Nexticorn Gandeng Tokocrypto Jaring Inovator Web3 Potensial

Menjelang  perhelatan NXC Indonesia Summit 2022, pihak komite bekerja sama dengan Tokocrypto mengadakan “NXC Web3 Startup Competition”. Kompetisi ini bertujuan untuk menjaring 10 proyek Web3 lokal terbaik untuk nantinya diberi kesempatan tampil di ajang Summit di Bali.

Berdasarkan data dari DappRadar, volume perdagangan pasar NFT dunia pada tahun 2021 meroket hingga $23 miliar, mengindikasikan peningkatan 592% pengguna baru yang melakukan transaksi. Jumlah investasi VC, selebriti, dan brand pada industri blockchain bahkan telah mencapai $27 miliar.

Di Indonesia sendiri, pada Januari s/d Juni 2021 tercatat lebih dari 6,5 juta penduduk melakukan transaksi mata uang kripto dengan total mencapai $25 miliar. Periode yang sama di tahun sebelumnya nilainya baru $4,4 miliar, yang berarti terjadi peningkatan signifikan hingga 470%. Saat ini, masyarakat Indonesia secara legal dapat memiliki dan memperdagangkan sekitar 229 jenis aset kripto.

Edward Ismawan Chamdani selaku Chief Summit Officer di NXC International Summit 2022 mengungkapkan, “Semua data menunjukkan bahwa pertumbuhan industri Web3 di Indonesia luar biasa. Melalui Nexticorn dan NXC International Summit 2022, kami percaya bahwa Web3 akan menjadi landasan atau launchpad bagi unicorn baru dari Indonesia. Dan ini selaras dengan misi kami untuk mendorong akselerasi industri teknologi Indonesia yang akan melahirkan unicorn-unicorn baru.”

Salah satu fokus dari acara NXC International Summit 2022 sendiri adalah pembahasan dan pemahaman lebih mendalam tentang potensi teknologi Web3 dan turunannya. Terdapat area khusus yang disebut Experience Areadidedikasikan untuk para partisipan agar bisa merasakan pengalaman langsung dengan teknologi Web3. Selain itu, Nexticorn juga akan menghadirkan para penggiat Web3 ternama global termasuk para pemimpin pasar untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.

“Web3 adalah fase baru yang menjanjikan. Potensi Web3 di Indonesia saat ini up and rising. Tokocrypto sangat optimis tentang potensi Web3 untuk memperluas akses masyarakat ke semua peluang yang lebih baik, mulai dari ekonomi, kesehatan hingga pendidikan. Kerja sama strategis ini, sejalan dengan visi Tokocrypto untuk terus menjadi builder sekaligus leader di ekosistem kripto, blockchain, dan Web3 di tanah air, sekaligus membawa Indonesia menjadi barometer di kancah global,” ujar Co-Founder & CEO Tokocrypto Pang Xue Kai.

Kriteria dan kategori

Gelaran NXC Web3 Startup Competition tidak hanya ditujukan untuk startup atau perusahaan, tetapi juga untuk tim pengembang atau siapa pun yang bekerja pada produk atau layanan bisnis komersial yang menggunakan konsep desentralisasi atau berteknologi blockchain.

Beberapa kriteria yang harus diperhatikan adalah 1) tim inti harus didominasi oleh warga negara Indonesia; 2) Proyek sudah berjalan minimal 3 bulan; serta 3) Memiliki dan dapat menunjukkan data traksi/penggunaan.

Kompetisi Web3 ini dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: DAO – Distributed Autonomous Organizations; NFT – Non-fungible Tokens (with utilities or smart contracts); dApps – Decentralized Applications; dan Blockchain – Open Ledger dengan Blockchain.

Registrasi berlangsung dari tanggal 24 Mei-12 Juni 2022.  Dilanjutkan dengan sesi penjurian oleh Edward Ismawan Chamdani selaku Chief Summit Officer NXC International Summit 2022 dan Tigran Adiwirya selaku VP of TokoLabs Tokocrypto, yang berlangsung selama 3 hari hingga 15 Juni 2022. Kesepuluh pemenang akan diumumkan pada tanggal 18 Juni 2022.

Untuk para penggiat teknologi yang sudah mulai meniti proyek Web3 dan ingin semakin mengembangkan inovasi teranyar ini, segera daftarkan diri. Pendaftaran akan segera ditutup tanggal 12 Juni 2022. Informasi lebih lanjut terkait kompetisi dan pendaftaran tersedia di website Nexticorn dan NXC Web3 Startup Competition.

Inilah Saat yang Tepat Bagi Anda Mendalami Teknologi Web3

Pada dasarnya, teknologi selalu dikembangkan umat manusia untuk mengakomodir kebutuhan, menjawab tantangan, dan menyelesaikan masalah. Pun halnya dengan teknologi internet. Belakangan, kancah internet diramaikan dengan teknologi terbaru yang disebut “Web3”. Teknologi ini dipercaya bakal jadi ekosistem internet di masa depan yang memungkinkan segala hal di dalamnya terdesentralisasi, aman, dan juga transparan. Alhasil, sifatnya yang demikian membuat Web3 bisa jadi layak diadaptasi oleh siapa pun, bahkan termasuk bagi para pegiat pengembang teknologi (developer).

Sesuai namanya, Web3 adalah bentuk pengembangan lanjutan dari teknologi web, baik itu Web 1.0 maupun Web 2.0. Web3 mengusung konsep ekosistem internet yang lebih terbuka, beroperasi secara otonom, dan dikelola secara desentralisasi.di mana sistem itu menawarkan fleksibilitas pengembangan oleh siapa pun. Sementara karakteristik trustless dan permissionless, memungkinkan siapapun untuk berinteraksi dan berpartisipasi, tanpa perlu campur tangan pihak ketiga (desentralisasi). Yang terjadi pada Web 1.0 dan 2.0, seluruh trafik data pasti didistribusikan oleh perantara pihak ketiga (perusahaan-perusahaan raksasa internet). Pada Web3, proses tersebut seakan di-bypass, dan memungkinkan siapapun memiliki ownership dari seluruh aset digital yang ada di dalam habitat Web3.

Poin terakhir dirasa penting, sebab, aset digital yang dimiliki benar-benar hanya dapat dikelola oleh pemilik tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Konsep ini mungkin terdengar sedikit familiar pada konsep blockchain dengan implementasi spesifik macam cryptocurrency dan sebagainya. Ya, memang benar adanya, Web3 sebagian besar dibangun di atas tiga lapisan baru inovasi teknologi, yaitu: Edge computing, Jaringan data yang terdesentralisasi, dan juga Artificial intelligence (AI).

Implementasi Web3 yang umum dikenali saat ini bisa diwakilkan oleh berbagai hal, salah satunya seperti cryptocurrency, dan Non-Fungible Token (NFT). Implementasi lain seperti DeFi (Decentralized Finance), dan DAO (Decentralized Autonomous Organization) juga saat ini perlahan hadir diperkenalkan di tengah industri digital tanah air.

Kehadiran teknologi Web3 membawa misi yang besar, dalam cita-cita menjadikan internet ekosistem yang tak terbatas untuk semua. Pun bagi individu, perkembangan teknologi Web3 menjamin relevansi kita agar mampu beradaptasi terhadap perubahan era dan zaman. Terlebih dari sisi pegiat pengembang teknologi, mengadaptasi Web3 sedari dini semestinya mampu mendorong kita untuk berkembang sejalan dengan evolusi teknologi Web3 yang kian progresif di masa depan.

Ingin mengenali dunia Web3 sekaligus langsung hands-on ke dalam ekosistem teknologinya? DailySocial.id mempersembahkan perhelatan yang sayang untuk Anda lewatkan, Web3 Developer Bootcamp by DailySocial.id. Di bootcamp ini Anda akan meraih materi seputar ekosistem teknologi Web3 yang akan dibagikan oleh keynotes terkemuka seperti Antonny Liem (GDP Venture), Intan Wibisono (ArtPopUp, Indo NFT Festiverse), On Lee (GDP Labs), Yohanes Adhi (DailySocial.id), Irzan Raditya (Kata.ai) serta para trainers dan expertise seperti Muqorrobien Marufi (Ansvia), Tata Tricipta (Exclusor), Reza Anwar (Inamart), dan masih banyak lagi.

Mengusung tema “Building Builder of the Future”, Web3 Developer Bootcamp akan membahas beragam topik seputar blockchain, crypto, DAO, NFT, serta DeFi (Decentralized Finance). Tak ketinggalan, developer juga akan memperoleh materi pembelajaran mulai dari seputar pengembangan aplikasi Web3, hingga praktik langsung pengembangan program “smart contract” di platform website blockchain yang nantinya akan pula dilengkapi dengan sesi coaching langsung dan one-on-one session selama 3 hari.

Mari segera menjadi bagian dari teknologi Web3 dan dapatkan potongan harga tiket sebesar 15% dengan menggunakan kode promo WEB3UDS15 yang bisa Anda tukarkan di halaman ini.

Famous Allstars: Bentuk “Creator Venture” hingga Rencana Penggalangan Dana (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Tulisan Bagian I menyajikan pandangan Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani tentang lanskap creator economy, monetisasi, hingga regulasi di Indonesia.  

Bagaimana perjalanan transisi ketika Famous dan Allstars merger?

Arief (Ar): Pasca-merger, Famous Allstars (FAS) punya tiga pilar bisnis, yaitu (1) agency yang menghubungkan brand dan kreator, (2) talent yang kini menjadi bagian dari ekosistem creator economy, dan (3) teknologi melalui platform Allstars.id. Bagi kami, tiga pilar ini menjadi landasan kuat untuk bergerak ke area yang berpotensi berkembang, baik ketika masuk ke Web2 maupun Web3.

Alex (Al): Biasanya saat merger, [bisnis] terpotong kanan-kiri karena ada duplikasi. Interestingly, ketika GoViral, Avenu, Indovidgram, dan KokikuTV bergabung menjadi Allstars, dan Allstars bergabung dengan Famous, seluruh model bisnisnya tidak saling menduplikasi.

Indovidgram bergerak di media yang berfokus pada pengembangan kreator di komunitas. Modelnya similar dengan KokikuTV dan Avenu, tapi masing-masing bergerak di bidang F&B dan beauty-fashion. Sementara, GoViral bergerak di community and buzzer. Ketika bergabung menjadi Allstars, seluruh pilar bisnis kami saling melengkapi satu sama lain. Meski bergerak di industri berbeda, tetapi tujuannya tetap sama.

Pada saat itu, Famous adalah conventional agency yang bekerja sama dengan brand untuk menciptakan influencer campaign marketing, project, atau strategy. Seluruh model bisnisnya saling bersinergi di mana Allstars jadi memiliki agency, menghubungkan dengan brand. Famous justru mendapatkan inventory yang bisa dibawa ke brand.

Bagaimana platform Allstars.id memenuhi ekspektasi para kreator dan brand?

Ar: Feedback dari kreator dan brand menjadi faktor mengapa bisnis FAS terus berkembang. Salah satu yang diinginkan brand pada influencer tech platform adalah kapabilitas untuk melihat kinerja secara demografi. Di Allstars.id, brand bisa melakukan pencarian berdasarkan delapan kategori demografi. Misalnya, sebuah brand ingin mencari kreator dari Surabaya dengan jumlah follower berkisar 1.000-10.000 dengan budget sekian. Justru banyak brand yang bekerja sama dengan influencer atau kreator skala kecil.

Tampilan cara kerja platform Allstars.id / Sumber: Famous Allstars

Dari sisi kreator, mereka ingin tahu berapa rate card untuk karyanya. Kami lalu bikin fitur kalkulator, semacam simulasi, untuk menghitung itu. Misalnya, biaya engagement rate 3% itu sekian harga yang pantas. Jadi, kami mengembangkan tools berdasarkan feedback dari mereka. Tim produk kami juga berikan masukan, seperti aspek keamanan dan pembayaran. Contoh lain, kami minta pertimbangan dari kreator, kapan idealnya withdraw saat proyek selesai.

Dalam waktu dekat, kami akan meluncurkan fitur measurement di platform Allstars.id untuk mengetahui performance dari kreator dan brand. Kapabilitas ini kemungkinan juga akan jadi platform independen (terpisah) karena banyak kreator dan brand yang ingin tahu kinerja mereka. Selain itu, kami juga sedang sesuatu yang menarik juga, yakni live streaming.

Dalam mengukur metrik sebuah campaign, bagaimana mengembangkan tools untuk akomodasi kebutuhan dari berbagai kategori brand?

Ar: Secara garis besar, kami mengembangkan tools dari pre-planning, campaign, hingga post-campaign. Misalnya, brand ingin menggunakan sebanyak 50 influencer untuk sebuah campaign. Brand ingin tahu berapa engagement rate atau konten yang dikerjakan kreator, sesuai kesepakatan atau tidak.

Sebetulnya, untuk metrik ini, kreator bisa saja lihat dari social media asset mereka. Tapi fitur kami kan langsung dalam satu platform. 

Untuk mengukur metrik berdasarkan kategori brand berbeda, sebetulnya ada banyak. Misal, Return of Investment (ROI), atau engagement rate dan cost per view sebagai standar metrik. Untuk saat ini, kami belum sedalam itu [mengembangkan tools] untuk metrik yang lebih kompleks, seperti jumlah penjualan yang dihasilkan dari sebuah campaign atau dari mana datangnya penjualan,

Al: Alasan kami bentuk Allstars.id sejak awal karena ingin mengakomodasi kebutuhan UMKM. Selama ini kebanyakan yang pakai agency adalah brand-brand besar. Tapi creator economy kan tidak cuma dibutuhkan oleh big brand, tetapi UMKM. Biaya agency itu mahal dan UMKM tidak mungkin pakai itu. Mereka butuh job, dengan jumlah follower yang kecil, bagaimana cara mereka monetisasi jasa atau karya. Apabila UMKM mendapat job, mereka dapat meningkatkan popularitas, skillset, dan audiens.

Bicara soal pengembangan inovasi, platform kami memampukan brand untuk filter kreator atau influencer yang mereka cari. Begitu juga sebaliknya, influencer juga bisa mencari brand. Selain itu, we take it further [kapabilitasnya] di mana brand dapat mencari kreator berdasarkan demografi follower-nya. Ini bisa menjadi starting point yang baik karena kami kembangkan kapabilitas dari sisi discoverability dan analitik yang lebih dalam.

Sumber: Famous Allstars

Dulu brand bikin campaign menggunakan jasa agency, mereka bertemu untuk diskusi, lalu buat laporan dalam bentuk power point. Di platform ini, aktivitas campaign dapat dimonitor di dashboard. Brand bisa pakai kapabilitas yang kami sediakan, misalnya tracking campaign secara real time, tidak perlu lagi agency kirim laporan dalam bentuk Power Point. Brand bisa memonitor kinerja influencer yang mereka pakai, seperti jumlah post, like, comment, atau berapa ROI yang diperoleh dengan budget sekian.

Seluruh kapabilitas ini akan membawa Famous Allstars ke next levelThat’s what we aim, kami push dari sisi teknologi, bukan cuma [mendigitalisasi] cara konvensional dari cara sebuah agency bekerja.

Apa saja rencana yang tengah disiapkan FAS tahun ini?

Al: Di luar pengembangan fitur, kami percaya ada future plan yang menarik dan akan menjadi fokus kami selanjutnya, yakni creator venture.

Creator venture adalah sebuah kolaborasi antara FAS dan kreator untuk mendirikan sebuah bisnis. Ini bukan sesuatu yang baru, hanya istilahnya saja. Model bisnisnya pun lama. Contohnya, Geprek Bensu merupakan sebuah usaha yang didirikan oleh kreator/influencer. Contoh lain, Kylie Jenner mendirikan usaha skincare dan kosmetik.

Sebelumnya, kami sudah membentuk joint venture bersama RANS Entertainment untuk mendirikan media baru Bund Lifetainment, lalu investasi dari EMTEK untuk mendirikan 1ID Entertainment. Kedua, kami berkolaborasi secara individu dengan Bayu Skak, salah satu talent kami, untuk memproduksi film “Youwis Ben”.

Kami melihat creator venture akan menjadi the next wave to go. Ini menjadi salah satu cara kami melangkah ke level selanjutnya. Kami tak cuma menjadi stakeholder, mengelola talent, atau menghubungkan brand, tetapi juga memperat hubungan dengan memperdalam bisnis bersama kreator. Saya yakin setiap kreator punya passion, tetapi mungkin belum tentu bisa dijalankan atau dimodali sendiri. Di sini, mereka akan punya kepemilikan dari bisnis yang mereka bangun.

Apakah [cara ini] make sense untuk menjadi sustainable business? Selama ini kami kerja sama hanya sebatas commercial atau transactional deal. Tapi, kami ingin selanjutnya ingin menjadi partner, bukan agency atau managementCreator venture akan menjadi bagian penting untuk mengidentifikasi kreator mana yang bisa jalan bersama FAS.

Bagaimana model bisnis creator venture?

Al: Kami mengidentifikasi dua pilar menarik, yakni F&B dan beauty. Kami melihat kedua bisnis ini sustainable dan cukup everlasting, punya high growth margin, profit proven, dan industrinya tidak akan mati–bukannya tidak berdampak ya. Selain itu, ada banyak kreator atau influencer di dua sektor ini.

Kami eksplorasi sektor beauty di Indonesia, karena pemain lokal dan potensi pasarnya sangat besar di Indonesia. Kami lihat acceptance terhadap brand lokal sangat tinggi. Begitu juga dengan appetite pasar, mereka punya daya eksplorasi besar.

Esensi dari creator venture adalah kreator punya kepemilikan dari bisnisnya. Modelnya ada dua, (1) membentuk joint venture (JV) dan (2) memberikan investasi ke bisnis yang sudah dimiliki kreator. Variasi kepemilikan [saham] sesuatu kesepakatan, tetapi intinya bisa saling co-own.

Apakah FAS berencana untuk fundraising di 2022?

Al: Semua yang kami sampaikan di atas, mulai dari mencari talent, mengembangkan inovasi, dan membuat venture baru, that takes funding. Sejak bulan lalu, kami berbicara ke lebih dari sepuluh venture capital (VC). Goal kami, bukan soal funding semata dan neglect VC yang sudah pernah berinvestasi di FAS, tetapi mencari sinergi. Creator economy luas sekali, makanya VC yang dapat memenuhi goal kami menjadi penting karena mereka akan membawa dan menghubungkan FAS ke network yang lebih luas.

Dalam konteks creator venture, apabila salah satu VC yang kami jajaki punya expertise atau portofolio di F&B dan beauty, ini bisa memudahkan kami untuk mengembangkan bisnis tersebut. Jika ada talent hebat di F&B, kami bisa hubungkan ke jaringan yang dimiliki VC. Jadi, kami mencari expertise, network, dan portofolio agar kami dapat mengakselerasi bisnis yang akan kami bangun.

Terkait investasi dari EMTEK, tentu ada sinergi besar karena EMTEK adalah media mogul. Fokus kami tetap di media entertainment dan sinergi EMTEK akan memudahkan kami mengembangkan talent. EMTEK punya ekosistem, kami bisa berperan sebagai sourcing talent buat mereka juga. Itulah pilar kerja sama kami dengan EMTEK. It’s beyond than funding.

Lagipula, kami jadi lebih mudah membangun creator venture ini karena memanfaatkan ekosistem besar milik EMTEK untuk akselerasi pertumbuhan bisnisnya.

Famous Allstars: “Creator Economy” Indonesia Belum Capai Puncak Pertumbuhan, Ruang Eksplorasi Masih Besar (Bagian I)

Bagi Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani, industri creator economy Indonesia saat ini tengah memasuki periode yang mendebarkan. Mengapa? Perkembangannya begitu cepat, pasarnya sangat antusias, dan ada banyak ruang yang dapat dieksplorasi, baik dari sudut pandang kreator, inovator, hingga pemilik brand. 

Mereka punya pandangan demikian mengingat Famous Allstars atau FAS bukanlah pemain baru di industri ini. FAS telah lama menyaksikan perkembangan creator economy, dari ketika model monetisasinya masih konvensional hingga sekarang di mana kreator semakin independen berkarya.

Jika mengikuti perjalanannya, FAS berdiri dari penggabungan bisnis antara Famous dan Allstars pada 2019 silam. Famous menaungi channel-channel konten kreatif popular Indovidgram, KokikuTV, Avenu, dan Indovidgram pada 2012-2015. Sementara, Allstars adalah platform yang menghubungkan brand dengan influencer. FAS juga menerima pendanaan dari perusahaan konglomerasi media EMTEK Group dan bersinergi dengan RANS Entertainment di 2021.

Di sesi eksklusif ini, DailySocial merangkum obrolan panjang bersama Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani terkait lanskap industri, monetisasi, hingga rencana bisnisnya tahun ini. Selengkapnya, kami sajikan dalam dua bagian.

Creator economy punya definisi luas sehingga ada anggapan influencer juga termasuk di dalamnya. Bagaimana Anda mendefinisikan kedua hal ini?

Alex (Al): Definisi influencer sesuai terjemahannya: seseorang yang memberikan pengaruh lewat kreasinya. Karena teknologi bergerak dengan cepat, terminologi itu–at least dari sudut pandang saya–menjadi sedikit insignificant.

Dulu influencer tidak exist di awal kami membangun bisnis ini. Seiring berjalannya waktu [konteks: influencer mulai populer], terminologi ini semakin berkurang. Influencer ingin disebut sebagai kreator. Kenapa? Karena mereka merasa menghasilkan sesuatu dan bentuknya bisa berbagai macam. Biasanya dulu kreator identik dengan hasil karya seni, sekarang berbeda. Konten video pendek bisa dikatakan sebagai kreasi. Jika hari ini, saya membuat konten digital di Instagram, YouTube, atau TikTok, saya bisa sebut diri sebagai kreator.

Creator economy ini menarik karena siapa saja dapat menjadi kreator dan influencer. Yang membedakan adalah skala dan kemampuannya. Bisa jadi saya kreator, tetapi skala kreativitasnya masih kalah dari kreator lain.

Contoh, istilah livestreamer pasti akan lebih besar lagi di masa depan. Apakah livestreamer disebut influencer atau content creator? Tentu bisa. Akan tetapi, livestreamer mungkin punya skillset berbeda dengan influencer karena influencer belum tentu bisa livestreaming. Sementara, influencer mungkin punya kemampuan copy writing yang baik, tetapi belum tentu bisa live selama satu jam. Youtuber belum tentu bisa livestreaming, karena kontennya sebagian besar recorded, bisa diulang, atau diedit.

Seniman menggambar nanti mungkin bakal dikenal sebagai NFT artist dalam 2-3 tahun lagi. Terminologinya berubah karena creator economy membentuk sebuah identitas dan lapangan kerja yang baru. Jadi, terminologi [baru] akan terus muncul seiring waktu karena industri creator economy akan semakin luas.

Di era kehadiran Web3, saat ini industri creator economy Indonesia ada di fase apa?

Arief (Ar): Saya pernah mengikuti talkshow yang diisi oleh Li Jin, Founder dan General Partner Atelier Ventures. VC ini banyak berhubungan dengan [startup] creator economy. Dalam paparannya, dia sebut ada empat fase creator economy.

Pertama, creator economy versi 1.0 itu ketika internet hadir di mana [setiap] individu bisa menjadi kreator. Lalu, di versi 2.0 kreator bisa reach [audiens] lewat platform. Di fase ini, kreator punya follower dan monetisasi lewat advertising dan sponsorship, yang mana [model ini] sedang banyak di Indonesia. Pada era 3.0, kreator menjadi independent business dan monetisasi langsung dari fans mereka. Nantinya akan ada creator economy 4.0 di mana kreator dan fans bisa berkolaborasi untuk membuat kreasi atau usaha bersama-sama.

Dengan kemunculan Web3, bukan berarti creator economy 2.0 ini langsung ditinggalkan. Di fase ini, influencer menjadi content creator atau sebaliknya, akan terus berkembang. Kami melihat industri creator economy akan berevolusi. Seberapa cepat? Tergantung dari pasarnya. Tiongkok dan Amerika Serikat sudah menjadi kiblat untuk layanan livestreaming. Di sini, we just started. Banyak teman-teman di industri ini yang membuat platform untuk livestreaming, seperti GoPlay. It’s a very exciting industry we are in.

Famous Allstars juga mengeksplorasi apa yang dapat diakukan di fase ini. Bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi di masing-masing fase, baik Web2 maupun Web3. Misalnya, apa yang dapat kami lakukan di influencer marketing? Apa yang dapat kreator lakukan dengan IP di Web3? Kami sudah melihat potensi itu dan sudah menghasilkan sesuaty. Especially di Web2 dan Web3, we are going to have exciting projects.

Posisi FAS saat ini sangat strategis karena kami sudah lama terjun di industri creator economy. Kami tahu ke mana, kami buat web series, kami tahu bagaimana cara memindahkan IP ini ke NFT. Ini menjadi menarik karena IP dari kreator harus dihargai, ownership itu sangat penting

Al: Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan teknologi di Indonesia sangat masif. Penetrasi internet sudah capai 70 persen dan penetrasi smartphone Indonesia terbesar keempat di dunia. Populasi kita besar.

Sebetulnya, influencer atau content creator kita sudah mulai dari 7-8 tahun lalu, tetapi infrastrukturnya belum matang. Sekarang smartphone dan paket data semakin murah. Ditambah populasi kita yang besar dan beragam. Faktor-faktor ini sangat signifikan untuk mendorong pasar creator economy di Indonesia.

Memang, industri creator economy 3.0 comes early di Indonesia. Bahkan era 2.0 saja belum mencapai puncak pertumbuhan (peak growth) di sini. Karena hal ini, seolah-olah ada overlap antara Web2 dan Web3 di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kreator 3.0 akan menjadi pemain baru? Apakah kreator 2.0 harus convert ke 3.0? Jawabannya, tidak ada yang tahu. Menurut saya, Web3 masih sangat luas dan bisa berkembang cepat, tetapi use case-nya belum settle.

Poin utamanya, Web2 masih terlalu jauh [di Indonesia] sehingga potensi pasarnya, tanpa perlu jump ke Web3, masih akan tumbuh signifikan. It’s a very exciting moment ahead karena nanti kreator tak hanya bisa membuat karya, tetapi juga punyai Intellectual Property (IP). For now, it’s too early to tell.

Web2 masih akan tumbuh dengan cepat di Indonesia dalam lima tahun ke depan. Dari sisi supply, jumlahnya akan terus bertambah, meski belum ada data dari sisi demand. Kami meyakini pasar influencer capai Rp3 triliun, inipun merupakan conservative number. Brand masih menghabiskan budget di media konvensional. Jadi, supply dan demand kita belum peak.

Monetisasi karya di era Web3 menjadi lebih independen. Apakah brand deals masih akan relevan bagi kreator?

Al: Ada dua sumber monetisasi kreator. Pertama, brand kerja sama dengan kreator dalam bentuk apapun, baik itu ulasan, post, eksposur, talent, atau livestreaming. Sebagai perbandingan, livestreaming di Tiongkok dibayar per penjualan (pay per conversion). Di Indonesia, model ini belum ada, masih di bayar di muka. Intinya, the money comes from brands. Kedua, kreator kini bisa monetisasi dari fans atau Direct-to-Consumer (D2C). Contohnya, ada platform yang memampukan fans untuk kasih donasi ke kreator, bukan dari brand. Jadi, model monetisasi, baik dari brand maupun fans/audiens tidak akan hilang. Bahkan, ketika bicara potensi pasarnya, justru brand deals akan semakin besar.

Bagi kreator, ini justru menjadi exciting period karena revenue channel-nya bertambah. Dulu cuma andalkan brand, sekarang kreator bisa langsung monetisasi dari fans. Bagi seorang gamer, livestreaming dengan model donasi mungkin cocok untuk mereka. Tapi lima tahun lalu, mereka belum berpikir [hobi gaming] dapat menjadi sebuah profesi. I believe dari angle [monetisasi] manapun, the industry will get bigger. 

Ar: Bagi brandcreators give another marketing channel yang menarik. Mereka melihat bagaimana kreator membuat review secara organik atau memengaruhi teman-temannya untuk membeli sebuah produk. Ini pasti akan berkembang. Artinya, kesempatan [kolaborasi] dan revenue channel akan semakin besar seiring berkembangnya Web3. Bukan berarti Web2 hilang begitu saja. Justru Web2 dan Web3 bisa saling bergandengan tangan, ada interpendensi.

Ada 120 ribu influencer di platform kami, di mana mayoritas adalah influencer nano dan mikro dengan follower 1.000an hingga 100 ribuan. Kami tidak ingin hanya milking potensi pasar, tetapi juga mengembangkan sumber dayanya.

Bagaimana peran Anda dalam menentukan model monetisasi yang tepat bagi kreator?

Al: Famous Allstars tidak ikut menentukan harga jual kreator, tetapi penting memastikan bahwa kreator dan brand dapat bertransaksi aman di platform kami. Kita tahu pasti ada kekhawatiran. Dari sisi kreator, brand tidak membayar konten yang sudah dibuat. Begitu juga dengan brand, kreator ingin dibayar di muka, tetapi brand khawatir kontennya tidak dikerjakan.

Di platform ini, pembayaran baru akan diteruskan apabila kreator telah menyelesaikan pekerjaan sesuai brief dari brand. Demikian juga kreator, ada rasa aman bahwa mereka akan dibayar karena sistem pembayarannya melalui platform. Begitu pekerjaan selesai sesuai arahan, kreator akan menerima pembayaran. Jadi, tidak perlu tagih terus-terusan ke brand. Jadi, ini bukan soal menentukan monetisasi, tetapi bagaimana membuat ekosistem untuk memfasilitasi pelaku creator economy. 

Di samping itu, pasar creator economy di Indonesia masih sangat besar. Kami tidak ingin mendorong kreator existing saja. Justru perlu nurture talent-talent baru di masa depan. Banyak orang punya talent, tetapi belum ketemu dengan ekosistem dan wadah yang tepat. FAS berkomitmen untuk menemukan itu.

Bagaimana pandangan Anda mengenai regulasi untuk mewadahi industri creator economy di Indonesia?

Al: Ini masih early talk, tetapi kami berencana untuk bentuk asosiasi [creator economy]. Saya dan Arief secara paralel mulai bergerak untuk merangkul teman-teman di industri ini. Kami berupaya mengesampingkan business views. Kami sadar semakin besar industrinya, akan semakin baik buat pemain.

Kami lakukan ini sebelum bicara kebijakan. I think the first and foremost agenda adalah mengedukasi industri ini, baik itu soal potensi kreator, hak-hak yang diperoleh kreator, hingga bagaimana mengatasi sebuah masalah. Semua punya tujuan sama untuk edukasi industri.

Edukasi ini tak cuma kreator saja, tetapi juga brand. Di antara agency saja, selama ini belum ada standard rules. So, it’s a jungle out there. Industri ini berkembang sangat cepat, tapi pertumbuhan cepat tanpa dibatasi guide yang tepat bisa membuat industri chaos. Jadi, kami rasa penting bagi pemain lama untuk ikut edukasi sehingga pemain baru bisa belajar dari kesalahan-kesalahan kami tujuh tahun lalu. Kreator bisa belajar dari kreator yang sudah tumbang

Ar: Di FAS, kami juga melakukan edukasi, baik terkait konten, hak-hak kreator, Intellectual Property, hingga perpajakan. Tapi, kami ingin edukasi ini bersama stakeholder lainnya sehingga tidak dilakukan dengan cara sendiri. Apabila tidak ada keseragaman, industri creator economy bisa terkotak-kotakan.

Alangkah baiknya semua stakeholder bisa saling bekerja sama. Industri akan menjadi lebih kuat, kesempatan akan lebih besar tanpa adanya pagar yang bisa bikin sustainability industri berkurang. Bagaimanapun juga content creator is not just a banner, it’s a human being. Perlu ada trust dan kredibilitas.

NextICorn International Summit Kembali Digelar, Angkat Tema Web3 Sebagai Masa Depan Industri

Setelah dua tahun hiatus karena pandemi, ajang pertemuan startup Indonesia dengan investor global, NextICorn International Summit (atau NXC) akan kembali diselenggarakan di Bali pada tanggal 31 Agustus – 2 September 2022. Kegiatan kali ini akan lebih fokus untuk memberi sosialisasi serta edukasi terkait web3 (web 3.0) yang digadang menjadi masa depan industri teknologi.

Dalam 4 tahun terakhir, NextICorn telah berhasil menarik investor dari lebih dari 20 negara dan telah menjadi pusat ide, kreativitas, dan gerakan budaya digital. Mengemban misi yang konsisten, gelaran ini diharapkan bisa membuka peluang startup potensial di Indonesia untuk menemukan investor dalam pendanaan tingkat lanjut.

Akselerasi teknologi di kala pandemi berdampak pada jumlah unicorn yang ada di Tanah Air. Dalam jangka waktu kurang dari dua tahun, Indonesia berhasil mencetak hampir dua kali lipat lebih banyak unicorn dari periode 2016-2020. Sebuah fakta yang tidak bisa dianggap sebelah mata dan patut diapresiasi. Apa yang berhasil diwujudkan semua pihak yang terlibat di industri ini.

Jika pada gelaran sebelumnya hanya berlangsung selama dua hari, NextICorn kali ini rencananya akan dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama akan menjadi ruang untuk partisipan yang lebih umum bisa membangun koneksi dan belajar banyak hal terkait berbagai kemajuan di ekosistem startup teknologi tanah air.

Sementara hari kedua dan ketiga akan menjadi momen yang lebih eksklusif bagi para founder dan investor. Seperti pada gelaran NextICorn sebelumnya, startup-startup terpilih juga mendapat kesempatan yang sama untuk pitching bisnis mereka di depan para investor.

Acara ini akan menargetkan partisipasi lebih dari 160 startups dari seluruh penjuru negeri, serta lebih dari 125 investor baik lokal maupun global. Berkaca dari statistik sebelumnya, diperkirakan akan ada lebih dari 6000 meeting terlaksana dalam gelaran NextICorn International Summit 2022 ini.

Edward Chamdani, CEO NXC 2022, mengungkapkan, “Salah satu hal yang membedakan gelaran tahun ini dengan yang sebelumnya adalah NextIcorn kali ini akan fokus tidak hanya pada startup atau perusahaan dengan layanan mainstream, tetapi juga para pemain yang bergerak di sektor yang tengah berkembang. Selain itu, acara ini juga diharapkan bisa menyalurkan perspektif korporasi dalam geliat industri teknologi,”

Web3 bukan sekadar hype

Sebagai salah satu perusahaan konsultan ternama dan juga mitra dari NextIcorn, Ernst & Young Indonesia menemukan fakta yang cukup fundamental terkait industri startup dan ekonomi digital. Para investor kini semakin tertarik untuk berinvestasi pada teknologi terkini yang sekarang disebut web3.

Web3 membuka jalan bagi masa depan di mana orang dan mesin yang berbeda dapat berinteraksi dengan data, nilai, dan rekanan lainnya tanpa keterlibatan pihak ketiga. Kemampuan ini berkat substansi jaringan peer-to-peer. Produk akhirnya adalah struktur komputer modular, berpusat pada manusia, dan menjaga privasi untuk gelombang web berikutnya.

Dewasa ini, semakin banyak sektor yang mulai melihat peluang untuk mengadaptasi teknologi teranyar ini. Ekonomi metaverse secara global juga bertumbuh secara eksponensial mencapai $350 miliar di tahun 2021. Hal ini patut menjadi perhatian dan alasan untuk semakin jauh melihat seperti apa proyeksi pertumbuhan industri ini kedepannya.

NextICorn International Summit 2022 ini akan banyak membahas tentang seluk beluk ekosistem web3. Terdapat area khusus yang disebut Experience Area, didedikasikan untuk para partisipan agar bisa merasakan pengalaman langsung dengan teknologi web3. Selain itu, NextICorn juga akan menghadirkan para penggiat web3 ternama global termasuk para pemimpin pasar untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Chairman NextICorn Rudiantara mengatakan “Di era sebelumnya, kita masih fokus pada pengembangan teknologi di ranah web 2.0. Melalui NextICorn kali ini, kita akan lebih fokus untuk memberikan sosialisasi serta edukasi yang lebih mendalam terkait masa depan di industri ini yaitu web3.”

Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

Antler: Era Web3 Buka Kesempatan Kreator untuk Tingkatkan Sumber Monetisasi

VC tahap awal Antler baru saja merilis “The New Creator Economy Report” bersama Speedinvest. Laporan ini menyoroti tentang era teknologi Web3 dan dampaknya terhadap pertumbuhan industri creator economy dunia di sepanjang 2021.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini turut sejalan dengan meningkatnya keterlibatan investor terhadap creator economy. Antler mencatat investor global telah mengucurkan total sekitar $1,3 miliar ke platform creator economy di sepanjang 2021.

Dengan melihat angka pertumbuhan ini, Antler memperkirakan sebanyak 1 miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator dalam lima tahun ke depan. Selain itu, pertumbuhannya di masa depan tak lepas dari era baru teknologi Web3 yang mengubah definisi dan kekuatan kreator, dari asas kreator itu sendiri menjadi berbasis komunitas. Artinya, komunitas akan punya peran besar untuk mendukung upaya monetisasi kreator.

Menurut laporan ini, kreator di era Web3 tak lagi dilihat sebatas memberikan nilai ke platform, tetapi juga membentuk cara baru lewat hubungan interaktif antara kreator dan penggemar. Ada peluang bagi kreator untuk menawarkan lebih banyak, tak hanya kepada penggemar, tetapi juga untuk kreator sendiri dan komunitas.

Di era Web3, Antler memproyeksi generasi kreator berikutnya akan punya kesempatan untuk meningkatkan sumber monetisasi konten atau karyanya. Tentu ini menjadi perubahan signifikan mengingat sebelumnya kreator banyak mengandalkan iklan dan sponsor merek untuk mendapatkan pemasukan.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Teknologi Web3 memungkinkan lebih banyak orang untuk menjadi kreator di masa depan. Ruang eksplorasi konten juga semakin berkembang dengan kemunculan kripto, NFT, dan metaverse. Saat ini bahkan banyak kreator bermigrasi ke metaverse di mana mereka dapat memonetisasi karyanya, seperti digital art dan game.

Founder dan CEO Antler Magnus Grimeland mengatakan, kreator menjadi lebih menarik secara finansial karena platform yang ada saat ini memungkinkan mereka untuk memonetisasi karya berbasis komunitas. “Creator economy tidak hanya akan mengubah cara produksi konten, tetapi juga membuka dunia teknologi baru dan peluang monetisasi yang tidak mungkin dilakukan dengan di era Web2,” tambahnya.

Ia menyebutkan masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan oleh platform Web3, terutama tools yang berkaitan dengan konten dan komunitas. Menurutnya, cara untuk menghubungkan kreator ke penggemar atau komunitas menjadi salah satu peluang investasi yang paling menarik.

Sementara Partner di Floodgate Ventures Ann Miura-Ko menilai perkembangan teknologi saat ini memberikan nilai positif terhadap para kreator karena mereka dapat terlibat langsung dengan audiensnya tanpa harus terus-menerus merasa seperti hamster yang berlari di roda putar.

“Seiring bertambahnya audiens, kreator akan merasa dituntut untuk memenuhi selera mereka yang tidak akan ada habiskan, dan saya pikir ini akan menghabiskan banyak waktu. Platform yang memungkinkan kreator ‘memonetisasi saat mereka tidur’ adalah sesuatu yang ingin saya lihat,” tutupnya.

Creator economy di Indonesia

Indonesia juga ikut mengecap pertumbuhan industri creator economy selama beberapa tahun terakhir. Pelaku startup semakin banyak mengeksplorasi cara inovatif untuk membantu kreator memonetisasi karyanya.

Sebagai contoh, KaryaKarsa dan Storial menghubungkan kreator dengan pengguna langsung untuk menikmati konten, seperti cerita fiksi, komik, foto, hingga ilustrasi dengan skema beli karya satuan dan sistem tipping. Per bab (chapter) dapat dibeli mulai dari Rp2.000-Rp10.000. Ada juga Saweria yang menggunakan model donasi atau tip bagi kreator yang melakukan livestreaming di platform pihak ketiga.

Seluruh upaya ini juga tak lepas dari semakin lengkap ekosistem pembayaran digital sehingga memudahkan penggemar untuk memberikan dukungan finansial dengan nominal beragam.

Di samping itu, VC, konglomerasi media, hingga publik figur juga menunjukkan minat besarnya untuk mengambil kue di pasar creator economy. Di antaranya adalah platform konten on-demand Noice yang memperoleh pendanaan strategis dari RANS Entertainment, dan Famous All Stars (FAS) yang didukung oleh Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group.

Luno Kenalkan Unit Ventura yang Fokus Mendanai Proyek Kripto dan Web3

Bertujuan untuk memberikan investasi kepada startup yang fokus kepada fintech, kripto, dan Web3, Luno anak perusahaan Digital Currency Group mengumumkan peluncuran Luno Expeditions.

Luno Expeditions merupakan unit investasi (corporate venture capital) global khusus bagi startup tahap pendanaan awal. Lebih luas, dana kelolaannya akan menyasar pengembang layanan finansial, metaverse, infrastruktur blockchain, dan Web3.

Seperti diketahui, Luno sendiri merupakan salah satu pemain kripto di Indonesia. Mereka sudah memiliki perusahaan lokal di Indonesia yang terdaftar di Bappebti. Sejumlah agenda strategis juga sudah dilakukan, salah satunya mereka kolaborasi dengan Lippo Group akan segera bangun joint venture garap bisnis di seputar aset kripto.

CEO Luno Expeditions Jocelyn Cheng, dilansir dari Tech Crunch, mengatakan bahwa unit ventura ini akan menjadi ujung tombak proyek baru. Cheng sebelumnya telah berinvestasi di pendiri startup global selama enam tahun terakhir sebagai direktur pelaksana di Global Innovation Fund, yang merupakan impact investment.

“Saya senang bisa bergabung dengan Luno Expeditions. Saat ini merupakan momentum yang sangat menarik untuk terjun ke sektor kripto dan ekosistem fintech yang lebih luas. Kami memiliki rencana ambisius untuk membangun modal ventura yang dirancang sesuai dengan kebutuhan para pendiri startup. Merupakan sebuah kehormatan tersendiri untuk bisa bekerja dengan para pengusaha berdedikasi dari seluruh dunia, yang memiliki kesamaan visi untuk memecahkan masalah dan membangun perusahaan jasa keuangan yang lebih baik.”

Tim Luno Expedition lainnya di antaranya adalah Mira Christanto (Director of Investments) Aditi Khimasia (Head of Legal), Katharine Suy (Chief Marketing Officer), dan Margaux Dutertre (Investment Analyst). Sebagian besar dari mereka sudah familiar dengan layanan fintech dan telah terjun ke industri kripto.

Tim Luno Expeditions akan berfokus meningkatkan jumlah investasi (dengan target 200-300 investasi per tahun) dan memperluas portofolionya di luar kripto hingga ke bidang fintech yang lebih luas.

Hari ini, inisiatif serupa juga diluncurkan oleh Indogen Capital, Finch Capital, dan Tokocrypto dengan membentuk Cydonia Fund. Dana kelolaan ini akan fokus ke ekosistem Web3 lokal yang dinilai akan menjadi sesuatu yang signifikan di kemudian hari. Mereka menargetkan hingga 40 startup untuk didanai.

Indogen, Finch Capital, dan Tokocrypto Kolaborasi Bentuk “Cydonia Fund” untuk Ekosistem Web3

Indogen Capital dan Finch Capital meresmikan kendaraan investasi baru “Cydonia Fund” menggandeng Tokocrypto, fokus mendanai ekosistem Web3 di Indonesia. Sebagai Web3 fund dengan mandat global pertama di Indonesia, Cydonia akan berinvestasi dalam pengembangan ekosistem Web3 berskala global dan menjadi enabler bagi para pelaku industri.

Langkah strategis ini sejalan dengan visi Tokocrypto untuk terus menjadi builder sekaligus leader di ekosistem kripto, blockchain, dan Web3 di tanah air, selaligus membawa Indonesia menjadi barometer di kancah global.

Dalam konferensi pers yang diadakan di T-Hub Tokocrypto di area Patal Senayan (17/3), CSO Tokocrypto Chung Ying Lai juga mengungkapkan, “Tokocrypto dan Cydonia Fund diharapkan bisa menjadi support system terbaik untuk membawa ekosistem Web3 di Indonesia naik tingkat di kancah global.

“Dengan perkembangan ekosistem aset digital, investasi kini tidak hanya berbentuk equity shares, namun juga bisa berbentuk token atau coin. Sebagai modal ventura, kami memiliki investment tesis sendiri. Inilah mengapa kami membentuk satu fund baru khusus melakukan investasi ke perusahaan dalam bentuk token atau coin,” ujar Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Managing Partner Finch Asia Hans De Back melihat seiring dengan semakin maraknya adopsi aset kripto secara global, banyak perusahaan modal ventura baru yang berfokus pada investasi di aset digital bermunculan. Namun masih sedikit sekali perusahaan modal ventura yang memiliki hubungan strategis dengan platform perdagangan aset kripto berskala besar sebagai domain expert.

“Berkaca pada kolaborasi antara FTX, Solana Ventures, dan Lightspeed Venture Partners di Amerika Serikat pada penghujung tahun 2021, kami yakin merupakan langkah yang tepat bagi Cydonia Fund untuk turut bermitra dengan platform kenamaan serupa, dan kami sangat senang telah menemukan sosok mitra tersebut di jajaran eksekutif Tokocrypto,” tambahnya.

Disinggung mengenai nilai dana kelolaan yang akan disalurkan, baik pihak Indogen maupun Finch belum berani buka suara. Namun, Hans sempat mengutarakan bahwa jumlahnya cukup signifikan, “Cukup untuk menyokong 40-50 portfolio perusahaan,” bebernya.

Terkait sumber dana, Chandra juga membocorkan bahwa terdapat sekitar 20 LP yang siap mendukung setiap inisiatif yang akan dilancarkan oleh Cydonia. “Selengkapnya akan dikabarkan lagi paling lambat di bulan Juni 2022,” papar Chandra.

Indogen Capital sebagai modal ventura telah berpengalaman sejak 2016. Saat ini menjalankan 2 fund dengan 25 portofolio kelolaan, 2 unicorns, dan 5 exits. Sementara, Finch Asia adalah perusahaan modal ventura dengan rekam jejak fintech yang sudah aktif berinvestasi di Asia sejak 2014 dengan Indonesia sebagai fokus pasar. Sebelumnya Finch juga merilis dana kelolaan Arise Fund bersama MDI Ventures.

Ekosistem Web3 di Indonesia

Mengutip sejumlah sumber, Web3 memungkinkan pengguna dan mesin dapat berinteraksi dengan data, nilai, dan rekanan lainnya melalui substrat jaringan bersifat peer-to-peer. Dengan begitu, interaksi tidak lagi memerlukan pihak ketiga. Web3 memungkinkan pengguna mengontrol data mereka sendiri. Mereka akan berpindah dari media sosial ke email atau belanja dengan satu akun dipersonalisasi, membuat catatan di blockchain dari seluruh aktivitas.

Dengan adanya desentralisasi, nyatanya pengaruh Web3 terhadap perkembangan ekosistem aset kripto cukup besar. Mengingat bahwa desentralisasi kemungkinan akan menjadi salah satu bagian utama dari internet konsep baru ini, dapat disimpulkan bahwa aset kripto dan blockchain juga akan memainkan peran penting yang juga sama besarnya.

Di Indonesia sendiri, web3 tengah menjadi primadona di industri digital. Konsep desentralisasi ini bukan hanya merambah sektor finansial, namun juga semakin luas menjangkau industri seni dan musik. Beberapa proyek Web3 yang sudah diluncurkan tahun ini termasuk Superlative Secret Society yang belum lama ini meluncurkan galeri NFT pertama Indonesia. Selain itu juga ada Netra, platform NFT musik berbagi royalti untuk musisi dan para penikmat musik.

Namun, satu hal yang masih menjadi tantangan terbesar dalam industri Web3 adalah literasi. Layaknya masa awal pengembangan Web1 dan Web2, masyarakat tidak serta merta mengerti konsep dan utilitas dari fenomena baru yang terjadi. Maka dari itu, edukasi terhadap para stakeholder harusnya masih menjadi prioritas dalam pengembangan ekosistem web3 di tanah air.

GuildFi Bermisi Jadi Platform yang Menjembatani Game P2E Sekaligus Menciptakan Interoperabilitas Antar Metaverse

Suka atau tidak, tren metaverse di dunia gaming akan terus berkembang, dan kategori game play-to-earn (P2E) juga akan bertambah besar seiring dengan terus meningkatnya hype akan NFT dan cryptocurrency. Problemnya adalah, semua itu masih terasa sangat baru bagi banyak orang, dan tidak jarang itu menciptakan kompleksitas tambahan sekaligus meningkatkan entry barrier.

Melihat kondisi seperti itu, sebuah startup asal Thailand ingin menawarkan solusi dalam bentuk platform yang menjembatani pemain dan game-game P2E. Mereka menamai dirinya GuildFi, dan visi yang ditawarkan rupanya cukup menarik sampai akhirnya mereka berhasil mengamankan pendanaan awal sebesar $6 juta dari sejumlah investor ternama.

Oleh pendirinya, GuildFi dideskripsikan sebagai ekosistem terdesentralisasi (Web3) yang menghubungkan game, NFT, dan komunitas, dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat oleh pemain, sekaligus menciptakan interoperabilitas antar metaverse.

“Kami memecahkan masalah penemuan dan akses tantangan untuk pemain dengan membantu mereka menemukan game-game baru, meningkatkan kinerja lewat gaming tool, dan memantau keterlibatan mereka. Dengan GuildFi, satu ID berlaku untuk semua perjalanan pemain di metaverse, dan pencapaian mereka tidak lagi terbatas pada guild atau game yang spesifik, melainkan justru berkontribusi terhadap peringkat mereka dan meningkatkan keuntungan mereka dalam jangka panjang,” jelas Jarindr Thitadilaka, co-founder GuildFi, dalam sebuah siaran pers.

Supaya lebih jelas, mari kita bahas fitur yang platform GuildFi tawarkan satu per satu, dimulai dari GuildFi ID. Ini merupakan akun dengan sistem levelling yang melacak pencapaian dan jejak pemain di seluruh metaverse. Pemain bakal menerima poin keterlibatan dan peringkat yang kemudian dapat diterjemahkan menjadi hadiah.

Sejauh pengamatan saya, game yang terhubung dengan platform GuildFi sejauh ini baru ada dua, yakni CyBall dan Axie Infinity. Untuk Axie, GuildFi bahkan menawarkan serangkaian tool untuk memantau pendapatan SLP harian, simulasi PVP, status tim, card explorer, dan manajemen program scholarship. Sejalan dengan misi untuk meminimalkan entry barrier game P2E, GuildFi pun juga menawarkan program scholarship-nya sendiri.

Selanjutnya, ada fitur Proof-of-Play Reward yang akan memaksimalkan keuntungan pemain dengan menganalisis aktivitasnya secara menyeluruh. Keuntungannya sendiri bisa dalam bentuk alokasi kampanye NFT, atau bonus yield dari token GuildFi sendiri.

Terakhir, ada fitur Metadrop Launchpad yang menawarkan sederet deal NFT dan token berdasarkan peringkat masing-masing pemain. Untuk lebih jelasnya, Anda bisa langsung kunjungi situs resmi GuildFi.