Arip Tirta: Teknologi Bisa Mengubah Orang dan Bisnis Secara Cepat dan Signifikan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Silicon Valley menjadi ‘surga’nya industri startup dan Arip Tirta sempat menjajal kawasan ini selama hampir 7 tahun, menganalisis pasar untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan.

Pada tahun 2011 ia memutuskan untuk pulang dan membangun usahanya sendiri. Ia memulai debut di bidang properti bersama UrbanIndo, sebuah layanan online yang membantu penggunanya untuk memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia. Setelah diakuisisi oleh startup proptech lain 99.co, Arip melanjutkan berjalanan bisnisnya di sektor akomodasi, Bobobox. Selain membangun usaha, dia juga aktif berinvestasi di startup, termasuk terlibat langsung dalam operasional perusahaan di beberapa startup.

Saat ini, Arip sedang fokus pada Evermos, sosial commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam mengembangkan ekosistem UKM, juga berperan menjadi bagian dari komisaris BRI Ventures untuk membantu membangun ekosistem VC di Indonesia.

Selain pengalamannya di Silicon Valley, Arip Tirta memiliki spesialisasi di bidang modal ventura, pinjaman ventura, perusahaan ekuitas, start-up, wirausahawan, manajemen keuangan, dan model bisnis. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi mengenai bisnis dan ekspektasi masa depan industri teknologi Indonesia.

Kapan pertama kali Anda menyadari ketertarikan pada industri teknologi?

Saya memiliki latar belakang pendidikan di bidang komputasi ilmiah. Sebuah ilmu kombinasi dari matematika terapan, statistik, dan ilmu komputer. Selama di kampus, saya selalu bermimpi untuk masuk ke Wall Street dan menjadi seorang trader. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Di tahun terakhir kuliah saya, saya mendapat kesempatan wawancara dengan salah satu perusahaan modal ventura & ekuitas swasta yang berbasis di Palo Alto. Saat itu, sudut pandang saya tentang industri teknologi masih terbatas, namun, akhirnya saya diterima karena kemampuan teknis.

Perjalanan awal saya di industri teknologi adalah menjadi analis untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan. Selama beberapa tahun pertama, saya adalah generalis sampai pada akhirnya memutuskan untuk fokus pada industri teknologi di tahun ketiga. Saat itu, semuanya mulai terasa lebih menarik. Selama hampir 7 tahun menganalisis pasar di Silicon Valley, saya memutuskan untuk pulang serta mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari di sana.

Pertemuan tahunan Hercules Capital tahun 2008

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di Silicon Valley, apa yang meyakinkan Anda untuk meninggalkan kawasan itu dan pulang ke Indonesia?

Jika ada satu hal yang saya pelajari di Silicon Valley, teknologi dapat mengubah orang dan bisnis secara cepat dan signifikan. Contohnya, dalam hal pemasaran. Pada era ketika internet sangat eksklusif, orang harus mengeluarkan banyak uang untuk iklan. Saat ini, pilihan semakin banyak, banyak hal yang bisa dilakukan bahkan dengan keterbatasan finansial. Teknologi mengubah cara kerja pemasaran dan hal ini akan terus berkembang.

Pada tahun 2010, Indonesia mengalami era ledakan internet yang pertama, salah satu momen bersejarah adalah akuisisi Koprol oleh Yahoo! Saya menyaksikan pertumbuhan perusahaan teknologi Indonesia dari jauh dan cukup terkesan. Dengan beberapa pertimbangan serius, saya akhirnya mengambil keputusan besar dan meninggalkan Silicon Valley untuk berkontribusi dalam kapasitas saya dengan pengalaman saya ke pasar Indonesia.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam membangun startup?

Ketika kita ingin memulai sesuatu, tidak yang namanya perfect timing. Beberapa bulan sebelum berangkat ke kampung halaman, saya sudah mengerjakan beberapa ide dan rencana bisnis, salah satunya adalah industri real estate.

Penampakan Indonesia di tahun 2010 adalah seperti wild wild west dimana infrastruktur dasar sangat terbatas. Oleh karena itu, kami [penggiat teknologi] secara kolektif berusaha mengembangkan fondasinya. Saya melakukannya di sektor properti, lalu yang lain juga melakukannya di berbagai sektor. Pada saat yang sama, kita pun perlu mengedukasi pasar. Dalam kasus ini, pasar tidak hanya mewakili pengguna akhir tetapi juga pemerintah, termasuk keluarga alias masyarakat.

Ketika menginjakkan kaki kembali di tanah air, saya sadar bahwa tidak seharusnya membandingkan kultur kerja di sini dengan yang ada di Silicon Valley. Oleh karena itu, semua saya lakukan tanpa ekspektasi tinggi, yang penting bisa berjalan lancar. Kami mendirikan UrbanIndo pada tahun 2011, layanan online yang membantu pengguna memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia.

Kegiatan akhir tahun UrbanIndo tahun 2014

Pertama, saya melihat dunia properti Indonesia kekurangan data pasar dan memutuskan untuk melakukan disrupsi agar lebih banyak orang dapat memiliki lebih banyak wawasan di sektor ini. UrbanIndo dibangun untuk menjadi situs properti terbaik di Indonesia dengan mendefinisikan ulang cara pandang masyarakat Indonesia terhadap properti. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia dapat mengambil keputusan terbaik terkait investasi properti. Kami fokus pada wawasan pasar, perubahan harga, proyeksi, undervalued property yang tersedia, dan sebagainya.

Kami melakukan segalanya dalam kapasitas kami untuk membangun platform ini, didukung oleh Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, dan angel investor terkemuka. Sebuah masa yang menyenangkan selama hampir 7 tahun membangun bisnis sampai pada akhir tahun 2017, kami akhirnya memutuskan untuk menerima unsolicited offer dari startup pencarian properti Singapura 99.co.

Diketahui aktif sebagai angel investor, Anda juga salah satu Co-Founder Bobobox serta secara langsung berkontribusi dalam operasionalnya sebagai Managing Director selama hampir satu tahun. Bagaimana Anda mengelola waktu dan kepentingan?

Ketika di UrbanIndo, saya juga menjalankan angel investing. Ada beberapa sektor yang rentan disrupsi. Dengan bobobox, saya terlibat sejak awal. Saya melihat industri travel sedang dalam puncak kejayaan. Banyak orang bepergian, sekedar untuk konten atau dengan harapan mendapat ketenangan pikiran. Lalu kami menemukan bahwa akomodasi yang memakan banyak biaya menjadi masalah besar di segmen ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memaksimalkan ruang sehingga menghasilkan penawaran harga yang hemat biaya.

Bobobox didirikan pada tahun 2018, solusi akomodasi baru, muda, ramping, gesit, dan cerdas untuk semua orang. Bobobox menjadi akomodasi alternatif bagi para pelancong milenial dan smart traveler yang ingin mencoba sesuatu yang baru dan berbeda. Platform ini dibangun untuk merevolusi kebiasaan tidur dan membantu orang tidur lebih baik dan menyajikan pengalaman lebih banyak melalui teknologi.

Angel Investing di Indonesia semakin populer karena banyak pendiri startup telah exit dan individu dengan kekayaan berlimpah yang semakin tertarik untuk berinvestasi langsung di startup. Berbeda halnya dengan Silicon Valley, karena di sana sudah terjadi siklus penuh dari pendirian startup hingga exit. Sementara di Indonesia, tahun ini bisa terjadi full cycle ketika unicorn/decacorn nasional berhasil exit di bursa luar negeri.

Sebagai social commerce, Evermos fokus untuk memberdayakan UMKM dan individu pada platformnya, secara khusus brand-brand Muslim. Mengapa anda memutuskan menggunakan pendekatan seperti ini?

Kilas balik ke Silicon Valley, dulu saya sempat berpikir untuk memulai usaha di ranah e-commerce. Di setiap daerah, sektor yang biasanya lebih dulu take off adalah e-commerce, juga yang pertama menjadi unicorn. Namun, ketika saya melihat situasi di Indonesia saat itu, sudah ada beberapa pemain papan atas dan jika harus menambahkan, tidak akan ada perbedaan yang signifikan dalam hal value proposition.

Melaju ke 2018, saya melihat ada banyak pain points di industri ritel. Ada banyak perantara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus dari pemilik merek hingga pengguna akhir. Dan saya berpikir, bagaimana mendisrupsi pasar ritel ini? Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi persentase pembelian online masih terhitung tidak cukup besar. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah manusia sebagai makhluk sosial dan budaya.

Saat itu, perdagangan sosial belum menjadi sesuatu. Bahkan, kami juga berusaha membawa dampak positif e-commerce ke pasar yang lebih besar. Didirikan pada November 2018, Evermos menjadi social commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform kami.

Kami ingin menciptakan ekonomi dan kesejahteraan yang inklusif dengan memberikan akses, kesempatan, dan pelatihan bagi individu dan UKM untuk lebih mandiri secara finansial.

Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, oleh karena itu, kami memutuskan menjadi platform yang berbasis syariah. Namun, ini tidak eksklusif dan terbuka untuk semua jenis pedagang terlepas dari basis syariah tersebut. Pendekatan ini semata-mata demi membuat platform lebih inklusif.

Saya memutuskan fokus dengan UKM karena industri ini telah menyumbang 60% dari PDB kita dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja domestik. Belum dihitung dengan pekerja unskilled. Evermos dianggap mengambil jalan yang sulit, jauh lebih mudah menjangkau merek global dengan pola pikir yang berkembang dan teknologi yang canggih. Namun, kami mempertanyakan diri sendiri, dampak seperti apa yang ingin diberikan, apakah itu menghasilkan keuntungan jangka pendek atau keuntungan jangka panjang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk fokus pada merek lokal yang dapat memberikan dampak bagi perekonomian bangsa.

Kami percaya sekelompok orang atau UKM yang bekerja sama dengan platform dan insentif yang tepat, dapat mencapai sesuatu yang substansial. Itulah mengapa kami menaruh kepercayaan pada social commerce, karena ini adalah ekonomi kerakyatan, di mana kami dapat menjadi jembatan bagi UKM di tahap awal. Dengan Evermos, mereka dapat fokus pada produksi untuk menciptakan harga yang kompetitif dengan pemain global. Saluran penjualan kami tersebar di seluruh Indonesia, sehingga merek lokal otomatis akan memiliki jangkauan nasional. Inilah yang menjadi proposisi nilai kami.

Ketakutan terbesar saya dari sisi startup teknologi atau UKM adalah negara kita menjadi konsumen tunggal. Kita harus bisa membangun nilai, bukan menjadi pedagang tunggal. Perekonomian Indonesia harus memiliki dampak positif, itu adalah bagian penting dari bangsa ini.

Perjalanan pitching pertama Evermos di 2018

Anda telah mengarungi sektor properti, akomodasi, lalu social commerce. Apa yang menjadi tantangan terbesar atau pelajaran berharga dari semua pengalaman tersebut?

Setiap industri memiliki masalah yang berbeda. Sebenarnya, ada beberapa masalah serupa yang harus kita waspadai dan tingkatkan secara kolektif. Di Indonesia, beberapa startup biasanya mengalami kesulitan dalam monetisasi. Kesalahan kami sebelumnya adalah memikirkan pangsa pasar dan menjadi yang terdepan lebih dulu, lalu memikirkan tentang monetisasi. Strategi ini telah terbukti di banyak negara. Nyatanya, Indonesia adalah bangsa yang unik, banyak orang berpendapat solusi internet seharusnya gratis. Strategi seperti ini mungkin berhasil di negara lain tetapi di Indonesia adalah sebuah peruntungan.

Kedua, sumber daya manusia. Hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis karena kurangnya pekerja di lapisan tengah. Dari sisi suplai, talenta masih cukup langka, terutama yang berlatar belakang teknologi. Saya pikir kedua masalah ini terjadi di hampir semua sektor.

Berpengalaman sebagai venture capitalist serta venture builder, bagaimana Anda melihat iklim investasi di Indonesia serta proyeksi pertumbuhan industri teknologi Indonesia beberapa tahun terakhir?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, Indonesia belum pernah menciptakan satu siklus penuh dalam hal investasi ventura. Mulai dari investasi hingga panen. Tahun ini akan menjadi tahun validasi bagi unicorn/decacorn yang sudah memiliki rencana IPO. Semoga exit tersebut juga bisa menjembatani startup lain untuk kegiatan M&A. Indonesia sudah menjadi pasar yang sangat menarik, ini adalah cara kita untuk memicu lebih banyak kisah sukses yang berdampak pada seluruh ekosistem.

Di era pandemi, banyak orang mencari modal, sementara VC semakin selektif dengan investasinya. Melalui dua perspective, bagaimana menurut Anda sebuah bisnis layak mendapat investasi serta apa value utama yang dicari investor dari sebuah bisnis/seorang founder?

Pandemi ini adalah sebuah anomali dan yang menjadi reaksi pertama adalah menunggu dan mengamati. Seiring berjalannya waktu, investor semakin beradaptasi dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini, melihat beberapa perusahaan dapat melewatinya dengan pertumbuhan yang sehat. Lagipula, ada sejumlah uang yang harus dikucurkan ke perusahaan. Ketika masa menunggu dan mengamati berlalu, para investor mulai masuk secara selektif.

Saat ini, banyak startup yang juga sedang menggalang dana, dan situasinya diharapkan semakin membaik. Mengenai penilaian VC, itu sangat tergantung pada pasar dan pengalaman pribadi. Ada kalanya pertumbuhan menjadi hal yang mendasar,  dewasa ini, bukan lagi perihal pertumbuhan dengan cara apapun, tetapi pertumbuhan yang sehat.

Sebagai salah satu komisaris di BRI Ventures, saya pribadi memiliki dua hal. Pertama, perusahaan ingin membangun ekosistem VC di Indonesia. Karena banyak VC membangun kantor di negara ini, uangnya tidak tinggal di sini. Hal ini adalah tentang bagaimana membuat VC dan uangnya bisa tinggal untuk membangun ekosistem. Kedua, BRI sebagai bank yang fokus pada UKM sangat selaras dengan passion saya terhadap UKM.

Para direktur dan komisaris BRI Ventures di 2020

Sebagai salah seorang yang layak disebut seasoned entrepreneur, apa hal yang dapat Anda sampaikan untuk para penggiat teknologi yang saat ini sedang berjuang membangun bisnis di era pandemi?

Untuk membuat startup teknologi, diperlukan pola pikir tertentu serta tidak menunggu waktu yang tepat. Selalu pikirkan jalan keluar terbaik dari situasi apa pun. Bagaimana kita bisa membuat kartu yang jelek bisa bekerja. Faktanya, ketika kita memutuskan untuk membangun usaha, tantangan adalah sesuatu yang sudah diantisipasi. Jika Anda harus menunggu waktu yang tepat, bagaimana Anda bisa menghadapi lebih banyak tantangan di depan.

Saya pribadi suka tangan saya kotor, itulah mengapa saya selalu terlibat di level operasional. Namun, saya mengerti bahwa inilah saatnya bagi kaum muda untuk berkembang. Saat ini saya sedang memfokuskan energi saya untuk membimbing dan sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ini. Kita hidup di masa yang sangat menyenangkan. Sekitar 400 tahun yang lalu, hampir tidak mungkin menciptakan dampak besar dalam waktu sesingkat itu. Teknologi menciptakan kesempatan yang sama dan menarik kesenjangan lebih dekat bagi orang-orang untuk menciptakan dampak yang besar.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Ambisi Startup Konten Podkesmas Kuasai Pasar Indonesia dan Asia Tenggara

Perkembangan teknologi serta kehadiran internet semakin menambah pilihan akses terhadap konten informasi dan hiburan. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah podcast. Menurut proyeksi Businesswire, ukuran pasar podcast global diperkirakan akan mencapai $41,8 miliar pada tahun 2026. Indonesia sendiri menjadi pendengar podcast terbanyak se-Asia Tenggara menurut Spotify di tahun 2020.

Salah satu podcast yang cukup bersinar namanya di Indonesia adalah Podkesmas atau singkatan dari “Podcast Kesehatan Masyarakat”. Podkesmas merupakan salah satu pioner podcast di Indonesia yang digawangi oleh Ananda Omesh, Imam Darto, Surya Insomnia, dan Angga Nggok. Pada tahun 2020, Podkesmas melebarkan sayap dengan membuat Podkesmas Asia Network (PAN). Entitas ini juga disebut telah didukung oleh pemodal ventura Absolute Confidence yang didirikan oleh Aryo Ariotedjo.

Hingga saat ini, Podkesmas sudah menaungi sejumlah podcast besar seperti Podcast Pemain Cadangan, GJLS Entertainment, Zozolab Podcast, dan Podcast Malam Kliwon. Selama satu tahun berdiri, Podkesmas berhasil menduduki urutan pertama dalam daftar podcast paling populer di Indonesia yang ada di Spotify.

Roy Simangunsong sebagai CEO

Di awal bulan Juni ini, Podkesmas resmi memperkenalkan Roy Simangunsong sebagai Co-Founder sekaligus CEO dari PAN. Roy sendiri memiliki latar belakang yang sudah tidak asing di dunia media digital dan IP (Intellectual Property). Ia pernah menjadi bagian dari tumbuh pesatnya Yahoo, Twitter, dan FOX di Indonesia. Dalam laman LinkedIn-nya, Roy turut membagikan kiprahnya selama 22 tahun berkecimpung dalam dunia korporat lokal dan global, hingga pada akhirnya memutuskan untuk memulai perjalanan membangun sebuah legacy yang fokus pada konten audio digital.

Mengenai keputusannya, Roy menyebutkan bahwa energi dari founder yang sangat positif dan banyaknya investor yang melihat potensi di pasar konten terkait audio menjadi alasan pertama. Lalu, keseriusan talent PAN untuk menjadi yang terbaik, terbukti dengan konsistensi dalam menyajikan konten yang dicari oleh para pendengar.

Roy juga mengungkapkan, “Kejujuran dari PAN akan kekurangan dan kelebihan yang akan membuat kita (Roy dan founder) untuk saling melengkapi dalam rangka merealisasikan impian PAN untuk menjadi Podcast Network terbaik di Asia Tenggara sekaligus menjadi network dengan IP yang akan mengembangkan teknologi audio di mana pendengar podcast bisa mempunya experience seperti audio cinema.”

Salah satu Founder PAN, Angga Nggok menyebutkan pertumbuhan PAN sudah melampaui 1000% Month on Month untuk jumlah pemutaran dan penambahan network podcaster atau storyteller yang sudah double digit.

Dalam postingan LinkedIn-nya, Roy turut mengungkapkan, “Kami percaya dengan IP yang tepat, memiliki jaringan pembuat konten yang hebat, ditambah inovasi teknologi untuk memungkinkan mereka menghibur imajinasi audiens , kami bisa mencapai objektif kami untuk memimpin pasar di SEA dalam 3 tahun ke depan. Tentunya sembari mengembangkan diri di seluruh Asia atau bahkan secara global akan selalu menjadi tujuan kami.”

Podcast sebagai model bisnis

Dari segi model bisnis, podcast sebenarnya tidak jauh berbeda dengan radio. Seiring meningkatnya jumlah pendengar, podcast bisa mulai menghasilkan pendapatan melalui iklan yang masuk. Namun, terkadang iklan saja tidak cukup. Dalam sebuah paparan yang dipublikasi oleh salah satu venture capital di Silicon Valley, Andreessen Horowitz, ada empat skema monetisasi melalui podcast.

Yang pertama dan masih jadi yang utama adalah iklan atau sponsor. Meskipun dinilai efektif dan dengan cara yang unik (karena dapat menyasar demografi serta geografi yang nyaris tanpa batas), terkadang iklan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi.

Selain itu, ada donations yang memungkinkan pembuat konten mendapatkan revenue melalui donasi lewat pihak ketiga dari para pendengarnya. Salah satu platform yang familiar digunakan di Indonesia, Anchor, memungkinkan pendengar memberikan donasi kepada pembuat konten hingga $10/bulan.

Lalu ada subscription dan a la carte purchases, model berlangganan premium ini populer di Cina, salah satu platform audio konsumen yang sudah mencapai status unicorn, Ximalaya memiliki fitur berlangganan seharga $3 per bulan yang memungkinkan pengguna mengakses lebih dari 4000 e-book dan lebih dari 300 kursus audio atau podcast premium. Konten audio juga tersedia a la carte mulai dari $0,03 per episode, atau mulai dari $10 hingga $45 untuk kursus audio berbayar.

Menurut observasi penulis, dua skema pertama adalah yang paling memungkinkan untuk diterapkan oleh jaringan pembuat konten tanpa platform independen. Podkesmas sendiri sudah memulai langkah monetisasi dengan memasukkan iklan ke dalam kontennya. Menurut kesaksian seorang pendengar setia Podkesmas, iklan yang disematkan dalam konten berupa klip yang diputar saat jeda percakapan dan iklan yang dilafalkan secara langsung.

Di luar skema monetisasi digital yang disebutkan, Podkesmas juga mengembangkan bisnis merchandise yang dikeluarkan dalam rangka ulang tahun pertama di tahun 2020, berkolaborasi dengan Never To Lavish yang dikenal sebagai salah satu produk kreatif lokal.

Line Bank Is Officially Available in Indonesia, in Collaboration with Bank Hana

KEB Hana Bank Indonesia (Hana Bank) and LINE Corporation officially launched LINE Bank by Hana Bank (LINE Bank) in Indonesia yesterday (10/6) which was marked by the launch of its application for public. Indonesia is LINE Bank’s third market, following Thailand (LINE BK) and Taiwan (LINE Bank).

Collaboration between the two companies started in October 2018, when LINE Financial Asia acquired 20% stake in Hana Bank through an equity participation agreement. This was the beginning of the first foreign digital banking service, between banks and technology companies.

LINE Bank will be available in the Indonesian financial industry to provide digital banking services that are convenient and easy to use. [..] LINE Bank will provide various financial products and fintech services that are tailored to the needs and interests of our customers,” Hana Bank’s President Director, Jong Jin Park said in an official statement, Friday (11/6).

LINE Financial Asia’s COO, Young Eun Kim added, “We will do our best through the collaboration of LINE and Hana Bank, therefore, Indonesian people can use LINE Bank and enjoy more convenient financial services.”

LINE Bank will provide financial services to a wider customer segment, including Generation Z as the majority of LINE users. The entire registration process of a new Hana Bank customer who want to create a LINE Bank account is done through the application, a debit card will be sent after the process is complete.

LINE Bank focuses on providing retail banking services, including deposits, savings and transfers. For savings, LINE Bank offers free transfer fees, cash withdrawals, and monthly admin fees. The balance currently available to be used to pay electricity and credit bills.

All LINE Bank transaction notifications are connected to the LINE Messenger application. Meanwhile, for deposit products, LINE Bank offers savings starting from IDR 1 million with competitive yields.

In Thailand, for example, LINE collaborated with Kasikornbank (KBank) to offer special rate account openings with interest rates up to 1.5% per year and debit card applications. This whole process is done through the LINE app, therefore, users don’t have to switch apps or remember another account numbers.

In addition, the Credit LINE personal loan product can be applied at any time, the approval process is faster, therefore, the money can be immediately disbursed. In the future, LINE BK will offer a wider variety of financial solutions, such as insurance products and financial investments.

It is said that LINE BK is able to reach more than 2 million users in February 2021, four months after its debut. As many as 50 thousand new savings accounts are opened every day and the number of transactions has exceeded 21 billion Bath (approximately 9.8 trillion Rupiah).

After Indonesia, Thailand, and Taiwan, LINE Bank’s next step is to enter Japan, as one of the largest LINE user base countries.

More banks are offering fully digital services to attract new digital savvy and mass market customers. The ability to mix financial products that are in line with target consumers is considered an effective move.

OJK reports that there are currently seven banks in the process of licensing to become digital banks. Those are Bank BCA Digital, BRI Agro, Bank Neo Commerce, Bank Capita, Bank Harda Internasional, Bank QNB Indonesia, and Bank Hana.

In addition, there are five banks that already established as digital banks. Those are Bank BTPN, Wokee from Bank KB Bukopin, Digibank owned by DBS Bank, TMRW from Bank UOB, and Jago owned by Bank Jago.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Penyedia Solusi Supply Chain GrosirOne Targetkan Pendanaan Seri A 142 Miliar Rupiah

Salah satu startup penyedia solusi supply chain, GrosirOne, sedang mengincar pendanaan seri A senilai $7 s/d $10 juta atau setara 142 miliar Rupiah. Perusahaan menargetkan sekitar dua atau tiga pendana institusi untuk masuk dalam putaran ini. Hasil putaran pendanaan ini akan digunakan untuk menambah distribution center di dalam dan luar Pulau Jawa serta memperkuat kerja sama dengan mitra.

Didirikan pada tahun 2019 oleh Erben Noerman, Jordy Jonatan, dan Felix Boenawan, GrosirOne mengawali bisnis dengan menawarkan solusi bagi distributor yang mengalami gangguan cash flow karena keterlambatan pembayaran dari pemain UMKM. Platform ini dibuat sebagai jembatan bagi para supplier, distributor, dan retailer serta menawarkan manfaat finansial melalui partner bank atau p2p lending untuk pinjaman produktif.

Pada awalnya, perusahaan fokus pada industri FMCG karena latar belakang dan pengalaman co-founder dan tim akuisisi di industri tersebut. Namun timnya terus melakukan eksplorasi ke berbagai industri lainnya yang seperti produk daging, udang dan sebagainya. Dalam waktu kurang lebih 2 tahun, GrosirOne telah bekerja sama dengan 107 principal, 54 distributor, 5900 motorist dan tercatat telah memiliki lebih dari 35 ribu outlet di seluruh Jawa.

“Agar dapat terus melakukan channeling untuk pendanaan, maka kami telah bermitra dengan Bank dan juga Institusi Keuangan Non-Bank seperti perusahaan fintech lending. Sejak tahun 2020 kami telah bermitra dengan Investree, Batumbu, KreditPro, dan Bank Jawa Barat. Di tahun 2021 ini kami telah bekerja sama dengan Danamart, Akseleran, Dompet Kilat, Modalku dan Bank Rakyat Indonesia melalui Mastercard”, ungkap Erben.

Selama masa pandemi, perusahaan melihat banyak sekali pelaku UMKM baik di level distributor hingga retailer yang mengalami kesulitan dari segi keuangan bahkan hingga ada beberapa yang menutup usahanya. Di masa seperti ini GrosirOne diuji sebagai platform solusi untuk dapat membantu para pelaku UMKM tetap bertahan bahkan berkembang selama masa pandemi.

Erben menambahkan bahwa sejauh ini perkembangan GrosirOne dapat dibilang telah melebihi dari target yang telah di tentukan sehingga yakin untuk memulai fund raising seri A. Tahun 2021 sampai awal bulan Mei 2021 saat ini Gross Transaction Value (GTV) telah mencapai 770 Miliar Rupiah dengan pertumbuhan yang sangat tinggi semenjak Desember 2020 yaitu sebanyak 152%.

Target ke depan

GrosirOne mengawali perjalanan pendanaan dari pengenalan oleh salah satu co-founder dengan Alexander Rusli, Co-founder Digi Asia Bios. Ia mengambil peran sebagai angel investor sekaligus advisor perusahaan hingga saat ini.

Ketika disinggung mengenai fokusnya menargetkan pendana institusi, GrosirOne mengaku sebagai perusahaan startup membutuhkan dukungan dengan kredibilitas yang solid  yang nantinya akan menjadi benchmark atas valuasi dan pendanaan perusahaan.

Terkait rencana ke depan, perusahaan masih mendengarkan dan memproses feedback yang didapat dari para pengguna untuk kemudian diterjemahkan menjadi kebutuhan bisnis dan pengembangan layanan dan platform GrosirOne.

“Tahap selanjutnya kami akan berfokus kepada pengembangan yang menuju arah otomatisasi dari segi pengumpulan data pengguna, sehingga memudahkan proses onboarding para Principal, Distributor, Retailer, maupun Motorist ke dalam Platform GrosirOne,” ujar Felix.

Dari sisi geografis, saat ini GrosirOne sudah menjangkau seluruh bagian pulau Jawa, sebagian wilayah Indonesia Tengah dan Timur seperti Gorontalo, Kupang, Maluku dan Ternate. “Kami berencana untuk segera memperluas wilayah jangkauan ke skala nasional, serta memperdalam sentuhan ke rantai bawah supply chain yaitu para retailer dan motoris.”

Beberapa startup yang juga menawarkan solusi serupa termasuk Advotics dan Ula.

Application Information Will Show Up Here

Arip Tirta: Technology Can Change People and Business in a Fast and Significant Way

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Silicon Valley is the paradise of the startup industry and Arip Tirta spent nearly 7 years analyzing the market for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. He has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models.

In 2011 he decided to come home and built his own venture. His startup debut is in the property sector, with UrbanIndo, an online service that helps its users to market, sell, and buy property in Indonesia. After being acquired by another proptech startup 99.co, Arip moved to the next venture in the accommodation sector, Bobobox. Aside from building a venture, he also actively invest in startups, he also directly involved in some of the startups.

Arip’s current focus now lies in Evermos, the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers through the platform. He’s currently very passionate about cultivating the SME ecosystem, also become a part of BRI Ventures’ commissioner to help to build the VC ecosystem in Indonesia.

Aside from his experience in Silicon Valley, Arip Tirta has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models. DailySocial team has an opportunity to discuss his venture and future expectations of the Indonesian tech industry.

When was the first time you realize that you’re in the tech industry?

I have an educational background in scientific computing. It’s a combination of applied math, statistics, and computer science. During my campus life, I always dreaming about making it into Wall Street and become a trader. Then, life got in the way. In my last year of college, I got an interview with one of the venture capital & private equity-based in Palo Alto. My viewpoint of the tech industry was limited at that time, however, I managed to pass the interview with my technical skill.

My first attempt in the tech industry was being an analyst for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. During my first few years, I was being a generalist until I decided to focus on the tech industry in my third year. I think that was when it all started to become more interesting. I spent 7 years analyzing the market in Silicon Valley and leaving with the finest seeds to plant in the home country.

Hercules Capital annual meeting circa 2008

You’ve had the time of your life in Silicon Valley, what makes you leave the “it” city and decided to come home?

If there is one thing I’ve learned in Silicon Valley, technology can change people and business in a fast and significant way. In terms of marketing, back in the day when the internet is very exclusive, people have to pay loads of money for ads. Nowadays, when there are options, everything is made possible even with just a little money. Technology is changing the way marketing works and still counting.

In 2010, Indonesia was having its first internet boom, one of the historical moments was Koprol’s acquisition by Yahoo! I was watching Indonesian tech companies’ growth from afar and quite impressed. With some serious considerations, I finally pull the trigger and leave Silicon Valley to contribute more in my capacity with my experience to the Indonesian market.

How was your first experience building a startup?

When we want to start anything, there is no such thing as perfect timing. Few months before leaving for my hometown, I’ve already worked on some ideas and business plans, one of which is the real estate industry.

Indonesia circa 2010 is like a wild wild west where basic infrastructure is very limited. Therefore, we [tech enthusiasts] collectively trying to develop the foundation. I did it in the property sector, there are others in different sectors. At the same time, we need to educate the market. Market in this sense not only stands for end-users but also the government, including families a.k.a societies.

When I set my foot back in this archipelago, I’m aware that I shall not compare how things work in here with the way things are in Silicon Valley. Therefore, I did it all without high expectation, just try to make it work. We founded UrbanIndo, an online service that helps users market, sell, and buy property in Indonesia in 2011.

UrbanIndo year-end event circa 2014

First, I see the Indonesian property lacks market data and decided to disrupt this industry for more people can have more insights on this sector. UrbanIndo was build to become the best property site in Indonesia by redefining the way Indonesians looking at properties. Therefore, all Indonesian people can make the best decision regarding investment in property. We’re focused on market insights, changing prices, projections, available undervalued property, and so on.

We did everything in our capacity to build this platform, it was backed by Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, and prominent angels. It was an exciting nearly-7-years time of making business work until in late 2017, we finally decided to accept an unsolicited offer from Singapore’s property search startup 99.co.

It is said that you are also an active angel investor. With Bobobox, you become the Co-Founder and directly contribute to managing day-to-day operations as Managing Director for almost a year. How did you manage?

While I was working with UrbanIndo, I also did some angel investing. There are several sectors that are worth disrupting. With bobobox, I was involved since the beginning. I see the travel industry is at its peak. Many people are traveling a lot, despite for content or just for peace of mind. We then found out that accommodation becomes a big cost-related issue in this segment. One of the ways to solve this problem is to maximize space resulting in cost-effective price.

Bobobox was founded in 2018, a new, young, sleek, nimble, and smart accommodation solution for everyone. Bobobox becomes the alternative accommodation for millennial adventurers and smart travelers who crave something new and refreshing. The platform was built to revolutionize sleeping habits and help people sleep better and experience more through technology.

Angel investing in Indonesia is getting popular as many startup founders have exited with high net worth individuals growing interested to invest directly in startups. In Silicon Valley, it’s different indeed as they have passed some full cycle from startup founding to exit. Meanwhile in Indonesia, it’ll make its full cycle this year when the nation’s unicorn/decacorn succeeded to exit in the overseas stock exchange.

As social commerce, Evermos focuses to empower SMEs and individuals on its platform, especially Muslim brands. Why do you take this approach?

Throwback to Silicon Valley, I used to think I would start my venture with e-commerce. In every region, the sector that is usually taking off first is e-commerce, the first one to make it into a unicorn. However, when I examine the current situation in Indonesia, there are already some leading players and if I added one more, there will not be a significant difference in terms of a value proposition.

Fast forward to 2018, I see the there are lots of pain points in our retail industry. It requires many middlemen to complete the cycle from brand owners to end-users. And I think to myself, how to disrupt this retail market? Years have passed since e-commerce expanding all around Indonesia, but the percentage of online purchasing is considered not big enough. There are several reasons, including people as a social being and culture.

Back then, social commerce is yet to be a thing. In fact, we also tried to bring the positive impact of e-commerce to a bigger market. Founded in November 2018, Evermos is the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers via our platform.

We want to create inclusive economy and prosperity by giving access, opportunity and training for individuals and SMEs to become more financially independent.

Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, therefore, we decided our platform be sharia compliance. However, it is not exclusive and it’s open for all kinds of merchants regardless of the sharia compliance. The approach is to make the platform more inclusive.

SME becomes one of my focus since it contributes to 60% of our GDP and absorbs around 97% of domestic employment. Try counting the unskilled workers, too. Evermos is considered to take the hard road as it is easier to deal with global brands with a growth mindset and sophisticated technology. However, we did questioning ourselves about the impact we want to create, is it to make a short term gain or long term gain. Thus, we decided to focus on local brands that can create an impact on the nation’s economy.

We believe whether the group of people or SMEs work together with the right platform and incentives, we can achieve something substantial. That is why we put our trust in social commerce because this is people’s economy, where we can be the bridge for SMEs in the early stage. With Evermos, they can focus on production to create a competitive price with global players. Our sales channels are distributed throughout Indonesia, therefore, the local brands automatically become national companies. This has become our value proposition.

My biggest fear in terms of tech startups or SME is that our country became a sole consumer. We have to be able to build the value, instead being a sole trader. Indonesian economy should have the positive impact, it’s an essential part of this nation.

Evermos first pitch to investor trip circa 2018

You’ve been venturing in the property sector, accommodation, and now the social commerce, Evermos. What is the biggest challenge or the lesson learned from all your experiences?

Every industry holds different issues. In fact, there are some similar concerns we should be aware of and collectively improve. In Indonesia, some startups are usually having difficulty with monetization. Our previous blunder was thinking of market share first and being the leading one, then we can turn on monetization. This strategy has proven in many countries. After all, Indonesia is indeed a unique nation that some people are not willing to pay a certain amount for an internet solution. It might work in other country but it’s a leap of faith in Indonesia.

Second, it’s the human resources. To date, Indonesia still experiences a crisis due to the lack of a middle layer. In terms of supply, talent is still quite rare, especially in a tech background. I think both issues are happening in almost every sector.

You’ve had experience as a venture capitalist and venture builder, what do you think of Indonesia’s investment climate, and how do you see the Indonesian tech industry’s growth for the past few years?

As I said previously, Indonesia is yet to create one full cycle in terms of venture investment. From investing to harvesting. This year will be the year of validation for the unicorn/decacorn which already have plans for IPO. Hopefully, the exit can also bridge other startups for M&A activities. Indonesia is already a very attractive market, it’s how we trigger more success stories to impact the whole ecosystem.

In this time of the pandemic, people are looking for capital everywhere, and VCs have been tight and selective with their investment. Using both perspectives, what do you think a business can do to get funding and what kind of value most investors are seeking for in a founder/business.

The pandemic is an anomaly and people’s first reaction is to wait and see. In time, investors are getting adapt and adjust to the current condition seeing some companies can make it through with healthy growth. Also, there’s a certain amount of money to be planted to companies. When the wait-and-see season is finally passed, they started to chip in selectively.

There are also lots of startups fundraising at this moment, hopefully, the situation gets better. Regarding VC’s assessment, it’s really depend on the market and personal experience. There are times when growth becomes the fundamental, today, it’s not really about growing at any cost, but growing in a healthy way.

As one of the commissioners in BRI Ventures, I personally have two things. First, the company wants to build VC ecosystem in Indonesia. As many VCs build offices in this country, the money did not stay here. It’s about how to make VCs and its money can stay to generate the ecosystem. Second, BRI as an SME-focused bank is very aligned with my passion for SMEs.

BRI Ventures directors and commissioners circa 2020

As a seasoned entrepreneur, do you have anything to say to those tech enthusiasts who tried to start something in this time of pandemic?

In order to create tech startup, it requires certain mindset and no perfect timing. Always think of the best way out of any situation. How can we make an unfortunate card works. In fact, when we decided to venture, challenge is something expected. If you have to wait for the perfect timing, how can you face the more challenges ahead.

I personally like my hands dirty, that’s why I involved in the operation level. However, I understand that this is the time for young people to blossom. I’m currently focusing my energy to mentor and it’s already time to pass the baton. We live in a very exciting time. About 400 years ago, it’s almost impossible to create big impact in such short time. Technology creates equal opportunity and pulling the gap closer for people to create a big impact.

Tantangan dan Peluang “Decentralization Finance” di Indonesia

DeFi atau decentralization finance sedang menjadi tren yang menarik di antara banyak variasi inovasi kripto. Salah satu yang mengakomodasi kehadiran DeFi adalah platform TokoCrypto. Untuk membahasnya secara mendalam, DailySocial menghadirkan COO TokoCrypto Teguh Kurniawan Harmanda yang akrab disapa Manda, dalam sesi #SelasaStartup.

Dalam paparannya, Manda menjelaskan bahwa DeFi merupakan salah satu kategori jenis token aset kripto yang beredar di dunia. Hasil transformasi dari industri finansial dengan tujuan untuk bisa memberikan layanan terbuka dan transparan kepada masyarakat tanpa perantara (permissionless).

DeFi umumnya berjalan dengan smart contract di atas platform Ethereum (ETH), salah satu aset kripto terpopuler selain Bitcoin (BTC). Smart contract tersebut memungkinkan DeFi berjalan secara otomatis tanpa kehadiran middleman atau pihak ketiga. Smart contract sendiri adalah bahasa pemrograman. Inilah pembeda utama DeFi dengan institusi keuangan tradisional seperti perbankan yakni disintermediasi.

Ekosistem kripto di Indonesia

Saat ini, perdagangan aset kripto di Indonesia terbilang cukup besar dan berkembang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa pemain yang juga sudah mendapatkan izin beroperasi dari Bappebti termasuk TokoCrypto, Indodax, Pluang, Pintu, dan beberapa lainnya.

Terkait regulasi, Manda mengungkapkan bahwa aturan DeFi di Indonesia yang baku itu belum ada, sementara terkait industri kripto regulasi yang diatur hanya sebatas perdagangan atau aset kripto sebagai komoditas. Sebagai sebuah instrumen baru yang bersinggungan dengan industri finance, wacana terus digulirkan untuk aturan bisa segera ditetapkan.

Meski belum bisa mencakup seluruh aspek yang melibatkan aset kripto, regulasi ini diharapkan menjadi titik awal ekosistem yang lebih terarah serta pedoman bagi para pemain dalam industri ini. Di samping itu, BPS juga telah mengeluarkan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) khusus tentang “Aktivitas Pengembangan Teknologi Blockchain”, hal ini menunjukkan proyeksi yang cerah bagi masa depan aset kripto di Indonesia.

Di akhir tahun 2020, telah dibentuk sebuah asosiasi khusus bernama ASPAKRINDO (Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia) yang menaungi hampir seluruh pedagang aset kripto di Indonesia serta Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX) dan Indonesia Clearing House (ICH). Lembaga nonprofit ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat terkait aset kripto serta berperan sebagai jembatan untuk berdiskusi dengan regulator.

Tantangan dan peluang

Selain transparansi, DeFi juga menawarkan keunggulan dari sisi jangkauan. Ada banyak masyarakat Indonesia yang masih unbankable, jangankan pengalaman merasakan fasilitas keuangan, akses terhadap sistem perbankan saja masih terbatas. Bersifat tanpa perantara, aset kripto ini bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang memiliki akses internet dalam jaringan global.

Pemanfaatan aset kripto ini termasuk sebagai collateral atau jaminan pinjaman, tentunya dalam platform DeFi yang terdaftar. Terakhir, dari segi biaya, DeFi dinilai sangat efektif dan efisien untuk para borrower atau peminjam.

Dari segi keamanan, DeFi memang diciptakan dengan sistem keamanan mumpuni serta tanpa perantara. Hal ini menjadi suatu keunggulan namun juga risiko tersendiri bagi penggunanya. Pasalnya, setiap kelalaian akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab individu.

Perihal edukasi, DeFi memang membutuhkan pemahaman lebih dalam dari centralized-based crypto, karena segala seluk beluknya akan diurus secara personal. Dalam proses adopsinya, Manda turut mengungkapkan bahwa disrupsi tidak terjadi secara drastis, semuanya akan menempuh proses yang sering kali akan tidak nyaman di awal. Menjelang regulasi ditetapkan, TokoCrypto terus melakukan edukasi berikut implementasi dalam platformnya.

“Saat ini, mayoritas pengguna DeFi adalah mereka yang sudah lebih dulu terjun ke dunia aset kripto dan paham betul mengenai seluk beluk industri ini,” tambahnya.

Dalam implementasinya, teknologi DeFi bukan diciptakan untuk menggantikan bank sebagai lembaga finansial, namun sebagai alternatif dari fungsi bank yang semakin tergerus teknologi. DeFi menawarkan sistem yang efektif dan efisien sebagai transformasi antara industri finansial tradisional dan teknologi.

“Lima tahun ke depan, seiring dengan adopsi yang semakin masif serta semakin banyak orang yang merasakan manfaatnya, DeFi akan menjadi sesuatu yang umum di masyarakat,” pungkas Manda.

Wright Partners Hadir Sebagai “Venture Builder”, Bermitra dengan Korporat yang Ingin Membangun Bisnis Digital

Setelah “lulus” dari perusahaan yang didirikannya, Tokobagus, Arnold Sebastian Egg atau yang akrab disapa Arno Egg tidak berhenti dalam berinovasi. Dalam perjalanannya mendukung pengembangan bisnis, ia bersama salah satu kolega, Ziv Ragowsky, menemukan fakta bahwa ada banyak perusahaan yang saat ini mencari cara berbeda untuk melakukan inovasi. Biasanya, inovasi untuk bisnis adalah dengan membuat bisnis baru.

Begitu sebuah perusahaan mengambil keputusan untuk membangun usaha, penting bagi perusahaan untuk mengetahui berbagai tren teknologi tetapi juga membangun aset signifikannya sendiri. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyelaraskan keinginan dan tren perusahaan dengan strategi jangka pendek dan menengah untuk memastikan dukungan internal menjelang momentum dibangun.

Hal ini yang kemudian dilihat sebagai peluang ketika pertama kali membentuk Wright Partners. Sebuah venture builder beranggotakan serial entrepreneurs dan experts dalam industri teknologi.

“Kami datang dengan bermacam latar belakang (produk, komersial, akademis, konsultan) dan menyadari bahwa ada model yang dapat bekerja untuk korporat [mungkin memerlukan edukasi lebih dalam] untuk membangun bisnis dengan fleksibilitas serta pengambilan risiko yang terukur yang bisa diterapkan di median global dalam berbagai skala. Hal ini, ditambah gagasan adanya masalah besar yang harus diselesaikan di kawasan ini, adalah yang kami yakini sebagai nilai dan tujuan usaha membangun membawa kami pada konsep Wright Partners,” jelas Arnold Egg dalam wawancara singkat bersama DailySocial.

Model Bisnis

Sebagai entitas yang fokus pada kegiatan venture building, model bisnis yang ditawarkan oleh Wright Partners cukup berbeda dan unik. Perusahaan bekerja sama dengan korporat untuk membantu mereka dalam menjalankan corporate innovationDua layanan yang ditawarkan mencakup Corporate Venture Building dan CVC as a Service.

Ada banyak perusahaan yang berani berinvestasi besar untuk membangun bisnis namun belum efektif dalam memanfaatkan sumber daya mereka yang cukup besar. Hal ini bisa disebabkan oleh pola pikir internal perusahaan dan terkadang kurangnya pendalaman terkait pengembangan bisnis, serta beberapa faktor eksternal yang menjadikan inisiatif ini tidak cost-effective.

Korporasi harus mencari cara untuk membuka dan memanfaatkan aset mereka untuk memungkinkan mereka berinovasi lebih baik dan meningkatkan skala lebih cepat daripada startup tradisional. Dalam menjalankan model bisnis ini, Wright Partners bekerja secara bertahap dalam membangun bisnis.

“Fase awal adalah rancangan di mana kami memiliki cukup uang/investasi dari mitra korporat untuk mencapai komitmen investasi mereka dalam waktu 4 bulan. Dalam fase ini, dua hingga tiga partner kami akan bertindak sebagai salah satu pendiri tim yang kami bentuk bersama, yang mencakup Venture Lead (yang jika berjalan lancar akan menjadi founder – tetapi dapat berubah dalam ketentuan 4 bulan) serta dua Venture Architect yang bisa menjadi full-time menggarap bisnis tersebut atau, jika terbukti bisa menjadi co-founder,” jelas Arno.

Salah satu diferensiasi bisnis yang diusung Wright Partners adalah mematok total investasi rata-rata yang dibutuhkan oleh perusahaan ke pasar sekitar $1,6-1,8 juta selama 16 bulan. Hal itu akan menjadi standar untuk memastikan bahwa 4 bulan paling efektif (dan menghasilkan investasi – jika tidak, tidak akan ada profit sama sekali).

Setelah 4 bulan pertama, sesuai keputusan komite investasi mitra, perusahaan kembali menawarkan pilihan terkait keterlibatan yang berkelanjutan berdasarkan kebutuhan bisnis. Dengan kesepakatan bahwa bisnis itu sudah berada di jalur yang benar dan kuat, perusahaan akan mendapatkan porsi ekuitas dan kemudian mengambil peran dalam bisnis melalui investasi pengetahuan dan koneksi yang dimiliki.

“Kami percaya bahwa pendalaman konten yang digabungkan dengan aset perusahaan yang tepat serta mentalitas kewirausahaan yang kuat akan menciptakan kesuksesan, jadi model kami berfokus pada penyelarasan ketiganya untuk berkembang di seluruh industri dan sektor usaha,” ujar Arno.

CVC as a Service atau CVC sebagai layanan merupakan peluang awal bersama salah satu mitra korporat. Wright Partners telah membantu sistem sekolah swasta untuk membangun CVC dan melakukan investasi awal. Melalui upaya ini perusahaan menemukan bahwa ada berbagai jenis organisasi yang berminat untuk memahami industri investasi.

Rencana masa depan

Berbasis di Singapura, Wright Partners mengaku memiliki representasi yang setara di Indonesia. Selama kurang lebih 6 bulan beroperasi, perusahaan sudah membantu merancang inovasi di 6 perusahaan, dua di Indonesia, tiga di Malaysia, dan satu di Singapura.

Inovasi ini telah bergulir di beberapa sektor termasuk fintech, edutech dan agritech. Sektor lain yang saat ini juga sedang dijajal adalah insurtech, teknologi keberlanjutan (sustainability tech), serta analitik ritel. Timnya memiliki penasihat dan mitra usaha yang ahli dalam masing-masing bisnis dan akan memperluas jangkauan ke industri lain seperti logistik, OTA, adtech, dan banyak lagi. Pihaknya juga mengaku telah menjalankan kemitraan untuk memperluas jangkauan dan kemampuan di seluruh aspek Crypto dan Blockchain.

Sementara Wright Partners fokus membantu korporat untuk membangun moda investasi perusahaan, saat ini timnya juga tengah dalam proses untuk mengumpulkan fund mandiri.

“Kami berharap dapat segera mendukung bisnis dengan dana kami sendiri dan mendorong mereka menuju kesuksesan yang lebih baik,” tutup Arno.

Wanita dan Investasi: Pentingnya Menjadi Pribadi yang Independen Secara Finansial

Untuk satu alasan, masalah keuangan sering kali dianggap sebagai tanggung jawab laki-laki semata. Dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja saat ini, dunia semakin lumrah dengan konsep kesetaraan gender bahkan di bidang investasi. Di era modern ini, banyak wanita telah menghidupi [atau setidaknya menghasilkan uang] untuk keluarga mereka atau paling tidak untuk diri mereka sendiri. Dewasa ini, mereka telah merencanakan investasi agar bisa mandiri secara finansial.

Berdasarkan Laporan Kesenjangan Gender Global 2021 yang dilakukan oleh World Economic Forum, Indonesia disebut telah menutup 68,8% dari total kesenjangan gender, menempati peringkat ke-101 secara global, meskipun kesenjangan tahun ini memiliki presentase lebih besar 1,3 poin dari periode sebelumnya.

Penyebab utama penurunan ini diprediksi karena partisipasi ekonomi dan kesenjangan peluang yang lebih besar. Alasannya adalah penurunan tajam partisipasi perempuan sebagai peran senior. Di luar indikator ini, partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja jauh lebih sedikit daripada laki-laki (perempuan 55,9% dan laki-laki 84%) sementara kesenjangan upah dan pendapatan tetap besar (masing-masing 69,7% dan 51,7%). Selain itu, 81,8% perempuan menempati pekerjaan di sektor informal (dibandingkan dengan 79,4% laki-laki).

Claudia Kolonas adalah salah satu dari sedikit pendiri wanita di industri teknologi Indonesia. Ia mendirikan platform investasi, Pluang, dengan tujuan menggalakkan inklusi keuangan di Indonesia. Sebagai sosok wanita dalam industri fintech, selalu saja ada tantangan yang harus dilewati. Namun, selama menjalankan misinya, Claudia mencoba menghindari semua hal negatif yang menyelimuti potensinya serta menegakkan kepercayaan diri disaat orang lain mungkin meragukan kapabilitasnya sebagai pemimpin wanita.

Menjadi wanita yang independen secara finansial

Berdasarkan Women and Finance: The Rich Thinking Quantitative Survey 2019 oleh Barbara Steward, CFA, kebanyakan wanita memahami pentingnya mandiri secara finansial. Dalam survei tersebut, lebih dari 200 wanita dari 24 negara ditanyai alasan terpenting mengapa mereka berinvestasi, jawaban terpopuler kedua adalah “untuk menjadi lebih mandiri secara finansial”, dan di posisi teratas adalah, “mendanai masa pensiun”.

Dalam masyarakat yang menuntut patriarki seperti Indonesia, perempuan biasanya memiliki kontribusi yang lebih kecil dalam hal dukungan finansial untuk keluarga. Apalagi ketika mereka sudah menikah, aturan yang sering kali diterapkan adalah dia menjadi tanggung jawab suaminya. Mungkin hal ini terdengar melegakan, namun pada kenyataannya ekspresi ini agak menakutkan, untuk menyerahkan tanggung jawab atas diri sendiri demi apa? tidak ada siapapun yang benar-benar dapat menjamin kesejahteraan hidup seseorang.

Claudia berkata, “Saya rasa investasi adalah hal yang esensial bagi wanita. Sangat penting bagi perempuan untuk bisa mandiri secara finansial, terlebih ketika ditinggalkan suami. Ketika wanita sudah menikah, biasanya wanita memiliki beban pengeluaran yang lebih besar, oleh karena itu sangat penting menabung untuk dana darurat. Dana darurat ini akan sangat berguna ketika ada kejadian tak terduga seperti kehilangan pekerjaan, dll.”

Kemandirian finansial adalah tema penting bagi perempuan. Wanita yang berdaya secara finansial tidak hanya lebih percaya diri tetapi juga lebih produktif dan mampu memiliki keseimbangan kehidupan kerja. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang dapat mengukur prospek kesuksesan seorang wanita.

“Yang paling penting adalah memberikan dukungan bagi wanita, terutama untuk mereka yang sudah berkeluarga, yang ingin masuk ke industri teknologi. Penting untuk memiliki platform yang setara untuk bekerja baik bagi pria maupun wanita,” tambahnya.

Dalam hal kapabilitas investasi, penelitian juga menunjukkan bahwa wanita menghabiskan lebih banyak waktu untuk meneliti pilihan investasi mereka. Meskipun mereka mengambil risiko lebih sedikit daripada pria dalam hal investasi, hal itu tidak secara otomatis berarti menghindari risiko. Sebaliknya, wanita lebih cenderung mengambil tingkat risiko yang sesuai dengan investasi mereka daripada laki-laki. Kedua sifat ini akan menghasilkan hasil investasi yang lebih baik.

Investasi di tengah pandemi

Ada beberapa tujuan investasi yang umum di masyarakat. Beberapa orang berinvestasi untuk mempertahankan kesejahteraan [pasca pensiun], menghasilkan pendapatan [untuk keperluan sehari-hari], atau memperoleh keuntungan dari aset modalnya. Faktanya, platform investasi sedang menuai berkah di tengah pandemi ini. Pada dasarnya, karena orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu di internet selama WFH (work from home) dan berinvestasi semakin mudah karena didukung oleh teknologi.

Di Indonesia, beberapa platform tersedia untuk mengakomodasi tujuan-tujuan ini, termasuk Investree, Pluang, Bibit, dan lain-lain. Hal ini memungkinkan orang untuk berinvestasi di emas, pasar modal, reksa dana, dan banyak bentuk investasi lainnya. Semakin mudah dengan satu klik.

Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dalam empat bulan pertama tahun ini jumlah investor pasar modal meningkat 31,11% menjadi total 5,08 juta. Sedangkan investor reksa dana meningkat 38,85% menjadi 4,40 juta investor.

Sumber: Demografi investor KSEI April 2021

Laporan demografinya juga menyiratkan bahwa perempuan berhasil mempersempit kesenjangan investasi menjadi 38,45% dengan perkiraan nilai aset Rp208,84 triliun. Informasi ini didukung fakta bahwa Pluang, salah satu platform investasi terkemuka di Indonesia, mengklaim mayoritas investornya adalah perempuan. Mengikuti statistik dan tren investasi, perusahaan juga berencana menambah produk-produk baru di tahun ini.

“Tahun ini saya pribadi fokus ke pembelian produk utang pemerintah seperti SUN atau ORI, serta investasi di reksa dana dan juga di obligasi BUMN. Menurut saya, masih banyak peluang untuk meningkatkan nilai produk pendapatan tetap di Indonesia, dan risikonya cukup moderat,” jelas Claudia.

Terlepas dari semua kemudahan menanam uang di platform digital, internet tidak kebal dari berbagai upaya penipuan. Ada beberapa kasus yang melibatkan investasi “bodong” yang menyebar melalui gawai. Masalah ini menjadi sangat rumit dan membutuhkan partisipasi dari seluruh ekosistem. Pasar membutuhkan pendidikan lebih lanjut, pemahaman produk serta tidak melanggar moral dasar.

Kabar baiknya, indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan di Indonesia mengalami peningkatan sejak 2019. OJK melaporkan nilai indeks literasi keuangan telah mencapai 38,03%, sedangkan indeks inklusi keuangan telah mencapai 76,19% pada tahun 2020.

Claudia juga menyebutkan bahwa banyak produk investasi menjadi lebih fluktuatif selama pandemi sehingga risiko meningkat. “Kami pikir sangat penting untuk dapat mengedukasi pengguna kami tentang risiko investasi, terutama ketika ada ketidakpastian ekonomi,” tambahnya.

Investasi bukan sekedar permainan. Mesipun terdengar menyenangkan, apakah Anda rela mempertaruhkan uang untuk bertahan hidup? Hanya karena sebagian besar kolega ‘heboh’ tentang industri yang sedang ramai. Investasi memang fundamental untuk mencapai kemandirian finansial. Namun, sangat penting untuk berinvestasi pada sesuatu yang dapat Anda pahami.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Setahun Beroperasi, Marketplace Aset Kripto Pintu Fokus Jangkau Investor Pemula

Popularitas aset kripto yang kian meroket telah menjala banyak investor pemula untuk ikut menyelami instrumen investasi ini. Namun, meningkatnya “hype” aset kripto tentu mengandung risiko. Menyandang konsep yang tidak sederhana dan memiliki tingkat volatilitas yang tinggi, banyak hal yang perlu dipahami sebelum memutuskan untuk masuk ke dunia cryptocurrency ini.

Aset Kripto sendiri merupakan mata uang digital yang dipakai untuk bertransaksi virtual di jaringan internet. Terdapat sandi-sandi rahasia yang cukup rumit untuk melindungi dan menjaga keamanan mata uang digital ini.

Founder Pintu Jeth Soetoyo mengatakan, “Kripto kini merupakan aset digital yang dilirik oleh para investor karena memiliki return yang paling tinggi dan juga kripto seperti Bitcoin dianggap sebagai store of value paling handal melawan resesi global yang akan datang. Performanya selama ini menjadikan Bitcoin sebagai pilihan aset yang lebih menarik bagi para investor yang ingin mendiversifikasi kepemilikan aset mereka.”

Meskipun begitu, aset kripto hadir sebagai alternatif mata uang dengan konsep desentralisasi. Dalam konsep ini, tidak ada kepemilikan tunggal. Tanpa wujud dan nilai pasti, regulasi diharapkan bisa menjadi solusi.

Perkembangan aset kripto di Indonesia

Cryptocurrency dinyatakan legal sebagai komoditas di Indonesia pada Februari 2019, berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Badan Pengawas Bursa (Bappebti) melalui Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka.

Di dalam aturan tersebut, terdapat mekanisme perizinan untuk para exchanger yang memperjualbelikan aset kripto seperti Bitcoin, Binance, Ethereum, Dogecoin dan token lainnya. Setidaknya 13 perusahaan atau entitas telah mendapatkan tanda daftar dari Bappebti sebagai calon pedagang aset kripto. Termasuk di dalamnya TokoCrypto, Indodax, serta yang bulan Maret lalu genap setahun beroperasi di Indonesia, Pintu.

Meskipun diklaim dapat digunakan sebagai alat pembayaran transaksi virtual, aset kripto masih belum bisa digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Menurut UU No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, alat pembayaran yang sah adalah rupiah. Namun, aset kripto tetap bisa memenuhi fungsinya yang lain sebagai instrumen investasi dan penambangan.

Terdapat lebih dari 3,000 jenis aset kripto yang beredar di seluruh dunia, dan akan semakin banyak ke depannya. Beberapa jenis yang sering digunakan antara lain Ethereum, Dogecoin, Ripple, Stellar dan yang paling popular Bitcoin. Bappebti sendiri sudah menerbitkan daftar 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia.

Selain itu, produk derivatif berbasis aset kripto juga telah banyak beredar di masyarakat, termasuk DeFi, staking, dan lain sebagainya. Terkait hal ini, Jeth mengungkapkan, Pintu telah mengakomodir koin-koin DeFi. Setiap minggunya timnya selalu berusaha menghadirkan koin-koin DeFi yang diminati pengguna, namun tidak menutup kemungkinan apabila ke depan platform juga akan mengakomodir fitur-fitur seperti staking.

Ketidakpastian akan akhir pandemi disebut meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya investasi ke aset yang memiliki keunggulan di sisi lindung nilai. Hal tersebut juga meningkatkan adopsi dan pemahaman investor milenial pada aset kripto. Aksi investor institusi baru-baru ini yang marak melakukan pembelian Bitcoin dalam jumlah besar juga mengubah stigma positif terrhadap kripto. Bitcoin kini dianggap sebagai salah satu komoditas utama dunia dengan kapitalisasi pasar pernah melewati $1 triliun.

Volatilitas tinggi dan investor pemula

Perdagangan aset kripto merupakan aktivitas yang beresiko tinggi karena volatilitas harga yang tinggi sehingga profil investor kripto biasanya merupakan orang yang berani mengambil risiko. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa aset kripto satu dengan yang lainnya tidak sama. Investor harus memastikan bahwa aset kripto yang dimiliki memiliki tingkat likuiditas yang tinggi.

Berkaca pada situasi 2017-2018 yang sempat membuat publik cukup “trauma” dengan volatilitas ekstrim dan nilai intrinsik yang tidak pasti, tidak sedikit investor yang enggan terjun ke dalam kolam cryptocurrency. Pada akhir tahun 2017, harga Bitcoin hampir menyentuh angka US$20,000, sebelum akhirnya kembali anjlok di bawah US$10,000 di pertengahan Januari 2018.

Gelembung Bitcoin di tahun 2017. Sumber: Project Syndicate

Ketika Tesla mengumumkan pembelian $1,5 milliar bitcoin pada 8 Februari lalu, dunia cryptocurrency kembali hangat dibicarakan dan nilainya pun ikut menanjak. Para penggiat investasi hingga masyarakat awam berbondong-bondong untuk ikut menjajal instrumen ini.

Namun, melihat harga Bitcoin yang berangsur-angsur turun dalam sebulan terakhir, pertanyaan kembali timbul. Apakah sejarah akan terulang?

Sumber: data Coindex yang diolah Vox

Terkait volatilitas harga dan investor pemula, Jeth mengungkapkan, “Para investor harus memastikan fundamental (seperti latar belakang, teknologi, kapitalisasi pasar dan lain-lain) dan apa karakteristik kripto dibandingkan hanya karena FOMO. Investor juga harus pilih yang sesuai dengan profil pemula dan jangan pernah percaya janji keuntungan pasti.”

Faktanya, di antara sekian banyak aset kripto dengan volatilitas tinggi yang beredar, ada yang berkategori stablecoin, karena nilainya mengacu pada aset lain yang harganya stabil, misalnya emas ataupun dolar AS. Disebut stablecoin, karena harganya tidak naik dan turun secara cepat dalam kurun waktu tertentu.

Sejak awal peluncurannya, Pintu berfokus pada aplikasi mobile yang mudah dan ramah pengguna guna mendorong semakin banyak investor pemula yang ingin trading, mengirim dan menyimpan aset kripto. Selaku bursa yang berfokus kepada investor pemula, Pintu menawarkan edukasi ketika semua orang dapat belajar mengenai kripto.

“Kami juga sering melakukan webinar untuk memberikan edukasi secara langsung kepada audiens. Kami rasa penting untuk terus menerus melakukan edukasi mengenai kripto dan volatilitas harganya,” tambah Jeth.

Perihal Regulasi

Dilansir dari Detik Finance, transaksi Bitcoin dan komoditas aset kripto lainnya di Indonesia sudah menyentuh angka Rp1,7 Triliun per hari. Tingginya minat transaksi di sektor ini, menyebabkan regulator mempersiapkan bursa sebagai langkah perlindungan. Bursa ini memiliki fokus pada perlindungan pelaku usaha agar hubungan antar semua pihak bisa berjalan dengan baik. Antar pedagang, investor maupun lembaga lain bisa jelas dan aman.

Melihat kasus di Turki dan di negara lain yang memungkinkan pemilik platform “kabur” dengan dana publik, Jeth turut berkomentar, “Masalah yang terjadi di Turki pasalnya pasar uang kripto Turki tidak diatur sedangkan di Indonesia kripto merupakan komoditas yang perdagangannya diatur oleh Bappebti selaku pengawas.”

Bappebti saat ini juga disebut tengah menggodok mekanisme pengguna kustodian pada pedagang aset kripto untuk keamanan aset penggunanya yang lebih baik.

“Guna memitigasi masalah yang akan datang di masa mendatang, keamanan merupakan prioritas kami selaku bursa perdagangan kripto. Dengan mengedepankan teknologi canggih dan pengembang yang berpengalaman, Pintu ingin memberikan rasa aman bagi para penggunanya,” tambah Jeth.

Application Information Will Show Up Here

Women and Investment: The Essentials of Being Financially Independent

For one so-called reason, financial matters are often positioned as a male sole responsibility. As more women join the workforce today, the world is shifting towards gender equality even in the realms of investments. In this modern era, lots of women have been supporting [or at least making money] for their family or simply themselves. And now, they are planning their investments in order to be financially independent.

Based on the Global Gender Gap Report 2021 conducted by the World Economic Forum, Indonesia is said to close 68.8% of its overall gender gap, corresponding to a rank of 101st globally, although this year’s gap is 1.3 percentage points larger than in the previous edition.

This decline has resulted mainly from wider Economic Participation and Opportunity gaps. The reason is said to be the sharp drop in the share of women in senior roles. Beyond the performance of this indicator, women participate in the labor market significantly less than men (55.9% of women and 84% of men) and wage and income gaps remain large (69.7% and 51.7%, respectively). In addition, 81.8% of the women’s employment is in the informal sector (compared to 79.4% of men).

Claudia Kolonas is one of the few women founders in the Indonesian tech industry. She founded an investment platform, Pluang, with a goal to promote financial inclusion in Indonesia. As a woman in the fintech industry, it’s impossible to go through without facing any challenges. However, during her mission, Claudia tried to dodge all the negativity that blanketing her potential and put on the confidence as people might throw doubt for her as a woman leader.

Being a financially independent women

Based on the Women and Finance: The 2019 Rich Thinking Quantitative Survey by Barbara Steward, CFA, most women understand the importance of being financially independent. In the survey, more than 200 women from 24 countries were asked the most important reason why they invest, the second most popular answer was “to become more financially independent,” and occupying the top of the table, “fund my retirement.”

In a patriarchal-demand society such as Indonesia, women usually have less contribution in terms of financial support for the family. Especially when they’re married, the rule often applied that she’s become her husband’s responsibility. It may sound like a relief while in fact, the expression is kind of terrifying, to give up yourself in return for what? nobody can really guarantee anybody’s safety.

Claudia said, “I think that investment is very important for women. Because it is very important that women can be financially independent, especially if their husbands leave them. When women are married, these women usually have a greater burden of expenses, therefore, it is very important to save for emergency funds. This emergency fund will be very useful when there are unexpected events such as loss of work, etc.”

Financial independence is a critical theme for women. A financially empowered woman is not just more confident but also more productive and capable of a perfect work-life balance. This is one of the main factors that can measure the prospect of a woman’s success.

“The most important thing is to provide support for women, especially those engaged in a family, who want to break into the tech industry. It’s essential to have an equal platform to work for both men and women,” she added.

In terms of investing capabilities, studies also show that women spend more time researching their investment choices. And while they do take on less risk than men when it comes to investing, it doesn’t automatically translate into avoiding risk. Rather, they’re simply more likely to take on appropriate levels of risk with their investments than men. Both of these findings make for better investing outcomes.

Investing in a time of the pandemic

There are several common investment objectives in the public. Some people invest to ensure safety [post-retirement], generate income [for daily purposes], or gain revenue from their capital asset. In fact, investment platforms are harvesting amid this pandemic. Especially since people spending a lot more on the internet during WFH and investing gets easier as powered by technology.

In Indonesia, some platforms are existed to accommodate these objectives, including Investree, Pluang, Bibit, etc. It enables people to invest in gold, capital market, mutual funds, and many other forms of investment, easier through clicks.

Based on the Indonesian Central Securities Depository (KSEI), in the first four months of this year, the number of capital market investors increased 31,11% to a total of 5.08 million. Meanwhile, mutual fund investors increased 38.85 percent to 4.40 million investors.

Source: KSEI Investor Demography April 2021

The demography paper also implied that women are narrowing the investment gap to 38,45% with an estimated asset value of Rp208,84 trillion. This information is backed by the fact that Pluang, one of the leading investment platforms in Indonesia, claimed that the majority of its investor are women. Following the investment statistics and trends, the company also plans to add more products this year.

“This year, my personal focus is on the purchase of government debt products, such as SUN or ORI, as well as investing in mutual funds and also in state-owned bonds. In my opinion, there are still many opportunities to increase the value of fixed-income products in Indonesia, and the risks are quite moderate,” Claudia explained.

Despite all the convenience to plant money in the digital platform, the internet is not immune to fraud. There are several cases involving fraudulent investment that spreading across devices. This is a very complicated issue that requires the whole ecosystem to contribute. The market needs more education, to fathom the investment product and not to violate basic morals.

The good news, the financial literacy index and financial inclusion index in Indonesia had increased since 2019. OJK reported the value has reached 38.03% for the financial literacy index, while the financial inclusion index has reached 76.19% in 2020.

Claudia also mentioned that many investment products become more volatile during a pandemic, resulting in risk increases. “We think it is very important to be able to educate our users about investment risks, especially when there is economic uncertainty,” she added.

Investing is not a game. As fun as it sounds, will you bet the money you can’t afford to lose? Just because most of your colleagues are constantly bragging about the excitement of the market. Investment is indeed fundamental to reach financial independence. However, it’s very important to invest in something you can fathom.