Country Leader AWS Indonesia Bicara Kedaulatan Data Hingga Investasi di Tanah Air

Perkembangan layanan digital tak bisa lepas dari layanan pendukung seperti teknologi cloud. Amazon Web Services (AWS) sebagai salah satu penyedia jasa komputasi awan (cloud computing) di Indonesia kepada DailySocial menjelaskan tentang lanskap bisnis cloud di Indonesia dan tantangan yang mereka hadapi.

Layanan cloud sejatinya sudah populer semenjak bisnis konvensional bergeser ke arah digital. Namun, karena beberapa alasan, adopsi teknologi cloud berjalan lebih lambat di Indonesia. Country Leader AWS Indonesia Gunawan Susanto mengatakan, salah satu sebabnya adalah pemahaman pelaku bisnis mengenai pentingnya teknologi public cloud relatif masih rendah.

Menurut Gunawan, hal itu bisa dilihat dari cara penyedia layanan digital melihat definisi cloud computing itu sendiri. Tak sedikit yang menilai bahwa memakai infrastruktur cloud harus bayar di depan dengan minimal kontrak sekian tahun yang kalau dilanggar dapat terkena penalti.

“Kalau cloud computing by definition harusnya enggak begitu. Seharusnya mereka pakai ya bayar, enggak pakai ya enggak bayar [pay as you go],” ujar Gunawan.

Faktor lain yang menjadi kendala adalah kualitas sumber daya manusia yang belum memenuhi tuntutan pasar. Gunawan memandang rendahnya penyebaran pengetahuan teknologi informasi, khususnya soal cloud, berpengaruh terhadap pemahaman publik akan pentingnya layanan ini.

Investasi AWS untuk ekosistem digital

Menghadapi berbagai macam tantangan tersebut, AWS berinvestasi dalam berbagai bentuk. Sejumlah investasi itu di antaranya adalah program AWS Training Certification sebagai pelatihan digital gratis untuk pekerja IT meliputi machine learning, artificial intelligence, hingga analisis big data; AWS Educate sebagai pelatihan cloud computing di institusi pendidikan; dan AWS Activate sebagai tempat konsultasi bagi engineer startup di Tanah Air.

Gunawan menyebut pelatihan tersebut dibutuhkan guna pemerataan kemampuan SDM terutama mengenai komputasi awan. Kendati begitu, ia mengaku investasi itu belum cukup sehingga butuh komitmen lebih panjang.

“Apakah cukup? Belum, kami mau lebih banyak lagi. Kami juga ikut program Bekraf sebagai pembicara di developer day, memberi materi khusus, bersama ITB membuat training, hackathon, dan kerja sama dengan local partner dan komunitas untuk memperluas skill cloud lebih banyak lagi,” imbuh Gunawan.

Di aspek lain, AWS mempertegas komitmen investasi mereka dalam membangun infrastruktur komputasi awan di Indonesia. Gunawan menjelaskan pihaknya segera memiliki Region di Indonesia yang terdiri dari 3 Availability Zones.

Perlu diketahui sebelumnya, Amazon menjanjikan investasi sebesar $1 miliar atau sekitar Rp14 triliun pada September 2018. Komitmen investasi untuk 10 tahun ke depan itu disampaikan perwakilan Amazon ketika mengunjungi Presiden Joko Widodo.

Data center lokal akhir 2021

Sebagai penyedia layanan komputasi awan, tingkat keamanan jadi salah satu perhatian utama. Gunawan menegaskan bahwa pihaknya banyak berinvestasi membangun sistem agar data yang disimpan oleh pelanggan aman. Rencananya data center di dalam negeri ditargetkan beroperasi pada akhir 2021 atau awal 2022.

Pentingnya data center di dalam negeri ditengarai jadi salah satu faktor sejumlah entitas bisnis ragu untuk berpindah ke layanan public cloud. Dengan berada di dalam negeri, mereka merasa datanya lebih terjamin berkat perlindungan regulasi pemerintah.

“Prinsipnya kami selalu berdialog untuk comply semua peraturan di tiap negara. Jadi kami akan selalu membantu customer kami untuk comply mengenai apa pun regulasi yang berlaku di setiap negara. Toh dengan nanti AWS punya data center di Indonesia, harusnya bisa mempermudah customer–customer terutama di industri yang regulasinya ketat,” tutur Gunawan.

Sebagai informasi, Pemerintah menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Kabar terakhir menyebutkan revisi PP PSTE sudah ditandatangani presiden. Ada satu pasal yang memperbolehkan penyimpanan data di luar wilayah Indonesia.

Gandeng Alipay, Bank Mandiri Ajukan Izin “Cross Border E-Wallet” ke Bank Indonesia

Bank Mandiri diketahui sedang mengajukan izin sebagai penyelenggara dompet elektronik lintas negara (cross border e-wallet) ke Bank Indonesia. Pihaknya menggandeng Alipay yang disebut raksasa finansial digital Tiongkok Ant Financial.

“Untuk Alipay saat ini masih pembicaraan, nanti kami akan menjadi acquirer, sedangkan Alipay akan jadi issuer. Saat ini kami juga sedang mengajukan izin cross border e-wallet ke Bank Indonesia,” ucap SEVP Consumer and Transaction Bank Mandiri Jasmin seperti dikutip dari Kontan.

Menurut Jasmin, kerja sama dengan Alipay ini adalah wujud implementasi Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Indonesia Standard (QRIS).

Di samping itu, kerja sama ini sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang mewajibkan setiap prinsipal menggandeng Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 atau bank dengan modal inti minimal Rp30 triliun.

Dalam aturan ini, BI mewajibkan prinsipal asing menempatkan dana float minimal 30 persen berbentuk kas atau giro di BUKU 4 dan maksimal 70 persen dana floating pada instrumen keuangan yang diterbitkan pemerintah.

Besarnya arus kedatangan turis asal Tiongkok jadi penyebab getolnya Alipay dan WeChat Pay menghadirkan layanannya di Indonesia. Pada akhir 2018, kunjungan pelancong asal Tirai Bambu ke Indonesia tercatat sudah naik 275 persen dalam lima tahun terakhir. Tak heran jika Menteri Pariwisata Arief Yahya menargetkan tahun ini dapat menarik 3,5 juta turis Tiongkok. Pihak Bank Mandiri membenarkan kerja sama ini bertujuan mempermudah transaksi turis tersebut.

“Benar, salah satunya untuk turis,” ucap Corporate Secretary Mandiri Rohan Hafas kepada Dailysocial.

Raksasa fintech asal Tiongkok, Alipay dan WeChat Pay, diketahui sudah mengincar kerja sama dengan bank-bank besar di Indonesia sejak akhir tahun lalu. CIMB Niaga sendiri diketahui juga telah mengajukan izin bermitra dengan Alipay pada awal tahun ini.

Boku Partners with GoPay as a Payment Option at Global Services in Indonesia

Boku mobile payment platform partners with GoPay. The agreement creates an opportunity for its global partners in Indonesia to use GoPay as the digital payment option.

The company based in London, England, plays the role as a payment solution that connects 170 operators worldwide to its global partners, such as Apple, Facebook, Google, Microsoft, Netflix, Spotify, and Paypal.

“Our mission is to create seamless transactions and partnering with GoPay is a big step to achieve the goal,” Boku’s CEO, Jon Prideaux said.

GoPay is one of the leading players in the digital payment in Indonesia. Google, one of Gojek’s investors, has put GoPay as one of its payment options in late July 2019.

Aside from its own app, GoPay (with Dana) will be available through Samsung Pay.

“With Boku’s global merchants network, we can help Indonesian traditional consumers to participate in the digital economy worldwide,” Gopay’s SVP Digital Product, Timothius Martin said.

This maneuver makes sense due to Indonesia’s e-wallet market has been rapidly growing. Redseer‘s report projected the market to grow up to US$25 billion or Rp354 trillion by 2025, multiple times over US$1.5 billion equivalent to Rp21.2 trillion in 2018.

“We aim to continue the collaboration with GoPay to introduce non-cash payment to more users and more acquisitions of Indonesia’s global partner users,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Boku Gandeng GoPay untuk Opsi Pembayaran Layanan Global di Indonesia

Platform pembayaran mobile Boku menggandeng GoPay dalam sebuah kesepakatan kerja sama. Kesepakatan ini membuka pintu bagi mitra global Boku di Indonesia menggunakan GoPay sebagai opsi pembayaran digital.

Boku adalah perusahaan asal London, Inggris, yang bergerak sebagai solusi pembayaran yang menghubungkan 170 operator seluler di seluruh dunia dengan mitra global seperti Apple, Facebook, Google, Microsoft, Netflix, Spotify, hingga Paypal.

“Misi Boku adalah menciptakan transaksi lebih sederhana dan kemitraan dengan GoPay ini merupakan langkah besar mewujudkan misi itu,” ujar CEO Boku Jon Prideaux.

GoPay sendiri adalah salah satu pembayaran digital paling populer di Indonesia. Sebelumnya di akhir Juli 2019, Google, salah satu investor Gojek, telah memasukkan GoPay sebagai salah satu metode pembayaran yang didukungnya.

Tak cukup melalui aplikasinya sendiri, GoPay (bersama Dana) akan dapat digunakan melalui Samsung Pay.

“Dengan jaringan merchant global dari Boku, kami dapat segera membantu konsumen tradisional Indonesia berpartisipasi dalam ekonomi digital dunia,” ucap SVP Digital Product GoPay Timothius Martin.

Manuver Boku ini dapat dipahami karena pasar dompet elektronik di Indonesia tumbuh dengan cepat. Laporan Redseer memperkirakan pasar itu akan tumbuh hingga US$25 miliar atau Rp354 triliun pada 2025 nanti, naik berkali-kali lipat dari US$1,5 miliar atau Rp21,2 triliun pada 2018.

“Kami berharap melanjutkan kolaborasi dengan GoPay untuk menghadirkan pembayaran nontunai ke lebih banyak pengguna dan menambah akuisisi pengguna bisnis global yang beroperasi di Indonesia,” tutup Prideaux.

Application Information Will Show Up Here

WhatsApp Masih Berunding untuk Luncurkan Fitur Pembayaran di Indonesia

Perwakilan WhatsApp mengonfirmasi mereka segera menghadirkan fitur pembayaran di Indonesia. WhatsApp menekankan pihaknya masih dalam tahap pembicaraan dengan calon mitra penyedia pembayaran elektronik.

“Saya belum bisa kasih detailnya karena saat ini masih dalam tahap perundingan dengan beberapa partner di Indonesia. Tapi menurut saya, membawa fitur payment ke Indonesia, seperti Mark Zuckerberg katakan pada April lalu di Menlo Park, payment adalah fitur yang penting dan Indonesia merupakan negara penting bagi kami,” ujar Director of Commuications WhatsApp Sravanthi.

Rencana WhatsApp menghadirkan fitur pembayaran di Indonesia sudah terdengar ke publik sejak dua bulan lalu dalam laporan Reuters. Gojek, Ovo, Dana, dan Bank Mandiri disebut sebagai calon mitra WhatsApp dalam mewujudkan fitur tersebut.

Sravanthi menuturkan, tantangan dalam sektor pembayaran adalah menciptakan platform yang simpel dan juga mampu beroperasi di tempat-tempat yang infrastruktur komunikasinya belum kuat. Lebih dari itu, ia menolak menjabarkan lebih jauh.

“Tapi untuk Indonesia, payment sangat penting bagi kami dan kami berharap bisa segera meluncur,” imbuh Sravanthi.

WhatsApp sebelumnya sudah melucurkan fitur pembayaran di India. Dalam kurun sekitar setahun melakukan uji coba, mereka mengklaim sudah ada 1 juta pengguna versi beta fitur pembayaran WhatsApp.

Selain pembayaran, WhatsApp berencana segera meluncurkan fitur katalog produk di Indonesia. Fitur baru ini sebenarnya sudah bisa diakses dalam versi beta WhatsApp Business sejak beberapa pekan lalu. Sravanthi mengatakan peluncurannya akan terjadi dalam waktu dekat.

“Sudah diuji coba beta di Indonesia sejak beberapa minggu lalu dan akan dirilis secara global beberapa minggu lagi,” pungkas Sravanthi.

WhatsApp sendiri adalah salah satu aplikasi messenger terpopuler di dunia dengan pengguna 1,5 miliar dan Indonesia jadi salah satu negara terbesar pengguna mereka. Untuk WhatsApp Business sendiri, mereka menyebut Indonesia masuk sebagai lima besar pengguna di seluruh dunia dengan total 5 juta pengguna.

Andhika Mahardika, salah satu pengusaha pengguna WhatsApp Business, menilai fitur pembayaran akan memudahkan orang-orang seperti dirinya dalam bertransaksi dengan pengguna. “Dari sudut pandang konsumen dan pebisnis tentu akan memudahkan dan saya setuju akan fitur tersebut,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Antisipasi Jika Perusahaan Digital Kolaps

Tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut Gojek sebagai salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dengan valuasi yang disebut lebih dari $10 miliar atau mendekati Rp150 triliun, startup yang khas dengan warna hijaunya itu bernilai belasan kali lipat dari kapitalisasi pasar riil maskapai milik BUMN, Garuda Indonesia, yang hanya sekitar Rp11 triliun.

Yang patut diapresiasi dari Gojek dan startup digital lain adalah kecepatan mereka tumbuh. Berdiri sejak 2010, Gojek berkembang sebagai startup yang punya pengaruh besar di perekonomian dalam negeri.

Daya tawar Gojek terhadap perekenomian negara dapat dilihat ketika Presiden Joko Widodo menegur Menteri Perhubungan (waktu itu) Ignasius Jonan pada 2015 karena pembantunya itu berupaya melarang penggunaan kendaraan roda dua sebagai angkutan publik. Kala itu Jonan beralasan keberadaan ojek online menyalahi Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Setelah kejadian itu, ojek online terus beroperasi hingga sekarang dan menjadi simbol disrupsi bisnis digital di Indonesia, walaupun eksistensinya belum memiliki dasar hukum.

Kejadian itu menjadi contoh bagaimana negara membutuhkan perusahaan teknologi dalam menjalankan roda perekonomiannya.

Dalam konteks mobilitas masyarakat, kemunculan layanan transportasi online membantu banyak orang terlebih bagi negara dengan kualitas transportasi publik yang masih rendah.

Di sisi lain, layanan tranportasi online bukannya tanpa imbas negatif. Dari sejumlah aspek, transportasi online yang bermitra dengan jutaan pengemudi membawa masalah baru.

Kita bisa mengambil contoh dari situasi transportasi di Jakarta. Jumlah sepeda motor, armada terbesar dari transportasi oline, yang beredar di Jakarta mencapai 20 juta. Angka itu berbanding lurus dengan sumbangan polusi sepeda motor yang mencapai 44,53 persen.

Masalah lain yang muncul dari ojek online adalah antrean kendaraan di beberapa titik yang ramai penumpang sehingga menimbulkan kemacetan baru. Kemacetan semacam ini kerap terjadi di wilayah perkantoran dan stasiun kereta. Perkara disiplin berkendara di jalan raya seperti melawan arah, melintasi trotoar, hingga menggunakan ponsel saat berkendara juga jadi pemandangan umum yang dapat ditemui dari perilaku ojek online.

Pemerintah bukannya membiarkan semua hal itu terjadi. Untuk mencegah kemacetan di sekitar stasiun kereta misalnya, pemerintah dan pihak stasiun bekerja sama dengan aplikator untuk membangun shelter khusus untuk mengangkut penumpang seperti yang ada di Stasiun Sudirman dan Stasiun Depok Baru.

Gojek sudah jauh lebih besar dari empat tahun lalu. Ia sudah menjelma sebagai raksasa teknologi di Indonesia. Gojek saat ini sudah beroperasi di 207 kota di Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina. Mereka punya 2 juta pengemudi, 400.000 merchant, 60.000 penyedia jasa di kelima negara tadi. Adapun aplikasi mereka sudah diunduh 155 juta kali.

Angka-angka itu tentu tak bisa dianggap remeh. Pemerintah menyebut transporasi online berkontribusi menurunkan jumlah pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 mencatat pekerja di sektor transportasi bertambah 500 ribu. Sementara Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) dalam risetnya mengatakan bisnis Gojek berkontribusi Rp44,2 triliun ke perekonomian Indonesia sepanjang tahun lalu.

Angka tersebut akan terus membesar seiring ekspansi layanan dari Gojek yang kini menyediakan banyak jenis layanan dan produk atau bisa disebut super app. Jangan lupa juga masih ada Grab sebagai kompetitor Gojek yang punya kontribusi ekonomi serupa. Terlebih Softbank, investor utama Grab, belum lama ini berkomitmen menambah investasinya di Indonesia.

Ekonomi global yang mengalami tren perlambatan menyisakan ruang yang kecil bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan kesalahan. Itu artinya menjaga dan merawat ekonomi baru, seperti yang dimotori layanan transportasi online, menjadi “kewajiban” pemerintah.

Perlu ada langkah antisipasi dari pemerintah

Apa yang akan terjadi jika Gojek (atau Grab) tiba-tiba mengalami kegagalan? Apakah pemerintah sanggup untuk “menalanginya” seperti ketika tahun 1998 di perbankan nasional? Akan jadi pukulan yang berat bagi perekonomian negara jika jutaan pengemudi dan UMKM yang tergabung dalam ekosistem aplikasi ojek online berhenti beroperasi.

Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menjawab tantangan tersebut memang ada. Meski kemungkinan kolaps raksasa digital macam Gojek sangat kecil, Yose memandang perlu ada langkah antisipasi dari pemerintah untuk membuat jaring pengaman bagi para mitra kerjanya.

Dengan mengambil contoh ojek online, Yose mengetengahkan fakta bahwa mitra pengemudi adalah pekerja informal. Karena sistem kemitraan tentu ada beberapa hak yang tak akan didapatkan pengemudi ojek online sebagaimana pekerja formal dapatkan seperti hak pesangon ketika diberhentikan. Itu sebabnya Yose menilai pemerintah berkewajiban melakukan antisipasi bagi pengemudi jika kondisi ekonomi perusahaan memburuk.

“Saya pikir untuk hal ini Indonesia sudah maju lebih selangkah dengan BPJS Kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan, itu yang mesti diperkuat. Juga bagaimana memperkuat ketika masa transisi, maksudnya kalau pekerja ojek kan pasti enggak mau terus-terusan jadi mitra ojol, mereka harus mau meningkatkan keterampilan dan pemerintah perlu memfasilitasi itu,” terang Yose.

Sebagai tambahan, pemerintah dinilai berkewajiban memelihara iklim kompetisi yang sehat. Hal itu diperlukan untuk menanggulangi salah satu pelaku bisnis kolaps. Ini dapat dilihat ketika Gojek dan Grab menyerap para pengemudi ojol dari Uber ketika mereka memutuskan menutup bisnisnya di sini.

Yose menyimpulkan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi raksasa digital yang akan kolaps tak bisa seperti terhadap perbankan. Dalam perbankan pemerintah memang bisa mengucurkan bailout untuk menghindari kegagalan sistemik. Namun untuk skenario ini, Yose meyakini kebijakan yang sama bisa dipakai.

“Saya kira enggak perlu. Padahal yang perlu dibantu itu mitranya, seperti GoRide, GoFood, dan lainnya. Jadi fokusnya ke sana, bukan ke startupnya. Mereka [perusahaan] ini kan menghubungkan, jadi yang diberi jaring pengaman seharusnya yang di sekitarnya para mitra itu, bukan startupnya,” pungkas Yose.

Mengenal Verikool, Startup yang Lebih dari Sekadar “Marketplace Influencer”

Suka tidak suka keberadaan influencer media sosial sudah mengubah cukup banyak industri periklanan. Kendati begitu, masih banyak kendala yang perlu diatasi dari alternatif baru tersebut, semisal kemudahan mencari influencer, isu follower palsu, hingga efektivitas jasa influencer terhadap penjualan produk.

Masalah-masalah tersebut menjadi alasan kemunculan startup bernama Verikool. Founder & CEO Verikool Daniel Dewa menjelaskan bahwa startup yang ia dirikan itu bukan hanya sekadar marketplace influencer, tapi lebih sebagai perusahaan analitik.

“[Marketplace] sudah banyak banget. Kita tahu yang bikin seseorang memilih influencer bukan dari marketplace, mereka pakai influencer karena mereka terkenal. Jadi percuma kalau kita mengarah ke marketplace, nanti yang cari akan klien-klien kecil saja,” ujar Daniel kepada DailySocial.

Seperti yang Daniel katakan, marketplace untuk influencer memang sudah ada beberapa di Indonesia. Mereka di antaranya adalah SociaBuzz, IconReel, dan Allstars. Verikool ingin lebih dari sekadar marketplace yakni dengan menjadi perusahaan analitik yang memudahkan korporasi dan UKM beriklan melalui influencer.

Cara kerja Verikool cukup sederhana. Pada dasarnya mereka punya dua platform, endorse influencer dan analitik. Perusahaan atau UKM dapat memilih influencer yang relevan dengan kebutuhannya, melakukan pembayaran, hingga melakukan revisi.

Verikool juga dapat memberikan insight seperti follower asli dan palsu, tingkat engagement sebuah posting, berapa banyak klik ke situs perusahaan, email, chat, pola caption, dan banyak lagi. Bahkan algoritma Verikool memungkinkan melihat pose serta bahasa selebgram yang paling banyak menarik perhatian audiens. Biaya yang dikenakan bersifat flat untuk setiap transaksi sebesar Rp20.000.

Bedanya, UKM yang ingin melakukan endorse di Verikool harus bayar di muka, sementara korporasi dapat bayar setelah pemakaian jasa. Pihak influencer pun baru akan mendapatkan uangnya ketika mereka menyelesaikan tugas dari klien.

“Biasanya kalau ke agency kita bayar 5-20 persen dari harga influencer. Di kita mau harga influencer Rp1 miliar tetap aja Rp20.000,” ucap Daniel.

Sementara monetisasi dilakukan Verikool dengan cara menarik ongkos Rp100.000 per akun dari korporasi yang sudah jadi klien mereka. Dari ini saja Daniel mengaku pihaknya mendapat puluhan juta tiap bulan sehingga saat ini perusahaan sudah profit.

Sedangkan untuk pendanaan, Verikool berada di tahap pre-seed dengan total uang yang sudah dikantongi sebesar US$750.000, salah satunya dari Alpha JWC Ventures. Namun Daniel mengaku pengumpulan dana mereka hanya akan di fase seed dengan alasan sudah nyaman dengan kondisi saat ini.

“Segede-gedenya yang kita terima paling dari Alpha, kita enggak mau dari yang lain. Kita sudah fine kaya gini, sudah bagus bisa sales. Jangan sampai ada investor masuk jadi rusak,” ujar Daniel.

Saat ini sudah ada 1.700 lebih influencer di Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka, termasuk beberapa di antaranya dari Taiwan. Sementara klien mereka sudah terdiri dari 20 korporasi dan 214 UKM.

Pada November nanti mereka berencana memperluas jangkauan layanan mereka hingga ke Thailand, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Alhasil nanti perusahaan di keempat negara itu dapat memakai jasa influencer lokal saat ingin mempromosikan produknya di Indonesia. Dan sebaliknya, pengiklan dari Indonesia dapat memakai jasa influencer keempat negara tadi untuk beriklan di sana.

Di samping itu meskipun saat ini hanya mengandalkan influencer di Instagram, tak lama lagi Verikool menyediakan jasa influencer di Youtube dan Twitter.

Tips Gojek Bagi Startup yang Ingin Menggunakan “Machine Learning”

Kemajuan teknologi menjadi kunci cepatnya pertumbuhan ekonomi digital. Untuk hal ini machine learning bertanggung jawab menyebabkan banyak aspek dalam bisnis digital bisa melesat cepat.

Gojek adalah contoh startup yang mengimplementasikan machine learning ke dalam sistem mereka. Teknologi tersebut begitu penting sehingga memungkinkan jutaan transaksi terjadi antara jutaan pihak, mulai dari pelanggan, pengemudi, merchant, hingga berbagai penyedia jasa lainnya. Tarif GoRide, ketersediaan pengemudi, rekomendasi makanan di GoFood, adalah contoh buah pemikiran machine learning.

“Tanpa teknologi itu mungkin sepuluh tahun lagi kita baru sampai di titik ini,” ucap VP Research Gojek Group Ramda Yanurzha.

Ramda yang kesehariannya bergelut dengan data di Gojek menekankan pentingya machine learning bagi perusahaan teknologi. Namun sebelum mengaplikasikan machine learning, Ramda menilai ada sejumlah kondisi yang dipenuhi.

Pertama, startup atau pihak yang ingin melibatkan machine learning dalam sistemnya harus siap bereksperimen. Pekerjaan machine learning adalah mengotomasi proses dari data yang ada, mengolahnya hingga memperoleh hasil terbaik dapat tampil di produk atau solusi yang dihadirkan ke konsumen.

“Harus ada mindset siap eksperimen. Gagal, mencoba lagi, gagal, coba lagi, sampai berhasil. Machine learning ini bisa membuat proses itu lebih mudah,” imbuh Ramda.

Poin kedua dan yang terpenting menurut Ramda adalah fokus bisnis yang jelas. Machine learning sejatinya adalah alat. Tanpa masalah yang jelas, tujuan pemakaian yang detail, machine learning dianggap tak akan efektif.

“Jadi kalau mereka punya mindset growth dan siap menuju target growth, punya fokus bisnis yang jelas, itu suasana yang cukup kondusif untuk mengaplikasikan machine learning,” pungkasnya.

Di kesempatan terpisah, Co-Founder Gojek, Kevin Aluwi menambahkan ada dua poin penting yang perlu diperhatikan saat mengimplementasikan machine learning yakni jumlah data dan algoritma.

Jumlah data bisa begitu berpengaruh dalam kepintaran machine learning. Semakin banyak dan sulit masalah yang harus dikerjakan sang mesin, semakin akurat pula insight yang dihasilkan olehnya.

“Selanjutnya algoritma perhitungan akan semakin terlatih dengan meningkatnya volume dan kompleksitas data yang masuk,” ucap Kevin.

Kendati manfaatnya yang begitu besar, masih ada pihak-pihak yang sungkan memakai machine learning ke dalam sistem mereka. Salah satu kendala yang membuat orang ragu memakainya adalah jumlah analis data yang masih minim di Indonesia. Sekalipun ada, kerap kali startup harus merogoh kocek yang dalam untuk memperkerjakan mereka.

Hal ini bisa diukur dari besarnya kebutuhan perusahaan-perusahaan teknologi. Gojek misalnya harus jauh-jauh membuka kantor di Bengaluru, India, guna memperkuat teknologi platform mereka.

Lima Startup Terpilih di Gelombang Pertama Gojek Xcelerate

Sebanyak lima startup tampil dalam demo day program Gojek Xcelerate. Mereka adalah Qlue, Travelio, Peto, Izy.ai, dan Crewdible.

Startup tersebut punya latar belakang industri yang berbeda-beda. Crewdible misalnya bergerak di bidang pergudangan logistik, Izy di industri perhotelan, Peto di perawatan hewan peliharaan, Travelio di pemesanan akomodasi, dan Qlue di solusi smart city.

Rencananya program ini akan berjalan hingga Maret 2020 dengan target 20 startup terpilih dalam lima gelombang. Digitaraya, Google Developers Launchpad, McKinsey & Co., dan UBS menjadi mitra Gojek dalam program ini.

VP Public Affairs Gojek Siti Astrid Kusumawardhani menjelaskan, kelima startup itu terpilih dari 1.050 pendaftar dalam gelombang pertama program Gojek Xcelerate. Astrid menuturkan startup-startup tersebut dipilih karena dianggap akan makin kuat dengan implementasi machine learning.

“Mereka paling berpotensi tumbuh cepat dengan machine learning dan menciptakan sosial serta memecahkan masalah yang nyata di masyarakat seperti halnya Gojek,” kata Astrid.

Hadiah yang bakal diterima lima startup tersebut dari program ini bukan dalam bentuk pendanaan. Astrid mengatakan, pihaknya memberikan pengetahuan akan machine learning, akses ke mentor kelas dunia, jejaring komunitas, dan kesempatan bergabung ke platform besar Gojek.

“Itu yang nilainya sangat tinggi khususnya bagi startup-startup early stage dan ada juga kesempatan bergabung ke platform Gojek,” imbuhnya.

Crewdible sebagai peserta dalam program ini mengaku tertarik ikut karena program machine learning yang ditawarkan. Founder Crewdible Dhana Galindra mengaku dalam waktu dekat sulit mengimplementasi machine learning ke dalam sistemnya. Akan tetapi menurutnya penguasaan machine learning menjadi penting ketika kondisi sudah mengharuskan.

“Karena ini tergantung industrinya. Kalau Gojek mungkin lebih kepada volume data yang besar dan real time. Kita volume data besar tapi tidak terlalu real time, dalam arti decision making enggak terlalu real time,” ucap Dhana.

Berbeda dengan Crewdible, Peto dan Izy terang-terangan mengaku alasannya mengikuti program akselerasi ini untuk masuk ke dalam platform besar Gojek. “Betul, ini salah satu tujuan kita ikut,” pungkas CEO Peto Ditya Nandiwardhana.

Bukan Pengganggu, Startup Fintech Menjadi “Enabler” Perkembangan Industri Keuangan

Digital adalah raja lanskap bisnis kekinian. Kita bisa lihat 6 dari 10 perusahaan dengan pertumbuhan tercepat pada tahun ini bergerak di sektor teknologi dan digital.

Kondisi tersebut tentu menyebabkan guncangan yang cukup besar bagi para pemain di segala industri. Kita bisa ambil contoh salah satu disrupsi paling besar yang lahir di era digital adalah Uber. Startup ini menggedor pakem bisnis transportasi sehingga menimbulkan disrupsi besar bagi perusahaan taksi di seluruh dunia.

Co-Founder dan COO Vospay Lina Gejali memiliki perspektif berbeda mengenai disrupsi. Hadir sebagai layanan fintech, Lina mengatakan disrupsi tak melulu harus mengguncang industri. Sebaliknya, inovasi dapat dibuat untuk memperkuat industri yang sudah ada dengan menempatkan diri sebagai enabler dalam industri keuangan.

Berikut adalah tips dari Lina Gejali dalam #SelasaStartup mengenai enabler industri ke ekosistem digital.

1. Inovasi produk. Tentu saja inovasi adalah fondasi terpeting dari perusahaan teknologi seperti Vospay. Lina bercerita pihaknya kini sudah punya berbagai inovasi yang menjembatani perusahaan pembiyaan dengan e-commerce atau layanan digital lain. Menurut Lina, teknologi mereka membantu perusahaan multifinance dalam membuka akses ke konsumen membeli barang atau jasa secara cicilan online.

“Jadi kita serve dua belah pihak dan sekarang ini menurut saya strength kita di sana karena kita enggak disrupsi ke mana-mana, jadi kolaborator saja,” ucap Lina.

2. Hadir sebagai kawan. Tantangan startup seperti Vospay yang menempatkan diri sebagai enabler adalah merebut kepercayaan industri yang dituju. Sehebat-hebatnya inovasi baru yang mereka bawa, Lina menyebut industri pembiayaan memiliki sistem sendiri yang sudah berhasil membuat mereka besar.

Namun seiring tren digital yang terus menguat di segala lini, ada kesempatan sekaligus ancaman bagi industri. Vospay memilih hadir di industri keuangan ini dengan dengan kesadaran tersebut dan memposisikan diri sebagai enabler bagi institusi keuangan yang sudah ada.

“Saya sadar kalau ada orang baru dengan ide baru pasti akan di-challenge, entah itu karyawan atau eksekutif. Jadi yang kita bawa adalah personal approach. Waktu itu Vospay sampai berkantor di seberang kantor partner pertama kita akhirnya mereka melihat kita sebagai perpanjangan untuk ke digital,” tuturnya.

3. Menjaga kepercayaan industri. Muncul sebagai perusahaan enabler digital di tengah industri pembiayaan bukan perkara mudah. Industri keuangan seperti pembiayaan sangat menghargai data. Menjadi hal yang wajar ketika perusahaan-perusahaan itu khawatir jika data mereka bocor ke kompetitor.

Kendati demikian, Lina menilai kekhawatiran itu akan luntur ketika teknologi mereka terbukti ampuh sebagai enabler industri pembiayaan. Ia juga meyakini semakin banyak Vospay menggandeng mitra bisnis, semakin mudah penerimaan pemain lain.

“Itu pasti concern pertama mereka dan itu salah satu yang harus kita yakinkan ke mereka dan kalau saya lihat industri multifinance ini industri yang sudah terbentuk, ketika bisa dapat kepercayaan satu perusahaan otomatis yang lain ikut juga,” imbuh Lina.

Saat ini Vospay sudah bermitra dengan 11 perusahaan multifinance dan puluhan merchant. Mereka di antaranya adalah Adira Finance, BCA Finance, BFI Finance, Blibli, iLotte, Fabelio, hingga Sociolla.

4. Banyak berdiskusi dengan regulator. Bermain di industri keuangan berarti harus siap mematuhi segudang peraturan dari pemerintah. Lina mengaku pihaknya sudah berdiskusi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari jauh-jauh hari agar produk yang mereka luncurkan tak menyalahi aturan apa pun.

Keterbatasan sumber daya juga jadi alasan bagi Lina agar startup fintech aktif berdiskusi ke regulator. “Saya rasa OJK sangat terbuka kok, apalagi dengan banyaknya pemain startup di lapangan OJK mau belajar,” pungkas Lina.