Konsistensi AMIKOM Business Park Menginkubasi Startup di Yogyakarta

Salah satu pendekatan yang banyak dilakukan berbagai pihak untuk menumbuhkan ekosistem startup ialah mendirikan inkubator. Pemerintah, korporasi, hingga kalangan edukasi berbondong-bondong membuat program inkubasi. Tak terkecuali Yayasan AMIKOM yang membawahi Universitas AMIKOM Yogyakarta dan beberapa unit perusahaan pendidikan lainnya. Program inkubator bertajuk “AMIKOM Business Park (ABP)” didirikan untuk mengakomodasi calon pengusaha digital di Yogyakarta.

“Untuk startup yang kami bina tidak harus dari mahasiswa AMIKOM. Kami terbuka membina startup yang berdomisili di Yogyakarta yang memiliki produk menarik serta memiliki tim yang mempuni. Berdasarkan pengalaman kami, rata-rata startup yang kami bina sudah lulus kuliah, atau tinggal skripsi,” cerita Donni Prabowo, General Manager Inkubator ABP kepada DailySocial.

ABP juga membantu startup binaannya untuk kebutuhan pendanaan. Pihaknya memfasilitasi pendanaan melalui grant pemerintah terkait startup dan kewirausahaan. Selain itu, melalui jaringan yang dimiliki yayasan, ABP juga menghubungkan startup dengan angel investor di area Yogyakarta. Saat ini pihaknya masih terus menggencarkan upaya kolaborasi dengan berbagai pihak untuk penguatan ekosistem digital di Yogyakarta yang lebih luas.

Strategi menjaring mahasiswa

Berada di lingkungan kampus, salah satu misi AMIKOM Business Park adalah meningkatkan awareness soal kewirausahaan digital untuk kalangan mahasiswa. Donni menceritakan ada beberapa hal yang dilakukan melalui program informal di luar kelas untuk hal tersebut. Secara rutin ABP menyelenggarakan program #StartupTalk untuk program inkubator.

“Melalui kegiatan #StartupTalk yang rutin kami selenggarakan dua minggu sekali, kami mencoba untuk mengedukasi tentang industri digital dengan cara mengundang praktisi-praktisi yang sudah lebih dulu terjun di dunia startup untuk sharing mengenai pengalamannya. Acara ini free dan terbuka untuk umum. Setelah selesai acara, para peserta kami masukkan ke dalam grup messenger agar mereka tetap saling dapat berbagi dan berdiskusi,” jelas Donni.

Pada awalnya inkubator ABP diinisiasi berdasarkan kerja sama antara AMIKOM dan Kominfo pada tahun 2011 dengan nama “Inkubator Industri Telematika Yogyakarta”. Seiring berakhirnya program Kominfo pada akhir tahun 2015, inkubator dikelola secara mandiri di bawah unit usaha Yayasan AMIKOM dan berganti nama menjadi AMIKOM Business Park.

Beberapa capaian program inkubator ini meliputi:

  • Pada tahun 2015, ABP menginkubasi satu startup dan memfasilitasi pendanaan Rp250 juta.
  • Pada tahun 2016, ABP menginkubasi dua startup, dan satu startup di antaranya memperoleh pendanaan Rp300 juta.
  • Pada tahun 2017, ABP menginkubasi 11 startup dan memfasilitasi pendanaan masing-masing kurang lebih Rp350-500 juta.
  • Pada tahun 2018, ABP menginkubasi empat startup dan memfasilitasi pendanaan kurang lebih Rp250-350 juta.

“ABP sendiri memiliki tagline ‘Transforming IT talent into successful startup IT companies’. Kami berambisi untuk mengantarkan startup binaan kami untuk naik level ke tahap berikutnya dengan cara memfasilitasi mereka dari berbagai hal, contohnya dari segi jaringan, dari segi peningkatan hard/soft skill, maupun akses funding. Kami berharap setelah 7-8 bulan masa inkubasi, mereka bisa lebih siap untuk naik level ke tahap berikutnya, misalnya masuk ke akselerator atau putaran pendanaan lanjutan,” lanjut Donni.

Founder di program inkubasi 2018: Bima (CEO Kawan Messenger), Ruslan (CEO Pigmi Mini 3D Printer), Angga (CEO Ichibot), Adji (CEO Lunasbos) / ABP
Founder program inkubasi 2018: Bima (CEO Kawan Messenger), Ruslan (CEO Pigmi Mini 3D Printer), Angga (CEO Ichibot), Adji (CEO Lunasbos) / ABP

Mekanisme pembagian ekuitas di program inkubator ABP

Program inkubasi di ABP memakan waktu 8 bulan untuk masing-masing sesi. Program tersebut meliputi:

Tahapan program inkubasi AMIKOM Business Park
Tahapan program inkubasi AMIKOM Business Park

Dalam rangkaian kegiatan tersebut, beberapa materi yang diberikan antara lain seputar idea validation, market validation, business model validation, funding strategy, lean startup, dan beberapa materi teknis yang dikemas dalam kegiatan #StartupTalk.

“Berkaitan dengan komitmen, sebagai timbal balik dari program inkubasi dan akses funding yang kami berikan, ABP akan mengambil sebagian kecil equity dari startup binaan. Besaran equity yang kami akan kami ambil tergantung dari negosiasi dan valuasi startup saat datang ke kami,” jelas Donni soal mekanisme inkubasi.

Donni menambahkan, ada beberapa hal yang selalu ditekankan untuk startup binaan ABP, salah satunya soal tim. Ia percaya bahwa produk yang hebat terlahir dari komposisi tim yang hebat, namun kenyataannya masih banyak startup yang ditemui belum matang soal penguatan tim. Permasalahan dari sisi tim yang sering ditemui di antaranya: (1) founder kesulitan merekrut anggota tim yang tepat; (2) tim bubar karena founder sudah tidak memiliki visi yang sama; (3) beberapa founder keluar karena mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan; dan (4) founder sulit menjaga komitmen anggota tim.

Ekosistem startup di Yogyakarta

Berada di lingkungan akademik, ABP juga mengamati ketertarikan mahasiswa terhadap startup digital. Menurutnya saat ini ketertarikan tersebut terpantau menurun jika dibandingkan dua tahun terakhir. Analisisnya karena mulai banyak yang menyadari bahwa membuat startup sukses bukan perkara mudah, sehingga butuh mengasah pengalaman lebih dalam.

“Tantangan yang masih perlu diperbaiki adalah membuat lebih banyak mahasiswa lebih aware untuk menghadiri kegiatan-kegiatan berkaitan dengan industri digital di luar kelas, sehingga mindset entrepreneur-nya dapat terbentuk lebih cepat. Di samping itu, menyadarkan mahasiswa bahwa membuat startup itu bukan hanya untuk keren-kerenan saja itu juga merupakan tantangan tersendiri,” ujar Donni.

Donni saat melakukan kegiatan sharing session sebagai salah satu agenda inkubasi / ABP
Donni saat melakukan kegiatan sharing session sebagai salah satu agenda inkubasi / ABP

Namun, jika melihat ekosistem startup di Yogyakarta secara umum, ABP melihat pertumbuhan konsisten dari tahun ke tahun. Indikasinya dari sisi raw material talent dengan supply lulusan yang cukup tinggi di bidang teknologi. Selain itu komunitas juga sudah banyak berkembang, seperti JogjaJS yang spesifik membahas teknologi Java Script, Dev-C, YAC, PhytonID dan sebagainya. Pun dari sisi program inkubator, beberapa mulai bermunculan.

“Hal yang menurut saya belum bertumbuh secara masif adalah local angel investor (dari Yogyakarta). Menurut saya masih banyak startup di Yogyakarta yang butuh dukungan funding di tahapan pre-seed agar mereka bisa mencapai round selanjutnya,” pungkas Donni.

Aplikasi Lunasbos Sediakan Fitur Pengingat Utang

Penagihan utang menjadi salah satu masalah yang kerap dijumpai masyarakat di Indonesia. Dari permasalahan tersebut aplikasi Lunasbos diluncurkan. Aplikasi Lunasbos secara sederhana menyediakan layanan pencatatan utang dua arah dengan notifikasi pengingat untuk memudahkan penagihan dan mengingatkan jika masih memiliki pinjaman.

CEO Lunasbos Adjie Purbojati kepada DailySocial menceritakan ide awal pengembangan aplikasi adalah dari pengalaman pribadinya yang memiliki permasalahan utang-piutang kepada temannya. Utang yang sudah jatuh tempo tak kunjung dibayarkan, dan perasaan tidak enak hati untuk menagih adalah permasalahan ini yang coba diselesaikan dengan Lunasbos.

Aplikasi Lunasbos memang memiliki konsep yang sederhana, tetapi Adjie tetap optimis aplikasinya bisa diterima di masyarakat. Terlebih ia juga menyediakan solusi untuk kalangan bisnis dengan fungsi yang serupa, pencatatan keuangan atau utang dua arah.

“[Saya]sangat yakin, karena ini berangkat dari permasalahan akar rumput serta Lunasbos selalu mempelajari user experience agar penggunaan aplikasi dapat maksimal,” ujar Adjie optimis.

Ia menambahkan ada beberapa fitur utama yang saat ini ada di versi beta Lunasbos. Antara lain pencatat keuangan dua arah dan notifikasi atau pengingat jatuh tempo. Ke depan juga akan menyusul beberapa fitur lainnya seperti fitur untuk menagih utang.

“Karena utang itu bentuknya bukan cuma uang ya, jadi nantinya akan ada utang dalam bentuk peminjaman barang dan utang janji. Biar nggak pada suka ingkar janji lagi,” tambahnya.

Karena masih dalam tahap beta, Adjie dan timnya tengah berupaya memperbaiki kualitas aplikasi dan juga terus memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Untuk pengembangan selanjutnya Lunasbos juga sudah menyediakan versi bisnis yang menargetkan perusahaan-perusahaan multi-finance.

“[Fitur yang ada di Lunasbos] seperti penambahan data secara masal, pengoperasian lewat desktop, analisis dan pengolahan data sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kita juga memanfaatkan pengguna big data untuk memaksimalkan efektivitas pengiriman reminder dan untuk keperluan iklan,” ujar Adjie menjelaskan.

Tahun 2018 akan jadi awal dari perjuangan Lunasbos. Selain untuk terus meningkatkan kualitas layanan mereka juga harus berusaha mendapatkan pengguna untuk terus bertahan. Sejauh ini selain bootstraping Lunasbos juga mendapatkan dana hibah dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi melalui program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PBBT) tahun 2018. Dana-dana tersebut yang menjadi modal untuk Lunasbos membuktikan diri bisa diterima di masyarakat.

Application Information Will Show Up Here

Kondisi Terkini Industri Kreatif di Yogyakarta

Sebuah survei dilakukan terhadap pelaku industri kreatif di Yogyakarta oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY, bekerja sama dengan Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Yogyakarta dan JakPat yang melibatkan 84 responden pelaku usaha kreatif di berbagai bidang, termasuk startup digital. Dari data yang didapat, kategori usaha kreatif yang paling banyak di Yogyakarta ialah bidang agensi kreatif, pemasaran digital, dan media. Disusul kategori lain yakni e-commerce, pengembang aplikasi permainan dan animasi, jasa teknologi, dan pendidikan.

Ketegori pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Ketegori pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Menurut Ketua Umum ADITIF Saga Iqranegara, pertumbuhan industri kreatif di Yogyakarta sudah terlihat dalam satu dekade terakhir. Banyak faktor yang mendukung Yogyakarta dinilai nyaman bagi industri kreatif. Pertama ialah ketersediaan sumber daya manusia, ditopang banyaknya perguruan tinggi dengan berbagai jurusan. Di luar kampus, berbagai komunitas kreatif bisa ditemukan di kota ini sebagai sarana untuk berbagi informasi dan pengetahuan antar anggotanya.

Faktor kedua, menurut Saga, Yogyakarta terkenal dengan biaya hidup yang relatif murah. Dari segi infrastruktur yang dibutuhkan seperti internet dan sewa bangunan bisa dikatakan cukup terjangkau. Hal ini menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang ramah untuk tumbuhnya perusahaan rintisan (startup) digital. Karena faktor-faktor itu, potensi industri kreatif digital di Yogyakarta sangat luar biasa besar.

Temuan menarik berikutnya soal pendanaan dari pelaku usaha kreatif di Yogyakarta. Data hasil survei menyebutkan, bahwa sebagian besar pendanaan untuk usaha didapat dari modal pribadi sang pemilik usaha (68%), sisanya dari pemodal ventura (7%), investor perorangan (7%), dan sumber lainnya. Kendati dari statistik tersebut bisa dikatakan bahwa pelaku usaha kreatif di Yogyakarta tidak banyak tersentuh investor, mereka bisa membuktikan proses bisnis yang relevan atas usahanya. Terbukti dari hasil survei yang menanyakan omset bisnis, jawaban terbanyak antara Rp300 juta – Rp2,4 miliar.

Kisaran omset usaha para pelaku kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Kisaran omset usaha para pelaku kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Sebelumnya banyak juga yang beranggapan, banyaknya usaha kreatif yang berdomisili Yogyakarta merupakan ekstensi atau cabang pembantu dari perusahaan yang berpusat di Jakarta. Beberapa startup seperti GO-JEK, Kitabisa, hingga Tiket.com memang memiliki kantor cabang di sini. Namun survei menemukan fakta bahwa 72% dari pelaku industri kreatif berdomisili asli (atau berkantor pusat) di Yogyakarta, sisanya memanfaatkan kantor di Yogyakarta sebagai cabang pembantu.

Didominasi startup tahap awal

Fokus lain yang coba dirangkum survei tersebut adalah seputar tahapan bisnis usaha kreatif di Yogyakarta. Dari pengakuan para responden, sebanyak 49% mengatakan bisnisnya tengah dalam tahap pertumbuhan (growth), 29% perluasan bisnis (expansion), 15% dalam tahap pengembangan (product development), 6% dalam tahap pematang (maturity), dan sisanya 1% dalam tahap bertahan (survival). Indikasinya karena sebagian bisnis kreatif di Yogyakarta masih dalam tahap usaha kecil menengah dengan anggota tim yang tidak banyak.

Rata-rata jumlah karyawan pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Rata-rata jumlah karyawan pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Lantas menjalankan bisnis di tempat yang relatif “ramah” ternyata tidak serta-merta membuat para pelakunya bebas dari masalah. Ada beberapa tantangan yang dikeluhkan oleh para pelaku bisnis di Yogyakarta. Dan menariknya tantangan yang dinilai paling memberatkan justru hal yang selama ini orang gadang-gadangkan banyak tersedia di Yogyakarta, yakni masalah SDM. Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, banyaknya kampus yang melahirkan lulusan ternyata tidak membuat para pelaku usaha mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan talenta yang membantu bisnisnya berkembang,

Tantangan utama bisnis yang dirasakan pelaku bisnis di Yogyakarta / ADITIF
Tantangan utama bisnis yang dirasakan pelaku bisnis di Yogyakarta / ADITIF

Sama seperti di kota-kota lain, talenta yang sulit dicari umumnya berkaitan dengan teknis pengembangan produk. Karena rata-rata perusahaan digital yang menjadi responden memang mencoba melakukan pengembangan produk dan layanan memanfaatkan medium teknologi. Sejauh ini hal yang dilakukan untuk mencari talenta terkait dilakukan dengan membuka lowongan pekerjaan di situs atau media sosial, dilanjutkan internship, talent development, job fair dan pemanfaatan layanan head hunter.

Talenta yang sulit didapatkan oleh pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Talenta yang sulit didapatkan oleh pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Terkait tantangan yang banyak dikeluhkan pelaku usaha Saga menuturkan, “Yang paling penting adalah menambah jumlah institusi pendidikan yang mampu menelurkan talenta yang dibutuhkan industri ini. Dari sisi infrastruktur, jangkauan koneksi internet broadband juga perlu diperluas. Angel investor sebagai pihak yang membantu mendanai tahap awal pendirian startup juga sangat dibutuhkan di Yogyakarta. Dan tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan dari pemerintah daerah, terutama dari sisi regulasi.”

Temuan lain terkait dengan legalitas bisnis, 55% pelaku usaha yang menjadi responden sudah berbadan hukum berbentuk PT, sebanyak 12% berbentuk CV dan sisanya yakni sebanyak 20% belum memiliki badan hukum untuk usahanya. Beberapa yang dikeluhkan dari yang belum berbadan hukum karena proses yang tidak mudah, aturan yang rumit, dan biaya yang mahal. Sementara itu bagi yang sudah berbadan hukum melakukannya karena kebanyakan klien atau investor membutuhkan legalitas, seperti untuk urusan perpajakan atau kepemilikan.

Pemerintah setempat akan terus bekerja sama dengan asosiasi untuk membentuk komunitas yang dapat mendampingi para pelaku usaha secara langsung. Pendekatan berbasis komunitas ini dirasa efektif dengan iklim bisnis di Yogyakarta.

Untuk informasi selengkapnya mengenai survei tersebut di atas, unduh melalui tautan berikut: klik di sini.

“ADITIF menampung aspirasi dari para anggotanya. Beberapa hal yang terkait dengan pemerintah daerah, kami bantu untuk menyuarakannya. ADITIF juga berperan aktif menyelenggarakan kegiatan bursa kerja khusus untuk industri kreatif digital di Jogja. Untuk tahun 2018 ini, ADITIF memiliki program untuk menumbuhkan investor baru di bidang kreatif digital. Kami berharap akan muncul angel investor baru dari kalangan pengusaha di daerah yang mulai melirik untuk berinvestasi di dunia startup digital,” pungkas Saga.

Komunitas bisnis kreatif yang ada di Yogyakarta / ADITIF
Komunitas bisnis kreatif yang ada di Yogyakarta / ADITIF

Platform Event Loketics Jadi Ivenframe, Awal Baru Transformasi Bisnis

Sejak diluncurkan pada tahun 2013, nama Loketics semakin banyak dirujuk saat konsumen ingin membeli tiket suatu pertunjukan. Startup yang berbasis di Yogyakarta ini dikenal sebagai platform online yang menjual beraneka ragam jenis tiket, mulai dari konser musik, seminar, konferensi, kompetisi, pameran, dan berbagai jenis acara lainnya. Sampai saat ini tercatat lebih dari 40 ribu tiket terjual ke 21 ribu pengguna dan memfasilitasi sekitar 250 acara dari berbagai latar belakang.

Nama baru, semangat baru

Visi Loketics adalah menghadirkan platform industri event dengan sistem terintegrasi. Pihaknya percaya, bahwa sinergi antara teknologi dan konsumen (target utama millennials) yang memadai dapat membantu penyelenggara event mendapatkan keuntungan yang lebih maksimal. Tidak berhenti di situ, Loketics ingin mengawali transformasi bisnis secara berkelanjutan dengan mematangkan dirinya sebagai “one stop event platform“.

Transformasi ini diawali dengan pemilihan nama baru, dari Loketics menjadi Ivenframe, merujuk pada nama legal perusahaan PT Ivenframe Teknologi Nusantara. Dengan pengubahan nama tersebut, pihaknya ingin mengubah pandangan yang ada di masyarakat bahwa Ivenframe tidak hanya menyediakan layanan distribusi tiket, tetapi juga layanan lain, meliputi persiapan pre-event, during event dan post-event. Penggantian nama ini bertepatan dengan peresmian kantor barunya di seputar Sleman, Yogyakarta, pertengahan Februari lalu.

“Masyarakat lebih mengenal Loketics hanya sebagai ticket box atau gampangnya sebagai perantara penyelenggara event dengan pembeli, sedangkan layanan kami tidak hanya itu. Sebenarnya kami menangani pre-event, during event dan post-event. Ticket box adalah salah satu layanan kami yang ada di pre-event itu. Maka dari itu, kita berganti nama menjadi Ivenframe,” sambut CEO Ivenframe Hasan Imaduddin.

Ivenframe sendiri memiliki makna yang cukup menarik, yaitu ‘I’ yang berarti “aku, Indonesia, internet”, kemudian “Ven” diambil dari kata “Event”, dan “Frame” yaitu bingkai. Diharapkan solusi yang diberikan mampu mencakup dan menjadi rangka yang kuat dalam berbagai event.

Pengajawantahan konsentrasi bisnis ini menjadi tiga solusi produk, yakni cloud event platform, event campaign, dan support services. Selain membantu menjual tiket secara online, Ivenframe turut menyediakan layanan lain, seperti produksi tiket, tim kepanitiaan, manajemen gate-entry, bahkan pemasaran/iklan acara.

Berbagai layanan yang diusung Ivenframe / Ivenframe
Berbagai layanan yang diusung Ivenframe / Ivenframe

Bersiap ekspansi ke Filipina dan Hong Kong

Bersama dengan penggantian nama ini, Ivenframe berkomitmen terus melakukan inovasi dan perluasan pangsa pasar. Disampaikan Anindyo Susjanarko, Chief Commercial Officer and Global Expansion Ivenframe, saat ini perluasan kemitraan menjadi agenda utama Ivenframe.

Selain menguatkan basis bisnis di Indonesia, Ivenframe merencanakan untuk melakukan ekspansi ke Filipina dan Hong Kong. Ekspansi tersebut diharapkan menjadi awal penguatan basis bisnis Ivenframe di Asia Tenggara.

“Dengan mengubah nama menjadi Ivenframe sekaligus mengembangkan beberapa solusi yang lebih inovatif dan mengadopsi proses otomasi penjualan, harapan kita bisa lebih mampu meng-capture beberapa peluang yang ada di pasar kita. Bahkan kita juga tengah mencoba menjalin kemitraan strategis di negara-negara lain, yaitu Filipina dan Hong Kong,” ujar Anindyo.

Melalui Gifood, Masyarakat Bisa Menyumbang Makanan Berlebih ke Yang Membutuhkan

Saat ini mulai banyak startup lokal yang mencoba mengeksplorasi lanskap social business, berharap selain mendapatkan nilai bisnis juga memberikan dampak sosial di lingkungan. Salah satunya Gifood, sebuah platform yang menghubungkan antara mereka yang memiliki makanan berlebih dengan orang yang membutuhkan.

“Cara kerjanya sederhana. Ketika memiliki makanan berlebih unggah informasinya melalui platform kami. Begitu pula jika mengetahui siapa yang membutuhkan, bisa langsung menggugah informasinya melalui platform kami. Dari situ akan diketahui makanan apa atau dari siapa, lokasinya di mana, tersedia sampai kapan secara real time. Ketika mau mengambil makanan pun tinggal klik dan akan terhubung dengan pemilik makanan,” jelas CEO Gifood Fathin Naufal.

Mengemban visi besar “Reduce Waste, Reduce Hunger”, saat ini Gifood belum melakukan monetisasi, karena tengah fokus untuk memperluas cakupan pengguna dan dampak yang dihasilkan. Namun ada beberapa mekanisme yang sudah mulai rancang, salah satunya mekanisme B2B (Business-to-Business). Ke depan Gifood akan memberikan layanan berbayar untuk perusahaan, misal restoran dan hotel dalam pengolahan makanan berlebih mereka.

“Dari pada membuang makanan (yang berarti ada loss of money), ujung-ujungnya jadi sampah, dan terkena biaya lagi untuk sampah (menurut data kami sampai jutaan rupiah per bulan), maka lebih baik disalurkan kepada Gifood dan memberikan dampak positif bagi masyarakat serta lingkungan. Hal ini bisa sekaligus menaikkan citra perusahaan dan bisa mengefisiensikan dana CSR,” ujar Naufal.

Kedua untuk monetisasi juga akan hadir fitur “Last Minute Deal”, yaitu menjual murah makan berlebih yang masih layak jual (makanan dengan harga diskon). Gifood akan mengenakan komisi dari penjualan tersebut melalui platform. Dan yang ketiga, para pengguna Gifood bisa dipastikan banyak merupakan orang-orang yang mencari makanan gratis dan murah. Maka ketika ada perusahaan yang ingin beriklan tentang diskon, promo, launching product, dan sebagainya, platform ini akan menyediakan media untuk beriklan tersebut.

Beberapa waktu lalu Gifood baru saja memenangkan penghargaan The Best General Category App dan 1st Winner Telkom Hackathon 2018. Sebelumnya startup asal Yogyakarta ini juga pernah memenangkan beberapa lomba lain seperti Runner Up DILO Festival Yogyakarta, Best Performance Socioentrepreneur Muda Indonesia (Soprema), dan menjadi finalis (6 besar) di Startup World Cup Wildcard Round Yogyakarta.

Tim Gifood saat memenangkan Hackathon yang diadakan Telkom / Gifood
Tim Gifood saat memenangkan Hackathon yang diadakan Telkom / Gifood

“Latar belakang kami sebenarnya karena pengalaman kami sendiri melihat seringnya makanan terbuang sia-sia ketika berlebih. Misal ketika ada acara dan sebagainya. Ternyata memang faktanya Indonesia merupakan negara yang membuang makanan terbesar nomor besar ke-2 sedunia setelah Arab Saudi (data dari The Economist). Menurut Food Agriculture Organization (FAO), ada 13 juta ton makanan di Indonesia yang terbuang sia-sia,” tutur Naufal.

Naufal melanjutkan, “Menurut data dari FAO ada 19,4 juta orang di Indonesia yang masih kelaparan. Hal ini ironis, di sisi lain banyak makanan terbuang. Kalau semua makanan yang terbuang itu dikumpulkan, sebenarnya bisa memberi makan 11% populasi di Indonesia. Maka, kami berusaha untuk memberikan solusi dengan cara mengoneksikan mereka yang mempunyai makanan tersebut dengan mereka yang lebih membutuhkan.”

Dengan mengemban visi besar tersebut, Naufal menyampaikan bahwa tahun ini pihaknya akan banyak fokus untuk memperluas pangsa pasar dengan mengenalkan platform kepada masyarakat luas melalui berbagai kampanye, berkolaborasi dengan komunitas, dan juga menjalin kerja sama dengan beberapa pihak terutama penyedia makanan (restoran, tempat makan, toko roti, hotel, dan sebagainya).

GrabFood is Now Available in Semarang, Yogyakarta, and Palembang

Grab announces to expand one of its service network, GrabFood. The service is currently available in three new cities, namely Yogyakarta, Semarang and Palembang Those three completed the previous list namely Jakarta, Surabaya, Bali, Makassar and Medan.

A food ordering service in Indonesia has proven to be a business line that may be developed by on-demand transportation working with the bike’s drivers. Along with the announcement of new cities, Grab also declares partnership with more than 30,000 merchants in Indonesia. Grab is getting more serious in food ordering service, facing a competition with Go-Food.

GrabFood is to serve customers ordering food from nearby restaurant within 3km. Grab drivers will deliver directly to the destination, either a home or an office.

Web

“GrabFood is a convenient and reliable way to get customer’s favorite food at night by only one click away. It also provides new economic opportunity for delivery partners and allows local restaurants to connect with more customers in each cities,” Mediko Azwar, Grab Indonesia’s Marketing Director, explained.

Grab was started GrabFood in Jakarta, in 2016. GrabFood keeps reaching for the new cities and partners with more merchants. As to attract public’s interest, GrabFood set the delivery cost starts from Rp3,000 for those who live outside the Jakarta’s area. In addition, GrabFood also offers easy communication with GrabChat feature includes in the application.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GrabFood Kini Hadir di Semarang, Yogyakarta, dan Palembang

Grab mengumumkan telah memperluas jangkauan salah satu layanan mereka GrabFood. Kini layanan pengantaran makanan tersebut hadir di tiga kota baru, yakni Yogyakarta, Semarang, dan Palembang. Ketiga kota tersebut melengkapi kota-kota sebelumnya, seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Makassar, dan Medan.

Layanan pengantaran makanan di Indonesia terbukti menjadi salah satu lini bisnis yang bisa dikembangkan oleh layanan transportasi on demand memanfaatkan mitra pengemudi sepeda motor. Kini bersamaan dengan diumumkannya kota-kota baru Grab juga mengumumkan telah berhasil bekerja sama dengan lebih dari 30.000 merchant di seluruh Indonesia. Grab terlihat makin serius untuk pasar pengantaran makanan Indonesia, menghadapi persaingan dengan Go-Food.

GrabFood bisa melayani pelanggan yang memesan makanan dari restoran terdekat dalam rentang jarak 3km. Mitra pengemudi Grab akan langsung mengantarkan ke tempat yang dituju, seperti rumah atau kantor.

Web

“GrabFood merupakan cara yang nyaman dan dapat diandalkan untuk mendapatkan makanan favorit para pelanggan saat malam hari hanya dengan menekan satu tombol. Hal ini juga memberikan peluang ekonomi baru bagi para delivery partner dan memungkinkan restoran-restoran lokal untuk terhubung dengan lebih banyak pelanggan di masing-masing kota,” jelas Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar.

Grab memulai GrabFood pada tahun 2016 di Jakarta. Seiring dengan berjalannya waktu, GrabFood terus menjangkau kota-kota baru dan menjalin kerja sama dengan banyak mitra. Untuk menarik minat masyarakat GrabFood mematok biaya pengiriman mulai dari Rp3.000 untuk mereka yang tinggal di luar wilayah Jakarta. Selain itu, GrabFood juga menawarkan kemudahan komunikasi dengan fitur GrabChat yang sudah tersemat di dalam aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Tahun 2017 Jadi Saksi Kesulitan Startup Daerah untuk Bertahan

Ketika ekosistem startup Indonesia merayakan kehadiran empat startup unicorn berskala nasional di tahun 2017, periode ini justru bisa dibilang kurang bersahabat bagi startup-startup daerah. Meskipun Bekraf dengan BEKUP-nya dan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital berusaha terus membakar semangat penggiat lokal untuk mengembangkan produknya, ternyata semangat saja tidak cukup.

Di Pontianak misalnya, DailySocial memberitakan bagaimana perjuangan layanan lokal yang kalah bersaing melawan raksasa layanan on-demand bervaluasi miliaran dollar.

Ketimpangan sangat terasa, membuat satu persatu startup daerah gulung tikar. Di sisi lain, Indonesia sangat membutuhkan lahirnya wirausahawan-wirausahawan baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa, terutama dengan meningkatnya jumlah masyarakat di usia produktif. Menurut data, diperkirakan dalam beberapa waktu ke depan masyarakat di golongan angkatan kerja ini (antara usia 15 dan 65 tahun) akan mencapai 70% dari total populasi.

Ketidaksiapan mengedukasi pasar dan bersaing

Hal senada juga terjadi di Yogyakarta, Solo, Makassar. Fajar Assad, seorang penggiat komunitas startup Makassar yang sebelumnya pernah mendirikan LeanSkill, menyatakan terjadi penurunan jumlah startup baru di kota terbesar di kawasan Timur Indonesia ini dibanding tahun sebelumnya.

“Startup yang sudah eksis hampir dua tahun atau lebih beberapa sekarang sudah tutup, termasuk LeanSkill, Tiketbusku, dan beberapa lainnya,” ujar Fajar.

Fajar mengaku penutupan LeanSkill karena ketidakmampuannya dia berjuang sendirian dan fokus mengembangkan produk dan pasar. Meskipun demikian, ia tidak sendirian.

Menurut Fajar, kebanyakan penggiat startup daerah memulai ide dari hal-hal yang sudah dikembangkan di kota-kota lain, khususnya di ibukota. Oleh karena itu yang pertama kali muncul adalah layanan on-demand dan marketplace. Tantangan utama adalah edukasi pasar. Ketika memulai, secara umum konsumen di kotanya belum siap mengadopsi.

Soekma Agus Sulistyo, anggota penggerak Solocon Valley, mengamini pendapat ini. Ia menyebutkan di Solo sudah mulai muncul sejumlah startup baru, namun kemudian mereka mengubah model bisnis karena keraguan terhadap adopsi pasar.

“Kendala utamanya karena di Solo belum ada model bisnis yang terbukti sehingga masyarakat belum begitu paham. Kendala lain juga seputar pemahaman teknologi di pangsa pasar, menyebabkan KPI tidak terkejar,” terang Agus.

Ketika pasar sudah mulai nyaman dengan layanan yang ditawarkan, “bencana” muncul dengan kehadiran startup nasional yang menawarkan layanan yang lebih baik dan dukungan permodalan yang tidak bisa ditandingi.

Mereka yang sebelumnya sudah berjibaku dengan pasar yang masih “hijau” memilih tutup, karena merasa tidak mungkin bersaing dengan para unicorn.

Berusaha bertahan dengan mencari ceruk

Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dan mendapatkan ceruk pasar. SatuLoket yang didirikan sejak tahun 2014 merupakan satu di antaranya.

Berbasis di Yogyakarta, startup yang didirikan Akbar Faisal ini menyasar klien korporasi saat menawarkan produknya. Hal ini masuk akal untuk mendorong kelangsungan bisnis yang berkelanjutan, karena sektor B2B memang memiliki spending power dan demand yang lebih tinggi ketimbang masyarakat umum. Pun biaya edukasinya lebih rendah. Meskipun demikian, karena pola pikirnya fokus di transaksional, potensi scale-nya juga terbatas.

“Kami masih bertahan karena market, rata-rata memang di Yogyakarta dan segmen B2B. Jadi selama bisnis mereka berjalan, SatuLoket aman. Di sisi lain memang dari tim sudah mulai dirampingkan, karena kami fokus ke bisnis dan membangun konsumen loyal. Tidak ada jor-joran fitur, promo, inovasi, setidaknya sampai tahun ini,” ungkap Akbar.

DokterChat, sebuah startup baru di sektor teknologi kesehatan yang berbasis di Solo dan memulai bisnisnya awal November ini, mencoba mencari pasar dengan tidak jor-joran mengeluarkan biaya pemasaran.

Founder DokterChat, dr Yudhistya Ngudi Insan Ksyatria, SpOG, mengatakan, “Aplikasi ini harapannya membuat cara kerja dokter lebih scalable, artinya tidak hanya bisa bermanfaat untuk lingkup kecil di sekitarnya. Kami low cost startup, sehingga untuk dana tidak ada masalah. Cara mencari customer bukan dengan marketing berbayar, tapi memberi value. Sehingga follower-nya banyak dan organik, benar-benar sesuai target market.”

Yang baru masih bersemangat

Meskipun penurunan terasa di daerah yang telah mengenal ekosistem startup sejak dua-tiga tahun yang lalu, iklim berbeda didengungkan penggiat startup di kawasan baru, seperti di Padang, Sumatra Barat. Menurut Hendriko Firman, Founder Visio Incubator, sebuah inkubator lokal, justru saat ini di sana sedang mulai hype pendirian startup, khususnya oleh kawula muda.

Menurut Hendriko, program inkubator besutannya sedang membina 27 startup dengan total 84 founder. Kehadiran sejumlah program edukasi di sektor teknologi, disebut Hendriko, mendukung perkembangan startup di kawasan tersebut.

Tentu saja hype tidak akan menjamin semuanya bakal bertahan dalam jangka waktu lama.

Tak cuma modal ide dan semangat

Suasana sebuah bootcamp yang diadakan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital
Suasana sebuah bootcamp yang diadakan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital

Fenomena tahun ini menjadi pembuktian bahwa ide dan semangat saja tidak cukup. Berkaca pada kondisi di Amerika Serikat dan Tiongkok, ketika pada akhirnya segmen-segmen teknologi mengerucut ke sejumlah perusahaan besar saja, fenomena serupa sudah mulai merembet ke Tanah Air.

Tahun ini, berdasarkan data yang dikumpulkan Amvesindo, Google, dan AT Kearney, mayoritas perolehan pendanaan startup Indonesia, yang di paruh pertama 2017 mencapai 40 triliun Rupiah, terkonsentrasi di startup-startup unicorn.

Hype yang terjadi di sejumlah kota dua-tiga tahun yang lalu ternyata tidak bersambut karena kesulitan mengatasi berbagai kendala, baik dari sisi kesiapan pasar, kemampuan pengembangan teknologi, maupun akses ke permodalan.

“Menurut saya yang paling krusial dibutuhkan: pertama ialah mentorship dan fasilitas, kedua tim dan kolaborasi, dan ketiga pendanaan,” ujar Fajar.

Tanpa ketiganya, mustahil penggiat startup daerah untuk bersaing dengan startup nasional yang lebih matang. Kita ingin fenomena startup tidak hanya terkonsentrasi di ibukota, tetapi startup-startup daerah harus memiliki pondasi kuat agar bisa menjadi bisnis yang berkelanjutan.


Amir Karimuddin dan Randi Eka berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

Temuan Menarik tentang Startup di Yogyakarta Tahun 2017

Jogja Start-Up sebuah komunitas penggiat usaha rintisan di Yogyakarta baru saja merilis hasil survei mereka terhadap lanskap startup digital periode paruh pertama tahun 2017. Terdapat beberapa temuan menarik, terkait dengan jumlah startup dan kategori bisnisnya. Dari jumlah yang berhasil diidentifikasi, ada sekitar 115 startup digital yang beroperasi di Yogyakarta per tahun ini. Sebanyak 86 di antaranya adalah startup asli, sedangkan sisanya pendatang dari luar kota.

Menilik lebih dalam, persentase pebisnis digital di Kota Gudeg tersebut masih didominasi oleh Software House (21,05%), disusul pemain Commerce (11%), Fintech (10%), dan Digital Agency (8%). Kendati demikian, kategori lain seperti Travel, Education, Game House, hingga IoT masih bisa ditemui. Kemudian terkait dengan ukuran startup, mayoritas digerakkan antar 2-5 orang (36,84%) dan sebagian besar lagi merupakan single player (14.04%).

“Secara umum, ini merupakan tren yang bagus untuk ekosistem digital di Yogyakarta. Dari kuantitas bisnis dan kualitas produk saya pantau terus meningkat, didukung dengan banyaknya pemain yang berasal dari luar kota hadir ke sini. Ke depannya optimis akan terus meningkat dan memberikan dampak positif bagi Yogyakarta dan komunitas startup di dalamnya,” ujar Ketua Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Saga Iqranegara.

Selama ini pemain bisnis banyak yang meyakini bahwa Yogyakarta menjadi salah satu sumber talenta berkualitas. Tak salah anggapan tersebut, adanya 121 kampus di dalam provinsi tersebut memang menyumbang salah satu angka lulusan terbanyak. Dari pantauan Jogja Start-Up dapat dipetakan talenta yang mendukung bisnis digital sebagai berikut:

Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up
Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Diprediksikan masih akan banyak startup luar yang bersinggah di Yogyakarta

Menilik data temuan di atas, Akbar Faisal salah satu inisiator dari Jogja Start-Up memprediksikan bahwa tren ke depan justru yang akan meningkat ialah jumlah startup dari luar kota yang meramaikan lanskap bisnis di sana. Faktor yang mendorong adalah melimpahnya SDM yang dapat dijangkau oleh bisnis, ditambah dengan “biaya hidup” yang relatif lebih efisien.

Kendati demikian diyakini bahwa hal tersebut akan berimbang dengan peningkatan kualitas talenta dari Yogyakarta yang siap terjun di dunia startup, seiring dengan awareness kampus-kampus tentang bisnis digital yang kian matang.

“Stok talenta akan semakin melimpah jika melihat dari kesiapan kampus saat ini. Beberapa kampus besar seperti UGM hingga AMIKOM bahkan telah memiliki strategi khusus untuk membina talenta dari dalam, salah satunya dengan memiliki pusat pengembangan bisnis digital di lingkungan internal kampus,” ujar Akbar.

Hal lain yang menjadi temuan menarik dari survei adalah tentang tingkatan bisnis digital di Yogyakarta. Temuan survei menyatakan bahwa mayoritas (69%) startup dijalankan menggunakan pendanaan sendiri, mirisnya masih banyak (48%) yang belum berlegalitas dalam bentuk badan usaha. Hal ini bisa jadi berhubungan dengan temuan sebelumnya, masih banyak startup yang dijalankan secara perorangan.

Tentang tingkatan bisnis digital yang ada di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Tentang upah kerja bisnis digital di Yogyakarta

Apa yang dikatakan oleh Akbar sebelumnya mungkin mengacu pada temuan berikutnya, yakni tentang rate gaji yang diberikan oleh startup untuk para talentanya. UMR yang masih cukup kecil jika dibanding dengan kota besar lain memang membawa tren standar gaji yang lebih minimalis. Kendati demikian diyakini, persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik yang ada saat ini akan terus mendongkrak angka tersebut.

Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up
Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up

Pada dasarnya startup di Yogyakarta makin kompetitif. Tantangannya bisnis lokal tidak hanya harus bekerja keras memperjuangkan potensi pasar (khususnya millennials) yang melimpah, melainkan harus berkompetisi dengan kompetitor dari luar.

HANDL Beri Kemudahan Layanan Manajemen Registrasi Acara

Ada berbagai platform yang mengusung kemudahan manajemen acara, beberapa nama yang sering terdengar di antaranya adalah Eventbrite dan Meetup. Keduanya adalah pemain besar dan bukan dari lokal, namun kini dengan mengusung semangat yang sama dan pendekatan yang berbeda, hadir platform buatan anak Yogyakarta yakni HANDL. Platform ini sudah hadir sejak awal tahun lalu.

HANDL adalah platform manajemen acara khususnya untuk bagian registrasi. Peserta dapat langsung melakukan registrasi secara online dan data akan terekap dalam basis data penyelenggara. Selain itu, penyelenggara dapat mengawasi aliran pemasukan pembayaran tiket mulai dari pendaftaran hingga pencairannya setiap waktunya.

Co-Founder HANDL Fahmi Ardhianto menceritakan platform ini didirikan untuk membantu event organizer (EO) dalam menjalani pekerjaan, sehingga mereka dapat fokus pada membuat konsep acara yang lebih penting. Waktu mereka pun jadi tidak terbuang karena harus mengerjakan pekerjaan yang repetitif seperti mengirim email pengumuman atau mengonfirmasi pembayaran pendaftaran peserta.

HANDL, sambungnya, juga mendukung alternatif pembayaran yang variatif mulai dari transfer bank, kartu kredit, dan offline melalui mini market. Ini diharapkan dapat memudahkan konsumen Indonesia.

Saat ini, HANDL baru menyasar pengguna di kalangan anak muda, terutama mahasiswa yang notabenenya aktif mengadakan berbagai macam acara di kampusnya. Dalam rekam jejaknya, HANDL telah melayani registrasi peserta dengan jumlah kurang lebih 2 ribu orang dari sekitar 60 acara.

“Kami memiliki visi menjadi perusahaan SaaS. Service yang kami tawarkan diharapkan mampu membantu EO menjalani pekerjaannya sehingga energi mereka bisa terfokus membuat konsep acara yang memberikan dampak besar [..],” terangya kepada DailySocial.

Rencananya setelah menyasar mahasiswa, HANDL akan memperluas cakupan penggunanya untuk kalangan profesional EO. Daerah sasarannya pun akan bertambah ke beberapa kota besar di Indonesia. Selain itu, pihaknya juga akan merilis fitur baru untuk mendukung visi HANDL, yakni fitur chat demi memudahkan komunikasi antara EO dengan para peserta.

Sempat pivot menjadi portal informasi acara

Fahmi bercerita, sebelum HANDL menemukan model bisnis idealnya, sempat melakukan pivot dengan nama startup Simpleve, sebuah portal informasi acara pada pertengahan 2015. Namun setelah enam bulan berjalan, pihaknya menyadari apa yang dibuat bukan solusi yang dibutuhkan.

Dengan model bisnis demikian, ia juga kesulitan menemukan model bisnis yang bagus selain mencari uang dari iklan. Akibatnya ia memutuskan untuk pivot sedikit dengan membuat tools yang membantu EO mengatasi masalahnya.

“Saat ini masalah utama yang coba kami selesaikan adalah proses verifikasi peserta acara yang cukup makan waktu dan memakan antrean panjang. Dengan fitur registrasi peserta dan verifikasi dengan aplikasi, EO jadi lebih cepat mencocokkan tiket peserta dengan data mereka.”

Dia melanjutkan, “Januari 2016, kami mulai melayani pengguna namun masih menggunakan nama Simpleve. Baru pada Juni 2016, setelah mengikuti acara GBG BrandFormer, kami coba perbaiki brand dan mengubahnya jadi HANDL.”

Tim HANDL saat ini terdiri dari lima orang, termasuk Fahmi sendiri. Tim juga tergabung menjadi program inkubasi di bawah naungan PT Gama Inovasi Berdikari.