Startup SaaS HR Gadjian Dapatkan Pendanaan Awal

Platform human resources dan penggajian berbasis SaaS (Software as a Services) Gadjian baru saja mengumumkan perolehan pendanaan awal yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures. Maloekoe Ventures juga terlibat dalam pendanaan ini. Nilai pendanaan yang diperoleh masih dirahasiakan.

Pendanaan ini akan difokuskan untuk memperluas tim dan distribusi pemasaran. Selain basis di Jakarta, Gadjian mengincar Bandung sebagai kota berikutnya untuk ekspansi. Kemitraannya dengan KADIN Kota Bandung tengah mulai diinisiasi untuk segera merealisasikan kebutuhan tersebut.

Gadjian sendiri diluncurkan pada Mei 2016, di bawah payung startup pengembang platform bisnis FAST-8. Layanan Gadjian didesain untuk memberikan solusi kepada UMKM mengelola fungsi administratif seperti menghitung gaji, pajak penghasilan, memusatkan data karyawan hingga melakukan analisis presensi.

Menurut pemaparan Co-Founder dan CEO Gadjian Afia Fitriati, saat ini layanan Gadjian telah digunakan oleh puluhan klien di daerah Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, salah satunya oleh Hijup dan DiskonAja. Afia juga menerangkan bahwa Gadjian mampu dimanfaatkan untuk UMKM di berbagai kategori bisnis. Pendekatan berbasis SaaS dinilai efisien, sehingga memudahkan UMKM untuk mengadopsi layanan tersebut.

“Ketika kami meluncurkan Gadjian, pengadopsi awal kami berasal dari sektor teknologi, seperti yang diduga sebelumnya. Tapi kami cukup terkejut bahwa pengadopsi awal Gadjian juga berasal dari sektor yang lebih tradisional seperti lembaga pemerintahan dan bisnis real-estate.”

Selain dukungan pendanaan, tim Gadjian meyakini bahwa pengalaman dan jaringan Golden Gate Ventures di Silicon Valley dikombinasikan dengan jaringan pengusaha yang luas dari Maloekoe Ventures dapat mendongkrak kualitas layanan Gadjian di pasar Human Resources Information System (HRIS) di Indonesia.

“Ketika kami pertama kali melihat software Gadjian, kami sangat terkesan dengan desain, kemudahan penggunaan dan fakta bahwa aplikasi ini membantu memecahkan masalah yang sangat nyata bagi usaha berkembang di Indonesia. Kami belum pernah melihat aplikasi sekelas ini di Indonesia, jadi kami senang dapat bergabung dengan Gadjian dalam perjalanannya untuk menjadi penyedia HRIS terkemuka di negara ini,” sambut Vincent Lauria dari Golden Gate Ventures.

Managing Director Maloekoe Ventures Adrian Gheur pun memberikan kesan yang sama terhadap Gadjian. Keunggulan aplikasi dan pengalaman pengembang di bidang SDM dinilai menjadi alternatif yang tepat bagi usaha rintisan dalam mendigitalkan administrasi bisnis. Pemanfaatannya berbasis cloud turut memberikan pemecahan masalah secara efektif di internal bisnis.

Gadjian sendiri didirikan oleh Afia bersama suaminya Else Fernada. Sebelum mengembangkan Gadjian, melalui FAST-8, beberapa layanan bisnis telah dikembangkan, salah satunya HRD Helper. Berbeda dengan Gadjian, HRD Helper ditargetkan untuk perusahaan besar di Indonesia, dengan implementasi berbasis on-premise.

Pasca Penghentian Layanan Asisten Pribadi, YesBoss Luncurkan Kata.ai untuk Bisnis

Setelah dikabarkan telah mulai menghentikan layanan dan segera melakukan pivot bisnis, YesBoss Group akhirnya kini mengumumkan layanan barunya. Kali ini tidak disasarkan untuk kalangan konsumen umum, melainkan spesifik untuk brand di Indonesia. Bernama Kata.ai, sebuah conversational platform dikembangkan dengan teknologi Artificial Intelligence (AI) guna menghubungkan brand dengan konsumen secara lebih efektif.

Dalam rilisnya dikatakan bahwa Kata.ai merupakan produk perdana dari banyak produk yang akan segera dirilis mendatang dalam naungan YesBoss Group. Langkah ini diambil demi meraih peluang baru di sektor bisnis dan konsumen. Dalam sambutannya, CEO YesBoss Group Irzan Raditya memperlihatkan semangat dan optimismenya.

“Kami sangat menantikan kesempatan untuk bekerja sama dengan brand berskala nasional untuk mengubah cara berkomunikasi mereka dengan jutaan konsumennya. Sebagai startup teknologi, kami tidak sabar untuk segera mengaplikasikan teknologi Kata.ai di sektor bisnis sekaligus mengembangkan produk-produk lainnya di sektor konsumen yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.”

Pada versi awal ini, Kata.ai menawarkan Dialogue Engine dengan Natural Language Processing (NLP). Fitur tersebut memungkinkan pelaku bisnis mewujudkan persona brand melalui chatbot yang dapat melakukan beragam aktivitas. Aktivats yang dapat dikelola meliputi pemasaran produk, transaksi jual-beli, hingga pengumpulan data perilaku konsumen melalui media sosial dan messaging app yang populer digunakan.

Kata.ai akan mulai dipasarkan dalam bentuk Software as a Services (SaaS) pada awal tahun 2017 mendatang. Teknologi ini diyakini akan menjadi pendobrak di pasar, membantu para pelaku bisnis memahami perilaku konsumen secara mendalam dengan meningkatkan kualitas hubungan dengan konsumen. Visinya platform ini akan menjadi teknologi NLP dalam Bahasa Indonesia yang kaya fitur. Perekrutan ilmuwan Jim Geovedi sebagai Tech Advisor telah menunjukkan keseriusan ini.

Kendati telah mulai dihentikan, layanan YesBoss sebagai asisten virtual pribadi memberikan modal dan pengalaman berharga dalam pengembangan Kata.ai, begitu diungkapkan oleh CTO YesBoss Group Ahmad Rizqi. Dalam keterangannya Rizqi menyampaikan:

“Lewat layanan asisten pribadi YesBoss, kami belajar banyak tentang bagaimana konsumen Indonesia ingin dilayani, terutama saat melakukan percakapan via teks. Kami paham betul kompleksitas Bahasa Indonesia saat bertukar pesan. Pemahaman ini memberikan keuntungan lebih dalam melatih dan mendesain platform AI kami lewat data perilaku dari jutaan percakapan yang meliputi lebih dari 50 ranah komersial.”

Sebelum peluncuran resmi Kata.ai, YesBoss Group telah bekerja sama dengan Microsoft, Infomedia Nusantara (contact center terbesar di Indonesia, anak perusahaan dari Telkom) dan aCommerce dalam rangka memuluskan jalan mereka untuk bekerja sama dengan ratusan brand berskala nasional dan perusahaan di berbagai industri, mulai dari e-commerce, FMCG, hingga layanan finansial seperti perbankan. Kata.ai siap membawa tren conversational commerce di Indonesia lewat teknologi AI berstandar tinggi.

Potensi dan Tantangan Indonesia Menghadapi Penguatan Ekonomi Digital

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) selama lima tahun terakhir (2011-2015) mengalami lonjakan hingga 10,7 persen. Lebih tinggi dari perekonomian nasional sebesar 6,56 persen. Diperkirakan angka ini masih akan terus bertumbuh bebarengan dengan berbagai insiatif nasional seperti cita-cita Presiden menjadikan Indonesia kuat di ekonomi digital pada tahun 2020.

Selain regulasi, dukungan infrastruktur yang mulai merata turut memberikan sumbangsih. Pasalnya dengan akses ke teknologi yang lebih mudah, digitalisasi layanan bisa dinikmati oleh berbagai kalangan. Dari kelas atas hingga akar rumput. Yang paling signifikan tak lain adalah pemanfaatan internet. Peningkatan penggunaannya mengantarkan berbagai peluang di bisnis digital nasional.

Dalam diskusi yang diikuti oleh Menkominfo, pakar, dan perwakilan korporasi beberapa waktu lalu, disampaikan bahwa saat ini sudah banyak indikasi kemajuan industri TIK Indonesia. Alokasi belanja modal di sektor TIK pun terpantau naik. Data IDC menunjukkan tahun ini nilainya akan mencapai Rp 201,76 triliun atau mengalami pertumbuhan 8,5 persen dari tahun sebelumnya.

Peluang, tantangan dan keyakinan terhadap sektor TIK

Presiden meyakini bahwa kekuatan ekonomi digital Indonesia dapat menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Tahun 2020 ditargetkan potensi industri tersebut mencapai $130 miliar. Untuk merealisasikan visi tersebut, Presiden memprioritaskan startup digital agar mudah mendapatkan akses permodalan. Salah satunya lewat deregulasi besar-besaran terhadap bisnis e-commerce.

Berbagai rancangan, roadmap, perundangan, hingga sokongan terus digencarkan melalui bermacam program. Terlihat cukup ideal saat melihat ragam industri teknologi yang terus berkembang memberikan solusi alternatif di Indonesia. Pemodal pun tak sepi meramaikan hiruk-pikuk ini. Artinya kepercayaan mulai terbentuk, dari sisi konsumen, pemangku, hingga investor. Nyatanya keyakinan saja tak cukup menjadi awal cerita manis.

Banyak tantangan yang juga harus diselesaikan. Yang sudah jelas di depan mata ialah persaingan. Untuk mengukuhkan sektor digital sebagai tonggak ekonomi nasional, diperlukan keterlibatan yang besar dari stakeholder dan penggerak ekonomi nasional. Jika melihat lanskap digital di Indonesia saat ini, di setiap segmen sudah hadir para pemain asing memperebutkan potensi yang sama.

Persaingan tak bisa dihindari karena menjadi simpul penggerak bisnis. Hal ini bisa diantisipasi dengan berbagai pendekatan yang telah tersusun sejak dini. Bisa dikatakan bahwa sektor ini masih hijau, belum terlalu carut-marut. Peran regulator untuk mengkaryakan sektor ini menjadi subur adalah prioritas, baik melalui regulasi yang tepat, akses yang dipermudah, dan upaya peningkatan kualitas di sektor pendukungnya.

Konsumen menyadari pentingnya digitalisasi

Berbagai hasil survei mengemukakan bahwa konsumen Indonesia sudah mulai membentuk pola konsumsi yang relevan. Berbagai pertumbuhan terjadi di sana-sini. Pada dasarnya konsumen sudah mulai paham tentang peranan teknologi digital dalam mempermudah kehidupannya dan pelaku digital menangkap dengan baik kesempatan tersebut. Kekuatan konsumen Indonesia ini yang banyak disebutkan juga menjadi magnet para perusahaan dan investor asing untuk datang.

Salah satu contoh indikasi menguatnya konsumsi digital nasional adalah hasil riset DailySocial terkait keyakinan masyarakat terhadap alat pembayaran non-tunai untuk beragam kebutuhan. Pertumbuhan ini sejalan dengan kebutuhan para pemain digital dalam mendapatkan traksi layanannya. Kendati layanan on-demand dan e-commerce masih menjadi yang terfavorit diyakini kategori lain tengah menyusul popularitasnya dalam akuisisi pengguna.

Konsumen telah menyadari pentingnya digitalisasi untuk membuat kesehariannya lebih efektif. Kesadaran tersebut kini menjadi potensi besar yang diburu banyak pihak. Sudah selayaknya apa yang dibutuhkan oleh konsumen dapat dipenuhi oleh penyedia jasa dan produk dalam negeri. Banyak yang masih perlu dimatangkan untuk merealisasikan cita-cita itu semua dengan uluran berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, hingga insan mandiri sebagai inovator.

Menyiasati Kehadiran Tokoh Senior di dalam Startup

Terdapat berbagai pandangan di kalangan startup terhadap pentingnya menempatkan tokoh senior ke dalam bagian dari bisnisnya. Ada yang merasa membutuhkan, tetapi ada juga yang memilih untuk berjalan mandiri dengan semangat mudanya. Tokoh senior tersebut umumnya adalah seorang yang telah memiliki pengalaman panjang di bidang tertentu atau orang yang memiliki nama besar sebagai pakar di bidang tertentu.

Kita akan melihat dulu mengapa banyak startup memilih untuk menempatkan tokoh senior ke dalam tubuh bisnis. Alasan paling umum adalah terkait dengan waktu. Startup digital dihadapkan dengan realitas tren yang begitu dinamis. Ide saat ini seperti makanan, memiliki jangka kedaluwarsa jika tidak segera dimakan atau diolah agar menjadi awet.

Menempatkan tokoh senior dianggap mampu membantu startup mengakselerasi strategi bisnisnya sehingga mampu lebih cepat mencapai puncak. Jika dijelaskan lebih rinci, motivasi seorang CEO menunjuk tokoh senior juga memiliki ragam yang cukup banyak, mulai untuk pengawasan, meningkatkan kepercayaan, hingga memperoleh pengetahuan dan pengalaman darinya.

Misalnya seorang pendiri startup berlatar belakang teknis. Ia mengerti betul bagaimana meramu sebuah racikan code hingga menjadi layanan yang handal. Namun kedalaman ilmunya di bidang teknis tak lantas membuatnya mampu untuk mencetuskan ide-ide brilian untuk memasarkan layanan tersebut. Ia lalu memutuskan untuk merekrut tokoh yang benar-benar dipandang di bidang pemasaran guna memberikan insight atau bahkan memandu eksekusi jalannya pemasaran produk.

Tantangan yang harus disiasati CEO startup

Jangan sampai penunjukan tokoh senior menjadi layaknya doping yang dipakai atlet secara instan. Membawa performa hebat, namun di suatu titik bisa menerjunkan kita secara spektakuler. Ada beberapa hal yang patut disiasati dengan baik ketika seorang tokoh berpengalaman hadir untuk membangun bisnis bersama kita. Ketika seseorang tersebut sudah sampai di meja direksi maka akan ada beberapa hal yang bisa menjadi bumerang.

Sebagai seorang yang berpengalaman, umumnya mereka datang dengan budaya mereka sendiri. Kebiasaan, gaya komunikasi, dan berbagai nilai perusahaan yang telah dijalankan sebelumnya biasanya terbawa. Mereka hadir dengan pengalaman dan tantangan lebih besar yang pernah dilalui. Seringkali mereka jadi terlihat lebih serius dan menempatkan sistem yang tak biasa di lingkungan kita.

Yang lebih parah sebagai pimpinan startup kita tak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Pada kenyataannya kita memperkerjakan mereka karena tidak tahu cara melakukan pekerjaan tersebut. Bagaimana kita mengawasi mereka atau menilai apa yang telah dilakukan tersebut sudah sesuai dengan yang diharapkan?

Kepatuhan kultur bisnis tetap harus disampaikan. Mungkin tokoh senior tersebut datang dengan budaya perusahaan lain yang bisa jadi lebih unggul. Masalahnya akan terjadi goncangan jika tidak meminta mereka menyesuaikan apa yang ada di bisnis kita. Kita yang tahu betul soal kultur yang sudah berjalan.

Pahami taktik “politik” dan berikan standar kinerja yang jelas. Siapapun tetap harus memiliki target capaian yang baik untuk tetap memberikan keuntungan bagi bisnis. Tokoh senior pun demikian. Sedari awal penting bagi kita untuk mendiskusikan poin-poin capaian yang harus didapatkan. Jika kita belum paham terhadap area kerjanya, tak ada salahnya di waktu awal bersama-sama mempelajarinya.

“Membisniskan Startup”

Akhir pekan lalu, seorang teman di Surabaya menceritakan tentang realitas bisnis dalam kaitannya mendapatkan suntikan investasi. Dalam gurauannya, si teman tersebut mengatakan, “Kalau bisnis konvensional –mengerjakan bisnis sosial menghasilkan kerajinan tangan— untuk mendapatkan investor sulit sekali. Saya sudah mencoba pitching ke beberapa venture capital dan angel investor, hasilnya nol. Beda dengan startup [digital], investornya sudah ngantri kalau POC-nya [Proof of Concept] jelas.”

Tentu penjelasannya ini membuat saya tertarik menggali lebih dalam mengenai pandangannya tentang konsep startup digital yang ada di Indonesia saat ini.

Sebelumnya, layak kita simak kembali seberapa bombastis tren startup di Indonesia. Sebuah meme dari Richard Fang ini mungkin bisa mewakili betapa startup kini telah menjelma sebagai tren baru di kalangan muda.

Sebuah meme yang menggambarkan tren startup saat ini di kalangan muda / Richard Fang
Sebuah meme yang menggambarkan tren startup saat ini di kalangan muda / Richard Fang

Startup pada dasarnya didefinisikan sebagai sebuah bisnis rintisan, bisnis yang benar-benar baru dibuka. Oleh karenanya istilah bootstrapping atau investment melekat erat sebagai entitas di bawahnya. Akhir-akhir ini istilah startup sering diasosiasikan dengan pendekatan bisnis berbasis digital. Jelas saja semua bisnis mencoba untuk bermain di ranah digital –minimal memanfaatkan media sosial sebagai cara pemasaran— demi capaian traksi dan jangkauan yang lebih menjanjikan.

Startup dibudayakan dengan berbagai kegiatan

Salah satu faktor makin lumrahnya pengembangan startup adalah karena berbagai kalangan memang sengaja membuatnya hype. Sebagai contoh Kibar (yang didukung Kemenkominfo) dengan kampanye Gerakan Nasional 1000 Startup, Bekraf dengan Developer Day dan Bekup, bahkan perusahaan-perusahaan secara khusus menggelontorkan CSR mereka untuk kegiatan berbasis hackathon, yang tak lain untuk memajukan startup digital juga. Benar saja, saat ini seperti semua orang bisa meniatkan diri untuk membuat sebuah startup.

Namun, apakah masifnya pengembangan startup yang ada saat ini sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan? Kembali dengan obrolan saya bersama rekan wirausahawati dari Surabaya, ia sempat menanyakan mengapa startup digital saat ini (meski tidak semua) terkesan tidak fokus mendapatkan profit? Justru antusias memburu pendanaan. Padahal jika mengembalikan kepada tujuan paling mendasar, startup tetap saja adalah sebuah usaha bisnis yang harus menghasilkan untung.

Saya tak dapat menyanggah realitas tersebut. Lalu mucul sebuah pertanyaan. Apakah yang sedang menjadi tren saat ini adalah menjadikan startup sebagai proses bisnis atau tren membisniskan startup?

Konsep digital membedakan proses pendekatan di dalamnya

Konsep digital memiliki pendekatan yang berbeda dengan cara konvensional. Sebut saja cerita kesuksesan Facebook. Sekarang dari mana mereka mendapatkan uang? Dari berbagai penawaran yang didasarkan pada kekayaan dan traksi pengguna yang besar. Layanannya gratis dari awal, bisnis dijalankan secara natural di dalamnya. Konsep seperti itu yang coba diusung oleh startup masa kini, terutama yang berbasis layanan.

Ada yang sejak awal fokus pada growth, ada yang fokus pada revenue, hingga ada yang memfokuskan produk startup untuk inovasi (biasanya diikutkan dalam lomba internasional). Begitu bermacam-macam tipikal startup yang ada di Indonesia saat ini dari sudut pandang tujuannya.

Pada kenyataannya “seleksi alam” selalu turut serta dalam berbagai hal. Startup yang mampu mandiri pada akan melaju kencang dan yang mengantungkan roda bisnisnya pada entitas lain lambat-laun kian menurut performanya.

Bagi saya masih terlalu dini untuk menjustifikasi keadaan startup di Indonesia saat ini. Pelaksananya saja masih menggenggam roadmap bisnis yang akan dijalankan selama bertahun-tahun mendatang. Mungkin jawaban dari pertanyaan “membisniskan startup” tadi akan terjawab bersama pembuktian realisasi pematangan pelaku bisnis startup Indonesia.

Kargoku Hadirkan Layanan Logistik Backloading, Manfaatkan Ruang Kosong Truk di Perjalanan Kembali

Startup baru bernama Kargoku hadir mencoba menawarkan layanan backloading untuk kebutuhan logistik. Backloading adalah proses pengangkutan yang memanfaatkan kapasitas truk yang tidak terpakai ketika perjalanan balik dari proses pengiriman barang. Menariknya Kargoku hadir dengan sistem lelang dalam hal pembiayaannya.

Kargoku saat ini memiliki empat fitur utama, yakni untuk sistem lelang, pelacakan truk, pembayaran dan pelaporan. Ketika memulai aplikasi, pengguna dihadapkan pada dua menu Login, untuk personal (konsumen) dan untuk bisnis (penyedia jasa truk). Jika login sebagai konsumen, selanjutnya pengguna akan diminta memilih kategori barang dan tujuan, kemudian akan dimunculkan estimasi harga.

Setelah proses order masuk, sistem akan mengirimkan permintaan tersebut kepada penyedia jasa. Melalui laman bisnis penyedia dapat menerima order tersebut, dengan harga yang telah disepakati. Siapa saja boleh mengambil selagi memiliki jalur yang sama. Aplikasi tersebut terhubung dengan sistem GPS di ponsel pengemudi, sehingga akan memudahkan pengirim barang mengetahui di mana posisi truk pengantar saat ini.

Kategori pengiriman yang telah ada saat ini meliputi pengiriman kendaraan, peralatan rumah tangga, pindah rumah/kantor, alat berat, dan juga komoditi pangan. Namun barang lain yang belum masuk ke dalam kategori masih bisa diinputkan manual dengan menyertakan dimensi dan ukuran barang tersebut, sehingga dapat diberikan estimasi harga kirim oleh sistem untuk dilelang ke para pemilik truk angkutan.

Disampaikan Martin Nababan selaku Founder Kargoku, bahwa visi dari layanannya untuk memberikan manfaat kepada pelanggan sekaligus perusahaan yang menjalankan ekspedisi pengiriman. Martin mengatakan:

“Aplikasi Kargoku akan memberikan estimasi harga penyewaan truk untuk setiap transaksi. Estimasi harga ini hanya digunakan sebagai dasar penawaran untuk kedua belah pihak. Nantinya Kargoer (konsumen pengguna Kargoku) bisa melakukan penawaran, dan pemilik truk yang tertarik bisa mengambil order tersebut.”

Lelang terbuka secara online dinilai turut memberikan keuntungan untuk mendapatkan harga dan layanan yang lebih kompetitif.

“Adanya sistem lelang ini juga menjadikan harga lebih kompetitif. Sehingga ke depannya pemilik barang dapat menurunkan biaya jasa pengirimannya sampai dengan 30 persen.”

Kendati bisnis logistik masih melemah di Indonesia, namun hadirnya Kargoku dinilai sebagai terobosan baru yang tepat. Permasalahannya perusahaan ekspedisi pengantaran barang sering kali melakukan inefisiensi. Sepulang proses pengantaran barang, truk akan berjalan kembali ke markas dengan bak yang kosong. Sistem Kargoku dapat menjadi salah satu alternatif, karena idealnya harga pun dapat ditekan, perusahaan atau sopir mungkin akan berpikir “dari pada kosong, buat angkut sekalian jalan mungkin tidak apa”.

Application Information Will Show Up Here

Fokus ke Asia Tenggara, Fenox Venture Capital Perhitungkan Startup Indonesia

Wilayah Asia Tenggara memang sudah tidak bisa dianggap remeh lagi dalam perkembangan bisnis digital, traksi yang terus menjulang mengundang minat para pemodal untuk masuk ke kawasan tersebut. Tak terkecuali Fenox Venture Capital. Pemodal ventura asal Amerika Serikat tersebut mengaku saat ini akan mulai fokus membangun pertumbuhan bisnis di wilayah tersebut, termasuk di Indonesia. Dengan pengalamannya dan aset sebesar $1,5 miliar di bawah manajemennya, Fenox VC yakin mampu turut serta dalam akselerasi bisnis di Asia Tenggara.

Di Indonesia, beberapa startup sudah masuk dalam jajarannya, seperti Talenta, HijUb, dan juga Jojonomic. Kendati beberapa waktu terakhir pihaknya banyak bersinggungan dengan startup di bidang robotik, kecerdasan buatan dan augmented reallity (untuk wilayah Jepang dan Amerika Serikat), menurut Jeff Quigley selaku Regional Manager Fenox VC untuk wilayah Asia Tenggara, pihaknya akan berinvestasi ke bisnis startup di kategori umum.

Prestasi GnB Accelerator dalam bootcamp pertamanya di Jakarta akan terus berlanjut. Enam startup yang diinkubasi, rata-rata adalah layanan on-demand, menjadi cerita sukses yang akan direplikasi. Program tersebut juga terbuka untuk diadakan di negara-negara lain di Asia Tenggara.

Untuk memahami lebih mendalam seputar misi Fenox VC di lanskap startup Indonesia, DailySocial mewawancara Jeff Quiqley via email. Berikut selengkapnya:

T (Tanya): Bagaimana Fenox melihat perkembangan startup yang ada di Indonesia saat ini?

J (Jawab): Kami telah aktif berinvestasi di Indonesia selama lebih dari dua tahun, jadi bisa dikatakan Fenox sebenarnya sudah mengantisipasi booming startup yang ada saat ini. Kami berinvestasi secara regional dari kantor di Jakarta, namun karena kedekatan dan aktivitas kami, mayoritas penawaran kami ada untuk startup domestik (Indonesia).

Yang kami lakukan di fase booming (startup), terlepas dari kegiatan investasi, kami meluncurkan GnB Accelerator untuk startup tahap awal, dan telah memiliki enam lulusan yang menjanjikan dari batch pertama di bulan Agustus lalu. Selain GnB, kami juga menyelenggarakan final Startup World Cup tingkat regional di Jakarta.  Bersama dengan Bekraf, kami bekerja sama untuk mengunjungi enam kota di luar Jakarta untuk mengadakan kontes pitching.

T: Mengapa Indonesia penting untuk investasi Fenox?

J: Hal itu bermuara pada beberapa poin kunci. Pertama adalah ukuran pasar yang besar, dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Hampir dari separuh orang dewasa Indonesia memiliki smartphone, dan jumlah pengguna internet aktif terus meningkat bersama pertumbuhan penduduk dan ekonomi pada umumnya. Masalah yang disebabkan oleh infrastruktur membuat kehidupan sehari-hari di kota besar membuat orang “sakit kepala”, tapi startup melangkah untuk memecahkan apa yang tidak bisa pemerintah lakukan. Sebagai contoh, lihat mereka yang menggunakan helm hijau (pengemudi ojek online) ketika melangkah di Jakarta, maka Anda akan melihat bagaimana orang Indonesia mampu merangkul teknologi sebagai solusi.

T: Adakah target terkait dengan seberapa banyak startup yang akan didanai?

J: Saya tidak akan menempatkan nomor, karena saya percaya pada kualitas daripada kuantitas. Kami telah meningkatkan dua kali lipat portofolio di Asia Tenggara untuk tahun ini. Kami juga mengharapkan untuk menyambut setidaknya enam startup lagi lulusan GnB Accelerator pada bulan Desember mendatang.

T: Seperti apa spesifikasi startup yang diincar oleh Fenox?

J: Selama ada unsur teknologi, dan kami berinvestasi pada seed funding dan seri A. Indonesia masih menjadi pasar yang muda, sehingga sebagian besar dari startup berfokus pada konsumen. Jika Anda menyaksikan batch pertama GnB, sebagian besar adalah layanan on-demand, namun siapapun yang mengetahui keadaan lalu lintas Jakarta maka akan dapat memahaminya. Perekonomian Indonesia didominasi oleh UMKM, ada banyak peluang di sektor SaaS (Software as a Services). Kami juga tertarik dengan startup di bidang kesehatan, e-commerce dan fintech. Tapi sebenarnya tidak terbatas pada kategori itu saja.

T: Bagaimana perkembangan GNB Accelerator di Jakarta setelah selama ini berjalan?

J: Ketika kami menengok lanskap akselerator yang ada, kami melihat kesempatan untuk memberikan sesuatu yang berbeda. Banyak program lain yang lebih dari sekedar model inkubator, sedangkan yang kami miliki adalah program lebih fokus pada market-fit dan penyiapan tim untuk lebih siap dalam pendanaan. Kami juga benar-benar bekerja secara multinasional, Fenox dari Amerika Serikat dan Infokom dari Jepang sebagai pengelola program ini, sehingga kami bisa membawa mentor, investor, dan mitra bisnis potensial.

Pertumbuhan Industri Startup Indonesia Dipredikasikan Mencapai 6,5 Kali Lipat di Tahun 2020

Bisnis startup digital di Indonesia diprediksikan oleh lembaga riset CHGR akan bertumbuh 6,5 kali lipat di tahun 2020. Estimasinya akan ada 13.000 usaha rintisan yang berjalan di tahun terebut. Saat ini (masih menurut lembaga riset yang sama) angka bisnis startup di Indonesia telah mencapai 2.000 dan termasuk yang tertinggi di kawasan regional. Pertumbuhan ini didorong oleh banyak hal, mulai dari transformasi digital di publik, arus investasi, hingga dukungan pemerintah.

Transformasi digital di Indonesia sendiri trennya terus meningkat. Dari catatan IDC, tahun ini terjadi peningkatan 8,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilainya diperkirakan mencapai RP 214,4 triliun, dan industri startup (ditulis sebagai UMKM dalam riset) berkontribusi sekitar 13 persen dari nilai total. Transformasi hampir bisa dikatakan masif di semua lini bidang, lihat saja mulai dari pendidikan, finansial, ekonomi, kesehatan hingga pertanian sudah mulai tersentuh oleh penerapan teknologi terpadu.

Kendati bertumbuh di semua lini bidang, namun terpantau saat ini e-commerce dan online marketplace yang masih menguasai arus bisnis di industri startup teknologi. Seperti yang pernah dibahas pada laporan riset startup DailySocial tahun 2015. Kendati demikian layanan on-demand juga memiliki peminat yang luar biasa, namun begitu masih didominasi oleh pemain itu-itu saja. Dua kategori startup ini berkembang pesat lantaran jangkauan investasi yang lebih besar jika dibanding dengan kategori lain. Konsumen prospektif yang tinggi berhasil melambungkan kepercayaan diri.

Bombardir program kewirausahaan digital di Indonesia

Selain faktor transformasi dan iklim investasi yang terus meningkat, ada peran lain yang memberikan sumbangsih besar. Salah satunya program-program yang digalakkan pemerintah untuk sosialisasi pengembangan startup. Kibar yang didukung Kemenkominfo mengadakan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital dan Bekraf pun hadir dengan kegiatan Developer Day dan Bekup. Hal ini menjadi upaya untuk membudayakan semangat kewirausahaan digital di seluruh penjuru Indonesia.

Beberapa kebijakan pun terlihat diarahkan untuk mampu berelaborasi dengan pertumbuhan startup, TKDN contohnya. Aturan tersebut mengikat produsen ponsel -salah satu produk yang memiliki pangsa pasar besar di Indonesia- untuk melibatkan inovator di dalam negeri guna mengisi kelengkapan produk tersebut. Aturan terkait dengan pendanaan startup pun juga mulai masuk dalam ranah pembahasan di OJK. Harapannya terdapat banyak pengawasan dalam lalu lintas pendanaan yang ada

Startup Indonesia diyakini masih akan terus berkembang. Demand yang besar, ide kreatif yang terus digodok, dan semangat kewirausahaan yang luar biasa menjadi faktor pembakar matangnya bisnis tersebut. Harapannya semoga industri ini mampu menyumbangkan angka kesejahteraan menyeluruh, setidaknya dimulai dari kalangan millennial.

Sektor E-Commerce Baru Sumbang 7 Persen Bisnis Logistik Indonesia

Secara kasat mana orang sering menilai, ketika saat ini industri e-commerce di Indonesia sedang mencuat, bisnis logistik sebagai pendukungnya pun turut menguat. Namun dari data yang disampaikan oleh Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyatakan bahwa tahun ini industri logistik secara umum hanya akan mampu tumbuh 10 persen, lebih rendah dari target yang dipatok sebesar 15%. Bisnis e-commerce diperkirakan menyumbang kontribusi 5-7% hingga September lalu, tak sesignifikan pertumbuhan industri e-commerce itu sendiri.

Disampaikan oleh Ketua Umum ALI Zaldi Ilham Masita, kendati tren belanja online meningkat, namun bisnis tersebut belum membawa logistik mampu menunjukkan peningkatan berarti. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena kondisi ekonomi yang masih kembang-kempis, adanya kenaikan biaya logistik di bandara dan pelabuhan hingga 30 persen dan arus barang yang tidak mengalami peningkatan drastis. Kendati demikian ALI meyakini di tahun 2017 mendatang kontribusi sektor e-commerce bisa mencapai 15%.

Kebutuhan logistik di e-commerce semakin banyak opsinya

Industri e-commerce dituntut untuk makin handal dengan makin beragam barang yang diperdagangkan. Untuk memfasilitasi tuntutan tersebut, banyak inovasi yang dilakukan layanan e-commerce terkait dengan dukungan logistik. Beberapa layanan e-commerce besar mulai membangun kanal logistiknya sendiri, contohnya Lazada dengan Lazada Express. Kenyamanan menggunakan layanan logistik sendiri ini turut didukung dengan tren pembangunan gudang di berbagai titik yang memiliki traksi pelanggan tinggi.

Kerja sama dengan penyedia layanan on-demand turut menjadi solusi yang mulai banyak diterapkan, contohnya oleh Bukalapak dan Tokopedia menggandeng Go-Jek untuk layanan antar cepat. Selain itu, PopBox dengan menghadirkan loker-loker di tempat strategis, turut menyumbang pilihan dalam penyampaian barang oleh sebuah layanan e-commerce. Beberapa layanan e-commerce yang beroperasi di Indonesia, seperti ZALORA dan MatahariMall, turut menggunakannya.

Opsi tersebut tentu memberikan dampak kepada bisnis logistik. Terlebih saat melihat demografi konsumen aktif e-commerce adalah di jangkauan layanan-layanan tadi. Meskipun demikian, beberapa pengguna (umumnya online marketplace) masih tinggi ketergantungannya dengan bisnis logistik umum. Apakah bisnis logistik tetap bisa menaruh harapan tinggi untuk terdongkrak melalui sektor e-commerce saat arus logistik di dalamnya memiliki opsi yang lebih banyak? Tren di negara lain menunjukkan hal ini dan hal serupa seharusnya juga terjadi di Indonesia untuk tahun-tahun mendatang.

Tak hanya terjadi di Indonesia, inovasi logistik juga terus digenjot di India

Perbincangan terkait dengan dukungan bisnis logistik dan e-commerce tak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara dengan pertumbuhan e-commerce yang cukup tinggi pun turut mematangkannya. India, dengan karakteristik yang sering dikatakan mirip dengan Indonesia, tatanan bisnis logistik di wilayah tersebut juga didorong untuk berinovasi. Industri logistik di sana saat ini mencapai $300 miliar. Tentu saja ada tantangan yang harus dipecahkan untuk mampu menumbuhkan bisnis bersama hype e-commerce, salah satunya terkait dengan kecepatan pengiriman.

Beberapa bisnis e-commerce telah memiliki basis besar di India. Mereka pun mulai merumuskan strategi logistik yang  beragam, seperti halnya di Indonesia. Contohnya Snapdeal, sejak tahun 2015 pihaknya telah meluncurkan Snapdeal Instant, layanan pengantaran dengan durasi hitungan jam. Ada juga Amazon. salah satu pemain kunci di e-commerce global ini bahkan telah membangun gudang penyimpanan di lima titik krusial di India untuk efisiensi proses logistik. Para pemain berlomba-lomba menaruh investasi dalam pemenuhan logistik.

Tatanan bisnis logistik di India saat ini banyak memfokuskan untuk sistem manajemen pengiriman yang memberikan kenyamanan lebih. Contohnya pada sistem tracking hingga pemanfaatan big data untuk melakukan analisis prediktif kebutuhan konsumen. Ketergantungan tinggi terhadap kualitas logistik dalam menunjang bisnis e-commerce memaksa para pemainnya untuk sigap dalam memenuhi tuntutan konsumen.

Melihat Facebook Marketplace dari Sudut Pandang Tatanan E-Commerce di Indonesia

Kendati baru diluncurkan di beberapa negara, layanan Facebook Marketplace kini tengah ramai diperbincangkan. Ini merupakan tindak lanjut traksi pengguna layanan jual-beli yang sebelumnya telah dirilis menjadi fitur di Facebook Group. Kelahiran Facebook Marketplace ini tentu membuka diskusi menarik seputar bagaimana layanan jual-beli online akan bertransformasi.

Dari pemaparan pengguna yang sudah dapat mengakses Facebook Marketplace, layanan ini mengadopsi pengalaman semudah bersosial dalam Facebook. Pada intinya Facebook memberikan fitur manajemen penjualan yang terstruktur, kendati saat ini proses pembayaran masih belum tercantum. Menyinggung bisnis jual-beli online, potensi pasar di Indonesia begitu relevan untuk ditautkan, terlebih saat berbincang tentang Facebook, maka Indonesia pun dipastikan turut menjadi prioritas.

Proses e-commerce Facebook di Indonesia masih sangat terfragmentasi

Berjualan di Facebook sudah menjadi budaya yang cukup lama dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Prosesnya beragam, melalui model konvensional ataupun menggunakan fitur yang sudah disediakan (di Group). Begitu populernya cara berjualan di Facebook ini, timbul berbagai peluang dan permasalahan. Peluangnya jelas, sebagai wadah gratis untuk menemukan dan berhubungan dengan pelanggan. Namun permasalahannya muncul karena tidak ada batasan dan SOP yang jelas, penyalahgunaan ada di mana-mana.

Cara yang mengganggu, seperti melakukan tagging ke akun seseorang secara masif hingga upaya melakukan penipuan, sudah sangat lumrah ditemui di lini masa jual-beli Facebook. Ini turut menjadi tantangan bagi Facebook sendiri untuk membangun trust penggunanya. Kendati demikian pengguna (seperti di Indonesia) sangat cepat beradaptasi dengan layanan baru Facebook. Artinya salah satu indikator keberhasilan Facebook Marketplace adalah ketika mampu menyusun alur yang jelas dan lebih terpercaya dalam proses jual-beli di Facebook yang saat ini sudah terfragmentasi.

Transformasi yang dilakukan Facebook Marketplace ini mirip dengan apa yang dilakukan Forum Jual Beli (FJB) milik Kaskus. Awalnya semua proses di FJB memiliki skema yang sama saat orang menuliskan obrolan dalam sebuah forum diskusi, sama seperti Facebook dan proses penulisan status. FJB kini memiliki alur yang lebih jelas untuk proses jual-beli, Facebook Marketplace pun visinya terlihat seperti itu.

Tren e-commerce di Indonesia makin spesifik

Salah satu keandalan yang ingin disuguhkan Facebook melalui social-commerce barunya adalah kekuatan data pengguna yang dimiliki. Berbasis komunitas, layanan Facebook Marketplace dijanjikan memudahkan pengguna untuk menjangkau calon konsumen prospektif di lingkungannya. Apakah ini akan men-disrupt tatanan e-commerce dan online marketplace yang ada di Indonesia saat ini? Untuk menjawabnya diperlukan analisis mendalam seputar bagaimana tren perkembangan bisnis tersebut di Indonesia.

Jika diruntut dari waktu ke waktu, hadirnya layanan berbasis e-commerce di Indonesia makin lama makin mengerucut. Saat ini konsumen mengarah kepada sistem yang bersegmen. E-commerce ataupun online marketplace bergerak semakin spesifik, mereka memiliki brand dengan kelebihan yang ditawarkan spesial bagi pelanggannya. Bahkan segementasinya pun terus mengakar.

Simpelnya seperti ini. Saat orang ingin mencari ponsel dengan harga murah maka dia akan mengarah ke layanan X, saat orang ingin mencari ponsel dengan jaminan kualitas akan mengarah ke layanan Y, dan saat orang ingin membeli ponsel dengan merek tertentu akan mengarah ke layanan Z, kendati layanan X, Y, Z menyediakan produk dengan yang sama yakni ponsel. Belum lagi saat berbicara produk dengan kategori berbeda. Namun ada rumusan pasti terkait pola tersebut, arahnya mulai terlihat ke sana.

Hal tersebut dapat menjadi sebuah alasan bahwa hadirnya Facebook Marketplace sebenarnya tak perlu dikhawatirkan. Di tangan konsumen, semua platform atau sistem e-commerce dianggap sama, prosesnya sudah seragam seperti itu. Saat ini yang menjadi pembanding justru pada bagaimana produk dan layanan pendukung lainnya disuguhkan.

Menekankan kembali kebutuhan konsumen akan layanan e-commerce

Kenyamanan pengguna dalam kaitannya dengan penggunaan layanan e-commerce didefinisikan menjadi banyak hal. Mulai kemudahan menemukan barang yang diinginkan, proses pembayaran yang tidak rumit, logistik yang mumpuni hingga pelayanan pengguna yang responsif. Namun kata kuncinya adalah kenyamanan. Visi e-commerce di Indonesia bukan lagi sekedar digital lifestyle yang sedang bertumbuh, melainkan sudah mulai menggantikan cara orang memenuhi kebutuhan keseharian.

Visi tersebut dibuktikan dengan beragamnya jenis layanan jual-beli online yang disegani oleh konsumen. Jika dulu e-commerce banyak difokuskan untuk barang-barang yang tahan lama, saat ini barang cepat saji pun sudah banyak dikemas ke dalam sistem jual-beli online. Banyak faktor yang mendukung, salah satunya kemapanan digital yang mulai dirasakan oleh masyarakat.

Ketika e-commerce menjadi sebuah kebutuhan orang banyak sedangkan sistem semuanya sudah seragam, maka apa yang dicari pelanggan adalah kenyamanan yang ia butuhkan dalam mendapatkan barang yang diinginkan.