmen startup apa yang bisa bergabung, yang penting bergerak di teknologi.

“Langkah pertama adalah mengisi seluruh informasi soal startup mereka secara online. Dalam 30 hari akan ada follow up dari tim Surge apakah lanjut ke tahap meeting untuk tahapan beberapa seleksi berikutnya.”

Pendaftaran batch ketiga sudah dibuka pada awal Oktober hingga 15 Januari 2020. Program akan berlangsung mulai Maret sampai Juli 2020. Berjalan secara paralel, Surge membuka batch keempat setelah pendaftaran batch tiga ditutup. Begitupun seterusnya untuk batch ke depannya.

Setiap startup yang bergabung akan mendapat pendanaan awal dengan nilai sekitar $1 juta-$2 juta (sekitar Rp14 miliar-Rp28 miliar). Dana tersebut dapat digunakan membangun tim yang solid dengan memanfaatkan jaringan program Sequoia lainnya, yakni 10x Engineer dalam mendapatkan talenta terbaik.

Dana juga dapat digunakan mematangkan produk agar siap dikomersialkan dan membangun perusahaan agar lebih sustain. Rajan menjelaskan selama ini pendanaan tahap awal untuk startup banyak yang berada di bawah kapital yang dibutuhkan.

Dari hasil riset internalnya, pendanaan tahap awal di India, menurut 78% founder, senilai di bawah $800 ribu (sekitar 11 miliar Rupiah). Sedangkan di ASEAN lebih rendah, mencapai $500 ribu (hampir 7 miliar Rupiah) menurut 59% founder.

Di samping itu, perjalanan menuju pendanaan Seri A harus melalui banyak putaran kecil. Baik di India maupun ASEAN harus melewati setidaknya lebih dari dua kali untuk mendapatkan pendanaan Seri A. Alhasil mengakibatkan saham founder cepat terdilusi sejak dini dan menghabiskan terlalu banyak waktu.

“Padahal tahap awal adalah saatnya perusahaan untuk fokus membangun tim yang solid agar bisa menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan konsumen. Founder harus paham secara mendalam tentang calon konsumen mereka saat membuat model bisnis nantinya.”

Di luar Surge, Sequoia juga berinvestasi untuk startup tahap awal. Misalnya, Kargo dan Online Pajak. Terkait komitmennya untuk berinvestasi di luar Surge untuk tahap awal, Rajan enggan mengungkap lebih jauh.

Rajan mengaku setiap tahunnya perusahaan selalu mengalokasikan dana untuk follow on funding portofolio Surge. Salah satunya, pendanaan untuk startup SaaS asal India Seekify sebesar $1,5 juta dan startup agritech Bijak sebesar $2,5 juta, bersama investor lokal lainnya yang fokus pada pendanaan tahap awal.

Alpha JWC Ventures Bags 1.7 Trillion Rupiah Through Its Second Fundraising

Alpha JWC Ventures has announced to close its second fundraising round at $123 million or around 1.7 trillion Rupiah. Since starting the second round in mid-2018, Fund 2 had been closed by “oversubscribed” – the number of investors who have a keen interest to join is exceeding the available slots. In addition, almost all investors in Fund 1 are rejoined this round.

The money collected from Fund 2 has been invested since the end of 2018 to 14 startups. One of the biggest investments has been Kopi Kenangan in November 2018 at $8 million or around 121 billion Rupiah. To date, they already listed 33 startups in their portfolio.

“To date, our team’s support in the journey and its development has been an important factor of our startup portfolio’s succession, and our focus lays on the business fundamentals of each company. We always remind all founders and startup teams the importance of proper unit economics calculations and financial accountability from the first day they joined Alpha JWC. We believe this approach is essential for the long-term sustainability of startups,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Chandra Tjan explained.

In portfolio management, the company managed to use a hands-on approach in various business lines, from recruitment, marketing, and legal support.

“We also avoid investing in similar companies or any competitors to our previous portfolios. Our principle is to support our startups directly and intensively which means we have to choose the right founders and continue to help them throughout the startup journey,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & Managing Partner, Jefrey Joe added.

To date, Alpha JWC has 20 team members. This year they added three new partners, namely Alan Hellawell (former CSO of SEA Group), Erika Go (former Principal of Alpha JWC), and Eko Kurniadi (former VP of Investment Creador). In addition, they have now launched a permanent office in Singapore to be able to reach more startups in Southeast Asia.

“We’re actively eyeing Vietnam’s digital industry for funding opportunities. As one of the fastest growing economies in the world, we believe Vietnam is the next largest market in Southeast Asia. Furthermore, we’ve invested in three companies in Vietnam and currently exploring some other startups,” Chandra added.

In its debut in 2016, Alpha JWC Ventures has launched Fund 1 worth $50 million or around 700 billion Rupiah. The funds were channeled to 23 startups in Southeast Asia, mostly in Indonesia. In less than 4 years, Fund 1 is claimed to have grown to 3.2x in Net Asset Value (NAV). Alpha JWC has also successfully made two exits, the Spacemob coworking space network (acquisition by WeWork in 2017) and the DealStreetAsia business media (acquisition by Nikkei in 2019).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Alpha JWC Ventures Bukukan 1,7 Triliun Rupiah dalam Penggalangan Dana Keduanya

Alpha JWC Ventures mengumumkan telah menutup pengumpulan dana investasi keduanya senilai $123 juta atau setara 1,7 triliun Rupiah. Sejak dibuka pada pertengahan tahun 2018, Fund 2 ini ditutup “oversubscribed” — jumlah investor yang ingin bergabung lebih banyak dari slot yang tersedia. Selain itu hampir seluruh investor di Fund 1 turut bergabung pada putaran ini.

Dana yang dikumpulkan dalam Fund 2 telah diinvestasikan sejak akhir 2018 ke 14 startup. Salah satu yang mendapatkan investasi terbesar adalah Kopi Kenangan pada November 2018 dengan perolehan $8 juta atau sekitar 121 miliar Rupiah. Hingga saat ini sudah ada 33 startup dalam portofolio mereka.

“Salah satu faktor penting dari kesuksesan startup portofolio kami selama ini adalah dukungan dari tim kami dalam perjalanan dan perkembangan para startup tersebut; serta fokus kami pada fundamental bisnis tiap-tiap perusahaan. Kami selalu menekankan pada pendiri dan tim startup mengenai pentingnya perhitungan unit economics yang tepat serta akuntabilitas finansial sejak hari pertama mereka bergabung dengan Alpha JWC. Kami percaya pendekatan tersebut esensial bagi keberlangsungan startup secara jangka panjang,” jelas Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Dalam manajemen portofolio, pihaknya memakai pendekatan hands-on dalam berbagai lini bisnis terkait, mulai dari dukungan rekrutmen, pemasaran, dan legal.

“Kami juga menghindari investasi di perusahaan sejenis atau yang berkompetisi langsung dengan startup yang telah kami danai sebelumnya. Prinsip kami untuk mendukung startup kami secara langsung dan intensif berarti kami harus benar-benar memilih founder yang tepat dan terus membantu mereka sepanjang perjalanan startup tersebut,” imbuh Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Saat ini Alpha JWC telah memiliki 20 orang anggota tim. Tahun ini mereka menambah tiga partner baru, yakni Alan Hellawell (mantan CSO SEA Group), Erika Go (sebelumnya Principal Alpha JWC), dan Eko Kurniadi (mantan VP of Investment Creador). Selain itu kini mereka telah membuka kantor permanen di Singapura untuk bisa menjangkau lebih banyak startup di Asia Tenggara.

“Kami terus memperhatikan industri digital Vietnam secara aktif untuk kesempatan pendanaan. Sebagai salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, kami yakin Vietnam adalah pasar terbesar selanjutnya di Asia Tenggara. Sejauh ini, kami telah memiliki tiga investasi di Vietnam dan sedang mendalami beberapa startup lainnya,” tambah Chandra.

Dalam debut awalnya di tahun 2016, Alpha JWC Ventures meluncurkan Fund 1 senilai $50 juta atau sekitar 700 miliar Rupiah. Dana tersebut disalurkan kepada 23 startup di Asia Tenggara, mayoritas dari Indonesia. Kurang dari 4 tahun, Fund 1 diklaim telah berkembang hingga 3,2x dalam Net Asset Value (NAV). Alpha JWC juga telah berhasil melakukan dua exit, yaitu jaringan coworking space Spacemob (akuisisi oleh WeWork di 2017) dan media bisnis DealStreetAsia (akuisisi oleh Nikkei di 2019).

Peran CVC dalam Pengembangan Ekosistem Teknologi Digital

Empat sampai lima tahun yang lalu, corporate venture capital (CVC) adalah satu fenomena yang terhitung baru di kancah startup Indonesia, di mana banyak korporasi dalam negeri yang mulai masuk ke ranah pendanaan bisnis digital. Menilik iklimnya di luar Indonesia kala itu, bentuk venture capital yang satu ini terlihat telah lebih dulu menjadi tren progresif.

Tren tersebut bisa dilihat dari angka pertumbuhan yang positif secara global. Menurut data CB Insights, kontribusi CVC dalam ekosistem investasi venture capital (VC) secara global selalu meningkat; terlihat dari jumlah partisipasi CVC dalam seluruh pendanaan VC sebanyak 16% pada 2013 dan 23% pada 2018. Juga, tren keaktifan pendanaan CVC meningkat 47% dari tahun 2017 ke 2018.

Angka di atas menunjukkan daya dan upaya CVC untuk terus meningkatkan kesehatan ekosistem bisnis teknologi, yang juga tentunya sejalan dengan tujuan CVC untuk menghubungkan inovasi terbaik dengan bisnis dan akses pasar dari perusahaan induk. Dengan demikian, penting untuk menilik lebih lanjut bagaimana profil dan potensi dari perusahaan induk kemudian dapat berkontribusi ke startup melalui CVC, khususnya korporasi besar dengan CVC yang masih terbilang hijau.

Salah satunya adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (Bank BRI) yang di kuartal tiga 2019 ini meluncurkan CVC mereka BRI Ventures. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyebutkan bahwa meski BRI Ventures terhitung baru dalam penjelajahan di wilayah investasi dunia digital–dengan bekal tim subur pengalaman dan wawasan–namun ia yakin bahwa kecepatan eksekusi adalah cara terbaik untuk dapat memberi dampak pada inovasi terbaik. Lantas, bagaimana langkah taktis BRI Ventures sebagai CVC yang tergolong baru untuk dapat ikut serta mengembangkan ekosistem startup?

Visi CVC pada investasi di bisnis digital

Seperti yang disebutkan di awal artikel, masuknya korporasi dalam bentuk CVC ke dalam kolam bisnis inovasi digital menjadi perbincangan kurang lebih setengah dekade ke belakang. BRI Ventures saat ini jelas tampak masih muda ketika memasuki rimba startup dan teknologi, apalagi dengan perusahaan induk yang termasuk terbesar dan tertua di industri.

Menyambung apa yang disebutkan Nicko terkait keberadaan BRI Ventures di industri, Markus Liman Rahardja, VP Investor Relation and Strategy BRI Ventures, sama sekali tidak keberatan jika harus injak pedal sedalam-dalamnya untuk maju mempercepat pembaruan bagi Bank BRI.

“Karena BRI Ventures ada untuk mengakselerasi inovasi dari luar (Bank BRI) dan mengerjakan hal-hal yang tidak bisa dijalankan di dalam (Bank BRI). BRI Ventures akan mengambil peran sebagai penghubung inovasi, di mana nanti inovasinya bisa dari Bank BRI atau startup terkait, agar kita semua selalu siap menghadapi industri ini yang memang secara alami terus berubah,” tegas Markus.

Secara brand image, BRI Ventures boleh jadi dinilai baru, namun individu-individu di baliknya adalah para veteran di sektor digital, inovasi, dan teknologi. Selain Nicko, Markus, dan VP Investment BRI Ventures William Gozali yang memang sudah lebih banyak mengenyam pengalaman di industri (baik dari perspektif sebagai founder maupun VC), BRI Ventures juga diotaki oleh sang founder Indra Utoyo, Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi Bank BRI, yang juga dikenal sudah lama dalam pengambilan keputusan strategis di korporasi dalam fokus inovasi teknologi dan kolaborasi.

Bersama figur-figur tersebut di dalam tim utama, BRI Ventures mengambil peran sebagai CVC yang membangun ekosistem digital secara menyeluruh. Keberadaan Bank BRI sebagai perusahaan induk tentu mengundang asumsi di awal bahwa dukungan BRI Ventures lebih fokus pada industri finansial (secara spesifik fintech).

“Kami akan masuk tidak hanya di industri keuangan, tapi juga ke emerging ecosystem lainnya, tentu dengan melihat inovasi digital yang mempunyai nilai besar. Hanya saja, kami berharap value-nya benar-benar nyata, bukan angka-angka dan cerita-cerita karangan. Real people, real work, real customers, and relevant value propositions,” ujar Markus.

CVC secara umum pasti menginginkan keterhubungan dengan bisnis utama grup. Bank BRI dengan BRI Ventures tentu punya ekspektasi serupa, dengan nilai inovasi tinggi yang mencakup berbagai sektor industri digital. “BRI ‘kan saat ini menjadi solusi finansial yang terintegrasi. BRI Ventures ingin menjadi ekosistem digital yang terintegrasi,” terang William memperkuat penuturan Markus terkait visi BRI Ventures.

CVC untuk ekosistem digital Indonesia

Berjalan bersama raksasa jasa keuangan di Indonesia yang terhitung tua tetap membuat BRI Ventures bergerak leluasa dalam menjalin komitmen dengan ekosistem teknologi, dengan dua fungsi yang menjadi payung utama dalam kolaborasi, yakni fungsi Digital Center of Excellence (DCE) untuk kolaborasi dengan fintech dan fungsi Kerja Sama Teknologi (KJT) untuk kolaborasi dengan non-fintech.

“Jadi kalau ditanya sejauh mana kolaborasinya, paling sedikit kami punya komitmen dengan memiliki tim yang spesifik, yang memang tugasnya untuk melakukan kolaborasi dengan bank. Di era sekarang, tidak semua bisa dijalankan sendiri,” ujar Markus.

Kasus nyata kolaborasi Bank BRI dengan ekosistem teknologi yang dipimpin langsung oleh Markus ialah Indonesia Mall. Kolaborasi yang diluncurkan pada April 2018 ini adalah program kerja sama antara Bank BRI dengan beberapa e-commerce terkemuka di Indonesia (Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Blibli, dan Blanja) dalam membuat official online store dari produk UMKM terpilih.

“Kami tidak punya sumber daya berupa keahlian, logistik, dan kapital dari sisi e-commerce. Makanya, dibanding membuat e-commerce sendiri, kami lebih memilih kolaborasi. Kita eksekusi hal-hal yang bisa kita kolaborasikan untuk mengakselerasi inovasi dan akan dipikirkan bentuk kerja samanya,” tutur Markus.

Komitmen Bank BRI terhadap kolaborasi yang direncanakan oleh BRI Ventures terlihat dari pendanaan senilai $250 juta seperti yang pernah disebutkan. Dengan sumber daya setara Rp3,5 triliun tersebut, fokus terdekat BRI Ventures adalah untuk menata portofolio, terutama untuk merangkul ekosistem di luar fintech.

“Ekosistem ini antara lain agriculture, maritim, kesehatan, pendidikan, tourism & travel, transportasi, industri kreatif, dan retail. Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal,” terang William.

Fokus kolaborasi BRI Ventures saat ini adalah di tahap growth stage, di mana startup yang mereka incar adalah mereka yang sudah memiliki produk dan model bisnis. “Kami sudah ada penjajakan dengan sejumlah startup. Cuma pengumumannya tidak bisa langsung. Sampai akhir tahun baru LinkAja yang sudah diumumkan. Sebetulnya ada beberapa startup lagi yang sedang kami evaluasi. Tahun ini, kami dalam tahap akhir di 4-6 startup, untuk detailnya akan kami umumkan di waktu yang lebih tepat,” sambung William.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh BRI Ventures.

Kinesys Group Tunjuk Steven Vanada Jadi Managing Partner, Siapkan 280 Miliar Rupiah untuk Startup Tahap Awal

Perusahaan modal ventura Kinesys Group (Kinesys) menunjuk Steven Vanada sebagai Managing Partner untuk mengukuhkan dan mendukung usaha perusahaan di ekosistem startup lokal. Steven berpengalaman selama delapan tahun sebagai investor bersama CyberAgent Capital dengan posisi terakhir sebagai Executive Director.

Diinisiasi Yansen Kamto di awal tahun 2019 dengan debut investasi di Wahyoo, Kinesys juga didukung Co-Founder & Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo sebagai Advisor.

Sepanjang tahun ini, selain Wahyoo, ada empat startup lainnya yang sudah mendapatkan kucuran dana dari perusahaan, yakni Zenius, Recharge, Umma, dan Goola. Kinesys menargetkan bisa berinvestasi ke tiga startup lagi hingga Januari mendatang.

Sektor yang diminati

Kepada DailySocial, Yansen dan Steven menceritakan visi-visi investasi perusahaan. Ada lima sektor utama yang menjadi fokus, meliputi new retail, entertainment, lifestyle, travel, dan education. Meski ditujukan untuk startup-startup di kawasan Asia Tenggara, dana yang dikelola Kinesys ini akan diprioritaskan untuk startup Indonesia, khususnya yang bergerak di segmen konsumer ritel.

Bukan tanpa alasan, Steven mengatakan saat ini infrastruktur utama dalam ekosistem internet di Indonesia sudah terbentuk dengan baik. Layanan marketplace, edukasi pengguna, hingga pembayaran sudah dibentuk di era awal selama satu dekade terakhir.

“Infrastruktur sudah ada fondasinya [platform], misalnya pembayaran sudah ada GoPay dan sebagainya. Dari situ banyak vertikal baru yang siap untuk diinvestasi. Kalau dulu kita masih berpikir, untuk meyakinkan orang buat beli online, pembayarannya belum efisien dan lain sebagainya, lalu bagaimana mau beli konten (digital). Sekarang sangat berbeda, banyak peluang baru yang mungkin lima tahun lalu belum ada,” ujar Steven.

Ia melanjutkan, digitalization of existing sectors menjadi prinsip besar yang dipegang Kinesys. Mereka ingin mendukung produk inovatif startup digital yang dapat membantu model bisnis (konvensional) yang sudah ada sebelumnya untuk diakselerasi dengan pendekatan digital.

“Kita melihat adanya peningkatan consumer confidence, purchasing powers, the rise of middle class. Dari sana ada sektor spesifik yang bisa dikembangkan. Misalnya untuk mendukung pariwisata; sekarang banyak sekali jalan tol dan bandara baru yang memudahkan, kita tinggal mengisi dengan solusi yang membuat pengguna lebih efisien dan membuat pengalaman menjadi lebih personal,” tambah Yansen.

Kelola dana 280 miliar Rupiah

Di putaran perdananya, perusahaan menargetkan dana kelolaan $20 juta atau setara lebih dari 280 miliar Rupiah. Sasaran investasinya adalah startup tahap awal (early stage) dengan penyaluran ticket size mencapai $500 ribu (sekitar 7 miliar Rupiah) per startup. Sejauh ini sudah 70% dana terkumpul yang secara keseluruhan berasal dari LP lokal. Yansen menargetkan dana ini bisa ditutup di bulan Maret 2020.

“Hampir semua startup punya model bisnis yang bagus, tapi startup yang akan diberi pendanaan harus memiliki rencana menuju profitabilitas yang jelas. Jadi bukan cuma tentang growth and scale, tapi benar-benar tentang bisnis yang berkelanjutan,” tegas Yansen.


Amir Karimuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Meneropong Sepak Terjang Investor Tiongkok untuk Indonesia dan ASEAN

Tiongkok tidak hanya jadi negara ekonomi terkuat kedua di dunia, kini mereka juga menjadi pemimpin perlombaan inovasi teknologi di berbagai aspek lewat perusahaan-perusahaan internet raksasanya.

Padahal dulu negara Tirai Bambu ini dijuluki negara peniru karena menciptakan produk kloning perusahaan-perusahaan di negara Barat. Anggapan tersebut kini sudah kuno, malah trennya sekarang terbalik.

Dalam laporan yang dibuat South China Morning Post bertajuk China Internet Report 2019, contoh yang paling mudah adalah bagaimana Tiongkok mempelopori model super app. Keberhasilannya berhasil menarik pengembang lokal di negara lain untuk mengikuti, seperti Gojek, Line, Facebook, hingga Uber.

Tiongkok juga memimpin untuk social commerce dan video pendek. Pelopornya adalah ByteDance. Aplikasi kelolaannya, TikTok, berhasil menggeser Facebook di Amerika Serikat dengan jumlah unduhan tertinggi.

Penetrasi Tiongkok di Asia Tenggara

Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), di ASEAN dengan estimasi total populasi 651 juta, rata-rata pendapatan per kapita sekitar $4.600 pada 2018. Angka tersebut setara dengan pendapatan riil Tiongkok pada 2007, mewakili kesenjangan 11 tahun antara kedua negara.

Ada kondisi dan situasi yang membuat kebiasaan orang Indonesia dan negara ASEAN lainnya kurang lebih mirip dengan Tiongkok. Contoh terdekat adalah pertumbuhan penetrasi internet dan smartphone yang masif.

Profesor Nanyang Business Boh Wai Fong menjelaskan, Tiongkok sukses karena ekonomi digital yang dilahirkan lewat aplikasi untuk smartphone. Masyarakat Tiongkok bereaksi dengan sangat positif terhadap itu, misalnya menggunakan smartphone-nya untuk belanja online.

“Orang-orang [investor] mengharapkan tren yang sama berlaku di Asia Tenggara,” ucapnya dikutip dari South China Morning Post.

Laporan e-Conomy SEA 2019 menunjukkan 90% populasi di ASEAN menggunakan smartphone untuk belanja online. Padahal hampir satu dekade yang lalu, rasionya ada hanya satu dari lima orang yang bisa mengakses internet.

Diprediksi pula ekonomi digital akan tembus ke angka $300 miliar pada 2025. Artinya ASEAN adalah peluang pasar baru dengan pertumbuhan PDB yang kuat dan faktor makro yang tepat.

Pertimbangan tersebut menawarkan investor Tiongkok sebuah keyakinan baru bahwa mereka dapat membawa pengalaman dan model bisnis ala Tiongkok yang bisa direplikasi.

Daftar VC teraktif di ASEAN sepanjang Januari-Juli 2019 / DealStreetAsia
Daftar VC teraktif di ASEAN sepanjang Januari-Juli 2019 / DealStreetAsia

Dikutip dari Financial Times, nominal investasi dari VC Tiongkok di ASEAN naik lebih dari empat kali lipat menjadi $667 juta pada semester pertama tahun ini, dari sebelumnya $148 juta pada periode yang sama di 2018. Secara keseluruhan total investasi startup di ASEAN mencapai $3,4 miliar, naik 300 persen untuk periode yang sama.

Sebaliknya, investasi dari VC lokal untuk startup Tiongkok pada periode yang sama nominalnya jatuh hingga 60%, menjadi $9 miliar.

Dua VC terbesarnya, Qiming Ventures dan GGV Capital, telah membuat kantor perwakilan di Singapura. Keduanya merupakan investor awal untuk Alibaba, Xiaomi, dan Meituan-Dianping. Bila digabung keduanya sudah mengelola dana sebesar $10,2 miliar.

Larinya investor Tiongkok ke ASEAN, didukung oleh banyak faktor. Dari dalam negara itu sendiri, pertumbuhan ekonomi digitalnya melambat karena sudah mencapai titik dewasa.

Menurut Qiming Venture Partners, investasi di startup Tiongkok yang bergerak di telekomunikasi, media, dan teknologi sudah terlalu mahal harga sahamnya. Makanya mereka lari ke startup dengan segmen sejenis di ASEAN.

Dua perusahaan internet raksasa Tiongkok, Tencent dan Alibaba, sudah melakukannya secara tekun lewat aktivitas in-house M&A selama bertahun-tahun untuk mencetak unicorn berikutnya.

Lambang Alibaba Group / DailySocial
Lambang Alibaba Group / DailySocial

Pihak Tencent memaparkan portofolionya ada lebih dari 700 perusahaan. Sementara kompetitornya, Alibaba sekitar 350 perusahaan. Portofolio mereka yang terbukti menjadi unicorn Indonesia adalah Gojek dan Tokopedia.

“Jika Anda melihat orang Tiongkok, mereka tidak puas hanya menjadi orang nomor satu di sana. Alibaba dan Tencent, mereka semua berkembang (ke kawasan lain),” ujar Managing Partner Gobi Southeast Asia Kay-Mok Ku.

Di sisi lain, perusahaan unicorn di sana sedang dalam masa suram, investasi yang menarik senilai lebih dari $100 juta jauh lebih sedikit pada paruh pertama tahun ini. Penyebabnya karena valuasi dari IPO yang merosot dan sentimen pasar yang buruk.

Perlambatan ini dirasakan oleh perusahaan late stage dengan model bisnis yang terbukti, mencapai titik impas (break-even) dan bisa IPO. Investor khawatir ketika IPO, imbal hasil yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Beberapa contohnya terjadi di Tiongkok.

Oleh karenanya, para investor tersebut jauh lebih hati-hati ketika ingin berinvestasi ke perusahaan baru.

Masuknya masa “Winter is Coming” ini tak lain karena dampak perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat. Akhirnya memengaruhi investor untuk pesimis terhadap outlook perusahaan Tiongkok dan semakin meyakini untuk masuk ke negara yang aman investasi.

Asia Tenggara adalah pemberhentian pertama

Kay-Mok Ku melanjutkan, ada tiga jenis investor Tiongkok. Pertama, perusahaan raksasa teknologi yang sudah punya arm CVC sendiri. Kedua, perusahaan kapitalis ventura dengan mitra Asia Tenggara. Terakhir, mantan karyawan raksasa teknologi yang mendirikan VC mereka sendiri.

“Mereka semua melihat ‘gambaran lebih besar’ dan pindah ke pasar negara berkembang ‘adalah jalur terlogis’ untuk sekarang,” kata Ku.

Menurutnya, ASEAN adalah pemberhentian pertama karena investor akan menyasar negara potensial lainnya seperti Timur Tengah dan Afrika. Bahkan ke negara berkembang lainnya, India.

Ant Financial, misalnya, baru-baru ini membuka fund khusus sebesar $1 miliar untuk mendanai startup di ASEAN dan India.

Masuknya mereka ke ASEAN adalah bentuk mitigasi risiko. Di Tiongkok, startup yang dianggap mature, adalah e-commerce, ride hailing, dan p2p lending. Oleh karenanya, pola investasinya ketika masuk ke ASEAN kurang lebih akan mirip bahwa investor Tiongkok lebih tertarik pada segmen yang consumer oriented.

“Jika kamu memosisikan diri sebagai orang Tiongkok yang buat startup di ASEAN, ada model referensinya, lebih mudah (bagi investor Tiongkok) untuk memahaminya.”

Beda dengan preferensi startup yang dicari investor dari negara barat. Mereka lebih mencari startup yang fokus pada deep tech, inovasi rekayasa teknologi tinggi yang membutuhkan waktu riset dan pengembangan yang panjang.

Perbedaan preferensi ini, menandakan bahwa tidak persaingan langsung antara kedua investor tersebut. Bisa dikatakan, investor barat hanya kehilangan kesempatan emas saja.

Kemiripan Indonesia dengan Tiongkok

Kesamaan yang lekat antara Indonesia dengan Tiongkok adalah serumpun, sama-sama terletak di Asia. Kedekatan lokasi secara geografis, menjadi keuntungan terpenting buat Indonesia ketika dianugerahi sebagai 10 tahun lalunya Tiongkok. Tapi bisa bukan itu yang dipikirkan buat negara dengan ekonomi terbesar kedua tersebut.

Secara historis kedua negara punya hubungan diplomatik sejak awal terbentuknya Tiongkok. Sempat naik turun, tapi menguat sejak kepemimpinan Joko Widodo pada periode pertama hingga sekarang.

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Arah pemerintahan Presiden Jokowi sedari awal adalah mengubah orientasi perekonomian ke arah digital, persis seperti apa yang dilakukan Tiongkok. Berbagai literatur yang memantapkan visi Jokowi semakin sering bermunculan. Investor Tiongkok pun ramai-ramai muncul dengan segudang pundi-pundi yang siap disalurkan buat startup.

Namun, menurut Financial Times, kedatangan mereka sedikit lebih telat karena investor lokal lebih dahulu catch up dengan prospek dalam negeri. Contohnya adalah Alpha JWC Ventures dengan Funding Societies (induk Modalku) dan OnlinePajak.

Pada 2015, saat kedua founder-nya masih sekolah di Harvard Business School, Alpha JWC mendanai Funding Societies pada tahap awal dengan nominal $1 juta. SoftBank baru masuk saat startup tersebut menggalang putaran Seri B. Kondisi yang sama juga terjadi untuk OnlinePajak yang akhirnya menarik Sequoia dan Warburg Pincus untuk berinvestasi.

Kondisi di atas kontras dengan yang terjadi di India. Di sana hampir tiap startup di-backing investor Amerika Serikat atau Tiongkok.

Jejak rekam investasi dari Tiongkok terbesar adalah lewat Alibaba yang berinvestasi ke Tokopedia pada 2017. Investasi itu mengantarkan Tokopedia sebagai unicorn, menyusul Gojek pada tahun yang sama.

Kemiripan lainnya juga bisa dilihat dari fase pergerakan startup pun juga mirip seperti yang diterangkan sebelumnya oleh Kay-Mok Ku. Tak heran, bila unicorn yang lahir di Indonesia berasal dari segmen yang paling familiar di mata investor Tiongkok.

Tren tahun depan melihat pola dari Tiongkok

Masih dikutip dari China Internet Report 2019, laporan ini juga menyoroti ambisi Tiongkok untuk memimpin jaringan teknologi 5G. Tercatat negara ini mengantongi paling banyak paten 5G, proyek percontohan 5G di 50 kota dengan populasi 167 juta.

Di samping itu, Tiongkok ingin menjadi negara terdepan untuk tiga sektor teknologi, fintech, AI, dan blockchain. Tren tersebut punya korelasi erat dengan kondisi di Indonesia.

Di sini, perkembangan fintech mulai menyebar ke vertikal berikutnya, tidak hanya terpaku di pembayaran dan lending saja. Mulai menyebar ke insurtech, wealth management, credit scoring, bahkan mulai menyeruak digital banking. Bisa dipastikan fintech tetap akan tetap menjadi topik menarik.

Sementara di Tiongkok, para incumbent, Alipay dan WeChat Pay, terus mengembangkan inovasinya dan memperluas kehadirannya di kancah internasional untuk melayani masyarakatnya saat melancong. Indonesia kebagian jatah konsentrasi, bank BUKU IV ramai-ramai gaet kedua pemain ini agar dapat melayani para turis Tiongkok.

Pun demikian untuk AI, perkembangan produk dari para pemain startupnya (seperti Qlue, Nodeflux, Kata.ai, Bahasa.ai, Snapcart) makin berkembang, berkolaborasi dengan lintas sektor industri. Fungsi AI kini makin disadari bahwa adopsi AI dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas manusia dalam menganalisis suatu arah bisnis dengan lebih baik lewat kolaborasi bersama mesin.

Sebagai selingan, Tiongkok bisa berkembang pesat karena kombinasi dari tiga faktor, yaitu populasi masyarakat ekonomi menengah ke atas yang berkembang pesat, kemampuan teknologi canggih, dan dukungan pemerintah yang kuat. Didukung pula dengan penetrasi internet dan smartphone yang tinggi.

Faktor di atas tidak sepenuhnya ada di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Oleh karena itu, kembali ke premis awal: Tren di Tiongkok tidak bisa 100% direplikasi di Asia Tenggara. Alasannya singkat: ada perbedaan kebiasaan masyarakat.

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Sama halnya ketika Uber atau perusahaan teknologi asal Amerika Serikat yang hendak masuk ke Tiongkok, tapi ujung-ujungnya harus menelan ludah karena banyak sisi yang sulit ditembus.

Mari tengok startup yang menyentuh unsur grassroot, yakni agritech, healthtech, dan edtech. Banyak yang meyakini ketiganya akan semakin bersinar sebab faktor pemicunya datang dari agenda pemerintah Indonesia itu sendiri yang ingin fokus ke sektor tersebut.

Pemilihan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Andi Taufan (CEO Amartha) dan Belva Devara (CEO Ruangguru) sebagai Staf Khusus Presiden, punya kaitan dengan itu semua.

Di agritech misalnya, membandingkan Tanihub dengan Meicai. Keduanya sama-sama menghubungkan petani dengan pembeli B2B, tapi kondisi di Indonesia masih berbeda saat dihadapi dengan transaksi pembayaran.

Petani di sini masih lebih suka menerima uang tunai untuk mengurangi waktu yang dihabiskan jika harus ke bank. Dalam suatu diskusi, Co-Founder dan Presiden TaniHub Pamitra Wineka mengamini bahwa kunci yang membuat Meicai bisa tumbuh karena sistem pembayaran digital yang efisien dan terintegrasi.

Dia percaya kondisi di Indonesia akan berubah ke depannya ketika ekosistem pembayaran digital sudah makin matang dan e-wallet sudah masuk ke pedesaan.

Indonesia masih tetap bergantung investor luar

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Replikasi solusi di ranah grassroot antara Tiongkok dan Indonesia tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Lalu pertanyaan berikutnya apakah investor Tiongkok masih punya ruang untuk membesarkan gurita bisnisnya? Tentu masih ada.

Indonesia mengalami kekurangan investasi dari dalam negeri. Pemerintah berupaya mendorong investor luar untuk masuk, makanya menempatkan tugas tersebut ke kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan.

Tanggapan Pendiri Lippo Group Mochtar Riady terkait strategi bakar uang yang dilakukan Ovo menjadi sorotan yang menarik. Bagaimana persepsi bangun perusahaan cara lama masih begitu melekat di Indonesia.

Agar perusahaan dapat berjalan secara berkelanjutan itu memang harus punya fondasi yang kuat agar kuat ditahan berbagai goncangan. Namun, di era teknologi cara itu kurang sejalan, yang ditekankan dalam mindset yang baru adalah mengejar pertumbuhan, lalu profitabilitas.

Selama bakar duit dengan penuh perhitungan bagaimana outcome yang ingin didapat, tentu tidak akan jadi masalah untuk menuju profitibilitas. Investor luar dengan mindset yang terbuka, bisa membantu itu.

Kesalahan yang dilakukan SoftBank dan WeWork seharusnya jadi tamparan serius untuk tidak sembarang investasi saja. Terlebih, lesunya kondisi investasi dalam negeri di Tiongkok, sekaligus sebagai tambahan catatan agar tidak melakukan kesalahan yang sama.

Berbagai kondisi ini menjadi pertanda baik, buat Indonesia dan ASEAN karena akan lebih sedikit permainan momentum. Penilaian startup di sini akan lebih realistis dan founder akan lebih membumi dan fokus pada produk yang baik.

Willson Cuaca Menanamkan Lebih dari Sekadar Uang dalam Sebuah Bisnis

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai salah satu investor yang paling aktif dalam industri VC, Willson Cuaca telah berinvestasi lebih dari sekadar uang dalam sebuah bisnis. Sejak awal, ia percaya pada ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara.

Banyak orang hanya memandang Wilson identik dengan industri VC, sementara ada banyak bidang yang juga ia kuasai dengan baik. Ia merasa terlahir untuk berada dalam industri teknologi, menggeluti bidang komputer sedari belia hingga berbagai pencapaian sebagai nomor satu di masa-masa awal kariernya . Siapa sangka ia tumbuh menjadi seseorang dengan intuisi tinggi yang berhasil masuk ke dalam industri melalui pendekatan yang berbeda.

Didirikan pada tahun 2009, portfolio East Ventures kini sudah mencapai 160 startup dan beberapa diantaranya sudah profitable. Tahun ini tercatat sebagai ulang tahun ke 10 mereka dan pastinya banyak kisah yang sudah menanti. Ia percaya pada kekuatan bangsa ini beserta populasinya.

Di sini, Willson membahas perkara keyakinan serta nilai inti dalam menjalankan bisnis. DailySocial telah menerjemahkan percakapan tersebut ke dalam susunan paragraf di bawah ini.

Anda dikenal sebagai salah satu investor paling aktif di dalam industri VC. Kapan Anda mulai merintis karier ini?

Banyak orang mungkin berpikir saya hanya bermain dalam industri VC, padahal sejak awal saya sangat melekat dengan hal-hal terkait komputer dan jaringan.

Saya memulai perjalanan akademik di Binus University pada tahun 1996, di mana Binus baru dinobatkan menjadi universitas – sebelumnya bernama STMIK. Masa-masa kuliah saya dipenuhi dengan kegiatan selain belajar. Saya juga menjadi instruktur kursus di BNTRC sebelum berganti nama menjadi Binus Center. Di tengah jadwal yang ketat sekalipun, saya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan bermain game.

Saya selalu berusaha menjadi yang pertama mempelajari segalanya. Selama kuliah, saya mempelajari semua tentang jaringan area lokal dan mendalami Linux yang kemudian menjadi inti sistem Android dan iOS. Slackware menjadi distribusi Linux favorit saya saat itu. Saya mencoba memahami lebih dalam dan menjadi salah satu orang pertama yang belajar tentang peralatan Cisco. Setelah itu, saya ditunjuk menjadi instruktur Cisco Certified pertama di Indonesia yang melatih insinyur Cisco untuk mendapatkan sertifikasi CCNA, dan menjadi bagian dari tim pendiri Cisco Networking Academy di Indonesia.

Pada tahun 2000, saya menyelesaikan pendidikan di universitas kemudian diangkat sebagai Kepala Infrastruktur di sebuah perusahaan pertanian. Pekerjaan ini mengharuskan saya untuk mengelola konektivitas intra-jaringan nasional yang sangat luas.

Mengapa Anda pindah ke Singapura?

Sebenarnya, saya adalah seseorang yang mudah bosan, saya merasa perlu mencari sesuatu yang baru untuk dilakukan. Saat itu masih tahun 2001, ketika saya mengamati tren internet security dan memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi spesialis, mendukung beberapa perusahaan di Singapura.

Sekitar tahun 2006, aplikasi web semakin populer lalu saya termotivasi untuk membuat aplikasi sendiri bernama Foyage. Hal ini terjadi sebelum iPhone diluncurkan dan Blackberry banyak digunakan. Saya juga menjadi bagian dari pengembang iPhone pertama di Singapura dan satu dari beberapa pengembang Blackberry pertama di kawasan ini.

Setelah Foyage, saya juga menciptakan Apps Foundry dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi dan aplikasi. Terobosan pertama kami adalah Scoop – #1 digital magazine reader di Indonesia- yang kemudian diakuisisi oleh Kompas.

wilson cuaca 1

Boleh ceritakan sedikit tentang masa-masa awal berdirinya East Ventures? Bagaimana Anda menemukan mitra saat ini?

Relasi saya dengan Batara sudah terjalin jauh sejak 1993 ketika kami masih berada di SMA. Ketika saya pergi ke Jakarta, ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jepang. Sementara saya berjuang dengan Foyage, ia pun memutuskan keluar dari perusahaannya sendiri yang bernama Mixi. Mixi merupakan sebuah situs web yang memulai debut di pasar saham pada tahun 2006 dan bernilai miliaran dolar, hal ini terjadi sebelum istilah unicorn mencuat ke permukaan. Kami kemudian kembali berkolaborasi untuk membuat East Ventures pada tahun 2009 dengan dua mitra lainnya. Taiga Matsuyama, salah seorang mitra, adalah investor pertama Batara di Mixi.

Foyage mengumpulkan dana awal dari skema investasi pemerintah Singapura pada tahun 2008. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa Indonesia juga memiliki peluang besar dalam industri ini. Pada tahun 2009, kami memutuskan untuk membentuk East Ventures.

Kami memulai Jakarta Ventures Night, mengundang beberapa investor dari Jepang dan juga startup lokal. Pada tahun 2010, turut berpartisipasi dalam acara tersebut, Rama Mamuaya dari DailySocial, serta William Tanuwijaya dari Tokopedia, yang akhirnya menjadi portfolio pertama kami. Setelah itu, kami berinvestasi di Disdus dan berhasil exit untuk pertama kali. Sebenarnya, kami adalah VC pertama yang memiliki siklus lengkap dan hal itu seketika meningkatkan kepercayaan diri kami. Hal ini kemudian membantu menciptakan the flywheels effect.

Hingga saat ini, East Ventures telah berinvestasi di 160 perusahaan, sebagian besar adalah startup tahap awal yang berfokus pada konsumen internet, ponsel, SaaS, media, pendidikan ritel, dan banyak lagi. Baru-baru ini, beberapa diantaranya telah mendapatkan keuntungan mengikuti ekonomi digital Indonesia yang telah mencapai titik perubahan.

Dengan begitu banyak portofolio di tangan, bagaimana Anda bisa mengaturnya?

Kuncinya adalah berinvestasi pada individu. Setelah Anda menemukan seseorang yang tepat dan klik, Anda akan percaya sepenuhnya pada kemampuan mereka untuk berjalan secara independen dan membawa hasil terbaik melalui kesepakatan ini.

Kami membutuhkan 3 titik keselarasan dengan pengusaha.
1. visi, masalah apa yang harus dipecahkan, apa tujuannya?
2. strategi, bagaimana menyelesaikannya, bagaimana cara sampai ke sana?
3. taktis, hal ini lebih kepada eksekusi.

East Ventures dan tim pendiri harus memiliki visi yang sama. Lagipula, saya tidak percaya bahwa investor dapat mengubah portofolionya. Kami bisa menyarankan strategi tetapi individu (para pendiri) adalah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk perusahaan mereka.

Anda telah meluncurkan aplikasi, membuat VC, serta menjalankan bisnis. Selama perjalanan karier Anda, adakah hal yang menjadi batu sandungan?

Tentu saja, ada pasang surut, tetapi satu hal yang saya selalu yakini adalah “hal-hal yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat”.

Saya pernah sangat putus asa karena tidak bisa mengumpulkan dana untuk Foyage, namun saya bukanlah tipe orang yang berhenti dan meratap sementara industri kian berkembang pesat. Kami mendirikan East Ventures pada tahun 2009, dimana sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang-orang pada saat itu. Kami pergi ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang percaya, kecuali beberapa investor Jepang, itu pun karena kepercayaan pada Batara. Namun, saya merasa disini letak kekuatan untuk tidak menyerah sampai sampai pada titik di mana semua bagian pada akhirnya tersusun rapi.

masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri
masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri

Jika tidak ada yang percaya pada industri digital Indonesia, bagaimana bisa Anda percaya?

Secara emosional, ini karena saya orang Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Dalam hal bisnis, ada 30 juta pengguna internet di Indonesia. Pasar ini berukuran sangat besar, mengapa tidak ada yang membuat pergerakan? Saat itu, masalahnya hanya satu. Jika kita mulai sekarang, kapan kita akan berhasil? Di sinilah peran keyakinan sangat diperlukan.

Masalahnya, Indonesia mampu membuat sesuatu yang mustahil terjadi. Alih-alih berbicara tentang American Dreams, mengapa kita tidak bisa menciptakan Mimpi Indonesia. Kita terlalu fokus pada kisah beberapa orang yang menciptakan hal-hal besar di suatu tempat, mengapa tidak kita saja yang menyelesaikannya dan membuat orang melihat kita. Inferiority complex semacam ini seharusnya lenyap dari pola pikir kita. Kita adalah bangsa yang hebat dengan begitu banyak populasi.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk menanamkan investasi?

Ada tiga hipotesis tentang individu;
1. integritas, standar moral, Anda melakukan hal yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat,
2. kesadaran diri, mengetahui kapasitas dan kemampuan diri sendiri,
3. paradoks, memiliki sifat kontradiktif, yang berarti adaptif.
Hal-hal ini tidak dapat dipelajari secara langsung atau dipalsukan.

Begitu saya menemukan kriteria ini pada setiap orang, tidak perlu lagi banyak berpikir atau membuang waktu. Itulah sebabnya sebagian besar penawaran bagus kami terjadi dalam waktu 28 jam setelah pertemuan pertama. Secara konsisten, hal ini terjadi dengan Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai dan banyak lagi. Kami juga mencoba menciptakan ekosistem yang sehat di VC ini. Karenanya, saya tidak akan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki persaingan. Kami mendukung para pendiri kami dengan sepenuh hati.

Perihal latar belakang akademis, bagaimana Anda melihat orang-orang dengan gelar dari luar negeri memiliki dampak dalam industri ini?

Secara kasual, orang-orang yang belajar di luar negeri akan memiliki privilese untuk mendapatkan wawasan lebih serta pengetahuan global. Namun, saya tidak percaya orang yang belajar di luar negeri akan selalu lebih sukses. Yang saya percayai adalah, setiap orang harus memiliki pengetahuan global untuk mengetahui apa yang terbaik dalam eksekusi lokal. Hal ini tidak harus dengan belajar di luar negeri.

Selama bertahun-tahun bertahan menjalankan bisnis dalam industri. Apakah Anda memiliki support system khusus?

Keluarga harusnya menjadi dukungan mendasar yang membentuk diri kita saat ini. Saya juga percaya bahwa karakter itu dikembangkan, bukan dipelajari. Inilah mengapa saya merasa sulit untuk percaya pada konsep akselerator atau mentoring yang bertujuan untuk mengubah seseorang menjadi entepreneur.

Program akselerator, mereka mungkin telah melakukan proses dengan kurasi ketat untuk menemukan bakat, tetapi dalam konsep saya, sebuah permata yang sudah tercipta, meskipun tertutup tanah, adalah tetap permata. Potensi itu ada sejak awal dan berkembang melalui zaman.

Saya percaya pada serendipity, itulah sebabnya saya memusatkan perhatian pada individu. Konsep Chronos dan Chairos, bahwa setiap orang memiliki garis waktu mereka sendiri, dan saat keduanya bertemu, keputusan dibuat, apakah akan terlibat atau tidak dalam kehidupan masing-masing.

Jika Anda benar-benar percaya pada industri digital Indonesia, mengapa Anda tidak tinggal saja di Indonesia?

Di Singapura, kami selalu mendapatkan skenario terbaik, dalam hal regulasi dan banyak hal lain. Sementara di Indonesia, semuanya menjadi kasus terburuk, hal-hal tak terduga kerap terjadi. Saya ingin mempertahankan kesadaran dengan berada di dalam kontras. Seperti Yin dan Yang, jika diibaratkan. Jadi, hidup saya bisa lebih kontras dengan pikiran yang lebih jernih untuk mengidentifikasi sebuah masalah.

Selain itu, Singapura saat ini merupakan hub di Asia Tenggara.

Setelah meraih berbagai pencapaian “nomor satu” dalam industri komputer dan teknologi, juga dengan East Ventures, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

Ini juga menjadi pertanyaan yang selalu hadir dalam diri saya setiap hari, Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Bagaimana saya bisa menurunkan pengetahuan saya ke tim yang ada saat ini, lalu mereka dapat melanjutkannya dengan kapasitas mereka sendiri, dengan gaya mereka sendiri, serta memiliki entitas sendiri.

Saya tidak bisa menjalankan peran ini selamanya, itulah sebabnya saya memiliki mitra. Saya ingin membangun East Ventures dan menjadikannya sebuah institusi, membesarkan tim generasi berikutnya, dan memastikan setiap mereka tetap setia pada misinya, untuk menjadi Platform Kewirausahaan. Kemudian, saya akan memiliki waktu dan ruang untuk memikirkan sesuatu yang baru lagi – atau mungkin saya akan melakukan ini selamanya. Mari menunggu waktu yang tepat agar semua bisa selaras.

Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi
Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi

Jika Anda memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang industri VC, apa yang akan Anda katakan?

Industri VC saat ini memiliki kue yang jauh lebih besar. Indonesia, dengan begitu banyak masalah di negara ini, menawarkan banyak peluang. Jadi, saya pikir industri VC akan betah di sini.

Bagi saya, industri VC adalah tentang bisnis individu. Teknologi sendiri hanyalah alat.


Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

BRI Ventures Pertimbangkan Investasi di Luar Sektor Fintech

BRI Ventures, ventura korporasi dari BRI, mengungkapkan rencana untuk berinvestasi di luar sektor fintech pada tahun depan. Sektor yang disasar adalah industri kreatif, agrikultur, maritim, kesehatan, pendidikan, travel, fesyen, dan ritel.

VP of Investment BRI Ventures William Gozali menjelaskan, sebelumnya perusahaan harus memenuhi beberapa aturan karena mereka adalah usaha ventura dari bank. Sebelum itu terpenuhi, maka fokus utama saat ini BRI Ventures adalah berinvestasi untuk startup fintech dan fintech-enabler.

“Jadi ada beberapa kerangka manajemen risiko dan operasional yang harus kita penuhi. Makanya kita pastikan comply, baru kita bisa agresif [berinvestasi ke sektor di luar fintech],” terang William di sela-sela NextICorn 2019, Jumat (15/11).

Sektor startup yang diincar beberapa di antaranya adalah DNA dari BRI sebagai bank mikro yang menyentuh nasabah di agrikultur dan maritim.

Adapun untuk sektor fintech, yang diminati BRI adalah yang bergerak di bawah payung regulasi OJK dan BI. Ada pembayaran, crowdfunding, p2p lending, dan IKD, termasuk di dalamnya insurtech, wealth management, credit scoring, big data, dan lainnya.

“Kami hanya mau berinvestasi ke startup yang sudah berlisensi dan terdaftar di regulator, karena kami respect dengan regulator.”

BRI juga melihat berdasarkan hierarki kebutuhan konsumen. Di Indonesia, pertama kali masyarakat mulai paham terhadap produk pembayaran, kemudian pinjaman, transfer uang, dan remitansi.

“Secara hierarki orang lebih butuh produk pinjaman, setelah itu lanjut ke saving, asuransi, dan wealth management. Tidak mungkin langsung ke asuransi dulu kalau tidak punya saving, berdasarkan siklusnya seperti itu.”

Kendati hadir sedikit terlambat daripada CVC lainnya, William meyakini banyak pembelajaran, terkait strategi berinvestasi, bisa menjadi bahan pertimbangan dan masukan.

Di antaranya mengenai apa yang sukses di Amerika Serikat (Silicon Valley), tidak bisa direplikasi begitu saja di Indonesia. Seperti posisi Uber saat ini yang kini ingin mengikuti model super app yang sudah diterapkan oleh Gojek.

Pun demikian di Tiongkok. Di sana kondisinya cukup berbeda, orang Tiongkok tergolong lebih hyper consumtive, kualitas internet sangat baik, dan sebagainya. Kondisi di Indonesia tidak demikian.

“Itu seninya, kita connecting the dots, pattern-pattern yang mirip, tapi enggak bakal 100% sama. Jadi kita harus mau learn dan unlearn. Intinya enggak boleh sok tahu, meski BRI ini punya banyak pengalaman tapi willing to learn.”

Pengumuman investasi berikutnya

BRI Ventures adalah salah satu inisiatif BRI yang ingin adaptif terhadap perkembangan digital. Untuk itu, di-plot sebagai venture investment yang fokus pada pendanaan seri A ke atas. Sementara pada tahap awal, BRI punya inisiatif lainnya berbentuk program inkubasi BRIncubator.

Di sisi venture build, ada salah satu inisiatif yang sudah diluncurkan lewat BRI Agro untuk aplikasi lending Pinang.

“Ini lebih ke arah appetite. Mungkin pada tahap seed, startup yang masuk ke BRI belum siap. Kita enggak ingin, sistem startup-nya down karena langsung diakses oleh 80 juta nasabah BRI.”

BRI Ventures telah disuntik dana senilai $250 juta (setara Rp3,5 triliun) untuk diinvestasikan kembali ke startup. Sejak diumumkan kehadirannya pada Juli 2019, baru ada satu pengumuman investasi BRI untuk LinkAja pada putaran seri A dengan nilai yang tidak disebutkan.

Ditanya mengenai komitmen untuk kembali berinvestasi ke LinkAja yang tengah menggalang seri B, William hanya memastikan dukungan penuhnya untuk LinkAja.

“Kita full support di LinkAja baik secara finansial dan sinergi. Itu komitmen kita dari awal. Mereka itu perusahaan independen, jadi sambil kita supervise, kita support strategi manajemennya.”

Dengan dana $250 juta ini menurutnya cukup untuk berinvestasi sampai tiga tahun mendatang. Perusahaan akan berinvestasi ke startup antara $5 juta-$10 juta per investasi (setara Rp70 miliar-Rp140 juta).

“Kami tidak target spend, tapi melihat market opportunity karena ada beberapa sektor yang capital intensive, tapi ada juga yang capital efficient. Kami melihat bagaimana sinerginya dengan BRI bisa leverage aset mereka dengan startup.”

Investasi berikutnya akan diumumkan pada pertengahan Desember mendatang.

Sebelumnya sumber kami mengonfirmasi bahwa BRI sedang menjajaki kemungkinan investasi ke Traveloka, namun sejauh ini belum ada keputusan final.

Jungle Ventures to Invest in Two Indonesian Based Startups by the End of This Year

Closing the third round at $240 million (more than 3.3 trillion Rupiah), venture capital for seed funding in Southeast Asia, Jungle Ventures, plans to invest in two Indonesian based startups by the end of this year. Jungle Ventures’ Managing Partners, David Gowdey said, both are platforms targeting retail consumers in Series A.

“We’ve always been focusing on startups focused on social commerce, consumer, and software. Currently, only two startups from Indonesia are to receive funding from Jungle Ventures [the third round]. It’s possible to have another startup to invest from Southeast Asia by 2020.”

The ticket size for series A is between $3 million up to $7.5 million, while seed funding is usually at $500 thousand up to $1 million.

Jungle Ventures has doubled the funds from the previous round, Jungle Ventures II (2016), with nearly 60% comes from outside Asia. More than 90% of the capital comes from institutional investors from North America, Europe, the Middle East, and Asia. The new investors dominate this round about 70%, while the rest have previously participated, including the $40 million which comes separately in the managed account.

The fresh money is to be invested in various tech-companies and digital businesses in Southeast Asia. Previously, Jungle Ventures has invested in Kredivo, RedDoorz, Sociolla, and SweetEscape.

Focus on margin, not GMV

In addition to funding, the company aims to support startups by providing consultation and mentorship. He said that the company is to assist startups to focus more on margin, not GMV. The step was made to avoid potential issues in the future.

“We’ve always been encouraging startups to focus on margin instead of GMV, therefore, the long-term plans and target can be measured, not only the prediction. We use a different approach in searching for potential startups, we’re looking for those who aren’t fundraising,” he said.

It was supported by Amit Anand who has expertise in the software development sector and David Gowdey who is responsible for Koprol acquisition by Yahoo a few years ago, Jungle Ventures expects to create an Indonesian startup with the best software to compete in the global market.

“I think Indonesian talents are improving, especially those who have experience in the unicorns like Gojek, Tokopedia, Bukalapak and Traveloka. When they’re no longer at the company and building their own, they’re expected to be mature enough to create products and services in demand,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Warisan Pekerjaan Lama Buat Menteri Baru Terkait Startup dan Ekonomi Digital

Perubahan kabinet yang rutin terjadi tiap lima tahun sekali di Indonesia merupakan dinamika biasa dalam proses politik yang berujung pada bagaimana visi Presiden mewujudkan tujuan politiknya.

Tantangan di tiap periode jabatan selalu berubah. Banyak faktor eksternal dan internal di berbagai sisi yang selalu terjadi. Baik itu kondisi ekonomi yang selalu dinamis, pun demikian sosial, politik, teknologi, juga perilaku masyarakatnya.

Menghadapi kondisi demikian, perlu tokoh-tokoh berbeda yang punya kapasitas dan kemampuan yang sesuai untuk menghadapi tantangan tersebut. Presiden punya kepercayaan pada menteri yang ia tunjuk untuk menyelesaikannya.

Tidak ada visi menteri, yang ada hanya visi Presiden dan Wakil Presiden. Begitu tukas Presiden yang kembali ia ulang saat Sidang Kabinet Paripurna, pekan lalu. Sebelumnya pernyataan ini ia utarakan sesaat mengumumkan kabinet Indonesia Maju.

Bicara ekonomi digital, Presiden begitu ambisius untuk mengembangkan Indonesia sebagai macan baru Asia sejak pertama kali memimpin di periode sebelumnya. Di periode kedua sekarang, arah kebijakannya ke ekonomi digital dipertajam dengan merekrut orang-orang profesional di bidangnya yakni Nadiem Makarim, Wishnutama, dan Erick Tohir.

Lahirnya lima unicorn dari Indonesia, sejak Joko Widodo memimpin, membuktikan bahwa memang sudah saatnya pemerintah untuk lebih serius mengembangkan ekonomi digital yang menyimpan potensi besar. Makanya pemerintah perlu mendorong investasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.

Solusi yang paling dasar dari situ adalah mempermudah pembuatan izin usaha. Pada Juli 2019, pemerintah merilis sistem OSS (Online Single Submission) yang sebelumnya dilakukan melalui PTSP (Perizinan Terpadu Satu Pintu).

Itikadnya sungguh mulia karena menggabungkan seluruh proses izin ke dalam satu platform. Impiannya untuk proses perizinan usaha baru bisa selesai satu jam saja. Sayang, praktiknya belum bisa sampai di tahap itu.

Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Kuasa pemerintah daerah masih begitu kental sejak reformasi. Alhasil, OSS belum sinkron dengan perizinan di level daerah, khususnya izin wilayah. Padahal seharusnya OSS ini bisa menghubungkan kementerian/lembaga dan daerah di seluruh Indonesia.

Posisi EODB masih di belakang

Dampaknya, Indonesia masih termasuk ke dalam peringkat terbelakang dibanding negara tetangga untuk kemudahaan berbisnis (ease of doing business / EODB) yang dirilis Bank Dunia. Indonesia ada di peringkat ke-73, tidak berubah baik untuk peringkat di 2019 maupun tahun 2020. Peringkat ini terpaut jauh dari yang ditargetkan Presiden yaitu ke-40.

Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia masih di bawah Singapura (2), Malaysia (12), Vietnam (70), Thailand (21), dan Brunei Darussalam (66). Bila dibandingkan tiga tahun lalu tentu ada peningkatan. Saat itu Indonesia masih menempati posisi ke-114.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mencontohkan, untuk mengurus dokumen ekspor-impor butuh 61 hari dan border compliance sebanyak 53,3 hari. Pengusaha di Indonesia perlu meluangkan waktu 207 jam per tahun untuk memenuhi administrasi perpajakan jika dibandingkan Malaysia, misalnya, yang hanya 118 jam.

Menurutnya, kuasa ini ada di tangan BKPM. Meskipun demikian, BKPM tidak bisa bermain sendiri karena harus di-backup oleh Kementerian Koordinator yang tepat.

“Sayangnya, aneh bin ajaib ada angin apa urusan investasi kini di bawah Kemenko Maritim dan Investasi. Seperti dipaksakan sehingga fungsi koordinasi justru kurang nyambung dengan kebutuhan penguatan BKPM,” kata Bhima.

Aturan modal ventura kurang ramah startup teknologi

Rendahnya peringkat ini, menurut kacamata investor kurang tertarik masuk ke Indonesia ketika harus berurusan dengan perdagangan lintas batas dan pembayaran pajak.

Tren investasi ke sektor digital pada 2020 akan terus berlanjut untuk startup lokal. Akan tetapi, bila indikator EODB saja mandeg, kekhawatiran yang terbesar adalah berkurangnya channel penerimaan pajak buat negara.

Contoh terdekat yang bisa diambil adalah kehadiran pemain modal ventura (VC) asing ke Indonesia, namun tidak berizin sebagai modal ventura di bawah OJK. Sebagian dari mereka malah tidak berbadan hukum lokal.

Managing Partner Ideosource Edward Chamdani pernah mengatakan kepada DailySocial bahwa Ideosource belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan. Mereka harus menyetor modal minimal Rp50 miliar untuk memproses perizinan menurut POJK No.34 Tahun 2015.

Aturan ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, karena kebanyakan dari mereka menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun dana ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

OJK mencatat jumlah PMV yang mengantongi izin ada 65 perusahaan per Oktober 2019, sementara anggota di Amvesindo ada 75 perusahaan. MCI dan CCV termasuk ke dalam daftar OJK. Sedangkan, MDI dengan nama badan hukum PT Metra Digital Investama, tidak termasuk di dalamnya.

Kejadian di lapangan ini tidak sepenuhnya salah karena seluruh investasi yang diterima startup lokal harus melapor ke BKPM untuk didata sebagai investasi PMA. Masalahnya, mengapa investornya belum sepenuhnya taat dengan aturan pemerintah?. Jawabannya adalah besarnya pajak yang harus mereka bayarkan ke negara.

Maka, perlu insentif yang menarik di sini. Edward yang juga menjabat di Amvesindo menerangkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang besar masih jadi tantangan terbesar untuk investor lokal untuk kompetisi dengan pemodal asing.

PMK No.48 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura pada Perusahaan Mikro, Kecil, dan Menengah dianggap belum ramah mengakomodir aturan tentang pajak capital gain.

Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Besarnya angka ini membuat investor asing selama ini lebih memilih untuk menyalurkan modalnya melalui PMA, ketimbang kolaborasi dengan PMV lokal.

Padahal, menurutnya, sebetulnya banyak pemain PMV lokal yang tertarik untuk berpartisipasi dengan investor asing untuk bentuk pendanaan baru. Salah satunya yang cukup besar adalah komitmen Softbank untuk menyuntik $2 miliar kepada Grab.

“Kalau mereka [Softbank] masuk full $2 miliar sebagai PMA, langsung ke Grab sebetulnya tidak ada salahnya, tetapi itu jadi peluang yang mesti ditangkap IKNB OJK untuk menawarkan struktur dana ventura yang melibatkan investor lokal juga,” terangnya dikutip dari Bisnis.com.

Solusi untuk keluar dari masalah ini adalah mengubah UU, padahal kita tahu tidak mudah jika tidak ada yang mengajukannya ke prolegnas.

Lain-lain

Ini baru urusan investasi, belum bicara soal perusahaan teknologi global yang membuka kantor di Indonesia. Pemerintah di negara manapun sedang bersatu padu mencari cara memajaki raksasa teknologi. Google, Facebook, Amazon, Apple, Netflix juga termasuk dalam incaran.

Banyak cara buat para raksasa teknologi tersebut mengelabui pemerintah di tiap negara untuk bebas bayar pajak. Sekecil apapun persentase pajak yang harus mereka bayar, nilainya akan sangat besar karena begitu raksasa pemasukannya. DailySocial pernah membahas hal ini dan tak kalah serunya.

Warisan pekerjaan rumah ini patut menjadi perhatian para menteri baru. Perlu ada revolusi relaksasi aturan untuk meningkatkan gairah investor untuk tertib dengan aturan main di Indonesia, agar setiap investasi yang masuk tetap berkualitas dan tetap menjunjung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.