Pefindo Biro Kredit Rilis “IdTelcoScore”, Analisis Skoring Kredit dari Nomor Seluler XL Axiata

Pefindo Biro Kredit merilis produk skoring alternatif terbaru berbasis data non kredit “IdTelcoScore”, memanfaatkan nomor seluler pengguna XL Axiata untuk menganalisis kelayakan kredit debitur. Data telekomunikasi seluler dinilai dapat menjadi salah satu data alternatif yang penting karena tumbuh signifikan dan jumlahnya masif.

Dalam peluncuran yang dilakukan secara online pada hari ini (18/8), Direktur Utama Pefindo Biro Kredit Yohanes Arts Abimanyu menjelaskan, penggunaan IdTelcoScore akan membantu dan memudahkan lembaga keuangan menganalisis permohonan kredit calon debitur yang tanpa atau minim riwayat kredit sebagai dasar pengambilan keputusan.

“Sebagai wujud misi kami untuk meningkatkan inklusi keuangan khususnya akses pembiayaan bagi masyarakat yang masih underserved dan unbanked, di mana potensinya di sana masih sangat besar. Bisa dibantu lewat data telko yang punya cakupan luas,” ujarnya.

Pefindo Biro Kredit membangun produk ini dari hasil perhitungan algoritma score modelling dengan menggunakan berbagai variabel data dan indikator yang menghasilkan informasi prediktif karakter dan kemampuan pemenuhan kewajiban debitur di masa mendatang.

IdTelcoScore memanfaatkan analisis big data dari penggunaan jasa perusahaan telekomunikasi. Baik itu data berlangganan (subscription), pemakaian data (usage), dan tagihan & pembayaran (billing & payment). Data-data tersebut akan dikawinkan dengan data kredit yang tersedia sehingga dapat mengukur kemampuan seseorang untuk membayar kewajibannya di masa mendatang.

“Sesuai dengan hasil modeling Telco Score bahwa hasil KS dan Gini Ratio sangat baik maka bisa disimpulkan bahwa model telco memberikan hasil yang cukup prediktif dan layak digunakan untuk menyesuaikan ‘risk appetite’ masing-masing lembaga keuangan.”

Yohanes juga memastikan, seluruh data nomor seluler yang diakses melalui IdTelcoScore tidak akan keluar dari sistem perusahaan operator. Yang keluar dari sistem hanya perhitungan telco score-nya saja. “Kami selalu mengutamakan perlindungan dan keamanan data dengan menggunakan standar keamanan informasi.”

Menurutnya, di tengah pandemi, lembaga keuangan harus seoptimal mungkin memanfaatkan semua jenis data, baik kredit maupun non-kredit untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, akurat, dan prediktif mengena karakter dan profil risiko debitur. Tujuannya untuk memastikan portofolio kredit dan tingkat NPL dapat terjaga dengan baik.

Sumber institusi big data lainnya

Ke depannya, Pefindo Biro Kredit akan terus menambah kerja sama dengan perusahaan pemilik big data lainnya akan agar sumber data semakin kaya. Tak hanya dengan XL Axiata saja, namun operator telekomunikasi lainnya juga masuk ke dalam incaran.

Yohanes menyebut saat ini sudah ada rencana kerja sama atau penjajakan dengan perusahaan yang mengelola big data lainnya seperti data utilitas dan e-commerce. “Maaf belum bisa sebut nama perusahaannya. Untuk sosial media, kami sampai saat ini belum menggunakan sebagai data alternatif.”

Dalam perjalanannya mengembangkan data alternatif skoring, Pefindo banyak menggandeng perusahaan non-teknologi seperti DJP untuk data identitas pajak, APPI untuk status hapus buku, Taspen, dan BPJS Ketenagakerjaan. Seluruh perusahaan ini memiliki big data yang dapat berfungsi sebagai data alternatif untuk menganalisis kelayakan kredit debitur.

Adapun saat ini Pefindo Biro Kredit sudah memiliki lebih dari 300 pengguna korporasi yang datang dari berbagai lembaga institusi keuangan, fintech, hingga non keuangan.

The Operator “Branding” Wear Off Through Digital-Based Prepaid Service

Amid the stagnant industrial growth, telco operators continue to seek new breakthroughs through their products/services. Experienced in failing to develop a digital business, operators are getting serious to enter the application-based prepaid card service since last year.

In Indonesia, this service is considered new by the way it works very differently from ordinary prepaid cards. All activities from card ordering, number selection, registration, and data purchases are made through the application.

This service was first launched in Indonesia by Telkomsel in October 2019 under the brand by.U. A few months later, a similar service Switch Mobile was launched on the market. Switch Mobile is the latest Smartfren prepaid product.

In addition to the two operators, XL Axiata (XL) will dive into digital-based prepaid services in the near future. Based on DailySocial’s data, XL will soon join the club with Live.On.

The Live.On application is available on Google Play, but is not yet run officially. In our observation, XL opened Live.On official shop in Shopee to purchase the starter packs.

XL did not comment on this matter. Although, our sources say XL has partnered with Circles.Life to build Live.On. The Live.On app link on Google Play is similar to Circles.Life.

Circles Life is a digital telco startup (MVNO) available in Singapore, Australia, and Taiwan. Circles Life has indeed planned expansion to Indonesia since last year. It is not clear what kind of partnership between XL and Circles Life.

Provide young generations with “refreshment”

The initiative to develop a digital prepaid business indicates cellular operators to seriously targeting young people through branding and business models which is different from the previous cellular products.

Operators strive to present products to be personalized by user demands. This product is considered suitable for young people who tend to choose specific services.

Previously, former Telkomsel’s Managing Director Emma Sri Hartini had mentioned that Telkomsel had been established for 25 years and was seen as an old brand. The launch of by.U is considered to be a “refreshment” step to embrace generation Z without cannibalizing its existing products, such as simPATI, AS, and Loop.

“Gen Z does not want to have boundaries in terms of products, they are not product-driven. In contrast to all this time products that have been driven by the operator. Well, this by.U can be customized according to user demands,” Emma said.

Contacted separately, Smartfren’s President Director Merza Fachys said similar things. He said he wanted this cellular brand [Switch Mobile] to be known as a new product on the market without the need to be associated with the existing Smartfren brand.

“To date, our customers are mostly in class C and D. With this switch product, we aim at higher markets in B and C classes,” Merza said.

Enough with the price war

Furthermore, Merza, who is also the Deputy Chairperson of the Association of Indonesian Telecommunications Providers (ATSI), acknowledged that the telecommunications industry is starting to move towards digital prepaid services. The market awaits whether Indosat and Tri Indonesia to enter similar services.

In fact, prepaid products are actually common. Each operator has more than one cellular product targeting different market segments. However, digital-based prepaid products can be a new strategy for operators to get out of the long-standing price war.

Digital prepaid services promote brand and product novelty without being associated with telecommunications companies. According to Merza, this service can open up opportunities to compete in two market segments, which are affordable and premium markets.

After the failure era of e-commerce, e-wallet, and OTT, operators are still trying to find the right business model to become a digital telco (digico) operator. However, it is yet to find whether this strategy can have a positive impact on the growth of the telecommunications industry. Moreover, the growth space for cellular customers in Indonesia is increasingly difficult.

“To play on existing products, operators can no longer raise prices, customers will started to leave,” he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Melepas “Branding” Operator Lewat Layanan Prabayar Berbasis Digital

Di tengah stagnannya pertumbuhan industri, operator telekomunikasi terus berupaya mencari gebrakan baru melalui produk/layanannya. Berpengalaman gagal mengembangkan bisnis digital, sejak tahun lalu satu per satu operator mulai masuk ke layanan kartu prabayar berbasis aplikasi.

Di Indonesia, layanan ini mungkin bisa dibilang baru karena cara kerjanya sangat berbeda dengan cara masyarakat biasa membeli kartu prabayar. Segala aktivitas mulai dari pemesanan kartu, pemilihan nomor, registrasi, hingga pembelian paket dilakukan melalui aplikasi.

Layanan ini pertama kali di Indonesia diluncurkan oleh Telkomsel pada Oktober 2019 dengan merek by.U. Berselang beberapa bulan kemudian, layanan serupa Switch Mobile juga hadir di pasaran. Switch Mobile merupakan produk prabayar terbaru Smartfren.

Selain dua operator tersebut, XL Axiata (XL) bakal terjun ke layanan prabayar berbasis digital dalam waktu dekat. Berdasarkan informasi yang dihimpun DailySocial, XL akan masuk dengan merek Live.On.

Aplikasi Live.On telah tersedia di Google Play, tetapi belum resmi beroperasi secara komersial. Menurut pantauan kami, XL membuka toko resmi Live.On di Shopee untuk pembelian kartu perdana.

Pihak XL tidak memberikan komentarnya terkait hal ini. Meskipun demikian, sumber kami menyebutkan XL menggandeng Circles.Life untuk membangun Live.On. Tautan aplikasi Live.On di Google Play serupa dengan Circles.Life.

Circles Life adalah startup telko digital (MVNO) yang telah beroperasi di Singapura, Australia, dan Taiwan. Circles Life memang telah merencanakan ekspansi ke Indonesia sejak tahun lalu. Belum jelas seperti apa bentuk kemitraan antara XL dan Circles Life.

Merangkul anak muda dengan “penyegaran”

Langkah mengembangan bisnis prabayar digital menandakan operator seluler mulai serius membidik segmen anak muda melalui branding dan model bisnis yang berbeda dari produk seluler pendahulunya

Operator berupaya menghadirkan produk yang dapat dipersonalisasi sesuai kebutuhan pengguna. Produk ini dianggap cocok untuk kalangan anak muda yang cenderung tak ingin didikte dalam menikmati layanan.

Sebelumnya, mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini sempat menyebutkan bahwa Telkomsel telah 25 tahun berdiri dan dipandang sebagai merek lama. Peluncuran by.U dinilai dapat menjadi langkah “penyegaran” untuk merangkul generasi Z tanpa menganibalisasi produk existing-nya, yakni simPATI, AS, dan Loop.

“Gen Z itu tidak mau diatur produknya, mereka tidak product-driven. Berbeda dengan selama ini produk-produk yang sudah ada di-drive oleh operator. Nah, by.U ini bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna,” papar Emma.

Dihubungi secara terpisah, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys mengatakan hal senada. Menurutnya, ia ingin merek seluler ini [Switch Mobile] dapat dikenal sebagai produk baru di pasaran tanpa perlu diasosiasikan dengan merek existing Smartfren.

“Saat ini, pelanggan kami sebagian besar berada di kelas C dan D. Dengan Switch ini, kami ingin membidik high market di kelas B dan C,” ungkap Merza.

Keluar dari perang harga

Lebih lanjut, Merza, yang juga adalah Wakil Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), mengakui bahwa industri telekomunikasi mulai mengarah ke layanan prabayar digital. Pasar menanti apakah Indosat dan Tri Indonesia untuk masuk ke layanan serupa.

Sebetulnya, peluncuran produk prabayar adalah hal lumrah. Setiap operator memiliki lebih dari satu produk seluler yang menyasar segmen pasar berbeda. Namun, produk prabayar berbasis digital dapat menjadi strategi baru operator untuk keluar dari lingkaran perang harga yang telah berlangsung lama.

Layanan prabayar digital mengedepankan kebaruan merek dan produk tanpa diasosiasikan dengan perusahaan telekomunikasi. Menurut Merza, layanan ini dapat membuka peluang untuk berkompetisi di dua segmen pasar, yani pasar terjangkau dan premium.

Setelah era kegagalan e-commerce, e-wallet, dan OTT, operator masih terus mencoba mencari model bisnis yang tepat untuk menjadi operator digital telco (digico). Kendati demikian, belum dapat diketahui apakah strategi ini dapat memberi dampak positif terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi. Apalagi, ruang pertumbuhan pelanggan seluler di Indonesia semakin sulit.

“Untuk bermain di produk existing, operator tidak bisa lagi menaikkan harga, pelanggannya bisa kabur,” paparnya.

Application Information Will Show Up Here

XL Axiata to Shut Down XL Tunai E-Money Service

XL Axiata (XL) cellular operator is to shut down XL Tunai e-money service after eight years of operation. This decision was taken as the difficulty to grow amid intense competition with other digital wallet players.

Regarding the shutdown, XL has conducted socialization with its customers via SMS. The written statement: “Dear Customer, your XL Tunai service will be terminated on 28/02/2020 due to your balance at Rp 0”.

Furthermore, another SMS stated: “Dear Customer, we are to re-inform you that XL Tunai-in balance / cash-in has been closed as of 12/02/2020. Your balance can still be used for transactions through *808#”.

A familiar source told DailySocial, XL Axiata’s CEO Dian Siswarini said that the service termination referred to the termination for balance top-up or cash in.

“Termination balance top-up is to stop money circulation. We really plan to shut down XL Tunai, but it can’t just be, because we have to get approval from Bank Indonesia (BI) as the issuer,” Dian said.

There are no further details regarding this shutdown. Dian said that she was still discussing with BI regarding the mechanism of closing its services.

XL Tunai was launched in 2012 and currently has 2 million users. Just like other e-money services, XL Tunai can be used to send and receive funds, pay bills, and buy tickets.

Challenging not to be agnostic

One of the biggest challenges for operators in the e-money business today was to shift banking domination. It’s getting harder when GoPay, OVO, and solutions from digital services increasingly exist.

Operators are considered to have failed to boost the users’ growth and e-money transactions due to a lack of merchant inclusiveness and ecosystem. The market share is limited to only customers.

Of the total 56 million XL customers, only 2 million are using XL Tunai. Telkomsel, with the largest customer base of 167 million, only acquired 20 million users – only half of them are active in transactions.

It’s a strategic step when T-cash decided to become an agnostic e-money platform at the end of 2018. It’s intended to become a platform that is free to use by anyone, without having to be a Telkomsel customer. T-cash and server-based e-money services run by state-owned banks have now merged into LinkAja.

Based on the 2019 Fintech Report, GoPay is currently the most used digital wallet of 83.3 percent, followed by OVO (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The fall of cellular operator’s digital business

Since 2018, XL Tunai operations have been transferred to its parent company, Axiata Digital Services. According to the latest news, the transfer was made so that XL could focus on its main business as telecommunications provider.

This is actually a strategy to remain efficient as a group, especially after XL failed to build Elevenia as an e-commerce joint venture with SK Planet. In the end, all of the blue operators’ digital businesses were left entirely to Axiata Group.

“We do not plan to substitute XL Tunai with a similar new service. The new plan [digital business] is actually there, but now it is handled in groups by the holding company,” he explained.

XL is not the only one failed to build a digital business. Indosat Ooredoo experienced the same failure. The company launched Dompetku to be merged into PayPro in the midst of 2017, also closed the Cipika marketplace because it did not want to keep burning money.

Reflecting on the issue above, telecommunications operators actually have a great opportunity to create new revenue from digital business. Operators have a large customer base and extensive network infrastructure. Its position as a telecommunications operator is advantageous because it must stay ahead of technological developments.

On the other hand, operators should move quickly in the face of competition with Over-The-Top (OTT) players. The growth of the telecommunications industry continues to fall and the cellular business is no longer expected. In other words, they must maintain profitability while continuing to build networks.

Although starting to refocus on the cellular as its core business, telecommunications operators still need to prepare themselves for the next 5-10 years to face the digitalization era.

What should be sought together is how the telecommunications industry finds the right business models and strategies in running digital businesses in the future, including finding capable talents to develop digital businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

XL Axiata Segera Tutup Layanan Uang Elektronik XL Tunai

Operator seluler XL Axiata (XL) segera menutup layanan e-money XL Tunai setelah delapan tahun beroperasi. Penutupan ini menyusul semakin sulitnya ruang untuk bertumbuh di tengah ketatnya persaingan dengan pemain dompet digital.

Mengenai penutupan layanan ini, XL sudah melakukan sosialisasi kepada pelanggannya melalui SMS. Isinya tertulis: “Pelanggan Yth, layanan XL Tunai Anda akan dihentikan pada 28/02/2020 karena saldo Anda Rp0”.

Kemudian, SMS lainnya berisi: “Pelanggan Yth, kami infokan kembali bahwa pengisian saldo/cashin-in XL Tunai telah ditutup per 12/02/2020. Saldo Anda masih bisa dipakai untuk transaksi di *808#”.

Dari informasi yang diterima DailySocial, CEO XL Axiata Dian Siswarini menyebutkan penghentian layanan dimaksud saat ini adalah penghentian untuk pengisian saldo atau cash in.

“Penghentian isi saldo ini supaya tidak ada uang beredar lagi. Kita memang berencana menutup XL Tunai, tapi tidak bisa begitu saja karena harus dapat approval dari Bank Indonesia (BI) selaku pemberi lisensi,” ujar Dian.

Belum ada rincian lebih lanjut mengenai rencana penutupan ini. Dian menambahkan bahwa pihaknya masih berdiskusi dengan BI terkait mekanisme penutupan layanannya.

XL Tunai diluncurkan pada 2012 dan saat ini memiliki 2 juta pengguna. Sama seperti layanan e-money lainnya, XL Tunai dapat digunakan untuk mengirim dan menerima dana, membayar tagihan, hingga membeli tiket.

Sulit jika tidak agnostik

Salah satu tantangan terbesar operator di bisnis e-money saat itu adalah menggeser dominasi perbankan. Semakin berat kala GoPay, OVO, dan solusi dari layanan digital makin exist.

Operator dianggap gagal mendongkrak pertumbuhan pengguna dan transaksi e-money miliknya karena kurangnya inklusivitas dan ekosistem merchant. Pangsa pasarnya hanya terbatas pada orang yang menjadi pelanggannya saja.

XL punya 56 juta pelanggan, tapi cuma 2 juta yang memakai XL Tunai. Telkomsel sendiri, dengan basis pelanggan terbesar sebanyak 167 juta, cuma mengantongi 20 juta pengguna–itupun hanya setengahnya yang aktif bertransaksi.

Sebuah langkah yang tepat ketika T-cash memutuskan untuk menjadi platform e-money yang agnostik di akhir 2018. Agnostik yang dimaksud adalah menjadi platform yang bebas dipakai oleh siapapun, tanpa perlu jadi pelanggan Telkomsel. T-cash dan layanan e-money berbasis server milik bank-bank pelat merah kini melebur menjadi LinkAja.

Berdasarkan Fintech Report 2019, saat ini GoPay menjadi digital wallet paling banyak dipakai sebesar 83,3 persen, diikuti OVO (81,4%), DANA (68,2%), dan LinkAja (53%).

Keruntuhan bisnis digital operator seluler

Sejak tahun 2018, operasional XL Tunai telah dialihkan ke induk usahanya, yaitu Axiata Digital Services. Menurut pemberitaan terakhir, pengalihan ini dilakukan agar XL bisa fokus di bisnis utamanya sebagai penyelenggara telekomunikasi.

Pengalihan ini sebetulnya adalah strategi untuk tetap efisien secara grup, terutama pasca kegagalan XL membangun bisnis patungan e-commerce Elevenia bersama SK Planet. Pada akhirnya, seluruh bisnis digital operator biru ini diserahkan sepenuhnya kepada Axiata Group.

“Kami belum berencana untuk menyubstitusi XL Tunai dengan layanan baru yang serupa. Plan baru [bisnis digital] sebetulnya masih ada, tapi sekarang ditangani secara grup oleh induk usaha,” paparnya.

Tak cuma XL yang gagal membangun bisnis digital. Indosat Ooredoo juga punya pengalaman yang sama. Perusahaan melepas bisnis Dompetku untuk dilebur menjadi PayPro di paruh 2017, lalu menutup marketplace Cipika karena tak ingin terus-terusan “bakar uang”.

Berkaca dari hal di atas, operator telekomunikasi sebetulnya punya peluang besar untuk menciptakan pendapatan baru dari bisnis digital. Operator punya basis pelanggan yang besar dan infrastruktur jaringan yang luas. Posisinya sebagai operator telekomunikasi menguntungkan karena mereka harus tetap terdepan terhadap perkembangan teknologi.

Di sisi lain, operator harus bergerak cepat dalam menghadapi persaingan dengan pemain Over-The-Top (OTT). Pertumbuhan industri telekomunikasi terus tergerus dan bisnis seluler tidak lagi selamanya diharapkan. Dengan kata lain, mereka harus menjaga profitabilitas sambil terus membangun jaringan.

Meski mulai kembali fokus ke bisnis seluler sebagai bisnis utamanya, tetap saja operator telekomunikasi perlu mempersiapkan diri 5-10 tahun mendatang dalam menghadapi era digitalisasi.

Yang perlu dicari bersama adalah bagaimana industri telekomunikasi menemukan model bisnis dan strategi yang tepat dalam menjalankan bisnis digital di masa depan, termasuk menemukan talenta yang mampu mengembangkan bisnis digital.

Etobee Pivot Jadi Finfleet, Sediakan “Platform Logistik” Khusus Layanan Finansial

Di Indonesia, tingkat ketimpangan antara masyarakat underbanked dan underserved dengan mereka yang sudah terfasilitasi dengan layanan finansial masih tinggi. Isu ini belum tentu bisa diselesaikan dengan kehadiran internet. Bagi masyarakat tingkat bawah, yang masih awam dengan produk keuangan, butuh agen untuk menjelaskan semua.

Di sisi lain, perusahaan jasa keuangan punya tantangan saat ekspansi di berbagai pelosok. Bagaimana proses onboarding konsumen yang efisien, namun tetap sesuai ketentuan. Peluang ini akhirnya menginspirasi Finfleet untuk hadir.

“Finfleet adalah gabungan dari startup logistik dengan layanan branchless banking. Selama ini masing-masing jual produk keuangan mereka, padahal menjualnya ini tidak mudah. Misi kami adalah edukasi konsumen, sekaligus meningkatkan taraf hidup agen,” terang Co-Founder & CEO Finfleet Brata Rafly dalam Fintech Media Clinic by Aftech, pekan lalu.

Sebenarnya, Finfleet adalah pivot dari Etobee, startup marketplace logistik untuk pengiriman last mile. Startup ini sudah berdiri sejak 2015, pivot dan rebrand dilakukan Februari 2018. Struktur manajemen sepenuhnya berubah. Selain Brata, Donny Swandono turut bergabung sebagai Co-Founder & Presiden Direktur. Keduanya pernah berkarier bersama di Dimo.

“Untuk bersaing di logistik ini harus berani bakar duit, sementara kita ingin buat profit. Akhirnya tes market dengan buat model bisnis last mile untuk financial services, resmi mulainya di Februari 2018.”

Brata menyebut, Finfleet telah mengantongi pendanaan seri A pada awal tahun ini dari Kejora Ventures, XL Axiata, Gobi Ventures, Skystar Ventures, dan Asian Trust Capital. Investasi yang didapat mencapai $3,5 juta (hampir Rp50 miliar).

Model bisnis Finfleet

Bahasa termudah untuk memahami Finfleet adalah agen mobile untuk Laku Pandai. Program dari OJK yang diarahkan untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan penggunaan teknologi.

Finfleet menempatkan diri startup hybrid yang bergerak di logistik dengan layanan khusus jasa keuangan, dengan model bisnis B2B2C. Jenis layanannya, mulai dari verifikasi konsumen, pengiriman produk keuangan seperti kartu debit dan kredit, pembayaran dan pick up (dokumen, COD, mobile ATM) dan akuisisi konsumen (jual produk keuangan).

Agar terhubung dengan perusahaan jasa keuangan, Finfleet membangun infrastruktur layanannya yang terdiri atas platform aplikasi, API, agen, dan perangkat keras. Perusahaan memiliki agen sendiri yang sudah dilatih sebelum terjun ke lapangan.

Brata menjelaskan keagenan di Finfleet sifatnya bukan pekerja lepas, melainkan tetap. Ada gaji bulanan yang pasti mereka dapat dan tambahan komisi dari setiap pekerjaan yang berhasil diselesaikan.

“Sistem kami adalah hub, jadinya setiap agen harus datang ke kantor tiap pagi untuk melihat apa saja tugas mereka pada hari itu. Ini sifatnya mengikat, beda dengan mitra pengemudi di Gojek atau Grab.”

Agen memiliki jam kerja pagi sampai sore dan menyelesaikan sejumlah tugas pada satu hari itu dari satu bank. Misalnya, bank A meminta verifikasi konsumen, maka pada mereka memasukkan tugas tersebut ke dalam sistem yang terhubung dengan aplikasi agen.

Saat sore, agen bisa mendapatkan komisi tambahan dengan menjual produk keuangan kepada calon nasabah. Namun ini baru bisa diberikan buat agen yang paham dengan produk keuangan itu sendiri.

Dia mengklaim dengan model bisnis ini, perusahaan memperoleh keuntungan bersih antara 15%-20%. Agen bisa mengantongi pendapatan naik antara dua sampai tiga kali lipat per bulannya. Revenue Finfleet dibandingkan tahun pertama beroperasi, naik 100%.

Disebutkan, Finfleet telah bermitra dengan 12 perusahaan jasa keuangan, di antaranya DBS, HSBC, BNI, KEB Hana Bank, OCBC NISP, Bank Sinarmas, UOB, Bank Danamon, BTPN, CIMB Niaga, Ovo, dan Bank Permata. Kebanyakan adalah perusahaan asing terbatas dalam persebaran kantor cabang, namun tetap ingin bersaing dengan bank lokal.

“Risiko masuk ke daerah baru itu besar, makanya mereka lebih baik tes pasar sebelum terjun besar-besaran karena kita ini tinggal plug and play saja.”

Salah satu pencapaian terbesarnya adalah bantu DBS dalam verifikasi nasabah baru untuk produk Digibank. Sebanyak 500 ribu rekening baru berhasil dibuat dalam delapan bulan, tanpa DBS harus buka cabang sama sekali. Disebutkan untuk buka satu kantor cabang, bank harus berinvestasi sampai Rp1 miliar.

Mitra lainnya datang dari perusahaan multifinance dan sejenisnya (Adira Finance, Shopintar, Alodokter, dan Clipan Finance), p2p lending (CekAja, Modalku, Investree), telekomunikasi (XL Axiata), dan e-commerce (Blibli, Sephora, Mapemall, iLotte, Laku6, dan Tamasia).

Rencana perusahaan

Brata menyebut Finfleet memiliki 600 agen yang tersebar di sekitar Jawa dan Medan. Menariknya, 60% bisnis terbesarnya ada di Jabodetabek. Ini cukup ironis, melihat kondisi masih banyak masyarakat yang malas datang ke bank, meski penetrasi kehadiran bank sudah cukup kuat.

Tahun depan, dia menargetkan Finfleet bisa hadir di kota-kota besar di seluruh Indonesia. “Awalnya kita mau make sure dulu saat ekspansi harus sudah ada potensi bisnis di sana. Tapi ke depannya kita mau langsung buka, model bisnis kita ini hub bukan platform jadi harus ada investasi yang keluar.”

Untuk dukung rencana tersebut, Finfleet akan menggalang pendanaan seri B pada tahun depan. Di luar ekspansi, perusahaan akan mengembangkan pusat data dengan teknologi AI agar dapat lebih baik memberikan rekomendasi produk keuangan kepada calon nasabah.

Bicara tentang regulasi, Finfleet sedang memroses surat tanda terdaftar dari OJK sebagai supporting fintech, mengikuti aturan sebagai IKD. Di satu sisi, perusahaan sudah mengantongi lisensi pos untuk layanan kurir dan pengiriman barang dan sertifikat ISO 27001 untuk jamin keamanan sistem IT.

XL Axiata Luncurkan Kartu Perdana Berteknologi NB-IoT

PT XL Axiata Tbk resmi meluncurkan kartu perdana berteknologi Narrowband Internet of Things (NB-IoT) di 31 kota dan kabupaten Indonesia. Kartu perdana NB-IoT dari XL ini akan menyasar kalangan pebisnis UKM maupun korporasi.

Chief Enterprise & SME Officer XL Axiata Feby Sallyanto menjelaskan, produk NB-IoT ini muncul seiring tren industri 4.0. Penerapan teknologi ini diprediksi semakin marak di masa depan ketika Internet of Things semakin populer.

“Kami melihat layanan IoT akan menjadi solusi bisnis pilihan di masa mendatang untuk korporasi dan UKM serta sekaligus menjadi sumber pertumbuhan kami di era industri 4.0,” ucap Feby.

Kartu perdana NB-IoT ini dibanderol oleh XL dengan biaya berlangganan Rp15.000 untuk satu tahun dengan kuota 20MB untuk pelanggan korporat. Selain menjual layanan NB-IoT itu, XL juga menjajakan end-to-end solution yang menyesuaikan kebutuhan pelanggan.

XL sejatinya sudah memiliki solusi IoT di bidang transportasi bernama Fleetech di bidang transportasi dan solusi smart poultry untuk peternakan. Solusi NB-IoT yang mereka tawarkan melengkapi ambisi mereka untuk menjangkau ekosistem IoT.

Sebagai informasi, NB-IoT adalah teknologi jaringan komunikasi seperti 3G atau LTE. Bedanya NB-IoT handal dalam kondisi yang memerlukan sedikit tenaga namun dapat bekerja dalam jangka panjang atau biasa disebut Low Power Wide Area (LPWA). Jaringannya yang bergerak di frekuensi rendah 900 MHz memungkinkan sinyal NB-IoT menjangkau cakupan wilayah yang luas hingga 15 kilometer seperti di area perkebunan, gedung bertingkat, atau kawasan bawah tanah.

Kartu SIM NB-IoT nantinya dapat dimanfaatkan ke dalam sistem gateway atau ditempel langsung ke sensor.

“Untuk mengirimkan data-data yang dibutuhkan menggunaan jaringan NB-IoT, kita hanya membutuhkan maksimum 1.600 byte untuk sekali mengirim. Jadi sangat kecil sekali. Bahkan kuota 20 megabyte yang ditawarkan paket layanan NB-IoT kami seharga Rp 15.000 bisa digunakan selama setahun tergantung use case-nya,” imbuh Feby.

Feby mengklaim pihaknya sudah memiliki sejumlah pelanggan korporasi dan ratusan ribu subscriber solusi NB-IoT. Kendati demikian, ia enggan mengungkap nilai tepatnya berapa.

Jaringan NB-IoT XL ini mendapat dukungan dari penyedia perangkat telekomunikasi seperti Ericsson dan Cisco. Produk anyar ini sudah dapat diperoleh di 31 kota yang tersebar di Jawa, Bali, NTB, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

DStour #71: Berkunjung ke Kantor Baru XL Axiata

Setelah memindahkan kantor mereka ke gedung baru XL Axiata Tower di kawasan Kuningan, XL Axiata mengadopsi kantor ala startup yang mengendepankan konsep terbuka dilengkapi dengan fasilitas lengkap untuk pegawai. Kantor ini juga didesain sebagai ruang kolaborasi dan akselerasi mahasiswa dan masyarakat umum yang ingin mempelajari dan menciptakan produk internet of things (IoT). Dipandu jajaran petinggi XL Axiata, berikut liputan DStour selengkapnya.

Princeton Digital Group Acquired XL Axiata “Data Center” Business

Princeton Digital Group (PDG),  a Singapore-based internet infrastructure developer and operator, has acquired 70% of XL Axiata data center business shares and to develop a joint venture named Princeton Digital Group Data Center

PDG also has an investment commitment of $100 million (more than Rp1.4 trillion) for capital growth.

The joint venture intends to be a data center operator to handle hyperscalers companies, domestic unicorns, corporates, and telco. However, XL Axiata has five data center located in all over Indonesia.

PDG’s Chairman & CEO, Rangu Salgame explained the acquisition is supposed to extend the current data center capacity. There will be one more hyperscale data center by the end of the year, For the company, all series are to tighten the high-quality competition in the global internet infrastructure.

“With the follow-on investment, the joint venture should lead the market in Indonesia and one of the biggest data center operator in Southeast Asia,” Salgame stated in the release.

XL Axiata’s President Director & CEO, Dian Siswarini added, the extensive skills and experiences of PDG will make this new entity the main option for the multinational and big scale digital service providers aiming for operational expansion in Indonesia and Asia.

Data center is the main support behind Indonesia’s digital economy growth, which is predicted to dominate Southeast Asia’s region by 2025. Public cloud service provider such as Alibaba Cloud, Amazone Web Services, and Google Cloud has built some strategic hub in the Indonesian market.

Alibaba already has two data center here. While Google already has cloud region acted similar to the data center. Previously, the government requires the cloud service provider and server to have its own data center, particularly to keep storage with high risks – in case it contains Indonesian user’s identity.

In Southeast Asia, the data center market is predicted to have significant growth, increased by two times in the next four years. In Technavio, this area will grow stable at 14% Compound Annual Growth Rate (CAGR) between 2017 to 2021.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bisnis “Data Center” XL Axiata Diakuisisi Princeton Digital Group

Princeton Digital Group (PDG), pengembang dan operator infrastruktur internet dari Singapura, mengakuisisi 70% saham kepemilikan bisnis data center milik XL Axiata dan mendirikan perusahaan patungan dinamai Princeton Digital Group Data Centers.

PDG juga memberikan komitmen investasi sebesar $100 juta (lebih dari Rp1,4 triliun) untuk pertumbuhan modalnya.

Perusahaan patungan ini, berambisi menjadi operator data center yang melayani perusahaan hyperscalers, unicorn domestik, korporasi, dan perusahaan telekomunikasi. Adapun, XL Axiata memiliki lima data center tersebar di seluruh Indonesia.

Chairman & CEO PDG Rangu Salgame menerangkan, akuisisi ini dimaksudkan untuk memperbesar kapasitas data center yang sudah ada. Bakal ada tambahan satu data center hyperscale baru di akhir tahun ini. Bagi perusahaan, seluruh rangkaian ini bertujuan untuk meningkatkan kompetisi yang mumpuni dalam infrastruktur internet global.

“Dengan investasi lanjutan, perusahaan patungan ini akan menjadi pemimpin pasar di Indonesia dan salah satu operator data center terbesar di Asia Tenggara,” terang Salgame dalam keterangan resmi.

Presiden Direktur dan CEO XL Axiata Dian Siswarini menambahkan, keahlian dan pengalaman yang luas dari PDG menjadikan entitas baru ini sebagai pilihan untuk para penyedia layanan digital berskala besar dan multinasional yang ingin memperluas operasi mereka di Indonesia dan kawasan Asia.

Data center adalah tulang punggung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, yang diprediksi akan mendominasi Asia Tenggara pada 2025 mendatang. Penyedia layanan public cloud global seperti Alibaba Cloud, Amazon Web Services, dan Google Cloud telah membangun beberapa hub strategis di pasar Indonesia.

Alibaba sendiri sudah memiliki dua data center di sini. Sementara Google miliki cloud region yang akan bertindak mirip dengan data center. Sebelumnya kebijakan pemerintah mewajibkan perusahaan penyedia layanan cloud dan server untuk miliki data center di sini, khususnya untuk menyimpan data-data dengan risiko tinggi — misalnya yang mengandung identitas pengguna di Indonesia.

Di Asia Tenggara, pasar data center diprediksi akan mengalami kemajuan pesat, lebih dari dua kali lipat nilainya dalam empat tahun ke depan. Menurut Technavio, di kawasan ini akan tumbuh stabil pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sekitar 14% selama 2017 sampai 2021.