Ini Dia Para Pemenang Golden Joystick Awards 2019, Resident Evil 2 Rebut Gelar Paling Bergengsi

Golden Joystick Awards juga dikenal sebagai People’s Gaming Awards karena ajang pemberian penghargaan gaming tersebut mempersilakan khalayak untuk berpartisipasi langsung dalam proses pemilihan judul permainan terbaik. Event tahun ini (Golden Joystick Awards ke-37) kembali diikuti oleh jutaan peserta dan seremoninya telah dilangsungkan di Bloomsbury Big Top di kota London minggu lalu.

Seperti biasa, para gamer dipersilakan memilih permainan favorit mereka selama 12 bulan ke belakang. Game-game di Golden Joystick Awards 2019 terbagi ke lebih dari 20 kategori, termasuk pemberian penghormatan pada sosok yang berjasa pada industri, aktor/aktris, streamer, hingga hardware terbaik. Tentu saja, di sana ada pula pemilihan permainan terfavorit di 2019, jatuh pada remake salah satu game survival horror fenomenal.

Daftar lengkap pemenang Golden Joystick Awards ke-37 bisa Anda simak di bawah:

  • Best Storytelling – Days Gone
  • Best Multiplayer Game – Apex Legends
  • Still Playing Award – Minecraft
  • Best Visual Design – Devil May Cry 5
  • Best Indie Game – Outer Wilds
  • Esports Game of the Year – Fortnite
  • Best Audio – Resident Evil 2
  • Best Game Expansion – GTA Online: Diamond Casino Update
  • Best VR/AR Game – Beat Saber
  • Best Gaming Hardware – Nvidia 20-Series Super Graphics Card
  • Best Performer – Logan Marshall-Green
  • Studio of the Year – Epic Games
  • Best New Streamer/Broadcaster – Soleil ‘Ewok’ Wheeler
  • Breakthrough Award – House House
  • Mobile Game of the Year – BTS World
  • Outstanding Contribution – Life is Strange
  • PC Game of the Year – World of Warcraft Classic
  • PlayStation Game of the Year – Days Gone
  • Xbox Game of the Year – Gears 5
  • Nintendo Game of the Year – Super Smash Bros. Ultimate
  • Most Wanted Game – Cyberpunk 2077
  • Critics’ Choice Award – Control
  • Lifetime Achievement – Yu Suzuki

Gelar paling bergengsi sendiri – Ultimate Game of the Year – diperebutkan oleh tidak kurang dari 12 permainan. Game-game di sana merupakan judul-judul terkuat di 2019, menyajikan gameplay berbeda dan dijagokan oleh penggemar beratnya masing–masing. Ini dia daftar nominasinya (lengkap dengan nama publisher serta developer-nya).

  • Apex Legends (EA / Respawn Entertainment)
  • Call of Duty: Modern Warfare (Activision Blizzard / Infinity Ward)
  • Control (505 Games / Remedy Entertainment)
  • Disco Elysium (Studio ZA/UM / Studio ZA/UM)
  • Fire Emblem: Three Houses (Nintendo / Intelligent Systems)
  • Gears 5 (Xbox Game Studios / The Coalition)
  • Outer Wilds (Annapurna Interactive / Mobius Digital)
  • Resident Evil 2 (Capcom / Capcom)
  • Sekiro: Shadows Die Twice (Activision / FromSoftware)
  • Telling Lies (Annapurna Interactive / Furious Bee)
  • The Outer Worlds (Private Division / Obsidian Entertainment)
  • Untitled Goose Game (House House / Panic Inc.)

Pada akhirnya, Resident Evil 2  remake-lah yang sukses merebut gelar Ultimate Game of the Year di Golden Joystick Awards 2019. Game ini dirilis di awal tahun dan hingga saat ini Resident Evil 2 terus mengamankan urutan pertama permainan dengan skor rata-rata tertinggi di situs agregat review seperti OpenCritic serta Metacritic. Walaupun penyajiannya sangat berbeda dari versi tahun 1998-nya, Capcom berhasil menghindangkan pengalaman petualangan yang tak kalah mengerikan.

Berkat Resident Evil 2, zombie kembali terasa menakutkan. Dan dengan pemanfaatan perspektif kamera yang berbeda, Capcom mencoba mencari cara baru untuk menyembunyikan musuh – memanfaatkan faktor-faktor seperti pencahayaan dan asap. Desain audio juga memegang peranan penting di game. Suara-suara objek serta bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh mayat hidup jelas membuat permainan jadi lebih mencekam, dan inilah alasannya mengapa Resident Evil 2 sukses pula merebut titel Best Audio.

Via GamesRadar+.

Age of Empires IV, Microsoft Flight Simulator dan Game-Game Baru di Inside Xbox X019

Hampir semua publisher dan pemilik platform kini punya acara gaming-nya sendiri; Blizzard, Nintendo, PlayStation – beberapa bahkan melangsungkan lebih dari satu event dalam setahun. Dan kemarin, Microsoft baru saja menggelar Inside Xbox X019 secara live dari kota London. Acara ini cukup istimewa karena dimeriahkan pula oleh game-game third-party serta merangkul ekosistem gaming Xbox dan juga Windows.

Menariknya, Microsoft malah memutuskan untuk tidak membahas Xbox Scarlett. Sang publisher lebih mencurahkan perhatian pada pengumuman permainan baru, update Xbox Game Pass serta Project xCloud. Di kesempatan ini, Microsoft mengungkap kreasi anyar studio first-party-nya (Obsidian, Ninja Theory dan Rare), lalu memamerkan trailer terkini Star Wars Jedi: Fallen Order dan Wasteland 3 kreasi tim inXile. Oh, gameplay trailer Age of Empires IV yang begitu dinanti-nanti turut disingkap di sana.

Ini dia seluruh trailer baru dari Inside Xbox X019:

 

Microsoft Flight Simulator

Di trailer anyar permainan simulasi penerbangan mutakhir ini, developer mencoba memperlihatkan tingkat realisme dunia permainan, pilihan-pilihan pesawat autentik, serta sistem cuaca real-time yang dinamis. Microsoft Flight Simulator dikerjakan secara kolaboratif oleh Xbox Game Studios dan Asobo Studio asal Perancis, memanfaatkan engine buatan Asobo, ditopang oleh data Bing Maps serta teknologi Azure AI.

 

Age of Empires IV

Setelah penantian selama satu dekade, Microsoft akhirnya resmi mengumumkan eksistensi dari sekuel salah satu seri permainan strategi paling legendaris, namun kita harus menunggu dua tahun lagi hingga bisa mengintip seperti apa gameplay Age of Empires IV. Menggantikan peran Ensemble Studios yang sudah tutup, game dikembangkan oleh tim veteran RTS pencipta seri Company of Heroes dan Dawn of War, Relic Entertainment.

 

Everwild

Sejauh ini belum banyak yang diketahui mengenai Everwild, yaitu IP orisinal buatan Rare. Developer mendeskripsikannya sebagai dunia baru tempat hal-hal unik dan pengalaman tak terlupakan terjadi. Berdasarkan trailer-nya, pemain akan bertualang di alam terbuka yang dipenuhi flora dan fauna magis. Eksplorasi dapat dilakukan bersama-sama dan stealth tampaknya menjadi elemen penting di sana.

 

Grounded

Setelah sukses dengan The Outer Worlds, maestro RPG Obsidian kali ini mencoba sesuatu yang berbeda. Grounded merupakan permainan survival kooperatif yang menempatkan Anda sebagai manusia liliput untuk bertualang di halaman belakang rumah ala film Honey, I Shrunk the Kids. Tapi mengingat Grounded ialah game Obsidian, developer tentu tidak melupakan aspek narasi serta role-playing.

 

Wasteland 3

Tak banyak gamer tahu, Wasteland adalah game yang mencetus rangkaian permainan post-apocalypse sekaligus ‘ayah’ dari seri Fallout. Wasteland 3 rencananya akan dirilis di 2020, 32 tahun setelah debut permainan pertamanya. Pengembangannya kembali dinahkodai oleh sang desainer Brian Fargo, kali ini di bawah studio miliknya, inXile. Game membawa Anda ke Kolorado di masa depan yang telah membeku dan terbengkalai.

 

Tell Me Why

Tell Me Why ialah kreasi selanjutnya dari talenta di belakang seri Life is Strange. Seperti pendahulunya itu, game menitikberatkan penyampaian cerita yang personal, membawa Anda ke Alaska, fokus pada upaya saudara kembar Alyson dan Tyler Ronan dalam menguak misteri masa lalu mereka. Game juga kembali disajikan secara episodik, dan developer Dontnod menjanjikan waktu rilis yang jelas serta terprediksi.

 

Bleeding Edge

Setelah dilangsungkannya masa pengujian hampir setengah tahun, Bleeding Edge siap untuk dirilis di bulan Maret tahun depan. Bleeding Edge adalah permainan multiplayer kompetitif berbasis kelas garapan studio pencipta Hellblade. Anda dapat memilih peran antara assassin, support atau tank. Bleeding Edge merupakan game pertama Ninja Theory setelah studio asal Inggris ini resmi berada di bawah payung Microsoft.

 

Halo: Reach – Halo: The Master Chief Collection

The Master Chief Collection adalah bundel seri game Halo yang diracik khusus untuk platform current-gen. Setelah tersedia di Xbox One, ia dipoles lagi agar siap meluncur di PC. Enam game yang ada di sana sengaja diintegrasikan agar menyuguhkan satu pengalaman utuh. Dan di awal Desember nanti, bagian ‘pertama’ The Master Chief Collection sudah bisa dinikmati, dimulai dengan prekuel Combat Evolved, Halo: Reach.

 

Minecraft Dungeons

Tak ada crafting, bangun-membangun dan kegiatan menghancurkan balok di spin-off Minecraft ini. Dungeons malah mencoba menyuguhkan pengalaman ala Diablo lewat gameplay action-RPG, mempersilakan Anda menjelajahi ruang-ruang dalam tanah, menjinakkan perangkap serta menemukan harga karun. Game bisa dimainkan bersama oleh empat pemain, rencananya akan meluncur pada bulan April 2020.

 

Star Wars Jedi: Fallen Order

Jedi: Fallen Order resmi dirilis beberapa saat lalu. Sebelum momen itu tiba, Microsoft memperkenankan Electronic Arts untuk memublikasikan trailer live action yang mengedepankan tema imajinasi. Saya rasa, iklan ini sengaja dirancang buat meluluhkan hati orang tua agar mereka menghadiahkan game pada buah hatinya. Tak ada yang salah dengan itu. Lagi pula, kita tahu hari Natal akan segera tiba…

castAway Adalah Case Sekaligus Layar Kedua Untuk Smartphone Anda

Hidup tanpa layar ialah hal yang mustahil bagi manusia di era digital. Layar merupakan elemen penting dalam berinteraksi, membantu kita berkomunikasi hingga mengakses konten digital. Dengan kehadirannya di perangkat elektronik, berbagai hal dapat dilakukan. Esensialnya display juga mendorong para raksasa teknologi mengembangkan perangkat-perangkat berstruktur foldable hingga dual screen.

Lalu bagaimana dengan pengguna biasa yang butuh layar tambahan di smartphone, tapi mereka tak punya banyak modal buat membeli perangkat baru? Sebuah solusi menarik diajukan oleh inventor bernama Ken Mages dan mantan desainer Dell Joe Jasinski. Melalui Indie Gogo, mereka memperkenalkan castAway, yaitu aksesori cover/case smartphone yang juga berperan sebagai layar ultra-slim sekunder. castAway dirancang untuk mempermudah multi-tasking, memperkenankan kita melakukan beberapa hal sekaligus secara lebih simpel.

castAway 1

castAway terdiri dari beberapa bagian. Pertama, kita perlu memasang case pelindung smartphone – layaknya aksesori casing pada umumnya. Selanjutnya, bagian cover sekaligus layar kedua didesain agar terpasang ke engsel via magnet. castAway sejauh ini baru mendukung resmi dua merek smartphone, yaitu Apple iPhone dan Samsung Galaxy. Aksesori kompatibel dengan varian iPhone 6 dan Galaxy S7 hingga model-model terbaru (termasuk iPhone 11 Pro dan Galaxy Note 10).

Sejatinya, castAway merupakan tablet yang mampu bekerja mandiri. Itu alasannya tim desainer memanfaatkan engsel magnet yang dapat dilepas. Perangkat diotaki prosesor berkecepatan 1,5Gz, dilengkapi dua buah port USB type-C, slot microSD dan audio, ada sensor gravitasi dan gyroscope, penyimpanan internal eMMC 32GB, koneksi Wi-Fi 802.11 ac dan Bluetooth 4.1, serta ditenagai oleh baterai 35WHr – menjanjikan waktu pemakaian ‘seperti smartphone pada umumnya’.

castAway 4

castAway bahkan mempunyai kamera depan 2Mp serta kamera belakang 5Mp, dan bergantung dari tipe yang dipilih, aksesori case sekaligus layar sekunder ini memiliki layar sentuh seluas 5,8- atau 6,3-inci beresolusi 2048x1535p.

Tim pengembang mengaku, aspek tersulit dari proses pengembangan castAway adalah memastikannya dapat bekerja kompak dengan smartphone Anda. castAway berjalan di Chrome OS terbaru, dan agar bisa tersinkronisasi, ia dan perangkat Anda perlu mengoperasikan aplikasi MultiTask+ sehingga memungkinkan kedua device mandiri tersebut dapat berkomunikasi via Wi-Fi terenkripsi.

castAway 3

Saat ini, Ken Mages dan kawan-kawan tengah melangsungkan kampanye pengumpulan dana di Indie Gogo. Agar proyek castAway bisa dimulai, mereka membutuhkan modal minimal sebesar US$ 50 ribu. Jika semuanya berjalan lancar, castAway rencananya akan didistribusikan perdana pada bulan Mei 2020. Produk bisa Anda pesan sekarang, dibanderol seharga mulai dari US$ 130.

Fitur-Fitur Esensial yang Absen dari Google Stadia di Hari Peluncurannya

Dijadwalkan untuk meluncur di tanggal 19 November, Google Stadia memulai sebuah babak baru di ranah penyajian konten hiburan. Seperti Steam atau PlayStation, Stadia disiapkan sebagai platform gaming, namun pengoperasiannya dilandaskan pada sistem cloud sehingga pengguna dapat mengakses permainan dari mana saja (walaupun di waktu peluncurannya, Stadia baru mendukung Google Pixel).

Demi meramaikan momen debut Stadia, Google menyiapkan 12 permainan yang bisa segera dinikmati. Sejumlah judul besar ada di sana, dari mulai Assassin’s Creed Odyssey, Red Dead Redemption 2 yang baru saja keluar di PC, edisi lengkap Destiny 2, Mortal Kombat 11, hingga trilogi remake Tomb Raider. Meski begitu, jangan terlalu berharap Stadia akan ditunjang oleh fitur secara lengkap.

Berdasarkan sesi Ask Me Anything di Reddit yang dipandu oleh product director Andrey Doronichev serta product manager Beri Lee, Stadia kehilangan sejumlah fitur esensial di hari pelepasannya – beberapa baru akan hadir menyusul di tahun depan. Satu contoh kecilnya ialah Achievement. Sistem Stadia akan merekam segala pencapaian Anda di permainan, tetapi UI yang bertugas untuk memberitahu bahwa Anda telah mendapatkannya belum diimplementasikan.

Kemudian, Family Sharing juga belum ada, sehingga satu akun belum dapat digunakan bersama-sama oleh anggota keluarga. Doronichev bilang, Family Sharing merupakan fitur ‘prioritas tinggi’, namun baru tersedia tahun. Itu artinya, jika ingin ber-gaming di Stadia bersama pasangan atau buah hati, Anda perlu membeli permainan dua kali. Kabar baiknya, orang tua tetap bisa mengelola apa yang dapat dikonsumsi si kecil lewat Family Link.

Fitur lain yang absen adalah Buddy Pass. Buddy Pass mempersilakan para pelanggan Stadia Founder’s Edition untuk memilih seorang teman buat turut menikmati layanan itu. Paket Founder’s Edition dibanderol di harga yang cukup mahal: US$ 130; bundelnya berisi controller Stadia edisi terbatas berwarna biru, perangkat Chromecast Ultra, kenggotaan Stadia Pro selama tiga bulan, serta Buddy Pass.

Selanjutnya, kita juga belum bisa menggunakan Stream Connect di tanggal 19 November nanti. Itu artinya, untuk sementara tidak ada mode multiplayer asimetris serta kooperatif. Rencananya akan ada satu permainan yang mendukung Stream Connect sebelum tahun 2019 berakhir. Belum ada pula State Share dan Crowd Play yang mempersilakan streamer YouTube membagikan file save-nya dan membiarkan pemirsa buat masuk ke game.

Jawaban-jawaban Andrey Doronichev dan Beri Lee di AMA mengisyaratkan bagaimana Stadia belum betul-betul siap untuk lepas landas dan peluncurannya terasa diburu-buru. Saya tidak bilang layanan ini tak akan bekerja optimal di hari H besok, tapi ada banyak sekali fitur esensial yang absen di platform yang seharusnya menjadi standar baru penyajian video game.

Via PCGamer & DigitalTrends.

MSI Siapkan Monitor Portable IPS 240Hz Untuk Berkerja dan Gaming

Menjelang CES, Consumer Technology Association biasanya mengumumkan perangkat-perangkat inovatif yang berhak menerima Innovation Awards. Dan sudah menjadi tradisi tahunan bagi produsen hardware PC MSI untuk mengamankan gelar ini. Untuk CES 2020, mereka menjagokan laptop gaming GT76 Titan, PC desktop Prestige P100, gaming desktop MEG Aegis TI5 dan sejumlah komponen serta periferal baru.

Di antara rentetan produk anyar MSI, tertangkaplah sesuatu yang tidak biasa. Micro-Star International memang telah menyediakan beragam pilihan monitor sejak bertahun-tahun lalu, namun kali ini mereka menyiapkan sebuah display berkonsep portable. Periferal ini masih menjadi bagian dari keluarga Optix MAG, tetapi dirancang agar pemakaiannya lebih fleksible, siap mendukung gaming serta keperluan produktif. MSI menamainya Optix MAG161.

Di laman CES 2020 Innovation Award, sang produsen asal Taiwan menjelaskan bagaimana Optix MAG161 merupakan ‘kulminasi dari upaya mengembangankan monitor berfitur lengkap, portable dan bertenaga’. Periferal memiliki ketebalan hanya 5-milimeter, mengusung panel berjenis IPS dan dibekali refresh rate 240Hz (spesifikasi ini menunjukkan bahwa MAG161 adalah perangkat kelas premium). Di gambar, monitor portable tersebut terpasang ke struktur foldable ala pelengkap tablet convertible – Anda bisa mendirikan dan mengatur kemiringannya, kemudian ketika sedang tak dipakai, menutup layarnya dengan cover.

Situs berbahasa Spanyol El Chapuzas Informatico mendapatkan informasi lebih lengkap terkait spesifikasi Optix MAG161. Berdasarkan keterangan mereka, layar portable MSI ini memiliki luas 15,6-inci (kira-kira selebar laptop mainstream), menyuguhkan resolusi 1920x1080p serta mempunyai waktu respons 3-milidetik. Selain itu, perangkat mendukung dua tipe koneksi, yakni USB type-C serta HDMI.

Beberapa aspek yang sejauh ini belum diketahui mengenai Optix MAG161 ialah faktor kompatibilitas serta apakah perangkat menyimpan baterai internal atau harus tersambung ke unit power supply eksternal. Apakah ia mampu mendukung console handheld seperti Nintendo Switch atau cuma dapat terpasang ke perangkat bergerak dan PC?

Ada fakta menarik di balik mengumuman perolehan gelar CES Innovation Award 2020 oleh Optix MAG161. Rival senegara MSI, Asus, sebetulnya sudah memperkenalkan perangkat display portable lebih dulu di Computex Taipei 2019. Produk itu merupakan anggota Republic of Gamers, berlabel ROG Strix XG17. Bedanya, Strix XG17 dilengkapi panel full-HD seluas 17,3-inci. Sejauh ini, Asus belum menyingkap kapan mereka akan meluncurkannya serta berapa harganya.

Detail lebih lengkap mengenai MSI Optix MAG161 sendiri tentu saja akan diungkap di ajang CES 2020 yang diadakan pada bulan Januari besok, bersamaan dengan produk-produk anyar sang produsen lainnya.

Via PCGamer.

Apple Kabarnya Sedang Mengembangkan Headset VR Gaming

Minggu lalu, sebuah kabar menyatakan bahwa Apple telah menggandeng Valve dalam rangka pengembangan headset augmented reality. Langkah ini boleh jadi merupakan kelanjutan dari agenda penggarapan HMD AR yang sudah terdengar sejak dua tahun silam. Teknologi AR biasanya diarahkan ke ranah profesional, tapi Apple sepertinya tetap tertarik untuk menyuguhkan konten hiburan lewat VR.

Kali ini, Bloomberg menginformasikan upaya sang raksasa teknologi asal Cupertino itu menggarap ‘perangkat-perangkat virtual dan augmented reality yang dibekali sistem sensor 3D baru’, berdasarkan laporan sejumlah narasumber. Berdasarkan keterangan tersebut, itu berarti Apple berencana mengembangkan lebih dari satu head-mounted display. Namun sebagai langkah awalnya, perusahaan mencoba mengabungkan VR serta AR lalu memfokuskannya buat kebutuhan gaming.

Salah satu narasumber bilang, Apple berniat untuk mulai mendistribusikan kacamata AR mereka secepat-cepatnya di tahun 2023. Di artikel sebelumnya, saya sempat membahas bagaimana Apple ingin agar teknologi augmented reality mereka matang di 2019 kemudian melepas dalam bentuk produk di tahun 2020. Produsen tampaknya memutuskan buat mengundur agenda mereka. Menurut dugaan Eurogamer, Apple ingin memberi ruang lebih lapan pada peluncuran iPad Pro tahun depan.

CEO Apple Tim Cook sudah lama berbicara serta menunjukkan ketertarikannya pada AR. Segmen ini menjadi fokus Apple setelah sebelumnya mereka mencurahkan perhatian pada iPhone, iPad dan Apple Watch. Tulang punggung dari teknologi ini adalah sistem sensor 3D mutakhir yang tengah digarap selama beberapa tahun. Pada Bloomberg sang narasumber mengaku, sistem ini jauh lebih canggih dari sensor Face ID yang ada di perangkat-perangkat Apple terbaru.

Saat ini, tim teknisi iPhone dan iPad telah mulai berkerja menyambungkan aplikasi-aplikasi serta fitur-fitur di software ke sistem operasi baru (secara internal disebut ‘rOS’). Dengan begini, perangkat-perangkat yang sudah ada sekarang dapat bekerja serta kompatibel dengan headset VR, kacamata AR atau head-mounted display cross reality sejenis yang akan dirilis di masa depan.

Apple kabarnya mengerahkan sekitar 1.000 teknisi demi mengerjakan prakarasa AR dan VR. Proyek besar ini dinahkodai oleh vice president Mike Rockwell. Tim ini terdiri atas pakar dari berbagai macam bidang, dan kepemimpinannya dibagi lagi pada sejumlah eksekutif yang pernah mengerjakan software gaming Apple, hardware iPhone, serta pembuatan software dan manufaktur. Tim juga diperkuat oleh mantan insinyur NASA, mantan developer game, dan pakar grafis.

Sejauh ini memang belum jelas seberapa banyak headset VR dan kacamata AR yang tengah Apple siapkan. Saya juga penasaran bagaimana pada cara perusaahaan memanfaatkan AR/VR di segmen gaming, kemudian akan sejauh apa partisipasi Valve di sana?

Ada Indikasi Valve Tengah Mengembangkan Layanan Cloud Gaming Steam

Meski pada dasarnya masing-masing platform game streaming mengusung penyajian hampir serupa, mereka punya konsep serta premis berbeda. Stadia mencoba memberi solusi cloud gaming menyeluruh, ditopang oleh studio game first-party Google, sedangkan Microsoft xCloud dirancang sebagai pelengkap layanan Xbox – didukung oleh tidak kurang dari 54 data center Azure yang tersebar di seluruh dunia.

Berkecimpungnya dua raksasa teknologi itu di segmen gaming on demand menunjukkan pada kita ke arah sanalah industri ini bergerak. Namun dapatkah Anda bayangkan ketatnya persaingan yang nanti terjadi jika pemilik platform distribusi digital terbesar di dunia turut berpartisipasi di ranah ini? Kabarnya, ada indikasi Valve tengah mengembangkan layanan cloud gaming khusus untuk Steam. Bisa menikmati permainan Steam tanpa perlu PC berspesifikasi tinggi? Sangat menarik!

Steam Database – tool third-party yang secara aktif menganalisis segala macam update dan perubahan di Steam – mendeteksi kode baru di situs Steam yang isinya meminta para mitra setuju dengan ‘Steam Cloud Gaming Addendum’. Kode ini bisa Anda lihat sendiri di GitHub SteamDB (atau via tampilan JavaScript website Steam, lalu cari keywordSteam Cloud Gaming Addendum‘). Penemuan ini diumumkan oleh Steam Database via akun Twitter resmi mereka.

Saat ini, kita hanya memperoleh nama: Steam Cloud Gaming. Selain tim  developer, tak ada yang tahu detail teknisnya, bagaimana Valve akan menyuguhkannya, apakah fitur cloud berlaku untuk seluruh permainan di Steam dan kapan mereka berencana meluncurkannya. Tapi ada satu hal yang pasti. Untuk mengoperasikan layanan gaming on demand, Valve perlu memperbarui perjanjian distribusi konten dengan pihak pengembang.

Valve sendiri cukup familier dengan penyediaan teknologi streaming. Mereka menggarap Remote Play yang memperkenankan kita bermain game di PC non-gaming, lalu terdapat pula Steam Link buat menikmati permainan video via smartphone ataupun tablet Android (penyuguhannya diperluas oleh Steam Link Anywhere). Dan berbekal metode stream, Valve belum lama ini meluncurkan Remote Play Together yang mempersilakan Anda dan kawan mengakses mode multiplayer lokal secara online.

Bagi Anda yang kurang akrab dengan cloud gaming atau gaming on demand: layanan ini memungkinkan kita menikmati permainan video kapan pun dan di mana pun cukup berbekal perangkat dengan sambungan internet. Semua proses pengolahan data dan grafis di lakukan di sisi server, kemudian kontennya di-stream langsung ke device Anda. Lewat metode ini, cloud gaming tidak membebani hardware, tetapi biasanya menuntut koneksi internet yang cepat dan stabil.

Via The Verge.

NZXT Perkenalkan Ekosistem Produk Audio Perdana Mereka

Didirikan Johnny Hou di 2004, NZXT memulai kiprahnya sebagai produsen case PC, kemudian memperlebar bisnisnya ke ranah penyediaan solusi pendingin, motherboard, unit power supply, hingga aksesori serta sistem pencahayaan LED. Produk-produk NZXT memang sengaja dipasarkan ke gamer, namun ditakar dari aspek kelengkapan, mereka mungkin belum bisa menyamai kompetitor seperti Corsair.

Di minggu ini, perusahaan hardware PC asal Los Angeles itu kembali memperluas portofolio produk melalui peluncuran perangkat audio pertamanya. NZXT menyuguhkannya sebagai ‘ekosistem’, terdiri dari headphone stereo AER, pusat pengendali suara MXER dan stand untuk menaruh headset, STND. Melihat dari cara penyajiannya, NZXT tampaknya mengambil metode penyajian sistem audio secara tradisional.

NZXT AER 2

Mari kita bahas headphone AER terlebih dulu. NZXT menyediakan dua pilihan headset, yaitu varian standar yang dirancang buat mengisolasi suara serta tipe AER Open Headset, menjanjikan fleksibilitas dalam dan ‘kejernihan akustik’. Kedua model mempunyai penampilan hampir serupa (ada rangkaian lubang di sisi luar AER Open Headset) dengan tema minimalis dan bersih. Konstruksinya terbilang konvensional: dua housing speaker ber-earcup over-ear tersambung ke sebuah headband, kemudian terdapat bantalan empuk di sisi dalam.

NZXT AER 1

Yang istimewa dari headset AER adalah struktur semi-modularnya. Bagian microphone serta kabel dapat kita pindahkan sesuai keinginan, dari housing speaker kanan ke kiri atau sebaliknya. Kompatibilitas juga menjadi aspek andalan NZXT AER. Kedua headphone tersebut siap menemani Anda ber-gaming di perangkat apapun, baik itu PC, console PlayStation 4, Xbox One maupun Nintendo Switch.

NZXT AER 3

Selain pemanfaatan desain closed-back dan open-back, saya tidak melihat adanya perbedaan signifikan di sisi spesifikasi dari masing-masing headset. Mereka sama-sama dibekali driver 40mm, mampu mereproduksi suara di rentang frekuensi 20Hz sampai 50KHz, memiliki sensitivitas 90dB +/- 4dB (closed-back) dan 88dB +/- 4dB (open-back), serta mempunyai bobot 291-gram.

NZXT AER 4

Unit mixer-nya sendiri menyimpan DAC Wolfson (24-bit, 96kHz). Ketika MXER dikoneksikan ke STND, output suara secara otomatis akan dipindahkan dari speaker ke headset apapun yang tersambung ke MXER. Selain itu, mixer ditopang oleh fitur Nahimic 7.1 surround sound, lalu Anda bisa mudah mengatur serta mengelola input suara di mic dan audio permainan.

Belum diketahui kapan rencananya NZXT akan mulai memasarkan AER, MXER dan STND – namun mungkin akan dilakukan di waktu dekat. Unit headphone dibanderol US$ 130 (baik varian closed– maupun open-back), mixer dijajakan seharga US$ 100, lalu stand ditawarkan di harga US$ 50. Tersedia pilihan warna hitam atau putih untuk semua jenis produk, plus ungu khusus buat AER closed-back. Saat artikel ini ditulis, gerbang pre-order juga belum dibuka.

Kabarnya Apple Gandeng Valve Untuk Menggarap Headset AR

Dikenal orang sebagai pemilik dan pengelola layanan distribusi digital terbesar di dunia, Valve juga bukanlah pemain baru di ranah virtual reality. Dahulu mereka sempat membantu HTC lewat SteamVR. Lalu ketika kita mengira Valve mulai menarik diri dari segmen VR, mereka malah mengumumkan Index. Tak lama sesudah penyingkapannya, perusahaan mengungkap ketertarikannya menggarap versi standalone dari headset tersebut.

Setelah virtual reality, ada kemungkinan Valve mulai mencoba melebarkan sayapnya ke augmented reality. Via MacRumors, harian DigiTimes melaporkan bahwa developer pencipta seri game Half-Life itu digandeng oleh Apple dalam rangka pengembangan head-mounted display AR. Mereka berdua tentu tidak sendirian. Apple mempercayakan Quanta Computer dan Pegatron asal Taiwan buat menangani proses produksi serta perakitan.

Apple terdorong untuk membuat headset augmented reality karena CEO Tim Cook percaya bahwa AR dapat menyatukan konten digital ke dunia sesungguhnya. Di waktu ke depan, ia akan jadi sepopuler smartphone, khususnya di kalangan konsumen. Langkah mendalami segmen AR yang dilakukan Apple juga dibarengi oleh perekrutan pakar-pakar desain grafis, system interface, serta system architecture.

Sebetulnya, proyek pengerjaan headset AR oleh Apple telah terdengar sejak 2017. Waktu itu, Bloomberg (berdasarkan laporan informan terpercaya) mengabarkan rencana Apple untuk mematangkan teknologinya di tahun 2019, kemudian mulai memasarkannya di tahun 2020. Perangkat tersebut mengusung unit display mandiri, serta ditopang oleh chip anyar serta sistem operasi khusus. Semua terdengar menjanjikan, tetapi sang narasumber menegaskan bagaimana agenda Apple bisa berubah.

Perkiraannya cukup tepat. Apple diketahui menghentikan sementara proyek pembuatan HMD VR/AR beberapa bulan silam, membubarkan tim teknisi, dan mengalihkan sumber daya ke produk lain. Namun ternyata, yang Apple lakukan adalah mengubah langkah pengembangan secara in-house menjadi kolaboratif bersama Valve Corporation.

Tentu saja ini bukan pertama kalinya Apple dan Valve bekerja sama. Di tahun 2017, Valve sempat diminta Apple buat menghadirkan dukungan native headset VR di macOS High Sierra, melalui upaya memaksimalkan dukungan eGPU yang ada di sistem operasi terhadap versi Mac SteamVR.

Menurut perkiraan analis Ming-Chi Kuo, headset augmented reality milik Apple ini akan masuk ke tahap produksi massal di kuartal keempat 2019 (jika benar perusahaan bermaksud meluncurkannya tahun depan). Perangkat tersebut kemungkinan dipasarkan sebagai aksesori iPhone dan berperan sebagai display. Sementara itu, iPhone bertugas untuk menangani proses komputasi, networking dan positioning.

Via Eurogamer.

PhoneBook Bisa Ubah Segala Macam Smartphone Jadi Laptop

Beberapa dekade lalu, mungkin kita akan sulit menjelaskan bahwa di masa depan akan ada perangkat kecil serbaguna yang mampu mengakses informasi dari mana saja, kapan pun kita menginginkannya. Saat ini, alat bernama smartphone tersebut sulit dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia modern. Kita menggunakannya buat bekerja, berkomunikasi, serta menghibur diri.

Dahulu, banyak orang memprediksi bahwa smartphone dan tablet akan menggantikan peran PC tradisional. Nyatanya, mereka malah saling melengkapi. Saat ini laptop masih jadi perangkat penunjang kegiatan produktif utama, namun di situasi-situasi darurat, banyak pula pengguna yang tak keberatan untuk bekerja dengan smartphone. Dan pengalaman bekerja lewat smartphone bisa jadi lebih praktis berkat bantuan aksesori bernama PhoneBook.

PhoneBook adalah perangkat plug-and-play unik yang mampu mengubah smartphone menjadi notebook berlayar 15,6-inci. PhoneBook berperan sebagai ‘cangkang’ berwujud PC laptop. Untuk menggunakannya, kita hanya perlu menyambungkan ponsel pintar via kabel ke PhoneBook. Segala macam proses pengolahan data dilakukan sepenuhnya oleh CPU di smartphone, jadi performanya bergantung dari jenis ponsel yang Anda miliki.

Tim pengembang menjelaskan bahwa smartphone merupakan perangkat portable yang bertenaga. Dengannya, kita dapat melakukan banyak hal: chatting, browsing hingga bermain game. Meski begitu, jarang sekali orang memanfaatkannya buat mengetik berlembar-lembar laporan atau menonton film berdurasi dua jam lebih. Produktivitas dan pengalaman penggunaan smartphone umumnya dibatasi oleh kecilnya layar dan kurang efisiennya keyboard berbasis touchscreen.

PhoneBook dirancang untuk menampilkan konten di smartphone ke layar yang lebih lebar. Panel berjenis IPS di sana menyuguhkan resolusi full-HD dan bisa membaca sentuhan jari. Dan layaknya laptop, PhoneBook menyuguhkan keyboard full-size lengkap dengan numpad serta touchpad. Perangkat juga memiliki speaker, menyimpan baterai internal (berdaya tahan hingga delapan jam) yang akan men-charge smartphone ketika terkoneksi, serta dibekali port-port fisik penting seperti USB, audio, HDMI, USB type-C – memperkenankan kita menyambungkan mouse.

Tim Anyware menjelaskan bahwa PhoneBook mempunyai banyak keunggulan dibandingkan solusi yang ditawarkan kompetitor, terutama dari sisi kompatibilitas. Contohnya: Samsung DeX hanya mendukung beberapa smartphone saja, sedangkan PhoneBook siap merangkul hampir seluruh perangkat Android dan iOS (termasuk model baru semisal iPhone 11). Perlu dicatat bahwa PhoneBook belum dapat bekerja dengan smartphone ber-SOC MediaTek.

Lewat kampanye crowdfunding di situs Kickstarter, sang produsen asal Shenzhen berhasil mengumpulkan modal berkali-kali lipat dari target awal mereka. PhoneBook rencananya bakal didistribusikan di bulan Desember 2019, diprioritaskan ke para backer. Produk bisa dipesan sekarang seharga mulai dari US$ 170.