RedDoorz Raih Investasi Lanjutan Khusus untuk Pasar Indonesia

RedDoorz, platform pemesanan online hotel budget, mengungkapkan telah mendapat investasi lanjutan untuk mengembangkan pasarnya di Indonesia. Hanya saja, pengumuman ini tidak diungkap secara langsung, baik dari siapa VC yang mendanainya dan nilai investasi yang didapat perusahaan.

Dalam pertemuan bersama media yang diadakan kemarin (15/11), Founder dan CEO RedDoorz Amit Saberwal menuturkan pihaknya siap mengalokasikan lebih dari US$10 juta (sekitar Rp130 miliar) untuk mengembangkan pasar RedDoorz khusus Indonesia saja sampai akhir tahun depan.

Dana tersebut akan dipergunakan untuk merekrut talenta baru, biaya pelatihan, standarisasi layanan, dan meningkatkan kualitas kamar. Terlebih, RedDoorz akan menambah sembilan kota baru di Indonesia untuk ekspansi bisnis.

Secara terpisah kepada DailySocial, Amit menuturkan pihaknya mengonfirmasi bahwa dana alokasi ini berasal dari penggalangan pendanaan baru yang tidak diumumkan ke publik.

“Ini benar, sebagai kebijakan RedDoorz tidak mengumumkan putaran pendanaan kami yang berasal dari VC. Semoga kamu mengerti. Kami hanya mengumumkan venture debt satu kali saja sebesar US$1 juta,” katanya.

Yang pasti, sambungnya, putaran pendanaan ini berasal dari modal ventura. Sebelumnya, perusahaan juga mendapat komitmen investasi yang tidak diumumkan secara publik dari SIG (Susquehanna International Group), Jungle, dan IFC. Menurut Amit, ketiga investor tersebut menunjukkan komitmennya untuk terus mendukung perusahaan.

Pendanaan yang diterima perusahaan dan diumumkan secara publik adalah berjenis debt financing sebesar US$1 juta dari InnoVen Capital pada April 2017. Beberapa investor RedDoorz lainnya adalah 500 Startups dan IFC.

Mengembangkan pasar utama

Indonesia adalah pasar utama RedDoorz, sehingga perusahaan fokus memberikan pelayanan yang terbaik untuk penggunanya. Bisnis RedDoorz sendiri, selain di Indonesia, juga terdapat di Singapura dan dalam waktu dekat akan membuka operasional baru di Filipina. Singapura menjadi kantor pusat RedDoorz, sementara India menjadi pusat pengembangan teknologi.

Untuk bisnisnya di Indonesia, perusahaan kini telah menggandeng 450 pemilik properti dengan lebih dari 3 ribu kamar yang tersebar di tujuh kota di Indonesia. RedDoorz mengklaim telah melayani sekitar 500 ribu pengguna di Indonesia dengan tingkat pemesanan ulang mencapai 65%.

Artinya, setiap orang secara rerata menggunakan layanan RedDoorz lima kali dalam setahun. Aplikasi RedDoorz disebutkan telah diunduh lebih dari 500 ribu kali.

Agar penetrasi bisnis RedDoorz di Indonesia meningkat, perusahaan akan ekspansi ke sembilan kota baru sepanjang tahun depan. Kota yang akan disasar di antaranya Aceh, Balikpapan, Lombok, Makassar, Manado, Medan, dan Solo.

Perusahaan pun akan terus memperluas kehadirannya di tujuh kota yang telah beroperasi saat ini. Diantaranya, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.

Pemilihan kota baru ini, menurut Amit, bukan tanpa alasan. Pihaknya melihat seluruh kota tersebut, meski bukan tergolong kota besar namun memiliki tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi. Sehingga ada potensi bisnis dan perputaran ekonomi di sana.

“Kami percaya tim yang tepat, berbagai investor yang tepat dan peluang pasar yang tepat telah memainkan peranan kunci bagi kesuksesan kami di Indonesia. Tim kami di Indonesia merupakan perpaduan yang hebar dari para talenta yang memiliki pengalaman luas dan berkembang di dalam dinamika startup di tanah air.”

Bahkan, Amit optimis dengan seluruh strateginya ini dapat menghasilkan profitabilitas di Indonesia pada kuartal III 2018. Kendati, cakupan RedDoorz terhadap total industri hotel budget di Indonesia baru mencapai 0,16%.

COO RedDoorz Rishabh Singhi menambahkan, pasar Indonesia terbukti menjadi awal yang hebat bagi RedDoorz. Perusahaan telah bekerja sama secara erat dengan hotel budget kelas menengah, properti pribadi, dan penginapan untuk berinovasi, berkolaborasi, dan fokus menciptakan pengalaman unik.

“Kami secara aktif ingin menggapai lebih dari 100 juta konsumen digital. Melalui platform kami, hotel dapat menyasar pasar khusus dan memastikan keberlanjutan tingkat okupansi yang baik,” terang Rishabh.

Pihaknya percaya bahwa industri ini di Asia Tenggara adalah peluang besar yang bisa terus dikembangkan. Pasalnya, secara total bila dibandingkan dengan India saja, potensi di Asia Tenggara mencapai tiga kali lipat lebih besar senilai US$20 miliar.

RedDoorz pertama kali berdiri di Indonesia pada Juli 2015. Tingkat pertumbuhan bisnis yang diklaim cukup signifikan. Pada tahun lalu bisnis RedDoorz tumbuh 11 kali lipat, sementara tahun ini diperkirakan tumbuh 5 kali lipat. Ditargetkan sampai lima tahun mendatang, pertumbuhan perusahaan bisa tetap stabil di kisaran 4-5 kali lipat.

Dalam memasarkan layanannya, RedDoorz bermitra dengan penyedia layanan OTA lainnya. Beberapa diantaranya seperti Agoda, Booking, Expedia, MG, Airbnb, Goibibo, Pegipegi, Ctrip, dan Hotels.

IWIC Kembali Digelar, Tantang Pengembang Lokal Berinovasi dengan Cakupan Global

Indosat Ooredoo Wireless Innovation Contest (IWIC) akan kembali digelar untuk ke-11 kalinya. Mengusung tema utama “Digital Nation”, IWIC ingin mengajak generasi muda Indonesia dan dunia berkompetisi menciptakan ide dan aplikasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara global.

Pada program IWIC ke-11, kategori kompetisi yang dapat diikuti yaitu: Kids & Teens, Beginner, Professional, dan Women & Girls. Kategori-kategori ini akan berkompetisi untuk ide dan aplikasi di bidang Entertainment, Utility, Media, dan juga Special Needs. Para peserta dapat membuat ide dan aplikasi untuk sistem operasi Android, iOS, atau Windows Mobile.

Sesuai dengan visinya, IWIC memiliki tujuan untuk menumbuhkan dan menemukan minat-minat baru generasi muda di dunia digital, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan talenta digital Indonesia seiring dengan tingginya tren penggunaan aplikasi mobile. IWIC juga membuka peserta dari berbagai negara sejak tahun lalu, bertujuan untuk membuat para talenta muda Indonesia mampu hadir dan bersaing dengan pemain global.

President Director & CEO Indosat Ooredoo, Alexander Rusli dalam penjelasannya menyampaikan:

“Di usia 50 tahun ini kami ingin menegaskan kembali komitmen kami mewujudkan Indonesia Digital Nation melalui visi kami menjadi perusahaan digital terkemuka di Indonesia. Kompetisi IWIC ke-11 ini merupakan bentuk komitmen kami mewujudkan visi tersebut, sebuah ajang kompetisi inovasi teknologi di bidang mobile pertama dan secara konsisten dilakukan sejak 10 tahun yang lalu.”

Setelah sepuluh tahun penyelenggaraannya, program unggulan Indosat Ooredoo ini telah mengumpulkan lebih dari 10.703 proposal ide dan aplikasi digital anak bangsa. beberapa dari karya inovatif pemenang IWIC telah dapat dinikmati oleh masyarakat.

“Kami berharap semakin banyak aplikasi yang bisa dinikmati masyarakat, karena ke depan para developer akan dapat berkenalan dengan API Indosat Ooredoo. API merupakan perangkat fungsi dan protokol untuk membangun aplikasi perangkat lunak. API yang disediakan Indosat Ooredoo akan memberikan akses lebih cepat terhadap sebuah aplikasi untuk dapat berinteraksi dengan pelanggan,” imbuh Alexander.

IWIC ke-11 juga dimeriahkan dengan rangkaian kegiatan roadshow dan gathering komunitas, hackathon dan bootcamp menjelang grand final IWIC. Para pemenang IWIC akan mendapatkan berbagai hadiah menarik diantaranya uang tunai senilai total ratusan juta rupiah serta kesempatan untuk mengunjungi berbagai perusahaan global.

Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran, kunjungi http://iwic.indosatooredoo.com.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Indosat Ooredoo Wireless Innovation Contest.

Go-Jek dan Pemkab Banyuwangi Kolaborasi Hadirkan Layanan Kesehatan, UMKM, dan Transportasi

Go-Jek dan Pemkab Banyuwangi menghadirkan layanan kesehatan, UMKM, dan transportasi untuk masyarakat Banyuwangi. Langkah ini adalah tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman antara keduanya pada Oktober lalu.

Bentuk implementasi dari layanan kesehatan, mitra driver Go-Jek akan diberdayakan sebagai armada pengantar obat untuk warga Banyuwangi yang sedang sakit. Akan ada shelter khusus Go-Jek di RSUD Banyuwangi untuk melancarkan program ini.

Khusus untuk warga miskin, terkait biaya pengantaran, akan ada tambahan subsidi baik dari Pemkab maupun Go-Jek dari dana CSR. Adapun untuk transportasi, pihak Go-Jek merangkul taksi lokal untuk memperkuat armada Go-Car.

Sementara untuk UMKM, sebanyak 35 merchant Go-Food dari Banyuwangi akan diikut sertakan dalam pesta kuliner. Acara ini akan digelar pada 15-17 Desember 2017.

“Bagi Go-Jek, kolaborasi ini bukan sekadar bisnis saja tapi merupakan suatu pergerakan besar dalam menumbuhkan ekonomi Indonesia dengan teknologi. Lewat implementasi teknologi, ada efisiensi yang bisa menggerakkan roda ekonomi, beri peluang lapangan pekerjaan sebesar-besarnya,” terang CEO Go-Jek Nadiem Makarim, Rabu (15/11).

Bupati Banyuwangi Azwar Anas menambahkan, kolaborasi ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi masyarakat Banyuwangi, terutama pekerja sektor informal, UMKM, pelaku usaha transportasi dan masyarakat umum.

Pihaknya percaya dengan pemerintahan yang kolaboratif dengan perusahaan swasta, dapat mempercepat peningkatan kualitas layanan publik sekaligus membantu masyarakat terus berkembang.

“Go-Jek adalah satu dari sedikit entitas bisnis yang mampu mewujudkan kewirausahaan sosial dengan baik. Inovasi sosial seperti itulah yang perlu didukung karena pemerintah jelas tidak bisa berjalan sendirian,” kata Azwar.

Saat ini sudah ada 800 mitra Go-Jek yang sudah bergabung di Banyuwangi. Seluruh mitra tersebut sebelumnya berprofesi sebagai pengemudi ojek pangkalan. Secara total, mitra Go-Jek di seluruh Indonesia mencapai 600 ribu orang.

Nadiem melanjutkan, perusahaan selalu terbuka untuk berdiskusi dan kolaborasi dengan pemerintah daerah lainnya dalam meningkatkan layanan publik.

“Kami memiliki berbagai solusi teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk memberi dampak positif bagi masyarakat. Kami juga membuka ruang kolaborasi yang pro inovasi seperti kolaborasi dengan Pemkab Banyuwangi yang sudah terealisasi ini,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Ivosights Luncurkan Aplikasi “Tania”, Agregasi Kanal Digital Layanan Pelanggan

Pengembang platform customer engagement Ivosights baru-baru ini meluncurkan produk terbarunya yang diberi nama Tania. Produk ini merupakan sebuah aplikasi agregator yang dapat menghubungkan pemilik brand dengan pelanggan, atau disebut dengan customer touchpoint. Aplikasi ini dibuat di platform Android, diharapkan dapat merangkul lebih banyak konsumen.

“Tania dikembangkan untuk memudahkan konsumen dalam berinteraksi dengan brand, tanpa kebingungan mencari dan menentukan akun resmi brand tertentu,” ujar CEO Ivosights Elga Yulwardian.

Saat ini Tania menghubungkan konsumen langsung ke email dan akun-akun resmi brand di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Google+. Menariknya Tania telah melakukan kurasi dan verifikasi terhadap brand tersebut, sehingga dipastikan konsumen terhubung dengan kanal yang benar. Tania sendiri didesain untuk dapat mengakomodasi saran, pertanyaan/permintaan, dan komplain terkait layanan atau produk yang digunakan konsumen,

“Saat ini ada 850 brand dari 35 sektor industri yang dapat diakses melalui Tania, dan jumlah ini akan terus meningkat,” lanjut Elga.

Sebelumnya Ivosights meluncur menawarkan tiga platform unggulan untuk pengelolaan pelayanan konsumen di media sosial, yakni Digital Monitoring Platform, Social Customer Care Platform, dan Automation Social CRM Platform. Dengan solusi end-to-end yang dihadirkan, Ivosights berharap bahwa layanannya dapat menjadi alternatif produk dalam negeri untuk pemasaran digital. Selama ini bisnis kebanyakan menggunakan layanan seperti Zendesk untuk memonitor seluruh aktivitas pemasaran media sosial mereka.

Menangani konsumen di media sosial tidak mudah

Media sosial memang efektif untuk mendekatkan brand dengan konsumennya, karena rata-rata konsumen digital saat ini sangat erat dengan penggunaan media sosial. Namun apakah semudah itu dalam implementasinya? Jika melihat praktik yang banyak dilakukan oleh brand besar yang ada saat ini dalam menangani keluhan pelanggan via media sosial, cukup rumit. Pasalnya setiap pelanggan itu unik, dan memiliki sifat yang sangat berbeda. Poin ini yang sulit untuk diakomodasi oleh teknologi, di luar kecepatan respons yang mungkin dilakukan.

Namun beberapa waktu lalu Ivosights juga sudah menjalin kerja sama khusus dengan LIPI. Salah satu target capaiannya ialah untuk menghadirkan sebuah sistem yang mampu mengenali sentimen (positif atau negatif) perilaku pengguna media sosial dalam kaitannya dengan layanan pelanggan. Pada dasarnya otomatisasi seperti ini sangat mungkin dilakukan, mengingat sekarang konsep seperti Artificial Intelligence, Machine Learning, ataupun Data Science sudah sangat riil.

Application Information Will Show Up Here

Investasi dan Ekosistem Berperan Krusial dalam Pertumbuhan Startup Indonesia

Tahun 2017 sudah mendekati titik akhir, umumnya akan dilakukan banyak refleksi berkaitan dengan perjalanan yang dilalui dalam satu tahun terakhir. Tak terkecuali bagi lanskap startup di Indonesia, mulai dari sisi capaian bisnis, inovasi teknologi, dan berbagai macam komponen pendukungnya mulai banyak didiskusikan perkembangannya. Dalam acara peresmian co-working space baru Kolega Primedge minggu lalu, sebuah acara talkshow digelar, menyoroti beberapa hal terkait perkembangan startup sampai akhir 2017 ini.

Dalam kesempatan tersebut dihadirkan beberapa pemateri, yakni Head Investment Mandiri Capital Aldi Adrian Hartanto, Director of Business Strategy MallSini Steven Yee, dan Co-Founder GDILab Jefri Dinomo. Ketiga pemateri tersebut membahas dua pembahasan utama, yakni tentang bagaimana investasi berpengaruh terhadap ekosistem startup nasional dan bagaimana kolaborasi di ekosistem seharunya berperan mendorong akselerasi bisnis startup.

Pendanaan masih menjadi salah satu tulang punggung kemantapan startup Indonesia

Para panelis menyoroti, setelah startup berhasil mendefinisikan dengan baik tahap awalnya –meliputi produk, strategi bisnis dan sebagainya—langkah selanjutnya yang diperlukan ialah mengakselerasi. Yakni mempercepat laju pertumbuhan dan traksi penggunaan produk dengan berbagai jenis pendekatan, misalnya growth hacking. Di fase ini umumnya startup akan membutuhkan modal yang lebih besar, bahkan sangat besar, sehingga investasi tahap lanjutan sangat dibutuhkan di sini.

“Dalam menjalankan bisnis tidak hanya memerlukan output yang baik, namun kerja sama yang solid, karena sejatinya investor mengutamakan kualitas setiap individu yang terdapat dalam menciptakan sebuah produk startup,” ujar Steven.

Di fase ini penting bagi startup untuk mulai menjalin komunikasi dan relasi dengan investor. Terkait dengan ini, panelis menekankan bahwa yang perlu dibawa kepada investor ialah sebuah value yang dimungkinkan untuk menjadi sebuah kolaborasi kedua pihak, antara startup dan pihak investor. Poin penting lainnya, pendanaan harus ditempatkan pada posisi untuk meningkatkan performa bisnis, jadi perlu bentuk ideal terlebih dulu dari sisi produk dan orientasi pasar sebelum memutuskan untuk fundraising dan “membakar uang”, tentu untuk tujuan pengembangan pangsa pasar.

Inilah yang biasa dipertimbangkan oleh Mandiri Capital ketika mempertimbangkan untuk memberikan pendanaan kepada startup, terutama di tahap awal. Tahun ini diakui, bahwa terjadi penurunan jumlah startup yang disuntik oleh Mandiri Capital, Aldi menjelaskan hal ini disebabkan perubahan mentalitas para pelakunya, sehingga membuat pertimbangan investor semakin kompleks.

“Investor cenderung menjadi lebih selektif ketika hendak berinvestasi, perlu memikirkan banyak hal seputar mengenai prospek ke depan. Mulai dari strategi profit perusahaan, laju pertumbuhan, dan pengujian startup agar bisa bertahan,” ujar Aldi.

Menumbuhkan startup melalui jaringan ekosistem yang ada

Selanjutnya Jefri dari GDILab menyampaikan, bahwa aspek penguatan produk (termasuk dari sisi teknologinya) adalah krusial. Karena biar bagaimanapun kualitas produk akan menjadi yang paling dominan bagi startup, termasuk ketika hendak mendapatkan pendanaan. Pasar yang semakin ketat memang membuat setiap pemain harus berpikir jeli dan inovatif melihat berbagai peluang yang ada. Produk harus mau dinamis, siap berkembang menyesuaikan permasalahan yang ada di target pasarnya.

Para pemateri juga meyakini, bahwa ekosistem yang sudah ada sebenarnya bisa dijadikan sarana bagi pelaku startup untuk bisa terhubung satu sama lain, antar pemain startup, investor, hingga sampai di level individu (berkaitan dengan talenta). Adanya perkembangan infrastruktur yang terus dikejar oleh berbagai pihak, setidaknya akan selalu menciptakan jalan baru bagi startup digital untuk bertumbuh pesat.

Startup Aktivitas Berkuda “Djiugo” Resmi Rilis

Aktivitas berkuda memiliki stigma sebagai olahraga yang mahal dan eksklusif untuk kalangan atas saja, padahal kondisi sekarang sudah berkata lain. Olahraga ini bukan berarti harus memiliki kuda sendiri karena sudah semakin banyak klub berkuda hingga tempat rekreasi yang mengakomodir hobi berkuda dengan biaya yang terjangkau.

Belum adanya informasi yang terkumpul mengenai aktivitas berkuda menginsiprasi Reshwara Radinal, yang merupakan atlet berkuda ketangkasan (equestrian) Indonesia, untuk mendirikan startup Djiugo. Reshwara adalah suami selebriti Nabila Syakieb, yang juga menyukai olahraga berkuda.

Djiugo merupakan platform one stop service yang menyediakan empat jenis layanan untuk memenuhi kebutuhan berkuda bagi semua kalangan, baik atlet, penunggang profesional, atau keluarga yang tertarik berkuda. Layanan tersebut mulai dari jual beli kuda, pemesanan jasa pelatih kuda dari dalam atau luar negeri, pemesanan paket tur berkuda, hingga berbagi informasi lewat blog dan berita.

Untuk sementara Djiugo baru tersedia untuk pengguna iOS, sementara untuk versi Android segera hadir paling lambat akhir tahun ini.

Djiugo bermitra dengan berbagai pihak, baik dari Belanda dan lokal dalam menyediakan layanannya. Ada tiga mitra stable untuk memfasilitasi transaksi jual beli kuda impor, Djiugo pun akan menyediakan jasa logistik dalam pengirimannya.

Mitra stable di Indonesia sendiri ada 10 stable. Secara potensi, kurang lebih ada 200 stable di seluruh Indonesia yang dapat menjadi mitra Djiugo. Mereka juga menyediakan paket perjalanan dan fotografi ke tempat-tempat berkuda di Indonesia dan luar negeri.

“Kami sudah riset. Bisa dibilang Djiugo ini adalah aplikasi pertama di Asia Pasifik yang komprehensif menyediakan informasi yang lengkap seputar berkuda. Saya bangun sendiri aplikasi ini sejak setahun lalu dan menggandeng CodeInc sebagai developernya,” terang Reshwara, Selasa (14/11).

Kehadiran aplikasi ini diharapkan dapat mengumpulkan seluruh pecinta kuda hingga orang awam untuk saling berbagi informasi sehingga dapat membentuk komunitas baru. Pasalnya, Djiugo tidak hanya mengumpulkan informasi stable atau pelatih dari dalam negeri saja, tetapi juga di luar negeri.

Untuk monetisasinya, Djiugo mengandalkan komisi dari layanan jual beli kuda, jasa pemanggilan pelatih dan paket tur. Hanya saja, Reshwara enggan menyebutkan persentase yang diambil.

Dia menargetkan dalam jangka pendek Djiugo menjadi sumber informasi yang lengkap untuk masyarakat Indonesia mengenai aktivitas berkuda. Menurutnya, informasi tersebut dapat menjadi acuan pengguna untuk lebih pintar dalam memilih aktivitas berkuda dengan standar keamanan yang berlaku.

“Kita mau mengembangkan aktivitas berkuda lebih jauh di Indonesia. Kami lihat selama satu dua tahun belakangan, banyak tempat rekreasi yang menyediakan aktivitas berkuda, berenang, dan memanah dalam satu lokasi. Ini potensi yang baik karena bisa mematahkan stigma aktivitas berkuda yang mahal. Kami menyasar seluruh kalangan sebagai pengguna.”

WORKnPLAY Mulai Tawarkan Layanan Pembelian Tiket Pesawat dan Pemesanan Hotel

WorkNstay, yang dulu dikenal sebagai sebuah layanan yang bergerak di bidang bisnis properti, kini mulai mengubah model bisnisnya dengan kembali mengenalkan diri sebagai WORKnPLAY. Nama baru ini sekaligus juga mengusung beberapa perubahan. WORKnPLAY menjadi sebuah aplikasi mobile berbasis peta atau lokasi yang mengintegrasikan properti, reservasi hotel, dan pembelian tiket pesawat.

Di awal tahun 2017 WORKnPLAY pertama kali diperkenalkan di Indonesia dan Singapura sebagai marketplace yang membantu pengguna membeli atau menjual rumah atau ruang kantor mereka. Bekerja sama dengan Tiket.com, WORKnPLAY menambahkan dua fitur utama, yakni pembelian tiket penerbangan dan pemesanan hotel yang dirasa bersinergi dengan layanan WORKnPLAY. Pengguna juga bisa memesan armada Uber dalam jarak 60 kilometer untuk memfasilitasi perjalanan antar lokasi pada destinasi yang dituju.

Salah satu yang membedakan WORKnPLAY dari layanan OTA lainnya adalah konsep berbasis peta yang diusung. fitur peta real time WORKnPLAY bisa membantu pengguna dalam mengurangi kerepotan ketika mencari hotel terdekat.

“Dengan sistem berbasis peta kami, pengguna hanya perlu memilih pin hotel untuk memesan kamar. Hal ini akan memudahkan pengguna dalam memesan hotel favorit mereka,” ujar Chief Strategy Officer WORKnPLAY Irwan Hartanto.

WORKnPLAY disebutkan tengah mengincar peluang dan potensi tumbuh di Indonesia dan Singapura, dimulai dari daerah-daerah perkotaan. Untuk mencapai tujuan ini, WORKnPLAY fokus pada pemberian kualitas layanan untuk memberikan kesan baik pada pengguna.

“Saat ini, kita sedang fokus memberikan kepuasan terbaik bagi para pengguna ketimbang monetisasi. Bagi kami, segala fokus tertuju pada menemukan ‘DNA’ yang tepat dan kecocokkan pasar yang tinggi di Indonesia dan Singapura,” jelas Irwan.

“Kami telah mendapatkan peningkatan traksi yang konsisten semenjak Januari 2017.”

WORKnPLAY disebutkan mengincar peluang berekspansi ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina di tahun 2018.

Application Information Will Show Up Here

Tujuh Startup Fintech Korea Selatan Cari Peluang B2B di Indonesia

Korea Internet & Security Agency (KISA), otoritas yang bertanggung jawab untuk memelihara dan melindungi ruang internet di bawah Kementerian Sains dan TI Korea Selatan, membuka peluang bisnis B2B di Indonesia untuk tujuh startup fintech asal negeri Gingseng lewat pertemuan bisnis dengan 15 perusahaan fintech dari Indonesia.

Seluruh startup menawarkan teknologi yang mereka kembangkan masing-masing, mulai dari keamanan finansial, blockchain, remitansi, biometrics, dan sistem pembayaran.

Pertemuan bisnis ini merupakan langkah perdana KISA dalam mempromosikan startup fintech dari Korea Selatan ke pasar internasional. Setelah Indonesia, KISA akan memboyong seluruh peserta ke Vietnam untuk melakukan hal yang sama.

Senior Researcher KISA Jeong Jongil menuturkan alasan di balik dipilihnya Indonesia dan Vietnam, lantaran kedua negara ini memiliki kesamaan penerapan fintech yang bisa dibilang sudah mumpuni sehingga diharapkan terjadi kemitraan yang baik antar satu sama lain.

Alasan berikutnya, pasar di Korea Selatan bisa dibilang sudah cukup kompetitif. Perusahaan fintech di sana sudah mencapai lebih dari 200 perusahaan. Alhasil perusahaan harus mencari market yang lebih potensial di luar negeri.

“Sampai akhir tahun ini diperkirakan akan ada lebih dari 300 startup fintech di Korea Selatan. Pasar sudah makin kompetitif, akhirnya harus cari pasar baru di luar negeri. Seluruh peserta kami kurasi berdasarkan solusi yang mereka tawarkan,” kata Jeong, Senin (13/11).

Berikut adalah nama-nama ketujuh startup Korea Selatan:

1. MOIN

Adalah startup fintech yang bergerak di bidang remitansi dengan memanfaatkan teknologi blockchain. MOIN menggunakan cryptocurrency dibandingkan sistem SWIFT. Perusahaan menjamin kecepatan dalam mengirim uang empat kali lebih cepat dan 80%-90% lebih murah dibandingkan memakai jasa bank.

2. WION

Adalah startup fintech yang bergerak di jasa pembayaran. WION memiliki berbagai produk yang membentuk ekosistem pembayaran jadi lebih seamless. Di antaranya produk WiGLE yang merupakan perangkat infra yang dapat membaca perangkat pengguna dan menyediakan berbagai metode pembayaran seperti beacon, aplikasi keamanan dan sebagainya.

Produk lainnya yang dihadirkan adalah WiCard (kartu kredit wireless), WiTable (layanan pemesanan dan pembayaran di restoran), WiKiosk (pembayaran mobile via kios digital), WiPos (perangkat mPOS), WiWare (pembayaran mobile wireless tanpa smartphone), dan lainnya.

Di Indonesia sendiri, WION tengah melakukan kerja sama bisnis dengan XL Axiata, Finnet, Doku, Alfamart, dan Hyosung ATM.

3. WinningI

Adalah startup fintech yang menggunakan teknologi biometrik dari telapak tangan dan sidik jari sebagai sensor untuk otentikasi, cukup lewat kamera smartphone. Target pengguna layanan ini adalah perusahaan jasa keuangan seperti perbankan, sekuritas, asuransi, dan biometrik mobile.

Teknologi yang dihadirkan WinningI sudah digunakan oleh beberapa perusahaan dari Korea seperti JB Bank, Kwangju Bank, dan SK Telecom.

4. Soft.kr

Adalah startup fintech yang bergerak di jasa Enterprise Risk Management (ERM), menyediakan informasi untuk menganalisis berbagai risiko keuangan demi mencegah terjadinya fraud. Misalnya, analisis pola transaksi, simulasi pola, penilaian risiko, pemantauan dan deteksi real-time, dan lain sebagainya.

5. Coinone

Adalah startup fintech yang menawarkan berbagai jasa berbasiskan teknologi blockchain. Ada dua jenis layanan yang dihadirkan, cryptocurrency exchanges dan cross-border remittance. Dalam cryptocurrency exchanges, Coinone menyediakanenam mata uang uang, diantaranya BTC, BCH, ETH, XRP, dan QTUM.

Sementara crossborder remittance menawarkan jasa remitansi dengan menggunakan cryptocurrency. Pengguna dapat mengirim uang dengan fee yang lebih murah dari bank dan didukung oleh lima bank besar di Asia.

6. To Be Smart

Adalah perusahaan pengembang perangkat lunak yang menggunakan kartu Universal subscriber Identity Module (USIM). Ada tiga produk yang dihadirkan, platform transaksi yang terotentikasi dengan teknologi crypto visual, solusi otentikasi biometrik berbasis electrocardiogram, dan USM pay.

Untuk solusi otentikasi biometrik, To Be Smart mengembangkan dua jenis kartu electrocardiogram. Satu kartu digunakan untuk server, satu lagi didistribusikan ke individu. Cara ini dinilai lebih aman dari penggunakan OTP.

7. Heenam

Adalah perusahaan fintech penyedia jasa scraping dengan nama produk E-Spider. Produk ini menyediakan bahasa penskripan ECMA Script untuk mengirimkan informasi konsumen secara otomatis dari berbagai jaringan, meski berada di sistem operasi atau perangkat yang berbeda.

Penggunaan informasi ini digunakan untuk perusahaan dalam kaitannya pemberian fasilitas kredit, penerbitan kartu ATM tanpa tatap muka, manajemen finansial personal, dan lainnya. Beberapa pengguna Heenam di Korea Selatan, seperti Bank Woori, Hyundai Card, dan Busan Bank.

MDI Ventures Terlibat Pendanaan untuk Startup Teknologi Angkasa Amerika Serikat Loft Orbital

MDI Ventures, perusahaan modal ventura yang didukung Telkom Group, mengumumkan pihaknya terlibat dalam pendanaan awal untuk startup teknologi angkasa (space tech) Loft Orbital, yang berpusat di San Francisco, Amerika Serikat, bersama Uncork Capital (yang memimpin pendanaan), v1.vc, Mercuria Investment Co, RESTEC Jepang, dan sejumlah eksekutif ternama di segmen luar angkasa. Total dana yang digelontorkan di tahap awal ini senilai $3,2 juta (lebih dari 43 miliar Rupiah). Diharapkan kolaborasi ini akan mendukung kemitraan antara Telkom Group dan Loft Orbital.

Loft Orbital memiliki model bisnis penyewaan tempat untuk peletakan sensor di satelit-satelit inderaja yang diluncurkannya. Pihak ketiga bisa memanfaatkannya untuk memperoleh citra bumi untuk berbagai kepentingan, termasuk pendidikan, maritim, cuaca, prediksi hasil bumi, dan lain-lain.

Selama ini perusahaan harus membeli satelit (secara utuh) untuk memperoleh data akurat tentang bumi. Diharapkan layanan ini akan meminimalisir biaya yang dibutuhkan dan mendorong lebih banyak riset tentang kebumian.

Loft Orbital didirikan oleh Antoinne de Chassy, Pierre-Damien Vaujour, dan Alex Greenberg. Secara total pengalaman mereka di industri angkasa mencapai lebih dari 50 tahun. de Chassy sebelumnya pernah menjadi CEO Airbus Geo Amerika Utara, Vaujour adalah engineer luar angkasa NASA, dan Greenberg adalah veteran Silicon Valley di industri angkasa.

CEO Loft Orbital Antoinne de Chassy menyebutkan, “MDI Ventures adalah salah satu investor utama yang di awal memberikan komitmen untuk Loft Orbital. Mereka melihat nilai solusi penyewaan satelit kami bisa membantu menyelesaikan sejumlah isu di Indonesia, termasuk mendorong peluang pertumbuhan bisnis di kawasan. Kami menawarkan akses yang mudah bagi konsumen ke angkasa dan kontrol terhadap koleksi data [yang diperoleh]. Kami sangat senang untuk bisa melayani kebutuhan konsumen komersial dan pemerintahan di Indonesia.”

Menurut CEO MDI Ventures Nicko Widjaja kepada DailySocial, segmen ini bisa dibilang relatif baru, bahkan di Amerika Serikat sendiri. Menurutnya inovasi di sektor ini, dalam tiga tahun belakangan, didorong semakin murahnya biaya platform satelit dan semakin banyaknya negara yang mengeluarkan dana (antara $10 juta hingga $100 juta) untuk kegiatan-kegiatan di angkasa. Banyak perusahaan data dan analytics yang mencari solusi lebih murah untuk meluncurkan sensornya ke angkasa.

Solusi seperti ini disebutkan akan “mendemokratisasi” bisnis di segmen angkasa karena biayanya akan semakin terjangkau.

Disinggung soal kemitraan Loft Orbital dan Telkom Group, Nicko menjawab, “Karena kebanyakan portofolio kami didasari nilai-nilai sinergi yang bisa dikolaborasi secepatnya, kami menantikan kemitraan dengan tipe perusahaan seperti ini. Loft Orbital didirikan oleh para pionir dan orang-orang yang telah lama berkecimpung di dunia teknologi angkasa (Lockheed Martin, SpaceX, Airbus, dan One Web). Hal ini meletakkan kami di industri angkasa dengan sangat strategis.”

“Indonesia adalah pasar yang sangat menarik bagi perusahaan teknologi angkasa mengingat lokasinya. Tentu saja banyak peningkatan bisa dilakukan berdasarkan data-data teknologi angkasa, misalnya efisiensi biaya di sektor maritim dan infrastruktur,” tutup Nicko.