Catatkan Pertumbuhan Positif, Aplikasi Bahasa Isyarat “Hear Me” Mulai Rambah Segmen B2B

Hear Me meluncur awal tahun 2021 ini, sebagai platform social technology yang menyediakan layanan penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Aplikasi ini juga jadi yang pertama yang menyuguhkan tampilan animasi 3D untuk menjembatani komunikasi antara teman tuli dan teman dengar. Disampaikan saat ini mereka telah memiliki sekitar 2 ribu pengguna aktif.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Hear Me Athalia Mutiara Laksmi mengungkapkan, untuk memberikan layanan lebih dalam waktu dekat mereka akan meluncurkan fitur baru yaitu pemesanan untuk Juru Bahasa Isyarat (JBI) dengan layanan video call.

“Tidak hanya itu, fitur tersebut rencananya juga akan dilengkapi dengan praktik bahasa isyarat kategori alfabet dan angka yang dapat mendeteksi gerakan tangan. Selain belajar melalui visual, diharapkan orang-orang dapat mempraktikkan gerakan isyarat mereka melalui fitur pendeteksi tersebut,” kata Athalia.

Hear Me juga ingin memberikan fleksibilitas kepada para juru bahasa isyarat untuk mendapatkan akses langsung ke pengguna dan penghasilan tambahan dengan bergabung menjadi mitra. Dalam hal ini Hear Me memberikan pembagian komisi dan bonus bagi mereka juru bahasa isyarat yang bergabung.

Melihat besarnya peluang untuk menghadirkan juru bicara bahasa isyarat yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh rumah sakit, bank, hingga organisasi lainnya yang banyak bersinggungan dengan pemerintah, fitur terbaru tersebut diklaim oleh Hear Me bisa membantu mereka menyebarkan informasi kepada teman tuli.

“Saat ini meskipun masih tahap awal kita mulai menjangkau segmen B2B dan ke depannya B2G,” kata Athalia.

Hear Me juga memiliki rencana untuk menghadirkan fitur penerjemah bahasa isyarat secara freemium. Rencana lainnya yang akan dikembangkan oleh Hear Me di antaranya adalah membuka slot iklan di aplikasi dan menyediakan lisensi teknologi dengan menampilkan layar atau monitor di tempat umum seperti bandara hingga pusat perbelanjaan. Tujuannya membantu teman tuli memperoleh informasi dengan mudah dalam memanfaatkan monitor yang memberikan akses bahasa isyarat.

Manfaatkan dana hibah

Selain Athalia, layanan ini turut didirikan beberapa co-founder lain meliputi Nadya Sahara Putri, Octiafani Isna Ariani, Safirah Nur Shabrina, dan Ivan Octa Putra.

Saat pandemi, Hear Me mengklaim tidak mengalami kendala yang berarti. Namun demikian terkait dengan kegiatan pemasaran menjadi terhambat karena idealnya dilakukan secara offline. Misi perusahaan yang ingin mempertemukan teman tuli dengan teman dengar secara langsung juga menjadi terhambat akibat pembatasan fisik yang diberlakukan.

Tantangan lain yang juga masih dihadapi adalah masih rendahnya aweresness dan sedikitnya jumlah komunitas di beberapa daerah. Tercatat hanya Jakarta dan Bandung saja yang cukup aktif dengan kegiatan komunitas teman tuli dan teman dengar. Namun di kota lain seperti Surabaya dan Makassar, jumlah komunitas tersebut masih sedikit dan tidak terlalu aktif.

“Melalui Hear Me kami ingin mengaktifkan kembali komunitas dan awareness kepada masyarakat luas terhadap keberadaan teman tuli dan teman dengar saat ini,” kata Athalia.

Masih belum memiliki investor, selama ini Hear Me menjalankan bisnisnya memanfaatkan dana hibah yang telah diterima oleh perusahaan. Tercatat hingga kini Hear Me telah mendapatkan sekitar 7 hibah dari berbagai organisasi dan lembaga. Perusahaan juga terus menjalin kolaborasi dengan pihak terkait seperti Gerkatin Jawa Barat, Dinas Sosial dan Dinas Budaya & Pariwisata.

“Tahun ini kita masih ingin fokus ke product dan business validation hingga bulan Oktober mendatang. Sementara tahun depan kita juga memiliki rencana untuk penggalangan dana,” kata Athalia.

Application Information Will Show Up Here

Sebastian Wijaya Mendukung Startup “Next Generation” Melalui Win Ventures

Meluncurkan startup sejak tahun 2013 lalu dengan nama Seroyamart, serial entrepreneur Sebastian Wijaya, kini disibukkan dengan mengelola venture capital Win Ventures.

Kepada DailySocial, Sebastian bercerita harapannya untuk membantu next generation startup founder mengembangkan startup mereka. Win Ventures juga berupaya membantu startup daerah mendapatkan exposure dan peluang yang lebih luas.

Berbagi pengalaman

Startup yang fokus kepada online groceries Seroyamart / Seroyamart
Startup yang fokus kepada online groceries Seroyamart / Seroyamart

Setelah 10 tahun bekerja di raksasa FMCG P&G dan mendapatkan pengalaman bekerja di beberapa negara, di tahun 2013 Sebastian memutuskan kembali ke tanah air. Melihat makin agresifnya Lazada saat itu mengembangkan layanan mereka di Indonesia, Sebastian tertarik mendirikan layanan serupa, namun fokus ke produk groceries. Bernama Seroyamart, Sebastian memberikan pilihan baru cara berbelanja kebutuhan pokok bagi konsumen tanah air.

Jatuh bangun mengembangkan Seroyamart diklaim menjadi highlight startup journey buat Sebastian. Pengalaman ini menjadi pemicu bagi Sebastian  memberikan kontribusi lebih banyak bagi startup Indonesia.

“Pengalaman sebagai pendiri startup is a natural progression menurut saya untuk kemudian mendirikan venture capital. Diawali dengan membangun startup kemudian you reach a point di mana gabungan dari rasa lelah dan kemungkinan untuk melakukan lebih banyak lagi untuk membantu next generation startup,” kata Sebastian.

Di tahun 2017, Sebastian membantu Kemenristek sebagai mentor bagi startup terpilih. Dari sana ia melihat besarnya potensi startup dari berbagai pelosok daerah. Tidak hanya layanan e-commerce, ia melihat masih banyak vertikal bisnis lain yang menarik dijajaki oleh para pendiri startup.

Di sisi lain, Sebastian melihat dominasi lulusan universitas luar negeri yang mendirikan startup. Hal tersebut tidak menjadi masalah besar, namun ia ingin membuktikan bahwa banyak entrepreneur lokal yang tidak kalah dengan lulusan luar negeri.

“Di Indonesia masih banyak yang bisa dikembangkan. Bukan hanya layanan e-commerce yang banyak ditiru dari Amerika Serikat, namun juga industri pangan, defense industry, agriculture, kerajinan, kuliner dan masih banyak lagi,” kata Sebastian.

Membantu “next generation”

Venture capital yang didirikan akhir tahun 2019 Win Ventures / Win Ventures
Venture capital yang didirikan akhir tahun 2019 Win Ventures / Win Ventures

Diluncurkan akhir tahun 2019 lalu, Win Ventures ingin fokus ke startup yang bisa memberikan layanan bagi UMKM enablement dan economic inclusion.

“Saat berinvestasi kita melihat pendiri startup dan model bisnis yang masuk akal. Platform yang bisa leverage UMKM enable them to do business, adopt technology menjadi fokus kami dan lebih ke niche. Kita tidak suka startup yang sangat general,” kata Sebastian.

Saat ini Win Ventures telah memliki 6-7 portofolio. Tidak hanya startup asal Indonesia, tetapi juga yang beroperasi di Singapura dan Malaysia. Beberapa portofolio Win Ventures adalah Localio, travelcash, dan Kokikit.

Bagi Win Ventures, model bisnis dan misi yang ingin diwujudkan Kokikit, membantu semua orang memliki bisnis kuliner tanpa perlu memiliki infrastruktur berbiaya besar, menjadi premis yang menarik. Kolaborasi dijalin dengan selebritas Indonesia dalam bentuk berbagai kemitraan. Kokikit memiliki cita-cita memperkenalkan kuliner Indonesia ke mancanegara.

“Saya melihat Kokikit lebih dari sekadar meal kit. Misi mereka ingin membuat platform untuk semua bisa memiliki bisnis kuliner, tapi tidak punya infrastruktur. Fokus utama mereka selanjutnya adalah hanya kepada pemasaran saja dengan brand milik mereka sendiri. Kokikit didesain untuk memungkinkan semua proses tersebut,” kata Sebastian.

Secara khusus Win Ventures fokus ke early stage startup. Meskipun memiliki tingkat risiko yang lebih besar, ada potensi return yang tinggi jika dijalankan dengan benar.

Untuk saat ini, Win Ventures belum memiliki LP. Menurut Sebastian, semua investasi yang diberikan berasal dari dana pendirinya. Diharapkan dalam beberapa waktu ke depan ada portofolio mereka yang bisa exit, agar dana tersebut bisa diinvestasikan kembali ke startup binaan Win Ventures lainnya.

“Hal pertama yang kita lakukan adalah menambah portofolio. Fokus kita, mereka yang telah mendapatkan investasi bisa melangkah ke tahapan pendanaan lanjutan. Kita juga terus melakukan fundraising dan rencananya bisa merampungkan Fund I tahun depan,” tutup Sebastian.

Kantongi Dana Tahap Awal, TransTRACK.ID Genjot Pengembangan Produk Manajemen Armada Logistik

Setelah resmi meluncur bulan April tahun 2019 lalu, penyedia layanan manajemen pengelolaan armada TransTRACK.ID berhasil menutup putaran pendanaan tahapan awal. Investor yang terlibat adalah Cocoon Capital, Accelerating Asia, dan PT Modal Ventura YCAB.

Secara keseluruhan mereka berhasil mengumpulkan investasi senilai SGD755 ribu (setara dengan $570 ribu atau 8 miliar Rupiah). Sebelumnya TransTRACK.ID juga merupakan salah satu peserta terpilihDSLaunchPad 2.0. Startup ini didirikan oleh dua founder, yakni Anggia Meisesari dan Aris Pujud.

“Dana segar tersebut akan digunakan untuk mendukung pengembangan produk dan pertumbuhan sales. Saat ini TransTRACK.ID juga sedang mencari kemitraan strategis dan relasi untuk putaran pendanaan berikutnya,” kata Anggia selaku CEO.

Selama pandemi perusahaan mencatat mengalami pertumbuhan revenue lebih dari 150% dibanding sebelumnya. Besarnya kebutuhan transportasi dan logistik saat pandemi, menjadikan beroperasi dengan potensi penuh untuk memasok produk dan layanan. Kondisi tersebut menjadi krusial untuk memantau penggunaan dan fungsi yang tepat dari armada, pengemudi, dan keselamatan.

“TransTRACK.ID hadir untuk membantu para pelanggan kami yang beroperasi di sektor logistik dan pendukungnya, sehingga mereka tidak perlu menghadapi berbagai masalah seperti pengiriman yang terlambat, pencurian, pengemudi yang buruk, biaya yang tidak efisien, dan sulitnya terintegrasi ke sistem lain,” lanjut Anggia.

Hingga saat ini pengguna sistem TransTRACK.ID sudah hampir 3000 unit. Perusahaan dapat melayani pelanggan di seluruh Indonesia, dengan service point sementara ini berada di seluruh pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. TransTRACK.ID fokus pada model bisnis B2B dan B2B2C.

Untuk layanan pelacakan armada logistik, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang mencoba memberikan solusi. Di antaranya Lacak.io, Waresix, Logisly, Webtrace, dan lain-lain.

Keunggulan platform

Revenue stream mereka mayoritas berasal dari subscription fee (biaya berlangganan) untuk penggunaan Fleet Management System dan aplikasi pelengkap dan pendukung lainnya seperti Transportation Management System, Employee Tracking, Vehicle Maintenance dan Driver Management. Selain itu perusahaan juga mendapatkan revenue dari penjualan perangkat lunak (alat GPS dan sensor) serta proyek pengembangan.

TransTRACK.ID juga menyediakan kompensasi kecelakaan (tanpa biaya tambahan) bagi pelanggan yang kendaraannya terpasang alat, sebesar maksimal Rp50 juta per orang apabila terjadi kematian, cacat tetap, dan biaya pengobatan maksimal Rp5 juta per orang. Kompensasi ini berlaku untuk 1 pengemudi dan 1 penumpang, siapa pun identitasnya, yang saat itu berada dalam kendaraan yang mengalami kecelakaan.

“Platform kami sangat fleksibel dan dapat terintegrasi dengan lebih dari 1000 jenis alat GPS di pasaran, mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan, mudah untuk diintegrasikan dengan sistem lain, multiple alert dan notifikasi baik itu melalui SMS, push notif di mobile apps, browser, dan windows, juga melalui email secara real time, multiple report, dan multiple user yang dapat diatur hak aksesnya,” kata Anggia.

Potensi platform telematika armada

Tercatat saat ini jumlah kendaraan darat di Indonesia mencapai lebih dari 150 juta unit, dan pasar logistik di Indonesia sangat besar. Diprediksi akan mencapai $300,3 miliar pada tahun 2024. Kebutuhan akan penggunaan telematika armada semakin meningkat.

Hal ini didasari adanya kebutuhan untuk melacak dan memonitor penggunaan kendaraan, pengemudi, dan keamanan keselamatan. Regulasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan, telah mengeluarkan aturan melalui PP No. KP.2081/AJ.801/DRJD/2019 yang mensyaratkan penggunaan GPS kepada seluruh operator transportasi umum untuk memantau operasional dan peningkatan efisiensi.

Akan tetapi menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia, tingkat penggunaan GPS tracking pada angkutan umum di Indonesia masih kurang dari 10%, atau kurang dari 2% dari total jumlah kendaraan di Indonesia. Hal ini memperlihatkan potensi yang masih sangat besar untuk pertumbuhan layanan teknologi telematika armada di Indonesia, seperti layanan yang ditawarkan oleh platform TransTRACK.ID.

Application Information Will Show Up Here

Kondisi dan Strategi Bisnis WeWork Menghadapi Perubahan Gaya Kerja Akibat Pandemi

Operator coworking space global WeWork meresmikan kehadirannya di Indonesia sejak tahun 2018, setelah satu tahun sebelumnya mengakuisisi Spacemob. Berdasarkan informasi yang didapat dari situs resminya, saat ini mereka mengoperasikan layanan di 4 lokasi di Jakarta.

Sayangnya perubahan tren dan gaya kerja akibat pandemi juga turut terdampak untuk industri tersebut. Salah satunya diungkapkan hasil laporan ResearchAndMarkets pada Juni 2020, pasar global coworking space diperkirakan turun dari $9,27 miliar pada 2019 menjadi $8,24 miliar di 2020 dengan CAGR -12,9%.

Di laporan satu tahun berikutnya oleh firma riset yang sama, pasar diperkirakan tumbuh dari $7,97 miliar di 2020 menjadi $8,14 miliar pada 2021 dengan CAGR 2,1%. Pertumbuhan disebabkan karena operator layanan terus beroperasi dan mencoba beradaptasi dengan kondisi normal baru, di tengah proses pemulihan dampak akibat pandemi [termasuk vaksinasi]. Potensinya diperkirakan mencapai $13,03 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12%.

Bisnis WeWork selama pandemi

WeWork coworking space / WeWork

Ketahanan bisnis WeWork selama pandemi disokong dengan lebih dari 50% anggotanya yang memiliki komitmen [sewa] lebih dari 12 bulan, berkontribusi pada jangka waktu komitmen penuh rata-rata lebih dari 15 bulan terhadap ruang kerjanya. Tercatat saat ini WeWork telah kembali ke kinerja sebelum masa pandemi, dengan mencatat penjualan net desk terkuat di bulan April dan Mei sejak September 2019.

“Kami mencatat penjualan net desk yang positif di semua wilayah terkonsolidasi, menunjukkan sifat pemulihan global dan mempercepat permintaan untuk solusi yang hybrid di WeWork. Di seluruh portofolio global kami, tingkat hunian ruang kerja WeWork terus meningkat hingga 53% pada akhir Mei,” kata Head of WeWork Labs Australia, SEA & South Korea Monica Wulff kepada DailySocial.id.

Untuk kawasan Asia Tenggara, WeWork melihat peningkatan minat saat perusahaan mulai merencanakan strategi tempat kerja jangka panjang dan lebih berkelanjutan. Sementara bisnis yang lebih kecil juga memilih pengaturan ruang kerja yang lebih fleksibel, dibandingkan dengan komitmen ruang kerja tradisional.

“Hal ini dibuktikan dengan peningkatan hampir 10% di segmen korporasi untuk WeWork di Asia Tenggara. Di seluruh wilayah, WeWork telah mencatat perpanjangan komitmen dan komitmen baru dari perusahaan seperti OPPO, Thales, Payoneer, Affinidi, Indepay, dan Katalon,” kata Monica.

Meluncurkan program “Growth Campus”

WeWork Growth Campus / WeWork

Bertujuan untuk mendukung ekosistem industri startup dan terus berinovasi selama pandemi, WeWork meluncurkan “Growth Campus” pertamanya di Inggris pada awal tahun ini. Inisiatif tersebut kini telah diperluas ke Australia dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Growth Campus adalah sebuah komunitas resource-sharing. Diharapkan melalui inovasi ini, WeWork dapat menciptakan kemitraan yang kuat dengan semua pemain ekosistem startup (program startup, investor, perusahaan berkembang) yang bergabung. Untuk mendukung program ini, WeWork menginvestasikan hampir $8 Juta untuk subsidi ruang kerja, mentorships, dan edukasi di seluruh Asia Tenggara.

“Seiring kita beradaptasi dengan keadaan, WeWork telah memainkan peran penting dalam banyak strategi pertumbuhan perusahaan dan karena Covid-19 terus berdampak pada ekonomi dan mendisrupsi cara kita bekerja, kami melihat kebutuhan akan jaringan dan ruang kerja untuk membantu bisnis meningkat.”

Untuk startup yang bisa bergabung, minimal mereka berada di tahap awal yang telah didirikan dalam 5 tahun terakhir dengan jumlah karyawan kurang dari 20. Selain itu, startup mereka telah didanai sendiri dengan omzet di atas $75 ribu atau telah mengumpulkan modal eksternal termasuk seri A.

“Peserta harus menandatangani Perjanjian Keanggotaan WeWork untuk berkomitmen dalam memiliki ruang kerja selama 6 hingga 12 bulan, dan tidak mengikuti atau berpartisipasi dalam penawaran atau promosi WeWork lainnya,” kata Monica.

Sementara itu terkait kurikulum, WeWork Growth Campus memberikan mereka platform digital global WeWork yang disebut WeWork Labs. Melalui inovasi ini, mereka akan diberikan edukasi dan bimbingan dengan ribuan profesional dan pakar dalam format one-on-one, roundtable setting, dan webinar global.

WeWork Labs juga memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk memajukan bisnis mereka, seperti pembelajaran sesuai permintaan (on-demand learning), community of founders, serta wellness & personal development.

“Kami juga memberikan peserta dengan program pendidikan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan pribadi dan profesional anggota kami. Kurikulum dikembangkan dan difasilitasi dalam kemitraan dengan jaringan mentor dan pakar kami,” kata Monica.

Application Information Will Show Up Here

Platform “Crowdgiving” Bantoo.id Jembatani Kegiatan Donasi secara Digital

Besarnya minat masyarakat umum untuk melakukan donasi secara online, menjadi salah satu alasan platform Bantoo.id hadir. Kepada DailySocial.id, Co-founder Bantoo.id Ratna Veronica menyebutkan, Indonesia sebagai negara teratas dalam inisiatif untuk memberi (oleh World Giving Index) ditambah dengan kultur gotong-royong yang sudah mendarah daging.

“Namun online giving platform sebagai sociotech masih jauh kalah kuantitas dan perkembangannya dibanding fintech dan tentunya online marketplace,” kata Ratna.

Secara khusus Bantoo.id memadukan donasi barang dan uang. Berbeda dengan platform serupa lainnya, Bantoo.id bukan hanya sekedar crowdfunding platform, namun merupakan crowdgiving. Ke depannya ada beberapa vertical product dan layanan lagi yang akan dikembangkan.

Mereka juga berupaya untuk tidak menjual kesedihan, baik lewat cause campaign, konten cerita campaign, maupun foto. Perusahaan lebih mengedepankan semangat, perjuangan, inspirasi kebaikan dan berita positif. Bantoo.id juga  menerapkan 5 tahap verifikasi untuk setiap kampanye yang dijalankan.

“Bantoo.id dapat diakses oleh pengguna di seluruh Indonesia. Untuk penggalang dana sendiri tersebar hampir di seluruh Indonesia dengan cause penggalangan yang beragam. Pertumbuhan unique visitor kami cukup baik dengan conversion rate to donate yang cukup tinggi. Kami mulai dari nol, dan saat ini ada di angka 200 ribu visitor per bulan,” kata Ratna.

Strategi monetisasi yang dilancarkan pada platform crowdfunding adalah 5% platform fee dari donasi terkumpul dan dikarenakan adanya crowdgiving, monetisasi bertambah dengan persentase margin dari barang donasi yang terjual di Bantoo.id. Campiagner dan mitra cukup beragam.

Diawasi oleh Kemensos dan Kominfo

Saat ini Bantoo.id diawasi oleh Kementrian Sosial dan Kominfo. Disinggung apakah nantinya Bantoo.id akan bertransformasi lebih dari sekadar platform donasi, mereka menegaskan untuk saat ini dan ke depannya akan terus menjadi platform crowdgiving di Indonesia.

Cara unik yang kemudian dilancarkan oleh mereka yaitu menawarkan pilihan donasi bukan hanya uang, namun juga barang, zakat, hingga bagi ilmu. Dengan demikian memberikan pilihan kepada orang banyak untuk melakukan donasi dengan opsi yang lebih luas.

“Saat ini donasi paling banyak adalah donasi dana. Namun dengan menawarkan pilihan seperti #BagiBarang bisa menjembatani mereka secara individu hingga perusahaan yang ingin melancarkan kegiatan CSR memanfaatkan layanan pilihan dari Bantoo.id,” kata Ratna.

Salah satu pemicu pertumbuhan layanan donasi Bantoo.id adalah saat pandemi. Pandemi secara langsung memberikan dampak positif, banyak social cause yang memerlukan bantuan dan dapat dibantu. Secara negatif, walaupun tidak terlalu signifikan adalah berkurangnya nilai donasi (basket size) per user.

Meskipun baru berusia 1 tahun, namun Bantoo.id memiliki beberapa rencana yang ingin dilancarkan. Di tahun ini Bantoo.id fokus pada perkuatan dan pengembangan system internal, automated verification & automated withdrawal system.

“Oleh sebab itu kami secara selektif memilih campaign baru. Ke depannya di tahun ini kami akan menambah 1-2 vertical product/services untuk memperkuat Bantoo.id sebagai Point of Charity (POC),” kata Ratna.

Disinggung apakah Bantoo.id memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, Ratna menegaskan belum ada rencana untuk melakukan penggalangan dana hingga saat ini. Namun demikian perusahaan tidak menutup kemungkinan jika adanya investor yang berniat untuk memberikan dana segar kepada perusahaan.

“Kami saat ini belum fokus untuk mencari investor, namun kami sangat terbuka untuk berdiskusi dengan semua yang melihat sociotech dan pengembangan fintech adalah sesuatu yang baik di Indonesia,” tutup Ratna.

Pertumbuhan platform donasi digital

Bukan hanya platform crowdfunding seperti Kitabisa, BenihBaik, hingga crowdgiving seperti Bantoo.id yang saat ini dilirik oleh masyarakat umum, kegiatan donasi online saat ini juga mengalami pertumbuhan yang cukup baik selama 2 tahun terakhir.

Gojek pun tahun 2019 lalu telah meluncurkan GoGive, hasil kerja sama dengan platform penggalangan dana Kitabisa sebagai mitra eksklusif. Go-Give memungkinkan pengguna untuk berdonasi, zakat, infaq, dan sedekah (ZIS), dan kalkulator zakat langsung dalam aplikasi Gojek dengan metode pembayaran Go-Pay.

Data yang dirangkum oleh Katadata terungkap, nilai donasi digital rata-rata naik 72% selama pandemi. Studi juga menggambarkan bahwa derma dari generasi Z atau masyarakat usia di bawah 24 tahun meningkat. Jumlah donatur yang menggunakan layanan digital juga naik 9% menjadi 76%. Dibandingkan empat tahun lalu, nilai dan volume donasi melalui platform digital meningkat 13 kali lipat.

Indonesia Millenial Report 2019 mencatat sebanyak 2,7% milenial pernah berdonasi secara online. Laporan hasil riset yang dirilis IDN Research Institute ini menyatakan Dompetdhuafa.com sebagai situs donasi favorit milenial.

“Startup Failure”: Hal-Hal yang Mendorong Kegagalan dan Cara Bertahan

Dalam sebuah riset yang dirangkum Failory terungkap bahwa 9 dari 10 startup gagal, seementara 7,5 dari 10 startup yang didukung venture capital akan berakhir gagal.

Ada beberapa alasan mengapa startup yang berbasis teknologi bisa berakhir gagal, termasuk persoalan finansial (cashflow), kurangnya kolaborasi antar tim, kegiatan pemasaran yang tidak efektif, hingga tidak sempurnanya proses product market fit (PMV).

Dalam riset tersebut juga disebutkan, proses PMV untuk memvalidasi bisnis ke target pasar biasanya mewakan waktu. Startup yang melakukan pivot atau perubahan model bisnis dan layanan lebih dari sekali memiliki peluang bertumbuh dan bertahan lebih baik.

Terdapat dua hal yang harus diperhatikan agar perusahaan tidak mau berakhir dalam kegagalan, yaitu fokus ke pertumbuhan (growth) dan inovasi. Jika keduanya bisa diimplementasikan dengan selaras, potensi startup bertahan dan berkembang akan semakin baik.

Pelanggan adalah Raja, “Feedback” Begitu Berharga

If you never want to be criticised, for goodness sake don’t do anything new.

– Founder Amazon Jeff Bezos

Ketika mendirikan perusahaan, termasuk startup teknologi, mendapatkan feedback atau timbal balik positif adalah sesuatu yang diharapkan. Meskipun demikian, kita tidak boleh mengacuhkan timbal balik negatif.

Timbal balik pelanggan adalah salah satu hal yang paling sulit untuk dikelola. Penanganan timbal balik pelanggan yang tidak tepat sasaran dapat mengakibatkan perginya pelanggan atau bahkan kesalahan pengembangan roadmap produk.

Pelanggan adalah orang yang mengetahui apakah produk yang kita kembangkan sudah tepat sasaran dan memberikan kepuasan. Validasi setiap timbal balik, baik positif atau negatif, untuk memastikan masa depan produk yang tepat sasaran.

Startup Kuliner Kokikit Hadir dengan Konsep “Chef as a Services”

Besarnya peluang memanfaatkan sumber daya koki profesional menjadi alasan platform chef as a services Kokikit diluncurkan. Para konsumen dapat menikmati signature dish dari para juru masak dalam bentuk ready meal yang dikemas secara praktis dengan biaya yang lebih efisien.

Didirikan oleh CEO Andry Suhaili bersama co-founder lainnya yaitu CTO Sebastian Wijaya, CMO Donald D. Kusumo, Chef Culinary Officer Hendro Soejadi, dan Chief Content Officer Untung Pranoto; Kokikit ingin menghadirkan pilihan koki-koki profesional untuk para konsumen (perorangan, restoran, hotel) tanpa harus memiliki atau mempekerjakan koki itu sendiri.

“Visi kami adalah mempopulerkan cita rasa Indonesia ke seluruh dunia, agar saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri dapat membuka restoran Indonesia dengan rasa dan kualitas terbaik lewat Recipe Kit dari Kokikit,” kata Andry.

Berbeda dengan layanan cloud kitchen atau ghost kitchen yang saat ini makin marak kehadirannya, Kokikit tidak membutuhkan investasi properti dan peralatan dapur untuk melayani konsumen dari berbagai kota. Seluruh makanan Kokikit adalah hasil kreasi seorang koki profesional.

“Pemain ready meal serupa juga belum memanfaatkan teknologi sebagai strategi utama. Mereka masih mengandalkan metode konvensional dan pasar modern ritel dan dalam bentuk frozen. Kokikit memiliki produk frozen dan tahan suhu ruang (shelf-stable food atau ambient food),” imbuh Andry.

Meal Kit dan Recipe Kit

Para chef profesional Kokikit / Kokikit

Secara khusus Kokikit adalah produsen Meals Ready to Eat (MRE) dalam bentuk Meal Kit (full meal) dan Recipe Kit (daging saja). Meal Kit ditujukan untuk perorangan (end user) yang tidak mau repot masak atau mengotori dapur. Sementara Recipe Kit ditujukan untuk restoran agar mereka bisa menambahkan menu dengan mudah; dan hotel-hotel yang tidak memiliki dapur.

Seluruh produk adalah kreasi tim koki profesional yang dikolaborasikan dengan para artis, untuk melahirkan Celebrities Favorite Signature Dish. Kokikit mengklaim semua rasa dan kualitas sudah divalidasi oleh para selebriti yang terlibat. Sejak beroperasi 2 bulan lalu, Kokikit sudah mencatat lebih dari 5000 konsumen. Saat ini Kokikit dapat diakses melalui WhatsApp, situs, dan di berbagai platform online marketplace.

“Saat ini Kokikit telah bekerja sama dengan 9 selebriti dan sedang menjalankan program sosial dengan Digiresto lewat gerakan #IndonesiaPastiBisa dengan menghadirkan paket nasi di harga Rp10.000 kepada warga-warga isoman di seluruh Jabodetabek dan Bandung,” jelas Andry.

Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Kokikit adalah membangun mitra penjualan (agen). Meal Kit dan Recipe Kit dapat dibeli dalam bentuk satuan, bundling, katering, dan dapat dikustomisasi. Kokikit juga menyediakan 3 jenis aplikasi seluler yang dapat digunakan secara gratis. Yaitu untuk pelanggan, mira (restoran dan hotel), hingga aplikasi mitra agen yang bertugas untuk mencari prospek, mendapatkan laporan performa penjualan dari pelanggan mereka secara real time, membuat promosi diskon dan mengelola pelanggan.

“Tahun ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Kokikit, di antaranya adalah melakukan ekspansi kapasitas produksi Kokikit dan membutuhkan mitra yang dapat mendukung dari sisi finansial. Tujuannya agar Kokikit dapat memperluas dapur sentral, mesin dapur dan kemasan komersial yang membutuhkan biaya cukup besar,” kata Andry.

Pertumbuhan layanan meal kit

Layanan pengiriman meal kit telah mendapatkan popularitas luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, karena menawarkan kemudahan dan menghemat waktu saat menyiapkan makanan. Meal kit adalah pilihan yang praktis berisi resep yang mudah diikuti, tips memasak, takaran bahan yang tepat yang diperlukan untuk menyiapkan makanan.

Vendor juga menyediakan pilihan berlangganan, konsumen bisa mendapatkan meal kit yang dikirimkan tanpa perlu melakukan pemesanan setiap hari. Ketersediaan opsi yang nyaman seperti itu akan mendorong pertumbuhan pasar layanan pengiriman meal kit ke depannya.

 

Di Indonesia, konsumsi makanan ready meal masih belum populer, dibanding dengan negara lain seperti Singapura, Korea, Jepang hingga Inggris Raya. Menurut laporan dari Technavio Research, ukuran pasar layanan pengiriman meal kit memiliki potensi untuk tumbuh sebesar $15,93 miliar selama 2020-2024, dan momentum pertumbuhan pasar akan meningkat pada CAGR lebih dari 18%.

Adapun di Indonesia startup lain yang jajakan produk serupa adalah Cooklab. Lewat aplikasi mereka menjual paket makanan siap masak, termasuk di dalamnya bahan sesuai takaran, kartu menu, dan juga video resep. Sebelumnya nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019.

 

500 Southeast Asia Tetap akan Berikan Perhatian Lebih untuk Startup di Indonesia

Setelah selama 7 tahun dikenal dengan nama “500 Durians“. 500 Startups secara resmi melakukan rebranding dana kelolaan mereka untuk startup di Asia Tenggara menjadi “500 Southeast Asia”. Langkah strategis ini sengaja dilakukan setelah melihat makin matangnya ekosistem startup di kawasan tersebut.

Sebanyak 250 investasi tahap awal telah diberikan melalui 500 Durians. Bahkan beberapa di antaranya telah memiliki valuasi di atas $1 miliar dan telah mengumumkan rencana IPO. Di antaranya adalah Bukalapak (sudah IPO), Grab, Carsome, Kredivo, Carousell Group, and Prenetics.

 

Ada pula startup lainnya yang saat ini telah bernilai lebih dari $100 juta dan berkembang pesat. Di antaranya adalah Bibit, Gilmour Space Technologies, RedDoorz, BukuKas, Alodokter, Aerodyne, HappyFresh, mClinica, Vokal, eFishery, dan lainnya. Secara kolektif, para pendiri di jaringan tersebut telah mengumpulkan lebih dari $20 miliar.

“Ekosistem startup dan pemodal ventura di Asia Tenggara jelas telah berkembang jauh sejak kami memulai 500 Durians. Rebranding adalah pengakuan atas makin dewasanya kawasan dan komitmen kami yang berkelanjutan untuk terus berinvestasi dan mendukung entrepreneur di sini untuk jangka panjang,” kata Managing Partner 500 Southeast Asia Vishal Harnal kepada DailySocial.

Disinggung seperti apa rencana 500 Southeast Asia untuk pasar Indonesia ke depannya, Vishal menyebutkan Indonesia tetap menjadi fokus utama bagi 500 Southeast Asia.

“Kami memiliki sejumlah besar investasi di Indonesia dan akan terus berinvestasi dan mendukung para pendiri Indonesia. Salah satu investasi awal kami, Bukalapak, baru saja IPO di Bursa Efek Indonesia. Kami percaya bahwa ini baru permulaan untuk entrepreneur di Indonesia,” kata Vishal.

Dana 500 Durians pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dengan ketersediaan mencapai $10 juta yang kemudian meningkat hingga lebih dari $20 juta.

Hipotesis investasi

Saat ini telah banyak kategori startup yang mengalami pertumbuhan secara positif. Didorong oleh pandemi yang telah mengakselerasi digital lebih cepat lagi, 500 Southeast Asia melihat, ada beberapa vertikal bisnis yang akan semakin berkembang ke depannya.

Dalam situs resminya disebutkan, ekonomi digital sangat bergantung pada infrastruktur keuangan untuk menghubungkan semua. 500 Southeast Asia percaya teknologi keuangan dan embedded finance dapat mengantarkan era baru inklusi dan pengembalian keuangan. Mulai dari mengurangi volatilitas pendapatan, akses ke kredit, hingga asuransi yang penting.

Sementara layanan e-commerce dalam dekade terakhir telah berkembang menjadi “all-commerce”, konsumen menuntut untuk membeli apa saja, di mana saja (baik online atau offline), dan telah mengirimkan ke depan pintu mereka kapan saja mereka pilih.

Terkait dengan healthcare, 500 Southeast Asia melihat, sektor ini sering diabaikan dan kurang diinvestasikan. Pandemi telah membuktikan pentingnya menjaga diri sendiri. Dalam hal ini bagi 500 Southeast Asia, healthcare bukan hanya untuk tubuh saja, namun juga untuk pikiran dan jiwa.

“Kami mengambil pendekatan berbasis tesis dan tematik terhadap investasi. Saat ekosistem sudah matang, begitu juga peluang investasi dan masa depan. Saat ini, tema luas yang kami fokuskan adalah fintech untuk semua dan embedded finance, healthcare (dengan fokus pada perawatan diri), sustainable cities, digitalisasi pedesaan, ekosistem all-commerce, serta produktivitas manusia dan mesin,” tutup Vishal.

Kinesys Jalin Kerja Sama dengan The-Wolfpack, Fokus Perkuat Ekosistem D2C

Perusahaan modal ventura Kinesys Group menjalin kerja sama strategis dengan The-Wolfpack, yang merupakan fund management berbasis di Singapura. Didirikan oleh Jin Wei Toh dan Simon Nichols, firma investasi tersebut fokus kepada startup D2C.

Kepada DailySocial, Managing Partner Kinesys Group Steven Vanada mengungkapkan, D2C telah menjadi salah satu sektor fokus dari Kinesys Group. Hal tersebut yang turut mendorong kemitraan strategis ini terjalin dengan tujuan menggabungkan kedua jaringan agar dapat membawa nilai tambah ke ekosistem.

Dalam ulasan di laman Linkedin, Co-founder & Managing Partner The-Wolfpack Jin Wei Toh menyebutkan, Kinesys akan membawa fokus high-tech dan keahlian mendalam mereka di pasar Indonesia yang berkembang pesat ke pengalaman operasional perusahaannya dan koneksi di Asia Pasifik.

Sejak 2019 Kinesys telah berinvestasi ke 15 startup dan memiliki rencana menggelontorkan 5 pendanaan lagi sampai akhir tahun 2021. Ada lima sektor utama yang menjadi fokus meliputi D2C, entertainment, lifestyle, travel, dan education. Meski ditujukan untuk startup di kawasan Asia Tenggara, dana yang dikelola akan diprioritaskan untuk startup Indonesia, khususnya yang bergerak di segmen konsumer ritel.

“Di Kinesys kami telah melakukan kesepakatan sebagian besar pada teknologi konsumen dan beberapa B2B. Kami telah berinvestasi di berbagai sektor seperti Zenius, Wahyoo, Dailybox, Sabtu, dan banyak lainnya. Kami masih percaya ada banyak potensi di lifestyle, entertainment, D2C, healthtech, dan solusi yang mempercepat digitalisasi UMKM,” kata Steven

Diinisiasi Yansen Kamto di awal tahun 2019 dengan debut investasi di Wahyoo, Kinesys juga didukung Co-Founder & Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo sebagai advisor.

“Memanfaatkan semua insight dari pengalaman yang dimiliki [Patrick], memberikan pandangan holistik tentang kondisi pasar,” kata Steven.

Investasi ke startup D2C

Menjamurnya startup D2C tidak lain karena terbukanya kanal penjualan yang efektif melalui digital. Pengembang merek dari berbagai jenis produk (fesyen, makanan, kosmetik, dll) bisa menjangkau pasar melalui berbagai medium, mulai dari situs pribadi, online marketplace, sampai media sosial (social commerce).

Penerimaan pasar yang besar dibuktikan dengan GMV yang dihasilkan dari layanan online tersebut. Sejauh ini Indonesia menjadi penyumbang nilai terbesar, didukung ekosistem yang semakin matang dan ukuran pasar dari populasi penduduk yang sangat besar.

Fenomena tersebut turut dilihat baik oleh para investor. Jika dalam gelombang sebelumnya investasi mereka banyak memfokuskan pada teknologi yang mendukung kegiatan consumer retail tersebut dalam menjalankan bisnis, kini tidak sedikit investor yang turut berinvestasi langsung kepada para pengembang brand.

Berikut ini beberapa daftar investor yang telah berinvestasi ke startup D2C di Indonesia:

Pemodal Ventura/Investor Portofolio D2C/New Economy
Kinesys Group Saturdays, Dailybox
East Ventures Mohjo, Greenly, Fore
Alpha JWC Ventures Hangry, Kopi Kenangan, Goola, Lemonilo, Mangkokku, Saturdays
AC Ventures Rose All Day, Segari, Fore, KLAR
SALT Ventures SYCA, Hangry, dr soap
Hypefast Boonels, Soleram, Nona, Noore, dll

Pandemi dan peluang startup

Salah satu pemicu inovasi startup dalam waktu satu tahun terakhir adalah pandemi. Meskipun di awalnya sempat mengganggu pertumbuhan bisnis, seiring berjalannya waktu pandemi telah menciptakan layanan dan inovasi baru. Hal ini dilihat baik oleh Kinesys, pandemi dinilai memberikan peluang lebih kepada berbagai jenis bisnis untuk tumbuh.

“Kami telah melihat beberapa portofolio mengalami pertumbuhan yang cepat selama pandemi. Dan kebanyakan proses akuisisi pengguna menjadi lebih teroptimasi, dengan adopsi pada end-user untuk menjelajahi berbagai layanan online, yang menjadi pilihan saat pandemi,” kata Steven.

Ke depannya Kinesys Group melihat kondisi ini menjadi titik balik untuk semua startup. Bagi para entrepreneur yang berniat untuk meluncurkan startup, saat ini menjadi waktu yang paling tepat, dilihat dari makin besarnya jumlah kapital yang masuk ke Indonesia.