Menggali Akar Masalah Pelecehan Seksual di Esports Indonesia

Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, esports memang lebih inklusif. Mengingat esports tidak mengadu kekuatan fisik secara frontal, pemain laki-laki dan perempuan seharusnya bisa bermain dan bertanding bersama. Idealnya. Sayangnya, kita hidup di dunia yang jauh dari ideal. Dan sampai saat ini, industri esports masih didominasi oleh laki-laki.

Meskipun begitu, dunia esports tetap punya peran untuk perempuan. Pelaku esports juga terus berusaha untuk membuat industri ini menjadi semakin inklusif. Misalnya, dengan mengadakan kompetisi esports khusus perempuan untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan. Namun, tentunya, dominasi pria di esports juga menimbulkan masalah sendiri. Salah satunya adalah pelecehan seksual.

Apa Itu Pelecehan Seksual dan Kenapa Masalah Ini Penting

Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan alias Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korbannya. Sementara dalam jurnal The Psychology of Sexual Harassment disebutkan bahwa pelecehan seksual terjadi ketika seseorang mendapatkan komentar, gerakan, atau tindakan seksual yang tidak mereka inginkan karena gender mereka.

Para psikolog tertarik untuk meneliti masalah pelecehan seksual karena keberadaannya merupakan bukti dari ketidakadilan sosial. Selain itu, pelecehan seksual juga menyakiti sang korban, karena pelecehan membuat korban merasa sedih, malu, marah, kecewa, takut, dan stres. Korban bahkan bisa merasa kehilangan harga dirinya sebagai manusia karena dilecehkan. Semua hal ini bisa berujung pada korban mengidap Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Seolah hal itu tidak cukup buruk, pelecehan seksual juga bisa membuat korban memiliki membenci tubuhnya sendiri atau menjadi memiliki eating disorder atau gangguan makan.

Di dunia kerja, pelecehan seksual bisa membuat korban merasa tidak nyaman dan aman di lingkungan kerja, yang berakhir pada penurnan performa. Pelecehan juga bisa merusak kepercayaan diri korban. Dan ketika korban merasa dia harus mengundurkan diri karena lingkungan kerja yang tidak bersahabat, hal ini akan menyebabkan korban kehilangan karirnya.

Pelecehan seksual di tempat kerja bisa menunrunkan performa korban. | Sumber: The Conversation

Berdasarkan studi Fitzgerald et al (1997), pelecehan seksual bisa dikelompokkan menjadi tiga grup: gender harassment, unwanted sexual attention, dan sexual coercion. Gender harassment atau kekerasan berbasis gender mencakup perkataan atau tindakan bersifat menghina yang didasarkan pada gender seseorang. Contohnya adalah perkataan seksis yang disamarkan sebagai “bercanda” atau mengirimkan konten seksual pada seseorang tanpa persetujuan orang tersebut.

Sementara itu, secara harfiah, unwanted sexual attention berarti perhatian seksual yang tidak diinginkan. Catcalling adalah contoh paling sederhana dari perhatian seksual yang tidak diinginkan. Memberikan komentar menjurus innuendo tentang tubuh seseorang — tidak peduli positif atau negatif — juga masuk dalam kategori unwanted sexual attention. Tak terbatas pada lisan, unwanted sexual attention juga bisa mencakup tindakan, seperti meraba, mencubit, atau menggerayangi tubuh seseorang. Terus menerus mengajak seseorang pergi kencan — atau melakukan hal-hal lain dengan rating 18+ — walau orang tersebut telah menolak berkali-kali, hal ini juga masuk dalam unwanted sexual attention. Kunci dari jenis pelecehan ini adalah pada “tidak diinginkan”. Sebuah pujian yang menjurus ke innuendo pun bisa masuk dalam kategori pelecehan jika hal itu tidak diinginkan oleh korban.

Kategori terakhir adalah sexual coercion. Pada dasarnya, sexual coercion terjadi ketika seseorang mengiming-imingi orang lain dengan sesuatu agar dia mau melakukan tindakan seksual. Misalnya, seorang bos menjanjikan karyawannya kenaikan pangkat jika sang pekerja mau tidur dengan sang bos. Selain bujukan, sexual coercion juga mencakup saat seseorang memaksa orang lain melakukan tindakan seksual melalui ancaman. Sebagai contoh, ketika dosen pembimbing mengancam akan mempersulit proses bimbingan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir jika sang mahasiswa tidak mau menuruti keinginan dosen melakukan hal seksual.

Apakah Pelecehan Seksual Terjadi di Esports?

Iya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pelecehan seksual yang terjadi di dunia esports, saya menghubungi dua caster perempuan ternama: Icha “Mocchalatte” Annisa dan Veronica “Velajave” Fortuna. Keduanya setuju, jenis pelecehan yang paling sering terjadi adalah pelecehan seksual verbal. Mereka juga mengatakan, walau seorang perempuan telah mengenakan pakaian tertutup — seperti blazer — hal ini tidak menjamin tidak ada orang yang akan melontarkan pelecehan seksual.

Dan jangan salah, pelecehan seksual verbal tidak melulu harus frontal, berupa ucapan yang tidak senonoh. Tanpa konteks, kata-kata yang diucapkan pelaku pelecehan verbal bisa terdengar seperti sesuatu yang diucapkan dalam percakapan sehari-hari, seperti: “Enak nih.” Contoh lainnya adalah “Ada yang menonjol tapi bukan bakat” — kalimat yang pernah dilontarkan oleh Rama Sugianto ketika dia sedang menjadi komentator dalam pertandingan sepak bola di TV nasional. Selain itu, pelecehan seksual verbal juga bisa secara langsung merendahkan fisik seseorang, baik terlalu kurus atau terlalu gemuk.

“Yang terlalu kurus dibuang dari event, tanpa menilai kemampuannya. Yang gendut dijadikan bahan bercanda di belakang. Yang penampilannya kurang, dijadikan bahan bully dan gosip. Yang punya dada besar, jadi bahan obrolan yang tidak pantas. Yang pakai baju tertutup dibilang munafik, yang pakai baju terbuka dibilang pelacur,” cerita Vela saat dihubungi melalui pesan singkat. “Kita sebagai perempuan direndahkan. Walau aku ngomong ini secara umum, karena pria juga banyak direndahkan dan dilecehkan, tapi dalam konteks ini, aku benar-benar membahas dari sisi perempuan.”

Walau pelecehan seksual verbal “hanya” berupa kata-kata, hal ini tetap bisa menjatuhkan mental korban. Icha mengaku bahwa dia pernah mengalami hal tersebut. “Dulu, pernah down banget, sampai nangis, padahal kerjaan belum selesai,” ungkapnya. “Tapi, ya gimana ya, kita nggak bisa buat mereka berhenti. Mereka begitu juga karena minim edukasi dan karena tidak ada sanksi yang menghukum mereka. Misal, kalau mereka komentar tidak enak pun, paling hanya di-ban saja sama admin.

“Tapi, mereka juga bisa langsung menyerang media sosial pribadi. Ya, memang mereka bisa diblokir, tapi ya hanya sebatas itu saja. Tidak ada sanksi apa-apa lagi untuk mereka,” jelas Icha. “Esports masih belum punya badan hukum yang melindungi para esports enthusiasts dari harassment. Satu-satunya sanksi yang mereka dapatkan cuma sanksi sosial saja.”

Jadi, ya, pelecehan seksual masih menjadi masalah yang di dunia esports Indonesia. Untuk mengatasi — atau setidaknya meminimalisir — masalah tersebut, saya akan mencoba untuk menguraikan beberapa alasan mengapa pelecehan seksual bisa terjadi.

Kurang Edukasi

Seperti yang disebutkan oleh Icha, salah satu alasan mengapa seseorang melakukan pelecehan seksual adalah karena ketidaktahuannya akan pelecehan seksual. Terkadang, pelaku pelecehan tidak sadar sedang melakukan pelecehan.  Atau, dia menganggap, apa yang dia lakukan tidak termasuk sebagai pelecehan seksual. Contohnya, catcalling. Ketika seorang laki-laki melakukan catcalling dengan memanggil seorang perempuan “cantik”, bisa jadi, sang pelaku justru merasa bahwa dia memberikan “pujian”. Padahal, seperti yang dibahas di atas, ketika seseorang memberikan perhatian seksual yang tidak diinginkan — tidak peduli apakah perhatian itu positif atau negatif — maka hal itu sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual.

Di negara-negara berkembang seperti Amerika Serikat, perusahaan terkadang memberikan sensitivity training untuk para pekerja baru. Tujuannya adalah untuk mengajarkan cara memperlakukan orang lain, khususnya orang-orang yang masuk dalam golongan minoritas. Seseorang bisa menjadi golongan minoritas berdasarkan ras, gender, warna kulit, agama, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Namun, di Indonesia, khususnya di bidang esports, belum ada sensitivity training yang mengajarkan tentang cara memperlakukan orang lain, dalam kasus ini perempuan, dengan patut.

Sensitivity training bisa membantu pekerja baru untuk mengerti cara memperlakukan orang lain. | Sumber: Evensi

Jika ketidaktahuan menjadi akar masalah, maka edukasi menjadi solusi. Sayangnya, melakukan edukasi massal pada pelaku dan penonton esports bukanlah perkara gampang. Icha menyebutkan, saat ini, sudah ada cukup banyak webinar edukatif tentang pelecehan seksual. Namun, jumlah peminatnya tidak banyak. Artikel ini pun sebenarnya bagian dari edukasi. Hanya saja, saya ragu bahwa semua orang yang mengklik berita ini akan membacanya sampai habis. Ketika ditanya tentang cara edukasi yang efektif, Icha menjawab, salah satu cara efektif untuk mengajarkan masyarakat akan pelecehan seksual adalah dengan mengadakan seminar offline.

“Acara face to face memang sudah yang paling tepat,” ujar Icha. “Tapi, saat pandemi seperti ini susah.” Dia bercerita, sebelum pandemi, dia pernah menjadi pembicara dalam gerakan edukasi untuk siswa SMA dan mahasiswa yang diadakan oleh Kaskus. “Yang aku tahu, anak-anak ini bisa lebih paham dan bisa tanya-tanya ketika mereka memang nggak paham materinya. Menurut aku, itu edukasi yang cukup efektif, apalagi untuk daerah-daerah yang jauh dari kota.”

Karena, Icha percaya, orang-orang yang tinggal jauh dari kota biasanya belum terlalu aktif di media sosial. Jadi, mereka belum terpapar pada perilaku netizen Indonesia — yang merupakan paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Harapannya, setelah diberi pemaparan, mereka akan berlaku dengan lebih baik saat mereka akhirnya aktif di media sosial atau platform streaming.

CEO Morph, Yohannes “Joey” Siagian mengatakan, saat ini, telah mulai muncul usaha untuk memberikan edukasi tentang pelecehan seksual secara terkoordinir di dunia esports. Sebelum ini, memang sudah ada usaha untuk memberikan edukasi di tingkat individual. Namun, terkadang, orang yang mencoba untuk memberi edukasi justru dilawan

Absennya Konsekuensi

Kenapa koruptor — ahem, maling, maksudnya — tidak pernah jera? Ketika tertangkap pun, para maling masih bisa tertawa dan melambai ke kamera. Salah satu alasannya adalah karena hukuman yang ringan. Padahal, salah satu tujuan pemberian hukuman adalah untuk menimbulkan efek jera pada pelaku. Selain itu, hukuman juga berfungsi sebagai pencegah. Misalnya, jika ditetapkan bahwa hukuman untuk maling uang rakyat adalah hukuman mati, harusnya, orang-orang yang tergoda untuk korupsi akan berpikir dua kali sebelum mencuri.

Namun, di industri esports, belum ada lembaga khusus yang menangani masalah pelecehan seksual. Jadi, belum ada hukuman yang jelas untuk pelaku pecehan seksual. Dan ketiadaan hukuman ini menjadi salah satu alasan mengapa pelecehan seksual masih terjadi di esports.

“Ini (hukuman) sesuatu yang berpengaruh banget,” kata Joey saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Tapi, sebenernya, menurut aku, untuk talent dan content creator yang melakukan hal seperti ini, jelas kok konsekuensinya apa: nggak ada. Karena selama mereka menghasilkan dana, nggak akan ditegur. Kecuali ada yang angkat bicara dan angkat suara. Tapi, itupun jarang terjadi.”

Seolah hal itu tidak cukup buruk, ketika korban pelecehan melaporkan kasus pada pihak berwenang — seperti manajemen tim atau eksekutif EO — dia justru dipersulit. Vela menceritakan pengalamannya terkait hal ini. “Hukum tentang harassment memang ada,” ungkapnya. “Aku pernah lapor, tapi pelaporannya sangat sulit. Ketika dilaporkan, cuma diterima, tapi nggak ada follow up, nggak ada updates.” Masalah pelecehan seksual akan menjadi semakin runyam ketika pelaku punya jabatan atau popularitas.

Lalu, siapa yang seharus memberikan hukuman pada pelaku pelecehan? Menurut Icha, jawaban dari pertanyaan ini tergantung pada siapa yang menjadi pelaku pelecehan. “Kalau pelaku adalah pemain, ya dari pihak manajemen,” katanya. “Pelaku jangan hanya disuruh minta maaf saja, tapi juga bisa dilakukan pemutusan kontrak kalau kasusnya memang sudah parah. Untuk freelancer, mungkin teguran halus, teguran kasar, dan sampai larangan untuk bisa bekerja di tempat tersebut.”

Icha menjadikan kasus Listy Chan sebagai perbandingan. Pada akhir 2020, muncul kabar bahwa Listy Chan berselingkuh dengan Ericko Lim. Skandal tersebut berakhir dengan pemecatan Listy Chan dari EVOS Esports. “Dia bikin kasus yang merugikan pihak manajemen, dan kontraknya langsung di-cut. Nah, kenapa pelaku pelecehan nggak diperlakukan dengan sama?” Icha bertanya. “Apalagi kan banyak tuh, kasus laki-laki melakukan pelecehan ke pemain atau talent perempuan.”

Kasus Listy Chan berakhir dengan pemecatan.

Ketika pelaku pelecehan seksual bisa terhindar dari hukuman, maka sanksi sosial bisa menjadi alternatif untuk membuatnya kapok. Sayangnya, karena minimnya edukasi, tidak banyak orang yang peduli akan pelecehan seksual. Icha bercerita, seorang Liaison Officer (LO) pernah melakukan pelecehan verbal padanya di hadapan rekan kerja mereka. Namun, tidak ada satu pun orang yang menegur sang pelaku. Menurut Icha, hal ini terjadi karena pelecehan yang dilakukan oleh sang LO dianggap sebagai “candaan tongkrongan” yang memang sudah lumrah.

Jika korban ingin tetap memberikan sanksi sosial pada pelaku pelecehan, dia bisa menggunakan media sosial; biarkan netizen Indonesia yang mencabik, memakan bulat-bulan, menghabisi memberikan efek jera pada pelaku. Vela bercerita, Monica “MomoChan” Mariska pernah membantunya melawan pelecehan seksual dengan mengunggah kasus tersebut ke media sosial. “MomoChan, dia pernah bantu aku, dia fight, fansnya bantu kasih sanksi sosial,” ujar Vela. “Pernah juga di-up ke Lambe MOBA, langsung banyak yang nyerang. Tapi, hal itu sebenarnya masuk ke ranah bullying. Orang banyak yang malah senang karena namanya dikenal.”

Senada dengan Vela, Icha juga mengatakan, jika seorang pelaku pelecehan seksual diviralkan di media sosial, dia tetap bisa mendapatkan untung, berupa banyak orang yang menjadi follower-nya. “Sanksi sosial memang cukup efektif. Pihak korban bisa mendapat permintaan maaf dan pelaku di-bully netizen,” kata Icha. “Tapi, pelaku tetap bisa dapat follower banyak. Jadi, belum tentu memberikan efek jera pada pihak lain.”

Di era remaja berani bertaruh nyawa — lari di hadapan truk yang tengah melaju kencang — demi membuat konten TikTok, saya tidak heran jika ada orang yang senang karena dia “populer” sebagai pelaku pelecehan seksual. Jika tidak percaya lihat saja salah satu selebriti yang baru saja keluar penjara namun dipuja-puja sejumlah media.

Bandwagon Fallacy

Bandwagon fallacy merupakan salah satu kesalahan pola pikir. Dalam bandwagon fallacy, seseorang mendasarkan argumennya berdasarkan opini populer. Dalam kasus ini, pelecehan seksual dianggap sebagai “hal biasa” karena banyak orang yang melakukannya. Joey menjelaskan, para kreator konten di dunia esports Indonesia pun sering membuat konten yang bersifat melecehkan.

“Kreator konten, baik manajemen ataupun individu, laki-laki dan perempuan, seolah menormalisasi perlakuan yang melecehkan,” kata Joey. “Kreator konten laki-laki membuat konten yang melecehkan perempuan. Sementara kreator konten perempuan juga tidak sedikit yang memanfaatkan seksualitas untuk mencari perhatian dan popularitas. Manajemen konten pun menggunakan paras cantik sebagai salah satu strategi mencari perhatian.” Lebih lanjut dia menjelaskan, “Kalau idola membuat perilaku tersebut seakan-akan it’s okay, ya, fans akan mengikuti. Apalagi fans yang masih berada di umur pembentukan identitas dan jati diri. Pada umur segitu, perilaku dan values masih sangat dipengaruhi oleh idola dan panutan.”

Mengidolakan seseorang bisa memengaruhi cara pikir kita. | Sumber: Medium

Dalam jurnal The Psychology of Sexual Harassment, dijelaskan bahwa dari sudut pandang biologi, seorang pria melakukan pelecehan pada perempuan karena dia berusaha untuk menunjukkan ketertarikannya. Hanya saja, sang perempuan yang tidak tertarik dengan sang laki-laki menyalahartikan usahanya itu sebagai pelecehan. Sementara dalam kasus pelecehan pada pria, hal itu ditujukan untuk merendahkan sang korban. Tujuannya adalah agar “nilai” sang korban sebagai pasangan akan jatuh.

Jurnal tersebut juga membahas tentang alasan di balik pelecehan seksual dari segi sosial-budaya. Di jurnal itu, tertulis bahwa pelecehan seksual terjadi karena proses sosial akan peran dari masing-masing gender. Secara tidak langsung, masyarakat mendukung dominasi laki-laki dan mewajarkan objektivikasi akan perempuan. Hal lain yang mendorong pelecehan seksual adalah karena budaya masyarakat yang cenderung menormalisasi kekerasan pada perempuan. Pelecehan seksual juga bisa digunakan sebagai alat untuk “menghukum” orang-orang yang berusaha untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari gender norm. Misalnya, seorang perempuan yang punya aspirasi untuk menjadi pemimpin politik mungkin akan menjadi korban dari pelecehan seksual.

Penurunan Kualitas Konten

Di atas, sudah dijelaskan bagaimana konten yang dibuat kreator konten bisa memengaruhi pemikiran para penontonnya. Sekarang, pertanyaannya, kenapa para kreator konten membuat konten yang mengandung pelecehan seksual? Jawabannya sederhana, karena konten seperti itu laku. Salah satu sumber pemasukan kreator konten adalah dari iklan. Semakin banyak view dari konten yang sang kreator buat, semakin banyak pihak yang mau memasang iklan atau semakin mahal iklan yang bisa ditawarkan. Sayangnya, popularitas tidak menjamin kualitas.

Saat ini, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi kreator konten, baik di YouTube, TikTok, atau platform lainnya. Masalahnya, jumlah kreator konten meningkat dengan lebih pesat daripada jumlah penonton atau lama waktu yang penonton bisa habiskan untuk menonton konten. Toh, waktu yang penonton bisa habiskan untuk menonton konten memang terbatas. Dalam sehari, kita hanya punya waktu 24 jam untuk melakukan kewajiban dan hobi kita. Hal ini berarti, persaingan antara kreator konten pun semakin ketat. Jadi, tidak heran jika sebagai kreator konten ingin mengambil jalan pintas dan fokus untuk membuat konten yang viral dan bukannya konten berkualitas. Dan konten berbau seksual menjadi salah satu jenis konten yang menjual.

Sex sells,” ujar Joey gamblang. “Lebih gampang untuk mendapatkan audiens dengan belahan dada dan suara sugestif. Tapi sebenarnya, ada banyak hal lain yang juga menjual, selain seks. Hanya saja, seks menjual dan mudah untuk dieksekusi.”

Kecenderungan untuk mendewakan view atau popularitas punya dampak buruk lain. Karena, mendorong orang-orang yang ingin populer untuk melakukan apa saja, walau mereka harus melakukan hal-hal berbahaya atau menjurus pada pornografi. Masalah ini juga diperburuk dengan betapa cepatnya penyebaran informasi di internet terjadi. Jadi, walau seseorang menjadi viral karena terlibat dalam sebuah kasus, kesalahannya bisa dilupakan setelah masalah viral baru muncul.

Logan Paul saat mengunjungi hutan Aokigahara. | Sumber: Polygon

Mari kita lihat Logan Paul, seorang vlogger, sebagai contoh. Dia pernah mengunggah video kontroversial yang menampilkan jenazah dari orang yang meninggal karena bunuh diri di Jepang. Dalam video tersebut, Paul menunjukkan perjalanannya bersama teman-temannya ke hutan Aokigahara, yang memang dikenal sebagai tempat bunuh diri, seperti yang disebutkan oleh BBC. Jadi, tidak aneh ketika dia dan teman-temannya menemukan jenazah dari seseorang yang melakukan bunuh diri. Masalahnya, Paul dan teman-temannya sama sekali tidak berusaha untuk menghargai jenazah sang korban dan justru bercanda dengan satu sama lain.

Video Paul memicu kemarahan dari para netizen. Setelah itu, dia pun menghapus videonya dan mengunggah video baru, yaitu video permintaan maaf. Ketika itu, pada 2018, Paul punya subscribers sebanyak 15 juta. Sekarang, jumlah subscribers-nya justru bertambah menjadi 23,2 juta orang. Hal ini menunjukkan, meskipun seorang kreator konten membuat konten yang bermasalah dan mendapat hujatan netizen, pada akhirnya, kesalahannya akan dilupakan.

Power Corrupts…

Berdasarkan studi dalam ilmu ekonomi, seseorang bisa mendapatkan kekuasaan ketika dia memberikan sumber daya pada orang lain dan membuat mereka sejahtera, menurut Dacher Keltner, dosen psikologi di University of California, Berkeley. Dia juga menyebutkan, jika seseorang berlaku rendah hati, maka orang-orang akan cenderung menghormati orang tersebut. Dan rasa hormat inilah yang menjadi awal dari kekuasaan seseorang.

“Ketika kita merasa berkuasa, dopamin akan mengalir ke otak kita. Kita merasa seolah-olah kita bisa melakukan apapun,” ujar Keltner dalam wawancaranya dengan PBS. Dopamin merupakan hormon yang punya banyak fungsi, mulai dari mengendalikan emosi, rasa senang, konsentrasi, dan juga rasa sakit. “Di sinilah paradoks akan kekuasaan muncul. Ketika kita merasa berkuasa, hal ini justru membuat kita menyalahgunakan kekuasaan.”

Keltner bercerita tentang apa yang terjadi ketika sekelompok orang dibawa ke laboratorium dan salah satu dari mereka ditunjuk untuk menjadi pemimpin. Orang yang tiba-tiba punya kuasa punya kecenderungan untuk bertindak secara impulsif: mereka mengambil lebih banyak sumber daya dari yang seharusnya.

“Mereka akan mengambil uang. Mereka menjadi kehilangan moral. Mereka berpikir bahwa tindakan amoral bukan masalah selama mereka yang melakukan tindakan tersebut,” ujar Keltner. “Mereka akan punya kecenderungan untuk mempercayai stereotipe. Kemungkinan, mereka juga tidak lagi memikirkan apa yang diperlukan oleh orang lain.” Lebih lanjut dia berkata, “Hal inilah yang disebut sebagai paradoks dari kekuasaan. Kita bisa mendapatkan kuasa dengan berlaku baik, tapi, ketika kita sudah mendapatkan kuasa, kita cenderung melakukan hal buruk.”

Keltner juga menyebutkan bahwa kutipan “power corrupts and absolute power corrupts absolutely” ada benarnya. Orang-orang yang punya kuasa punya kecenderungan untuk berbicara tidak sopan, selingkuh, dan mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Dia lalu menjelaskan tentang studi yang dia lakukan untuk memperkuat argumennya.

Dalam studi yang dia namai “Cookie Monster Study”, Keltner membagi para peserta eksperimen ke dalam grup berisi tiga orang. Salah satu dari tiga orang tersebut akan dipilih untuk menjadi pemimpin. Pemilihan pemimpin tersebut bersifat acak. Ketiga peserta kemudian ditugaskan untuk membuat regulasi akan sebuah universitas. Dan mereka bisa bekerja bersama dengan baik. Beberapa saat kemudian, Keltner bercerita, para peneliti akan memberikan makanan pada ketiga orang tersebut, yaitu lima potong kue.

“Dan di sinilah penelitian yang sebenarnya dimulai,” kata Keltner. “Masing-masing peserta mengambil satu potong kue. Mereka memakan kue itu dan merasa senang. Semua kelompok yang kami teliti biasanya tidak memakan potongan kue kelima. Karena, mereka tidak ingin mengambil makanan terakhir yang tersisa. Jadi, pertanyaannya, siapa yang memakan potongan kue keempat? Biasanya, orang yang ditunjuk sebagai pemimpinlah yang akan mengambil kue tersebut.” Keltner mengatakan, memang, sang pemimpin tidak selalu mengambil potongan kue keempat (yang berarti ia mengambil jatah lebih banyak dibanding yang lain). Tapi, kemungkinan sang pemimpin mengambil kue keempat adalah dua per tiga.

Keltner menjelaskan, ketika seseorang memegang kuasa, hal ini akan memengaruhi moralnya, serta tindakannya terkait orang lain. “Ketika saya punya kuasa, saya merasa bahwa saya boleh memakan kue lebih banyak. Saya boleh memaki rekan kerja saya. Saya boleh menyentuh orang lain, selama saya senang, tanpa perlu memikirkan apakah orang yang saya sentuh juga senang. Pada akhirnya, kuasa membuat seseorang merasa bahwa dia punya hak atas lebih banyak sumber daya.”

Penutup

Ketika ditanya apakah pelecehan seksual di esports bisa hilang sepenuhnya, Joey menjawab dengan lugas: tidak. Menurutnya, berkaca pada sejarah, hal-hal yang dianggap buruk oleh masyarakat sekalipun — seperti rasisme — tidak bisa sepenuhnya hilang. Namun, dia menambahkan, jika masyarakat tidak lagi menganggap pelecehan sebagai hal yang lumrah dan komunitas esports bisa meregulasi diri sendiri terkait masalah ini, pelecehan seksual mungkin bisa diatasi.

Sebagai media, Hybrid.co.id bisa saja mengangkat topik pelecehan seksual dengan membahas drama atau skandal seputar pelecehan yang terjadi di dunia esports. Namun, kami lebih memilih untuk menggali faktor-faktor yang menjadi akar permasalahan dari pelecehan seksual itu sendiri. Karena, mengidentifikasi masalah dan mencari tahu penyebab masalah bisa jadi langkah pertama untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu saja, saya tidak delusional dan percaya bahwa artikel ini akan serta-merta bisa menyelesaikan masalah pelecehan seksual di dunia esports Indonesia. But hey, you can’t say we didn’t try…

Sumber header: Vox

Studi Kasus Asosiasi Esports di Berbagai Negara di Dunia

Beberapa tahun belakangan, esports menjadi perhatian banyak pihak, mulai dari perusahaan non-endemik, perusahaan venture capital, sampai pemerintah. Mengingat industri esports memang terus tumbuh, baik dari segi jumlah penonton maupun valuasi, hal ini tidak aneh. Seiring dengan semakin populernya competitive gaming, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk membuat asosiasi atau lembaga untuk menaungi esports. Di Indonesia, setidaknya ada dua lembaga yang bertanggung jawab atas esports, yaitu Indonesia Esports Association (IeSPA) dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI).

Dalam bahasa Inggris, ada pepatah: There is strength in numbers. Biasanya, semakin besar sebuah kelompok, semakin kuat pula kelompok tersebut. Masalahnya, menyatukan misi dan visi banyak orang bukan perkara mudah. Dan dalam kasus asosiasi esports, keberadaan banyak asosiasi justru bisa membuat para pelaku bingung. Apalagi, jika tugas dari masing-masing asosiasi tidak dipisahkan dengan jelas, membuat tanggung jawab setiap asosiasi menjadi saling tumpang tindih.

Kabar baiknya — atau justru kabar buruknya — Indonesia bukan satu-satunya negara yang punya lebih dari satu lembaga esports. Di beberapa negara lain — seperti Singapura dan Malaysia — asosiasi yang menaungi esports juga tidak hanya satu. Berikut pembahasan tentang lembaga apa saja yang ada di sejumlah negara dan apa saja tugas mereka.

Malaysia – MeSF & ESI

Sama seperti Indonesia, di Malaysia, setidaknya ada dua lembaga yang menaungi esports, yaitu Malaysia Esports Federation (MeSF) dan Esports Integrated (ESI). Menariknya, kedua asosiasi itu sama-sama ada di bawah naungan Kementerian Belia dan Sukan (KBS) alias Kementerian Pemuda dan Olahraga. MeSF didirikan pada Desember 2014. Saat didirikan, MeSF masih menggunakan nama Esports Malaysia (ESM). Pada 2020, status ESM naik menjadi federasi dan nama mereka pun menjadi MeSF. Mereka juga merupakan anggota dari International Esports Federation (IeSF).

Salah satu peran MeSF dalam mengembangkan industri esports di Malaysia adalah membuat Malaysia Esports Blueprint. Sesuai namanya, blueprint tersebut berisi rencana esports dalam lima tahun ke depan, sejak 2020 sampai 2025. Keberadaan Malaysia Esports Blueprint diumumkan pada November 2019 oleh Syed Saddiq, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Dengan program ini, pemerintah Malaysia ingin menjadikan Malaysia sebagai pusat esports di Asia Tenggara. Pada 2018 dan 2019, memang ada beberapa kompetisi esports internasional yang digelar di Malaysia. Dua diantaranya adalah Dota 2 Major Kuala Lumpur dan Mobile Legends World Championship.

Ada lima strategi yang menjadi prioritas bagi pemerintah Malaysia. Salah satunya adalah menyelenggarakan Malaysia Esports League. Selain itu, pemerintah Malaysia juga ingin menggelar konferensi esports, membuat pusat latihan esports berlisensi, mendorong agar ada lebih banyak perempuan yang ikut aktif di dunia esports, dan menjamin kesejahteraan para atlet esports. Pemerintah Malaysia juga ingin membahas tentang masalah kecanduan game.

MEL21 akan mengadu beberapa game. | Sumber: Upstation.Asia

Sementara itu, ESI diluncurkan oleh KBS pada Oktober 2020. Ketika itu, KBS menyebutkan bahwa tujuan mereka membuat ESI adalah untuk membangun struktur esports yang terintegrasi. Demi merealisasikan hal tersebut, mereka akan melakukan empat hal pada fase pertama. Keempat hal itu adalah:

1. Membuat platform untuk mengatur ekosistem esports secara terpusat
2. Mengadakan Malaysia Esports Circuit
3. Memperkenalkan seri Esports Conference and Summit
4. Menjadi advokat agar pemerintah bisa membuat regulasi yang lebih baik

Selain itu, ESI Juga akan mengadakan program Capacity Building, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dari para pelatih, manajer tim, serta Event Organizers (EO). Di bawah naungan KBS, ESI juga akan membuat fasilitas esports resmi yang terletak di Spacerubix, Puchong. Selain sebagai tempat latihan untuk pemain profesional dan amatir, tempat tersebut juga akan memiliki fungsi lain, seperti sebagai tempat untuk esports event serta tempat berkumpul para pelaku esports untuk bersosialisasi dan membangun jaringan.

Singapura – SCOGA & SGEA

Di Singapura, juga ada setidaknya dua lembaga esports. Pertama, Singapore Cybersports & Online Gaming Association (SCOGA). Kedua, Singapore Esports Association (SGEA). Baik SCOGA maupun SGEA bukan anggota dari IeSF. Namun, SGEA merupakan anggota dari Global Esports Federation (GEF) dan juga Singapore National Olympic Council (SNOC).

SCOGA didirikan pada 2008. Berdasarkan situs resmi mereka, SCOGA punya tiga fokus, yaitu Esports Academy, Campus Game Fest, dan Campus Legends. Melalui Esports Academy, SCOGA ingin memberikan edukasi tentang esports dan membantu generasi muda agar bisa berprestasi di bidang competitive gaming. Selain itu, SCOGA juga berniat untuk membantu generasi muda yang ingin berkarir di dunia esports, baik sebagai atlet, pelatih, manajer, atau bahkan pemilik tim.

Sementara untuk menggelar Campus Game Fest (CGF), SCOGA bekerja sama dengan Institute Technical Education (ITE) dan People’s Association Youth Movement (PAYM). Melalui CGF, SCOGA ingin meningkatkan kesadaran akan pentingnya gaya hidup yang seimbang, khususnya di kalangan anak muda. Terakhir, melalui Campus Legends, SCOGA berusaha untuk mendekatkan diri, mengedukasi, serta mengkaryakan generasi muda melalui esports.

Salah satu hal konkret yang SCOGA lakukan untuk membangun ekosistem esports Singapura adalah bekerja sama dengan Moonton untuk menggelar M2 World Championship. Dikutip dari Esports Insider, Nicholas Khoo, Co-founder dari SCOGA mengatakan, dengan diadakannya M2 World Championship di Singapura, dia berharap, hal ini bisa memberikan harapan pada fans esports di Singapura yang telah lelah menghadapi pandemi. Selain itu, dia juga ingin agar kompetisi itu bisa mendorong generasi muda untuk mengejar aspirasi mereka, khususnya di bidang esports.

SCOGA jadi salah satu rekan Moonton dalam mengadakan M2 World Championship.

Jika dibandingkan dengan SCOGA, umur Singapore Esports Association (SGEA) jauh lebih pendek. Asosiasi itu baru didirikan pada 2018. Di situs resmi mereka, SGEA menyebutkan bahwa misi mereka adalah mendorong partisipasi Singapura di kancah esports, baik di tingkat regional maupun internasional. Selain itu, mereka juga bertugas untuk mempromosikan esports. Memang, di Singapura, esports tidak terlalu populer. Alasannya, karena sistem edukasi di sana sangat ketat. Alhasil, para siswa di Singapura lebih memilih untuk fokus pada sekolah daripada menjadi atlet esports.

Salah satu kontribusi SGEA ke industri esports Singapura adalah memilih atlet esports yang bakal maju ke SEA Games 2021. Untuk memilih tim esports nasional, SGEA mengadakan National Selections untuk tiga game esports, yaitu League of Legends: Wild Rift, League of Legends, dan Arena of Valor.

Korea Selatan – KeSPA

Lembaga yang menaungi esports di Korea Selatan adalah Korea e-Sports Association (KeSPA). Ketika didirikan pada 2000, KeSPA ada di bawah naungan Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata Korea. Selain itu, mereka juga merupakan anggota dari IeSF dan Korean Olympic Committee (KOC). Pada awalnya, KeSPA didirikan dengan tujuan untuk menjadikan turnamen esports sebagai kompetisi olahraga resmi. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk memperkuat bisnis esports.

Dari sisi operasional, KeSPA melakukan banyak hal, mulai dari mengadakan esports events, menyiarkan konten esports, sampai mengedukasi masyarakat agar lebih berpikiran terbuka pada gaming. Mereka juga punya wewenang untuk menetapkan taraf hidup para pemain profesional. Langkah kongkret yang mereka lakukan adalah membuat regulasi baru yang mereka buat bersama dengan Riot Games dan Ongamenet. Regulasi tersebut diumumkan pada Oktober 2014.

KeSPA Cup 2020 dimenangkan oleh DAMWON Gaming. | Sumber; Sportskeeda

Salah satu hal yang dibahas dalam regulasi dari KeSPA itu adalah gaji minimal yang diterima oleh pemain profesional. KeSPA juga menetapkan bahwa kontrak antara organisasi esports dan pemain profesional harus memiliki durasi paling singkat selama satu tahun. Peraturan terkait lama kontrak ini mulai diberlakukan pada 2016.

KeSPA juga bisa menjatuhkan hukuman pada pemain esports yang berbuat curang. Contohnya, pada April 2010, Sanction Subcommittee dari KeSPA melarang 11 pemain StarCraft ikut serta dalam kompetisi esports di masa depan. Alasannya, 11 pemain tersebut terlibat dalam kasus match-fixing di musim pertandingan 2009. Ironisnya, dua pemain KeSPA — Lee “Life” Seung dan Jung “Bbyong” Woo Yong — juga pernah terlibat dalam kasus match-fixing.

Jepang – JeSU

Pada awalnya, Jepang punya tiga asosiasi esports, yaitu Japan e-Sports Association, eSports Promotion Organization, dan Japan eSports Federation. Pada Februari 2018, ketiga asosiasi esports itu memutuskan untuk melakukan konsolidasi, lapor The Esports Observer. Alhasil, berdirilah Japan Esports Union (JeSU). Saat ini, JeSU punya 42 anggota, termasuk developer dan publisher game ternama, seperti Bandai Namco, Capcom, Konami, Microsoft Japan, Sony, Square Enix, dan Tencent Japan. Mereka juga merupakan anggota dari IeSF.

Tak bisa dipungkiri, industri game Jepang adalah salah satu yang paling besar di dunia. Menurut data Newzoo, walau hanya memiliki populasi sebanyak 126,5 juta orang, industri game Jepang bernilai US$20,6 juta. Sayangnya, industri esports Jepang justru sempat tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang sama. Salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan esports di Jepang adalah keberadaan Act against Unjustifiable Premiums and Misleading Representation. Regulasi itu sebenarnya dibuat untuk mencegah yakuza mendapatkan uang dari mesin poker atau judi. Namun, peraturan itu juga membatasi jumlah hadiah yang bisa ditawarkan dalam kompetisi esports. Maksimal, kompetisi esports hanya bisa memberikan hadiah sebesar JPY100 ribu (sekitar Rp13 juta).

JAPAN eSPORTS GRAND PRIX. | Sumber: IeSF

JeSU berhasil mengakali regulasi tersebut. Dan hal itu menjadi salah satu pencapaian JeSU. Agar total hadiah kompetisi esports tidak dibatasi, JeSU mengeluarkan lisensi “Pro Gaming”. Ada tiga jenis lisensi yang dikeluarkan oleh JeSU, yaitu Japan eSports Pro License, Japan eSports Junior License, dan Japan eSports Team License, seperti yang disebutkan oleh GammaLaw.

Selain membuat lisensi Pro Gaming, JeSU juga aktif untuk mengedukasi masyarakat. Harapannya, hal ini akan mengubah pandangan masyarakat akan dunia esports dan pemain profesional bisa diterima oleh masyarakat. Untuk itu,  JeSU terus mendukung acara esports atau mengadakan kompetisi esports sendiri. Hampir setiap bulan, JeSU selalu mengadakan atau mendukung acara esports di Jepang.

Usaha JeSU berbuah manis. Menurut data dari Gzbrain, industri esports di Jepang tumbuh pesat setelah JeSU meluncurkan lisensi Pro Gaming. Pada 2017, industri esports di Jepang hanya bernilai US$3,4 juta. Angka itu naik 1244% menjadi US$42,3 juta pada 2018. Dan industri esports di Jepang diduga masih akan terus naik. Pada 2022, diperkirakan, esports di Jepang akan tumbuh menjadi industri bernilai US$90,8 juta.

Inggris – BEA

United Kingdom eSports Associatoin (UKeSA) didirikan pada Oktober 2008 untuk menaungi esports di Inggris. Namun, satu tahun kemudian, lebih tepatnya pada Desember 2019, asosiasi itu dibubarkan. Pada 2016, British Esports Association (BEA) berdiri. Salah satu tujuan asosiasi itu adalah untuk memperkenalkan esports pada warga Inggris. Pada saat yang sama, mereka juga bertugas untuk meningkatkan standar ekosistem esports di Inggris. Di situs resmi mereka, BEA mengunkap bahwa mereka bukanlah regulator. Fokus mereka adalah pada pengembangan ekosistem esports amatir di tingkat sekolah dan universitas.

Selama ini, BEA telah menyelenggarakan sejumlah turnamen esports. Salah satunya adalah British Esports Championships, kompetisi esports yang ditujukan untuk para pelajar di Inggris Raya. Belum lama ini, BEA juga mengeluarkan Esports Age Guide. Sesuai namanya, Esports Age Guide berfungsi untuk menginformasikan orang tua, guru, dan bahkan anak dan remaja akan rating dari game-game esports. Keberadaan panduan ini diharapkan akan memudahkan orang tua dan guru untuk menentukan game esports yang sesuai dengan umur anak dan remaja.

Amerika Serikat – USeF

Di Amerika Serikat, asosiasi yang bertanggung jawab atas esports adalah United States eSports Federation (USeF). Asosiasi itu juga merupakan bagian dari IeSF. Sama seperti kebanyakan asosiasi esports di negara lain, tujuan USeF adalah untuk mempromosikan esports dan menumbuhkan industri competitive gaming. Salah satu program USeF adalah Armour On, yang bertujuan untuk melindungi atlet esports dan memitigasi stigma negatif terkait game. Melalui program itu, USeF juga ingin meningkatkan kesadaran para pelaku esports akan pentingnya kesehatan mental, nutrisi, dan juga kesetaraan gender.

USeF dipimpin oleh Vlad Marinescu, yang menjabat sebagai President. Sebelum ini, Marinescu pernah menduduki jabatan sebagai Director General dari SportAccord, Global Association of International Sport Federation (GAISF). Pada Juli 2019, dia ditunjuk sebagai Vice President dari IeSF. Dan pada Mei 2020, dia diangkat menjadi President dari IeSF.

Tiongkok – CSIC & General Administration of Sports

Di Tiongkok, esports sudah diresmikan sebagai olahraga sejak 2003. Badan yang meresmikan hal itu adalah General Administration of Sports, ungkap Daniel Ahmad, Senior Analyst, Niko Partners. Dia menambahkan, pada tahun 2020, pihak yang bertanggung jawab untuk mengubah format kompetisi esports menjadi online selama pandemi adalah General Administration of Sports.

“Walau General Administration of Sports adalah badan yang bertanggung jawab atas esports di tingkat nasional, pemerintah lokal yang punya peran besar untuk mendorong pertumbuhan esports,” ujar Ahmad melalui email. “Pemerintah lokal di berbagai kota di Tiongkok telah membuat regulasi yang mendorong pertumbuhan esports. Biasanya, pihak pemerintah akan memberikan insentif berupa bantuan keuangan.” Beberapa pemerintah lokal yang telah mengeluarkan regulasi untuk membantu pertumbuhan esports antara lain Shanghai, Beijing, Guangzhou, Nanjing, Shenzhen, Hainan, Xian, dan Chengdu.

Mercedes-Benz Arena di Shanghai. | Sumber: Wikipedia

Peran pemerintah Tiongkok dalam pengembangan esports juga dibahas dalam jurnal berjudul Development of E-sports industry in China: Current situation, Trend and research hotspot. Di jurnal itu, disebutkan bahwa pemerintah Tiongkok — pusat dan daerah — telah mengeluarkan 98 regulasi untuk mendukung industri esports. Tidak heran jika pemerintah Tiongkok sangat peduli akan perkembangan industri esports, mengingat jumlah fans esports di Tiongkok memang banyak. Berdasarkan data dari Penguin Intelligence, jumlah fans esports di Tiongkok pada 2020 mencapai 400 juta orang atau sekitar seperlima dari total penonton esports di dunia. Sementara itu, nilai industri esports di Tiongkok mencapai CNY102,8 miliar. Dengan ini, Tiongkok menjadi pasar esports terbesar.

Selain General Administration of Sport, Tiongkok juga punya China Sports Information Center (CSIC), yang mewakili mereka di IeSF. Namun, ketika Tiongkok berpartisipasi dalam pertandingan eksibisi esports di Asian Games 2018, pihak yang memilih tim nasional esports adalah General Administration of Sports.

Global – IeSF & GEF

Tidak semua asosiasi esports membatasi diri untuk beroperasi di satu negara. Juga ada asosiasi esports yang memiliki skala global. Salah satunya adalah International Esports Federation (IeSF). Didirikan pada 2008, IeSF bermarkas di Korea Selatan. Saat didirikan, ada sembilan asosiasi esports yang bernaung di bawah IeSF. Sembilan asosiasi itu berasal dari Austria, Belanda, Belgia, Denmark, Jerman, Korea Selatan, Swiss, Taiwan, dan Vietnam. Saat ini, IeSF punya 104 negara anggota, termasuk Indonesia. Di IeSF, Indonesia diwakili oleh IeSPA.

Walau memiliki skala global, IeSF juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga pemerintah. Salah satunya adalah Kementerian Budaya, Olahraga, dan Wisata (MCST) Korea Selatan. Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan Busan IT Industry Promotion Agency (BIPA), dan Maccabi World Union.

Salah satu hal yang IeSF lakukan adalah mengelar kompetisi esports tahunan. Ketika pertama kali diselenggarakan pada Desember 2009, turnamen esports dari IeSF dinamai IeSF Challenge. Tahun berikutnya, IeSF kembali mengadakan kompetisi esports. Hanya saja, mereka menggunakan nama yang berbeda, yaitu IeSF Grand Finals. Pada 2011, nama kompetisi itu kembali diubah, menjadi IeSF World Championship. Dan pada 2014, IeSF menggunakan nama Esports World Championship. Nama itulah yang digunakan oleh IeSF hingga sekarang.

IeSF World Championship 2018. | Sumber: Inside the Games

IeSF bukanlah satu-satunya asosiasi esports global yang ada. Pada Desember 2019, Global Esports Federation (GEF). Federasi yang bermarkas di Singapura itu punya tujuan untuk meningkatkan kredibilitas esports. Secara konkret, salah satu hal yang GEF lakukan adalah memastikan para atlet esports tidak menggunakan doping. Selain itu, mereka juga membuat peraturan terkait gaji pemain esports, merumuskan peraturan dan struktur kepemimpinan esports, serta mendorong terciptanya asosiasi esports nasional yang memiliki standar dan regulasi yang jelas.

Salah satu hal yang membedakan GEF dengan IeSF adalah kedekatan GEF dengan Komite Olimpiade. Pasalnya, sejumlah tokoh GEF memang punya kaitan dengan komite Olimpiade nasional. Misalnya, Chris Chan, yang menjadi President GEF, juga menjabat Sektretaris Jenderal dari Singapore National Olympic Council. Sementara itu, dua Vice President GEF — Wei Jizhong dan Charmaine Crooks — juga punya andil dalam Olimpiade.

Wei merupakan mantan Sekretaris Jenderal dari Chinese Olympic Committee dan Crooks merupakan atlet yang pernah ikut dalam Olimpiade sebanyak lima kali. Selain itu, Chris Overholt,yang menduduki posisi sebagai Head of Digital Technology and Innovation Commission di GEF, juga menjabat sebagai CEO dari Canadian Olympic Committee. Tak hanya itu, GEF juga punya hubungan erat dengan publisher, khususnya Tencent. Faktanya, Tencent merupakan salah satu founding partner GEF. Jadi, GEF menunjuk Cheng Wu — Vice President, Tencent Holdings dan CEO dari Tencent Pictures — sebagai salah satu Vice President.

IESF VS GEF

IeSF telah berdiri terlebih dulu. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah GEF didirikan untuk menyaingi IeSF. Ketika ditanya tentang hal itu, Chris Chan, President GEF mengatakan bahwa GEF tidak dibuat dengan tujuan untuk menyaingi IESF. Namun, dia juga sadar bahwa tidak tertutup kemungkinan, IeSF memang akan melihat GEF sebagai saingan. Walau dia sadar, IeSF memang bisa menganggap mereka sebagai saingan.

Menurut Nicolas Besombes, keberadaan GEF sebagai asosiasi esports baru justru bisa menimbulkan kebingungan di industri esports. Besombes sendiri merupakan Associate Professor untuk fakultas olahraga dari University of Paris. Dia juga pernah menjadi penasehat untuk Olympic Esports Summit yang digelar di Lausanne pada 2018.

Saat GEF didirikan.

“Saya rasa, publisher memang harus ikut serta dalam mengkonsolidasi industri, tapi tidak sendiri,” kata Besombes, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Dengan menyatukan semua pemegang kepentingan (tim, pemain, penyelenggara liga, manufaktur, publisher, dan perusahaan siaran), maka cara terbaik untuk menyatukan industri esports akan muncul.”

Di GEF, salah satu masalah yang mungkin terjadi adalah konflik kepentingan. Karena, Tencent, yang merupakan founding partner GEF, juga memiliki saham di beberapa perusahaan game esports. Mereka menguasai seluruh saham Riot Games, yang membuat League of Legends. Selain itu, mereka juga memiliki 81,4% saham dari Supercell, kreator dari Clash Royale. Tak berhenti sampai di situ, mereka juga punya 40% dari Epic Games, yang membuat Fortnite. Tencent sendiri juga meluncurkan beberapa game esports, seperti PUBG Mobile dan Honor of Kings atau Arena of Valor.

Kabar baiknya, menurut Besombes, GEF memiliki orang-orang yang punya peran penting di komite Olimpiade, yang memberikan keuntungan pada industri esports. Karena, hal itu bisa meningkatkan kredibilitas esports dan meyakinkan para investor akan esports. Keberadaan lebih dari satu asosiasi esports memunculkan pertanyaan: apakah esports memang bisa diregulasi?

Sekarang, esports sering disandingkan dengan olahraga tradisional. Namun, tetap ada beberapa perbedaan antara esports olahraga. Salah satu perbedaan paling fundamental adalah esports menggunakan game sebagai media. Padahal, game adalah produk komersil milik publisher. Artinya, publisher punya kuasa penuh akan apa yang ingin mereka lakukan pada IP yang mereka buat. Dan hal ini menjadi salah satu alasan mengapa esports sulit untuk diregulasi — kecuali oleh publisher.

Perbedaan skema esports dari LOL dan CS:GO. | Sumber: The Esports Observer

Alasan lain mengapa sulit untuk membuat badan regulasi di esports adalah karena esports mencakup banyak game. Dan setiap game punya publisher yang memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Ada publisher yang turun tangan langsung dalam pengembangan ekosistem esports dari game mereka, seperti Riot Games dan Tencent. Namun, juga ada publisher yang menunjukkan sikap acuh tak acuh. Contohnya adalah Valve dengan Counter-Strike: Global Offensive.

Komisi Anti-Curang – ESIC

Esports Integrity Commission (ESIC) menjadi salah satu asosiasi esports lain yang memiliki jangkauan global. Namun, berbeda dengan GEF dan IeSF, ESIC hanya fokus pada satu tujuan, yaitu menjaga integritas esports. Karena, jika penonton tidak lagi percaya akan integritas pertandingan esports, maka mereka akan pergi. Padahal, jumlah penonton yang terus naik — dan umur penonton yang cenderung muda — merupakan salah satu daya tarik esports.

Demi menjaga integritas esports, ESIC berusaha mencegah terjadinya kecurangan, seperti match-fixing, penggunaan doping, atau kecurangan lainnya. Tapi, jika kecurangan sudah terlanjur terjadi, ESIC punya wewenang untuk melakukan investigasi terkait kasus kecurangan tersebut dan bahkan memberikan sanksi pada orang-orang yang terlibat.

Sejauh ini, ESIC telah menjatuhkan hukuman berupa suspension atau bahkan ban pada puluhan pemain dan pelatih Counter-Strike: Global Offensive ketika mereka tertangkap melakukan kecurangan. Misalnya, pada September 2020, ESIC memberikan hukuman pada 37 pelatih tim CS:GO karena menggunakan bug untuk memberitahu posisi musuh pada anak asuh mereka. Sebelum itu, ESIC juga pernah bekerja sama dengan Kepolisian Victoria untuk menangkap enam pemain CS:GO yang melakukan match-fixing di Australia. Tak hanya itu, ESIC juga pernah bekerja berdampingan dengan FBI untuk menyelidiki kasus match-fixing.

Kesimpulan

Mengetahui bahwa Malaysia dan Singapura juga punya lebih dari satu asosiasi esports — sama seperti Indonesia — mungkin terasa melegakan. Namun, kita harus hati-hati agar tidak terjebak dalam logical fallacy bandwagon: mempercayai bahwa jika suatu hal dilakukan oleh banyak orang, berarti tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Dari JeSU di Jepang, kita bisa mengetahui bahwa ketika asosiasi melakukan konsolidasi, hal ini justru membuat mereka menjadi semakin efektif. Buktinya, mereka berhasil menemukan cara untuk mengakali regulasi terkait perjudian yang telah ada selama ratusan tahun. Sementara dari Tiongkok, kita bisa melihat bagaimana dukungan pemerintah tidak hanya bisa mengubah stigma negatif akan game, tapi juga memajukan industri game dan esports.

Seberapa Penting Reputasi Brand di Industri Game dan Esports?

Tahukah Anda, biaya produksi iPhone 11 Pro Max hanyalah US$490,5. Padahal, smartphone itu dijual dengan harga sekitar US$1.099 sampai US$1.449. Memang, Apple juga memberikan berbagai layanan untuk para pengguna iPhone. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, keuntungan yang Apple dapatkan dari iPhone cukup besar.

Pada 2019, Apple hanya menguasai 14,5% pangsa pasar smartphone. Perusahaan asal Amerika Serikat itu masih kalah jika dibandingkan dengan Samsung, yang menguasai 21,8% pangsa pasar dan Huawei, dengan pangsa pasar 17,6%. Meskipun begitu, dari segi laba, Apple menguasai 66% total keuntungan industri smartphone.

Lalu, apa yang membuat iPhone menjadi lebih berharga di mata para pengguna dari smartphone lainnya? Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, salah satu alasan kenapa konsumen mau membeli produk Apple adalah karena barang elektronik dengan logo apel tersebut memang punya reputasi sebagai barang mewah. Hal ini menjadi bukti bahwa reputasi sebuah brand bisa membuat konsumen rela membayar harga lebih mahal.

Dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang pengaruh reputasi merek pada perusahaan. Dan bagaimana reputasi akan memengaruhi perusahaan game atau entitas esports.

Brand Equity: Definisi dan Keuntungan yang Diberikan ke Perusahaan

Secara harfiah, brand equity berarti nilai atau valuasi dari sebuah brand. Cara untuk mengetahui apakah sebuah brand punya nilai atau tidak cukup mudah. Jika sebuah brand menawarkan sebuah produk dengan harga yang lebih mahal dari produk serupa di pasar dan konsumen tetap mau membeli produk dari merek itu, maka merek tersebut punya nilai. Buktinya, konsumen rela mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan produk dari merek tersebut.

Mari kita ambil Louis Vuitton sebagai contoh. Ketika mereka bekerja sama dengan Riot Games untuk membuat koleksi pakaian LVxLOL, mereka membanderol kaos dengan gambar Qiyana seharga US$670 atau sekitar Rp9,4 juta. Dari semua koleksi tersebut, jaket kulit menjadi produk yang paling mahal, dengan harga US$5.650 atau sekitar Rp79 juta. Padahal, biaya produksi untuk membuat sebuah kaos bergambar atau jaket kulit jelas tidak semahal itu. Namun, harga yang jauh lebih mahal dari biaya produksi tidak menghentikan orang-orang untuk membeli koleksi LVxLOL — atau produk Louis Vuitton lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa merek Louis Vuitton punya nilai tersendiri di mata konsumen. Dan memang, nilai brand Louis Vuitton mencapai US$14,86 miliar pada 2021, menurut data dari Statista.

Nilai merek Louis Vuitton dari 2016 ke 2021. | Sumber: Statista

Ada beberapa keuntungan yang didapat perusahaan ketika merek mereka punya reputasi yang bagus. Menurut Investopedia, reputasi merek yang baik bisa berdampak langsung pada keuntungan perusahaan. Pasalnya, perusahaan bisa memasang harga yang lebih mahal dari pesaing ketika mereka menjual produk mereka, walau produk itu tidak jauh berbeda dari produk milik pesaing. Hal itu berarti, perusahaan bisa mendapatkan margin untung yang lebih besar. Dalam kasus Louis Vuitton — atau merek luxury fashion lainnya — mereka tentu punya margin untung yang jauh lebih besar daripada penjual kaos di pasar.

Tak hanya margin laba, brand equity juga bisa memengaruhi volume penjualan produk. Semakin baik reputasi perusahaan, semakin banyak pula orang yang mau membeli produk dari perusahaan itu. Pada akhirnya, hal ini juga akan meningkatkan keuntungan yang didapat perusahaan. Meskipun margin laba yang perusahaan dapatkan dari sebuah produk kecil, tapi jika mereka bisa menjual produk itu dalam jumlah banyak, maka keuntungan yang mereka dapat pun tetap akan menjadi besar.

Terakhir, keuntungan yang perusahaan dapat dari reputasi yang baik adalah kesetiaan pelanggan. Ketika seorang konsumen sudah setia dengan satu brand, biasanya dia akan selalu membeli produk dari merek tersebut. Ketika membeli makanan, saya cenderung memilih restoran yang mereknya sudah saya kenal. Selain menjadi repeat customer, pelanggan yang sudah menjadi fans setia dari sebuah merek juga biasanya akan membeli lebih dari satu produk dari merek tersebut. Sebagai contoh, pengguna iPhone biasanya juga menggunakan iMac. Bagi perusahaan, pelanggan yang setia berarti mereka bisa menghemat ongkos marketing. Karena, biaya untuk retensi konsumen cenderung lebih murah daripada mengakuisisi konsumen baru.

Biaya untuk mempertahankan konsumen biasanya tidak semahal mendapatkan konsumen baru. | Sumber: Deposit Photos

Lalu, bagaimana cara untuk menghitung brand equity?

Secara garis besar, ada tiga mteode yang bisa digunakan untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Pertama, cost-based brand valuation. Sesuai namanya, metode ini menentukan nilai dari sebuah brand dengan menghitung total biaya yang dikeluarkan untuk membangun merek itu, mulai dari biaya promosi, biaya iklan, sampai biaya untuk mendaftarkan lisensei dan trademarks. Semua biaya tersebut harus dihitung sejak merek didirikan. Jadi, metode ini cocok digunkaan untuk menghitung valuasi brand yang masih baru, seperti yang disebutkan oleh The Balance.

Market-based brand valuation merupakan cara lain untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Metode ini menentukan nilai brand dengan membandingkan merek tersebut dengan merek pesaing, khususnya ketika merek pesaing baru saja dijual. Dalam market-based brand valuation, nilai saham dari perusahaan pesaing juga bisa menjadi tolok ukur untuk menentukan nilai merek sebuah perusahaan.

Metode terakhir untuk menghitung nilai brand adalah income approach. Di metode ini, Anda menghitung nilai sebuah brand dengan memperkirakan pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan dari brand tersebut. Selain potensi pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan, hal lain yang harus diperhitungkan dalam metode ini adalah besar penghematan biaya yang bisa perusahaan lakukan. Contohnya, penghematan biaya marketing karena konsumen yang sudah loyal.

Pentingnya Reputasi Merek di Dunia Game dan Esports

Menurut data dari World Federation of Advertisers, hampir 40% konsumen tidak percaya dengan iklan tradisional. Namun, sebagian besar konsumen justru akan mempercayai komentar dari teman mereka atau review online. Hal ini menunjukkan, saat ini, reputasi merek semakin penting. Reputasi merek tidak hanya penting bagi perusahaan yang menjual barang, tapi juga entitas yang menyediakan layanan jasa, termasuk perusahaan game dan pelaku esports.

Bagi developer game, membangun reputasi sama artinya dengan membangun komunitas. Dan hal ini akan membantu mereka untuk menjual game mereka di masa depan. Topik akan pentingnya membangun komunitas bagi developer dibahas oleh Shahid Ahmad, mantan Director of Strategic Content, PlayStation, pada Casual Connect Europe pada 2016. Jason Della Rocca, mantan Executive Director dari International Game Developers Association, Cabang Montreal, juga mengungkapkan hal yang sama.

Jason Della Rocca. | Sumber: Wikipedia

Della Rocca mengakui, developer game biasanya lebih memilih untuk fokus pada proses pembuatan game dan menyerahkan tugas membangun komunitas pada publisher. Namun, dia menyebutkan, hal ini justru bisa merugikan developer. Alasannya, developer tidak selalu bekerja sama dengan publisher yang sama ketika meluncurkan game.

“Anda bisa saja bekerja sama dengan Publisher X untuk menerbitkan game pertama Anda dan menggandeng Publisher Y untuk game Anda berikutnya,” kata Della Rocca, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Keberadaan komunitas dan kemampuan Anda untuk berkomunikasi dengan fans secara langsung merupakan aset penting bagi developer. Bagi indie developer, komunitas adalah hal yang sangat krusial.”

Tanpa fanbase, developer akan kesulitan untuk menggunakan berbagai marketing tools yang ada secara maksimal. Della Rocca menjadikan Kickstarter sebagai contoh. Melalui Kickstarter, developer bisa mendapatkan uang yang diperlukan untuk mengembangkan game mereka. Namun, jika developer mengadakan kampanye Kickstarter tanpa membangun fanbase terlebih dulu, kemungkinan besar, kampanye mereka tidak akan berhasil atau tidak maksimal. “Kickstarter adalah alat untuk membangun komunitas. Ia bisa digunakan sebagai bagian dari proses marketing game,” ujar Della Rocca.

Sementara itu, Ahmad menjelaskan, membangun fanbase bisa membantu developer untuk membuat game-nya tampil menonjol dari game-game lain. Dia memperkirakan, setiap harinya, ada lebih dari 100 game yang diluncurkan di iOS. Ditambah dengan game-game yang diluncurkan di platform lain, maka setiap harinya, ada ratusan game baru yang diluncurkan. Membuat game yang bisa tampil menonjol dari ratusan atau bahkan ribuan game lain bukanlah perkara mudah. Sementara sebagai gamer, Ahmad menceritakan pengalaman pribadinya, dia justru sering merasa kesulitan untuk memilih game baru untuk dimainkan karena ada terlalu banyak opsi.

Banyaknya pilihan game terkadang justru membuat seseorang bingung. | Sumber: Deposit Photos

“Kadang saya memeriksa iPhone saya untuk mencari game baru. Saya mengunduh game baru, tapi hanya memainkannya selama sekitar 20 detik. Setelah itu, saya akan membuka Steam, yang menampilkan daftar game yang sudah dikurasi sesuai preferensi saya,” cerita Ahmad. Namun, pada akhirnya, dia justru memainkan Call of Duty. Alasannya karena dia tidak menemukan game dari indie developer yang menarik perhatiannya.

“Jadi, apa yang harus developer lakukan untuk mengatasi masalah itu? Mereka harus membangun reputasi,” ujar Ahmad. “Membangun reputasi menjadi salah satu keharusan bagi developer. Sekarang, punya reputasi yang baik sama pentingnya — atau justru lebih penting — dari membuat game yang berkualitas.” Dia menambahkan, tanpa reputasi dan tanpa komunitas, developer harus bisa membuat game yang benar-benar stand out di mata gamers.

“Padahal, sekarang, semua game terlihat sangat bagus. Karena, semua developer bisa mengakses berbagai tool hebat. Selain itu, ada banyak cara untuk meluncurkan game Anda, ada begitu banyak platform yang bisa Anda pilih,” kata Ahmad. “Jika Anda tidak berusaha untuk membangun reputasi Anda, jika Anda tidak mendekatkan diri dengan komunitas Anda, menunjukkan visi dan misi Anda di hadapan audiens Anda, Anda akan mengalami masalah.”

Blizzard dikenal dengan berbagai game mereka yang populer. | Sumber: Twitter

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Di industri game, perusahaan besar sekalipun bisa terkena skandal. Contohnya, Blizzard. Pada akhir Juli 2021, Blizzard dituntut oleh Departemen Ketenagakerjaan California karena mereka dianggap membiarkan budaya diskriminasi dan pelecehan seksual terjadi di perusahaan. Begitu skandal ini menyebar di media, Blizzard mendapatkan reaksi negatif dari berbagai pihak, mulai dari karyawan, mantan karyawan, pemain, sampai sponsor dari liga esports yang mereka adakan.

Menanggapi kasus ini, karyawan Blizzard mengadakan aksi mogok. Selain itu, mereka juga membentuk koalisi pekerja bernama “Aliansi Pekerja ABK”. Sementara itu, beberapa sponsor dari Overwatch League memutuskan untuk mundur. Salah satu sponsor yang mengundurkan diri adalah T-Mobile, perusahaan telekomunikasi raksasa asal AS. Tak hanya itu, Kellog — perusahaan yang membawah merek Cheez-It dan Pringles — juga tidak lagi menjadi sponsor dari OWL. Sementara Coca-Cola dan State Farm mengungkap bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali status mereka sebagai sponsor OWL.

Jumlah pemain aktif bulanan (MAU) Blizzard dari kuartal ke kuartal. | Sumber: Statista

Skandal Blizzard ini juga memengaruhi jumlah pemain game-game mereka. Pada Q2 2021, jumlah pemain aktif bulanan Blizzard hanya mencapai 26 juta orang, turun dari 46 juta orang pada Q2 2017. Menurut laporan GameRant, tren penurunan jumlah pemain Blizzard memang sebenarnya sudah terjadi sebelum muncul skandal akan diskriminasi dan pelecehan seksual, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas. Alasan para pemain Blizzard berhenti bermain beragam. Sebagian memutuskan untuk berhenti bermain karena mereka kecewa dengan game dari Blizzard. Sementara sebagian yang lain berhenti bermain karena Blizzard dianggap tidak memberikan dukungan yang memadai untuk game yang mereka mainkan, seperti pada Overwatch.

Walau jumlah pemain Blizzard cenderung turun, pemasukan perusahaan tetap menembus US$1 miliar. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pemasukan Blizzard pada 2018 naik menjadi US$2,3 miliar dari US$2,1 miliar pada 2017. Memang, pendapatan mereka sempat turun drastis ke US$1,7 miliar pada 2019. Namun, angka itu kembali naik ke US$1,9 miliar pada 2020.

Pemasukan Blizzard dari 2007 sampai 2020. | Sumber: Statista

Ramainya pemberitaan tentang budaya diskriminasi dan pelecehan seksual di Blizzard juga sempat membuat nilai saham perusahaan itu turun. Nilai saham Blizzard turun menjadi US$84,05 pada 27 Juli 2021 dari US$91,5 pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, pada 11 Agustus 2021, saham Blizzard sudah kembali naik, menjadi US$85 per lembar. Dan sayangnya, dampak skandal ini pada pemasukan Blizzard masih belum bisa dilihat. Jadi, belum diketahui apakah tuntutan yang diajukan pada Blizzard akan mendorong perusahaan itu untuk berubah atau mereka akan membiarkan budaya perusahaan yang tidak sehat terus berlanjut.

Blizzard bukan perusahaan game pertama yang terkena skandal. Sebelum ini, Riot Games dan Ubisoft pun pernah mendapatkan pemberitaan negatif karena budaya perusahaan yang kurang baik. Keduanya memang melakukan sejumlah perubahan. Meskipun begitu, sampai saat ini, dua perusahaan itu masih tetap menjalankan bisnis.

Pentingnya Reputasi Merek di Indonesia

Indofood Group adalah salah satu perusahaan asal Indonesia yang sukses bahkan hingga ke pasar internasional. Sebagai perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG), Indofood punya beberapa merek, seperti Indomie, Indomilk, Sarimi, Bimoli, dan Indofood. Dari semua merek tersebut, Indomie merupakan merek dengan nilai paling tinggi, mencapai US$440 juta. Sementara merek terpopuler kedua adalah Indomilk, yang bernilai US$335 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat gambar di bawah.

 

Nilai merek di bawah Indofood Group. | Sumber: SWA

Perhitungan nilai merek di atas dilakukan oleh SWA Brand Finance. SWA menjelaskan, ada beberapa faktor yang mereka jadikan tolok ukur untuk menghitung nilai dari masing-masing merek di bawah Indofood Group. Faktor pertama adalah Brand Strength, yang melibatkan kinjera keuangan perusahaan, sustainability, dan hubungan emosional brand dengan konsumen. Faktor-faktor lainnya adalah Royalty Range, Royalty Rate, pemasukan dari brand, proyeksi pendapatan dari merek, biaya royalti, dan proyeksi royalti.

Lalu, seberapa penting reputasi brand untuk organisasi esports? Andrian Pauline, CEO RRQ menyebutkan, reputasi itu sangat penting bagi organisasi esports. Tidak heran, mengingat sebagian besar pemasukan organisasi esports datang dari sponsorship. Dan seperti yang terlihat dari kasus Blizzard, sponsor akan mundur begitu pihak yang mereka sponsori terlibat skandal.

Untuk menentukan baik atau buruknya reputasi RRQ, AP menceritakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur. Salah satunya adalah perbandingan antara jumlah pemberitaan positif dengan pemberitaan negatif. Untuk meminimalisir pemberitaan negatif, AP mengungkap, pihak RRQ biasanya memang tidak mau berbicara tentang topik-topik tertentu. Dan ketika memberikan jawaban, mereka cenderung memberikan jawaban normatif.

“Kita semua di RRQ setuju bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa di-share ke media. Mengumbar hal-hal jelek demi konten, it’s just not us,” ujar AP ketika dihubungi melalui telepon. Selain pemberitaan media, hal lain yang menjadi tolok ukur reputasi RRQ adalah penghargaan yang mereka menangkan. AP menjelaskan, penghargaan yang dia maksud di sini bukanlah kompetisi esports yang RRQ menangkan, tapi penghargaan yang didasarkan pada pemungutan suara penonton atau metode lainnya.

Salah satu “penghargaan” yang RRQ pernah menangkan adalah gelar sebagai tim Mobile Legends paling populer di Asia Tenggara. Hal lain yang juga bisa menunjukkan baik-buruknya reputasi organisasi esports adalah brand yang menjadi rekan mereka. “Kalau kita mengadakan kolaborasi, tidak mungkin dengan brand atau perusahaan yang reputasinya kurang baik,” kata AP.

Tim Mobile Legends terpopuler di Asia Tenggara. | Sumber: Esports Charts

AP mengaku bersyukur karena semua orang di bawah RRQ — baik atlet esports maupun pihak manajemen — sepakat bahwa reputasi organisasi adalah sesuatu yang harus dijaga bersama. Dia menambahkan, bahkan setelah seseorang keluar dari RRQ, dia biasanya tidak akan membocorkan masalah internal organisasi ke pihak lain. “RRQ itu paling menjaga hal-hal yang bersifat internal. Segala sesuatu yang berhubungan dengan nama baik organisasi, kita coba selesaikan secara internal,” ujar AP. “Bukan berarti kita lebih bersih dari organisasi esports lain. Hanya saja, kita coba menyelesaikan masalah yang bisa diselesaikan secara internal.” Harapannya, pemberitaan buruk terkait masalah internal RRQ bisa diminimalisir.

Namun, RRQ bukanlah organisasi esports kecil. Mereka membawahi lebih dari 40 atlet esports. Tentunya, mereka juga mempekerjakan sejumlah orang untuk mengisi posisi manajemen. Sebagai CEO, mengawasi semua orang yang bekerja untuk RRQ memang mustahil. AP menyadari hal itu. Tapi, dia tetap percaya, semua orang di bawah RRQ mau menjaga nama baik organisasi. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena budaya perusahaan di RRQ.

“Saya beruntung punya kolega kerja, pemain, manajer, dan pelatih yang memang tahu peraturan di RRQ,” ujar AP. “Yang saya lihat, mereka bukannya takut pada RRQ sebagai organisasi atau fans kami, tapi karena kebiasaan perusahaan, mulai dari hal-hal kecil, yang akhirnya membentuk individu yang bisa mengikuti peraturan. Kami juga memberikan contoh dari atas ke bawah. Mulai dari dulu, waktu kita hanya 4-5 orang saja, akhirnya sampai sebesar sekarang. Sampai saat ini, tidak ada yang menceritakan aib hanya demi buat konten seru-seruan. Sebisa mungkin kita bereskan secara internal.”

Organisasi esports bukan satu-satunya elemen dalam ekosistem esports. Ada berbagai entitas lain yang juga punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports, mulai dari publisher sampai penyelenggara turnamen.  Sayangnya, walau organisasi esports bisa menjaga nama baik mereka, terkadang, pihak lain dari ekosistem esports yang justru terkena skandal. Bisa jadi, yang tersangkut kasus justru sang publisher, seperti yang terjadi pada Blizzard. Ketika ditanya apa yang RRQ lakukan ketika publisher terkena masalah, AP menjawab bahwa RRQ akan mengambil sikap pragmatis.

Mobile Legends adalah salah satu game esports yang tumbuh pesat di Indonesia.

“Contoh, Moonton terkena kasus di Tiongkok, dituntut oleh Tencent. Di Indonesia, apa impact-nya? Apakah orang-orang yang main bakal masuk penjara? Apa EO yang membuat event untuk Moonton bakal dituntut oleh pengacara dari Tiongkok? Jika tidak ada, ya kita tidak usah ikut campur. Masalah itu akan menjadi masalah antara tim legal Moonton dan Tencent di Tiongkok,” jelas AP panjang lebar.

AP menyebutkan, RRQ juga tetap akan berusaha untuk menyuarakan kepentingan komunitas esports. Namun, mereka juga sadar bahwa pada akhirnya, RRQ hanyalah organisasi esports. “Mau sebanyak apapun fans Persija, mereka cuma klub sepak bola. Masih ada otoritas yang lebih tinggi dari mereka,” kata AP, memberikan analogi. Dan di ekosistem esports, publisher merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. “Kita tidak bisa pungkiri, ekosistem esports muncul berkat publisher. Dan tim esports, fans, EO, dan media merupakan bagian penting dari ekosistem esports. Kita tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” ujarnya. Satu hal yang pasti, AP menekankan, RRQ akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam sebuah ekosistem esports.

Bagi orang-orang yang ingin menjadi atlet esports, AP memberikan sejumlah saran tentang cara menjaga reputasi dan mengembangkan karir. Salah satunya adalah fokus pada latihan. Menurutnya, saat ini, kebanyakan orang ingin menjadi pemain esports demi popularitas. Memang, biasanya, setelah pensiun, pemain esports akan menjadi streamer. Namun, dia menyebutkan, fokus utama dari pemain esports tetaplah memberikan performa yang baik dan membawa tim ke kemenangan.

“Atlet esports seharusnya bukan ingin bisa populer. Seharusnya, dia memasang target agar bisa jago dan membawa tim menang,” ungkap AP. Dia menyebutkan, ketika seseorang memberikan performa yang baik dan membawa timnya juara, popularitas akan datang dengan sendirinya.

Saran kedua dari AP adalah untuk tidak terlalu menyibukkan diri dengan membuat banyak konten. Alasannya, ketika seorang atlet esports justru fokus untuk membuat konten, maka dia tidak bisa berlatih dengan maksimal. Dan pada akhirnya, hal ini justru bisa menghambat karir sang atlet itu sendiri. “Peluang di esports itu kan sedikit dan tidak lama. Kalau dapat kesempatan, sebaiknya Anda berlatih keras. Dan juga bersosialisasi, perbanyak teman,” ujarnya. “Membangun chemistry dengan teman satu tim itu juga penting, tidak sekadar push rank.”

Bagi atlet esports, kemampuan untuk bisa membawa diri juga menjadi penting karena kebanyakan game esports dimainkan bersama-sama dengan tim dan tidak perseorangan. AP mengatakan, tidak peduli seberapa jago seorang atlet, jika dia tidak bisa rukun dengan teman satu timnya serta pelatihanya, karirnya tidak akan bertahan lama.

Sementara saran yang AP berikan untuk pemilik organisasi esports adalah untuk mencintai esports. “Temukan passion-nya,” ujarnya. “Kalau orientasinya lagi-lagi uang, jangan deh. Dia harus fall in love with esports. Bukan berarti dia harus main 12 jam sehari juga. Tapi, dia harus punya antusiasme akan esports. Kalau dia sendiri nggak enjoy, begitu pemain ada yang ngambek, ya jadi capek sendiri.” Dia juga menyebutkan, membangun tim esports bukan sesuatu yang instan. “Di dua tahun pertama pasti bleeding, entah waktu, tenaga, atau uang.”

Penutup

Seiring dengan bertambahnya jumlah penonton esports, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor dari pelaku esports. Bahkan merek non-endemik sekalipun mulai menjajaki dunia esports dalam beberapa tahun belakangan. Sebagian dari mereka bahkan membeli naming rights dari organisasi esports.

Ketika sebuah brand menjadi sponsor dari pelaku esports, maka mau tidak mau, reputasi dan image dari brand juga akan melekat pada pihak yang disponsori. Karena itu, perusahaan biasanya memilih pihak yang mereka sponsori dengan hati-hati. Dan jika pihak yang disponsori tersandung skandal, pihak sponsor biasanya tidak ragu untuk membatalkan kontrak sponsorship mereka. Mengingat sebagian besar pemasukan industri esports masih berasal dari sponsorship, maka semua pelaku industri esports — mulai dari atlet, organisasi esports, penyelenggara turnamen, sampai publisher — harus dapat menjaga reputasi mereka.

Applications of Gaming in Other Fields: Military, Health, and Education

The general perspective on gaming from society is quite polarizing. On the one hand, the US military sees the potential that gaming can bring and uses it as a tool to train their troops. On the other hand, the World Health Organization recognizes something called gaming disorder, despite the fact that gaming has been used to treat mental disorders. Many parents also often complained that games are the culprit behind their children’s laziness. However, games have been used as a learning tool in many modern education systems and classes.

Along with the skyrocketing popularity of games, more and more parties are interested in using gaming and its innovations in other fields, ranging from education, health, and the military.

MILITARY

Believe it or not, the US military has actually been sponsoring game developers for a very long time. For more than two decades, from the 1960s to the 1990s, the US military is highly active in funding technological developments in the gaming industry. In fact, the creation of Spacewar! — which is considered to be the first-ever game — was made possible thanks to funding from the Pentagon. Both parties are clearly benefiting from this relationship. From the game developer’s standpoint, they now have a larger financial resource to work with. As for the military, they will hopefully get a quality training simulation, as mentioned by The Atlantic.

Generally speaking, the military uses gaming for three main purposes: recruiting new soldiers, training existing troops, and dealing with post-traumatic stress disorder (PTSD) experienced by veterans. America’s Army is an example of a game created to recruit young people into the military. This FPS game was created and released by the US Army in 2002 and can be played for free by anyone. In 2008, Richard Beckett — Chief of Advertising and Public Affairs in the US Army — said that America’s Army was used in various social activities, including LAN parties, which were part of US Army’s “Future Soldier Sustainment” program.

The US Navy utilizes Twitch in its recruitment process. | Source: Military

“Events like LAN parties are useful because we want the recruits to see the recruiters as regular folks, like themselves… and to help future soldiers to stay the course,” Beckett told Ars Technica. He explained that these social activities also act to keep the new military recruits to stay in the Boot Camp since they need to wait up to six months before being assigned. Social activities also create a sense of inclusion and welcome to the enlistees.

Along with the increasing popularity of game content broadcasts, the US military is also interested in exploring game streaming platforms. Currently, both the US Army and Navy have Twitch channels. The military’s goal in creating a channel on Twitch is not to treat it as some form of recruitment program. Instead, they want to use streaming as a means to increase exposure and engage with the audience, especially the younger demography. However, the existence of a Twitch channel from the US Army or Navy does spark several backlashes. For instance, many Twitch viewers seize this opportunity to ask about sensitive topics such as Eddie Gallagher or various accused war crimes committed by US soldiers.

Other than recruiting new soldiers, the US military also uses gaming to train their troops. Some games have been specifically made as a military training tool with specific functionalities. For example, the game DARWARS Ambush was created to teach infantry tactics, convoy operations, and the Rules of Engagement. According to a GamesIndustry report, by the end of 2008, more than three thousand copies of DARWARS Ambush had been distributed to the Army, Air Force, Navy, Coast Guard, and Marines.

UrbanSim and Tactical Iraqi are two other examples of games that have been utilized for military training. Both of these games focus on teaching foreign language skills and fighting rebels. War simulators such as Virtual Battlespace 2 allow military commanders to simulate scenarios that may potentially occur on the battlefield, such as ambushes, Improvised Explosive Device (IED) explosions, and medical evacuation.

DARWARS Ambus, a video game that simulates military training. | Source: Stripes

Lastly, the military uses gaming to overcome psychological traumas experienced by veterans, such as PTSD. In the journal titled Virtual Reality Exposure Therapy for Combat-Related PTSD, the Institute of Medicine states that Cognitive Behavioral Therapy (CBT) with exposure therapy is the only type of remedy recommended for treating PTSD.

In exposure therapy, patients with PTSD will usually be asked to recall and re-exposing themselves to their traumatic experiences. Unfortunately, one of the symptoms of PTSD is the reluctance or inability to remember the traumatic event that caused the PTSD itself. This is where VR simulators come in. VR is perfect for exposure therapy since it can be utilized to recreate the source of the trauma. Thus, the existence of simulations such as Virtual Afghanistan has helped veterans overcome their trauma.

However, the US military’s decision to be active in the gaming industry also had its downsides. One of the most controversial military games that has been released is Full Spectrum Warrior. The game, launched in 2003, is available in two versions: a commercial version and a military-specific version, which can be accessed with a special code. Although the game won awards in the Best Original Game and Best Simulation Game categories at E3 2003, the US military eventually did not utilize it for training, deeming it to be too unrealistic. In addition, the cost incurred by the US Army to get and develop the game was also incredibly massive.

HEALTH

Of course, military veterans aren’t the only ones experiencing PTSD. Normal people like us also can also be affected by this mental disorder. Therefore, the existence of VR Exposure Therapy (VRET) not only benefits the military but also the healthcare industry as well. In addition to PTSD, VRET can also be used to treat other mental disorders, such as phobias or anxiety disorders. Similar to how the military uses VRET, patients with these disorders will be exposed to the source of their trauma or fear with the help of VR simulations. Since the virtual world can be carefully controlled (and is obviously not real), the patient’s therapy is ensured to be safe.

VR Exposure Therapy can be used to treat phobias. | Source: Digital Bodies

The use of games in the healthcare industry is not limited to the department of psychology. Games, especially VR, can also be used by health workers to hone their skills or learn new procedures, which should decrease the chance of human error when performing in real medical situations. According to a journal titled Gaming science innovations to integrate health systems science into medical education and practice, Health workers can use VR for many different purposes, such as learning to perform endoscopy or creating a simulation of an operating room.

Interestingly, mobile games can also help prospective doctors to learn new skills. The iPad game called PAtient Safety in Surgical Education (PASSED) can display various cases from the archive of sentinel (or unexpected) events and serious reportable events in the hospital. Medical students can use this game to gain knowledge or increase their awareness regarding patient safety.

Everyone knows that prevention is better than cure. Games, fortunately, can also improve the healthy lifestyle of many people in our society. For instance, Pokemon Go is one of the few games that incentivizes people to go out of their homes and walk. Nintendo’s WiiFit, which utilizes the Wii Balance Board, promotes exercise to its users. In addition to encouraging players to be more active in sports, these types of games can also be used to measure one’s physical abilities. As mentioned in the article called Innovation in Games: Better Health and Healthcare, health workers can, in turn, use this technology to see a patient’s physical progress, especially in patients affected by diseases that degrade motoric functions such as Parkinson’s.

Wii Fit encourages players to engage in physical activity. | Source: Ichi Pro

Games, of course, promote the element of a challenge, which is also perfect for curing or overcoming addictions. One example of a game created to help players quit smoking is My Stop Smoking Coach, released in 2008. The game can run on several platforms, including iPhone and Nintendo DS. Escape from Diab from Archimage Inc., released in 2006, is another example of a game that promotes a healthy lifestyle. This game focuses specifically on preventing obesity and type 2 diabetes.

EDUCATION

Games are often blamed as the culprit behind students’ reluctance to learn. Funnily enough, studies that investigate the use of gaming as a learning tool have been around since the 1980s. At that time, the researchers observed that various commercial games — especially games in the strategy, simulation, or RPG genres — had used learning theory to encourage players to study the elements of the game itself.

Of course, using gaming in education does not mean that all the topics in the curriculum must be “packaged” in games. According to a study titled Gaming in Education: Using Games as a Support Tool to Teach History, there are many benefits that games can bring to teaching and learning activities. Firstly, games can encourage or incentivize students to participate in the class and directly apply what they have learned. Secondly, games can also help students recall the topics or points taught in the class. Games can also improve computer and visual literacy. Furthermore, the competitive nature of games can also push students to think creatively when solving problems. Lastly, games can teach various important soft skills, ranging from critical thinking, interacting and collaborating with friends, and even sportsmanship.

Video games can improve students’ soft skills. | Source: Spiel Times

The journal titled Digital Games in Education: The Design of Games-Based Learning Environments discusses how games can motivate students and increase their focus. Indeed, games do, in some way, have some elements that teach players to fully focus on in-game tasks. These elements include clear goals, good feedback — both direct and indirect, and a fine balance between challenge difficulty and player’s skills. Apart from keeping students focused, all of these elements can also help students to be more interactive in class, which improves their educational achievements.

TECHNOLOGY

The controller is the primary input device for most consoles in existence. As the console changes, the controller inevitably also evolves. Despite the vast popularity of controllers, countless game companies continue to invent and experiment with new input mechanisms. In 2006, Nintendo launched the Wii Remote or Wiimote at the same time as the Nintendo Wii. One of the primary features of the device is scanning the movement of the user’s hand. Three years later, Nintendo launched the successor to the Wii Remote, the Wii MotionPlus, which can detect even more complex motions. Microsoft also launched the Kinect in 2010. Equipped with various motion sensors such as an RGB camera, infrared projector, and detector, Kinect can detect the motion of the user’s whole body.

Motion sensing technology has also been used in fields outside of gaming. In mobile applications, for instance, the gyroscope in a smartphone can be utilized to detect movements. One company that is interested in using motion-sensing technology is Limix. This Italian company invented and produces wearables called Talking Hands. This device can translate sign language in voice using a smartphone or Bluetooth speaker, as mentioned by HeadStuff. The existence of Talking Hands shows how motion-sensing technology can be used to help the disabled.

Games are also frequently the driving factors for today’s hardware development. Most games today and even in the future will require high-performance hardware. Due to the insatiable demands of gamers to increase the power of computing, hardware manufacturers inevitably have to fulfill these demands and create faster and more powerful technology. These high-performance hardware can also be utilized for other activities that require significant computing power, such as cryptocurrency mining.

GAMIFICATION

We have seen how the elements of gaming can be applied in four different industries. In reality, however, many in-game aspects are also applicable or translatable in non-gaming environments. Staple gaming elements like point systems, badges, the use of avatars, leaderboards, performance graphs, and teamwork. As a result, the term gamification emerged. If you are interested in seeing how gamification is put into practice in non-gaming fields, you can read more about it here.

The journal titled How gamification motivates: An experimental study of the effects of specific game design elements on psychological need satisfaction discusses how gamification can increase motivation based on self-determination theory.

According to self-determination theory, people are motivated to grow and change by three innate psychological needs: competence, autonomy, social connectedness or relatedness. Competence will be met when a person fully masters or feels proficient in a particular skill. The element of gaming that is suited for achieving competence is the awarding of points and badges. Leaderboards and performance graphs can also aid in this matter. In games, points serve as direct feedback or reward. If a player earns points after successfully performing an activity, the player will be motivated to continue doing the task in order to increase his or her points.

Many elements of gaming can be applied outside the scope of games. | Source: Deposit Photos

On the other hand, performance graphs can show a person’s progress or achievements after a certain period of time. For example, on the Duolingo app, each week, you’ll get a graphical report of how much time you’ve spent studying on the app over the last seven days. From that graph, you can clearly check if you are progressing at a rate that you want. Both badges and leaderboards can be used as an assessment of a person’s overall performance. Badges in games are usually given to players after they achieved a unique target or task. Leaderboards function to compare the performances between players. Ultimately, points, badges, leaderboards, and performance charts are useful visualizations of a person’s proficiency or mastery, which also create the drive for them to continue to improve.

The second psychological need that must be met in the self-determination theory is autonomy, which suggests that people need to be in control of their behavior and goals when conducting an activity. The need for autonomy consists of two aspects: freedom in decision-making and satisfaction with completing meaningful tasks. The use of avatars can be a way to fulfill the first aspect. Choosing an avatar — which represents the player and their personality — makes players feel that they have control over the decisions they make. The second aspect can be fulfilled with narration or stories. Stories are the essence of many games today. More often than not, tasks or missions in games mostly repeat the same formula. Go to A and complete a set of objectives, then go to B to complete a different set of objectives, and the process is repeated. After a few iterations of these, players can easily get bored. However, the presence of a story makes each mission unique and creates a different sense of accomplishment when a player successfully completes it.

The last component in self-determination theory is social connectedness, which is fulfilled when a person establishes some sense of belonging or attachment to a particular group. Games create a feeling of connectedness by frequently incorporating multiplayer elements. Players, therefore, have to work together with the group to achieve the goal. Single-player games can also achieve this by using NPCs as virtual entities. 

Conclusion

Today, there is still an assumption that games are nothing more than a mere child’s entertainment. Interestingly, however, the gaming industry is currently bigger than the film and music industry. Our society also often argues that games impose many negative impacts. Contrary to their beliefs, many gaming concepts and elements have been utilized in various non-gaming fields. Even though gaming generally serves as a medium of entertainment, they also have other aspects that make them incredibly beneficial to us. Fortunately for many people in the pandemic, games were also the only thing that kept them happy, sane, and connected with their friends or family. 

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Apa itu Metaverse: Definisi, Relevansi, dan Potensinya?

Beberapa tahun belakangan, metaverse tengah menjadi pembicaraan hangat. Microsoft sedang bereksperimen untuk membuat enterprise metaverse, sementara Facebook baru saja membuat grup metaverse di divisi Reality Labs mereka. Ketika mendapatkan investasi sebesar US$1 miliar pada April 2021, Epic Games mengungkap bahwa mereka akan menggunakan dana itu untuk merealisasikan visi mereka untuk membuat metaverse.

Pertanyaannya…

Apa Definisi Metaverse?

Istilah metaverse pertama kali digunakan dalam Snow Crash, novel ber-genre cyberpunk yang diterbitkan pada 1992. Dalam novel tersebut, metaverse digambarkan sebagai dunia virtual yang bisa dikunjungi oleh orang-orang melalui perangkat VR. Namun, Snow Crash tidak menggambarkan metaverse sebagai utopia sempurna yang membuat semua orang yang masuk ke dalamnya menjadi bahagia. Sebaliknya, metaverse menciptakan masalah tersendiri, mulai dari kecanduan teknologi, diskriminasi, kekerasan, dan harassment. Sebagian dari masalah itu bahkan sampai terbawa ke dunia nyata.

Saat ini, ada banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan metaverse, mulai dari perusahaan game seperti Epic Games dan Tencent, sampai perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Facebook. Begitu banyaknya perusahaan yang tertarik dengan metaverse sehingga definisi dari metaverse itu sendiri pun masih belum seragam. Masing-masing perusahaan seolah-olah punya konsep akan metaverse yang ideal. Berikut beberapa definisi metaverse dari sejumlah tokoh dan perusahaan ternama.

Facebook baru saja membuat divisi metaverse. | Sumber: CNET

“Anda bisa membayangkan metaverse sebagai perwujudan internet yang bisa Anda masuki. Jadi, Anda tidak lagi sekadar melihat apa yang ada di internet,” kata CEO dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, seperti dikutip dari CNN. Sementara itu, Roblox mengartikan metaverse sebagai ruang virtual 3D dalam semesta virtual yang bisa diakses oleh banyak orang secara bersamaan.

Menurut Tim Sweeney, CEO dan pendiri Epic Games, metaverse adalah media sosial 3D yang bisa diakses secara realtime. Dengan menggunakan media itu, orang-orang akan bisa membuat konten di dunia virtual dan saling berbagi konten tersebut. Para pemain juga akan punya kesempatan yang sama untuk mengubah keadaaan sosioekonomi di dunia virtual tersebut.

Sementara itu, Peter Warman, CEO Newzoo menganggap metaverse sebagai tempat yang memungkinkan orang-orang untuk menjadi penggemar, pemain, dan kreator secara bersamaan. Menurutnya, hal ini akan memaksimalkan engagement, yang juga akan mendorong potensi bisnis.

Jesse Alton, bos dari Open Metaverse, grup yang membuat standar open source untuk metaverse menjelaskan bahwa idealnya, metaverse tidak tergantung pada satu teknologi milik satu perusahaan, tapi terdiri dari berbagai teknologi buatan banyak perusahaan yang saling terhubung dengan satu sama lain.

Apa saja teknologi yang terlibat dalam pengembangan metaverse? Newzoo membagi ekosistem metaverse ke dalam beberapa kategori. Pertama adalah metaverse gateways, yang merupakan pintu bagi konsumen untuk masuk ke metaverse. Newzoo kembali membagi segmen ini menjadi dua kelompok, yaitu centralized atau terpusat dan decentralized atau tersebar.

Dua bagian dari segmen metaverse gateways. | Sumber: Newzoo

Contoh perusahaan yang menyediakan centralized gateways adalah Fortnite, Minecraft, Animal Crossing, Grand Theft Auto Online, Roblox, VRChat, dan lain sebagainya. Sementara contoh platform decentralized gateways adalah The Sandbox, Decentraland, Somnium Space dan lain-lain. Avatar & identitas menjadi bagian lain dari metaverse. Sesuai namanya, perusahaan yang bergerak di bidang ini biasanya akan menawarkan jasa untuk membuat avatar atau identitas di dunia virtual. Contoh perusahaan yang bergerak di bidang ini adalah Avatar SDK, The Fabricant, Tafi, dan lain-lain.

Selain gateways dan avatar & identitas, elemen ketiga dari metaverse adalah user interface & immersion. Ada banyak perusahaan game dan teknologi yang masuk dalam kategori ini, seperti Samsung, Apple, HP, HTC, Microsoft HoloLens, Xbox, PlayStation, dan Nintendo Switch. Elemen berikutnya dari metaverse adalah perekonomian. Perusahaan yang masuk dalam kategori ini bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pembayaran (seperti PayPal dan WeChat Pay) serta transaksi jual-beli, (seperti OpenSea, DMarket, dan Elixir). Dalam kategori ini, Anda juga akan menemukan perusahaan crypto wallet seperti Metamask dan Fortmatic, serta perusahaan yang bergerak di bidang NFT, seperti Forte, Ultra, dan Maddie’s.

Elemen sosial juga punya peran penting dalam metaverse. Karena itu, perusahaan-perusahaan media sosial seperti Facebook, LINE, Discord, TikTok, dan lain-lain, merupakan bagian dari ekosistem metaverse. Perusahaan-perusahaan yang membuat game play-to-earn atau play-to-collect, seperti DeltaTime, dan Exceedme juga punya peran tersendiri dalam pengembangan metaverse.

Sejumlah perusahaan yang menjadi bagian dari ekosisstem metaverse. | Sumber: Newzoo

Agar metaverse berjalan dengan baik, diperlukan infrastruktur yang mumpuni. Infrastruktur dari metaverse juga disokong oleh banyak perusahaan dari berbagai segmen, mulai dari segmen cloud dan hosting, visualization & digital twin, decentralized infra, artificial intelligence, sampai adtech & marketing.

Menilik sejarah, sebenarnya metaverse sudah pernah menjadi topik pembicaraan lebih dari 10 tahun lalu. Metaverse Roadmap Summit pertama digelar pada Mei 2006. Satu tahun kemudian, pada 2007, organisasi nirlaba Accelerating Studies Foundation (ASF) merilis studi tentang metaverse. Studi tersebut membahas tentang masa depan metaverse menurut prediksi para akademisi, perusahaan game, para teknisi geospatial, dan media yang ikut serta dalam Metaverse Roadmap Summit. Berdasarkan laporan tersebut, secara garis besar, ada empat skenario yang mungkin terjadi, yaitu augmented reality, lifelogging, virtual worlds, dan mirror worlds.

Saat itu, augmented reality diartikan sebagai teknologi imersif yang bisa melacak posisi pengguna secara otomatis. Sejatinya, teknologi itu berfungsi untuk membantu pengguna mendapatkan informasi tentang suatu tempat atau suatu benda secara instan. Sementara lifelogging disebutkan sebagai penggunaan teknologi AR yang fokus pada sisi komunikasi, memori, dan observasi dari pengguna. Dengan kata lain, teknologi lifelogging, sesuai namanya, memungkinkan pengguna untuk merekam segala sesuatu yang terjadi secara 3D.

Kamera untuk lifelogging. | Sumber: Wikipedia

Sementara itu, virtual world merupakan sistem untuk mengadopsi elemen sosial dan ekonomi masyarakat di dunia nyata ke dunia virtual. Dan mirror worlds adalah teknologi yang akan menampilkan gambar dari Bumi — seperti Google Earth — tapi dilengkapi dengan informasi mendetail terkait tempat-tempat yang ditampilkan. Para ahli memperkirakan, semua ini akan terjadi dalam waktu 10 tahun, yaitu pada 2016. Namun, seperti yang Anda ketahui, hal itu tidak terjadi.

Sekarang, metaverse kembali menjadi tren. Menurut Alton, kali ini, metaverse akhirnya akan bisa direalisasikan. Karena, teknologi yang dibutuhkan untuk membuat metaverse sudah tersedia, seperti prosesor perangkat mobile dan konsol game yang mumpuni, infrastruktur internet yang memadai, dan keberadaan headset VR serta cryptocurrency. Dan yang paling penting, dalam dua tahun terakhir, masyarakat semakin terbiasa untuk hidup di dunia online karena pandemi.

Relevansi Metaverse dengan Industri Game dan Keuntungan dari Metaverse

Industri game banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. Tidak hanya muncul genre dan model bisnis baru, cara gamers menikmati game pun mulai melebar. Para gamers memang masih senang untuk bermain game. Namun, mereka juga senang menonton orang lain bermain game. Hal inilah yang mendorong munculnya industri streaming game dan esports. Metaverse dianggap sebagai bagian dari evolusi industri game. Di masa depan, game tak lagi menjadi sebuah layanan, tapi sebuah platform. Artinya, game tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk bermain, tapi juga untuk berkumpul bersama dengan teman atau melakukan kegiatan non-gaming lainnya.

Sekarang, sebagian kreator game telah mengintegrasikan sejumlah kegiatan non-gaming di game mereka. Salah satunya adalah Epic Games, yang pernah menggelar konser virtual di Fortnite. Sementara itu, Balenciaga, merek luxury fashion asal Prancsi, menggelar fashion show di Afterworld: The Age of Tomorrow. Ke depan, diduga akan ada semakin banyak kreator game yang memasukkan elemen non-gaming ke game mereka. Hal ini akan menguntungkan para kreator game. Karena, elemen non-gaming bisa menarik non-gamers untuk mencoba game mereka. Para gamers juga kemungkinan tidak akan keberatan dengan adanya elemen non-gaming di sebuah game. Pasalnya, saat ini pun, banyak gamers yang menggunakan game sebagai tempat untuk bersosialisasi.

Selain keberadaan elemen non-gaming, keberadaan metaverse juga akan memengaruhi game dalam hal lain. Misalnya, dari segi jumlah pemain. Menurut Newzoo, ketika tren metaverse terealisasi, jumlah pemain dalam game di satu waktu bisa mencapai lebih dari 10 ribu orang. Sementara dari segi konten, komunitas akan punya peran lebih besar dalam menyediakan konten dalam game. Karena, metaverse akan mendukung konten buatan pemain/pengguna, seperti yang terlihat di Roblox.

Metaverse juga akan mendorong munculnya model bisnis baru. Karena metaverse game bisa mendorong kegiatan non-gaming di dalam game, perusahaan game akan bisa memonetisasi hal itu. Misalnya, dengan menjual tiket untuk konser digital atau kegiatan non-gaming lainnya. Sekarang, juga mulai banyak perusahaan yang membuat game dengan model play-to-earn, memungkinkan pemain untuk menukar reward yang didapat dalam game dengan uang di dunia nyata. Keberadaan metaverse game juga akan membuka peluang bagi native ads. Karena keberadaan iklan tradisional yang mengganggu akan sulit untuk diterapkan di dunia virtual.

Tak hanya game, keberadaan metaverse juga akan mendorong pertumbuhan sejumlah industri lain, seperti live streaming, cloud, dan VR/AR. Selain itu, keberadaan metaverse juga bisa mempercepat perkembangan teknologi di bidang hardware, infrastruktur jaringan, visualisasi, dan juga AI.

Bagi perusahaan, keberadaan metaverse memberikan keuntungan yang jelas, yaitu membuka ladang bisnis baru. Jadi, tidak heran jika banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan metaverse. Namun, apakah para konsumen juga tertarik dengan metaverse? Untuk menjawab pertanyaan itu, Newzoo melakukan survei pada 5,5 ribu orang di empat negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Tiongkok.

Berdasarkan survei Newzoo, diketahui bahwa para konsumen tertarik dengan konsep metaverse. Saat ini, semua ide terkait metaverse disambut dengan hangat. Namun, tingkat antusiasme para responden di empat negara tidak sama. Jika dibandingkan dengan responden di Inggris dan Jepang, responden di AS dan Tiongkok cenderung lebih terbuka dengan ide metaverse. Umur menjadi faktor lain apakah responden akan mau menerima konsep metaverse. Biasanya, responden muda cenderung lebih terbuka dengan ide metaverse.

Ketertarikan responden untuk menggunakan metaverse pun cukup tinggi. Menariknya, kebanyakan responden lebih tertarik untuk menggunakan metaverse demi melakukan hal-hal sederhana, seperti berkumpul dengan teman dan keluarga, daripada melakukan sesuatu yang fantastis, seperti mengumpulkan banyak orang di dunia virtual untuk mengadakan flash mob.

Berikut data dari Newzoo terkait kegiatan apa yang hendak dilakukan para konsumen di metaverse.

Kegiatan yang ingin dilakukan oleh para responden di metaverse. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat di atas, berkumpul dengan teman menjadi kegiatan yang paling ingin dilakukan oleh para responden di metaverse. Sebanyak 42% responden mengaku sangat tertarik untuk berkumpul dengan teman mereka via metaverse, dan 32% lainnya tertarik melakukan hal tersebut. Sementara kegiatan terpopuler kedua adalah berkumpul bersama keluarga. Selain itu, beberapa kegiatan lain yang ingin dilakukan oleh responden di metaverse adalah menonton TV, mengadakan pesta, atau menghadiri konser.

Masalah yang Mungkin Ditimbulkan oleh Metaverse

Kemajuan teknologi selalu menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia akan memudahkan kehidupan banyak orang. Di sisi lain, ia juga akan memunculkan masalah baru. Metaverse bukanlah pengecualian. Bahkan sebelum metaverse bisa direalisasikan sepenuhnya, sejumlah pakar sudah memperkirakan masalah yang mungkin muncul, seperti perbedaan pengalaman yang dialami oleh para pengguna.

Zuckerberg menyebutkan, kemungkinan, iklan akan menjadi sumber pemasukan metaverse, sama seperti Facebook. Namun, hal ini membuat sejumlah pakar khawatir. Karena, jika metaverse menjadikan iklan sebagai sumber pemasukan utama, hal ini berpotensi untuk menciptakan kesenjangan di kalangan para pengguna. Pengalaman yang didapatkan pengguna akan tidak sama: tergantung apakah mereka sanggup untuk membayar atau tidak. Hal ini sama seperti model bisnis pay-to-win di industri game. Game dengan model bisnis pay-to-win akan memanjakan para sultan, tapi menyulitkan para pemain yang bermain gratis atau mengeluarkan sedikit uang. Dan hal ini menimbulkan sejumlah masalah.

“Saya tidak ingin melihat dunia virtual yang membagi para penggunanya ke dua kelompok: kelompok berbayar yang mendapatkan pengalaman lebih baik dan kelompok pengguna gratis yang dieksploitasi dengan iklan,” kata Avi Bar-Zeev, pendiri badan konsultan AR dan VR, RealityPrime, dikutip dari CNN. Sebelum mendirikan RealityPrime, dia pernah bekerja di Apple, Amazon, serta Microsoft. Dia menambahkan, keberadaan metaverse juga bisa memperparah online harassment. Karena, di metaverse, seseorang bisa menggunakan avatarnya untuk “menyerang” avatar orang lain.

Masalah lain yang mungkin muncul adalah tentang keamanan dan privasi data. Semakin banyak informasi yang kita unggah ke internet, maka semakin besar pula risiko akan kebocoran data pribadi. Metaverse juga bisa memperburuk masalah misinformasi dan radikalisasi yang sudah marak karena internet saat ini. Bar-Zeev menjelaskan, jika kita bisa mengubah persepsi seseorang akan dunia nyata di dunia virtual, maka dia akan mempercayai semua yang kita katakan, tidak peduli apakah omongan kita benar atau tidak. Menurutnya, untuk mencegah hal-hal buruk terjadi di metaverse, semua pelaku yang terlibat dalam pengembangan teknologi tersebut harus bertanggung jawab.

Lightship adalah platform milik Niantic. | Sumber: VentureBeat

John Hanke, CEO dan pendiri dari Niantic menjadi salah satu orang yang memberikan peringatan akan bahaya dari metaverse. Dalam sebuah tulisan panjang, dia menjelaskan bahwa kita seharusnya menghindari konsep metaverse yang diangkat dalam novel Snow Crash. “Sebagai bagian dari masyarakat, kita harusnya berharap, keadaan di dunia nyata tidak menjadi begitu buruk sehingga kita ingin terus menerus melarikan diri ke dunia virtual,” katanya. “Kita bahkan seharunya berjuang demi memastikan masa depan itu tidak menjadi kenyataan.”

Namun, hal itu bukan berarti Niantic tidak tertarik dengan konsep metaverse.  Hanke sadar, meminta masyarakat untuk berhenti menggunakan teknologi sama sekali adalah hal yang mustahil. Pasalnya, teknologi memang memberikan banyak kemudahan dalam hidup, khususnya dalam mengakses informasi dan menjalin komunikasi dengan teman dan keluarga. Karena itu, Hanke mengatakan, dalam mengembangkan metaverse, Niantic memutuskan untuk fokus pada segmen “reality” dari “augmented reality“.

Dengan kata lain, Niantic ingin membuat metaverse yang justru mendorong para penggunanya untuk pergi keluar rumah dan menjalin hubungan dengan orang-orang dan dunia di sekitar kita. Hanke menyebut konsep metaverse Niantic sebagai “real world metaverse“. Dia berkata, “Teknologi seharusnya digunakan untuk membuat kehidupan sehari-hari manusia menjadi lebih baik dan bukannya digunakan untuk menjadi pengganti dunia nyata.”

Lebih lanjut, Hanke menjelaskan, dalam membuat real world metaverse, ada dua hal yang harus Niantic lakukan. Pertama, mensinkronkan kondisi dari ratusan juta pengguna di dunia virtual serta semua benda virtual yang berinteraksi dengan mereka. Kedua, menghubungkan semua pengguna dan benda itu ke dunia nyata, menurut laporan IGN.

Demi merealisasikan visi augmented world tersebut, Niantic akan terus mengembangkan platform Lightship mereka. Sebelum ini, platform tersebut telah digunakan untuk Pokemon Go. Platform itu memungkinkan para pengguna untuk berinteraksi dengan obyek digital di dunia nyata. Setiap pengguna akan mendapatkan pengalaman yang sama di dunia virtual. Jadi, jika seseorang membuat sebuah perusabahan di dunia digital (misalnya dengan mengambil sebuah objek), perubahan tersebut juga akan dapat dirasakan oleh semua orang yang terhubung ke dunia digital tersebut.

Pokemon Go menunjukkan bagaimana objek virtual bisa dihubungkan dengan dunia nyata.

Metaverse tidak hanya menarik perhatian perusahaan, tapi juga pemerintah negara. Korea Selatan adalah salah satu negara yang menunjukkan kepedulian akan perkembangan teknologi metaverse. Pada Mei 2021, Korea Selatan membuat alians metaverse yang berisi perusahaan telekomunikasi lokal, perusahaan internet Naver, serta peneliti universitas di negara tersebut. Tujuan dari aliansi itu adalah untuk mendorong perkembangan platform virtual dan augmented reality. Selain itu, mereka juga bertugas untuk membuat kode etik terkait dunia virtual.

Menurut laporan The Register, aliansi metaverse ini juga ditugaskan untuk mendefinisikan platform metaverse nasional. Platform itu harus bisa diakses oleh semua pihak yang ingin menyediakan layanan virtual. Cho Kyeongsik, Wakil Menteri Sains kedua menyebutkan, dia berharap, aliansi metaverse ini akan mencegah agar metaverse tidak menjadi lahan bisnis yang hanya dimonopoli oleh satu perusahaan besar.

Penutup

Metaverse memang diminati oleh banyak perusahaan besar. Meskipun begitu, selalu terbuka kemungkinan bahwa teknologi itu tidak tumbuh besar seperti yang diharapkan. Sebelum ini pun, metaverse pernah menjadi tren teknologi, tapi ia tak pernah terealisasi. Kabar baiknya, selain teknologi yang lebih canggih, sekarang, masyarakat sudah mulai terbuka dengan konsep untuk bersosialisasi di dunia virtual, khususnya melalui game. Sejak tahun lalu, game mulai digunakan sebagai tempat untuk berkumpul atau bahkan mengadakan kegiatan penting, seperti pesta ulang tahun atau pernikahan.

 Sumber header: PC Mag

Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

Jatuh Bangun Industri Konsol Handheld: Dulu, Sekarang, dan Nanti

Mobile gaming dianggap sebagai salah satu alasan mengapa PlayStation Vita gagal ketika Sony meluncurkan handheld tersebut pada akhir 2011/awal 2012. Sejak saat itu, muncul diskusi bahwa mobile gaming akan mematikan industri konsol, khususnya handheld. Meskipun begitu, Nintendo Switch, yang dirilis pada 2017, sukses besar. Perusahaan Jepang itu bahkan berencana untuk meluncurkan versi baru dari Switch, bernama Switch OLED, pada Oktober 2021. Tak hanya Nintendo, Valve juga akan merilis handheld, yang dinamai Steam Deck, pada Desember 2021. Dua hal ini menunjukkan, industri konsol handheld masih belum mati.

Awal Mula Konsol Handheld

Tak bisa dipungkiri, Nintendo punya peran besar dalam industri konsol handheld. Empat dari lima konsol handheld terpopuler sepanjang masa merupakan konsol buatan perusahaan Jepang tersebut. Baca sejarah Nintendo di tautan ini.

Selain itu, Nintendo juga dianggap sebagai perusahaan yang berhasil mempopulerkan konsol handheld. Meskipun begitu, Nintendo bukan perusahaan pertama yang membuat konsol handheld. Perusahaan pertama yang membuat handheld adalah Mattel, yang meluncurkan Auto Race pada 1976. Walau disebut “konsol”, Auto Race hanya bisa digunakan untuk memainkan satu game balapan.

Setelah peluncuran Auto Race, ada beberapa perusahaan yang mencoba untuk mengikuti jejak Mattel, seperti Coleco dan Milton Bradley. Sama seperti Mattel, dua perusahaan itu juga membuat handheld yang hanya bisa memainkan satu game saja. Salah satu konsol handheld generasi pertama yang laku keras adalah Merlin. Konsol yang dirilis pada 1978 itu berhasil terjual sebanyak lebih dari empat juta unit.

Microvision mengawali era kedua dari konsol handheld. Konsol buatan Milton Bradley itu juga menjadi handheld pertama yang menggunakan cartridge. Dengan begitu, Microvision bisa memainkan lebih dari satu game. Namun, sejak diluncurkan, Microvision punya banyak masalah, seperti yang disebutkan oleh Engadget. Salah satunya, jumlah game yang terbatas. Selain itu, layar LCD pada Microvision juga sering mengalami masalah “screen rot” karena proses manufaktur yang primitif. Keypad pada Microvision juga mudah rusak.

Microvision dari Milton Bradley. | Sumber: Wikimedia

Konsol handheld pertama buatan Nintendo adalah Game & Watch, yang dirilis pada 1980. Sejak 1980 sampai 1991, Nintendo akan merilis beberapa versi dari Game & Watch. Pada awalnya, desain Game & Watch sangat sederhana. Di konsol ini, Anda hanya akan menemukan d-pad dan sebuah tombol. Daya tarik utama dari handheld ini adalah karena ia bisa memainkan sejumlah game yang populer ketika itu, seperti Donkey Kong, Mario Bros, dan Balloon Fight.

Pada 1984, Epoch meluncurkan handheld yang dinamai Game Pocket Computer. Konsol handheld tersebut memiliki layar LCD berukuran 75×64 pixels. Jika dibandingkan dengan Microvision, Game Pocket Computer memiliki kualitas yang jauh lebih baik. Hanya saja, konsol yang hanya bisa memainkan lima game itu tetap tidak populer.

Nintendo meluncurkan Game Boy pada 1989. Game Boy bisa dibilang sebagai salah satu konsol paling sukses sepanjang sejarah. Harga yang terjangkau menjadi salah satu alasan mengapa Game Boy bisa sukses. Faktor lain di balik kesuksesan Game Boy adalah game-game yang bisa dimainkan di handheld tersebut. Ketika diluncurkan, Game Boy sudah dilengkapi dengan Tetris, yang dianggap sebagai salah satu game terbaik dari konsol ini.

Pada tahun yang sama Nintendo meluncurkan Game Boy, Atari merilis Lynx. Handheld tersebut dikembangkan oleh Atari bersama dengan Epyx. Jika dibandingkan dengan Game Boy, Lynx punya grafik yang lebih baik. Hanya saja,  Lynx juga punya harga yang lebih mahal. Atari merombak desain Lynx pada 1991. Sayangnya, hal itu tidak membuat Lynx menjadi lebih populer dan Nintendo tetap menguasai pasar konsol handheld.

Atari Lynx. | Sumber: Engadget

Selain Atari, NEC juga mencoba untuk bersaing dengan Nintendo di pasar handheld dengan meluncurkan Turbo Express dari NEC. Dari segi ukuran, Turbo Express tidak jauh berbeda dengan Game Boy. Tak hanya itu, konsol ini juga sudah punya layar warna. Anda bahkan bisa menggunakannya sebagai TV. Namun, harganya yang lebih mahal — Game Boy dihargai US$109 dan Turbo Express US$300 — membuatnya tak populer.

Pada 1990, Sega merilis Game Gear. Konsol handheld itu terbilang cukup sukses pada eranya. Sama seperti Lynx dan Turbo Express, Game Gear juga sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Sega juga berhasil menekan harga dari Game Gear, menjadi US$149. Jika dibandingkan dengan Lynx dari Atari, Game Gear juga punya pilihan game yang lebih beragam. Namun, kesuksesan Sega dengan Game Gear tetap tak bisa menggoyahkan Nintendo sebagai penguasa pasar konsol handheld.

Sega kembali menantang dominasi Nintendo dengan merilis Nomad pada 1995. Pada dasarnya, Nomad merupakan versi portable dari Genesis, home console buatan Sega. Genesis sendiri cukup populer, dengan total penjualan mencapai 30,75 juta unit. Sayangnya, baterai Nomad tidak dapat bertahan lama. Selain itu, ukuran Nomad juga cukup besar. Alhasil, handheld tersebut pun gagal.

Game.com jadi handheld pertama yang bisa terhubung ke internet. | Sumber: Wikipedia

Game.com dari Tiger Electronics menjadi konsol handheld pertama yang dilengkapi dengan internet. Handheld tersebut juga dilengkapi dengan fitur Personal Digital Assistant (PDA). Sayangnya, jumlah game yang bisa dimainkan di konsol itu tidak banyak. Selain itu, fungsi internet di konsol tersebut juga sangat terbatas. Anda hanya bisa menggunakan internet untuk membuka email atau menjelajah internet dalam bentuk teks.

Neo-Geo, yang dikenal berkat game arcade mereka, meluncurkan konsol handheld bernama Neo-Geo Pocket pada 1998. Ketika itu, Pocket masih menggunakan layar hitam putih. Sejak awal peluncuran, Pocket memang sudah menemui masalah. Satu tahun setelah Pocket diluncurkan, Neo-Geo merilis Pocket Color. Mereka juga berhasil membawa beberapa game yang menjanjikan ke konsol tersebut. Sayangnya, mereka gagal mendapatkan dukungan dari developer pihak ketiga.

Nintendo merilis Game Boy Color pada 1998. Sesuai namanya, handheld tersebut sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Selain itu, ia juga dilengkapi dengan fitur backward compatibility. Artinya, konsol itu bisa memainkan game-game di Game Boy. Hanya saja, grafik Game Boy Color lebih baik dari pendahulunya. Pada 1999, Bandai merilis WonderSwan, yang digantikan oleh WonderSwan Color satu tahun kemudian. Salah satu daya jual dari konsol buatan Bandai tersebut adalah karena ia merupakan satu-satunya handheld yang bisa memainkan game-game Final Fantasy. Hal ini membuat konsol itu cukup sukses di Jepang. Namun, hubungan Nintendo dan Squaresoft — developer dari Final Fantasy — membaik. Dengan begitu, pemilik Game Boy Advance dapat memainkan game Final Fantasy, yang merupakan kabar buruk untuk Bandai.

Game Boy Advance, yang Nintendo rilis pada 2001, juga punya dampak besar pada industri konsol handheld. Sama seperti pendahulunya, salah satu keunggulan GBA adalah pilihan game yang beragam. Di GBA, Anda bisa memainkan game-game yang di-porting dari home console Super Nintendo. Selain itu, GBA juga punya beberapa game orisinal, seperti Advance Wars. Pada 2003, Nintendo merilis versi baru dari GBA yang disebut GBA SP. Versi terbaru tersebut sudah dilengkapi dengan frontlit display.

Game Boy Advance. | Sumber: Wikipedia

Nokia mencoba untuk menarik perhatian gamers ketika mereka meluncurkan N-Gage pada 2003. Dari segi komputasi, N-Gage memang cukup mumpuni. Hanya saja, ketika itu, mobile gaming masih belum booming seperti sekarang. Orang-orang belum terbiasa dengan ide memainkan game di ponsel. Alhasil, Nokia hanya menjual 3 juta unit N-Gage. Masih pada 2003, Nintendo memperkenalkan Nintendo DS. Ketika desain DS diunggah ke internet, banyak gamers yang mereka skeptis. Namun, perlahan tapi pasti, Nintendo berhasil memenangkan hati para gamers dengan meluncurkan game-game berkualitas untuk DS.

PlayStation Portable, yang diluncurkan pada 2004, menjadi konsol handheld pertama dari Sony. Ketika diluncurkan, PSP merupakan handheld dengan daya komputasi terbaik. Selain itu, PSP juga bisa dihubungkan ke PlayStation 2 dan 3, PC, PSP lain, dan bahkan internet. Tak hanya untuk bermain game, PSP juga bisa digunakan untuk menonton film. PSP adalah satu-satunya handheld yang menggunakan Universal Media Disc (UMD) sebagai storage. Konsol handheld Sony ini cukup sukses. Buktinya, total penjualan PSP mencapai lebih dari 80 juta unit.

Tiger Telematics merilis Gizmondo pada 2005. Handheld ini punya daya komputasi yang cukup mumpuni dan punya berbagai fitur unik, seperti GPS dan kamera. Sayangnya, harga yang mahal dan kurangnya game yang menarik membuat handheld itu menjadi tidak populer. Handheld ini hanya terjual sebanyak kurang dari 25 ribu unit, menjadikannya sebagai salah satu konsol handheld terburuk. Sejak peluncuran Gizmondo, ada sejumlah handheld yang diluncurkan, seperti GP2X — yang memungkinkan untuk memainkan game dari banyak konsol lain dengan bantuan simulator — digiBlast, V.Smile Pocket, VideoNow XP, Didj, Pandora, iXL, dan lain sebagainya. Hanya saja, tidak ada handheld yang berhasil meraih sukses layaknya konsol buatan Nintendo.

Gizmondo dianggap sebagai salah satu handheld dengan penjualan terburuk. | Sumber: CNET

Pada 2011, Nintendo merilis 3DS. Sama seperti pendahulunya, 3DS punya dua layar. Handheld tersebut juga punya toko digital sendiri dan bisa digunakan untuk memainkan game-game DS. Sayangnya, 3DS tidak sesukses DS. Menurut GeekWire, salah satu alasan mengapa 3DS kurang populer adalah harganya yang cukup mahal, yaitu US$250 saat diluncurkan. Untuk mengatasi masalah ini, Nintendo memotong harga 3DS US$170. Sayangnya, strategi ini gagal untuk mendorong penjualan 3DS.

Di tahun yang sama, untuk lebih tepatnya pada Desember 2011, Sony juga meluncurkan handheld baru, yaitu PlayStation Vita. Walau Nintendo gagal untuk mendominasi pasar dengan 3DS, Sony juga tak bisa menggantikan posisi Nintendo dengan Vita. Sama seperti 3DS, Vita juga dianggap sebagai proyek gagal Sony. Kegagalan Vita dan 3DS bukan akhir dari indusstri konsol handheld. Masih ada sejumlah konsol handheld yang diluncurkan, seperti Kids Pad dari LG, Neo Geo X, GWC Zero, Shield Portable dari NVIDIA, GPD XD dan GPD Win, serta Arduboy. Namun, pasar konsol handheld baru kembali bergairah setelah Nintendo meluncurkan Switch, yang merupakan konsol hibrida.

Kegagalan PS Vita dan Kesuksesan Nintendo Switch

Apa yang membuat PS Vita gagal? Dan kenapa Nintendo bisa sukses dengan Switch? Sebelum membahas jawaban dari dua pertanyaan itu, coba Anda perhatikan daftar konsol handheld terpopuler di bawah ini. Daftar ini dibuat berdasarkan total penjualan dari masing-masing konsol:

1. Nintendo DS, terjual sebanyak 154 juta unit
2. Game Boy & Game Boy Color, terjual sebanyak 118,69 juta unit
3. Nintendo Switch, terjual sebanyak 84,59 juta unit
4. Game Boy Advance, terjual sebanyak 81,51 juta unit
5. PlayStation Portable, terjual sekitar 80-82 juta unit

Seperti yang bisa lihat pada daftar di atas, empat dari lima konsol handheld terlaris merupakan buatan Nintendo. Faktanya, Nintendo DS merupakan konsol paling laku nomor dua, hanya kalah dari PlayStation 2, yang merupakan konsol terpopuler sepanjang masa.

Jika dibandingkan dengan home console — seperti PlayStation dan Xbox — konsol handheld punya kelebihan sendiri. Salah satunya adalah mobilitas. Handheld tak hanya punya desain yang lebih ringkas dari home console, ia juga bisa dimainkan tanpa TV. Dengan begitu, Anda bisa membawa handheld ketika Anda sedang berpergian. Selain itu, dari segi harga, handheld juga cenderung lebih murah. Saat diluncurkan pada Maret 2017, Nintendo Switch dihargai US$300. Sebagai perbandingan, PlayStation 4 dihargai US$399 ia diluncurkan. Padahal, PS4 diluncurkan pada 2013. Tentu saja, handheld juga punya kekurangan, seperti daya komputasi yang kurang mumpuni dari home console.

Oke, sekarang, mari kita membahas tentang alasan mengapa PS Vita gagal dan Nintendo Switch sukses.

Sony meluncurkan PlayStation Vita pada Desember 2011, pada tahun yang sama ketika Nintendo merilis 3DS. Namun, seperti yang sudah dibahas di atas, 3DS tidak sesukses pendahulunya. Sayangnya, 3DS bukanlah satu-satunya pesaing yang harus PS Vita hadapi. Ketika itu, PS Vita juga harus bersaing dengan Android dan iPhone. Memang, jika dibandingkan dengan 3DS atau Vita, daya komputasi smartphone masih lebih cupu. Meskipun begitu, smartphone punya keunggulan sendiri, yaitu ia bisa digunakan untuk hal lain selain bermain game, seperti mengakses email, menonton video, dan lain sebagainya.

PS Vita punya beberapa fitur unik. | Sumber: The Verge

Untuk memenangkan hati para gamers, Sony merilis sejumlah game eksklusif untuk PS Vita, seperti Uncharted: Golden Abyss. Game itu mendapatkan skor 80% di Metacritic dan 8,5/10 di IGN, yang berarti, game itu tidak buruk sama sekali. Hanya saja, Golden Abyss — atau game-game eksklusif untuk Vita lainnya, seperti Persona 4 Golden — kurang menarik di mata gamers kasual. Pasalnya, kebanyakan game eksklusif Vita punya cerita yang berbobot. Artinya, game-game itu tidak bisa dimainkan dalam waktu sebentar, tidak cocok untuk dimainkan di sela-sela waktu luang. Sementara itu, di smartphone, Anda akan bisa menemukan banyak game kasual, seperti Candy Crush.

Hal lain yang menjadi alasan mengapa Vita gagal adalah ketiadaan dukungan dari developer pihak ketiga. Game-game dari franchise populer — seperti Monster Hunter, Kingdom Hearts, Metal Gear Solid, dan Tekken — tak pernah diluncurkan untuk Vita, seperti yang disebutkan oleh The Gamer. Harga juga punya peran di balik kegagalan PS Vita. Saat diluncurkan, harga Vita cukup mahal, yaitu US$249. Bersamaan dengan Vita, Anda juga harus membeli memory cards untuk menyimpan game. Ketika itu, harga memory card belum semurah sekarang. Memory card dengan kapasitas 4GB saja dihargai US$20, sementara memory card dengan kapasitas 32GB dihargai US$100. Sekarang, Anda bisa menemukan memory card 32GB dengan harga di bawah Rp100 ribu.

Walau dianggap gagal, Vita sebenarnya punya beberapa fitur menarik, seperti cross-play. Ketika Anda memainkan game yang sama di PS3 dan Vita, Anda bisa melanjutkan game Anda dari save point yang sama. Hanya saja, fitur cross-play ini cukup merepotkan, tidak semudah fitur cross-platform di game-game modern. Untuk menggunakan fitur cross-play, Anda harus mengunggah data dari PS3 ke cloud dan mengunduhnya di PS Vita. Pada akhirnya, Sony diperkirakan hanya dapat menjual 16 juta unit PS Vita.

Switch merupakan konsol hibrida.

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Ketika itu, mobile game sudah menjadi industri dengan nilai US$46,1 miliar. Menurut perkiraan Newzoo, industri game pada 2017 bernilai US$108,9 miliar. Hal itu berarti, mobile game memberikan kontribusi sekitar 42% dari total pemasukan industri game. Namun, Nintendo Switch tetap dapat bertahan dan justru menjadi salah satu konsol handheld terpopuler. Gamasutra menyebutkan, salah satu daya tarik Switch adalah game-game eksklusif dari Nintendo, seperti Legend of Zelda: Breath of the Wild dan Mario Odyssey. Selain membuat game sendiri, Nintendo juga menggandeng developer pihak ketiga untuk membuat game di Switch. Berkat usaha Nintendo ini, para pemilik Switch bisa memainkan game dari berbagai franchise populer, termasuk Monster Hunter, BioShock, dan Dark Souls.

Game berbobot layaknya hukuman mati bagi Vita. Namun, hal ini justru menjadi daya jual Switch. Mengapa begitu? Alasannya sederhana: karena pada 2017, mobile gamers sudah mulai tertarik dengan game-game “serius”. Vainglory, yang merupakan game MOBA, dirilis pada November 2014. Pada 2015, Tencent merilis Honor of Kings, alias Arena of Valor. Setelah itu, Tencent juga mengembangkan ekosistem esports dari Honor of Kings. Alhasil, mobile game pun mulai dianggap serius. Pada 2016, Vulkan API dirilis. API tersebut memungkinkan smartphone untuk menampilkan grafik game yang lebih baik dan menghemat daya baterai smartphone. Dan pada 2017, Razer merilis smartphone khusus gaming, yang menjadi bukti keberadaan hardcore mobile gamers.

Selain jajaran game yang menarik, keunggulan lain dari Switch adalah desainnya yang eye-catching. Walau Switch bisa masuk dalam kategori konsol handheld, tapi ia juga bisa dianggap sebagai home console. Ketika terpasang pada dock, Switch bisa dimainkan layaknya home console biasa. Dan keunikan ini menjadi salah satu daya jual Switch.

Steam Deck: Dapatkah Membuat Industri Handheld Kembali Bergairah?

Kesuksesan Nintendo dengan Switch menjadi bukti bahwa industri handheld belum mati. Dan Nintendo bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik untuk membuat konsol handheld. Pada akhir 2020, GPD, perusahaan asal Tiongkok memperkenalkan konsol handheld yang bisa digunakan untuk memainkan game PC, dinamai GPD Win 3. Sementara pada Maret 2021, Aya Neo, perusahaan asal Tiongkok lainnya, mengadakan kampanye crowdfunding di Indiegogo untuk membuat konsol handheld berbasis Windows yang bisa digunakan untuk bermain game PC.

Belum lama ini, Valve juga mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan Steam Deck pada Desember 2021. Sama seperti GPD Win 3 dan Aya Neo, Steam Deck juga merupakan konsol handheld yang bisa memainkan game PC. Pengumuman akan Steam Deck disambut dengan hangat. Buktinya, hanya dalam sehari, daftar pre-order dari konsol itu langsung penuh. Keberadaan konsol-konsol handheld gaming PC ini menunjukkan bahwa masih ada tempat untuk konsol handheld di masa depan. Memang, jika dibandingkan dengan smartphone, konsol handheld sebenarnya punya kelebihan tersendiri.

Salah satu keunggulan konsol handheld adalah pilihan game yang lebih menarik. Game eksklusif merupakan strategi yang biasa digunakan oleh perusahaan  pembuat konsol seperti Sony dan Nintendo untuk mendorong penjualan konsol mereka. Sementara dalam kasus Steam Deck, konsol itu bahkan bisa mengakses ribuan game yang tersedia di Steam. Selain itu, keberadaan konsol handheld juga bisa membantu Anda untuk menghemat baterai smartphone. Pasalnya, bermain game di ponsel — apalagi game yang berat — bisa menghabiskan baterai dengan cepat. Padahal, sekarang ini, kita semakin tergantung pada smartphone. Jadi, walau smartphone bisa digunakan untuk bermain game, sebagian gamers mungkin lebih memilih untuk bermain di konsol handheld, apalagi ketika mereka sedang berpergian dan jauh dari colokan.

Steam Deck merupakan handheld yang bisa memainkan game PC. | Sumber: PC Mag

Seperti yang disebutkan oleh Daniel Ahmad, Senior Analyst, Niko Partners, konsep handheld gaming PC bukanlah sesuatu yang baru. Hanya saja, untuk mempopulerkan konsol handheld yang bisa memainkan game PC, konsol itu harus bisa memenuhi dua persyaratan. Pertama, konsol itu punya daya komputasi yang cukup mumpuni untuk memainkan game-game PC. Kedua, harga konsol tersebut cukup terjangkau bagi kebanyakan orang.

Steam Deck menggunakan AMD Zen 2. PC Gamer menyebutkan, APU yang digunakan pada Steam Deck didasarkan pada arsitektur Zen 2 — yang juga digunakan pada prosesor Ryzen 3000 — dan RDNA 2, yang bertanggung jawab atas pemprosesan grafik. Dari segi jumlah Compute Unit, Steam Deck memang masih kalah dari Xbox Series X — Steam Deck punya 8 Compute Unit dan Xbox Series X punya 20. Meskipun begitu, Valve mengklaim bahwa Steam Deck cukup kuat untuk memainkan semua game yang ada di Steam.

“Kami ingin agar Steam Deck bisa memainkan semua game yang ada di Steam,” kata Pierre-Loup Griffais, developer Valve, dikutip dari PC Gamer. “Dan kami belum menemukan game yang tidak bisa dimainkan oleh konsol ini.”

Masalah kedua yang harus bisa diselesaikan oleh Steam Deck dan konsol handheld untuk game PC lainnya adalah harga. Kepada IGN, Gabe Newell mengaku, harga yang Valve tetapkan untuk Steam Deck itu “menyakitkan”.  Namun, dia sadar, jika Valve ingin Steam Deck sukses, mereka harus rela memasang harga yang terjangkau. Berikut daftar harga Steam Deck, berdasarkan besar memori:

  • Versi 64GB, seharga US$399
  • Versi 256GB, seharga US$529
  • Versi 512GB, seharga US$649

Sebagai perbandingan, Aya Neo dihargai sekitar US$700-900, sementara GPD Win 3 dihargai US$1.60 di Amazon. Valve berani untuk menekan harga Steam Deck karena mereka masih bisa mendapatkan untung dari penjualan game di Steam. Jadi, secara teori, Steam Deck berpotensi untuk menjadi handheld yang populer. Dan hal ini bisa mendorong pertumbuhan pasar konsol handheld. Sekalipun penjualan Steam Deck tidak terlalu sukses, keberadaannya akan tetap menarik bagi sebagian gamers, khususnya fans Valve.

Penutup

Setelah mempopulerkan konsep handheld, Nintendo menguasari pasari konsol handheld selama beberapa dekade. Walau sempat gagal dengan 3DS, Nintendo kembali mendulang sukses ketika mereka merilis Switch. Kesuksesan Nintendo dengan konsol handheld mendorong banyak perusahaan lain untuk membuat handheld. Namun, tidak ada konsol yang dapat menggoyahkan posisi Nintendo. Dalam daftar konsol handheld terlaris sepanjang masa, PSP jadi satu-satunya konsol yang tidak dibuat oleh Nintendo.

Meskipun begitu, saat ini, muncul beberapa perusahaan yang mencoba untuk merealisasikan konsep handheld gaming PC, seperti Valve, GPD dan Aya Neo. Dari ketiga perusahaan itu, Valve menjadi satu-satunya perusahaan yang berani menekan harga dari konsol mereka. Tidak heran, mengingat Valve memang lebih besar dari GPD dan Aya Neo. Selain itu, walau Valve hanya mendapatkan untung kecil dari penjualan Steam Deck — atau justru tidak mengambil untung sama sekali — mereka masih bisa mendapatkan untung dari Steam.

Terlepas dari itu, jika konsep handheld gaming PC berhasil direalisasikan, hal itu akan mengubah lanskap industri gaming, membuat konsol handheld kembali relevan dalam industri game saat ini.

Sumber header: Tom’s Guide

Sejarah Panjang Dota 2 dan The International: Berawal dari Mod Sampai Jadi Langganan Rekor Hadiah Turnamen Esports Terbesar Dunia

Di Indonesia, skena esports dari Dota 2 mungkin sudah dianggap hidup segan mati tak mau. Pasalnya, di Tanah Air, game esports yang populer memang mobile game. Karena itu, jangan heran jika tidak banyak organisasi esports yang punya tim Dota 2 atau game PC lainnya saat ini. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa Dota 2 tetap merupakan salah satu game esports yang sukses di dunia. Buktinya, The International selalu memecahkan rekor jumlah hadiah terbesar di dunia setiap tahunnya. Tak hanya itu, walau diluncurkan resmi delapan tahun lalu, Dota 2 tetap punya pemain aktif bulanan hingga ratusan ribu orang.

Berikut sejarah mengenai Dota 2 dan bagaimana The International bisa menjadi turnamen global yang diadakan setiap tahun.

Sejarah Dota 2

Semua berawal dari Aeon of Strife, yang dianggap sebagai “game” MOBA pertama. Aeon of Strife merupakan mod buatan fans untuk StarCraft: Brood War. Mod itu menjadi sangat populer sehingga Blizzard pun memasukkannya ke Warcraft 3. Pengalaman bermain Aeon of Strife memang tidak persis sama dengan game-game MOBA yang ada saat ini. Namun, game tersebut tetap punya gameplay dasar yang sama seperti kebanyakan MOBA. Misalnya, tujuan pemain dalam Aeon of Strife tetaplah menghancurkan markas musuh. Selain itu, peta dalam game itu juga punya tiga lini, sama seperti peta dalam game MOBA lainnya. Hanya saja, di Aeon of Strife, satu tim berisi empat orang dan bukannya lima orang. Selain itu, musuh yang harus dihadapi oleh para pemain adalah AI dan bukannya pemain lain, seperti yang disebutkan oleh RedBull.

Aeon of Strife dianggap sebagai game MOBA pertama. | Sumber: Hive Workship

Jika Aeon of Strife menjadi cikal bakal dari genre MOBA, Defense of the Ancients (DotA) merupakan awal dari Dota 2. Sama seperti Aeon of Strife, DotA juga merupakan mod. DotA dibuat modder Kyle “Eul” Sommer untuk Warcraft 3. Mod DotA sudah sangat mirip dengan game Dota 2 yang ada sekarang. Di DotA, lima pemain akan melawan lima pemain lainnya. Tim yang menang adalah tim yang bisa menghancurkan markas musuh lebih dulu. Walau mod DotA populer, Eul memutuskan untuk meninggalkannya. Dia justru mencoba untuk membuat sekuel dari DotA. Namun, proyek tersebut gagal. Pada akhirnya, Eul akan menyerahkan kepemilikannya atas DotA pada Valve.

Kesuksesan mod DotA menginspirasi banyak orang untuk membuat game serupa. Dari semua game yang muncul, hanya DotA: Allstars yang sukses. DotA: Allstars juga dibuat oleh seorang modder, yaitu Steve “Guinsoo” Feak. Nantinya, game inilah yang menjadi dasar dari Dota 2 yang kita kenal sekarang. Faktanya, Allstars juga sering dianggap sebagai DotA orisinal. Alasannya, game itu tidak hanya menjadi dasar dari Dota 2, tapi juga digunakan dalam pertandingan profesional.

Setelah sukses dengan Allstars, Guinsoo dan Steve “Pendragon” Mescon — yang membuat pusat komunitas DotA — memutuskan untuk masuk ke Riot Games dan membantu mereka mengembangkan League of Legends. Mereka meninggalkan DotA: Allstars di tangan IceFrog. Dalam sejarah Dota 2, IceFrog punya peran penting. Memang, dia tidak membuat Allstars dari nol atau merombak game tersebut, tapi, dialah yang membuat konten baru untuk Allstars setelah Guinsoo dan Mescon pergi. Tak hanya itu, dia juga memastikan bahwa gameplay Allstars tetap seimbang dan tidak ada karakter yang terlalu overpowered.

Saat itu, kesuksesan DotA murni berkat fans. Game tersebut dibuat oleh fans dan menjadi besar karena fans. Namun, keadaan berubah ketika League of Legends diluncurkan pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Peluncuran kedua game itu menunjukkan bahwa genre MOBA punya potensi besar. Jika DotA ingin tetap eksis dan bisa bersaing dengan game-game MOBA lainnya, game itu memerlukan bantuan dari perusahaan game besar.

Perusahaan itu adalah Valve.

Valve menggandeng IceFrog untuk membuat Dota 2.

Pada 2009, IceFrog bergabung dengan Valve untuk membuat sebuah game. Ketika itu, semua orang tahu bahwa Valve menggandeng IceFrog untuk membuat game MOBA. Namun, Valve beru mengungkap bahwa game MOBA yang mereka kembangkan adalah Dota 2 pada 2010. Satu tahun kemudian, pada 2011, Valve merilis versi beta dari Dota 2. Sebelum itu, mereka juga memberikan akses pada beberapa media. Versi beta dari Dota 2 mendapatkan sambutan positif dari para beta testers.

Masalah muncul ketika Valve mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark pada 2012. Keputusan itu menjadi awal dari pertarungan legal Valve dengan Blizzard dalam beberapa bulan ke depan. Blizzard memang tidak mencoba untuk mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark. Namun, menurut mereka, DotA, Dota: DOTA, dan Defense of the Ancients merupakan bagian dari Warcraft.  Blizzard beragumen, kata DOTA selalu diasosiasikan dengan Warcraft. Mereka juga menyebutkan, sebagai mod dari Warcraft 3, DOTA dibuat berdasarkan mekanisme pada game buatan Blizzard tersebut. Tak hanya itu, karakter dalam DOTA juga merupakan karakter di Warcraft 3, dengan tampilan desain yang sama, menurut laporan PC GAMER.

Walau membutuhkan beberapa bulan, pertarungan legal antara Valve dan Blizzard akhirnya bisa diselesaikan. Keduanya memutuskan bahwa mereka sama-sama bisa menggunakan varian dari nama “Defense of the Ancients” sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Valve akan menggunakan nama Dota untuk produk komersil mereka, termasuk game Dota 2 yang sedang mereka kembangkan. Sementara itu, ketika Blizzard menggunakan kata Dota, nama itu mengacu pada peta yang pemain buat untuk Warcraft 3 dan Starcraft 2, lapor Gamasutra. Setelah masalah itu selesai, proses pengembangan game Dota 2 berjalan dengan lancar.

Lahirnya The International: Berawal Sebagai Alat Marketing

Valve menggelar The International pertama pada 2011, bersamaan dengan Gamescom. Menariknya, ketika itu, Dota 2 belum resmi diluncurkan dan masih dalam tahap beta. Jadi, untuk apa Valve mengadakan The International? Sebagai alat marketing. Valve menyediakan total hadiah sebesar US$1,6 juta, menjadikan TI sebagai turnamen esports dengan hadiah terbesar pada masanya. Dengan  ini, Valve berharap mereka bisa mengenalkan Dota 2 ke masyarakat luas.

Dalam TI pertama, ada delapan tim yang diundang untuk ikut serta. Pertandingan TI pertama bisa ditonton secara langsung oleh orang-orang yang menghadiri Gamescom, yang digelar di Cologne, Jerman. Selain itu, Valve juga menyiarkan pertandingan TI agar bisa ditonton oleh seluruh gamers di dunia. Keputusan Valve untuk menjadikan TI sebagai alat marketing berbuah manis. Berkat TI, ribuan gamers menjadi tahu akan Dota 2 dan ingin segera mencoba game tersebut.

NaVi jadi juara The International pertama. | Sumber: Navi.gg

Dalam beberapa bulan ke depan, Valve juga terus menyebar undangan bagi gamers untuk menguji versi beta dari Dota 2. Seiring dengan bertambahnya pemain Dota 2, skena esports dari game itu pun mulai terbentuk. Sama seperti dengan Dota 2 yang berawal dari mod, ekosistem esports Dota 2 juga diprakarsi oleh para fans. Karena itu, pada awalnya, turnamen Dota 2 yang muncul hanyalah turnamen skala kecil. Kebanyakan turnamen itu menawarkan total hadiah kurang dari US$25 ribu. Meskipun begitu, ekosistem grassroot itulah yang menjadi awal dari ekosistem esports Dota 2 yang kita kenal sekarang.

Pada 2012, Valve kembali menggelar The International. Total hadiah dari TI2 masih sama seperti TI sebelumnya, yaitu US$1,6 juta. Hanya saja, kali ini, TI digelar di Seattle, Amerika Serikat. Saat itu, versi beta Dota 2 sudah dibuka untuk umum. Jumlah hero yang bisa dimainkan pun sudah semakin banyak. Alhasil, komunitas Dota 2 terus tumbuh.

Valve meluncurkan Dota 2 di Steam pada Juli 2013. Hal ini membuat jumlah pemain Dota 2 meroket. Pada Juni 2013, jumlah pemain rata-rata Dota 2 hanya mencapai 210 ribu orang. Angka ini naik menjadi 237 ribu orang pada Juli 2013 dan menjadi 330,7 ribu orang pada Agustus 2013. Di tahun ini, Valve juga mulai melakukan crowdfunding untuk menaikkan total hadiah dari The Internationnal. Taktik Valve sukses. Total hadiah dari The International 2013 mencapai US$2,8 juta, US$1,2 juta lebih banyak dari dua turnamen sebelumnya.

Sejak sukses dengan crowdfunding di TI3, Valve terus menggalang dana dari fans Dota 2 untuk menambah total hadiah dari TI. Alhasil, dari tahun ke tahun, total hadiah dari TI selalu naik. Tahun lalu, seorang pangeran Arab bahkan membeli battle pass untuk The International 10 — yang ditunda karena pandemi COVID-19 — seharga Rp588 juta. Sejauh ini, total hadiah dari TI10 telah melebihi US$40 juta, mengalahkan rekor tahun lalu. Dan angka ini masih terus naik.

Dari tahun ke tahun, pertumbuhan total hadiah TI memang cukup besar. Pada The International 2014, total hadiah telah menembus US$10 juta. Dua tahun kemudian, pada TI6, total hadiah yang ditawarkan mencapai lebih dari US$20 juta. Dan The International 9 menjadi TI pertama dengan total hadiah lebih dari US$30 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat data tentang total hadiah TI dari tahun ke tahun.

Hadiah The International dari tahun ke tahun. | Sumber data: Esports Earnings

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, terjadi lonjakan besar pada total hadiah The International beberapa kali. Kenaikan total hadiah paling besar terjadi pada The International 9, dengan kenaikan total hadiah hampir mencapai US$8,8 juta. Kenaikan total hadiah pada TI4 dan TI5 juga cukup signifikan. Terus naiknya total hadiah dari The International memang bisa dianggap sebagai tanda bahwa komunitas Dota 2 masih ingin terus mendukung skena esports profesional. Meskipun begitu, total hadiah The International yang sangat besar ini juga menimbulkan masalah sendiri.

Setelah membahas tentang jumlah hadiah dari The International, mari bicara soal tim-tim yang pernah memenangkan kompetisi bergengsi tersebut. Sejak The International digelar pada 2011, hanya ada satu tim yang berhasil menjadi juara dua kali, yaitu tim OG. Tim asal Eropa tersebut berhasil memenangkan TI8 dan TI9.  Menariknya, ketika memenangkan TI selama dua tahun berturut-turut, tim OG memiliki roster yang sama.

Berikut roster dari tim OG ketika memenangkan TI8 dan TI9:

Anathan “ana” Pham
Topias “Topson” Taavitsainen
Sebastien “Ceb” Debs
Jesse “JerAx” Vainikka
Johan “N0tail” Sundstein – kapten

Dan berikut adalah daftar tim yang pernah memenangkan The International:

2011 – Natus Vincere
2012 – Invictus Gaming
2013 – Alliance
2014 – Newbee
2015 – Evil Geniuses
2016 – Wings Gaming
2017 – Team Liquid
2018 – OG
2019 – OG

Total hadiah bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk mengetahui sukses atau tidaknya sebuah turnamen. Dua faktor lain yang bisa menjadi pertimbangan adalah jumlah penonton rata-rata dan hours watched. Menurut data dari Esports Charts, baik jumlah penonton rata-rata maupun hours watched dari The International menunjukkan tren naik dalam empat tahun terakhir. Pada The International 7, jumlah penonton rata-rata hanya mencapai 418 ribu orang. Angka ini naik menjadi 537,7 ribu orang pada TI8 dan menjadi 738,9 ribu orang pada TI9. Sementara dari segi hours watched, total hours watched dari The International 7 hanya mencapai 44,3 juta jam. Pada TI8, total hours watched mencapai 63,9 juta jam dan pada TI9, angka itu naik menjadi 88,4 juta jam.

Jumlah hours watched dari TI7 sampai TI9. | Sumber: Esports Charts
Jumlah peak viewers dari TI7 sampai TI9. | Sumber data: Esports Charts

Sayangnya, walau jumlah penonton dari The International menunjukkan tren naik, lain halnya dengan jumlah pemain Dota 2. Sejak diluncurkan pada 2013, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Steam Charts.

Jumlah pemain rata-rata dan peak players Dota 2 dari tahun ke tahun. | Sumber data: Steam Charts

Sejak Juli 2012 sampai Juli 2014, jumlah pemain rata-rata Dota 2 setiap bulannya menunjukkan tren naik. Pada September 2014, jumlah pemain rata-rata sempat turun menjadi 478 ribu orang, sebelum kembali naik menjadi 629 ribu orang pada Februari 2015. Sepanjang sejarah Dota 2, rekor jumlah pemain rata-rata paling banyak adalah 709 ribu orang. Hal ini terjadi pada Februari 2016.

Sejak saat itu, jumlah pemain rata-rata Dota 2 cenderung menurun. Jumlah pemain Dota 2 mencapai titik terendah pada April 2018, dengan total pemain hanya mencapai 430 ribu orang. Namun, jumlah gamers Dota 2 kembali naik sejak Januari 2019, mencapai 476 ribu orang. Pada Februari-Juni 2019, jumlah rata-rata pemain Dota 2 terus ada di atas 500 ribu orang. Angka itu turun menjadi 465 ribu orang pada Juli 2019. Sejak itu, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun.

Jumlah pemain rata-rata Dota 2 sempat kembali memuncak pada April 2020, mencapai 430 ribu orang. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu alasan mengapa jumlah pemain Dota 2 mengalami kenaikan pada kuartal pertama 2020. Sementara itu, sepanjang sejarah, tren jumlah peak players dari Dota 2 juga sama seperti tren dari jumlah pemain rata-rata. Rekor peak players terbanyak tercatat pada Maret 2016. Ketika itu, jumlah peak players mencapai 1,29 juta orang.

Bagaimana dengan Skena Esports Dota 2 di Indonesia?

“Komunitas Dota 2 di Indonesia saat ini memang berbeda jika dibandingkan dengan pada tahun 2014-2017,” kata Yudi Anggi, shoutcaster Dota 2 yang dikenal dengan nama “Justincase”. Namun, dia meyakinkan, perbedaan itu tidak dalam konotasi negatif. “Perbedaannya, dulu, ada banyak turnamen-turnamen Dota 2 lokal. Dan sekarang, hampir tidak ada turnamen lokal yang diadakan,” ujarnya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.

“Tapi, dulu, livestreamer dan kreator konten Dota 2 Indonesia tidak seramai sekarang. Jadi, walau berbeda, tapi tidak buruk juga,” ujar Yudi. Dia mengungkap, saat ini, ada banyak pemain profesional yang aktif melakukan siaran, seperti Rusman, inYourDream, dan lain sebagainya. “Sehingga, para penggemar Dota 2 di Indonesia dimanjakan dengan banyaknya konten livestreaming yang tersedia,” katanya. “Dengan begitu, komunitas Dota 2 pun semakin tumbuh dan terawat, sehingga menjadi ramai kembali.”

Yudi “Justincase” Anggi. | Sumber: Facebook

Yudi menjelaskan, Saweria menjadi salah satu alasan mengapa semakin banyak orang yang tertarik untuk melakukan siaran dan membuat konten. Melalui Saweria, para kreator konten atau streamer bisa mendapatkan donasi dari para penonton. “Para donatur benar-benar dermawan dalam memberikan dukungan pada streamer favorit mereka,” kata Yudi. “Dengan begitu, para streamer pun menjadi semangat untuk membuat konten. Pada akhirnya, pihak yang diuntungkan adalah komunitas Dota 2 itu sendiri.”

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, Co-founder Saweria, Natalia menyebutkan bahwa 10 penerima dana dukungan terbesar di Saweria merupakan gamers. Sementara itu, orang dengan pemasukan terbesar di Saweria bisa mendapatkan sekitar Rp44 juta per bulan.

Gary Ongko Putera, pendiri dan CEO BOOM Esports punya perspektif yang berbeda dari Yudi terkait komunitas Dota 2 di Tanah Air. Menurut Gary, komunitas Dota 2 di Indonesia cukup toxic. Hal inilah yang membuatnya enggan untuk terlau memerhatikan komunitas lokal dari Dota 2. Contoh perilaku toxic yang dimaksud Gary adalah mendukung tim musuh walau ada tim Indonesia yang berlaga di sebuah turnamen esports. Dia menambahkan, “Sudah tipis, tapi masih suka ‘kanibal’, bunuh tim sendiri. Kadang-kadang, mendukung tim negara sendiri juga jadi malas.”

Meskipun begitu, Gary masih optimistis bahwa ekosistem esports Dota 2 di Indonesia akan bisa bertahan. “Masih ada kita sama AG (Army Geniuses-red), jadi harusnya aman. Selama masih ada yang mau ‘invest‘, pasti bisa hidup. Karena, skill pemain-pemain Dota d Indonesia tinggi,” ungkap Gary. “Tinggal dibantu coaching dan dikasih fasilitas serta standar, supaya bisa hidup dari Dota 2.” Dengan begitu, diharapkan, para pemain berbakat masih akan bersedia untuk serius berkarir sebagai pemain profesional.

Soal masa depan ekosistem esports, Yudi setuju dengan Gary. Dia juga merasa, ekosistem esports Dota 2 di masa depan masih cukup menjanjikan. Hanya saja, jika seseorang ingin bisa menjadi pemain Dota 2 profesional, dia harus siap dalam menghadapi semua tantangan yang ada. “Karena turnamen lokal tidak ada, jadi para pemain yang ingin menjadi profesional harus menunjukkan bakatnya langsung ke kancah internasional,” ungkap Yudi. “Tapi, bila mereka berhasil bersaing di Asia Tenggara, akan terbuka banyak sekali jalan untuk suksesnya. Di luar negeri, masih banyak organisasi esports yang mau menaungi mereka.”

Karena itulah, Yudi menyarankan, bagi orang-orang yang ingin menjadi pemain profesional atau manajer tim Dota 2, dia harus bisa berbahasa Inggris. “Karena lapangan kerja sebagai pemain atau manajer Dota 2 lebih banyak terbuka di luar nergeri daripada di dalam negeri,” katanya. “Kalau menjadi caster Dota 2, lebih baik jangan. Nonton saya saja siaran ya,” selorohnya.

Tim Dota 2 BOOM saat menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Gary bercerita, bagi organisasi esports, ketiadaan turnamen lokal juga mempersulit mereka untuk mencari talenta baru. “Lumayan susah,” jawabnya ketika ditanya apakah mencari pemain baru di Indonesia sulit atau tidak. “But, we did well for ourselves. Kita bisa menarik talenta-talenta dari luar Indonesia. Dan reputasi kita lumayan oke secara global, berkat prestasi dari tim Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive kita.”

Gary juga menyebutkan, gaji pokok yang ditawarkan oleh organisasi esports di Indonesia termasuk salah satu yang terbesar. Dan hal ini bisa menjadi daya tarik bagi para gamers yang memang ingin berkarir sebagai pemain Dota 2 profesional. “Jadi, sebenarnya, kalau bisa jadi pemain top, ya pasti menguntungkan. Sejujurnya, di semua game, kalau bisa jadi pemain-pemain terbaik pasti bisa lukratif. Tapi, kalau levelnya standar, ya susah. Karena, sekarang, organisasi esports yang fokus di Dota 2 juga tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan game lain. Apalagi, skill ceiling-nya juga jauh lebih tinggi dari game MOBA lain.”

Sebelum ini, Editor-in-Chief Hybrid.co.id, Yabes Elia, pernah membahas bagaimana passion tak lagi cukup untuk menjajaki dunia esports. Namun, tak bisa dipungkiri, tetap ada orang-orang yang bertahan di dunia esports karena passion. Gary dan Yudi adalah contohnya. Walau punya karir yang berbeda, keduanya memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 karena memang suka dengan game MOBA tersebut. Padahal, di Indonesia, ekosistem mobile esports jauh lebih ramai. Gary mengaku, akan sulit baginya untuk tetap menjalankan BOOM jika dia hanya fokus sepenuhnya pada bisnis.

“Buat saya sih, lebih ke prinsip saja, tanpa Dota 2/CS:GO, nggak akan ada BOOM,” kata Gary, menjelaskan alasannya mengapa dia tetap mempertahankan tim Dota 2. “Karena, saya sukanya memang Dota 2 dan CS:GO. Dan akan susah untuk terus running BOOM kalau passion-nya sudah nggak ada dan jadi pure bisnis.” Dia mengaku, dia memang senang dengan game-game yang kompleks. Dan menurutnya, Dota 2 merupakan game tersusah di dunia. “No offense ke game lain, tapi saya main SMP sudah main Dota. Dan game ini memang kompleks banget. Bisa ada mekanik stacking, pulling creep, support jadi carry, itemization, dan lain-lain. Jadi, mungkin buat orang ‘tua’ yang biasa nonton game kompleks, disuruh nonton game lain, jadi kurang excited gitu.”

Hanya karena Dota 2 memang merupakan game yang disukai, bukan berarti Gary tak mempertimbangkan sisi bisnis. Ketika ditanya apakah mempertahankan tim Dota 2 di BOOM memang menguntungkan dari segi bisnis, Gary menjawab, “Dari segi bisnis, tentunya menguntungkan. Karena kami kan juga bermain di ‘dunia’. Walau, ya tidak sampai untung-untung banget; cukup untuk membayar cost tim sendirilah, kurang lebih.”

Sementara itu, Yudi mengungkap, alasannya untuk setia menjadi shoutcaster dari Dota 2 adalah karena masalah preferensi. “Saya tidak begitu suka mobile game. Jadi, saya tidak bisa maksimal dalam melakukan shoutcasting mobile games,” ujarnya. “Saya harus benar-benar menyukai sebuah game agar bisa memberikan performa terbaik saat siaran. Dengan saya menyukai sebuah game, saya akan antusias untuk menggali informasi, baik tentang game itu maupun esports scene dari game tersebut. Dua hal itu akan menjadi bahan pembicaraan ketika saya melakukan shoutcasting.”

Pada akhirnya, Yudi menutup, apakah seseorang memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 atau banting setir ke mobile esports yang lebih ramai, hal itu bukan masalah. “Kembali lagi ke masing-masing orang. Kalau ada yang bilang, bekerja itu untuk uang, ya… tidak ada salahnya. Dan itu hak mereka untuk memilih,” katanya. “Tapi, bagi saya pribadi, sepertinya berkarir di Dota 2 saja sudah cukup untuk membuat perut kenyang. Walau memang uangnya masih tidak cukup untuk membeli franchise McDonald’s.”

Penutup

Delapan tahun sejak diluncurkan, Dota 2 masih dimainkan oleh ratusan ribu orang. Hal ini membuktikan kesuksesan Valve dalam membuat Dota 2 tetap digemari. Mengembangkan ekosistem esports jadi salah satu cara mereka untuk merealisasikan hal itu. Walau jumlah penonton The International masih kalah dari League of Legends World Championship, jumlah hadiah TI yang besar tak pernah gagal untuk menarik perhatian masyarakat dan media. Sementara itu, di Indonesia, ekosistem esports Dota 2 memang sudah berubah dari beberapa tahun lalu. Kabar buruknya, tidak banyak turnamen Dota 2 yang diselenggarakan. Kabar baiknya, masih ada organisasi esports lokal yang punya tim Dota 2. Karena itulah, para pemain Dota 2 yang ingin menjadi profesional harus langsung siap bertanding di, setidaknya, tingkat regional.

Pros and Cons of the Absolute Power of Game Publishers in the World of Esports

In the esports world, game publishers are the absolute power holder who can determine every aspect of the game’s ecosystem. They are essentially the kings of the esports kingdom. Of course, there are pros and cons that comes with this system. On the one hand, publishers can give much-needed resources to grow and develop an esports ecosystem. On the other hand, publishers can also single-handedly shut down the whole esports ecosystem if deemed unprofitable. Let’s explore each these advantages and disadvantages in greater depth. 

Advantage #1: No Power Scramble

In Indonesia, four major associations oversee the country’s esports scene, namely the Indonesia Esports Association (IESPA), the Indonesian Video Game Association (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia or AVGI), the Indonesian Esports Federation (Federasi Esports Indonesia or FEI), and the Indonesian Esports Executive Board (Pengurus Besar Esports Indonesia or PBESI). Each association has its own affiliation. For example, IESPA has been a member of the International Esports Federation since 2013 and has been a member of the Indonesian Olympic Committee (Komite Olimpiade Indonesia or KOI) since 2018. In addition, it is also affiliated with the Indonesian Community Recreational Sports Federation (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia or FORMI). On the other hand, PBESI has a close relationship with the Indonesian National Sports Committee (Komite Nasional Olahraga Indonesia or KONI).

In August 2020, KONI recognized esports as a legitimate sport, no longer considered as merely a recreational sport. On the other hand, PBESI’s position is on par with the Football Association of Indonesia (PSSI) or the Badminton Association of Indonesia (PBSI). According to One Esports, however, PBESI is the association with the highest authority or power in promoting esports. All of this information suggests that IESPA’s power or influence in the esports realm is not very widespread. However, IESPA used to be involved in encouraging esports athletes to compete in global competitions and is even responsible for selecting esports athletes at the 2019 SEA Games.

We are proud to announce the Indonesian Esports national team contingent squad for the 2019 SEA Games. Further finalization processes will be carried out by the Indonesian Olympic Committee and @KEMENPORA_RI. Please support us so that Indonesia can win as much gold medals as possible! pic.twitter.com/OZ3apKDZgV

— Indonesia Esports Association (@iespaorg) September 2, 2019

Ideally, these esports associations in Indonesia can work hand in hand to develop the esports ecosystem in the country. Boxing, for example, has four associations that can coexist in overseeing and developing the sport. However, the coexistence of multiple associations does present the possibility of conflict and the overlapping of responsibilities.

Instead, if one single organization controls the whole sport, these power struggle conflict can be prevented entirely. Publishers can ensure that all parties involved in the esports ecosystem (players, teams, tournament organizers) will comply with the rules they set. As a result, the development of the esports ecosystem will become a much more cohesive and stable process.

Let’s compare the absolute power of publishers in the esports scene with a dictatorial government system. People have always said that a democratic system is far better than an autocratic one. However, in a democracy, the government leadership or power will always change once every few years. In Indonesia, for example, a person can serve as president for a maximum of ten years (or two terms). 

Unfortunately, different leaders will have different visions, goals, virtues, and implementation of policies. Erratic changes can occur especially if the new leader comes from the opposing party, which happened in DKI Jakarta a few years ago. When Anies Baswedan and Sandiaga Uno won the DKI Jakarta Regional Head Election in 2017, they immediately modified several policies that were put in place by the previous governors.

PBESI Inauguration. | Source: Hybrid.co.id

Of course, in the context of a country or state, a change in leadership may have a positive impact in the long term. However, in the esports scene, continuity is a very important commodity. For example, let’s say that the majority of the power in the esports scene was in the hands of association A. The association felt that the regeneration of esports players is of utmost importance and subsequently hosted several competitions at the high school and college level. However, the very next year, the power shifted to association B, which considers amateur-level tournaments unnecessary. Association B proceeds to disband all competitions at the student level held by association A in the previous year. You can see how changes of power or influence can cause instability and conflict in the esports ecosystem

On the flip side, countries under dictatorship solely depend on the goals and policies that the dictator implements. Similarly, when the publisher holds absolute power, the success or failure of the esports scene will depend entirely on the publisher’s actions. Fortunately, most game publishers do want their esports ecosystem to thrive since it highly impacts their finances and revenue.

Advantage #2: Publishers will try their best to maintain and cultivate their esports ecosystem

Valve earned approximately $130.8 million USD from the sales of The International 9 Battle Pass. 25% of the total Battle Pass sales — approximately US$32.7 million — went directly to TI9’s prize pool, enabling it to accumulate a whopping $34.3 million USD. Valve, interestingly, only prepared $1.6 million USD for the starting price and pocketed $98.1 million USD from the 75% of remaining sales of the Battle Pass. Dota 2 is a relatively old game, launched in July 2013, which is also free to play. However, due to the massive success of its esports scene, Dota 2 is arguably the most profitable money-making machine for Valve. Looking at Valve’s success from Dota 2, it begs the question: why do some game publishers not opt to maintain or grow their esports scene?

Of course, The International might be an extreme case that is not easily replicable for most publishers out there. However, publishers do have other options for monetizing the esports scene than just using the prize pool. For example, Riot Games creates special and limited skins based on the team that won the League of Legends World Championship. Riot also implemented the franchise league model to generate extra revenue from esports. A franchise league model allows teams to participate in the league if they pay a certain amount of money. Currently, Riot has implemented the model in three different LoL leagues, namely the North American League (LEC), European League (LEC), and South Korean League (LCK). In Indonesia, one of the publishers that adopt the franchise league monetization model is Moonton through Mobile Legends Professional League (MPL).

PBE previews, @DWGKIA for the win!

🏆DWG Nidalee
🏆DWG Kennen
🏆DWG Twisted Fate
🏆DWG Jhin
🏆DWG Leona pic.twitter.com/lk2YxQrWYI

— League of Legends (@LeagueOfLegends) April 13, 2021

Esports can also be used as a marketing tool to maintain the player base and extend the life span of a game. Ubisoft is an example of a successful publisher that uses esports as a means of marketing. In 2016, a year after launching Rainbow Six: Siege, the game only has around 10 million active players. Jumping to 2020, however, that number skyrocketed to 55 million players. This trend usually does not occur in the gaming industry, as games often lose players a few years after their release. However, Ubisoft uses R6’s esports scene to keep the game relevant and maintain the loyalty of its fans.

As we can observe, the esports scene can highly impact the success and relevancy of a game throughout its life span, which is why most game publishers will try their best to develop their esports ecosystem. For example, Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive were used to have a very big scene in Indonesia. However, since both of these franchises’ esports were not properly cultivated in the country, Dota 2 and CS eventually died out in the region. Very few esports organizations in Indonesia still have teams competing in these two games, and the player base in the country is also shrinking rapidly.

ClutchGuild that qualified for AOV World Cup 2018. | Source: Mineski

Similar to Dota 2 and CS, Arena of Valor is also losing its prestige in the local esports ecosystem. However, the AOV esports scene is still very much alive and much more thriving than the two previous games. AOV’s major tournament, Arena of Valor Premier League, is still being held today, with prize pools reaching $350 thousand USD. As you may have already expected, Tencent and Garena were directly involved in hosting these tournaments. Therefore, although some esports ecosystems can survive without publisher support (like what we see locally with Dota 2), the game publisher’s support will extensively affect the degree of success of an esports scene.

Advantage #3: Fixed Set of Rules

In most esports, both tournament organizers and game publishers usually determine the rules in their esport scenes. However, publishers do have a stronger influence to enforce the rules they set since they obviously have direct access to the game. For example, if an esports player cheats in an official PUBG Mobile competition, Tencent can directly ban the player ID from the game. On the other hand, if a player was caught cheating in a third-party tournament, then he/she might only be banned from participating in the tournament. 

We can also take an example from Pro Evolution Soccer, one of the large esports ecosystems in Indonesia without publisher support. The PES esports scene can grow due to the efforts of Liga1PES and also the Indonesia Football e-League (IFeL). Of course, these 2 leagues have implemented their own set of rules. However, Liga1PES will not be able to interfere in the regulations made by IFeL and vice versa, potentially causing several inconsistencies or interference. 

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Source:  IFeL Official Documentation

Indeed, there is a possibility of abusing the absolute power that publishers have. However, referring back to the second point/advantage, publishers will most likely use their influence for the good of the esports ecosystems as it directly impacts their finances. 

Disadvantage #1: Abrupt Shutdowns of the Esports Ecosystem

Although esports can generate a lot of revenue for publishers, creating and maintaining a profitable esports ecosystem is not an easy task. More often than not, publishers have to invest a substantial amount of budget and time to develop the esports scene of their games. As a result, when esports is no longer deemed profitable for the company, it can decide to pull out their investments and shut down the ecosystem overnight. Blizzard Entertainment is an infamous publisher that has done this in the past.

In 2015, Blizzard released Heroes of the Storm as their MOBA franchise. In the same year, Blizzard collaborated with a university-level esports organization, Tespa, to hold a HoTS competition called Heroes of the Dorm. Blizzard provides a prize pool of $25,000 USD in scholarships for the winning team. One year later, in 2016, Blizzard held a top-tier HoTS competition for professionals called Heroes of the Storm Global Championship (HGC). It went all-in on the tournament, making it global, and invested a lot of capital into it. The HoTS esports scene was a massive hit, gathering a number of well-known esports organizations, such as Gen.G from South Korea and Fnatic from England.

Unfortunately, in December 2018, Blizzard decided to stop supporting the HoTS esports scene, considering it to be unprofitable. Blizzard did not inform this move far ahead of time, causing many HoTS professional coaches and players to abruptly lose their jobs. Esports organizations that recently created HoTS teams also suffer sizable losses. Luckily, many loyal HoTS fans continued to push and support the HoTS esports scene, although most tournaments are conducted at a much smaller scale.

Blizzard’s decision to unilaterally shut down HoTS’ esports is one of the negative impacts that may arise when publishers hold absolute power in the esports world. South Korean politicians even reacted to Blizzard’s action and subsequently made regulations to prevent this type of event. In May 2021, Korean Democratic Party congressman Dong-su Yoo proposed a regulation called the Heroes of the Storm Law which ensures that no tournament organizers or game publishers can abruptly cancel or shut down tournaments before properly informing related parties. According to a Naver Sports report, through the HoTS Law, Yoo hopes that game publishers will notify teams and players far ahead of time before executing an event cancellation.

“In esports, if the game publisher is no longer willing to support the competition, the rights of many other parties who are involved in the competitions, including esports organizations, players, casters, viewers, and others would seriously be affected by these kinds of unilateral decisions,” Yoo said, as quoted from The Esports Observer. He pointed out that most esports players are in their early 20s, a vital period of determining a person’s career. Instability or a sudden shut down of an esports ecosystem can have massive consequences. “Laws must be in place to protect them from unilateral damage,” he said.

Disadvantage #2: Publishers who have no interest in Esports

Nintendo, as an example, shows absolutely no interest in building an esports ecosystem out of Super Smash Bros. Contrary to our expections, however, the Super Smash Bros esports scene is actually quite developed. The game is included in EVO, a collection of the most prestigious fighting games competition, and an annual tournament called Smash Summit is also held since 2015. Despite the collective success that has been forged by the community, Nintendo still turns a blind eye towards Super Smash Bros’ esports scene.

Nintendo does provide some form of logistical support to the Smash community once in a while, but it rarely contribute to any sort of financial assistance. As a result, Super Smash Bros tournaments don’t have the large prize pools that we often see in other esports scenes. As a comparison, Smash Summit 5, which currently has the largest prize pool in all of Smash’s esports, only offered a prize of $83.7 thousand USD. On the other hand, MPL, which is only primarily broadcasted in Indonesia, has a prize pool of $150 thousand USD. Furthermore, Riot contributed $2.25 million USD for the League of Legends World Championship prize.

Nintendo’s philosophy towards Smash’s esports scene has generated a lot of backlash from professional Smash players. Eventually, in 2020, Nintendo’s President, Shuntaro Furukawa, was prompted to clarify the reasons behind Nintendo’s decision to not support the Super Smash Bros esports ecosystem. He explained that Nintendo wanted the game to be enjoyed by both casual and also hardcore players. Nintendo didn’t want to accentuate the differences in skills between the two groups. Indeed, most people do consider Super Smash Bros to be a much more casual fighting game played for fun and entertainment.

“Esports, in which players compete on stage for prize money as an audience watches, demonstrates one of the wonderful charms of video games,” Furukawa told Nikkei, as translated by Kotaku. “We are not necessarily opposing the idea of esports. However, we also want our games to be widely enjoyed by anyone regardless of experience, gender, or age. We want to be able to participate in a wide range of different events, instead of merely competing for prize money. Our strength, what differentiates us from other companies, is this different viewpoint.

Disadvantage #3: Declining Legitimacy of Third Party Tournaments

Let’s go back to Dota 2 for a moment. You probably have realized by now that The International is essentially the World Cup for Dota 2 players. Winning a TI is the pinnacle of all Dota 2 pros due to the sheer scale in prize pool money. 

For Valve, the massive hype for TI is definitely beneficial for the company. For third-party tournament organizers, however, not so much. Obviously, third-party tournaments are incredibly insignificant compared to TI. You can probably win all non-TI tournaments in a year and still can’t get close to TI’s winning prize or prestige. Thus, some teams or players might be discouraged to participate in these smaller-scale tournaments. Subsequently, the tournament organizers might have a more difficult time getting views from audiences.

Furthermore, small-scale tournaments created by third-party organizers usually find it difficult to compete with official tournaments from publishers in terms of prestige. When you watch The International or PUBG Mobile Global Championship, you know that the teams competing in those tournaments are some of the best teams in the world. The teams in these high-tier tournaments need to go through a “preliminary round” at the national or regional level, filtering all the less competent teams. You can also observe which teams can compete at the national, regional, and global levels.

Astralis and Team Liquid, winners of Intel Grand Slam Season 1 and 2. | Source: Dexerto

Of course, not all third-party TOs are willing to spend substantial investments to create this “filtration” process or a tiered esports competition. One exception is Intel, a non-publisher company that held the Intel Grand Slam with help from ESL Gaming. Intel Grand Slam offers a $1 million USD prize for a CS:GO team that wins 4 S-Tier tournaments in a window of 10 consecutive esport events.

The existence of the Intel Grand Slam does prove, to a certain extent, that third-party organizations can create high-tier and competitive tournaments. But, of course, not many companies are willing to invest as much as Intel. Intel has an adequate budget and is also considered an endemic brand in esports. As an illustration, in 2020, Intel’s revenue reached $ 77.87 billion USD. On the other hand, NVIDIA’s revenue in the 2021 fiscal year was only $16.68 billion USD, while Sony’s is $10.7 billion USD, and Lenovo Group only accumulated $50.7 billion USD.

Conclusion

There is a saying that goes: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. A person or entity who has complete control is very likely to make selfish decisions that will benefit themself. In the world of esports, publishers –  who always have absolute control – also have the potential to act arbitrarily, evident from Blizzard’s decision to unilaterally shutting down the Heroes of the Storm esports ecosystem.

Of course, not all companies will follow in Blizzard’s footsteps. Most publishers out there do consider esports as a marketing tool to attract new audiences, maintain the loyalty of fans, and subsequently generate revenue. However, establishing a healthy esports ecosystem is can be difficult, and will need the collective support of professional teams, players, and tournament organizers. Therefore, while publishers have all the power to make all the decisions, they must also take the necessary steps to benefit all parties if they were to create a profitable esports scene. 

Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Bermain RPG: Mengaburnya Batasan antara Dunia Nyata dan Fiksi

RPG adalah salah satu genre favorit gamers di dunia. Menurut Statista, 69% gamers mengatakan, single player RPG merupakan tipe game favorit mereka sementara 73,6% gamers sangat menyukai MMORPG. Tipe game RPG juga sangat populer di Tiongkok dan India.

Persentase gamers yang menyukai sejumlah genre game di Tiongkok, India, dan Indonesia. | Sumber: Statista

Buktinya, di Tiongkok, jumlah gamers yang menyukai single player RPG mencapai 83,2% dan MMORPG 84%. Sementara di India, jumlah gamers yang menyukai single player RPG mencapai 81,8% dan MMORPG 77,8%. Di Indonesia, jumlah gamers yang menyukai RPG memang tidak sebanyak di Tiongkok atau India, tapi jumlahnya tetap cukup signifikan. Sebanya 66,4% gamers Indonesia menyukai single player RPG dan 67,6% gamres suka MMORPG.

Hal ini memunculkan pertanyaan:

Kenapa Gamers Suka Main RPG?

Salah satu hal yang membedakan RPG dengan game bergenre lain adalah dunia yang imersif dan alur cerita yang kompleks. Dua hal ini memungkinkan pemain untuk fokus sepenuhnya pada segala sesuatu yang terjadi di dalam game dan melupakan masalah mereka di dunia nyata, walau hanya sejenak. Dengan kata lain, salah satu alasan mengapa gamers senang bermain RPG adalah sebagai bentuk escapism.

Sebagai manusia, kita memang tidak bisa terus melarikan diri dari masalah yang ada di dunia nyata. Namun, kita juga tidak bisa menghabiskan seluruh waktu kita hanya untuk bekerja. Bermain game bisa jadi salah satu kegiatan yang dilakukan saat seseorang sedang beristirahat. Faktanya, bermain RPG bisa membantu pemain untuk menghadapi brain strain.

Ketika seseorang menerima informasi baru, otak akan memproses informasi tersebut sebelum menyimpannya ke memori sehingga ingatan tersebut bisa diingat kembali di masa depan. Hanya saja, ketika seseorang stres, proses ini tidak berjalan dengan lancar. Informasi yang seharusnya diproses oleh otak justru menjadi tersendat. Saat seorang bermain game, rasa stres akan menghilang atau setidaknya, berkurang. Hal ini memungkinkan otak untuk kembali mencerna informasi baru. Jika dibandingkan dengan genre lain, RPG memang akan menyajikan informasi baru lebih banyak. Alhasil, otak bisa bekerja seperti seharusnya dan informasi yang tadinya tersendat bisa diproses oleh alam bawah sadar.

Bermain RPG bisa bantu pemainnya atasi brain strain. | Sumber: UAB

Hal lain yang menjadi daya tarik dari RPG adalah kemungkinan untuk memainkan banyak peran. Bahkan di MMORPG, yang biasanya lebih fokus pada pertarungan daripada cerita, pemain tetap bisa memilih peran yang ingin dimainkan. Tergantung pada peran yang Anda pilih — mulai dari DPS, Tank, sampai Support — maka pengalaman bermain yang Anda dapatkan pun akan berbeda. Sementara di single player RPG yang menjadikan cerita sebagai daya jual, pemain bahkan punya kekuasaan untuk mengubah alur cerita. Contohnya, Undertale. Dalam game tersebut, ending yang Anda dapatkan akan tergantung pada berapa banyak monster yang Anda bunuh sepanjang perjalanan Anda.

Dalam Tabletop RPG (TTRPG), pemain bahkan lebih leluasa dalam mendesain karakter mereka. Sebagai contoh, dalam Dungeons & Dragons, Anda tidak hanya bisa menentukan class dan ras dari karakter yang Anda mainkan, tapi juga background dari karakter tersebut. Background juga akan memengaruhi kemampuan yang dimiliki oleh seorang karakter. Karakter yang memiliki Criminal sebagai background akan dapat menghubungi jaringan kriminal di sebuah kota. Sebaliknya, karakter yang merupakan City Watch justru dapat menemukan organisasi penegak hukum di sebuah kota. Tak hanya itu, seorang City Watch juga akan bisa menemukan pusat kegiatan kriminal di satu kota. Dengan begitu, walaupun Anda dan teman Anda memutuskan untuk memainkan class dan ras yang sama, gaya bermain Anda dan teman Anda tetap bisa berbeda.

Walau tidak semua, RPG juga mendorong para pemainnya untuk bersosialisasi. MMORPG biasanya didesain untuk mendorong para pemainnya agar bekerja sama dengan satu sama lain. Karena itulah, MMORPG biasanya punya sistem klan/guild. Selain itu, masing-masin class/job di MMORPG juga punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Alhasil, pemain harus saling bekerja sama untuk menutupi kelemahan class/job mereka. Begitu juga dengan TTRPG. Dalam TTRPG seperti Dungeons & Dragons, pemain bahkan bisa menghindari pertarungan sama sekali jika mereka bersedia untuk bernegoisasi.

Di tengah pandemi, game tidak hanya menjadi kegiatan untuk melepas stres, tapi juga menjadi tempat bagi teman dan keluarga untuk berkumpul bersama dan saling berkomunikasi. Stereotipe bahwa gamers adalah penyendiri tak lebih dari mitos.

Apa yang Menarik dari The Sims dan Harvest Moon?

Jika salah satu daya tarik RPG adalah dunia yang sama sekali berbeda dari dunia nyata, maka game simulasi seperti The Sims dan Harvest Moon menjadi antitesis dari RPG. Pasalnya, The Sims merupakan simulasi dari kehidupan sehari-hari. Sementara Harvest Moon merupakan salah satu contoh game simulasi bercocok tanam, sesuatu yang bisa Anda lakukan di dunia nyata. Meskipun begitu, tetap ada gamers yang senang untuk bermain game simulasi kehidupan sehari-hari atau simulasi menjadi petani. Buktinya, Electronic Arts masih memberikan update untuk The Sims 4. Tak hanya itu, dari hari ke hari, jumlah game simulasi bertani terus bertambah. Salah satu yang terbaru adalah Coral Island dari Stairway Games, studio asal Yogyakarta, Indonesia.

Coral Island jadi salah satu game simulasi petani terbaru. | Sumber: Steam

Di tengah pandemi, banyak orang yang merasa hidupnya menjadi kacau balau; mulai dari mereka yang harus membatalkan rencana liburan bersama teman atau keluarga, mereka yang kehilangan pekerjaan, sampai mereka yang kehilangan orang-orang terdekat mereka. Chris Ferguson, dosen psikologi di Stetson University, menjelaskan bahwa memainkan game seperti The Sims dan Animal Crossing bisa membuat para pemain merasa punya kendali. Walau pemain tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di dunia nyata, tapi mereka memegang kendali atas kehidupan karakter dalam game.

Selain kehidupan perseorangan, pandemi juga mendisrupsi tatanan dunia. Memainkan game simulasi kehidupan bisa memberikan para pemain sense of continuity, memudahkan mereka dalam melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka. “Walau rutinitas sehari-hari kita di dunia nyata terganggu, setidaknya, kita bisa melanjutkan kehidupan dari karakter kita di game,” kata Thaddeus Griebel, seperti dikutip dari CNBC.

Griebel merupakan penulis dari jurnal berjudul Self-Portrayal in a Simulated Life: Projecting Personality and Values in The Sims 2. Studi yang dirilis pada 2006 itu berusaha untuk menjawab pertanyaan apakah gamers memang memproyeksikan diri mereka ketika mereka bermain The Sims. Dalam studi tersebut, Griebel menemukan, beberapa nilai yang dianggap penting oleh pemain dalam dunia nyata akan tercermin pada karakter The Sims. Misalnya, pemain yang mementingkan kekayaan akan berusaha untuk membuat karakter mereka kaya, walau hal itu berarti, karakter mereka harus melakukan pekerjaan yang membosankan. Sementara pemain yang menganggap kreativitas penting akan membuat karakter yang aktif melakukan hal-hal berbau seni, seperti melukis dan bermain piano.

Selain itu, sebanyak 70% dari partisipan studi Griebel mengatakan bahwa kehidupan karakter The Sims mereka merupakan cerminan dari kehidupan mereka. Sebagai contoh, sebanyak 10 partisipann mengaku, struktur keluarga dari karakter The Sims mereka sama seperti struktur keluarga mereka. Sementara sembilan partisipan mengatakan, karakter The Sims mereka punya hobi dan aspirasi yang sama dengan diri mereka.

Karakter The Sims bisa menjadi refleksi karakter pemain di dunia nyata. | Sumber: EA

“The Sims memberikan kesempatan pada semua orang untuk membuat karakter yang dapat merefleksikan diri mereka, harapan dan mimpi mereka, atau bahkan ketakutan mereka,” kata John Suler, dosen psikologi di Rider University. “Pengalaman tersebut dapat memperkaya pengalaman hidup seseorang.”

Bermain Peran, dari Sisi Psikologis

Secara harfiah, role-playing berarti memainkan peran. Sebenarnya, bermain peran adalah sesuatu yang sudah kita lakukan sejak kecil. Misalnya, ketika anak-anak bermain rumah-rumahan, setiap anak akan punya peran dan masing-masing dari mereka harus berperilaku sesuai dengan perannya. Contoh lainnya adalah ketika anak-anak bermain petak umpet. Dalam permainan tersebut, ada dua peran yang harus dimainkan, yaitu orang yang bersembunyi dan pencari.

Selain sebagai permainan, bermain peran juga membantu anak untuk memahami konsep theory of mind alias teori pikiran. Seorang anak yang paham akan teori pikiran akan mengerti bahwa orang lain — seperti teman atau guru mereka — punya pemikiran yang berbeda dari mereka sendiri. Memahami teori pikiran akan membantu anak untuk berempati pada orang lain, seperti yang disebutkan dalam studi Psychology and Role-Playing Games.

Sebenarnya, bermain peran tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tapi juga remaja dan orang dewasa. Pada remaja, bermain peran bisa menjadi bagian dari proses pencarian jati diri mereka. Sementara itu, orang dewasa biasanya melakukan role-playing dalam lingkup tertentu, seperti ketika seorang aktor atau aktris sedang berakting atau ketika seorang penulis membuat cerita atau novel. Di luar lingkup tersebut, orang dewasa yang bermain peran biasanya akan mendapatkan stigma buruk. Meskipun begitu, orang dewasa tetap bisa mendapatkan keuntungan dari bermain peran, seperti kesempatan untuk membangun komunitas, meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah, media untuk mengeksplorasi jati diri, meningkatkan empati serta kemampuan berpikir kritis.

Fiksi vs Kenyataan

Bermain peran tentunya tak lepas dari unsur narasi atau cerita. Selama ini, manusia menggunakan cerita untuk menyampaikan informasi. Selain itu, cerita juga bisa membantu kita untuk memahami pengalaman hidup yang mungkin terasa membingungkan. Pada dasarnya, cerita fiksi maupun cerita nyata punya tujuan yang sama: berbagi informasi, menjalin hubungan antara penulis cerita dengan audiens, dan membuat audiens merasakan perasaan tertentu, baik emosi positif seperti rasa senang atau emosi negatif, seperti rasa marah. Hal yang membedakan antara cerita nyata dan fiksi adalah apakah sebuah cerita menyampaikan sesuatu yang benar terjadi atau tidak.

Meski tidak membahas informasi nyata, cerita fiksi tetap bisa memengaruhi pemikiran dan tumbuh kembang seseorang. Studi membuktikan, membacakan dongeng pada anak sebelum tidur punya dampak pada perkembangan kemampuan literasi sang anak. Pada orang dewasa, cerita fiksi juga bisa mendorong mereka untuk tumbuh sebagai individu. Hanya saja, sebagian orang merasa kesulitan untuk membedakan dunia nyata dan fiksi, khususnya anak-anak dan remaja.

Pada 2016, Stanford University melakukan studi pada 7,8 ribu siswa SMP, SMA, dan mahasiswa. Mereka menemukan, 80% siswa SMP percaya, iklan yang mereka lihat di internet merupakan berita nyata. Sementara 80% siswa SMA kesulitan untuk membedakan antara foto yang nyata dan foto palsu. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kemampuan generasi muda untuk mencerna informasi di internet secara kritis. Dan hal ini bisa menyebabkan tragedi.

Slenderman adalah tokoh fiksi yang sering masuk dalam cerita horor. | Sumber: Netflix

Dalam sebuah kasus ekstrem, dua anak perempuan berumur 12 tahun mengajak seorang teman mereka ke hutan dan menusuknya 19 kali. Mereka melakukan itu karena mereka ingin membuat kagum Slenderman. Padahal, Slenderman tak lebih dari karakter fiksi yang sering muncul di cerita horor. Kepada pihak berwajib, salah satu pelaku penusukan mengatakan, Slenderman merupakan pemimpin dari situs yang sering mereka kunjungi. Dan jika dia ingin mendapatkan perhatian Slenderman, dia harus membunuh seseorang.

Memang, berdasarkan studi tentang otak, proses kognitif untuk mencerna cerita fiksi sama seperti proses kognitif untuk memahami cerita nyata. Sementara studi terkait fMRI menunjukkan, persepsi seseorang akan konten fiksi dipengaruhi apakah konten tersebut relevan atau tidak dengan kehidupan mereka. Semakin relevan konten fiksi dalam hidup seseorang, maka semakin besar kemungkinan konten tersebut terasa nyata. Dua hal ini bisa menjelaskan mengapa bagi sebagian orang, cerita fiksi terasa nyata. Namun, hal itu bukan berarti kita harus berhenti berpikir kritis ketika kita mengonsumsi konten fiksi, khususnya di jagat maya.

Menurut studi Walking the Line between Reality and Fiction in Online Spaces: Understanding the Effects of Narrative Transportation, salah satu cara untuk dapat membedakan fiksi dan kenyataan adalah memahami keseluruhan cerita. Artinya, ketika membaca cerita di internet, seseorang tidak hanya harus mempertimbangkan isi yang tertuang secara eksplisit, tapi juga segala sesuatu yang membuat cerita itu tercipta, termasuk dari budaya dan konsep sosial yang lazim dari tempat asal sang penulis.

Kesimpulan

Pernahkah Anda merasa malu ketika Anda menonton seorang tokoh publik melakukan hal memalukan di TV? Fenomena itu terjadi karena bagian otak yang berfungsi untuk mencerna stimuli di layar kaca sama seperti bagian otak yang bertugas mencerna rangsangan di dunia nyata. Hal ini juga menjadi alasan mengapa kita bisa terhanyut dalam dunia fiksi — baik saat kita bermain RPG atau saat kita membaca cerita fiksi.

Dari game dan cerita fiksi, ada banyak hal yang bisa kita pelajari, mulai dari empati sampai cara untuk memecahkan masalah. Hanya saja, jika kita tidak berpikir kritis saat mengonsumsi cerita fiksi — dalam bentuk cerita di internet atau game — kita bisa menjadi korban dari propaganda. Karena internet dan game memang bisa menjadi alat untuk menyebarkan propaganda. Tak hanya itu, memercaya fiksi sebagai kenyataan juga bisa membuat kita melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti membunuh seseorang hanya demi membuat kagum tokoh fiksi dalam cerita horor.

Sumber header: Twitter