Sejarah Counter-Strike: Yang Tak Pernah Mati Sejak 1999

Tak bisa dipungkiri bahwa CS:GO adalah salah satu fenomena budaya yang besar di kalangan gamers. Seakan hidup abadi, game ini sudah hadir selama 21 tahun lamanya, sejak 1999 lalu hingga tahun 2020 ini. Sepanjang perjalanannya, game ini juga sudah banyak memberi dampak kepada ekosistem gaming, seperti menjadi salah satu game yang mendefinisikan genre FPS, juga menjadi salah satu game yang mendefinisikan ekosistem esports sejak zaman dahulu kala dan bahkan masih jadi salah satu gelaran esports tersukses di tahun 2019 lalu.

Namun demikian semua itu tidak ada artinya jika Counter-Strike tidak pernah dibuat. Kali ini kita akan menyusuri masa lalu, melihat sejarah Counter-Strike, salah satu game yang telah mendefinisikan genre FPS dan juga esports sejak 21 tahun lalu.

Berawal dari Custom Game Half-Life

Nyatanya, tidak sedikit game yang sukses memulai perjalanannya dari custom game. Sudah banyak game jadi bukti akan hal tersebut, seperti Dota 2 dari custom game Warcraft III, PUBG dari custom game ARMA III, bahkan Dota 2 menelurkan game populer lain lewat custom game, yaitu Auto Chess.

Begitu juga dengan Counter Strike (CS), yang lahir dari custom game Half Life. Ketika itu Counter-Strike digagas oleh dua orang gamers yang memiliki ide dan mencoba menerapkan hal tersebut ke dalam Half Life. Dua orang tersebut adalah Minh Le (Gooseman) dan Jess Cliffe (Cliffe).

Pada masa itu, Minh Le dan Jess Cliffe bukanlah developer profesional, melainkan hanya mahasiswa yang menyukai video game dan ingin mencoba membuat sebuah karya dari hal yang ia sukai. Permainan yang bertema “polisi-polisian” ini juga tercetus karena kesukaan Gooseman terhadap hal tersebut.

Le sempat menceritakan ini dalam dokumenter singkat dari Valve. “Ketika itu saya sangat tertarik sekali dengan pasukan anti-teror. Saya merasa pekerjaan mereka memiliki kerumitannya tersendiri dari segi persenjataan ataupun taktik yang mereka gunakan. Saya pun berpikir bahwa hal tersebut akan menjadi tema yang keren untuk sebuah game.” ucap Gooseman dalam video tersebut.

Half-Life yang digunakan Gooseman dan Cliffe sebagai basis pengembangan CS juga berdasarkan dari tema yang ingin mereka bawa ke dalamnya. Padahal, Half-Life bukan satu-satunya game FPS yang bisa dibongkar ulang dan dijadikan game baru. Pada masa tersebut, ada juga Unreal Tournament serta Quake, dua game yang punya pengaruh terhadap perkembangan genre FPS, yang bahkan salah satunya adalah game pencipta tren kontrol WASD pada game FPS.

Half-Life pun dipilih meski Minh Le mengakui kesulitan dalam merombak engine Half-Life. “Saya mengerjakan proyek ini sekitar 30 sampai 40 jam per-minggu, sembari saya menyelesaikan studi di universitas.” Ucapnya kepada GameSpot.

Sembari pengembangan dilakukan, hal lain yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah nama game tersebut. Salah satu pengguna Reddit menemukan tangkapan gambar diskusi antara Gooseman dengan Cliffe saat mereka ingin menentukan nama game-nya. Gooseman sempat memberi ide nama Counter-Terrorist Forces. Namun Cliffe datang dengan ide nama yang juga disukai oleh Gooseman, yaitu Counter-Strike. Gooseman bahkan bercerita, sebelumnya mereka berdua sempat memikirkan nama lain seperti International World Soldiers dan Frag Forces.

Counter-Strike, Komunitas dan Dust2

Cerita sejarah CS adalah bentuk nyata dari kesuksesan pengembangan terbuka, atau yang biasa disebut Open-Source. Mengembangkan CS sambil menyelesaikan kuliah, Gooseman dan Cliffe mengaku tidak punya banyak waktu dalam memikirkan dan membuat semua elemen dari permainan Counter-Strike. Maka dari itu, pengembangan game multiplayer ini dilakukan sepenuhnya secara terbuka, dengan Gooseman dan Cliffe memberikan komunitas kebebasan untuk membuat apapun yang mereka inginkan.

“Kami sebenarnya tidak membuat satu pun map di dalam Counter-Strike. Semua map dibuat oleh komunitas. Mereka akan membuat sebuah map, lalu mengirimkannya kepada kami dan kami akan meninjau map tersebut. Selanjutnya kami akan memilih mana yang kami suka dan memasukkannya ke dalam versi CS yang akan dirilis berikutnya. Jadi pada dasarnya, begitulah game ini dikembangkan. Ketika itu ya saya, rekan saya Cliffe, dan komunitas. Bisa dibilang CS seperti game yang dikembangkan bersama.” Cerita Minh Le kepada Gamespot.

Sumber: GameReactor
Gooseman saat diwawancara oleh salah satu media game asal Eropa. Sumber: GameReactor

Cara pengembangan ini membuat komunitas jadi sangat bersemangat. Kebanyakan dari mereka bahkan menjadi bagian dari perkembangan Counter-Strike itu sendiri. “Padahal pada awalnya, kami berjuang setengah mati, memohon-mohon kepada orang orang-orang mau mencoba versi play-test dari Counter-Strike. Dahulu saya mencoba meminta pada kolega kuliah saya, dan mereka merespon dengan ‘tidak, terima kasih.” Ucap Cliffe dalam dokumenter dari Valve.

“Pada awal pengembangan, komentar dari komunitas menjadi warna bagi versi beta Counter-Strike berikutnya yang akan kami rilis. Kami merasakan energi positif yang sangat besar dari komunitas waktu itu,” cerita Clfife. “Orang-orang mengirimkan banyak sekali konten kepada kami. Mungkin kami pernah menerima ratusan map buatan komunitas dalam satu hari ketika itu.” Ucap Minh Le.

Sumber: Official CS:GO Blog
Sumber: Official CS:GO Blog

Metode ini juga yang membuat CS punya satu map yang paling legendaris, yaitu de_dust2. Seperti map lainnya, de_dust2 juga diciptakan oleh komunitas. Penciptanya adalah Dave Johnston, yang pertama kali membuat map ini pada Counter-Strike 1.0 pada tahun 2000 lalu. De_Dust2 menjadi map yang mendefinisikan Counter-Strike sejak lama.

Sebenarnya CS:GO punya ragam map yang mungkin tak kalah ikonik. Sebut saja tempat seperti cs_office, de_aztec, atau bahkan map pertama buatan Minh Le dan Cliffe yaitu cs_mansion yang selanjutnya diubah menjadi cs_estate. Namun de_dust2 seperti tak tergantikan dan bertahan sampai saat ini.

Joab Gilroy menulis di Red Bull Esports soal pengalamannya tumbuh besar bersama Counter-Strike. Pada masanya, ketika CS masuk versi beta 6.5, map Dust dan Dust 2 adalah dua map yang paling banyak dimainkan oleh para pemain. Walau ada map lain seperti, cs_office, cs_italy, atau de_aztec, namun para pemain seakan tutup mata dan hanya ingin memainkan de_dust saja.

“Mungkin karena Dust2 adalah map yang sederhana namun mendalam. Tetapi memang, popularitasnya juga terbantu karena map Dust yang sudah lebih dulu populer. Map ini jadi populer hingga kini juga mungkin karena Dust 2 adalah satu hal konstan yang membuat pemain CS dari berbagai generasi berkumpul dan menganggap map tersebut sebagai zona nyaman, walaupun map tersebut mungkin bukan yang paling seru dan mengasyikkan.” Ujar Dave Johnston dalam wawancara singkat bersama RockPaperShotgun.

Seiring pengembangan, Counter-Strike dan Dust2 mendapatkan perhatian yang sangat besar dari para gamers. Doug Lombardi dari Valve bercerita bahwa pada sekitar awal 2000an, CS sudah dimainkan 8000 orang. “Tak lama, sepekan kemudian jumlahnya meningkat jadi 12 ribu, lalu satu bulan kemudian jadi 16 ribu. Melihat keadaan ini, artinya pasti ada sesuatu di dalam komunitas. Makanya ketika itu kami dari Valve penasaran dan ingin sekali mengajak kerja sama pengembang Counter-Strike.

Sumber: Dokumenter Valve
Sumber: Dokumenter Valve

Berkat hal tersebut, Gooseman dan Cliffe direkrut oleh Valve untuk mengerjakan Counter-Strike. “Sungguh mengagumkan bisa bicara bersama Valve ketika itu. Kami mengidolakan mereka. Kami suka Half-Life dan kami juga menyukai Valve.” Sejak saat itu, popularitas Counter-Strike meledak, digunakan untuk berkompetisi, bahkan menggusur popularitas Quake sebagai game FPS kompetitif terpopuler di awal tahun 2000an. Popularitas ini membawa Counter-Strike ke tahap berikutnya.

Rilisnya Steam dan Eksperimen Valve terhadap Counter-Strike

Tahun 2003 Valve merilis Steam (Anda bisa membaca sejarah Valve di artikel yang kami tuliskan sebelumnya). Hal ini tentu berdampak langsung kepada Counter-Strike itu sendiri. Salah satunya adalah dari sisi distribusi update versi gameplay yang jadi lebih mudah. Duncan Shield (Thorin) sempat bercerita dalam dokumenter resmi Valve soal ini.

“Dahulu sebelum ada Steam, kehadiran patch terasa sangat menyedihkan karena artinya kami bakal tidak akan main CS selama 2 hari. Karena internet ketika itu masih sangat lambat. Dan tanpa Steam, semua orang di seluruh dunia terpaksa mengunduh update tersebut hanya dari satu server saja yang membuatnya terbebani dengan sangat berat.” Namun kehadiran Steam di tahun 2003 seakan menjadi penyelamat bagi komunitas. Dengan fitur auto-update dan server dari Valve, membuat update versi CS jadi lebih mudah dan cepat.

Sumber: PCGamer
Penampilan Steam saat pertama kali rilis di tahun 2003. Sumber: PCGamer

Tetapi, pasca Steam rilis pada tahun 2003, tahun berikutnya malah seperti menjadi masa kegelapan CS. Setelah sukses dengan Counter-Strike, Valve mulai bereksperimen dengan berbagai macam hal, dan mencoba menciptakan produk baru dari brand game populer ini. Satu percobaan yang pertama adalah merilis Counter-Strike untuk Xbox.

Game yang diberi nama Counter-Strike Xbox Edition pertama kali diumumkan pada Mei 2002 di gelaran E3. Berbasis kepada Counter-Strike: Condition Zero, game ini dikembangkan bersama dengan pengembang yang kini terkenal lewat seri Borderlands, yaitu Gearbox Software. Namun proses pengembangan tidak berjalan lancar, Gearbox Software meninggalkan Valve pada Juli 2002 seraya mengakhiri pengembangan terhadap Counter-Strike: Condition Zero.

Walau mengalami perjalanan pengembangan yang cukup berat akhirnya game ini rilis 18 November 2003, yang juga menjadi percobaan pertama Counter-Strike bersaing di ranah konsol. Walau berbasis pada Condition Zero, namun Counter-Strike Xbox Edition tidak menghadirkan Single-Player Campaign. Alhasil banyak komentar miring menanggapi hal tersebut. IGN, misalnya, yang mengatakan bahwa membeli Counter-Strike Xbox Edition tanpa berlangganan Xbox Live untuk kebutuhan bermain online akan jadi sia-sia.

Memang Counter-Strike Xbox Edition hanya menyertakan permainan Single-Player berupa gameplay yang serupa seperti Multiplayer, namun melawan bot atau AI. Walau mungkin Counter-Strike versi ini tidak terlalu banyak diketahui orang-orang, namun Counter-Strike Xbox Edition ternyata cukup sukses. Pada tahun 2008, game ini sudah terjual sebanyak 1,5 juta kopi di pasaran.

Sejarah Counter-Strike CS: Xbox Edition
Sumber: Official Valve

Lalu setelahnya ada juga Counter-Strike: Condition Zero. Versi Counter-Strike ini menjadi percobaan Valve menyajikan Single-Player Campaign ke dalam custom game buatan Gooseman dan Cliffe. Namun pengembangan CS:CZ mengalami jalan berliku berbarengan dengan perilisan CS: Xbox Edition.

Awal pengembangan game ini dimulai dari tahun 2001 dikembangkan bersama dengan Rogue Entertainment. Lalu melihat ketidakstabilan finansial dari pengembang tersebut, pengembangan lalu dipindah ke Gearbox Software. Namun setelah satu tahun pengembangan, Gearbox juga meninggalkan Valve sesaat Counter-Strike: Xbox Edition diumumkan. Pertengahan 2002, Ritual Entertainment mengambil alih pengembangan, sampai akhirnya Turtle Rock Studios mengambil pengembangan di pertengahan 2003 sampai akhirnya game ini selesai.

Setelah terseok-seok dan berkali-kali pindah tangan pengembangan, Counter-Strike: Condition Zero akhirnya rilis 23 Maret 2004 untuk Windows. Saat rilis, CS:CZ mendapatkan penilaian yang bercampur aduk dari media dan mendapat skor 65/100 dari Metacritic. Beberapa fitur yang dihadirkan seperti mode melawan bot dengan misi yang diberi nama Tour of Duty, mendapat ulasan yang cukup baik. PCZone bahkan mengatakan bahwa bot yang dihadirkan begitu pintar, sampai-sampai membuat “rata-rata pemain online terlihat seperti babon yang baru dilahirkan”.

Tetapi satu kritik yang senada dari game ini adalah engine game yang ketinggalan zaman. Banyak ulasan media mengatakan bahwa CS:CZ hadir terlambat, membuat game ini kalah saing secara visual jika dibandingkan dengan game shooter lain yang rilis pada masa tersebut. Namun lagi-lagi, game ini memiliki performa penjualan yang cukup lumayan, dengan total penjualan sebanyak 2,9 juta kopi terjual via retail menurut data tahun 2008.

Terakhir, pada masa yang tidak begitu jauh dari CS: Xbox Ediiton dan CS: Condition Zero, Valve juga merilis Counter-Strike: Source. Beda dengan dua versi sebelumnya yang bisa dibilang eksperimen, CS: Source mungkin dibuat untuk menjadi suksesor custom game orisinil buatan Gooseman dan Cliffe; atau mungkin bisa disebut sebagai CS 2.0?

Rilis pada November 2004, CS: Source punya gameplay yang serupa seperti versi orisinil, fokus pada multiplayer dengan membawa map-map ikonik khas Counter-Strike. Satu perbedaan yang cukup terasa adalah penggunaan engine berbeda, membuat grafis Counter-Strike jadi lebih baik. Pengembangan game ini terbilang cukup lancar-lancar saja namun yang jadi masalah bagi CS: Source adalah respon para pemain Counter-Strike generasi lama.

Menggunakan engine yang berbeda membuat beberapa mekanisme permainan jadi terasa berbeda di dalam CS:Source. Beberapa hal di antaranya seperti asap dari Smoke Grenade menyebar lebih lambat jika dibandingkan dengan CS 1.6. Efek Flashbang juga jadi lebih jelas, ditambah pantulan dalam CS:Source juga lebih terasa jika dibandingkan dengan CS 1.6.

Sejarah Counter-Strike CS: Source
Sumber: Official Valve

Recoil senjata juga jadi hal lain yang berubah di CS:Source. Recoil senjata kini jadi lebih menyebar, membuat pemain jadi kesulitan untuk menembak dengan akurat. Hal terakhir, detil yang mungkin terasa kurang penting dalam permainan kompetitif adalah kehadiran benda-benda yang akan terlempar jika terkena tembakan seperti tong besi ataupun benda-benda kecil lainnya.

Banyaknya perubahan ini banyak membuat pemain lama Counter-Strike jadi tidak nyaman dengan Counter-Strike Source. Akhirnya, game ini mengalami respon yang kurang baik, terutama dari sisi skena kompetitif. Hal ini berdampak kepada kehadiran dua kubu di dunia kompetitif. Seseorang dari forum Team Liquid dengan username SaveYourSavior menganalogikan CS:Source layaknya StarCraft 2 vs StarCraft: BroodWar atau seperti Super Smash Bros: Brawl vs Super Smash Bros: Melee. CS:Source ketika itu dianggap hanya memperbaiki Counter-Strike dari sisi grafis, namun malah memiliki banyak sekali kekurangan dari segi gameplay.

Beberapa orang dalam forum tersebut malah mengatakan bahwa CS:Source terasa lebih mudah dibanding dengan CS 1.6 karena recoil yang random, serta hitbox kepala yang terasa lebih besar sehingga headshot jadi lebih mudah. Alhasil, seakan terjadi perang sipil di antara komunitas pemain CS 1.6 melawan pemain CS: Source, layaknya perang antara pemain Dota 2 dengan pemain Custom Game Warcraft Defense of the Ancient dulu kala.

Sumber: Official Valve
Bagi Anda yang sudah main warnet sejak awal tahun 2000an mungkin akan merasakan nostalgia jika melihat gambar ini. Sumber: Official Valve

Dampak perang sipil Counter-Strike ini bahkan mencapai tingkat dunia kompetitif. Ketika istilah esports belum banyak digaungkan, penyelenggara turnamen kadang terpaksa mengadakan kompetisi untuk kedua game (Source dan 1.6). Mengutip dari Kotaku, salah satu brand kompetisi terbesar pada masa itu yaitu World Cyber Games (WCG), bahkan menerima reaksi yang sangat buruk dari komunitas ketika mereka hanya menghadirkan kompetisi Counter-Strike: Source saja. Akhirnya setelah itu WCG kembali menggunakan CS 1.6 sebagai game yang dipertandingkan dan terus dipertahankan.

Hal ini juga berdampak kepada penjualan Counter-Strike: Source. Tercatat, Counter-Strike: Source hanya terjual 2,1 juta kopi saja sampai akhir tahun 2008 lalu. Walau itu bukan angka yang kecil, namun penjualannya kalah dibanding dengan Counter-Strike: Condition Zero yang terbilang eksperimental dan tentunya Counter-Strike yang orisinil.

Counter-Strike:Global Offensive Penyelamat Counter-Strike di Masa Modern

Setelah kurang lebih delapan tahun perang sipil antara pemain Counter-Strike 1.6 dengan Counter-Strike: Source terjadi, 12 Agustus 2012 Counter-Strike:Global Offensive (CS:GO) resmi dirilis; seri terbaru Counter-Strike yang nantinya akan menjadi pemersatu komunitas. CS:GO merupakan penerus langsung dari CS 1.6 dan juga CS:Source dengan ciri khas berupa permainan yang fokus pada online multiplayer.

Namun demikian CS:GO tidak serta-merta langsung bagus dan diterima secara baik oleh komunitas saat pertama rilis. Pemain Astralis, Andreas Hojsleth (Xyp9x) sempat mengatakan dalam dokumenter TheScoreEsports bahwa dahulu ada banyak hal yang membuat CS:GO kurang menyenangkan saat pertama kali rilis. Salah satu contoh yang ia sebut adalah utility Molotov yang overpowered, membuat pergerakan jadi lambat jika terjebak di dalamnya, dan tidak bisa dipadamkan dengan smoke.

Belum lagi bug dan glitch di sana dan sini, yang membuat permainan jadi terasa kurang intuitif. Belajar dari masa gelap yang dialami Valve selama kurang lebih 8 tahun saat mereka membuat Counter-Strike: Condition Zero, Xbox Edition, dan Source, kini Counter-Strike: Global Offensive jadi lebih disukai karena respon Valve yang begitu cepat dalam menanggapi berbagai kekurangan dalam game tersebut.

Daniel Kapadia (DDK) salah satu shoutcaster di skena kompetitif CS:GO mengatakan bahwa game tersebut seakan menjadi harapan terakhir bagi Valve terhadap seri Counter-Strike. “Dan satu hal yang mengejutkan adalah game tersebut ternyata menjadi lebih baik hanya dalam 6 sampai 12 bulan saja. Perbaikan tersebut terjadi dengan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari pada yang diharapkan oleh kebanyakan para gamers.” ucapnya.

Selain dari itu, penambahan fitur juga jadi alasan CS:GO memiliki penerimaan yang sangat baik di kalangan gamers. CS:GO menjadi seri Counter-Strike pertama yang memperkenalkan fitur matchmaking.

Minh Le menyebutkan, bahwa sebelum kehadiran matchmaking, Anda harus masuk ke dalam sebuah room yang tidak Anda ketahui seberapa jago musuh yang akan Anda hadapi. Ini mungkin mirip seperti custom game Defense of the Ancient pada Warcraft III, saat Anda harus memasuki room bernama “55 APNP Kuburan Para Dewa”. Tanpa tahu siapa yang akan Anda lawan, dengan kemungkinan bertemu pemain profesional seperti Farand Kowara (Koala).

Tetapi fitur matchmaking membuat CS:GO jadi lebih user-friendly. Anda yang baru mulai main akan dipertemukan pemain lain, yang secara algoritma dianggap memiliki kemampuan main yang setara. Tak hanya itu, CS:GO juga menghadirkan Competitive Matchmaking, yang punya aturan main lebih kompetitif (menyalakan Friendly Fire contohnya), dan dilengkapi dengan rank untuk menentukan level kemampuan sang pemain.

Sumber: Steam Community Workshop
Seri Hyper Beast, salah satu skin senjata CS:GO yang cukup populer. Sumber: Steam Community Workshop

Hal lain yang juga membuat CS:GO mendapat respons yang positif dari komunitas adalah kehadiran skin di dalam game. Skin atau yang disebut sebagai “finishes” merupakan in-game items yang tergolong sebagai kosmetik di dalam CS:GO. Disebut sebagai kosmetik karena skin tidak menambah elemen apapun di dalam permainan kecuali menjadi pemanis mata bagi para pemainnya. Fitur ini sendiri bukan fitur bawaan dari CS:GO, melainkan fitur yang baru ditambahkan pada 13 Agustus 2013 lalu yang hadir lewat Arms Deal Update.

Elemen skin seakan menjadi perekat bagi komunitas, membawa pemain CS:GO bernostalgia ke zaman Counter-Strike dahulu karena memberi kesempatan bagi para pemain untuk berkontribusi terhadap game yang mereka cintai. Salah satu alasan terbesarnya adalah karena skin dalam CS:GO mendukung fitur Steam Workshop, yang memungkinkan para pemain, siapapun Anda, bisa berkontribusi memberikan skin buatan Anda sendiri ke dalam game.

Nantinya ragam skin yang sudah diberikan para kontributor akan dimasukkan ke dalam peti yang bisa didapatkan para pemain. Peti bisa didapatkan secara gratis hanya dengan bermain namun kunci peti tadi hanya bisa dibeli dengan menggunakan sistem microtransaction. Tak hanya itu, skin yang Anda dapatkan nantinya juga bisa diperjual-belikan dengan pemain lainnya lewat Steam Community Market. Sistem ini membuat banyak pemain bertahan di CS:GO, karena game tersebut membuat ekonomi virtual tersendiri di dalam permainanya.

Sumber: Intelextremesmaster.com
IEM Katowice menjadi bukti bahwa CS:GO masih hidup dan sangat aktif meski sudah 8 tahun berlalu sejak game tersebut pertama kali dirilis. Sumber: Intelextrememasters.com

Berkat hal tersebut, CS:GO menjadi game yang membuat para pemainnya tetap kembali lagi, meski sudah mencoba yang lainnya. Terakhir kali, walau sudah 8 tahun beredar di pasaran, namun CS:GO masih bisa mencetak rekor dengan 1 juta pemain online secara bersamaan pada 14 Maret 2020 lalu. Apalagi sejak berubah menjadi Free to Play pada 2018 lalu, game ini menjadi semakin mudah diakses oleh pemain, termasuk para pemain CS 1.6 atau pemain yang baru mengenal game ini.

Kesuksesan ini akhirnya menurun kepada skena esports CS:GO. Membuat CS:GO berkali-kali mencetak rekor sebagai salah satu turnamen terpopuler. Kompetisi IEM Katowice yang mempertemukan Natus Vincere dengan G2 Esports masih ditonton oleh satu juta penonton secara bersamaan. Bahkan selama bulan Maret kemarin, liga CS:GO ESL Pro League Season 11 menjadi tontonan stream paling ramai di Twitch yang sudah ditonton selama 12,9 juta jam dan sempat ditonton oleh 331 ribu orang secara bersamaan.

Walau ada cerita dari organisasi esports seperti SK Gaming, yang memutuskan meninggalkan skena CS:GO untuk beberapa saat, namun CS:GO mungkin masih akan tetap bertahan setidaknya sampai beberapa tahun ke depan. Melihat game ini masih aktif menjadi esports dan dimainkan, mungkin hanya Tuhan yang tahu apakah game ini akan mati dan hilang bak ditelan bumi di masa depan, atau malah abadi sepanjang masa.

Cerita Di Balik Kesuksesan dan Sejarah Valve dengan Half-Life, Source, dan Steam

Di kalangan gamer PC, siapa yang tidak mengenal Valve? Melalui Steam, mereka berhasil mendominasi pasar distribusi game PC selama belasan tahun. Walaupun Steam kini tak lagi menjadi satu-satunya platform distribusi game PC digital, platform tersebut tetaplah salah satu yang paling populer. Tentu saja, kejayaan yang Valve nikmati saat ini tidak dicapai dalam waktu singkat. Perjalanan mereka pun tak selamanya mulus.

Sejarah Valve

Valve didirkan pada 1996 oleh Gabe Newell dan Mike Harrington. Newell sempat berkuliah di Harvard University, walau dia tidak pernah menyelesaikan masa kuliahnya. Dia lalu bekerja di Microsoft selama 13 tahun. Di bawah kepemimpinan Bill Gates, dia belajar banyak tentang bisnis software. Selama dia bekerja di Microsoft, dia berhasil mengumpulkan kekayaan lebih dari US$1 juta, yang akan dia gunakan untuk membangun Valve. Sama seperti Newell, Harrington juga berhasil menjadi miliarder berkat bekerja untuk Microsoft. Bersama, keduanya mendirikan Valve.

Saat didirikan, Valve merupakan LLC (Limited Liability Company), struktur perusahaan di Amerika Serikat yang biasa digunakan oleh perusahaan kecil. Jika dibandingkan dengan korporasi, LLC menawarkan beberapa kelebihan, seperti pajak yang lebih ringan dan manajemen yang fleksibel. Valve memiliki markas di Kirkland, Washington, hanya berjarak delapan kilometer dari kantor Microsoft di Redmond.

Salah satu pendiri Valve, Gabe Newell. | Sumber: The Gamer
Salah satu pendiri Valve, Gabe Newell. | Sumber: The Gamer

Sekarang, Valve mungkin lebih dikenal dengan platform distribusi game digitalnya, Steam. Namun, pada awalnya, Valve merupakan developer game. Mereka lalu memodifikasi game engine buatan id Software, Quake engine, untuk membuat game pertama mereka, Half-Life.

Valve Sebagai Developer

Meskipun Half-Life adalah game pertamanya, Valve punya ambisi besar dalam membuat game tersebut. Karena itu, tidak heran jika mereka kesulitan untuk mencari publisher yang bersedia merilis game pertama mereka. Untungnya, Sierra On-Line akhirnya mau memberikan kesempatan pada Valve dan bersedia untuk meluncurkan Half-Life. Pada November 1998, Half-Life diluncurkan. Game itu sangat sukses, jutaan unit Half-Life terjual. Sampai sekarang, Half-Life dikenal sebagai game legendaris.

Setelah sukses dengan Half-Life, Valve tidak buru-buru untuk membuat game baru. Mereka lebih memilih untuk memanfaatkan momentum yang mereka dapat untuk mengembangkan dunia Half-Life. Mereka meminta Gearbox Software — yang kini dikenal sebagai developer seri Borderlands — untuk meluncurkan dua expansion packs dari Half-Life, yaitu Half-Life: Oppsoing Force pada 1999 dan Half-Life: Blue Shift pada 2001, lapor Polygon.

Tak hanya itu, mulai akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an, Valve mendorong komunitas modding untuk mengembangkan mod dari Half-Life. Mereka bahkan merilis Software Development Kit (SDK) dari game itu secara gratis. Jadi, tidak heran jika ada banyak mods Half-Life yang muncul, seperti Deathmatch Classic, Ricochet, Gunman Chronicles, dan Day of Defeat. Tidak berhenti sampai di situ, Valve bahkan rela membantu beberapa kreator untuk menyempurnakan mod mereka. Inilah salah satu alasan mengapa para hardcore gamer begitu mencintai Valve.

Sampai sekarang, Half-Life masih dikenal sebagai game legendaris. | Sumber: Steam
Sampai sekarang, Half-Life masih dikenal sebagai game legendaris. | Sumber: Steam

Mod untuk Half-Life begitu beragam sehingga ada mod yang kemudian dikembangkan menjadi game yang sama sekali baru. Salah satunya adalah Counter-Strike, yang dikembangkan oleh Minh Le dan Jess Cliffe. Versi beta dari game tactical shooter itu dirilis pada 1999. Dengan cepat, game tersebut mendapatkan banyak pemain. Melihat hal ini, Valve justru merangkul Minh Le dan Cliffe. Satu tahun kemudian, Counter-Strike 1.0 dirilis. Saat itu, popularitas game tersebut sudah bisa menyaingi game-game dari franchise ternama, seperti Halo dan Call of Duty. Sekarang, Counter-Strike: Global Offensive adalah salah satu game esports paling populer di dunia.

Valve terus mendukung komunitas gamer. Namun, dari segi bisnis, ada beberapa perubahan yang terjadi. Pada 2000, Harrington keluar dari Valve, menjadikan Newell sebagai satu-satunya pendiri yang masih bertahan di perusahaan itu. Sementara pada 2003, Valve berubah menjadi Valve Corporation, tak lagi berbentuk LLC. Salah satu hal yang membedakan LLC dan Corporation adalah jika LLC dimiliki oleh seorang atau lebih pemilik, kepemilikan korporasi ada di tangan para pemegang saham. Selain itu, Valve juga memindahkan kantornya ke Bellevue, Washington.

Di tengah semua ini, Valve terus melanjutkan dua proyek penting mereka, yaitu pengembangan game engine Source dan platform distribusi game digital Steam. Kedua proyek ini akan mengubah nasib Valve sehingga mereka tak hanya dikenal sebagai developer game.

Game Engine Buatan Valve

Tiga tahun sebelum Newell dan Harrington meninggalkan Microsoft untuk membuat perusahaan game, Michael Abrash, yang merupakan mantan kolega mereka di Microsoft, juga keluar dan masuk ke dunia game. Abrash memutuskan untuk bergabung dengan id Software, developer Doom. Nantinya, dialah yang membantu Newell dan Harrington untuk mendapatkan lisensi penggunaan Quake engine milik id Software. Valve lalu memodifikasi engine tersebut dan membuat engine mereka sendiri, Goldsource, yang digunakan untuk membuat Half-Life.

Goldsource merupakan game engine pertama Valve. Mereka melakukan berbagai modifikasi pada Quake engine, seperti mengubah sisten animasi, merombak tools AI, dan menambahkan fitur Direct3D. Tujuannya adalah untuk  memastikan bahwa engine tersebut cukup mumpuni untuk merealisasikan Half-Life sesuai dengan keinginan Valve. Setelah game tersebut dirilis, Valve masih terus memodifikasi game engine yang mereka gunakan. Namun, mereka tidak ingin mengutak-atik kode programming pada Half-Life. Karena itu, mereka memutuskan untuk membuat game engine baru, yang nantinya akan dikenal dengan nama Source.

Pada zamannya, Half-Life 2 memiliki grafik yang memukau. | Sumber: Steam
Pada zamannya, Half-Life 2 memiliki grafik yang memukau. | Sumber: Steam

Dalam E3 2003, Valve memperkenalkan Half-Life 2, dengan visual yang memukau pada zamannya dan sudah terintegrasi dengan physics engine buatan Havok. Ketika itu, Valve juga memperkenalkan Source, game engine yang digunakan untuk membuat Half-Life 2. Menariknya, Source bukanlah game engine yang sama sekali baru. Engine tersebut merupakan hasil modifikasi lebih lanjut dari Goldsource. Faktanya, dalam Half-Life 2, Anda masih bisa menemukan sejumlah kode programming orisinal yang ada pada Quake engine.

Dalam mengembangkan Source, Valve menjelaskan bahwa mereka ingin menjadikan game engine tersebut sebagai fondasi yang memungkinkan developer untuk menambahkan fitur, memberikan update, dan menggunakan teknologi baru tanpa harus menggunakan engine yang sama sekali baru. Kebanyakan kreator game engine biasanya fokus untuk memaksimalkan performa GPU, membuat visual menjadi terlihat lebih realistis. Namun, Valve memutuskan untuk fokus pada penggunaan CPU. Menurutnya, bagaimana game dikonsumsi oleh gamer, inilah yang membedakan game dengan media lain seperti film.

Setelah Source, Valve juga mengembangkan Source 2, yang digunakan di Dota 2, Artifact, dan Half-Life: Alyx. Source 2 pertama kali tersedia untuk masyarakat luas pada 6 Agustus 2014 via Doat 2 Workshop Tools. Pada Maret 2015, Valve resmi mengumumkan Source 2 dalam Game Developers Conference.

Peluncuran Steam

Steam pertama kali diperkenalkan di Game Developers Conference (GDC) pada 2002. Satu tahun kemudian, Valve meluncurkan Steam secara resmi. Pada awalnya, Steam dibuat dengan tujuan untuk memudahkan para pemain mengunduh patch dan update dari game online. Namun, Valve punya rencana lain untuk Steam, yaitu menjadikannya sebagai platform distribusi game digital di PC.

Valve lalu mulai menyediakan sejumlah fitur seperti otentikasi online, game launcher, dan DRM (Digital Rights Management). Pada 2004, Valve mengumumkan bahwa ke depan, semua game mereka hanya bisa dimainkan melalui Steam. Keputusan ini membuat banyak orang marah. Salah satu alasannya, karena ketika itu, Steam masih memiliki banyak bug, yang sering membuat game menjadi crash. Tak hanya itu, antarmuka Steam juga tidak sebagus seperti sekarang.

Screenshot antarmuka Steam pada 2004. | Sumber: Reddit
Screenshot antarmuka Steam pada 2004. | Sumber: Reddit

Meskipun begitu, Valve tak menyerah. Mereka terus memperbaiki Steam dan menangani berbagai bug dan masalah yang ada di platform tersebut. Pada 2005, Valve mulai membuat perjanjian kerja sama dengan developer lain untuk mendistribusikan game mereka melalui Steam. Katalog game di Steam pun menjadi semakin banyak. Bisnis Steam terus tumbuh seiring dengan bertambahnya developer yang beralih ke model distribusi digital.

Untuk mendukung Steam, selama dua tahun, dari 2007 sampai 2009, Valve terus meluncurkan sejumlah fitur baru untuk Steam, mulai dari fitur untuk menyimpan data game dan profil pengguna di cloud sampai fitur chat, memudahkan para pengguna untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain. Sekarang, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan di Steam, mulai dari membeli konten buatan pengguna di Steam Workshop, membeli aplikasi non-gaming, sampai mendukung game yang ada di Steam Greenlight.

Pada 2010, antarmuka Steam dirombak, membuat tampilannya jauh lebih baik. Dari segi keamanan, Steam cukup baik, walau mereka sempat diretas pada November 2011. Antarmuka yang user-friendly, keamanan, dan fitur yang beragam, semua ini menjadikan Steam sebagai marketplace utama untuk game AAA dan indie di PC. Steam juga berhasil menarik puluhan juta pengguna, menjadikannya sebagai aset terpenting Steam.

Monetisasi Steam

Sumber pemasukan Steam berasal dari potongan yang mereka ambil dari pendapatan game yang dijual melalui Steam. Pada awalnya, Steam menetapkan potongan sebesar 30 persen untuk semua game. Namun, pada akhir 2018, mereka mengubah ketentuan potongan yang mereka ambil. Ketika game diluncurkan, Steam masih akan memberlakukan potongan sebesar 30 persen. Namun, setelah penjualan sebuah game mencapai US$10 juta, maka potongan yang didapatkan oleh Steam akan disesuaikan, menjadi 25 persen. Sementara jika penjualan game mencapai US$50 juta atau lebih, potongan dari Steam akan menjadi semakin kecil, yaitu 20 persen.

Untuk developer kecil yang penjualan game-nya tidak bisa mencapai US$10 juta, Steam akan mengambil potongan lebih besar. Karena, Valve memberikan banyak kemudahan pada developer tersebut dengan menyediakan sistem pembayaran dan memungkinkan game untuk ditemukan oleh jutaan pengguna Steam. Secara tidak langsung, Steam mengakui bahwa para developer kecil akan lebih membutuhkan Steam sementara Steam tidak akan mengalami masalah tanpa kehadiran developer kecil itu, menurut laporan Polygon.

Untuk game-game populer yang penjualannya berhasil mencapai lebih dari US$50 juta, Steam rela untuk mengurangi potongan yang mereka ambil menjadi hanya 20 persen. Alasannya, karena game tersebut pasti sudah memiliki audiens sendiri. Jadi, jika game itu masuk ke Steam, ini juga akan mempopulerkan Steam. Tak tertutup kemungkinan, Steam bisa mendapatkan pengguna baru. Karena itulah, potongan yang Steam terapkan lebih kecil.

Keuangan Valve

Sayangnya, Valve tidak mengumumkan laporan keuangan mereka pada publik. Namun, ada pihak ketiga yang tertarik untuk membuat estimasi dari total penjualan Steam. Salah satunya adalah Steam Spy. Seperti namanya, situs itu bertujuan mengumpulkan data tentang Steam untuk memperkirakan total penjualan game di platform tersebut. Pada 2017, pendiri Steam Spy, Sergey Galyonkin memperkirakan bahwa pemasukan Steam dari penjualan game mencapai US$4,3 miliar, naik dari US$3,5 miliar pada 2016.

Uniknya, besarnya pemasukan Steam bukan karena banyaknya game yang ada di katalog mereka. Lebih dari setengah dari pemasukan Steam berasal dari kurang dari 100 game terpopuler yang ada di platform tersebut. Padahal, Steam memiliki lebih dari 21 ribu game saat itu. Data terakhir yang kami temukan di Januari 2019, sudah ada 30 ribu game di Steam.

PUBG memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Steam pada 2017. | Sumber: Steam
PUBG memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Steam pada 2017. | Sumber: Steam

Pada 2017, game yang memberikan kontribusi paling besar pada pemasukan Steam adalah Player Unknown’s Battleground, dengan pemasukan US$600 juta. Di posisi kedua, duduk Counter-Strike: Global Offensive dengan kontribusi US$120 juta. Sementara posisi ketiga diisi oleh Grand Theft Auto V dengan pendapatan US$83 juta. Duduk di peringkat keempat, Call of Duty World War II mendapatkan pendapatan sebesar US$41 juta. Satu hal yang harus diingat, data dari Steam Spy tidak mencakup seluruh pendapatan Steam karena mereka tidak menghitung pemasukan dari microtransaction atau pembelian DLC.

Estimasi keadaan finansial Steam tidak selalu positif. Pada September 2019, No More Robots, publisher dari Descenders dan Hypnospace Outlaw, membuat laporan tentang penjualan game di Steam yang diluncurkan selama satu bulan, sejak 5 Juli 2019 sampai 6 Agustus 2019. Dalam menghitung penjualan game di Steam, mereka tidak memasukkan hasil penjualan game AAA dan juga game-game yang memiliki review kurang dari 10. Setelah itu, mereka membandingkan total penjualan di Steam selama satu bulan pada 2019 dengan periode yang sama pada 2018. Berdasarkan apa yang dilakukan oleh No More Robots, mereka menemukan bahwa penjualan game di Steam turun 70 persen selama satu bulan pada 2019 jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Tak hanya itu, pendapatan Steam juga turun 47 persen.

Temuan lainnya adalah para developer dan publisher game terlibat dalam perang harga. Mereka berlomba-lomba untuk menekan harga game mereka agar menjadi serendah mungkin. Padahal, ini justru memberi dampak buruk pada penjualan game mereka. Menurut laporan GameDaily, alasan para publisher dan developer berusaha untuk menekan harga game mereka adalah karena kekhawatiran game mereka akan kalah bersaing dengan game free-to-play.  Padahal, model bisnis seperti ini memiliki masalah tersendiri.

Menariknya, menurut estimasi No More Robots, game murah tidak melulu laku. Faktanya, total penjualan game yang dihargai kurang dari US$10 justru jauh lebih rendah dari game dengan harga sekitar US$21 atau lebih. Menurut pendiri No More Robots, Mike Rose, ini terjadi karena ketika kreator game menekan harga game mereka, ini membuat orang-orang berpikir bahwa game itu tidak pantas dihargai dengan harga mahal karena memiliki kualitas buruk. Sementara jika harga game dinaikkan, ini akan membuat gamer penasaran untuk tahu lebih lanjut tentang game itu. Tentu saja, ini adalah tren global. Indonesia, yang warganya sangat sensitif terhadap harga, memiliki tren yang berbeda.

Kesimpulan

Menurut Forbes, sebagai pendiri Valve, Gabe Newell memiliki harta kekayaan sebesar US$3,5 miliar. Dia duduk di peringkat 239 dalam daftar Forbes 400 2019 dan di peringkat 529 dalam daftar Forbes Billionaires 2019.

Satu hal yang menarik dari Valve adalah bagaimana perusahaan tersebut berevolusi. Pada awalnya, Valve adalah developer game. Mereka menuai sukses dengan game pertamanya, Half-Life. Setelah itu, mereka memutuskan untuk mengembangkan dunia Half-Life dengan meluncurkan expansion packs. Mereka juga terus mendorong komunitas modding untuk membuat mod untuk game tersebut. Ada beberapa mod yang kemudian diluncurkan sebagai game mandiri dan sukses, seperti Counter-Strike.

Sebagai developer, Valve juga mengembangkan game engine sendiri, yang mereka buat dengan memodifikasi game engine buatan id Software, Quake. Berawal dari game engine Goldsource, Valve terus memodifikasi engine tersebut, sehingga mereka menghasilkan Source dan Source 2. Selain itu, Valve juga membuat platform distribusi game, Steam, yang baru saja memecahkan rekor jumlah pengguna concurrent. Dalam beberapa tahun belakangan, Valve juga aktif dalam scene esports. The International, turnamen tahunan Dota 2 terbesar, selalu menaikkan total hadiah mereka dari tahun ke tahun.

Sumber: GamesRadar, IGN, Game Industry, GameDaily, Polygon

Sumber header: Wikipedia

Asus Luncurkan ROG Zephyrus Duo 15, Laptop Gaming Berlayar Ganda dengan Spesifikasi Beringas

Awal April ini ditandai dengan dua pengumuman penting di industri laptop: Intel meluncurkan prosesor laptop generasi ke-10, lalu Nvidia meluncurkan seri GPU RTX Super untuk laptop. Bersamanya tentu datang sederet laptop anyar dari banyak pabrikan, dan salah satu yang sangat mencuri perhatian datang dari Asus.

Namanya ROG Zephyrus Duo 15, dan seperti yang sudah bisa ditebak, ia merupakan sepupu dari ZenBook Duo yang ditujukan untuk kalangan kreator konten. Konsep laptop dua layar itu akhirnya Asus bawa juga ke ranah gaming, dan tentunya mereka sudah mengoptimalkannya untuk keperluan gaming.

Asus ROG Zephyrus Duo 15

Perbedaan yang paling mencolok adalah, layar kedua milik Zephyrus Duo diposisikan agak miring (13°) sehingga lebih mudah dilihat dan disentuh. Posisi layar yang miring ini rupanya juga menyediakan ventilasi ekstra untuk komponen-komponen di dalam, sehingga perangkat dipastikan tetap berperforma maksimal tanpa risiko kepanasan.

Namun yang mungkin jadi pertanyaan adalah, untuk apa layar kedua itu? Dalam konteks berkreasi fungsinya mungkin sudah cukup jelas, tapi bagaimana dalam konteks gaming? Di sini Asus mencoba menjelaskan dengan mencontohkan kolaborasinya bersama Techland, developer di balik game Dying Light 2.

Pada game tersebut, tampilan co-op chat akan dipindahkan ke layar kedua Zephyrus Duo, dan pemain juga bisa memanfaatkan layar keduanya ini untuk mengganti quest yang aktif maupun barang-barang di inventory.

Untuk gamegame yang lebih mainstream seperti CS:GO, Dota 2, League of Legends atau Fornite, layar kedua ini dapat dipakai untuk menampilkan statistik secara real-time, atau rekomendasi build yang cocok.

Asus ROG Zephyrus Duo 15

Merujuk kembali pada pengumuman terbaru Intel dan Nvidia, Zephyrus Duo bisa dikategorikan monster perihal performa. Varian termahalnya hadir membawa prosesor Intel Comet Lake i9-10980HK yang memiliki clock speed maksimum 5,3 GHz, tidak ketinggalan juga GPU GeForce RTX 2080 Super yang performanya dua kali lipat GTX 1080.

Melengkapi spesifikasinya adalah RAM 32 GB dan SSD tipe NVMe PCIe berkapasitas 2 TB. Zephyrus Duo hadir dalam dua varian layar: 4K dengan dukungan 100% spektrum warna Adobe RGB, atau 1080p tapi dengan refresh rate 300 Hz. Dua-duanya sama-sama berukuran 15,6 inci dan bukan touchscreen.

Mengapa tidak ada touchscreen? Karena layar keduanya sudah dibekali panel sentuh. Layar keduanya ini punya bentang diagonal 14 inci, dan resolusinya cukup tinggi di angka 3840 x 1100 pixel.

Asus ROG Zephyrus Duo 15

Guna mengimbangi performanya yang beringas, Zephyrus Duo ditenagai baterai berkapasitas 90 Wh. Saat sedang tidak bermain game, perangkat bisa diisi ulang menggunakan charger USB-C dengan output maksimum 65 W.

Semua itu dikemas dalam sasis yang termasuk ringkas di kategori laptop gaming. Tebalnya tidak lebih dari 20,9 mm, dan bobotnya juga hanya sekitar 2,4 kg. Asus ROG Zephyrus Duo 15 rencananya akan dipasarkan mulai bulan Mei. Harganya dilaporkan berkisar $3.700 untuk varian termahalnya. Di bawahnya, ada varian Core i7-10875H dan RTX 2070 Super yang dibanderol seharga $3.000.

Sumber: Asus dan The Verge.

Akibat COVID-19, Peluncuran The Last of Us Part II Ditunda Hingga Waktu yang Belum Ditentukan

Kita menyaksikan sendiri efek negatif pandemi virus corona terhadap kehidupan. Di ranah teknologi saja, wabah ini mengacaukan banyak hal, membuat peluncuran produk hingga perhelatan besar jadi tertunda atau malah dibatalkan. Beberapa perusahaan dan brand memang berhasil beradaptasi terhadap kondisi ini, tapi ada pula yang terpaksa merombak seluruh rencana mereka.

Bersama dengan remake Final Fantasy VII dan Ghost of Tsushima, The Last of Us Part II merupakan game blockbuster eksklusif yang dijadwalkan untuk dirilis di PlayStation 4 sebelum Sony meluncurkan console next-gen mereka. Sayangnya setelah penantian panjang, pihak Sony serta tim Naughty Dog mengumumkan bahwa mereka terpaksa menunda pelepasan The Last of Us Part II sampai waktu yang belum ditentukan akibat krisis COVID-19.

Lewat Twitter, Naughty Dog menjelaskan bagaimana pengerjaan The Last of Us Part II sudah hampir rampung. Saat ini perhatian developer tengah tercurah pada perbaikan bug. Namun bahkan meski pengembangan game sebentar lagi akan selesai, tim dihadang satu kendala besar: logistik. Karena pandemi corona, Naughty Dog tidak yakin mereka bisa menghidangkan The Last of Us Part II ke gamer PS4 di seluruh dunia secara berbarengan dan harus mengundur perilisannya hingga masalah itu dapat diatasi.

“Kami sangat kecewa terhadap keputusan tersebut, tetapi kami sadar ini merupakan jalan terbaik dan paling adil bagi para pemain.” ungkap Naughty Dog. “Kami berharap penundaan peluncuran permainan tidak berlangsung terlalu lama dan kami akan segera memberi tahu Anda jika ada informasi baru.”

Dan bukan hanya The Last of Us Part II saja yang mengalami penangguhan. Sony juga memundurkan pelepasan Marvel’s Iron Man VR. Selain Sony, publisher lain seperti Square Enix juga melakukan penyesuaian di sisi logistik, terutama pada judul andalannya, Final Fantasy VII Remake. Proses pengapalannya dimajukan agar permainan dapat dirilis sesuai jadwal, yaitu tanggal 10 April 2020.

Logistik menjadi faktor krusial bagi Sony karena mereka masih mengandalkan versi fisik dalam mendistribusikan game di sejumlah wilayah. Sementara itu, perusahaan gaming lain seperti CD Projekt Red tetap dapat mempertahankan agenda mereka sebelumnya, walaupun pengerjaan Cyberpunk 2077 akhirnya mesti dilakukan secara remote. Saya menduga, hal ini turut terbantu oleh dukungan platform digital seperti Steam dan GOG milik CD Projekt sendiri.

Sebelumnya, The Last of Us Part II sempat mengalami perubahan tanggal peluncuran dari 21 Februari ke 29 Mei 2020. Kini sulit untuk menebak kapan permainan akan dilepas. Kita hanya bisa berharap agar The Last of Us Part II tidak ditangguhkan ke tahun 2021.

Via The Verge.

Wawancara Singkat Skyegrid Tentang Kondisi Pasar Cloud Gaming dan Prospeknya

Layanan cloud gaming lokal Skyegrid belum lama ini menambahkan game baru pada katalognya. Bukan sembarang game, melainkan salah satu yang masuk kategori game sejuta umat, yaitu eFootball PES 2020 Lite garapan Konami.

Game ini sekarang sudah bisa dinikmati seluruh pelanggan Skyegrid, baik yang berlangganan paket bulanan, mingguan, ataupun hariannya. Dan karena game-nya sendiri gratis, pelanggan hanya perlu memiliki akun Steam (yang dapat dibuat secara gratis), tanpa ada biaya tambahan lagi.

Dibandingkan versi full-nya, PES 2020 Lite tidak dilengkapi fitur online multiplayer. Pun begitu, mode co-op atau Local Match tetap tersedia, dan Skyegrid melihat ini sebagai alternatif yang pas untuk menemani masa-masa swakarantina seperti sekarang.

Dengan masuknya PES 2020 Lite, Skyegrid kini sudah mempunyai total 87 judul game yang berbeda, dengan komposisi 50:50 untuk game berbayar dan game free-to-play. Pertanyaannya, apakah ke depannya Skyegrid juga bakal menghadirkan PES 2020 versi full?

“Betul, rencananya akan seperti itu,” jawab CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward, saat saya hubungi melalui email. “Karena gim ini juga didaulat jadi cabang olahraga e-sport di tingkat regional, bahkan internasional. Jadi, ini sekaligus komitmen Skyegrid dalam menciptakan channelchannel baru untuk bibit atlet e-sport di tanah air.”

Rolly lanjut menjelaskan bahwa PES 2020 Lite dipilih karena game-nya gratis dan mereka ingin memantau animo konsumen terlebih dulu. Kalau memang menjanjikan dan banyak konsumen yang tertarik, mereka akan segera menambahkan PES 2020 versi full.

Saya juga sempat menyinggung soal optimasi teknologi yang Skyegrid lakukan untuk game sejuta umat ini, dan Rolly bilang bahwa mereka belakangan gencar menerapkan optimasi algoritma dari sisi port forwarding software demi menekan angka input latency.

Juga baru pada Skyegrid adalah fitur hardware acceleration, yang memungkinkan game untuk memanfaatkan tenaga dari GPU milik PC atau laptop masing-masing pengguna. Singkat cerita, semua game dipastikan berjalan lebih mulus (frame rate-nya naik) dan stabil dibandingkan pada Skyegrid versi sebelumnya.

Kondisi pasar cloud gaming di Indonesia

PES 2020 Lite

Saya juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan kondisi pasar cloud gaming di Indonesia, dan apakah kehadiran game sejuta umat macam PES bisa membantu menarik minat konsumen secara signifikan.

“Kondisi pasar masih tetap tumbuh dan menjanjikan, meski saat ini masih relatif stagnan,” jawab Muhammad Chandrataruna yang menjabat sebagai Chief Communications Officer di Skyegrid. “Belum signikan. Karena tantangannya di Indonesia belum berubah: infrastruktur telekomunikasi yang belum merata dan lisensi game AAA yang masih mahal dan belum menaruh komitmen pada cloud gaming,” lanjutnya.

Pada kenyataannya, industri cloud gaming secara global juga masih menemui sejumlah tantangan. Kita tahu bahwa Google Stadia banyak dikeluhkan oleh pelanggannya, dan terkadang juga masih terkendala soal performa. Lebih parah lagi adalah problem yang dialami Nvidia GeForce Now, yang ditinggal oleh sejumlah publisher game ternama.

“Untuk PES sendiri, selama seminggu terakhir animonya sangat baik dan terus bertambah. Jumlah pelanggan Skyegrid pun bertumbuh signifikan, yang kami yakini karena terdorong anjuran pemerintah agar #dirumahaja,” lanjut Chandra. Bukan cuma di Indonesia, kenyataannya memang belakangan semakin banyak yang mengisi waktunya dengan bermain game, dan itu dibuktikan oleh rekor jumlah concurrent users Steam baru-baru ini.

Prospek cloud gaming ke depannya

Skyegrid

Terkait prospek cloud gaming, Chandra bilang prospeknya sangat menjanjikan, meski perjalanannya masih panjang. Beliau merujuk pada riset dari Qurate, yang meramalkan bahwa di tahun 2020 market size dari industri cloud gaming secara global akan menembus angka $317,9 juta.

“Negara-negara maju, seperti Amerika, China, Eropa, telah lebih dulu mendapatkan momentum ini, karena secara infrastruktur dan sumber daya, mereka jauh lebih siap. Indonesia tidak jauh tertinggal, namun untuk beberapa hal, kita terpaksa harus lebih sabar,” lanjut Chandra.

Kunci utama cloud gaming sejatinya adalah koneksi internet, dan kita semua tahu kondisi internet di Indonesia belum sebaik di negara-negara maju seperti yang disebutkan Chandra itu tadi. Di sinilah faktor optimasi itu penting, dan untungnya Skyegrid juga memperlakukannya sebagai salah satu prioritas.

Cloud gaming dan esports

CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward / Skyegrid
CEO sekaligus founder Skyegrid, Rolly Edward / Skyegrid

Saya tahu, dua hal ini memang terkesan bertolak belakang. Di satu sisi esports mengharuskan game berjalan mulus dan tanpa lag sedikitpun agar performa pemainnya bisa maksimal. Di sisi lain cloud gaming justru masih dilanda problem input latency.

Namun anggap koneksi sudah bukan masalah dan cloud gaming tak lagi terkendala performa, mungkinkah ke depannya esports bisa dijalankan via cloud gaming?

“Saya yakin bisa, sebab salah satu, atau mungkin satu-satunya, teknologi yang akan menggantikan konsol seperti PlayStation dan Xbox, adalah cloud gaming,” jawab Rolly. “Sedangkan device-nya bisa jadi perangkat yang dipakai semua orang hari ini: laptop, all-in-one PC, smart TV, dan smartphone,” lanjutnya.

Rolly juga menuturkan bahwa keputusan soal esports dan cloud gaming ini tidak bisa sepihak saja, melainkan juga harus dirundingkan dengan pihak asosiasi, penyelenggara, pemerintah, publisher, dan lain sebagainya. “Mungkin 3 – 5 tahun lagi, saya perkirakan baru dimulai perumusannya. Sekarang masih terlalu dini untuk Indonesia,” tutup Rolly.

Shroud Sebut Valorant Sebagai Game yang Luar Biasa

Valorant, game FPS besutan pengembang League of Legends, Riot Games, akan segera hadir dalam waktu dekat. Terlihat sejak Maret 2020 kemarin, Riot Games sudah merilis beberapa hal seperti spesifikasi hardware yang dibutuhkan, gameplay, bahkan sampai menjelaskan bentuk-bentuk karakter yang akan tampil di dalam game tersebut.

Dirilis oleh pengembang terpercaya, membuat game ini jadi sangat diantisipas, membuat organisasi esports sekelas T1 segera merekrut mantan pemain CS:GO untuk jadi pemain Valorant saat game ini masih belum rilis.

Lama dinanti, FPS bertemakan Hero Shooter ini sendiri sebenarnya sudah dapat dimainkan, namun terbatas hanya untuk orang-orang tertentu saja. Michael Grzesiek (Shroud) selebriti gamers yang terkenal sangat jago bermain FPS, menjadi salah satu pemain yang mendapat kesempatan mencoba Valorant dalam sesi Alpha Playtest yang dilakukan akhir pekan lalu.

Setelah mencobanya, Shroud membagikan pendapatnya terkait Valorant, dalam sesi streaming yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Menurutnya Valorant sangatlah bagus, sampai-sampai ia merasa bahwa game FPS lainnya tidak lebih baik daripada game tersebut.

“Gue sendiri sebenarnya sudah merasa cukup bosan belakangan, dan bingung mau main game apa. Tapi setelah main Valorant, gue malah jadi tambah bosan.” Ucap Shroud dalam cuplikan streaming tersebut. “Alasannya adalah karena gue sekarang di sini merasa baru saja memainkan game yang luar biasa bagus, tapi harus menerima kenyataan untuk balik lagi memainkan game lain yang tidak sebaik Valorant.”

Bagi Anda yang mungkin belum kenal, Shroud adalah bintang esports CS:GO, yang beralih profesi menjadi seorang streamer. Terkenal lewat Twitch pada awalnya, ia pindah ke Mixer pada Oktober 2019 lalu. Sejak lama, Shroud menjadi satu sosok yang sangat vokal di komunitas, karena kebiasaannya menyatakan pendapat secara terbuka. Ketika streaming, ia kerap kali menyatakan opininya akan sesuatu hal, seperti alasan kenapa Battle Royale tidak akan sukses sebagai esports, dan soal komunitas Mixer yang dia anggap lebih baik daripada Twitch.

Lebih lanjut, Shroud lalu mengatakan “Valorant benar-benar luar biasa. Valorant adalah game terbaik yang pernah gue mainkan sedari lama pengalaman gue. Di luar sana memang banyak game-game yang sangat keren menurut preferensi dan opini gue pribadi, Valorant terlihat menjanjikan untuk menjadi game keren tersebut.”

Mengutip akun Twitter resmi @PlayValorant, fase Closed Beta FPS besutan Riot Games ini sudah akan dibuka tanggal 7 April 2020 mendatang. Namun demikian, fase tersebut masih terbatas untuk regional Eropa (termasuk CIS) dan Amerika Serikat (termasuk Kanada) terlebih dahulu.

Mengutip dari pengumuman resmi, pemain di luar dua regional tersebut kemungkinan tidak akan mendapat kesempatan mencicipi lewat fase closed beta, karena situasi pandemi COVID-19. Namun, Valorant akan tetap diusahakan untuk rilis secara global pada musim panas 2020 (sekitar Juni – September), jika keadaan memungkinkan.

Activision Blokir Permanen Lebih dari 50 Ribu Cheater Call of Duty: Warzone

Cheat atau cara curang sudah jadi bagian dari video game dari sejak medium hiburan ini diperkenalkan ke publik puluhan tahun lalu. Beberapa permainan memang terlalu sulit untuk sebagian orang, dan penggunaan cheat di mode single-player adalah suatu hal yang bisa diterima. Namun tentu saja cheat diharamkan di multiplayer, terutama ketika ia memberi keuntungan dan keunggulan pada sejumlah oknum di atas pemain lain.

Bagi developer game online, memerangi para cheater ialah sebuah perjuangan yang tak ada habisnya. Ada begitu banyak sistem anti-cheat diciptakan dan diimplementasikan. Beberapa studio juga memberanikan diri untuk mengambil langkah ekstrem dengan resiko kehilangan jumlah pemain secara signifikan. Salah satunya adalah melalui pemblokiran permanen, seperti yang belum lama dilakukan oleh Activision terhadap lebih dari 50 ribu cheater di Call of Duty: Warzone.

Lewat blognya, sang publisher dengan tegas menyampaikan bahwa Call of Duty: Warzone bukanlah tempat bagi cheater dan tidak ada toleransi untuk mereka. Memastikan semuanya bermain adil ialah prioritas utama Activision dan merupakan sebuah aspek yang betul-betul diperhatikan. Meski demikian, sudah pasti Activision tak mau mengungkap metodenya secara gamblang, sebagai upaya buat terus mengejutkan para cheater.

Ada dua pihak yang jadi musuh utama Activision: para pemain curang serta penyedia jasa cheat (umumnya ditawarkan sebagai layanan premium). Dalam membungkam mereka, publisher dan developer mengimplementasikan sejumlah strategi, terutama lewat penyempurnaan sistem keamanan serta pengawasan secara terus menerus.

Activision menugaskan tim keamanan buat bekerja tanpa henti dalam menginvestigasi data serta mengidentifikasi potensi-potensi pelanggaran. Tim ini akan mengulas semua metode hack dan cheat yang dapat mereka temukan, seperti penggunaan aimbot (memungkinkan orang membidik lawan secara otomatis), wallhack (memberi kemampuan untuk melihat atau berjalan menembus tembok), dan lain-lain.

Selain itu, Activision juga terus berusaha menyempurnakan sejumlah sistem in-game demi mempermudah pemain melaporkan dugaan tindak kecurangan, misalnya dengan menyederhanakan user interface. Segala laporan tersebut selanjutnya segera dianalisa dan disaring berdasarkan data. Setelah investigasi selesai, tim akan bergerak cepat buat menjatuhkan pemblokiran pada pelaku pelanggaran.

Activision turut berjanji untuk terus memberi update terkait jumlah cheater yang berhasil diblokir.

“Tidak ada tempat buat para cheater di sini,” tutur Activision sembari menutup pengumuman mereka. “Kami menyadari bahwa tidak ada solusi tunggal dalam memerangi praktek cheating. Ini merupakan usaha yang mesti dilakukan setiap hari, 24 jam selama seminggu penuh. Tapi yakinlah, kami berkomitmen buat menjaga agar pengalaman bermain tetap menyenangkan dan adil bagi semua orang.”

Katsuhiro Harada Protes Pemerintah Jepang Batasi Durasi Main Game Anak

Konsumsi game bagi anak sepertinya memang sedang menjadi satu perhatian tersendiri bagi pemerintah di beberapa negara. Salah satu negara yang pertama kali memunculkan perhatian ini adalah Tiongkok. Pada November 2019 lalu, pemerintah Tiongkok sudah mengeluarkan regulasi baru untuk meminimalisir dampak buruk bermain game. Regulasi tersebut termasuk membatasi durasi main game dan serta membuat jam malam untuk gamers usia muda.

Walhasil regulasi tersebut berdampak kepada beberapa game, seperti Epic Games yang batasi waktu main Fortnite di Tiongkok, sertai Arena of Valor yang menyiapkan fitur Face Recognition untuk mengetahui usia pemain. Tak hanya di Tiongkok, Jepang juga kini kabarnya sudah menerapkan regulasi serupa, lewat sebuah peraturan daerah.

Peraturan ini diberi nama Net Game Addiction Measure Ordinance, yang diterapkan di prefektur Kagawa, Shikoku, Jepang. Peraturan ini akan membatasi waktu main warga yang berusia di bawah 18 tahun jadi hanya satu jam per hari saja. Melihat regulasi ini, Katsuhiro Harada, produser dan direktur seri game Tekken, lalu memberikan tanggapan yang cukup keras.

Twit tersebut jika diterjemahkan secara kasar berarti. “Para orang tua yang tumbuh dewasa dengan tidak bijak menjadikan game sebagai kambing hitam atas ketidakmampuan mereka untuk mendidik anak mereka secara bijak.” Mengutip Siliconera, peraturan daerah ini tidak hanya sekadar membatasi durasi main game anak-anak di bawah 18 tahun jadi 60 menit saja per hari (akhir pekan 90 menit), namun juga menerapkan jam malam yang melarang anak-anak untuk menggunakan telepon genggam di atas pukul 22:00.

Memang tidak seperti Tiongkok, yang memaksa pengembang untuk mengubah bagian dalam game untuk pembatasan durasi pemain, peraturan daerah yang diterapkan di Jepang ini bisa dibilang hanya bersifat sebagai arahan dari pemerintah kepada para orang tua dalam mengatur konsumsi game anak. Masih dari Siliconera, kebijakan ini sendiri sebenarnya masih menjadi perdebatan bagi kalangan umum di Jepang, karena cara menegakkan peraturannya yang masih jadi tanda tanya.

Lebih lanjut, Harada secara vokal menentang hal ini lewat beberapa seri twit lainnya. Ia mengatakan bahwa orang-orang yang membuat kebijakan ini adalah “orang orang dengan pikiran membosankan yang tidak dapat memberikan anak anak ide dan inspirasi.”

Terakhir, Harada kembali menegaskan bahwa bentuk perlawanan yang ia lakukan lewat opini pribadinya sendiri ini tidak ada hubungannya dengan penjualan game Tekken sendiri. Ia menjabarkan bahwa penjualan game Tekken 7 yang sudah mencapai jutaan unit, lebih banyak terjual di pasar barat (Eropa dan AS), ketimbang pasar Jepang yang hanya menyumbang 4 persen dari total penjualan dengan hanya 5 juta kopi saja terjual. “Jadi peraturan daerah ini tidak ada urusannya dengan penjualan Tekken 7. Namun, saya merasa ini akan memberikan dampak negatif kepada budaya gaming di Jepang.”. Ucap Harada.

Pada akhirnya, regulasi pembatasan waktu bermain game memang seakan menjadi pedang bermata dua bagi masyarakat. Pada satu sisi, pembatasan ini mungkin baik bagi tumbuh kembang anak, seraya memberi pedoman kepada orang tua terhadap cara konsumsi game terbaik bagi anak. Namun pada sisi lain, kebijakan seperti ini sedikit banyak juga akan mempengaruhi industri game itu sendiri. Walau mungkin tidak terasa untuk saat ini, pergeseran budaya seperti yang disebut Harada bisa jadi akan memberi dampak besar terhadap bisnis game di masa depan.

Sumber Header: Red Bull Esports

Microsoft Yakin Xbox Series X Mampu Mengungguli PS5 dari Aspek Harga

Harga merupakan salah satu faktor krusial yang bisa menentukan sukses tidaknya peluncuran console game. Di era current-gen, Sony sukses mengungguli Microsoft karena saat diperkenalkan, PlayStation 4-nya dibanderol US$ 100 lebih murah dibanding Xbox One. Sementara itu, sang rival bersikeras untuk membundel perangkatnya bersama Microsoft Kinect (yang kini tak lagi dipasarkan buat konsumen).

Namun kondisi saat ini cukup berbeda dari tujuh tahun silam. Anda mungkin sudah mendengar soal bagaimana Sony kesulitan menekan harga PlayStation 5 akibat kelangkaan sejumlah komponen pendukung penting. Dan melihat dari kemiripan teknologi antara console next-gen Sony dengan Xbox Series X, kita boleh berasumsi Microsoft juga menemui kendala serupa. Apalagi menakar spesifikasinya, Series X punya performa lebih tinggi dari PS5.

Meski begitu, bos Xbox Phil Spencer terlihat cukup percaya diri terhadap harga yang akan Microsoft tetapkan untuk Xbox Series X. Bahkan ia yakin produk mereka mampu menggungguli milik sang kompetitor, dan timnya sudah menyiapkan ‘rencana kemenangan’. Spencer menilai, hardware gaming baru Microsoft menyimpan performa serta kapabilitas yang superior, dan perangkat ini siap menawarkan sebuah paket lengkap.

Sejauh ini, baik Microsoft maupun Sony belum mengungkap harga console anyar mereka. Dari gelagatnya (dan melihat pengalaman sebelumnya), Sony sengaja menunggu hingga Microsoft melakukan pengumuman, barulah harga PS5 disingkap. Microsoft sendiri akan terus ‘membuka mata’ dan menetapkan harga Xbox Series X secara fleksibel karena sangat penting bagi produsen buat memenuhi – atau melampaui – ekspektasi konsumen.

Spencer kembali mengingatkan bahwa nilai sebuah console tak hanya dihitung dari hardware semata. Ada sejumlah faktor krusial lain yang jadi penentu daya tariknya di mata konsumen, misalnya seperti fitur backward compatibility dan layanan Xbox Game Pass. Phil Spencer juga menyampaikan, kapabilitas semisal Smart Delivery dirancang untuk membuat gamer merasa nyaman dalam membeli konten di platform Xbox. Teknologi ini memastikan kita hanya perlu bertransaksi sekali saja buat mengakses satu judul permainan di sistem berbeda.

Sebagai perbandingan, Microsoft awalnya menjajakan Xbox One di harga US$ 500. Seiring berjalannya waktu (dan setelah dipangkasnya bundel Kinect), angkanya turun ke US$ 300. Sementara itu, label US$ 500 kini diusung oleh varian Xbox One X. Spekulasi sementara ini adalah, Xbox Series X akan ditawarkan lebih mahal lagi dan Microsoft kemungkinan tak mengambil banyak keuntungan dari sana – mengharapkan balik modal dari penjualan software dan layanan premium.

Microsoft memang belum mengonfirmasinya, tapi sejumlah pakar dan analis menduga Xbox Series X hanyalah satu dari beberapa model console baru yang tengah produsen kembangkan. Boleh jadi nanti akan ada varian yang lebih terjangkau. Itulah alasannya Microsoft bilang bahwa kita hanya perlu memanggil hardware next-gen itu dengan sebutan ‘Xbox’.

Via Gamespot.

Pong Quest Ialah Penjelmaan Modern Pong Dengan Bumbu RPG

Diciptakan oleh Allan Alcorn atas permintaan co-founder Atari Nolan Bushnell, Pong adalah video game pertama yang sukses secara komersial. Bersama home console Magnavox Odyssey, Pong membantu mengokohkan industri gaming, Menyusul sambutan positif khalayak terhadap versi arcade-nya, Atari mulai memproduksi sistem permainan yang bisa dinikmati di rumah dan memasarkannya di tahun 1975.

Sesuai namanya, desain Pong terinspirasi dari permainan ping-pong (yang sebetulnya juga disajikan oleh Magnavox Odyssey). Kesuksesannya melahirkan rentetan sekuel serta tiruan. Beberapa judul resmi meliputi Pong Doubles, Super Pong, Ultra Pong, Quadrapong, serta Pin-Pong. Hampir setengah abad berlalu dari sejak Pong melakukan debutnya, Atari mengumumkan penjelmaan modern game ini yang akan hadir di platform current-gen. Mereka menamainya Pong Quest.

Lewat Pong Quest, Atari mencoba memadukan gameplay ala tenis meja tradisional (disebut pula ball-and-paddle) dan elemen role-playing. Anda bermain sebagai sebuah paddle dalam petualangan di dunia yang dihuni oleh karakter-karakter serupa. Sebagian besar waktu akan Anda habiskan bertanding ping-pong dengan mereka – ada paddle berpenampilan seperti badut, penyihir dan lain-lain.

IMG_01042020_124326_(1024_x_576_pixel)

Layaknya sebuah RPG, kustomisasi merupakan elemen penting di Pong Quest. Pemain bisa mendandani paddle-nya dengan beragam kostum, skin serta aksesori. Dan seperti yang diperlihatkan trailer singkatnya, Pong Quest tidak hanya menghidangkan pertandingan tenis meja digital saja. Game memiliki beragam mode unik, misalnya mengadu Anda dengan monster lipan, mode puzzle hingga variasi permainan ala Breakout (juga buatan Atari).

IMG_01042020_124213_(1024_x_576_pixel)

Di luar itu semua, dunia Pong Quest bisa bebas kita jelajahi. Permainan menyuguhkan grafis flat minimalis dua dimensi, yang bagi saya pribadi, berkesan terlalu sederhana dengan pemilihan dan kombinasi warna yang kusam. Mungkin arahan visual ini diambil demi mempertahankan tradisi ‘old school‘ Pong. Tapi sebetulnya tak ada salahnya jika aspek grafis diracik lebih stylish dan cerah – misalnya seperti Figment atau Fez.

IMG_01042020_124307_(1024_x_576_pixel)

Dari deskripsi di laman Steam, Pong Quest menugaskan Anda untuk ‘mengumpulkan Orb dan menguak rahasia Pintu Menakutkan’. Game turut ditunjang mode multiplayer lokal dan online, serta mempersilakan kita buat bermain bersama tiga orang kawan. Anda tidak membutuhkan PC berspesifikasi tinggi untuk menjalankan game, cukup sistem berspesifikasi CPU dual core, RAM 2GB dan kartu grafis DirectX 11.

IMG_01042020_124231_(1024_x_576_pixel)

Selain di Windows, Pong Quest juga dapat dinikmati dari Xbox One, PlayStation 4 dan Switch. Game rencananya akan dirilis di ‘musim semi’ tahun ini – yang artinya sebentar lagi.

Via Gamespot.