Samsung Umumkan Galaxy Tab S7, Tab S7+, Galaxy Watch3, dan Galaxy Buds Live

Event Galaxy Unpacked semalam adalah yang pertama yang sepenuhnya diselenggarakan secara virtual, tapi itu tidak Samsung jadikan alasan untuk menahan diri. Selain meluncurkan Galaxy Note20, Note20 Ultra, dan Z Fold2, sang raksasa teknologi Korea Selatan turut memperkenalkan sederet perangkat lainnya, yakni Galaxy Tab S7, Tab S7+, Galaxy Watch3, dan Galaxy Buds Live.

Kita mulai dari yang paling besar dulu, yakni Tab S7 dan S7+. Sesuai namanya, tablet ini hadir dalam dua ukuran layar: Tab S7 dengan layar LCD 11 inci beresolusi 2560 x 1600 pixel, Tab S7+ dengan layar AMOLED 12,4 inci beresolusi 2800 x 1752 pixel. Keduanya sama-sama menawarkan refresh rate 120 Hz, tapi seperti yang bisa kita lihat, Tab S7 rupanya tidak mengemas panel AMOLED, dan ini berarti cuma Tab S7+ yang dilengkapi sensor sidik jari di balik layar.

Sasis kedua tablet ini sangat ringan dan tipis terlepas dari ukuran layarnya yang besar. Tab S7 memiliki ketebalan 6,3 mm dan bobot 502 gram, sedangkan Tab S7+ dengan tebal 5,7 mm dan berat 575 gram. Tentu saja keduanya juga datang bersama S Pen, dan garis di bawah kamera belakangnya itu adalah lapisan magnet untuk menempelkan sekaligus mengisi ulang sang stylus. Pada Tab S7+, latency S Pen-nya mampu menyamai milik Note20 Ultra, yakni serendah 9 milidetik saja.

Meski layar keduanya berbeda, performanya dipastikan identik. Itu dikarenakan duo tablet ini sama-sama mengusung chipset Snapdragon 865+, dan kalau melihat Tab S6 yang dijual di Indonesia memakai Snapdragon 855, kemungkinan besar Tab S7 dan S7+ juga akan hadir di tanah air membawa chipset buatan Qualcomm tersebut.

Mendampingi prosesornya adalah RAM 6 GB atau 8 GB, dan storage 128 GB atau 256 GB. Ekspansi storage bisa dilakukan via microSD, dan kedua perangkat mendukung kapasitas penyimpanan eksternal hingga 1 TB. Selisih baterai di antara keduanya cukup signifikan: Tab S7 dengan baterai 8.000 mAh, Tab S7+ dengan 10.090 mAh. Keduanya sama-sama mendukung fast charging 45 W.

Kamera di kedua perangkat ini ada tiga macam: kamera utama 13 megapixel, kamera ultra-wide 5 megapixel, dan kamera depan 8 megapixel. Sekali lagi kelengkapan milik Tab S6 kembali hadir di sini, mulai dari empat buah speaker racikan AKG, sampai konektor USB-C 3.2 Gen 1. Seperti sebelumnya, konsumen Tab S7 dan S7+ juga dapat membeli aksesori Book Cover Keyboard secara terpisah jika ingin mendapatkan pengalaman menggunakan seperti laptop.

Oh ya, baik Tab S7 maupun S7+ sama-sama mendukung integrasi mendalam dengan ekosistem Windows 10 seperti halnya duo Note20. Kalau perlu, kedua tablet ini malah juga bisa diperlakukan sebagai layar kedua selagi masih membaca input dari S Pen. Kompatibilitas dengan layanan Project xCloud tentu juga menjadi salah satu keunggulan dari kedua tablet ini.

Kedua perangkat ini akan segera Samsung pasarkan dengan harga mulai $650 untuk Tab S7, dan mulai $850 untuk Tab S7+. Aksesori opsional Book Cover Keyboard itu tadi harus ditebus seharga $200 untuk Tab S7, atau $230 untuk Tab S7+.

Galaxy Watch3

Buat yang sudah lama mendambakan perangkat wearable baru dari Samsung, Galaxy Watch3 hadir membawa sederet penyempurnaan dibanding pendahulunya. Yang paling utama, dimensinya lebih ringkas daripada Galaxy Watch orisinal – 14% lebih tipis, 8% lebih kecil, dan 15% lebih ringan – akan tetapi di saat yang sama layarnya justru bertambah besar.

Watch3 hadir dalam dua ukuran: 45 mm dengan layar 1,4 inci, dan 41 mm dengan layar 1,2 inci. Keduanya sama-sama menggunakan panel Super AMOLED beresolusi 360 x 360 pixel, serta mengemas rangka yang terbuat dari bahan stainless steel. Khusus varian 45 mm, konsumen juga bisa membeli yang rangkanya terbuat dari titanium.

Secara keseluruhan, desain Watch3 kelihatan klasik dan elegan. Samsung mengaku bekerja sama dengan produsen arloji asal Swiss IWC Schaffhausen selama mengembangkan Watch3. Supaya lebih elegan lagi, semua varian Watch3 secara default hadir dengan strap berbahan kulit ketimbang karet, tapi khusus untuk varian titanium, strap-nya berbahan logam supaya lebih selaras.

Namun berita terbaiknya adalah, bezel memutar yang sempat absen di Watch Active maupun Watch Active 2 kini hadir sebagai standar di seluruh varian Watch3. Sertifikasi IP68 dan ketahanan air hingga 50 meter, tidak ketinggalan juga sertifikasi lolos standar militer MIL-STD-810G, semuanya merupakan jaminan atas ketangguhan fisik perangkat ini.

Bicara soal fisik, bagaimana dengan kemampuannya memonitor kesehatan fisik pengguna? Well, fitur tracking yang Watch3 terbilang sangat lengkap. Bahkan fitur-fitur yang termasuk langka seperti memonitor tekanan darah maupun electrocardiogram (ECG) pun tersedia. Fitur sleep tracking-nya pun juga sudah disempurnakan agar dapat memonitor pola pernafasan sekaligus laju jantung penggunanya.

Untuk menunjang kinerja smartwatch dengan sistem operasi Tizen ini, Samsung telah menyematkan chipset Exynos 9110 dengan prosesor dual-core, lengkap beserta RAM 1 GB dan storage internal 8 GB. Baterainya sendiri punya kapasitas 340 mAh pada varian 45 mm, atau 247 mAh pada varian 41 mm, dan Samsung mengklaim daya tahannya bisa mencapai dua hari dalam sekali charge.

Di Amerika Serikat, Samsung akan segera memasarkan Galaxy Watch3 dengan harga mulai $400 untuk varian 41 mm, atau mulai $430 untuk varian 45 mm. Pilihan warna yang tersedia ada tiga: Mystic Bronze, Mystic Black, dan Mystic Silver. Namun kalau memilih varian titanium, maka warna yang tersedia hanyalah Mystic Black.

Galaxy Buds Live

Terakhir, saatnya membahas TWS unik bernama Galaxy Buds Live. Bentuknya benar-benar tidak umum, hampir menyerupai kacang merah atau malah sepasang ginjal manusia. Juga bisa menipu ketika dilihat secara sepintas adalah bagian yang menonjol yang bertuliskan “L” dan “R”. Menipu karena bagian ini bukanlah bagian eartip yang dimasukkan ke kanal telinga, melainkan bagian wingtip yang bakal menahan posisi perangkat selama berada di telinga.

Wingtip-nya ini hadir dalam dua ukuran yang berbeda sehingga dapat disesuaikan dengan bentuk dan ukuran telinga masing-masing pengguna. Samsung percaya desain seperti ini bakal terasa sangat nyaman karena porsi perangkat yang keluar dari telinga sangatlah minimal. Tentu saja cara terbaik untuk menjajal klaim Samsung ini adalah dengan mengenakan Buds Live ini selagi tidur miring.

Secara keseluruhan, dimensi Buds Live sangatlah mungil. Beratnya tidak lebih dari 5,6 gram, dan charging case-nya pun juga cukup kecil untuk bisa tenggelam dalam kepalan tangan. Juga unik adalah bagaimana fisik perangkat bersertifikasi IPX2 ini dibuat sepenuhnya menggunakan material hasil daur ulang.

Perihal kualitas suara, Samsung lagi-lagi memercayakan keahlian teknisi-teknisi AKG dalam meramu desain akustik yang terbaik buat Buds Live. Perangkat datang membawa driver berdiameter 12 mm, lengkap beserta sepasang ventilasi udara, serta sebuah bass duct untuk semakin memantapkan reproduksi bass-nya.

Tidak seperti Galaxy Buds+, Buds Live telah dilengkapi dengan fitur active noise cancelling (ANC). Fitur ANC-nya pun agak berbeda dari biasanya karena dirancang agar bisa mengeliminasi suara-suara bising di sekitar seperti deruman mesin mobil atau mesin pesawat, tapi di saat yang sama masih membiarkan suara percakapan atau pengumuman terdengar oleh penggunanya.

Terkait input, Buds Live mengunggulkan tiga buah mikrofon dan Voice Pickup Unit. Komponen yang terakhir ini unik karena dirancang untuk mendeteksi ketika rahang pengguna bergerak, sehingga perangkat kemudian bisa mengoptimalkan teknik pengambilan suaranya. Hasil akhirnya menurut Samsung adalah, suara pengguna Buds Live yang sedang berada di tempat ramai akan tetap terdengar jernih oleh lawan bicaranya.

Dalam satu kali pengisian, baterai milik perangkat berharga jual $170 ini diestimasikan bisa bertahan sampai 6 jam pemakaian, atau sampai 21 jam kalau dipadukan dengan charging case-nya. Daya penggunaannya bisa diperpanjang lagi menjadi sampai 8 jam kalau fitur ANC-nya dimatikan, atau sampai 29 jam bersama charging case-nya.

Sumber: Samsung.

Google Akuisisi Produsen Kacamata Pintar North

Terakhir diberitakan setahun lalu, Google Glass meluncur sebagai produk enterprise generasi kedua. Publik mungkin sudah lupa bahwa ia sempat eksis sebagai produk consumer (meski tidak secara luas), namun sebagian lainnya mungkin juga masih mempertanyakan kapan Glass dapat terealisasi kembali sebagai produk yang dapat digunakan oleh konsumen secara umum.

Google memang tidak punya jawabannya, akan tetapi akuisisi terbaru mereka setidaknya mengindikasikan secuil harapan terkait masa depan Glass ke depannya. Melalui blog resminya, Google mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi North, perusahaan asal Kanada yang sempat mencuri perhatian di tahun 2018 lewat produk debutannya, Focals.

Focals merupakan kacamata pintar yang cukup istimewa. Bentuknya hampir menyerupai kacamata biasa, dan kita tak akan menyadari bahwa ia merupakan sebuah gadget kalau bukan karena bagian tangkainya yang sedikit lebih gemuk dari biasanya. Teknologi display-nya pun unik, memanfaatkan retinal projection berbasis laser sehingga konten yang tampil pada lensa transparannya cuma bisa dilihat oleh si pengguna itu sendiri.

Sayangnya kekurangan terbesar Focals juga diakibatkan oleh teknologi display-nya tersebut. Karena menyangkut mata pengguna secara langsung, konsumen yang hendak membelinya diwajibkan untuk datang ke showroom North untuk menjalani proses 3D scanning kepala terlebih dulu, sehingga pada akhirnya ukuran dan bentuk kacamatanya bisa benar-benar sesuai dengan tiap-tiap pengguna, dan proyeksinya tidak ada yang meleset.

Teaser gambar sekuel Focals yang batal dirilis / North
Teaser gambar sekuel Focals yang batal dirilis / North

Menjelang akhir tahun lalu, North sempat diberitakan sedang menyiapkan penerus Focals yang diklaim lebih ringkas dan mengemas display yang lebih tajam. Sayang produk generasi kedua yang semestinya dijadwalkan hadir tahun ini tersebut tidak akan terwujud karena North memutuskan untuk membatalkan pengembangannya seiring bergabungnya mereka dengan Google.

Mungkinkah teknologi-teknologinya bakal ditransfer ke Google Glass sehingga kita pada akhirnya dapat berjumpa lagi dengan Glass versi consumer? Mungkin saja, tapi Google menolak untuk mendiskusikannya secara detail. Mereka hanya bilang bahwa kedatangan tim North dapat membantu mereka mewujudkan visinya di bidang ambient computing.

Perlu dicatat juga bahwa Focals bukanlah produk pertama North. Mereka juga merupakan pencipta Myo Armband, sebuah perangkat inovatif yang mampu menerjemahkan gerakan otot-otot di pergelangan tangan menjadi input untuk mengontrol berbagai macam perangkat. Google sudah pasti tidak akan menyia-nyiakan teknologinya dan bakal bereksperimen lebih lanjut dengannya.

Sumber: Google dan TechCrunch.

Qualcomm Snapdragon Wear 4100 Jauh Lebih Ngebut Dibanding Chipset Smartwatch Sebelumnya

Hampir dua tahun berlalu semenjak Qualcomm mengungkap chipset Snapdragon Wear 3100. Sekarang mereka sudah punya chipset wearable yang baru lagi. Bukan cuma satu, melainkan dua sekaligus, yakni Snapdragon Wear 4100 dan 4100+.

Keduanya menawarkan loncatan performa yang amat signifikan, jauh lebih signifikan daripada sebelumnya yang memang hanya sebatas menambahkan co-processor ketimbang mengganti prosesor utamanya. Wear 4100 tidak demikian, sebab Qualcomm sudah memproduksinya menggunakan proses fabrikasi 12 nanometer ketimbang 28 nanometer.

Baik Wear 4100 maupun 4100+ sama-sama mengemas prosesor quad-core, dan Qualcomm mengklaim peningkatan performanya mencapai angka 85% kalau dibandingkan dengan Wear 3100. Kinerja memory-nya pun lebih cepat 85%, sedangkan kinerja grafisnya malah 2,5x lebih gegas. Di saat yang sama, konsumsi dayanya malah 25% lebih rendah, dan itu semua berkat pemanfaatan proses fabrikasi yang lebih kecil.

Performa yang lebih mulus beserta baterai yang lebih awet tentu merupakan berita baik bagi seluruh konsumen smartwatch, namun itu belum menggambarkan cerita lengkapnya. Khusus Wear 4100+, Qualcomm turut membekalinya dengan sebuah co-processor, dan komponen ini menawarkan kapabilitas yang lebih lengkap daripada co-processor milik Wear 3100.

Mobvoi TicWatch Pro 3 bakal jadi salah satu smartwatch pertama yang ditenagai Snapdragon Wear 4100 / Qualcomm
Mobvoi TicWatch Pro 3 bakal jadi salah satu smartwatch pertama yang ditenagai Snapdragon Wear 4100 / Qualcomm

Penyempurnaan co-processor ini bakal paling terasa saat smartwatch sedang berada dalam mode ambient. Kalau sebelumnya perangkat hanya bisa menampilkan 16 warna selagi berada dalam mode ini, perangkat yang ditenagai Wear 4100+ mampu menampilkan hingga 64.000 warna dalam mode ambient.

Bukan cuma itu, data sleep tracking maupun heart-rate monitoring juga dapat terus ditampilkan dalam mode ambient. Lebih lanjut, saat pengguna mengaktifkan mode jam tangan biasa (untuk menghemat baterai secara dramatis), Wear 4100+ memungkinkan perangkat untuk menampilkan informasi seperti jumlah langkah kaki, laju jantung, alarm, reminder, maupun indikator baterai di samping sebatas menjadi penunjuk waktu.

Singkat cerita, smartwatch yang ditenagai Wear 4100+ pastinya bakal terdengar jauh lebih menarik karena juga menawarkan banyak fungsionalitas baru di samping lonjakan performa. Lalu brand mana saja yang sejauh ini sudah mengonfirmasi rencananya untuk merilis smartwatch baru dengan chipset Wear 4100 atau 4100+ dalam waktu dekat?

Sayangnya belum banyak. Yang paling dekat adalah Imoo, yang dalam sebulan ke depan berniat memasarkan smartwatch Z6 Ultra yang dibekali Wear 4100. Menjelang akhir tahun nanti, Mobvoi akan menyusul dengan smartwatch Wear OS TicWatch Pro 3.

Sumber: Wired dan Qualcomm.

PouchNATION Luncurkan Gelang Pendeteksi Suhu Tubuh, Mulai Pasarkan Produk dan Layanan di Indonesia

PouchNATION, pengembang platform teknologi untuk manajemen acara, baru-baru ini meluncurkan produk baru bernama PouchPASS. Yakni gelang yang dilengkapi sistem monitor suhu tubuh. Memanfaatkan bluetooth yang terhubung ke ponsel pintar pengguna, perangkat tersebut akan merekam suhu dan mengirimkan data ke dasbor secara berkesinambungan.

Penggunaannya bisa secara personal ataupun kolektif. Sehingga bisa diskenariokan untuk memudahkan panitia acara melakukan pelacakan dan deteksi dini untuk mengurangi persebaran Covid-19.

PouchPASS sebenarnya tidak hanya dipasarkan untuk penyelenggaraan acara saja, namun juga untuk penggunaan di rumah, di tempat belanja, bandara, dan berbagai kebutuhan lainnya. Biasanya ketika di suatu tempat dalam kondisi “new normal”, setiap kali masuk orang harus diukur suhu tubuhnya oleh petugas secara manual. Dengan memakai gelang ini, proses tersebut tidak perlu lagi. Petugas cukup memantau melalui dasbor di aplikasi atau situs web.

Tampilan dasbor pengelola untuk penggunaan PouchPASS secara kolektif / PouchNATION
Tampilan dasbor pengelola untuk penggunaan PouchPASS secara kolektif / PouchNATION

Sudah tersedia di Indonesia

Seperti diketahui sebelumnya, salah satu produk PouchNATION adalah gelang berbasis NFC sebagai tiket masuk ke sebuah ekshibisi. Berbeda dengan tiket tradisional yang menggunakan kertas atau sejenisnya, pendekatan teknologi disematkan untuk menghasilkan data komprehensif seputar keikutsertaan peserta terhadap acara — termasuk merekam keluar-masuknya peserta ke dalam acara.

Kepada DailySocial, CEO PouchNATION Ilya Kravtsov mengatakan bahwa seluruh varian produk dan layanan mereka sudah bisa digunakan di Indonesia. Perusahaan juga sudah memiliki kantor perwakilan berbasis di Indonesia. Ekspansi ke Indonesia PouchNATION didukung sejumlah perusahaan lokal, di antaranya Traveloka dan TIX ID yang turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan seri B tahun lalu.

Lebih lanjut Kravtsov bercerita, mereka sudah mengudara sekitar 5 tahun, mengelola ratusan acara setiap tahun di Asia Tenggara. Ketika Covid-19 datang, ini menjadi salah satu peristiwa besar yang sangat baru dan bertampak pada bisnis mereka. Maka tidak ada pilihan selain harus beradaptasi dengan kondisi. Melihat situasi yang ada, tercetuslah inovasi PouchPASS dari tim internal, yang dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat.

Sebagai bagian dari perlindungan privasi, pengguna juga bisa memilih untuk mengaktifkan layanan lokasi di ponsel mereka untuk memberikan izin pelacakan. Saat menghubungkan perangkat gelang PouchPASS pengguna akan diminta melakukan sinkronisasi ke ponselnya.

Gelang PouchPASS atau yang disebut dengan PouchBAND tersedia dalam tiga ukuran kecil (11-16cm), sedang (15-20cm), dan besar (18- 23cm). Mereka juga melayani kebutuhan rebranding (misalnya pemasangan logo) untuk pemesanan kolektif. Gelang ini juga diklaim tahan terhadap debut dan air, sehingga penyelenggara acara dapat menggunakan secara berulang dan mencucinya. PouchBAND dibekali dengan baterai koin lithium CR2032, yang bisa diganti ketika dayanya habis.

Inovasi penyelenggara acara

Beberapa startup terus mengupayakan inovasi untuk sambut normal baru, termasuk untuk kebutuhan seperti penyelenggaraan acara dan aktivitas di ruang publik. Belum lama ini, startup manajemen acara lokal LOKET juga lakukan hal serupa. Mereka meluncurkan pembaruan aplikasi yang memungkinkan penyelenggara lakukan beberapa hal. Pertama untuk sistem registrasi praktis dan pengaturan jumlah peserta; sistem manajemen pengendali kapasitas massa; hingga pelacak kapasitas massa.

Qlue juga hadirkan produk baru, di antaranya sistem pengecekan suhu tubuh dengan sensor thermal, pengecekan penggunaan masker, pengecekan jarak kerumunan, hingga pengecekan trafik berbasis CCTV.

Application Information Will Show Up Here

Hublot Luncurkan Smartwatch Keduanya, Kali Ini Tanpa Tema Sepak Bola

Produsen jam tangan kenamaan asal Swiss, Hublot, meluncurkan smartwatch Wear OS baru bernama Big Bang E. Kalau Anda ingat, ini bukanlah smartwatch pertama mereka. Di tahun 2018, Hublot sempat memproduksi Big Bang Referee yang dirancang untuk mendampingi para wasit di sepanjang perhelatan Piala Dunia 2018.

Big Bang E tidak mengangkat tema sepak bola sedikit pun – kemungkinan karena Euro 2020 tahun ini batal digelar – dan ini saja sebenarnya sudah bisa menarik perhatian lebih banyak kalangan ketimbang Big Bang Referee. Lebih lanjut, dimensinya jauh lebih ringkas daripada Big Bang Referee, yang tergolong bongsor dengan diameter 49 mm.

Big Bang E di sisi lain punya diameter 42 mm saja. Ia hadir dalam dua versi yang berbeda; satu dengan case berbahan titanium, satu lagi dengan bahan keramik. Perangkat tergolong cukup tipis di angka 12,8 mm, dan secara keseluruhan tahan air hingga kedalaman 30 meter. Strap-nya mudah dilepas pasang cukup dengan satu klik tombol saja.

Hublot Big Bang E

Big Bang E mengemas layar AMOLED sebesar 1,21 inci dengan resolusi 390 x 390 pixel, dan tentu saja layarnya sudah dilapisi kaca kristal safir. Di sisi kanannya, kita bisa melihat sebuah crown yang dapat diputar sekaligus ditekan.

Secara teknis, spesifikasi Big Bang E kurang lebih sama seperti Tag Heuer Connected 2020, yang sebenarnya masih di bawah satu grup induk LVMH: chipset Qualcomm Snapdragon Wear 3100, RAM 1 GB, dan storage internal 8 GB. Sayangnya, meski dilengkapi NFC, versi Bluetooth-nya masih 4.2.

Lebih mengecewakan lagi, Big Bang E sama sekali tidak dilengkapi GPS ataupun heart-rate monitor, dan dua fitur ini merupakan salah satu keunggulan utama Tag Heuer Connected 2020. Kapasitas baterainya juga terbilang kecil di angka 300 mAh.

Hublot Big Bang E

Terlepas dari itu, semua kelebihan sistem operasi Wear OS tentunya bisa didapatkan di sini. Hublot juga tidak lupa menyematkan sejumlah watch face eksklusif, termasuk salah satunya yang dapat menampilkan fase bulan secara presisi.

Berhubung ini Hublot, harganya sudah pasti mahal. Versi titaniumnya dibanderol $5.200, sedangkan versi keramiknya $5.800. Harganya bahkan lebih mahal lagi dibanding Big Bang Referee, dan jauh lebih mahal daripada Tag Heuer Connected 2020 yang berfitur lebih komplet – yang sendirinya juga sudah masuk kategori smartwatch sultan.

Sumber: Wareable dan Hublot.

Tag Heuer Luncurkan Smartwatch Generasi Ketiga, Kini Dilengkapi Crown Seperti Arloji Tradisional

Pasar smartwatch belakangan ini terkesan stagnan, akan tetapi itu bukan berarti pabrikan sudah sepenuhnya mangkir dari segmen tersebut. Jangankan produsen gadget, produsen jam tangan tradisional pun sebenarnya masih tertarik menekuni bidang ini.

Lihat saja Tag Heuer, yang baru saja meluncurkan smartwatch anyarnya, Connected 2020. Perangkat ini merupakan smartwatch ketiga Tag Heuer setelah Connected di tahun 2015 dan Connected Modular di tahun 2017. Ya, selisih waktu tiga tahun memang tergolong lama, dan sudah semestinya pembaruannya cukup signifikan.

Tag Heuer Connected 2020

Secara fisik, Tag Heuer Connected 2020 sepintas kelihatan mirip seperti pendahulunya. Namun ada satu perubahan dramatis yang diusungnya: ia mengemas sebuah crown, menjadikannya semakin menyerupai arloji tradisional. Crown tersebut diapit oleh dua tombol ekstra, dan ini mengindikasikan pengoperasian yang lebih baik ketimbang generasi sebelumnya yang cuma mengandalkan satu tombol saja.

Dimensinya tidak berubah banyak dari sebelumnya, dengan diameter 45 mm dan tebal 13,5 mm. Layarnya merupakan panel OLED 1,39 inci beresolusi 454 x 454 pixel, dan tentu saja ada kaca safir yang melapisinya, tidak ketinggalan pula bezel dari bahan keramik. Soal ketahanan air, ia siap diajak menyelam hingga kedalaman 50 meter.

Tag Heuer Connected 2020

Yang agak mengecewakan mungkin adalah spesifikasinya, utamanya chipset yang digunakan, yakni Qualcomm Snapdragon Wear 3100. Saya bilang mengecewakan karena chipset ini sudah berusia hampir dua tahun, dan kelebihannya dibanding sebelumnya tidak lebih dari sebatas konsumsi daya yang lebih irit.

Chipset ini juga sama persis seperti yang terdapat pada Montblanc Summit 2, yang juga telah eksis sejak tahun 2018. Mungkin yang lebih pantas disalahkan adalah Qualcomm.

Tag Heuer Connected 2020

Selebihnya, fitur yang ditawarkan smartwatch ini terbilang lengkap. NFC hadir sebagai standar, tapi sayangnya konektivitas Bluetooth yang digunakan belum versi 5.0. Heart-rate monitor dan GPS turut tersedia, dan baterai yang diusungnya memiliki kapasitas 430 mAh. Seperti sebelumnya, perangkat ini menjalankan sistem operasi Wear OS bikinan Google.

Tag Heuer Connected 2020 saat ini sudah dipasarkan dengan harga mulai $1.800 untuk varian dengan case stainless steel, atau $2.350 untuk varian titanium. Koleksi strap ekstranya dijual seharga $100 untuk yang berbahan karet, dan $490 untuk yang berbahan stainless steel. Yup, strap-nya sendiri saja sudah seharga smartwatch lain.

Sumber: 9to5Google dan Droid-Life.

OPPO Watch Resmi Diperkenalkan, Punya VOOC Flash Charging-nya Sendiri

Setelah muncul dalam beberapa teaser, OPPO Watch akhirnya resmi diperkenalkan. Diumumkan bersamaan dengan OPPO Find X2, smartwatch pertama OPPO ini datang membawa sejumlah keunggulan, terutama di sektor baterai.

Namun sebelumnya, mari membahas sedikit soal desainnya, yang tak bisa dipungkiri tampak begitu mirip dengan Apple Watch. Perbedaan paling mencoloknya, selain sisi kanan yang dihuni sepasang tombol ketimbang crown, adalah bezel layar yang kelihatan lebih tipis.

OPPO Watch

Layarnya sendiri menggunakan panel AMOLED 1,91 inci beresolusi 402 x 476 pixel. Andai varian 46 mm ini terasa terlalu besar, konsumen bisa memilih varian 41 mm yang mengemas layar 1,6 inci.

OPPO menggunakan material aluminium untuk frame perangkat, sedangkan sisi belakangnya terbuat dari bahan keramik. Untuk strap-nya, tersedia varian kulit atau silikon, dan tentu saja strap-nya ini mudah diganti-ganti. Secara keseluruhan, OPPO Watch disebut tahan air hingga kedalaman 50 meter.

OPPO Watch

Bagus atau tidak penampilannya tergolong relatif, karena saya kenal banyak orang yang anti arloji berwajah kotak. Faktor yang lebih penting menurut saya adalah ketahanan baterainya, sebab baterai memang kerap menjadi titik lemah kategori smartwatch selama ini.

Dalam satu kali pengisian, OPPO Watch diklaim mampu beroperasi sampai 40 jam, sedangkan mode Power Saver malah bisa menambah durasinya lagi sampai 21 hari. Rahasianya menurut OPPO adalah mekanisme chipset ganda; OPPO Watch mengemas dua chipset yang berbeda (Snapdragon Wear 2500 dan Apollo 3 co-processor) dan perangkat dapat menggunakannya secara bergantian tergantung kebutuhan.

OPPO Watch

Kalau Anda jeli, Anda pasti heran kenapa prosesor yang digunakan bukanlah Snapdragon Wear 3100 yang paling baru. Lebih menarik lagi, Snapdragon Wear 2500 sebenarnya dirancang untuk menenagai smartwatch anak-anak. Terlepas dari itu, mekanisme chipset ganda yang melibatkan prosesor utama dan co-processor ini pada dasarnya juga merupakan resep irit daya yang diterapkan oleh Snapdragon Wear 3100.

Masih seputar baterai, yang lebih istimewa lagi justru adalah, perangkat ini turut dilengkapi teknologi VOOC Flash Charging-nya sendiri: charging selama 15 menit cukup untuk mengisi 46% kapasitas baterainya, dan ini diyakini cukup untuk pemakaian selama 18 jam. Untuk mengisinya hingga penuh, waktu charging yang diperlukan cuma berkisar 75 menit.

OPPO Watch

OPPO Watch tidak memakai Wear OS, melainkan sistem operasi bikinan OPPO sendiri, yakni ColorOS Watch yang juga berbasis Android. Seperti halnya smartwatch modern lain, ia turut dibekali seabrek sensor, termasuk halnya heart-rate monitor dan fitur ECG (electrocardiogram).

Di Tiongkok, OPPO Watch kabarnya bakal dipasarkan mulai 24 Maret seharga 1.499 yuan (± Rp 3,1 juta). OPPO berencana untuk memasarkannya secara global, tapi masih belum disebutkan kapan pastinya.

Sumber: 1, 2, 3.

Generasi Kedua Sepatu Self-Lacing Nike Lebih Nyaman dan Lebih Mudah Dipakai

Ketekunan Nike dalam mengembangkan dan mematangkan teknologi self-lacing selama bertahun-tahun terbukti sudah membuahkan hasil. Nike Adapt BB resmi dirilis tahun lalu, mempersilakan para pebasket untuk merasakan betapa revolusionernya sepasang sepatu yang dapat mengencangkan talinya sendiri.

Tahun ini, Nike bahkan sudah menyiapkan generasi keduanya. Dibandingkan pendahulunya, Nike Adapt BB 2.0 membawa sejumlah penyempurnaan. Wujudnya pun juga kelihatan lebih fancy, namun ia tetap mempertahankan tombol “+” dan “-” yang menyala seperti sebelumnya.

Nike Adapt BB 2.0

Fungsi kedua tombol ini tidak lain dari mengencangkan atau mengendurkan sepatu. Juga sama seperti generasi pertamanya, Adapt BB 2.0 yang masih mengemas konektivitas Bluetooth ini harus di-charge setiap dua minggu sekali dengan diletakkan di atas wireless charging mat.

Kendati demikian, Nike mengklaim sederet penyempurnaan yang mereka terapkan menjadikan Adapt BB 2.0 lebih nyaman untuk dikenakan. Salah satunya adalah bantalan Air Zoom Turbo yang diselipkan ke ujung depan Adapt BB 2.0, yang membuat sepatu terasa lebih memantul layaknya sepatu Nike seri Kyrie Irving.

Nike Adapt BB 2.0

Selain terasa lebih nyaman, Adapt BB 2.0 juga diyakini lebih mudah dipakai dan dilepas berkat material yang lebih elastis di sekitar lubangnya. Lebih lanjut, Nike juga bilang bahwa material elastis ini bakal membantu memantapkan kinerja sistem self-lacing milik sepatu.

Satu hal yang disayangkan, sepatu ini kian bertambah mahal. Di Amerika Serikat, Nike Adapt BB 2.0 saat ini telah dipasarkan seharga $400, $50 lebih mahal daripada generasi pertamanya.

Sumber: Nike dan Engadget.

Mengenal Zulu, Perusahaan “Wearable” yang Didukung Gojek

Zulu secara definisi bukanlah startup teknologi. Mereka adalah perusahaan yang membuat perangkat kelengkapan, aksesoris, apparel untuk pengemudi roda dua–beberapa bisa dikategorikan wearable. Meskipun demikian, tanpa bantuan investasi Gojek, Zulu mungkin tidak pernah hadir seperti saat ini.

Kepada DailySocial, CEO Zulu Nathan Roestandy menceritakan sebelumnya dia sempat berkiprah di korporasi sebelum terjun secara full time membesarkan perusahaan.

Gojek, sebagai satu-satunya investor Zulu saat ini, membantu mewujudkan hal ini. Mendapatkan investasi sejak akhir 2018, kini perusahaan memiliki 15 pegawai yang bekerja secara penuh waktu dengan kantor saat ini di sebuah coworking space di bilangan SCBD Jakarta.

“Sebetulnya dari awal kita ingin pitching ke Gojek karena driver itu bagian dari target market kita. Kenapa kita memilih Gojek, karena mereka punya driver base yang sangat luas. Salah satu kendala besar untuk mengembangkan produk fisik seperti hardware perlu skala yang besar untuk men-justify spending R&D yang tinggi, untuk men-justify unit cost yang lebih rendah. Jadi tanpa ada driver base yang sebesar Gojek ini produksi kita jadi susah. Karena unit cost kita terlalu tinggi, kalau cost-nya terlalu tinggi harga jualnya nggak competitive dan your market jadi mengecil.”

Menurut Nathan, sebenarnya tren VC berinvestasi di non-startup teknologi sudah cukup jamak di Amerika Serikat dan Eropa, tapi di Indonesia konsep ini masih belum umum.

“Sebetulnya kalau kita lihat dari tren-tren di Amerika Serikat sampai Eropa banyak sekali VC yang invest ke brand yang mereka gak jual software tapi mereka menjual physical product dan ini udah berjalan lima-sepuluh tahun lalu.”

Ia mengatakan, “We’ve already seen about investment, about acquisition. Kalau di Indonesia sendiri mungkin karena pasar ritelnya masih bisa dibilang segmen bawah yang price sensitive. Dilemanya adalah kalau kita mau berinovasi it has to be affordable and it’s difficult to do, especially kalau kita baru mulai.”

Bisnis Zulu

Secara bisnis, Zulu memiliki dua lini. Pertama adalah B2B yang menyuplai perlengkapan mitra pengemudi Gojek, termasuk helm dan jaket. Lini kedua adalah menjual produk hasil riset ke konsumen umum.

Produk unggulannya saat ini adalah helm pintar yang dilengkapi konektivitas bluetooth dan masker anti polusi. Kedua produk ini tersedia secara online dan melalui toko-toko reseller seluruh Indonesia.

Smart helmet itu intinya bisa pairing dengan ponsel lewat Bluetooth dan itu bisa melakukan berbagai fitur secara handsfree, dari menelepon, Google Assistance, GPS, Notification, Radio, dan terutama lebih ke [urusan] safe. Kalau untuk passenger lebih ke entertaiment ya. Jadi kalau entertaiment itu mereka bisa streaming Spotify dan YouTube.”

Nathan melanjutkan, “Perbedaan utama antara smart helmet atau bluetooth speaker helmet dengan earphone dia tidak kedap suara. Jadi suara sekitar masih kedengeran. Ada orang klakson, [meski] kita [sedang] nyetir sambil mendengarkan radio, dia nggak ngeblok semua.”

Meski bukan merupakan startup teknologi, Zulu memiliki CTO [dijabat Yusuf Syaid]. Nathan mengatakan, CTO ini bertanggung jawab terhadap inovasi hardware dan software khususnya yang berkaitan dengan supply chain.

“Kita membangun inventory sistem menggunakan teknologi RFID. Jadi RFID ini adalah kayak semacam chip yang kita masukan ke dalam pakaian dan itu gunanya itu dia bisa nge-track jadi kita pasang sensor-sensor di setiap warehouse, di setiap distribution center, sampai diterima oleh driver.”

“Jadi pada saat driver transaksi, ia akan pairing antara kode ID driver dengan RFID Jacket. Jadi kita pantau persis jaket ini dimiliki ID ini, dia belinya kapan, jadi kita ada full visibility di supply chain kita. Sistem kayak gitu ada unsur hardware-nya, itu RFID tapi juga ada bagian software. Nah itu kita bekerja sama dengan tech team-nya Gojek,” lanjutnya.

Langkah ke depan

Nathan mengatakan tahun ini fokus perusahaan ada di tiga hal. Pertama adalah pengembangan platform e-commerce terdedikasi, kedua adalah ekspansi produk ke lebih banyak negara, dan ketiga adalah inovasi dan pengembangan produk–baik bersama Gojek maupun secara mandiri.

Zulu saat ini sudah tersedia di pasar Singapura dan Malaysia. Tahun ini mereka berharap bisa berekspansi ke Jepang dan Korea Selatan. Kedua pasar ini dianggap sudah tidak sensitif terhadap biaya produk dan perusahaan berharap bisa menawarkan sesuatu yang inovatif secara fitur dengan harga yang relatif bersaing.

Perusahaan sendiri saat ini juga sedang mengembangkan perangkat kompas digital yang diharapkan bisa membantu navigasi pengemudi roda dua dan inovasi lain dengan Gojek yang belum bisa didetailkan untuk publik.

Terkait pendanaan, Nathan menyebutkan saat ini Zulu sudah mendapatkan keuntungan. Meskipun demikian perusahaan akan tetap terbuka terhadap pendanaan lanjutan untuk mendukung R&D.

We are always [open for] funding. We are very lucky that we are in [profitable] position. Karena sudah profitable kita nggak harus mempercepat proses itu. We want to deliver more result. We’re trying to make this attractive outside Gojek [ecosystem],” tutupnya.

Jelang Peluncuran, Penampakan Smartwatch Perdana OPPO Resmi Diungkap

Dalam event OPPO INNO DAY yang dihelat menjelang akhir 2019 kemarin, OPPO sempat menyinggung rencananya untuk meluncurkan smartwatch di kuartal pertama 2020. Meski sudah menelurkan banyak smartphone, OPPO rupanya belum pernah menjajal peruntungan di segmen smartwatch.

Kalau melihat jadwal rilis yang ditetapkan di kuartal pertama, sepertinya ajang MWC yang segera digelar pada akhir Februari nanti bakal menjadi momen perkenalan yang pas, bersamaan dengan peluncuran resmi salah satu ponsel flagship-nya untuk tahun ini, yakni OPPO Find X2.

Peresmian smartwatch perdana OPPO ini hanya tinggal menunggu waktu, sebab kita sudah bisa melihat wujudnya. Gambar di atas bukanlah Apple Watch, melainkan smartwatch bikinan OPPO yang masih tak bernama. Gambar itu diunggah oleh salah satu petinggi OPPO ke Sina Weibo, jadi anggap saja ini bocoran resmi.

Tidak bisa dipungkiri, ada cukup banyak kemiripan antara smartwatch bikinan OPPO ini dengan Apple Watch generasi teranyar, mulai dari layar persegi panjang yang melengkung di bagian sisinya, hingga strap silikon dengan gaya desain yang serupa. Satu yang sangat berbeda adalah, sisi kanannya dihuni oleh sepasang tombol ketimbang sebuah crown.

Terkait software, gambar di atas masih belum bisa menjelaskan sistem operasi yang dijalankan oleh perangkat tersebut. Bisa jadi WearOS, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga OPPO menggunakan sistem rancangannya sendiri, menyusul jejak rival sekampungnya, macam Xiaomi dan Huawei.

Sumber: Digital Trends.