Bagaimana Startup Open Finance Membentuk Masa Depan Pembayaran di Asia Tenggara

Banking the unbanked” telah lama menjadi slogan di sektor tekfin (terjemahan fintech) Asia Tenggara, wilayah yang menampung 290 juta penduduk yang belum jadi bagian dari sistem perbankan konvensional. Alhasil, unicorn teknologi seperti Grab dan GoTo, bersama dengan pengembang tekfin, lembaga keuangan, dan pemerintah daerah mulai mengubah pendekatan dalam menawarkan layanan keuangan.

Produk fintech mulai banyak digunakan dalam dua tahun terakhir. Penggunaan e-wallet melonjak 45% dibandingkan masa pra-pandemi. Menurut laporan dari Google, Temasek, dan Bain & Company, volume transaksi e-wallet diperkirakan akan meningkat lebih dari 200% pada tahun 2025.

Sementara penggunaan uang tunai tidak akan punah dalam waktu dekat, pertumbuhan pesat pembayaran digital kian mendukung perubahan mendasar di kawasan ini. Solusi open finance membawa inklusi keuangan di kawasan ini ke tahap selanjutnya.

Open finance mengacu pada produk dan kebijakan teknologi yang memungkinkan pelanggan mengakses layanan keuangan dari penyedia pihak ketiga yang memenuhi syarat. Infrastruktur, teknologi, dan standar data memungkinkan konsumen menautkan rekening bank mereka ke dompet GrabPay-nya,” ujar Todd Schweitzer, pendiri dan CEO pengembang keuangan terbuka Brankas yang berbasis di Indonesia.

Persetujuan berbagi data mendukung open finance, sehingga perusahaan rintisan seperti Brankas dapat mengembangkan API untuk perusahaan teknologi atau lembaga keuangan dalam mengakses data pengguna, dan yang terpenting, membangun berbagai produk terkait tekfin yang dapat melayani siapa saja, termasuk konsumen unbanked dan underbanked.

Todd Schweitzer, pendiri dan CEO Brankas, pengembang open finance yang berbasis di Indonesia. Dokumentasi oleh Brankas.

Brankas, yang berhasil meraih $20 juta dalam putaran Seri B yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners pada 5 Januari lalu adalah salah satu fintech tahap awal yang memungkinkan kemudahan berbagi data keuangan. Didirikan pada tahun 2016, salah satu proposisi nilai unik dari perusahaan adalah kemitraannya dengan bank di seluruh wilayah.

Menggunakan modal segar yang didapat, perusahaan akan memperluas jangkauan pasarnya dengan menghubungkan bank digital dan perusahaan fintech di Vietnam dan Bangladesh. Sejauh ini, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 40 lembaga keuangan dan 100 perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Perkembangan pesat startup Fintech

Pengembang open finance tahap awal lainnya termasuk Finverse yang berbasis di Hong Kong, Finantier yang berbasis di Singapura, dan Brick yang berbasis di Indonesia. Semuanya didirikan pada tahun 2020, ketika muncul banyak hambatan dalam perekonomian daerah.

“Saat pandemi, saya berdiskusi dengan beberapa driver Gojek di Jakarta. Mereka menceritakan betapa sulitnya mendapatkan pinjaman untuk membeli sepeda motor agar bisa nge-Gojek. Pertanyaan saya adalah mengapa mereka tidak pergi ke bank atau perusahaan tekfin [untuk pinjaman], dan mereka mengatakan bank dan perusahaan tekfin tidak akan membantu mereka, karena mereka tidak memiliki riwayat kredit,” salah satu pendiri Finantier Keng Low mengatakan kepada KrASIA.

Finantier mendapatkan investasi awal tujuh digit yang dipimpin oleh East Ventures dan Global Founders Capital pada Juni 2021. Dokumentasi oleh Finantier.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Finantier menawarkan penilaian kredit, agregasi akun yang memungkinkan bisnis untuk membangun profil pelanggan dari sumber keuangan dan non-keuangan, serta solusi inisiasi pembayaran yang memungkinkan transfer uang melalui gateway pembayaran berlisensi.

Proposisi nilai unik yang digunakan perusahaan untuk membedakan dari pesaing adalah dengan berfokus di luar bank. Pada Desember 2021, Finantier secara resmi diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan Indonesia, OJK, sebagai penyedia inovasi keuangan digital dalam kategori credit scoring.

“Kompetisi adalah sesuatu yang kami pikirkan sejak awal. Dompet elektronik dan bank tidak ingin menjadi penyedia open finance dengan berbagai kerumitannya. Dengan terkoneksi ke telekomunikasi, perusahaan e-commerce, dan dompet digital, kami membedakan diri dari pemain lain,” sebut Low.

Tidak seperti Brankas dan Brick, yang beroperasi di bawah model pembayaran per pakai, Finantier menawarkan konsep product-as-a-service (PaaS), yang menurut salah satu pendiri Finantier Keng Low sebagai keunggulan dibandingkan startup lain di bidangnya. Tidak seperti perusahaan lain di arena yang sama, perusahaan tidak membebankan biaya setup atau menarik pendapatan dari transaksi.

Namun, bagi Gavin Tan, CEO dan Co-Founder Brick, persaingan tidak terlalu menjadi perhatian. “Kita harus menganggap API sebagai infrastruktur modern yang memungkinkan platform tekfin diluncurkan dengan cara yang jauh lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Laju startup fintech telah mencapai 5x lipat dibandingkan tiga tahun lalu, dengan API yang menyediakan infrastruktur,” katanya.

Apakah regulasi berjalan seiring inovasi?

Meski industri tekfin tumbuh subur, regulator belum bisa memproses secara penuh perkembangan baru tersebut. Sejauh ini, hanya Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang telah menerbitkan kerangka kerja open finance yang mendefinisikan inisiatif utama seperti regulasi data dan infrastruktur, menurut laporan Brankas dan Integra Partners.

Brick menerima sejumlah dana seed dengan jumlah yang dirahasiakan pada Maret 2021 dari 1982 Ventures dan Antler. Dokumentasi milik Brick.

“Tantangan paling utama adalah minimnya literasi pasar. Regulator masih mempelajari dan merancang regulasi open finance di negaranya. Namun belum ada regulasi detailnya,” kata Schweitzer.

Di Indonesia, misalnya, Kementerian TI dan DPR sedang dalam diskusi untuk meninjau RUU Perlindungan Data Pribadi, yang diharapkan dapat menentukan hak kepemilikan data di negara tersebut. Namun, belum jelas kapan RUU itu akan disahkan, menurut publikasi lokal Voice of Indonesia.

Meskipun hal ini dimaksudkan untuk pengguna memiliki kendali penuh atas data mereka sendiri di bawah kerangka kerja open finance, lembaga keuangan akan terus mengontrol data keuangan pelanggan, seperti saldo akun, hipotek, dan riwayat kredit. “Secara umum di Asia Tenggara, kita akan melihat bahwa data tidak benar-benar dibagikan dengan cara yang bermanfaat. Data keuangan tidak dibagikan dengan cara yang andal, itu sebabnya orang tidak bisa mendapatkan akses ke layanan keuangan,” tambah Gavin.

Meskipun begitu, pendiri Brankas, Bricks, dan Finantier tetap optimis dengan open finance, dan tengah memperkuat kehadiran di regional. Pasarnya sangat besar—pembayaran digital, termasuk e-wallet dan pembayaran akun-ke-akun, hanya menyumbang 24% dari total volume pembayaran pada tahun 2021, sementara uang tunai digunakan untuk 59% dari total volume tersebut, menurut laporan Google, Temasek, dan Bain & Company.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Indonesia Memberdayakan Proyek Blockchain Selain Perdagangan Kripto

Di Indonesia, tercatat sebanyak 7,4 juta orang telah membeli atau menjual cryptocurrency pada Juli 2021, menurut data Kementerian Perdagangan Indonesia. Sementara blockchain sering dikaitkan dengan aset digital dan produk keuangan, banyak proyek blockchain yang tengah dikembangkan untuk sektor-sektor lain termasuk filantropi, pertanian, permainan, dan karya seni digital.

Sebagian besar startup berbasis blockchain masih dalam tahap awal, tetapi para pendiri percaya bahwa teknologi ini dapat merevolusi operasional bisnis di pasar lainnya. Pengusaha blockchain sering menyoroti sifat teknologi blockchain yang terdesentralisasi serta kapasitasnya untuk mencatat transaksi dan meningkatkan akuntabilitas sebagai dua manfaat yang signifikan. Startup yang muncul juga menggunakan platform blockchain yang berbeda untuk menyesuaikan kebutuhan mereka, seperti Ethereum, Near, dan Binance Smart Chain.

Berikut adalah beberapa contoh proyek blockchain selain dalam hal keuangan dan perdagangan kripto di Indonesia.

Transparansi dalam sektor filantropi

BeKind adalah startup yang memanfaatkan teknologi blockchain untuk manajemen amal. Diluncurkan pada bulan Juni, BeKind ingin menjawab “dua tantangan utama dalam sistem donasi global—akuntabilitas dan keberlanjutan bisnis,” ujar CEO BeKind Fajar Jasmin.

“Para donatur yang menyumbang melalui badan amal tidak tahu persis berapa banyak uang mereka yang masuk ke tangan penerima manfaat (beneficiary). Sementara amal dikelola oleh organisasi nirlaba, banyak dari mereka beroperasi tanpa cadangan uang tunai yang cukup. Maka dari itu, tidak berkelanjutan,” sebut Jasmin kepada KrASIA.

Ide di balik BeKind sangat sederhana. Perusahaan membuat token, K1ND, yang dibangun di atas teknologi Binance Smart Chain. Donatur akan memperoleh K1ND di bursa Tokocrypto juga melalui saluran lain seperti transfer peer-to-peer setelah peluncuran resmi token pada bulan Desember. Para donatur kemudian dapat menyetorkan K1ND mereka ke dompet online organisasi amal dan nirlaba yang terdaftar di platform BeKind. Mereka juga bisa menggunakan token mereka untuk staking di platform BeKind Hub, seperti halnya bunga yang diperoleh di rekening tabungan.

Jasmin menyebutkan sistem ini dapat meningkatkan transparansi karena semua transaksi dicatat di blockchain dan dapat dilihat secara online oleh semua pengguna. Sistem ini juga memungkinkan donatur, badan amal, dan organisasi nirlaba untuk mendapatkan bunga dari staking. Token disetorkan ke akun staking dengan tingkat persentase tahunan tertentu atau persentase hasil tahunan, dan bebas untuk ditarik kapan saja. APY dapat mengalami fluktuasi tergantung pada berapa banyak token yang dipertaruhkan, atau dapat berupa APY tetap, tergantung tata cara pengaturannya oleh platform. Jasmin tidak memberikan rincian jelas.

BeKind adalah proyek donasi berbasis blockchain pertama di Indonesia. Perusahaan saat ini menjual tokennya melalui saluran penjualan pribadi seharga USD 0,17 per token, sementara perkiraan harga listingnya akan menjadi USD 0,24, menurut situs web. BeKind akan secara resmi meluncurkan dan mendaftarkan tokennya di bursa Tokocrypto pada bulan Desember.

Perusahaan juga berencana untuk menerapkan “sistem pelacak dampak” pada blockchain, yang akan memberikan informasi tentang pengembangan proyek yang didanai dengan K1ND. “Ke depannya, kami akan menyediakan dokumentasi dan laporan donasi dampak yang terkait dengan blockchain untuk memastikan transparansi,” ujar Jasmin.

Blockchain di sektor agrikultur

Pengusaha lain melihat kemungkinan digitalisasi sektor konvensional berkat blockchain. Salah satu contohnya adalah Hara, layanan pertukaran data berbasis blockchain untuk sektor pangan dan pertanian.

Hara diluncurkan pada tahun 2015 dengan tujuan untuk menerapkan konsep “pertanian presisi” berkat teknologi seperti sensor jauh. Tujuannya adalah untuk mengelola sektor pertanian agar lebih akurat dan meningkatkan hasil. Namun, startup ini mengalihkan bisnisnya menjadi pengumpulan data pada tahun 2017 setelah mengalami kesulitan dalam mengembangkan model bisnis intinya.

Pendiri Hara, Regi Wahyu dan Imron Zuhri, percaya bahwa data tanaman yang dapat dipertanggungjawabkan akan membantu para pelaku di sektor pertanian. Saat ini, perusahaan mengumpulkan, memverifikasi, dan mencatat data pertanian di atas platform blockchain, termasuk data produksi, proses budidaya, kondisi tanah dan tanaman, serangan hama, dan kepemilikan tanah.

Hara mengumpulkan dan berbagi data tanaman untuk membantu berbagai pelaku di sektor pertanian. Foto oleh Eddie Kopp di Unsplash

“Hara bekerja sama dengan agen yang kami sebut agripreneurs. Mereka memiliki ponsel Android, dan berkat aplikasi kami, mereka dapat bertindak sebagai pengumpul data di komunitas mereka,” ungkap kepala pengembangan bisnis Hara Firnando Sirait kepada KrASIA.

Hara memberi insentif kepada petani, atau “agen lapangan”, untuk menyediakan data dengan menawarkan poin loyalitas yang dapat ditukarkan di platform Hara dengan diskon produk pertanian atau pulsa. Hara kemudian memanfaatkan data tersebut untuk menjalankan beberapa proyek seperti kegiatan crowd planting, dimana petani dapat menggunakan pekarangan atau lahan non produktif untuk bercocok tanam menggunakan polybag. Hara juga memberi para petani prakiraan produksi berdasarkan data yang dikumpulkan. Petani bisa mendapatkan “berbagai jenis dukungan seperti praktik pertanian terbaik, pinjaman usaha, atau akses ke lebih banyak pembeli,” kata Firnando.

Hara juga menjual data yang dikumpulkan ke perusahaan swasta, lembaga pemerintah, dan lembaga keuangan melalui token utilitas yang disebut HART. Token dibuat di atas Ethereum dan diperdagangkan di bursa Indodax.

Menurut Hara, pembeli memanfaatkan data ini untuk meningkatkan pelayanan mereka di sektor agrikultur. Misalnya, lembaga keuangan dapat melakukan penilaian kredit dan profil risiko untuk memberikan kredit mikro kepada petani. Pada saat yang sama, pemerintah daerah dapat membuat keputusan untuk mengatasi masalah pertanian berdasarkan data rinci yang dikumpulkan oleh petani.

Perusahaan saat ini sedang mengerjakan lebih banyak kasus penggunaan untuk teknologi blockchain-nya. Hara juga sedang membangun platform NFT yang akan diluncurkan pada kuartal pertama tahun depan, namun Firnando tidak mengungkapkan detail tentang proyek tersebut.

NFT dan koleksi digital

Karena semakin banyak orang menggunakan teknologi kripto dan blockchain, platform NFT juga menjadi penting bagi kreator dan kolektor seni. Menurut laporan terbaru oleh DappRadar, orang Indonesia hanya mengikuti dunia AS dalam “ketertarikan yang diungkapkan” terhadap teknologi NFT dan pasar NTF. DappRadar adalah toko aplikasi global terkemuka untuk aplikasi terdesentralisasi (dapps) yang digunakan oleh lebih dari 600.000 pengguna bulanan. Perusahaan melacak lebih dari 3.000 dapps di sepuluh blockchain untuk menyajikan laporan tentang tren terkait blockchain.

Meningkatnya minat pengguna di Indonesia pada token yang tidak dapat dipertukarkan (NFT) telah memotivasi berbagai startup untuk ikut serta dalam gelombang NFT. Salah satu contohnya adalah Tokocrypto, yang meluncurkan marketplace NFT, TokoMall, pada bulan September. Platform ini menampung lebih dari 1.403 pedagang dan 1.391 karya seni hanya satu bulan setelah peluncurannya serta berhasil menjual lebih dari 176 NFT, ungkap salah satu pendiri Tokocrypto, Pang Xue Kai kepada KrASIA dalam sebuah sesi wawancara.

TokoMall sudah memiliki lebih dari 8.000 pengguna. Foto dari Tokocrypto.

Startup lain yang sedang naik daun di ruang blockchain adalah Paras, marketplace NFT untuk koleksi digital, termasuk komik, game, dan item kartu seni digital. Startup ini juga mengelola Paras Comic, sebuah layanan pertukaran di mana pengguna dapat membaca, membeli, dan meminjamkan komik NFT yang dapat dikoleksi.

Perusahaan ini beroperasi di ats blockchain Near. “Semua transaksi menggunakan NEAR, token asli platform, tetapi ke depannya kami akan mendukung cryptocurrency lain,” kata pendiri Paras Rahmat Albariqy kepada KrASIA.

Perusahaan baru-baru ini mengumpulkan pendanaan tahap awal sebesar USD 5 juta dari berbagai investor, termasuk Black Dragon Capital, Digital Renaissance Foundation, dan GFS Ventures. Startup disebut akan menggunakan investasi untuk mengembangkan lebih banyak kekayaan intelektual asli kripto yang berfokus pada game dan komik, sebut Rahmat.

“Kami berharap akan lebih banyak lagi proyek NFT baru dari Indonesia sehingga kami dapat menjadi pemimpin regional dalam tiga hingga lima tahun ke depan,” tambahnya.

Ketidakpastian serta tantangan teknologi blockchain

Terlepas dari meningkatnya popularitas cryptocurrency dan aset berbasis blockchain, banyak konsumen masih memiliki sedikit pemahaman dan ragu tentang blockchain dan nilainya. Pengusaha menyadari hal ini, tetapi mereka percaya bahwa potensi manfaatnya lebih besar daripada risiko dan skeptisisme tentang hal ini.

Jasmin, misalnya, mengakui bahwa sifat spekulatif cryptocurrency dapat berdampak pada BeKind dan tokennya di masa depan. “Kami menyadari bahwa mungkin ada orang yang menggunakan token BeKind untuk berdagang guna mendapatkan keuntungan cepat. Kami tidak mempromosikannya, tetapi kami tidak dapat mengontrol cara orang menggunakan token mereka. Ini memang menimbulkan risiko, tetapi kami percaya blockchain adalah teknologi penting yang dapat meningkatkan kehidupan masyarakat,” ungkap Jasmin.

Peretasan data yang belum lama terjadi memengaruhi platform kripto serta pandangan konsumen terhadap blockchain. Firnando dari Hara percaya bahwa ketika industri blockchain matang, pihak berwenang akan membuat peraturan yang lebih kuat, yang akan memotivasi pemain yang relevan untuk menerapkan “sistem yang lebih aman pada platform mereka untuk meningkatkan kepercayaan publik pada blockchain dan crypto.”

Rahmat dari Paras mengungkapka bahwa bakat lokal akan banyak diperlukan untuk sektor ini dapat berkembang. “Blockchain dan kontrak pintar adalah teknologi baru yang akan selalu berkembang, serta proyek berbasis NFT membutuhkan tim teknis yang kuat,” katanya.

Terlepas dari kesulitan, ketiga pendiri optimis tentang masa depan blockchain di negara ini. “Indonesia terbuka terhadap inovasi dan cepat dalam mengadopsi teknologi baru untuk menjawab tantangan di masyarakat. Kami memperkirakan pasar yang berkelanjutan untuk blockchain di sini,” sebut Jasmin.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Para Seniman Digital di Asia Tenggara Membangun Komunitas Online untuk Mendorong Adopsi NFT

Ruanth Chrisley Thyssen terus mengikuti berita setelah mengetahui bahwa kapal selam KRI Nanggala-402 Angkatan Laut Indonesia ditemukan hilang pada pagi hari tanggal 22 April. Perancang suara nominasi Oscar dan BAFTA yang berbasis di Bali ini, yang anggota keluarganya melayani di angkatan laut, kemudian mengetahui bahwa kapal selam itu ditemukan tenggelam dan hancur berkeping-keping membawa 53 awaknya yang dipastikan tewas.

“Saya berempati terhadap seluruh anggota kru,” ucap Thyssen. “Ketika beritanya menyebar di berbagai platform media sosial, saya melihat video di mana seorang anak laki-laki mengamuk untuk mencegah ayah pelautnya berangkat kerja. Video itu sangat menyentuh,” tambahnya.

Insiden itu memotivasi Thyssen untuk membuat karya seni bernilai NFT untuk mengumpulkan dana guna mendukung keluarga yang terkena dampak tragedi itu. Bersama istrinya, Cindy Thyssen, keduanya menciptakan sebuah karya seni bernama 53 Never Forgotten, sebuah loop animasi 53 detik dari kapal selam yang mengambang di antara gelombang animasi, diisi dengan 53 lapisan suara.

Penggalangan dana yang dimulai pada akhir Mei itu terjadi ketika NFT sedang naik daun karena Beeple dengan karyanya Everydays: The First 5,000 Days yang terjual seharga USD 69 juta pada bulan Maret. Karya lainnya, seperti Stay Free, karya aktivis Edward Snowden, terjual seharga USD 5,4 juta pada April. Replikator, karya seniman Mad Dog Jones, terjual seharga USD 4,1 juta di bulan yang sama.

Proyek penggalangan dana NFT Thyssen, bagaimanapun, hanya mengumpulkan sekitar USD 2.000 pada 8 November, jauh dari target minimum USD 3.000. “Penjualan tidak terlalu bagus. Sebagian besar pembeli dan kolektor di ruang NFT berasal dari Barat. Kebanyakan donatur di Asia atau bahkan Indonesia belum masuk ke ruang NFT, dan mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk berkontribusi,” ujar Thyssen.

Meskipun volume perdagangan NFT di seluruh dunia meroket menjadi USD 10,7 miliar pada Q3 tahun ini, menanjak 704% dari kuartal sebelumnya di Asia Tenggara, menurut Thyssen, hambatan bahasa, biaya transaksi yang mahal, serta kurangnya komunitas NFT lokal telah memperlambat adopsi.

Terlepas dari tantangan-tantangannya, seniman lokal melihat NFT sebagai sumber pendapatan baru yang potensial. Beberapa dari mereka, seperti Thyssen, bahkan membuat komunitas online seperti MetaRupa untuk mendorong pendidikan tentang ruang NFT. Diluncurkan pada bulan Juni, platform ini juga berfungsi sebagai ruang pameran NFT. Sejak ditayangkan, ia telah mengumpulkan lebih dari 400 anggota di saluran Discord-nya.

“Masalah terbesar yang dihadapi seniman Asia Tenggara adalah mereka tidak tahu harus memulai dari mana. Sebagian besar informasi dan sumber daya orientasi tidak tersedia dalam bahasa lokal, dan tidak semua orang fasih berbahasa Inggris,” katanya. Anggota MetaRupa membantu orang lain dengan menerjemahkan informasi yang relevan ke dalam bahasa Indonesia, tambah Thyssen.

Karya seni 53 Never Forgotten memberi penghormatan kepada 53 keluarga yang kehilangan orang yang mereka cintai. Dokumentasi Ruanth Thyssen

Mendobrak hambatan

Seniman Malaysia, Munira Hamzah, selalu bersemangat dalam menciptakan seni piksel (pixel art). Dia juga penggemar berat band rock Linkin Park. Pada bulan Februari, Munira terjun ke dunia NFT dengan kreasi bernama Mike Doge Twerke, yang menggambarkan vokalis utama Linkin Park, Mike Shinoda, dan istrinya Anna, menari dengan kostum binatang. Seni ini terinspirasi oleh adegan dari Twitch tentang rekaman kolaboratif Shinoda, “Dropped Frames.” Dia terkejut mengetahui bahwa Shinoda yang sama adalah pembeli pertama karya seninya seharga MYR 7.400 (USD 1.780) segera setelah dirilis.

Saat ia mulai membuat lebih banyak karya berbasis NFT, Munira menyadari bahwa hanya beberapa seniman Malaysia yang hadir di ruang tersebut. “Sebagian besar seniman Malaysia terisolasi. Mereka tidak saling kenal sama sekali,” kata Munira, yang juga dikenal secara online dengan nama Mumu The Stan, kepada KrASIA.

Navigasi pembayaran crypto menjadi salah satu kesulitan signifikan bagi artis baru, belum lagi “gas fee” untuk mencetak NFT, atau pembayaran yang diperlukan sebagai kompensasi energi komputasi untuk membuat blok informasi baru atau kontrak pada blockchain, seperti Ethereum atau Tezos. OpenSea, salah satu pasar NFT paling populer, membebankan gas fee dari artis saat mereka membuat akun baru, ditambah biaya pencetakan atau minting fee yang ditanggung artis atau pembeli, tergantung pada transaksi saat NFT dijual. Biaya pencetakan pada blockchain Ethereum berfluktuasi sesuai dengan penawaran dan permintaan untuk kekuatan pemrosesan, mulai dari USD 10 hingga USD 100. Platform ini juga membebankan 2,5% dari transaksi akhir sebagai biaya layanan.

Untuk mendorong lebih banyak artis terjun ke ruang NFT, pada bulan Maret, Munira mendirikan Malaysia NFT, sebuah komunitas digital yang menghubungkan pembuat konten lokal di media sosial dan Discord. Platform ini membantu seniman lokal dengan menutupi biaya pencetakan NFT pertama mereka di blockchain Tezos, sementara itu juga menjadi tuan rumah “pesta mentor” untuk menghubungkan dan mendidik orang-orang yang ingin membuat karya berbasis NFT pertama mereka. Pembuatan karya seni baru di Tezos Blockchain saat ini berharga sekitar 0,08 tez (XTZ), atau USD 0,50 dengan nilai tukar saat ini. NFT Malaysia mampu menutupi biaya tersebut berkat sumbangan, penggalangan dana, dan penjualan NFT asli, sebut Munira.

Sementara komunitas lokal seperti NFT Malaysia dan MetaRupa telah membantu mendobrak hambatan, membangun komunitas yang solid dan aktif bukanlah proses yang mudah. Clara Che Wei Peh, pendiri NFT Asia, salah satu komunitas terbesar dari jenisnya di wilayah tersebut, mengatakan kepada KrASIA bahwa kelompok tersebut menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengumpulkan anggota dan mengembangkan budaya komunitas.

“Pada awalnya, sangat sulit untuk mencari artis NFT yang berbeda di Asia dan terhubung dengan mereka. Pada bulan Februari, saya merasa bahwa ruang itu sebagian besar terfokus pada Barat,” katanya. “Ketika saya berbicara dengan beberapa seniman, terutama yang berbasis di Singapura, kami menyadari bahwa orang mencari ruang untuk menumbuhkan rasa memiliki. Sebuah komunitas untuk berbagi sumber daya dan pembelajaran, dan untuk tetap berhubungan dengan semua hal yang terjadi. Kami kemudian membuat komunitas itu di Discord.”

NFT Asia telah mengumpulkan lebih dari 2.700 anggota. “Kami selalu mendorong anggota kami untuk menjadikan proyek mereka, menghadiri dan menyelenggarakan berbagai acara, dan terhubung dengan pemain lain. Setiap hari Senin, kami akan menyelenggarakan game night yang tidak harus terkait dengan NFT. Ini hanya untuk menumbuhkan rasa kebersamaan,” ujar Peh yang juga seorang peneliti seni dan kurator.

Perkembangan adopsi NFT di Asia Tenggara

Meskipun pasar NFT masih belum matang di Asia Tenggara, kawasan ini tengah menjadi pusat kripto. Vietnam, Filipina, dan Thailand masing-masing berada di peringkat kedua, ketiga, dan kelima dalam hal adopsi crypto di 55 negara pada tahun 2020, menurut data dari Statista.

Thyssen percaya bahwa adopsi crypto akan membantu mendorong pasar NFT “segera.” Dia juga menyebutkan bagaimana pesatnya pertumbuhan game play-to-earn seperti Axie Infinity di wilayah tersebut juga dapat memengaruhi lebih banyak orang untuk bergabung di ruang NFT.

Serangkaian acara seni kripto juga telah muncul di seluruh Asia Tenggara dalam kemitraan dengan komunitas NFT lokal, termasuk Art Moments Jakarta, Art Fair Philippines, dan CryptoArt Week Asia (CAWA). Malaysia NFT bermitra dengan CAWA pada bulan Juli untuk meluncurkan galeri seni kripto pertama di Malaysia, sementara 53 Never Forgotten menjadi karya seni NFT pertama yang ditampilkan di Art Moments Jakarta 2020.

“Gaya artistik yang berasal dari komunitas kreatif Asia Tenggara sangat berbeda dari apa yang kita lihat di Barat. Sejauh ini, kita telah melihat karya seni yang sangat spesifik, minimalis, dan abstrak. Tetapi ketika menemukan beberapa karya seniman lokal, Anda dapat langsung mengetahui bahwa itu adalah karya seniman Asia Tenggara,” kata Thyssen.

“Pengaruh budaya yang unik” dari seniman Asia Tenggara akan membawa lebih banyak warna ke ruang NFT, yang sejauh ini sebagian besar berfokus pada Barat, tambah Munira.

“Semakin banyak seniman Asia membawa pengaruh dan perspektif budaya mereka ke ruang NFT, akan ada lebih banyak keragaman, tidak hanya di [latar belakang] seniman tetapi dalam konten seni itu sendiri,” tambahnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Kompetisi Perusahan Tekfin dan Pinjaman Konvensional di Tengah Pasar Asia Tenggara

Raksasa teknologi Asia Tenggara berada dalam pertempuran intensif dengan bank konvensional besar atas layanan perbankan digital yang berkembang di kawasan ini.

Para “superapp” seperti GoTo dan Grab ingin meningkatkan jangkauan layanan perbankan mereka, dan pemain yang ada menggunakan wilayah ini sebagai sandbox untuk eksperimen digital, populasi di daerah yang telah lama diabaikan mungkin akan segera memiliki akses ke beberapa perusahaan keuangan paling maju secara teknologi jasa di dunia.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Google, Temasek Holdings dan Bain & Co., sekitar setengah dari hampir 400 juta orang dewasa di Asia Tenggara tidak memiliki rekening bank. Lebih dari 90 juta lebih “underbanked”: Mereka memiliki rekening bank tetapi tidak memiliki akses yang memadai ke produk investasi, asuransi, atau kredit. Jutaan usaha kecil dan menengah juga menghadapi kesenjangan pendanaan yang signifikan, menurut penelitian tersebut.

Masalahnya sangat pelik di Indonesia, di mana lebih dari 70% orang dewasa—sekitar 140 juta orang—tidak memiliki rekening bank atau unbanked, sebagian karena biaya menawarkan layanan tradisional. Membangun jaringan perbankan fisik, seperti kantor cabang dan ATM, untuk mencakup kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau untuk melayani sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah terbukti hampir mustahil.

Tetapi adopsi smartphone yang cepat di negara ini mengubah lanskap industri. GoTo, konglomerat teknologi terbesar di Indonesia, akan segera menawarkan layanan perbankan terintegrasi penuh dengan mitra lokalnya, Bank Jago, bersaing langsung dengan inovasi digital dari bank-bank konvensional, termasuk DBS Group Holdings Singapura dan United Overseas Bank (UOB).

Grafik oleh Nikkei Asia

Bagi GoTo, yang dibentuk melalui penggabungan dua perusahaan teknologi paling terkemuka di Indonesia, penyedia layanan transportasi online Gojek dan raksasa e-commerce Tokopedia, ekspansi tersebut merupakan perpanjangan alami dari layanan yang telah ditawarkan melalui superapp-nya.

Layanan e-walletnya, GoPay, memungkinkan pelanggan melakukan setoran tunai di toko serba ada dan menggunakan aplikasi untuk melakukan pembelian, mengakses kredit melalui skema “beli sekarang, bayar nanti”, bahkan melakukan investasi mikro dalam dana indeks dan emas AS.

Gojek membeli 22% saham Bank Jago, sebuah bank lokal, pada akhir tahun lalu. Bersama-sama mereka berencana untuk menawarkan berbagai layanan perbankan. Pelanggan GoPay di Indonesia akan segera menerima pesan yang mengatakan, “Buka rekening Bank Jago”, yang dapat mereka atur dengan mudah langsung dari aplikasi. Uang tunai yang sudah ada di dompet elektronik mereka dapat digunakan sebagai setoran pertama mereka. Pelanggan akan segera menerima kartu debit Visa dan akses ke opsi investasi. Ini termasuk keuntungan diskon untuk produk yang dijual di Tokopedia.

Layanan ini terlihat seperti kombinasi Amazon.com, Robinhood, PayPal, dan Citibank, semuanya dalam satu aplikasi. Tujuan utama perusahaan “adalah menjadi inti dari cara pengguna mengelola keuangan mereka,” ujar Budi Gandasoebrata, direktur pelaksana GoPay.

GoTo juga berencana menawarkan layanan perbankan serupa kepada usaha kecil dan menengah yang menggunakan layanan Gojek dan Tokopedia. “Di situlah kita melihat [layanan], mudah-mudahan, dalam lima tahun ke depan,” tambah Budi.

Tidak sulit untuk melihat mengapa Indonesia menjadi fokus inovasi dan persaingan di bidang perbankan. Negara ini merupakan yang terpadat di kawasan dan setengah dari populasinya berusia 30 tahun atau lebih muda, salah satu yang paling cerdas secara digital. Menurut Boston Consulting Group, hal ini mendorong tingkat pembayaran elektronik tertinggi kedua di Asia Tenggara, setelah Singapura, pada akhir 2019. Jumlah konsumen kelas menengah dan kelas atas di Indonesia diperkirakan akan tumbuh hingga 130 % antara 2019 dan 2024. Selama periode yang sama, pendapatan perbankan diperkirakan akan meningkat dari USD 47 miliar menjadi USD 77 miliar.

Awal tahun ini, raksasa internet Sea berbasis di Singapura yang menyediakan layanan e-commerce dan e-wallet yang bersaing langsung dengan GoTo, mengambil kendali mayoritas dari pemberi pinjaman kecil Indonesia bernama Bank Kesejahteraan Ekonomi, yang kemudian berganti nama menjadi SeaBank. Akulaku, sebuah startup fintech Indonesia yang didukung oleh Grup Ant China, juga bergabung dalam kemelut tersebut, menjadi pemegang saham terbesar di Bank Yudha Bhakti, yang kemudian berubah nama menjadi Bank Neo Commerce.

Namun, bank-bank incumbent besar di Asia Tenggara, seperti DBS dan UOB Singapura, telah lebih dulu menyediakan layanan perbankan digital di kawasan ini.

UOB meluncurkan bank digital TMRW di Thailand pada 2019, dan di Indonesia pada tahun berikutnya. Layanan ini telah mengakuisisi lebih dari 400.000 pengguna.

Grafik oleh Nikkei Asia

Janet Young, Head of Group Channels and Digitization UOB, mengatakan perusahaan sangat menyadari persaingan yang semakin ketat dari raksasa teknologi. “Kami melihat mereka sebagai pesaing karena mereka memiliki ekosistem … tetapi memiliki persyaratan peraturan yang lebih sedikit karena mereka bukan bank. Menjalankan bank dengan segala seluk beluknya, semua pedoman regulasi—mengelola neraca berbeda dari sekadar menjadi e-wallet,” katanya.

Berbeda dengan pendatang baru, Janet mengatakan TMRW dirancang untuk melayani para profesional muda di kawasan ini, seperti mereka “yang telah lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan, atau seseorang yang telah bekerja selama beberapa tahun, dan pelanggan yang paham digital terutama yang mengutamakan seluler.”

Janet menekankan bahwa UOB tidak menggunakan layanan perbankan digitalnya sebagai “langkah defensif” untuk menangkis raksasa teknologi. Sebaliknya, katanya, “kami menggunakan TMRW sebagai strategi akuisisi [pelanggan]. Ini adalah akuisisi dengan biaya lebih rendah bagi kami, dibandingkan dengan [bisnis] inti. Bank digital jauh lebih terukur dan hemat biaya.”

UOB juga menggunakan TMRW sebagai laboratorium inovasi, yang diyakini akan memperkuat layanan perbankan inti di pasar negara maju seperti Singapura. Bulan lalu perusahaan mengumumkan rencana investasi sebesar SGD 500 juta (USD 371 juta) dalam layanan digital dan untuk menyatukan kemampuan bank digitalnya dari TMRW dan aplikasi perbankan utamanya yang digunakan di negara-negara seperti Singapura. Bank mengatakan bahwa mereka “berusaha menggandakan pelanggan ritel yang dilayaninya secara digital ke lebih dari 7 juta pelanggan di seluruh ASEAN pada tahun 2026.”

“Perilaku konsumen condong ke digital. Jika kita tidak digital, kita akan kehilangan kemampuan untuk melayani mereka,” tambah Janet.

Kemelut antara bank dan perusahaan fintech juga akan memanas di pasar dalam negeri UOB. Penyedia superapp yang berbasis di Sea dan Singapura, Grab, berencana untuk meluncurkan layanan perbankan digital di kota itu awal tahun depan. Analis mengatakan para pemain membawa kekuatan yang besar tetapi berbeda untuk bertarung.

“Lembaga keuangan incumbent dalam layanan perbankan digital memiliki keuntungan memperoleh pembiayaan untuk investasi, karena mereka memiliki lebih banyak agunan dan reputasi yang lebih baik, dan hubungan dengan kreditur dan investor yang ada,” sebut Gavin Yue, konsultan riset di Kapronasia, konsultan yang berfokus pada fintech. perusahaan.

“Mereka juga memiliki akses yang lebih baik ke dana internal, yang menyiratkan bahwa mereka memiliki permodalan yang lebih baik. Ini dapat berdampak pada, misalnya, inisiatif pemasaran, penetapan harga, dan akuisisi.”

Tetapi “di sisi lain, pemula digital memiliki infrastruktur data yang lebih fleksibel, tidak seperti institusi lama yang harus bergulat dengan lapisan teknologi lama, yang merusak analisis data dan selanjutnya produk, layanan, dan pengalaman keseluruhan yang [mereka] dapat berikan kepada konsumen ,” tambaah Gavin.

“Masuknya para pemula teknologi seperti Grab atau Sea adalah hal yang ambisius, tetapi pada saat yang sama diperhitungkan. Sebagian besar didorong oleh pandemi, konsumen semakin mencari saluran digital untuk melengkapi hampir semua aspek gaya hidup mereka.”

Revolusi fintech di Asia Tenggara memaksa pemain lain di ekosistem keuangan, seperti Visa dan Mastercard, untuk beradaptasi.

“Pada tahun tertentu, kami bermitra dengan 50 hingga 60 perusahaan fintech di Asia-Pasifik,” kata Matthew Wood, yang mengawasi kemitraan digital dan fintech Visa di wilayah tersebut. Tobias Puehse, wakil presiden untuk inovasi dan solusi pelanggan bisnis Mastercard Asia-Pasifik, mengatakan bahwa “pasar yang terus berkembang” — mereka yang pelanggannya mengabaikan struktur perbankan lama dan merangkul aplikasi seluler dan pembayaran digital terlebih dahulu — “akan selalu memberi kita gambaran sekilas tentang perilaku konsumen .”

Kedua perusahaan pembayaran bersaing keras di kawasan ini untuk memperluas kemitraan mereka di luar bank tradisional. Visa berinvestasi di Gojek pada 2019 dan Mastercard adalah mitra Grab. Menurut Visa, kurang dari separuh konsumen di Asia Tenggara melihat uang tunai sebagai metode pembayaran pilihan mereka. “Pada akhirnya, tujuan kami adalah melenyapkan uang tunai, dan fintech dapat dan akan menjadi pendorong besar untuk menggerakkan perdagangan di Asia Tenggara menjadi semakin digital,” kata Matthew.

Serangkaian gangguan komputer yang dihadapi tahun ini oleh bank Jepang Mizuho, ​​termasuk salah satu yang membuat sebagian besar ATM-nya terhenti sementara, adalah pengingat akan sulitnya meningkatkan sistem turunan, sambil menutup cabang inti di pasar yang sudah mapan seperti AS mengeluarkan biaya restrukturisasi jangka pendek, bahkan jika itu menghemat uang dalam jangka panjang.

Tetapi pemain di sektor keuangan baru dan lama di Asia Tenggara menunjukkan bahwa mereka dapat membangun infrastruktur perbankan digital khusus aplikasi, hampir dari awal, di negara-negara seperti Indonesia — contohnya tentang lompatan. Seperti yang dikatakan Yue dari Kapronasia: “Tentu saja persaingan dari pemain baru akan membuat konsumen diuntungkan.”


Artikel ini pertama kali dirilis oleh Nikkei Asia, dipublikasi kembali oleh KrAsia. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Social Commerce Mendapat Momentum di Indonesia Berkat Pengguna di Daerah

Danik Indriati adalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai agen reseller di aplikasi social commerce Super. Setiap minggu, dia mengumpulkan pesanan bahan makanan dan barang konsumsi harian lainnya di saluran media sosialnya. Dia kemudian memesan produk ini di Super dan secara pribadi mengirimkannya ke pelanggan beberapa hari kemudian.

“Seorang teman memperkenalkan Super kepada saya. Pada awalnya saya tidak tertarik karena operasinya terlihat rumit. Namun ternyata fitur dan petunjuknya mudah diikuti,” ujarnya kepada KrASIA. Saat ini, Indriati memiliki sekitar 120 pelanggan, terutama sesama ibu rumah tangga yang tinggal di lingkungannya—Kabupaten Tegalsari di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

“Super menjual barang dengan harga grosir, jadi saya bisa menjualnya kembali dengan harga sedikit lebih tinggi dan mendapat untung,” katanya. “Pelanggan suka berbelanja melalui saya karena mereka tidak perlu pergi ke pasar atau toko kelontong sehingga mereka dapat menghemat uang yang seharusnya dihabiskan untuk bensin atau transportasi umum,” tambah Indriati.

Didirikan pada tahun 2018, Super yang didukung SoftBank menyediakan barang-barang yang terjangkau bagi penduduk di kota-kota tier-2 dan tier-3 di Indonesia dengan memanfaatkan perdagangan sosial dan rantai logistik yang efisien. Platform tersebut saat ini telah tersedia di 22 kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan serta memfasilitasi ribuan reseller seperti Indriati.

Indriati menikmati peran lepasnya sebagai agen reseller karena ia dapat memperoleh penghasilan tambahan tanpa meninggalkan anak-anaknya sendirian di rumah. Dia mendapatkan hingga Rp 2,5 juta (USD 142 hingga USD 177) per bulan, katanya, lebih tinggi dari upah minimum provinsi 2021 di Jawa Timur, Rp 1,86 juta (USD 132).

Danik Indriati, agen reseller Super. Dokumentasi: Super

Mengatasi masalah retail di daerah

Super adalah salah satu dari beberapa platform social commerce yang muncul di Indonesia selama tiga tahun terakhir. Startup lain di sektor ini termasuk Evermos, KitaBeli, Chilibeli, RateS, dan Woobiz, yang terutama menargetkan pelanggan di kota tier-2 dan tier-3. Di wilayah seperti di Indonesia, social commerce menjadi sangat populer karena adopsi e-commerce masih rendah karena biaya pengiriman yang mahal dan penetrasi internet yang lebih rendah.

Sebagian besar konsumen di kota-kota kecil memulai perjalanan belanja online mereka di platform media sosial seperti Facebook Marketplace atau grup WhatsApp, di mana mereka dapat dengan mudah menjangkau penjual yang tinggal di sekitar dan menawarkan pilihan produk hyperlocal.

“Ritel di pedesaan memiliki dua tantangan besar—harga yang tinggi dan volume transaksi per rumah tangga yang kecil. Di Indonesia, produk harian seringkali lebih mahal di daerah pedesaan dibandingkan dengan kota tier-1 karena kondisi jalan yang buruk di seluruh negeri dan biaya rantai pasokan,” kata CEO Super Steven Wongsoredjo kepada KrASIA.

Community buying bisa menjadi jawaban atas tantangan tersebut, ujarnya. “Kami memanfaatkan tokoh masyarakat dan agen untuk merangsang lebih banyak transaksi di komunitas sehingga mereka mendapat harga yang menarik.” Pengecer lokal juga bertanggung jawab atas pengiriman barang jarak jauh, yang memudahkan logistik Super dan biaya rantai pasokan.

Menurut Steven, model ini telah membantu Super menurunkan harga produk rata-rata sebesar 10–20% untuk pengecer, yang kemudian dapat memperoleh margin dari penjualan mereka sambil tetap menawarkan harga yang kompetitif kepada penduduk kota pedesaan.

Sektor social commerce telah terbukti menjadi target empuk investor pada tahun 2021. KitaBeli mendatangkan USD 10 juta dari Go-Ventures pada Maret, Super mengantongi USD 28 juta dari SoftBank April lalu, dan Evermos mengumpulkan USD 30 juta dari UOB Venture Management pada September .

Bersinggungan dengan ekonomi halal

Perusahaan social commerce yang berfokus pada ekonomi halal Evermos secara khusus menargetkan komunitas Muslim, yang merupakan 86,7% dari seluruh populasi Indonesia. Perusahaan menyediakan produk halal dan barang-barang lainnya untuk pelanggan Muslim sambil mengikuti pendekatan yang sesuai dengan syariah.

Prinsip-prinsip Islam mengharuskan bisnis dilakukan dengan jujur dan benar, salah satu pendiri Evermos Ghufron Mustaqim mengatakan kepada KrASIA. “Artinya reseller wajib menulis deskripsi produk yang jujur dengan gambar yang sesuai, mengatur pengiriman tepat waktu, dan memberikan proses refund yang mudah,” ujarnya.

(ki-ka) Presiden Evermos Arip Tirta, Co-Founder Ghufron Mustaqim, CEO Iqbal Muslimin, dan Co-Founder Ilham Taufiq. Dokumentasi: Evermos.

Dengan mengikuti konsep syariah, masyarakat akan lebih percaya diri untuk berpartisipasi dalam transaksi e-commerce, terutama di masyarakat pedesaan, di mana pengguna masih enggan untuk membeli secara online karena khawatir akan adanya potensi produk palsu atau barang berkualitas rendah. Membangun kepercayaan sangat penting, tambah Ghufron.

“Kami belum 100% syariah, tapi kami sedang menuju ke arah sana dengan menjunjung tinggi prinsip bisnis syariah,” jelas Ghufron . “Komunitas kami sadar akan konsep syariah dan menjaga etika ini. Misalnya, mereka akan mengeluh jika menemukan gambar dengan model mengenakan pakaian tidak pantas yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.”

Sejauh ini, bisnis berjalan baik untuk Evermos. Startup ini telah meningkatkan nilai merchandise brutonya lebih dari 60 kali dalam dua tahun, dan saat ini memiliki lebih dari 100.000 reseller aktif—kebanyakan wanita—di 500 kabupaten di kota tier-2 dan tier-3 di seluruh Jawa. Lebih dari 95% produk di platform tersebut bersumber dari UMKM lokal, dengan kategori busana muslim dan peralatan rumah tangga menjadi yang terlaris, kata Mustaqim.

Dia mencatat bahwa Evermos adalah platform inklusif, karena banyak pengecer dan pemilik mereknya adalah non-Muslim. “Etika dan prinsip dalam bisnis syariah bersifat universal. Kami terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung dengan Evermos.”

Proyeksi pertumbuhan

Baik Steven dari Super maupun Ghufron dari Evermos yakin dengan perkembangan social commerce di Indonesia. Negara ini diperkirakan akan melihat jutaan pengguna internet baru dari daerah setiap tahunnya, social commerce dapat menjadi jembatan bagi para pengguna ini untuk meningkatkan kegiatan belanja online.

Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi kota-kota tier-2 dan tier-3 akan melampaui pertumbuhan di wilayah metropolitan di Indonesia dalam lima tahun ke depan, menurut laporan Alpha JWC dan Kearney. Studi ini menyoroti bahwa pangsa pasar kota-kota yang lebih rendah dari produk domestik bruto nasional akan tumbuh dari 3% menjadi 5% pada tahun 2030, mencapai nilai USD 77 miliar. Jelas sekali bahwa startup yang memanfaatkan konsumen di luar wilayah metro memiliki peluang pasar yang luas.

“Dalam social commerce, satu perusahaan tidak dapat mendominasi semua pasar, karena setiap wilayah memiliki tantangan rantai pasokan yang berbeda. Perusahaan akan memiliki ceruk pasar dan kekuatan masing-masing, yang selanjutnya akan mendorong industri secara keseluruhan,” ujar Ghufron.

Evermos akan terus fokus pada produk halal dengan pendekatan yang sesuai dengan syariah, sebut Ghufron. Pada saat yang sama, Super akan menargetkan ekspansi di luar Jawa, terutama di Indonesia Timur, tambah Steven.

“Sementara sebagian besar startup tumbuh di Jakarta, kami berharap menjadi yang pertama tumbuh besar di Indonesia Timur, yang merupakan permata tersembunyi dengan peluang pertumbuhan yang sangat besar,” ujar Steven.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Pemain Super-app Berlomba Hadirkan Inisiatif Baru untuk Digitalisasi UMKM Indonesia

Setelah pembentukan GoTo dan kemitraan strategis antara Grab, Bukalapak, dan Emtek, raksasa teknologi Indonesia kini berlomba untuk mendigitalkan usaha mikro dan kecil.

Grab, Bukalapak, dan konglomerat media Emtek Group telah meluncurkan program akselerator yang disebut Kota Masa Depan, perusahaan mengumumkan pada hari Kamis. Program ini menyasar usaha mikro, kecil, dan menengah dari kota-kota tier-2 dan tier-3 di Indonesia.

Kota Masa Depan memiliki tiga prioritas—onboarding bisnis ke platform Grab dan Bukalapak, memberdayakan perusahaan melalui sesi pelatihan dan pendampingan, dan memberikan vaksinasi kepada karyawan UMKM. Unit bisnis juga akan mendapatkan eksposur dari jaringan media milik Grup Emtek, termasuk saluran televisi SCTV dan Indosiar, serta platform video streaming Vidio.

Program ini bertujuan untuk menjangkau 10.000 UMKM pada akhir Desember 2021 di daerah seperti Kupang, Nusa Tenggara Timur, Solo di Jawa Tengah, Gowa di Sulawesi Selatan, Malang di Jawa Timur, dan Pekanbaru di Riau.

Grab, Emtek, dan Bukalapak telah mempererat hubungan bisnis mereka selama beberapa bulan terakhir. Pada bulan April, beberapa hari setelah Grab mengumumkan merger SPAC dengan Altimeter Growth Corporation, perusahaan yang berbasis di Singapura ini dilaporkan menghabiskan Rp 4 triliun (USD 274 juta) untuk membeli 4% saham di Emtek. Pada bulan Mei, Emtek mengakuisisi saham minoritas (2,59%) di unit Grab di Indonesia, dan kemudian pada bulan Juni, Emtek menyuntikkan modal tambahan sebesar Rp 3,09 triliun (USD 210 juta). Saat ini, Emtek memiliki 5,88% saham Grab. Emtek pun menjadi pemegang saham terbesar di Bukalapak.

Platform di ekosistem Grab dan Bukalapak yang tersedia untuk UMKM antara lain GrabFood, GrabMart, dan marketplace Bukalapak. Grab juga menjalankan program yang disebut GrabKios untuk mendigitalkan toko-toko di lingkungan sekitar. Platform ini telah bermitra dengan lebih dari 2 juta agen. Pada saat yang sama, Bukalapak gencar mengembangkan inisiatif O2O serupa bernama Mitra Bukalapak, yang sudah memiliki sekitar 8,7 juta agen.

Sementara itu, GoTo telah meluncurkan programnya sendiri yang disebut BangkitBersama (“bangkit bersama”) untuk membantu UMKM lokal dalam proses go digital. Program ini memiliki beberapa fokus. Ini berupaya untuk meningkatkan eksposur UMKM di Tokopedia melalui pendekatan hyperlocal yang melibatkan geotagging. Selain itu, inisiatif ini juga bertujuan untuk memberdayakan UMKM melalui serangkaian kelas bisnis online dan offline, dan membantu penjual e-commerce untuk memperluas jangkauan mereka melalui platform layanan fulfillment TokoCabang.

UMKM di ekosistem GoTo dapat mengakses berbagai platform seperti GoFood, GoShop, dan marketplace Tokopedia. Di ruang O2O, grup ini memiliki Mitra Tokopedia, yang diluncurkan pada 2018, dan GoToko, sebuah inisiatif yang diluncurkan tahun lalu. GoTo juga memiliki e-commerce enabler bernama GoStore yang membantu UMKM membuat toko online. Berkat investasi dari Facebook tahun lalu, merchant di GoStore dapat mengintegrasikan lapak online mereka dengan Facebook Shop dan Instagram Shopping. Grup ini telah menggabungan 11 juta mitra pedagang pada Desember 2020.

Layanan untuk UMKM di super-app Indonesia

Saat ini terdapat sekitar 64,2 juta UMKM di Indonesia. Bisnis ini menyerap sekitar 97% dari total tenaga kerja dan berkontribusi sekitar 61% dari produk domestik bruto negara, menurut Kementerian Koperasi dan UKM Indonesia.

Digitalisasi UMKM menjadi semakin penting untuk memungkinkan bisnis ini menjangkau basis konsumen yang lebih luas, memperluas bisnis mereka, dan mendapatkan akses ke pembiayaan. Bagi raksasa teknologi, UMKM dapat membawa lebih banyak pelanggan ke ekosistem mereka, terutama di kota-kota tingkat-2 dan tingkat-3, tempat tinggal 100 juta pengguna internet berikutnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti di Indonesia Semakin Marak, Risiko Masih Tinggi

Dalam era gaya hidup digital-first, berbelanja tidak pernah semudah ini, berkat e-commerce dan fintech. Ketika melihat barang yang diinginkan di media sosial atau di pasar, Anda dapat membelinya dan langsung mengirimkannya dengan beberapa ketukan di ponsel pintar. Lalu, jika kekurangan uang tunai, Anda bahkan dapat membayarnya nanti dengan menggunakan metode BNPL.

BNPL adalah singkatan dari buy now pay later atau dalam bahasa Indonesia “beli sekarang, bayar nanti.” Hal ini memungkinkan pelanggan berkomitmen untuk pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu sampai saldo diselesaikan. Konsep BNPL bukanlah hal baru, karena mirip dengan produk pembiayaan angsuran yang sudah ada. Namun, penawaran BNPL berbasis aplikasi mendapatkan momentum di kalangan pembeli milenial dan Gen Z di Asia Tenggara di balik ledakan e-commerce, berkat kemudahan dan kepraktisannya.

Kesenjangan pinjaman di Indonesia masih signifikan, sementara penetrasi kartu kredit masih rendah di angka 5%. Ini menjadi peluang bagi BNPL untuk mengisi celah ini dan memberikan pinjaman pribadi untuk pelanggan yang kurang terlayani.

“Dengan meningkatnya adopsi smartphone di seluruh wilayah, layanan berbasis aplikasi seperti BNPL membuat akses ke layanan keuangan menjadi sangat mudah. Banyak orang Indonesia yang tersisih secara finansial, jadi BNPL menawarkan cara bagi mereka untuk mengakses kredit,” Zennon Kapron, direktur perusahaan riset dan konsultan fintech Kapronasia, mengatakan kepada KrASIA.

Saat ini, hampir semua platform e-commerce di Indonesia mengadopsi metode checkout BNPL dengan bermitra dengan berbagai penyedia fintech. Kredivo yang berkantor pusat di Jakarta telah menjadi salah satu pionir di segmen fintech BNPL sejak 2016, sementara pemain BNPL besar lainnya di tanah air termasuk Akulaku, Home Credit, Traveloka PayLater, dan Shopee PayLater.

Meningkatkan transaksi e-commerce

BNPL membawa banyak manfaat bagi merchant. Hal ini membantu vendor meningkatkan tingkat konversi dan nilai transaksi add-to-cart, serta menjangkau calon pelanggan baru. Pada tahun 2020, 55% pengguna e-commerce baru di Indonesia memilih untuk menggunakan opsi BNPL saat melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei yang dilakukan oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut didasarkan pada 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020.

“Penyedia BNPL mengendarai gelombang e-commerce, yang merupakan perkembangan alami karena kredit akan meningkatkan daya beli konsumen pada platform e-commerce,” ujar Kenneth Li, mitra di MDI Ventures, pendukung beberapa perusahaan fintech, termasuk Kredivo. Dengan bermitra dengan platform e-commerce, penyedia BNPL dapat melacak kebiasaan belanja pengguna, yang selanjutnya akan menambah wawasan ke mesin penilaian kredit mereka untuk mengevaluasi potensi risiko saat meminjamkan uang atau memberikan kredit, tambahnya.

Platform online dan operator fintech telah melaporkan pertumbuhan yang stabil dalam transaksi BNPL selama setahun terakhir. Traveloka—perusahaan non-fintech pertama yang menawarkan layanan ini di Indonesia sejak 2018—mendapatkan peningkatan pengguna PayLater sebesar 750% sejak program diluncurkan.

Pada saat yang sama, di Tokopedia, transaksi BNPL meningkat dua kali lipat pada tahun 2020. Platform e-commerce ini bermitra dengan pemain seperti GoPay, Ovo, Kredivo, dan Indodana untuk program BNPL-nya. Blibli, yang juga bekerja sama dengan Indodana untuk layanan BNPL-nya, melaporkan pertumbuhan bulanan 63% antara Mei dan Oktober tahun lalu. KrASIA tidak dapat menemukan data tentang transaksi BNPL di platform e-commerce lain seperti Shopee, Bukalapak, dan Lazada.

Adapun Kredivo, total basis penggunanya telah berlipat ganda dalam sepuluh bulan terakhir, dan pendapatan tahunannya juga berlipat ganda selama tujuh bulan sebelumnya, VP pemasaran dan komunikasi perusahaan, Indina Andamari, mengatakan kepada KrASIA. Kredivo saat ini bermitra dengan sepuluh platform e-commerce dan memiliki hampir 4 juta pelanggan. “Kami menawarkan batas saldo hingga Rp 30 juta (USD 2.105), yang merupakan tertinggi di antara pemain BNPL di negara ini,” kata Indina.

Sisi lain paylater: Meningkatkan konsumerisme dan potensi terjebak hutang

Ide untuk membeli suatu produk tanpa langsung mengeluarkan uang sangat menggiurkan bagi banyak orang. Konsumen mungkin mendapatkan rasa aman yang salah, yang dapat menyebabkan belanja impulsif, dan mereka mungkin menghabiskan uang yang tidak mereka miliki.

Penelusuran cepat di Media Konsumen, situs yang membantu konsumen menyuarakan pendapatnya, menunjukkan banyak keluhan terkait penawaran BNPL. Beberapa pelanggan menulis surat terbuka di situs web yang meminta pengurangan tingkat bunga atau biaya keterlambatan, karena mereka tidak dapat melunasi hutang mereka. Beberapa pengguna bahkan menggambarkan praktik penagihan utang yang tidak etis oleh penyedia BNPL, sementara yang lain melaporkan transaksi misterius dan tidak sah pada rekening pembayaran mereka nanti.

Termasuk juga kurangnya pendidikan seputar BNPL, yang dapat menyebabkan konsumsi berlebihan. Mengajukan akun BNPL itu mudah—pada sebagian besar platform, hanya membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk diverifikasi, dan kemudian akun pengguna diaktifkan. BNPL tidak memerlukan laporan gaji atau pendapatan, sehingga lebih sederhana daripada aplikasi kartu kredit. Namun, BNPL dapat memberi konsumen akses ke kredit yang tidak mampu mereka bayar, yang dapat menyebabkan jebakan utang yang semakin sulit untuk dilepaskan dengan setiap keterlambatan pembayaran.

“Secara global, regulasi seputar BNPL sangat sedikit, hal ini memastikan adanya risiko dalam model yang ada. Masih harus dilihat apa dampaknya bagi konsumen yang mungkin atau mungkin tidak terbiasa dengan model jenis ini dan mungkin terjebak oleh biaya tersembunyi atau sulit dipahami,” kata Zennon.

Sumber pendapatan terbesar bagi penyedia BNPL adalah biaya transaksi yang diperoleh dari pengecer atau pasar digital. Biaya ini cenderung lebih tinggi daripada transaksi kartu kredit atau debit biasa, dengan biaya pemrosesan mulai dari 2% hingga 8% per transaksi, dibandingkan dengan 1,3% hingga 3,5% pada mobil kredit biasa. Pemotongan yang lebih besar sering kali datang dengan janji nilai transaksi yang lebih tinggi untuk pedagang.

Namun, perusahaan juga memperoleh pendapatan tambahan dari penalti yang diterapkan pada pembayaran yang terlambat, sesuatu yang mungkin tidak disadari oleh pelanggan. Opsi bayar kemudian dari Shopee dan Traveloka membebankan biaya keterlambatan sebesar 5% per bulan dari total tagihan. Sementara itu, Kredivo mengenakan tarif 6%.

“Mirip dengan perusahaan kartu kredit, kami membebankan bunga kepada pelanggan kami, tetapi tarif kami termasuk yang terendah di negara ini. Kami menawarkan paket 0% untuk pembayaran nanti dalam 30 hari atau tiga bulan cicilan. Biaya merchant kami juga rendah,” kata Indina dari Kredivo, tanpa mengungkapkan jumlah pastinya. Dia menambahkan, rasio kredit bermasalah pada platform saat ini rendah, sekitar 2,5% hingga 3%.

Terlepas dari beberapa risiko yang disebutkan, Kenneth dari MDI Ventures berpendapat bahwa manfaat BNPL lebih besar daripada ancamannya, karena layanan ini memungkinkan pelanggan yang tidak memiliki rekening bank dan yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses kredit. Ini dapat membantu pelanggan menjaga arus kas mereka tetap terkendali dan pada akhirnya meningkatkan mata pencaharian mereka.

“Penyedia jasa BNPL tentunya harus bertanggung jawab dalam memberikan limit saldo kepada pelanggan. Mereka dapat melakukannya dengan melatih mesin penilaian kredit dengan benar agar tidak membebani individu dengan pengeluaran yang berlebihan,” pungkas Kenneth.

Perbandingan antar penyedia layanan di Indonesia

 

Data selengkapnya dapat dilihat melalui tautan terkait

Pertumbuhan berkelanjutan

Sepertinya BNPL ada untuk tinggal. Pembayaran “Beli sekarang, bayar nanti” di negara ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 72,8% per tahun mencapai USD 1,537 miliar pada tahun 2021, menurut sebuah laporan oleh PayNXT360, platform intelijen bisnis yang berfokus pada pembayaran. Nilai barang dagangan bruto BNPL di dalam negeri diproyeksikan meningkat dari USD 889,7 juta pada tahun 2020 menjadi USD 9,2 miliar pada tahun 2028.

Penyedia BNPL juga bekerja sama dengan bank untuk memberikan pinjaman kepada lebih banyak pelanggan. Pada bulan September, Traveloka bermitra dengan Bank Negara Indonesia untuk meluncurkan “nomor kartu bayar nanti virtual”, yang pertama di Asia Tenggara. Pelanggan dapat menggunakan nomor kartu virtual untuk berbelanja di berbagai platform e-commerce seperti Shopee, Lazada, JD.id, Bukalapak, dan Tokopedia. Perusahaan juga bermitra dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Bank Mandiri untuk Traveloka PayLater Card dan Traveloka Mandiri Card, dua penawaran yang memungkinkan pengguna bertransaksi dengan pedagang offline dan online yang didukung oleh jaringan Visa.

Bank-bank besar di seluruh negeri juga mengejar pangsa pasar yang lebih besar dan telah mulai mengembangkan produk bayar nanti mereka sendiri untuk menjangkau pelanggan baru, terutama mereka yang tidak memiliki kartu kredit. Namun, Kenneth berharap untuk melihat lebih banyak kolaborasi antara fintech dan bank tradisional serta lembaga keuangan lainnya dalam waktu dekat. “Pasar BNPL masih dalam tahap awal di Indonesia. Karena adopsi pembayaran digital terus tumbuh, BNPL juga akan berkembang,” katanya.

Saat pasar matang, pihak berwenang kemungkinan akan memberlakukan pedoman yang lebih ketat untuk segmen ini. Misalnya, Otoritas Moneter Singapura saat ini sedang mengkaji pendekatan regulasi yang tepat untuk BNPL di tengah kekhawatiran atas utang konsumen. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menetapkan aturan yang harus dipatuhi oleh para pelaku fintech BNPL untuk beroperasi. Belum diketahui apakah organ tersebut akan merevisi kerangka tersebut dalam waktu dekat.

“Kami mengharapkan regulator untuk lebih memperhatikan segmen di masa depan, yang kemungkinan akan membatasi keuntungan bagi penyedia BNPL dalam jangka panjang,” kata Kapron.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Daya Tarik Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti Memicu Pergerakan Perbankan di Indonesia

“Beli sekarang, bayar nanti” (BNPL) menjadi salah satu jenis produk fintech yang paling populer di Indonesia saat ini. Seperti namanya, BNPL memungkinkan pelanggan untuk melakukan pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu hingga lunas. BNPL kian mendapat momentum di Indonesia selama dua tahun terakhir sebagai bagian dari sektor e-commerce dan fintech yang semakin matang. Pemain utama di sektor ini antara lain Kredivo, Akulaku, Traveloka PayLater, GoPay, Ovo, dan ShopeePay.

Tahun lalu, 55% pengguna e-commerce baru memilih untuk menggunakan opsi BNPL ketika mereka melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut diambil dari 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020. Secara keseluruhan, 41% konsumen mengatakan mereka menggunakan BNPL untuk mengendalikan arus kas bulanan mereka.

Tak mau kalah, berbagai lembaga keuangan konvensional memasuki segmen ini dengan menggandeng penyedia fintech dan BNPL. Misalnya, Traveloka bersanding dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Mandiri masing-masing pada tahun 2019 dan 2020, untuk penawaran BNPL mereka.

Sementara itu, BNI telah bermitra dengan Traveloka dan Shopee PayLater. Pada bulan September, BNI dan Traveloka meluncurkan “nomor kartu virtual” yang memungkinkan pengguna Traveloka PayLater untuk melakukan transaksi di platform e-commerce di luar ekosistem platform pemesanan perjalanan.

Beberapa bank sedang mengembangkan produk BNPL mereka sendiri. Bank Mandiri dikabarkan berencana untuk meluncurkan produk BNPL pada kuartal keempat tahun 2021, dengan batas saldo hingga Rp 5 juta (USD 350). Layanan pembanding CIMB Niaga diharapkan akan diluncurkan tahun depan, sementara BCA dikabarkan sedang mengkaji kemungkinan untuk mengeluarkan produk serupa.

“Hal ini adalah perkembangan alami dari industri teknologi. Seiring dengan semakin matangnya adopsi teknologi dan pasar, para pemain lama akan mulai mengikuti dan menciptakan produk mereka sendiri,” Kenneth Li, partner di MDI Ventures mengatakan kepada KrASIA.

BNPL bukanlah konsep baru. Sama halnya dengan produk pembiayaan cicilan yang sudah ada. Namun, BNPL telah mendapatkan momentum karena kemudahan yang dibawa oleh integrasi berbasis aplikasi dengan platform e-commerce.

Meskipun aplikasi kartu kredit mungkin memerlukan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu untuk disetujui, pengguna dapat mengajukan permohonan untuk akun BNPL dan menerima pemberitahuan aktivasi dalam waktu 24 jam, menjadikannya pilihan yang lebih disukai oleh banyak generasi muda.

“Penetrasi kartu kredit di Indonesia sangat rendah, sekitar 5%. Lalu, sejak pandemi dimulai, produksi kartu kredit melambat. Hal ini menunjukkan peluang bagi BNPL untuk menyalip kartu kredit dalam hal penetrasi, terutama karena sifat produk yang scalable,” sebut Kenneth.

Dalam hal penyaluran pinjaman pribadi jangka pendek seperti BNPL, bank yang sudah mapan memiliki beberapa keunggulan. Bank memiliki neraca yang lebih dalam yang membedakan mereka dari startup fintech yang sudah meraih pendanaan selangit. Hal ini memberi bank sarana untuk menawarkan batas yang lebih tinggi daripada penyedia fintech mandiri. Bank juga memiliki basis konsumen dan pedagang besar yang mungkin lebih bersedia untuk mengadopsi layanan baru, terutama jika mereka digabungkan dengan fitur yang ada. Produk BNPL baru yang dikembangkan oleh bank mendiversifikasi penawaran mereka, memberikan lembaga cara baru untuk menjangkau pelanggan yang tidak memiliki kartu kredit, seperti pemilik UMKM.

Namun, Kenneth berpendapat, tidak mudah bagi bank konvensional untuk meniru inovasi tekfin. “Bank-bank tradisional dibatasi oleh peraturan dan kepatuhan, belum lagi ambang batas risiko mereka juga lebih rendah daripada pemain BNPL penuh.” Kenneth percaya bahwa bank dan penyedia tekfin dapat hidup berdampingan di sektor ini. Dia memperkirakan akan lebih banyak bank yang bekerja sama atau bahkan mengakuisisi platform fintech untuk menawarkan layanan ini daripada mengembangkan produk mereka sendiri dari awal.

“Daripada mengambil risiko untuk menciptakan dan menerapkan pengeluaran ke dalam model bisnis baru yang mungkin tidak berfungsi, akan lebih bijaksana untuk bermitra dengan pemain yang ada dan memanfaatkan ekosistem yang sudah mapan seperti perusahaan e-commerce yang sudah memiliki jutaan pedagang dan pelanggan,” ujar Kenneth.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Kurir Beserta Aktivis Menuntut Reformasi dalam Gig Economy di Indonesia

Bersama pandemi yang menyebabkan hampir 50% peningkatan dalam transaksi e-commerce tahun ini dibandingkan dengan tahun 2020, perusahaan e-commerce dan logistik mengalami pertumbuhan yang stabil. Namun, peningkatan pendapatan bagi perusahaan belum disalurkan dengan baik untuk kurir pengiriman, yang merupakan tulang punggung operasi e-commerce.

Pada tahun 2016, Ade Putra mulai bekerja sebagai pengemudi ojek untuk berbagai platform seperti Uber, Gojek, dan Grab. Namun, tahun lalu, ketika perusahaan ride-hailing melihat penurunan drastis dalam pesanan penumpang karena lockdown yang memengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia, Ade memutuskan untuk beralih profesi menjadi kurir. Ia bergabung dengan dua perusahaan logistik—GoKilat dan Lalamove milik Gojek.

Ade berpikir bahwa dua pekerjaan itu akan memberinya penghasilan yang layak, memang seperti itu adanya hingga di bulan Juni, kedua perusahaan menyesuaikan skema insentif mereka, yang mengurangi komisi per km pengendara pengiriman untuk setiap pesanan.

“Sebelumnya tarif Lalamove adalah Rp 4.000 [USD 0,28], tetapi dipotong setengahnya pada Januari 2021. GoKilat juga mengubah skema insentif baru-baru ini, jadi kami mengajukan keluhan,” ujar Ade kepada KrASIA. Ia juga sebagai juru bicara kelompok mitra Lalamove yang mogok pada bulan Juni dan secara kolektif menonaktifkan akun mereka selama tiga hari.

Ade dan kurir lain yang bekerja untuk Lalamove yang berbasis di Hong Kong juga mengeluhkan kebijakan penangguhan platform. “Terkadang terjadi hal-hal yang di luar kendali kita, seperti salah alamat pengiriman, atau tiba-tiba sepeda motor kita mogok. Namun, platform tidak peduli dengan alasan ini, dan kami dapat ditangguhkan jika kami membatalkan pesanan atau jika pelanggan memberi peringkat rendah,” jelasnya.

Pada awal Juni, kurir GoKilat Gojek menolak menerima pesanan sebagai protes atas paket kompensasi baru. Dokumentasi oleh Shutterstock.

Ketidakadilan dalam model partnership antara platform dan kurir

Gig economy adalah konsep yang relatif baru di Indonesia, dipopulerkan oleh perusahaan ride-hailing seperti Uber, Grab, dan Gojek, yang merevolusi ojek informal sejak 2014. Grab—yang mengakuisisi operasi Uber Asia Tenggara pada 2018—dan Gojek telah memperluas layanan mereka di luar ride-hailing untuk memberikan penawaran lain, termasuk pengiriman jarak jauh dan pengiriman makanan.

Menyusul kesuksesan perusahaan ride-hailing, sejumlah perusahaan logistik seperti Lalamove, Lazada Logistics, J&T Express, dan SiCepat juga telah mulai beroperasi di Indonesia untuk menyediakan solusi dan pengiriman logistik yang cepat, mendukung pertumbuhan e-commerce di negara ini. Beberapa dari perusahaan ini telah mengadopsi “model kemitraan” dengan kurir mereka, mengklaim menawarkan kebebasan dan fleksibilitas yang lebih besar dari segi jam dan pengaturan kerja. Namun, perusahaan-perusahaan ini tidak mengklasifikasikan kurir sebagai karyawan formal. Sebaliknya, mereka didefinisikan sebagai kontraktor sementara. Tanpa menjalin hubungan kerja formal, perusahaan dapat menyangkal insentif yang seharusnya diterima oleh kurir menurut hukum Indonesia.

“Platform sharing economy saat ini menawarkan sistem kemitraan semu yang mengarah pada eksploitasi pekerja,” Bhima Yudhistira Adhinegara, direktur lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan kepada KrASIA. “Dalam kemitraan yang ideal, kedua belah pihak harus menyepakati setiap kebijakan, sehingga perusahaan tidak boleh mengambil keputusan sepihak, terutama dalam hal upah dan beban kerja.”

“Perusahaan menawarkan ‘ilusi pilihan’, seolah-olah kurir memiliki fleksibilitas untuk bekerja kapan saja. Tetapi dengan sistem insentif yang rendah, mereka harus bekerja kapan saja jika ingin membawa pulang uang yang layak,” kata Margianta Surahman, direktur eksekutif Emancipate Indonesia, sebuah organisasi pemuda yang fokus pada masalah ketenagakerjaan.

Terlebih lagi, di bawah undang-undang ketenagakerjaan saat ini, pekerja gig tidak diizinkan untuk membuat serikat pekerja formal, dan organisasi mereka hanya dilihat sebagai komunitas informal, sehingga sulit untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Lazada Logistics di Indonesia didukung oleh lebih dari 15.000 karyawan dan mitra kurir. Dokumentasi oleh Lazada Indonesia.

Menuntut reformasi

Pendapatan bersih rata-rata kurir GoKilat pada Mei 2021 adalah sekitar Rp 1,6 juta (USD 112), kurang dari setengah upah minimum di Jakarta sebesar Rp 4,4 juta (USD 309), menurut laporan Universitas Gajah Mada. Laporan tersebut juga menyoroti bahwa rata-rata jam kerja kurir GoKilat adalah 11,2 jam per hari, 25,2 hari per bulan. Selain itu, 60% kurir tidak memiliki asuransi kesehatan, dan 97% tidak memiliki asuransi kendaraan. KrASIA tidak dapat menemukan data atau laporan publik terbaru dari perusahaan lain.

Pada paruh pertama tahun 2021, setidaknya ada empat mogok kerja yang dilakukan oleh kurir sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap skema insentif yang rendah. Pekerja pertunjukan memprotes Shopee Express pada bulan April, diikuti oleh protes terhadap GoKilat Gojek, juga dikenal sebagai GoSend Same Day, pada bulan Juni. Gelombang aksi terorganisir untuk remunerasi dan tunjangan yang lebih baik berlanjut dengan protes lain terhadap GrabExpress dan Lalamove pada bulan yang sama.

Ketidakpuasan yang semakin jadi dari para pekerja pengiriman mendorong sejumlah peneliti independen, organisasi nirlaba, dan komunitas online untuk bekerja sama membentuk petisi resmi yang akan disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja Indonesia, Ida Fauziah. Petisi, yang memiliki judul yang dapat diterjemahkan sebagai “Tolong lindungi kurir e-commerce, karena mereka tidak aman dan sejahtera,” telah mengumpulkan lebih dari 8.549 tanda tangan sejak 2 September. Penyelenggara berharap untuk mengumpulkan 10.000 tanda tangan.

Penulis petisi berharap kementerian dapat menetapkan peraturan baru untuk memastikan skema pendapatan yang layak, beban kerja yang manusiawi, hak-hak buruh, dan bantuan hukum saat dibutuhkan untuk kurir. Mereka juga mendesak platform e-commerce untuk memberikan pendidikan publik yang lebih baik tentang sistem cash-on-delivery karena serangkaian pelanggaran terhadap kurir oleh pelanggan yang tidak puas.

Keluhan tentang penganiayaan pekerja gig adalah fenomena global. Pada akhir Juli, China mengeluarkan kebijakan baru untuk melindungi pengendara pengiriman makanan dan memerintahkan platform online untuk menjamin pendapatan dasar dan kesejahteraan sosial bagi pengendara mereka. Di Singapura, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyatakan keprihatinannya terhadap pekerja pengiriman dan mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengatasi perjuangan para pekerja berupah rendah secara umum.

Dengan lebih dari 33 juta pekerja gig di Indonesia, para kritikus mengatakan pemerintah harus segera mengambil tindakan serupa. Adhinegara dari Celios membuat perbandingan dengan Inggris, di mana pengemudi Uber diklasifikasikan sebagai pekerja, bukan kontraktor independen wiraswasta. Analis percaya bahwa sektor teknologi Indonesia, yang valuasinya terus tumbuh, memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi dan kurirnya.

“Semua persyaratan untuk meresmikan hubungan kerja antara platform teknologi dan mitra pengemudi telah dipenuhi. Ada majikan, karyawan, deskripsi pekerjaan yang jelas, dan target kerja. Jika kita terus mendorong gig system untuk pekerja kasar, kita akan memperbesar sektor informal di mana pekerja tidak memiliki perlindungan dan keamanan kerja,” kata Adhinegara.

Saat dihubungi KrASIA, kepala logistik Gojek, Steven Halim, mengatakan bahwa mitra pengemudi GoKilat adalah bagian penting dari bisnis perusahaan. Pengemudi memiliki kebebasan untuk menentukan jam kerja mereka sendiri dan fleksibilitas untuk memutuskan berapa banyak paket yang ingin mereka kirimkan dalam sehari, tegasnya. “Pada saat yang sama, kami menyadari pentingnya memastikan mereka memiliki pendapatan yang berkelanjutan,” tambahnya.

“Kami memiliki skema pendapatan dasar yang kompetitif untuk pengemudi GoKilat, dan skema insentif yang memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk mendapatkan pendapatan tambahan.”

Steven tidak memberikan rincian tentang pendapatan dasar dan skema insentif tersebut, tetapi dia mengatakan kepada media lokal pada bulan Juni bahwa mitra kurir mendapatkan bonus Rp1.000 (USD 0,07) per paket untuk satu hingga sembilan pengiriman, naik hingga maksimum Rp. 2.500 (USD 0,18) per paket untuk pengiriman 15 paket ke atas.

Lazada juga memberikan tanggapan serupa. “Keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan setiap mitra Lazada Logistics, termasuk kurir kami, selalu dan akan selalu menjadi prioritas utama kami. Setiap mitra kurir Lazada di Indonesia berhak atas asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan,” ujar Philippe Auberger, Chief Logistics Officer Lazada Indonesia.

Sementara itu, tarif insentif rata-rata saat ini untuk mitra pengiriman Shopee Express di Jabodetabek adalah Rp 2.213 [USD 0,16] per paket berdasarkan 80 paket per hari. “Program insentif kami selalu sesuai dengan peraturan setempat, dan sangat kompetitif dalam industri jasa logistik. Kami mendukung mitra kurir kami melalui berbagai inisiatif lain termasuk menawarkan pelatihan dan perlindungan asuransi untuk memastikan lingkungan kerja yang lebih aman,” kata representatif Shopee kepada KrASIA.

Promotor reformasi, bagaimanapun, mengatakan bahwa model kemitraan antara kurir online dan platform teknologi bahkan tidak diakui oleh kerangka kerja Indonesia. “Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia tidak mengenal kemitraan semacam ini, jadi regulator harus segera meninjau [undang-undang untuk sistem ini],” kata Adhinegara. Sementara undang-undang nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengatur sistem kemitraan yang melibatkan UMKM, pekerja gig harus diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, tambahnya.

Sementara itu, Surahman dari Emancipate mengatakan bahwa jika mengubah status kurir dari “mitra” menjadi karyawan “terlalu sulit saat ini”, perusahaan teknologi harus memperbarui model saat ini untuk setidaknya memberikan jaminan pendapatan minimum dan asuransi.

Surahman, bersama dengan aktivis dan perwakilan komunitas kurir online lainnya, mengadakan pertemuan online dengan staf Kementerian Tenaga Kerja pada bulan Agustus. Usai pertemuan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan akan mengevaluasi sistem kemitraan hingga akhirnya melakukan perubahan untuk mendukung posisi tawar yang setara antara kurir dan perusahaan teknologi.

“Setelah petisi mencapai 10.000 tanda tangan, kami akan menindaklanjuti dengan kementerian untuk memberikan lebih banyak tekanan bagi publik. Mudah-mudahan pemerintah segera memberikan win-win solution,” kata Surahman.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Perubahan Persepsi Perusahaan Teknologi Terhadap Bursa Efek Indonesia

Bursa Efek Indonesia atau BEI akan memasuki masa sibuk. Setelah berbulan-bulan masa spekulasi, perusahaan e-commerce Bukalapak siap untuk menandai debutnya pada 6 Agustus, menjadi unicorn Indonesia pertama yang terdaftar di BEI. Kemungkinan besar, raksasa teknologi lokal lainnya seperti GoTo dan Traveloka akan menyusul.

Investor menyambut baik langkah Bukalapak. Perusahaan e-commerce ini berhasil mengumpulkan USD 1,5 miliar setelah menetapkan harga sahamnya di atas kisaran Rp 750-850, penerbitan terbesar sejauh ini di Indonesia, menurut sumber yang dikonsultasikan oleh Reuters.

Pembeli saham IPO Bukalapak meliputi investor institusi jangka panjang, pengelola dana kekayaan negara, dan investor ritel.

Meningkatkan kepercayaan diri untuk melantai di BEI

Karena perusahaan teknologi lain seperti GoTo Group, Traveloka, Tiket, dan Kredivo dilaporkan berencana untuk segera go public dengan skema dual listing di AS dan Indonesia, BEI saat ini sedang mempersiapkan peraturan baru untuk mengakomodasi sektor teknologi. Misalnya, bursa dan otoritas keuangan Indonesia, OJK, sedang mengkaji aturan baru terkait hak suara berganda (MVR), yang dimaksudkan untuk memberi pemegang saham yang ada kontrol lebih besar atas perusahaan.

Rancangan peraturan menetapkan bahwa total aset bagi perusahaan untuk menerapkan MVR harus minimal Rp 2 triliun (USD 138 juta), sedangkan bisnis harus telah beroperasi setidaknya selama tiga tahun. Pemegang saham dengan MVR, baik secara individu maupun kolektif, hanya dapat memiliki hingga 47,3% dari seluruh saham. Menurut aturan baru, jika mereka memiliki lebih dari itu, kelebihan MVR akan dianggap sebagai saham biasa.

“Alasan penerapan MVR adalah untuk memberikan kontrol yang lebih besar kepada para pendiri—yang merupakan orang-orang yang memegang peran kunci di perusahaan—untuk mempertahankan dan mewujudkan visi dan misi jangka panjang perusahaan setelah go public,” sebut I Gede Nyoman Yetna Setya, direktur penilaian perusahaan BEI, melalui pesan yang dikirim ke wartawan lokal melalui WhatsApp.

Regulasi baru tersebut masih menjadi pembahasan oleh OJK dan lembaga swaregulasi seperti BEI, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia, dan pemangku kepentingan lainnya di pasar modal.

Vishal Sridhar, seorang analis Asia Tenggara di The Economist Intelligence Unit di India, percaya bahwa jajaran baru perusahaan teknologi besar yang diperdagangkan di BEI akan memberikan dorongan signifikan terhadap kapitalisasi pasar bursa. Hal ini juga akan menarik investor ritel muda dan menginspirasi perusahaan internet lain di kawasan ini untuk memasuki pasar IPO lokal, ujarnya.

“Koalisi uang tunai yang melimpah serta munculnya investor ritel baru di area suku bunga rendah makin meningkatkan volume perdagangan dan memicu serangkaian penawaran umum perdana yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2020. Kita akan melihat banyak startup dari Asia Tenggara memasuki pasar perdana di tahun 2021–2022 saat ekosistem telah matang. Investor mencari exit sementara gelombang perusahaan teknologi berikutnya mulai muncul,” pungkas Vishal kepada KrASIA.

Saham teknologi akan menambah kepercayaan pada Bursa Efek Indonesia, para analis percaya. Dokumentasi oleh Afif Kusuma via Unsplash

Sementara kawasan Asia, secara umum, telah menjadi target akuisisi utama bagi banyak perusahaan SPAC, makin banyak reformasi pasar modal diperlukan bagi bursa regional untuk memikat perusahaan teknologi untuk go public di dalam negeri, kata para analis. “Bursa seperti BEI harus mengambil langkah keluar dari buku panduan Hong Kong dan menghasilkan reformasi ramah pasar independen yang terkait dengan berbagai kelas saham dan kerangka kerja khusus untuk perusahaan inovatif, dengan ambang batas keuntungan dan pendapatan yang rendah,” kata Sridhar.

Sejalan dengan optimisme Sridhar, Suresh Dalai, direktur senior manajemen operasi di perusahaan konsultan bisnis global Alvarez & Marsal, mengatakan bahwa saham teknologi baru akan membantu secara signifikan meningkatkan persepsi BEI sebagai bursa tujuan untuk IPO. Namun, yang lebih penting lagi, ini merupakan peningkatan kepercayaan yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

“Bukalapak direncanakan menjadi IPO terbesar dalam sejarah untuk BEI, yang akan meningkatkan merek bursa. Jumlah dan nilai listing di BEI tahun lalu menurun akibat pandemi, namun listing Bukalapak akan mendorong perusahaan lain untuk listing dan membangkitkan minat investasi pada 2021, menarik BEI keluar dari ‘kelesuan’ di 2020,” kata Suresh.

Antusiasme tinggi dari investor retail

Berdasarkan data KSEI, terdapat 5,6 juta investor saham pada Juni 2021 di Indonesia, naik 44,45% dibandingkan akhir tahun 2020 yang sebanyak 3,88 juta investor. Para ahli berpendapat, angka-angka tersebut menunjukkan peningkatan minat di pasar modal negara. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, mengatakan kepada media lokal bahwa minat masyarakat terhadap instrumen pasar modal merupakan pergeseran pengeluaran dari konsumsi ke investasi, sehingga meningkatkan permintaan di pasar keuangan.

CEO platform wealth management Moduit, Jeffry Lomanto, mengatakan kepada KrASIA bahwa antusiasme investor ritel dalam berburu saham berbasis teknologi saat ini sangat tinggi, terlihat dari “euforia” terhadap saham-saham bank digital yang terdaftar seperti Bank Jago ( ARTO), Bank Capital (BACA), dan Bank Neo Commerce (BBYB) pada tahun lalu. “Namun pada akhirnya, investor akan mempertimbangkan kembali dan menganalisis kecocokan antara harga saham dengan valuasi perusahaan sesuai dengan kondisi fundamentalnya,” imbuhnya.

Karena Bukalapak akan menjadi unicorn pertama yang go public, investor ritel makin ingin memiliki bagian dari perusahaan, kata Dalai dari Alvarez & Marsal. Dia membandingkan dengan harga saham Sea Group, yang meningkat pesat tahun lalu, menjadikannya perusahaan publik paling berharga di Asia Tenggara.

“Investor ritel telah melihat peningkatan belanja online sejak pandemi dan melihat landasan luar biasa dalam sektor e-commerce di Indonesia. Pasar e-commerce di Indonesia telah tumbuh lebih dari lima kali lipat antara 2015 dan 2020 dan naik lebih dari 10% di tengah pandemi tahun lalu. Saya yakin konsumen akan berbelanja online lebih banyak lagi pasca pandemi,” ucap Suresh. “Fakta bahwa perusahaan e-commerce seperti Shopee dan Bukalapak telah mencapai valuasi tinggi, meskipun mengalami kerugian yang signifikan, menunjukkan minat yang luar biasa untuk investasi dari investor ritel.”

Apakah tren ini akan berlanjut?

Jeffry dari Moduit mengatakan bahwa investor mungkin saja membeli saham dan bereksperimen—sebagian karena hype tetapi juga karena tidak mau ketinggalan. Investor pada tahap ini biasanya lebih intuitif daripada rasional, lebih agresif, dan fokus pada akumulasi kekayaan, sebutnya.

“Mereka bersedia mencoba instrumen investasi apa pun, terutama jika sedang hype. Namun, jenis investasi yang menawarkan pengembalian jangka pendek, seperti saham, emas, dan crypto, lebih disukai,” katanya.

Melihat situasi tersebut, tampaknya antusiasme investor terhadap saham teknologi kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan perusahaan besar Indonesia yang akhirnya mencatatkan sahamnya di BEI. Namun, Jeffry mencegah risiko berinvestasi di perusahaan yang tidak menguntungkan. “Ada beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan. Pertama, kami melihat pendorong pertumbuhan utama seperti margin operasi dan arus kas. Dengan begitu, investor bisa mengetahui seberapa mahal atau murahnya valuasi perusahaan.”

Kemudian, setelah mengalami siklus pasar penuh, termasuk untung dan rugi, investor akan berkembang, kata Jeffry. Mereka akan lebih serius membangun portofolio dan lebih fokus untuk melestarikan kekayaan. Akibatnya, instrumen investasi seperti reksa dana dan obligasi, yang memberikan stabilitas dan pengembalian jangka panjang, akan tetap diminati, tambahnya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial