Proses Memvalidasi Ide

Memvalidasi selalu menjadi pembahasan menarik bagi para pebisnis. Karena pada dasarnya ide selalu menjadi penghambat untuk mengambil keputusan. Entah ragu-ragu karena belum yakin dengan ide atau gagal karena ide terlalu dini dieksekusi tanpa perhitungan yang matang. Banyak cerita sukses mengenai bagaimana menggali potensi ide dan juga tips-tips yang dibagikan para penggiat bisnis mengenai validasi.

Dalam seri validasi kali ini, saya coba menuliskan tips Eric Ries, penulis buku The Lean Startup yang juga penggiat bisnis startup.

Memanfaatkan pandangan tentang user experience

Sebagai seorang pebisnis, wawasan dan pengalaman di bidang yang akan digeluti bisa menjadi modal yang sangat kuat. Dengan pengalaman, wawasan dan sudut pandang bayangan produk atau layanan yang ingin dikembangkan bisa didesain sejak awal.

Misalnya jika Anda ingin membuat sebuah layanan teknologi finansial tentang pinjaman, menyuguhkan pengalaman pengguna yang sempurna (mulai dari mendaftar menjadi anggota hingga mengajukan pinjaman) adalah hal wajib. Atau jika yang sedang dikembangkan adalah produk yang berada di industri pendidikan, maka melakukan rancangan dari sudut pandang siswa, guru atau orang tua murid bisa sangat membantu memberi gambaran seperti apa produk akan dikembangkan.

Ini lebih seperti menuangkan apa yang terbaik bagi pengguna ke dalam rancangan produk yang ingin dicapai. Dengan memiliki pengalaman personal tentu menjadi sebuah keuntungan.

Mengidentifikasi Critical Assumptions

Critical assumptions sederhananya merupakan fakta atau karakteristik tentang gambaran bisnis yang sedang dibangun. Semakin banyak asumsi kritikal yang diidentifikasi semakin sedikit risiko yang dihadapi. Asumsi-asumsi ini yang akan menguatkan apakah produk layak dikembangkan atau berhenti sebagai ide semata.

Contoh sederhananya, ketika kita mencoba menangkap peluang sebagai penyedia layanan pendidikan yang menghubungkan orang tua dengan murid untuk memantau kegiatan pemebelajaran anaknya asumsi yang harus diidentifikasi harus lebih lengkap. Tidak sebatas ada kebutuhan untuk membangun itu.

Identifikasi juga kebutuhan-kebutuhan terkait fitur, platform yang digunakan dan yang paling penting apakah orang tua atau guru bekenan merogoh koceknya untuk berlangganan layanan dibangun. Jangan-jangan mereka hanya mengutarakan sesuatu yang mereka harap mendapat gratis. Karena mencari cara mendapatkan keuntungan dari produk atau layanan juga merupakan hal yang krusial.

Membangun versi awal untuk memvalidasi critical assumption

Setelah berhasil mengidentifikasi critical asusumption langkah selanjutnya yang bisa ditempuh adalah dengan membangun versi awal dari produk. Versi awal ini digunakan untuk memvalidasi apakah identifikasi di tahap sebelumnya valid atau hanya sebatas asumsi.

Versi awal produk ini juga menjadi langkah awal untuk memisahkan apa-apa yang bisa divalidasi dan apa yang hanya sebatas asumsi atau pemikiran-pemikiran yang nyatanya tidak tervalidasi di lapangan. Jika berada di tahap ini dan Anda bukan seorang yang memiliki kemampuan coding, bersiaplah untuk mencari tim atau mengajak kenalan untuk bergabung.

Luncurkan dan ukur

Setalah berhasil membangun produk awal atau biasa disebut dengan MVP (minimun viable product), Anda bisa memperkenalkan produk ke khalayak ramai dan melihat reaksi mereka. Tentunya tidak lupa membuka diri terhadap segala bentuk kritik dan masukan, dari target potensial atau calon pengguna Anda. Mulai cari tahu di mana letak kebutuhan yang perlu diperbarui dan juga kemungkinan menentukan harga. Selalu ukur capaian seperti angka pendaftar baru, kunjungan halaman, mereka yang kembali setelah menginstalasi hingga mereka yang memutuskan untuk tidak kembali.

Berdasarkan angka-angka itu dan segala pengukuran yang dilakukan, segera ambil tindakan, baik mengubah arah haluan dan target pengguna atau terus melanjutkan dengan penyempurnaan.

Mendengar Pengguna untuk Memvalidasi Ide

Masih dalam seri memvalidasi ide untuk startup, tulisan kali ini akan melengkapi seri sebelumnya yang mengelompokkan validasi ide dalam tiga tahapan utama: (1) menulis atau mengelompokkan ide, (2) mengevaluasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan awal, dan (3) langsung terjun ke lapangan untuk mendapat gambaran nyata tentang respons dari ide.

Ide sendiri bisa datang dari mana saja, sehingga perlu dikelompokkan. Yang membedakan satu ide dengan ide lainnya adalah kesesuaiannya untuk menjadi solusi. Itu mengapa ide perlu divalidasi.

Validasi tahap awal

Ada banyak cara untuk memvalidasi ide yang ada, beberapa di antaranya dengan memecahkan pertanyaan-pertanyaan seperti yang sudah dijelaskan di seri sebelumnya atau menggunakan board atau canvas untuk membantu brainstroming dan menemukan apakah ide tersebut layak dieksekusi.

Menggunakan board atau canvas bisa membantu memetakan pola pikir terhadap ide. Keduanya bisa memperjelas posisi masalah, solusi dan kebutuhan pengguna. Termasuk memetakan risiko yang ada.

Jika di tahap awal, cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan bertatap muka one-on-one dengan target pengguna untuk mengerti pain poin atau solusi yang mereka inginkan. Ini adalah bagian dari terjun langsung ke lapangan. Pendekatan ini bisa dilakukan secara personal, misalnya target pengguna Anda adalah pengusaha yang membutuhkan otomatisasi di bidang pengumpulan data, Anda bisa mendatangi salah satu pebisnis untuk mendengar apa yang butuhkan atau apa yang mereka keluhkan. Di titik ini lebih banyak mendengar akan menjadi lebih baik.

Cara lain untuk bisa mendapatkan umpan balik dari target pengguna adalah bergabung dengan komunitas baik di media sosial maupun secara offline. Cara pertama mungkin bisa jadi solusi untuk bisa menjangkau lebih banyak target pengguna.

Tanyakan tidak hanya soal solusi, tetapi juga bagaimana tanggapan mereka soal harga, metode pembayaran hingga jenis berlangganan yang setidaknya mereka harapkan. Pemahaman tentang kebutuhan target pengguna ini bisa menjadi bahan utama untuk menyusun MVP (Minimum Viable Product).

Sebelum membangun MVP

Ada banyak yang harus disiapkan sebelum melangkah ke MVP. Ide harus terlebih dulu “lulus” sebelum hanya jadi sesuatu yang mengecewakan. Fitur, harga, dan segala bentuk produk awal bisa didapat dari pembicaraan dan evaluasi di tahap awal, tetapi itu saja tidak cukup.

Sebelum benar-benar memutuskan untuk mengeksekusi ide usahakan untuk mendapat wawasan dari mereka yang expert di industri yang ingin disasar. Pembahasan mengenai tren, budaya dan tentu saja perkembangan industri tersebut dari tahun ke tahun bisa jadi modal yang sangat bangun. Startup sangat dengan inovasi, dan inovasi akan sangat berkaitan jika sangat dekat dengan perkembangan sebelum-sebelumnya.

Selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mencari rekanan, jika Anda seorang yang memiliki keahlian untuk membuat program Anda bisa mencari rekan yang berasal dari industri yang ingin di sasar atau mereka yang paham tentang strategi pemasaran. Sebaliknya, jika Anda berangkat dari pakar di bidangnya yang sedang mencari solusi berbasis teknologi tapi terhambat dengan penguasaan teknologi itu sendiri maka mencari seorang rekan developer.

Perlu digarisbawahi rekan di sini bukan mereka yang diajak untuk mengembangkan ide bersama, tetapi sebatas rekan untuk memvalidasi ide yang ada. Tentu akan lebih enak jika mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan baik.

Selanjutnya yang bisa melengkapi dalam tahap validasi ide adalah melengkapi dengan business plan, atau sederhananya menyiapkan sumber penghasilan dari bisnis. Hal itu tentu wajib, jika ide yang Anda siapkan memang bertujuan dikembangkan untuk bisnis.

Sumber : Medium Founder PlayBook, Entrepeneur

Langkah Awal Memvalidasi Ide Startup

Ide yang baik adalah awal untuk startup besar. Facebook, Google dan bahkan Go-Jek lahir dari ide dasar yang matang dan tentu dieksekusi dengan baik. Ada banyak ide yang bisa dihasilkan untuk sebuah bisnis startup, tapi hanya beberapa ide yang berhasil dan membuahkan hasil. Keberhasilan tentu bukan perkara ide saja, tapi ide yang valid dan ketepatan eksekusi adalah hal dasar yang paling utama.

Tips kali ini akan membahas mengenai bagaimana startup seharus mengelola ide. Sekali lagi, ide mungkin banyak, tetapi hanya beberapa yang pantas untuk dieksekusi segera. Lainnya mungkin menunggu waktu atau hanya sebuah ambisi yang eksekusinya masih harus masuk daftar tunggu.

Tulis terlebih dahulu

Sebagian besar orang kreatif memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan ide. Ada yang keluar ruangan berjalan-jalan untuk menenangkan pikiran, ada juga yang mengurung diri di kamar sambil membaca setumpuk buku sambil menganalisis peluang apa yang bisa diciptakan. Yang paling beruntung, dalam proses melamun tiba-tiba mendapatkan ide atau gagasan awal mengenai problem yang ingin diselesaikan Intinya ide bisa datang dari mana saja.

Untuk membantu mengkurasi ide-ide terebut biasakanlah membuat catatan. Bawalah buku seukuran saku dan pena untuk berjaga-jaga barangkali ada gagasan yang muncul ketika di perjalanan. Atau jika ingin lebih sederhana aplikasi catatan di smartphone bisa jadi jalan keluar. Bentuk dan format catatan bisa menyesuaikan, tergantung kenyamanan masing-masing, bisa berupa tulisan atau rekaman suara. Catatan-catatan ini nantinya bisa jadi semacam gudang ide atau gagasan untuk bisa dibaca atau didengarkan ulang di hari-hari mendatang.

Cara paling sederhana adalah, mencatat masalah-masalah yang berpotensi untuk diselesaikan. Usahakan untuk tidak berangkat dari solusi yang spesifik, lengkap dengan fitur-fitur yang sudah disiapkan. Bisa jadi itu asumsi yang terlalu dini.

Mengevaluasi gagasan yang ada

Ketika ada waktu untuk me-review ulang gagasan-gagasan yang sudah dicatat, coba jawab pertanyaan-pertanyaan berikut untuk mengevaluasi mengenai ide dasar bisnis yang ingin dikembangkan:

  • Siapa target penggunanya? Pertanyaan ini harus dijawab dengan target yang lebih spesifik. Jangan biarkan pertanyaan ini mengambang dengan jawaban “semua orang”.
  • Masalah apa yang ingin diselesaikan? Tujuan menjawab pertanyaan ini adalah untuk membatasi asumsi berjalan terlalu jauh. Sebelum sibuk memikirkan fitur atau teknologi yang akan digunakan identifikasikan dengan pasti masalah apa yang sebernarnya ingin diselesaikan.
  • Bagaimana produk yang akan dikembangkan bisa memecahkan masalah? Setelah berhasil memahami masalah, pertanyaan ini menempatkan ide atau produk di posisi sejauh mana produk yang akan dikembangkan memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah.
  • Apa yang menjadi pembeda dan keunggulan? Di tengah industri startup yang mulai naik seperti sekarang akan sangat sulit menemukan ide yang benar-benar baru. Evaluasi selanjutnya apakah yang menjadi pembeda dibanding produk-produk yang sudah ada.

Mendalami gagasan dengan terjun langsung ke lapangan

Ada banyak cara untuk memvalidasi ide, seperti validasi menggunakan framework atau model canvas, ada juga validasi yang dilakukan dengan langsung terjun ke lapangan. Bisa merasakan langsung sebagai target pengguna atau sekedar wawancara dengan target pengguna.

Dalam wawancara tentu akan ada jawaban-jawaban yang menjadi bias. Yang perlu digarisbawahi adalah menyukai ide belum tentu menyukai produk. Terus gali jawaban dengan pertanyaan yang bernada “mengapa” untuk bisa membedakan, mana yang menyukai ide dan mana yang berharap bisa mendapatkan produk yang dikembangkan.


Sumber: Product Plan, Startupgrind

Pengembangan Bisnis untuk Startup (Bagian 2)

Pada seri tulisan sebelumnya dibahas mengenai cakupan pekerjaan pengembangan bisnis (business development). Dari sana dapat disimpulkan, ada banyak aktivitas yang perlu dilakukan untuk melakukan pengembangan bisnis. Pemasaran (marketing) menjadi salah satu hal fundamental di dalamnya, dan dirasa menjadi yang paling menantang –khususnya untuk bisnis di level startup.

Kegiatan pemasaran yang baik perlu perencanaan matang, termasuk memastikan tujuannya selaras dengan tujuan bisnis yang diharapkan. Tugas perencanaan tersebut juga menjadi salah satu tanggung jawab oleh seorang pengembang bisnis. Dari praktik terbaik yang sudah banyak dilakukan, setidaknya ada lima hal yang dapat dilakukan untuk memulai sebuah perencanaan pemasaran:

  1. Mendefinisikan tujuan bisnis dan mengasosiasikannya dengan matriks capaian.
  2. Menganalisis kapabilitas bisnis –salah satunya dapat dilakukan dengan membuat sebuah tabel SWOT.
  3. Memahami lanskap kompetisi di pangsa pasar yang dituju.
  4. Mengerti karakteristik konsumen dan kecenderungan dalam melakukan pembelian.
  5. Mendalami gambaran umum lifecycle konsumen terhadap produk atau layanan yang ditawarkan.

Mendefinisikan perencanaan

Tujuan pemasaran dapat terdiri dari banyak hal, misalnya untuk menumbuhkan profit, meningkatkan konversi pembelian dari basis konsumen yang sudah ada, memperluas cakupan pangsa pasar, memperkenalkan layanan/produk baru, atau memperluas relasi kerja sama. Dari daftar yang sudah ada, tentukan prioritas, lalu pilih dua atau tiga item untuk dijadikan tonggak capaian utama.

Penentuan prioritas dari daftar perencanaan dapat didasarkan pada tujuan utama bisnis –pada ambisi bisnis yang ingin dicapai tahun ini. Misalnya apakah bisnis ingin meningkatkan traksi terhadap layanan baru, apakah bisnis ingin menjangkau basis kota baru, dan lainnya.

Contoh pemetaan rencana pemasaran dengan tujuan bisnis:

Tujuan Bisnis Contoh Rencana Pemasaran
Meningkatkan nilai keuntungan sebesar 25% dari capaian tahun sebelumnya menggunakan produk yang sudah dimiliki. Menggelar kampanye iklan untuk meningkatkan awareness pangsa pasar dan meningkatkan basis data konsumen prospektif sesuai dengan target pemasaran.
Ekspansi ke luar Jawa dan membuat kantor perwakilan di wilayah tersebut untuk menguatkan bisnis.

 

Mengembangkan rencana pemasaran dan program untuk brand awareness. Melakukan beberapa pendekatan dengan pangsa pasar melalui kegiatan komunitas terkait.
Meluncurkan produk baru. Merencanakan kegiatan sosialisasi, pengiklanan, promo diskon, dan membuat studi kasus praktik terbaik pembuatan produk.

Setelah rencana disusun rapi oleh tim pengembang bisnis, selanjutnya serahkan pada staf pemasaran untuk mengeksekusi.

Melakukan riset pasar

Analisis terhadap pelanggan menjadi sumber daya penting yang harus masuk dalam perencanaan kegiatan pemasaran. Beberapa hal yang perlu dicari tahu di antaranya:

  1. Apa yang diinginkan oleh konsumen? Apa isu yang ingin segera mereka pecahkan?
  2. Bagaimana cara mereka mencari tahu solusi yang dibutuhkan, medium apa yang digunakan?
  3. Di mana mereka biasa mendapatkan insight seputar solusi bisnis? Melalui publikasi, konferensi, webinar dll?
  4. Layanan komunikasi apa yang dapat digunakan? Bagaimana mereka menemukan layanan yang kita buat?
  5. Mengapa konsumen akan memilih layanan yang kita usung.

Jawaban dari pertanyaan di atas akan menjadi bekal dalam penyusunan berbagai tindakan selanjutnya. Misalnya, jika akan membuat kampanye pemasaran saluran iklan apa yang dipilih.

Namun, selain melakukan riset terhadap calon konsumen prospektif, pengembang bisnis juga perlu melakukan riset terkait persaingan bisnis di pangsa pasar yang dituju. Tabel SWOT yang dibuat dapat membantu bisnis menentukan apa keunggulan yang bisa ditawarkan dan apa kelemahan yang harus segera dicari solusinya.

Memilih kanal pemasaran

Di era digital seperti saat ini, pilihan kanal pemasaran semakin banyak. Tantangannya effort pemasaran yang harus dilakukan untuk setiap relasi biasanya akan berbeda-beda. Dalam ilmu bisnis, itu disebut sebagai “1-to-1 marketing”. Untuk startup di tahap awal, pendekatan online seperti ini bisa ditiru:

  1. Buat sebuah konsep situs yang solid untuk menyampaikan konten dan informasi berkaitan dengan produk dan layanan.
  2. Rencanakan konten portofolio yang berisi studi kasus implementasi dan testimoni.
  3. Rencanakan tulisan atau video yang berisi tentang pemikiran pemimpin bisnis seputar tantangan yang banyak dihadapi oleh konsumen dan cara efektif yang dapat dilakukan untuk menyelesaikannya –tidak perlu melakukan hard selling saat penyampaian konten ini.
  4. Pilih konten sesuai dengan bisnis dan kriteria konsumen. Bisa saja secara rutin merilis hasil riset, white-paper, infografik, tulisan blog dan sebagainya.
  5. Pilih aplikasi tambahan untuk meningkatkan kunjungan ke situs, termasuk layanan publikasi email.

Dari tiga hal di atas, maka seorang pengembang bisnis setidaknya dapat menyajikan sebuah proposal atau presentasi kepada timnya seputar langkah apa yang akan dijalankan untuk memasarkan produk dan layanannya. Tentu banyak aspek lain yang akan mendukung tiga kegiatan utama di atas, namun penyusunan poin-poin tersebut akan menjadi fondasi utama dalam rencana pemasaran bisnis.

Disclosure: Artikel ini diambil dari berbagai sumber, baik sumber cetak maupun online.

Pengembangan Bisnis untuk Startup (Bagian 1)

Business development (pengembangan bisnis) dapat didefinisikan sebagai sebuah disiplin yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan (growth) melalui akuisisi profit dari konsumen baru atau konsumen yang sudah ada sebelumnya. Penjualan (sales), kemitraan (partnership), atau istilah yang akrab di kalangan startup “hustling” dapat dikatakan sebagai bagian dari business development. Misinya ialah menciptakan nilai jangka panjang untuk organisasi –tidak hanya melalui konsumen—tapi juga pangsa pasar dan relasi.

Business development terdiri dari banyak sekali komponen. Setidaknya ada 6 yang paling umum dan pasti ada dalam kegiatan di dalamnya. Poin-poin tersebut membentuk sebuah siklus untuk menghasilkan potensi improvisasi bagi bisnis itu sendiri.

Gambar 1

Enam poin di atas sekaligus menekankan bahwa business development menggenggam strategi “permainan” yang lebih luas, jika hanya fokus pada penjualan maka terdapat banyak poin yang terlewat. Tugas seorang business development manager juga lebih besar dari pada sekadar penjualan, di dalamnya terdapat penyusunan strategi, pembuatan marketing collateral, hingga membuat analisis terkait perkembangan bisnis dari sisi internal maupun eksternal bisnis.

Apa yang dilakukan oleh seorang business development?

Cakupan pekerjaan yang didefinisikan di atas membuat seorang business development manager harus memiliki beberapa kecakapan teknis dan non-teknis, meliputi:

  1. Mampu melihat perkembangan pangsa pasar dan kompetisi yang ada. Dari sini ia dapat mendefinisikan apa yang tengah menjadi perhatian di pangsa pasar, hingga peluang apa saja yang dapat digarap dengan kekuatan yang dimiliki oleh organisasi di mana ia berada.
  2. Mampu mendefinisikan dengan jelas siapa target konsumen yang disasar. Sehingga perlu mengetahui juga bagaimana pola produktivitas atau konsumsi dari target pasar untuk menghadirkan solusi yang dijual pada momentum yang tepat.
  3. Memiliki kecakapan dalam mempresentasikan, menjual, dan membuat kesepakatan secara efisien. Kemampuan komunikasi dan memahami sebuah permasalahan membuat kegiatan interaksi dengan konsumen dapat menjadi lebih natural.
  4. Lihat dalam menentukan rekanan untuk menunjang kesuksesan bisnis.
  5. Mendengar masukan dengan baik untuk membawakan peningkatan strategi yang konsisten.

Sebagian besar effort seorang business development memang ditujukan untuk konsumen. Karena sederhananya sebuah bisnis akan berjalan jika ia memiliki konsumen. Seorang business development yang baik mampu memberikan kepada konsumen apa yang ia butuhkan di setiap tahapan kerja sama bisnis yang dijalin. Untuk itu pemahaman emosional tentang konsumen sangat dibutuhkan.

Gambar 2

Memahami tantangan dasar dalam business development

Tantangan pertama dalam pengembangan bisnis, yakni harus mampu mengidentifikasi dengan baik value yang ditawarkan dari produk atau layanan yang hendak dijual. Di setiap lini bisnis akan memiliki proses yang berbeda, untuk bisnis di bidang jasa misalnya, ketika bisnis menjual layanan artinya mereka juga sedang “menjual” orang. Artinya ada unsur keahlian, rekam jejak, hingga kredensial yang disampaikan ke konsumen. Pastikan poin-poin tersebut dipahami dengan baik sebelum berbicara ke konsumen.

Selanjutnya, tantangan yang harus dihadapi ialah menjadi seorang yang proaktif, bukan reaktif. Seorang pegawai di lini business development tidak menunggu ponselnya berdering untuk menyampaikan layanan yang dimiliki, namun menghampiri setiap bisnis atau orang untuk menjadikannya konsumen potensial. Kegiatan ini harus dilakukan secara konsisten, karena pada dasarnya setiap solusi yang ditawarkan akan menemukan orang yang sedang dalam permasalahan tersebut.

Di seri selanjutnya akan dibahas secara lebih teknis bagaimana membuat strategi bisnis, pemasaran, dan penananganan konsumen.


Disclosure: Artikel ini diambil dari berbagai sumber, baik sumber cetak maupun online.

Cerita MailTarget dan Dicoding Soal Rekrutmen Talenta

Selalu ada hal menarik yang bisa dipelajari dari startup yang sedang berkembang. Dalam seri tips merekrut karyawan kali ini, DailySocial berkesempatan mendapatkan beberapa informasi dan tips dari dua startup yang tengah berkembang di Indonesia, yakni MailTarget (startup yang menyediakan solusi otomasi email marketing) dan Dicoding (platform untuk belajar pemrograman. Keduanya secara garis besar memiliki kesamaan perihal merekrut karyawan, tetapi memiliki pendekatan masing-masing.

MailTarget yang tengah berkembang dan merencanakan ekspansi  membutuhkan sumber daya yang tidak hanya banyak tetapi juga berkompetensi. Untuk itu tak heran jika Yopie Suryadi, Founder MailTarget, menyebutkan bahwa MailTarget is always hiring. Mereka selalu membuka kesempatan untuk menemukan talenta-talenta yang cocok dan melengkapi tim MailTarget saat ini.

Ada beberapa kondisi mengapa MailTarget terlihat agresif. Pertama untuk menggantikan mereka yang mengundurkan diri atau demi investasi untuk mengerjakan lini produk baru, perluasan dan percepatan bisnis, dan beban pekerjaan yang terus bertambah. Hal ini juga yang melatarbelakangi MailTarget tidak hanya membuka lowongan melalui situs pencari kerja dan email, tetapi mencari talenta dengan pendekatan personal, seperti pada saat event offline.

Pendekatan yang sedikit berbeda dilakukan Dicoding. Dari penuturan Narenda Wicaksono, pendiri Dicoding, mereka biasanya mengumumkan lowongan melalui newsletter. Selanjutnya kandidat harus sudah pernah lulus di salah satu academy Dicoding. Hal ini dinilai sangat penting oleh Narenda karena bisa membuktikan kemampuan self learning dari kandidat.

“Lulusnya seseorang kandidat dari kelas academy online kami adalah indikasi dia memiliki kemampuan self learning yang bagus. Tentu kami hanya memanggil lulusan terbaik saja. Tahap kedua adalah magang dengan durasi maksimum satu tahun on the job training memberikan impact edukasi 80% dibandingkan teori. Jadi selama ini program magang cukup efektif memberikan edukasi kepada calon pegawai sambil melihat dia fit untuk role apa. Tahap ketiga adalah probation dengan durasi maksimum tiga bulan. Pada tahap ini kandidat sudah mendapatkan benefit maksimal sebagai karyawan,” terang Narenda.

Bagi MailTarget, mereka memiliki proses tersendiri untuk menyeleksi pelamar. Mulai dari memproses lamaran tidak lebih dari satu minggu, interview, tes psikologi  dan proses-proses lainnya.

“Jika ada email lamaran yang masuk, akan kami proses tidak lebih dari seminggu, setelah itu interview, tes psikologi, dan lain-lain yang diperlukan untuk mengetahui personality-nya, skill dan kompetensinya, dan kecocokannya pada tim, dan terahir ada tes yang dibawa pulang untuk dikerjakan tidak lebih dari 24 jam. Tidak kurang dari seminggu akan kami kabari lulus atau tidaknya di seleksi kami,” terang Yopie.

Sejauh ini Dicoding kurang lebih sudah 10 kali melakukan perekrutan karyawan. Sementara MailTarget sudah lebih dari 20 kali. Kedua startup tersebut tentu punya prioritas masing-masing dalam membangun tim mereka, seperti kedewasaan dalam bekerja bagi MailTarget dan kemampuan self learning bagi Dicoding.

Selain self learning, Narenda menjelaskan, saat ini mereka mencari kandidat yang memiliki kemampuan-kemampuan lain meliputi loyalitas dan seorang pejuang. Bahkan Dicoding bersedia mengembangkan bakat talenta mereka dengan memberikan pendidikan ke luar negeri.

“Kalau loyal dan pejuang, kami rela untuk mendidik mereka. Kami tidak segan untuk mengirimkan karyawan ke Singapura, Malaysia, India, hingga Amerika untuk menuntut ilmu,” lanjut Narenda.

Tips untuk merekrut karyawan baru

Selain berbagi mengenai bagaimana perjalanan dan kisah mengenai startup-nya, pihak MailTarget juga membagikan beberapa poin yang bisa dijadikan pertimbangan kapan seharusnya startup mempekerjakan anggota baru. Disampaikan Masas Dani, co-founder sekaligus CTO MailTarget berikut beberapa poin yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk menambah anggota tim:

  • Menambah orang akan menambah cost. Apakah value yang diberikan orang tersebut di team jauh lebih besar?
  • Merekrut anggota baru seperti membawa orang ke dalam kapal, artinya kita bertanggung jawab atas hidupnya di lautan. Seberapa besar kapal sekarang, untuk berapa orang kapal ini?
  • Apakah sanggup menampung kesejahteraannya sampai pensiun ?
  • Apakah siap ditinggal di tengah jalan ?

Sementara itu Narenda memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan startup yang memulai bisnisnya secara bootstrap seperti yang dilakukan Dicoding hingga saat ini. Menurutnya startup yang berstatus bootstrap tidak bisa berkompetisi dengan iming-iming uang.

“Bagi yang ingin mengambil jalur seperti kami, perlu diketahui bahwa kita tidak bisa berkompetisi mencari talenta dengan iming iming benefit uang. Biarkan para unicorn yang bertarung disana. Perlu diketahui ada banyak talenta bagus yang mencari benefit seperti keberkahan rezeki, bisa shalat di masjid tepat waktu, atau kedamaian dalam bekerja. Carilah talenta yang hidupnya “berjuang”. Biasanya mereka sangat menghargai setiap jerih payah yang dilakukan. Loyalitas dan kemampuan self learning seorang talenta adalah mandatory. Agar kita semua bisa mencapai puncak bukit dengan kecepatan yang sama tanpa perlu takut ada yang tertinggal,” tutur Narenda.

Narenda juga menceritakan di Dicoding mereka memiliki beberapa hal dalam membentuk tim yang meliputi:

  • Pertama, harus berusaha untuk mengerti personality setiap anggota. Apa yang mereka butuhkan, seperti keakraban dan kepastian.
  • Kedua, mempelajari teknik persuasif agar tim paham kenapa sebuah pekerjaan harus dikerjakan. Keinginan mereka untuk mengerjakan adalah indikasi teknik kita berhasil.
  • Ketiga, usahakan untuk tetap sopan (menjaga emosi) dan profesional. Jangan sampai menjatuhkan harga diri seseorang di depan anggota tim yang lain.
  • Keempat, harus sering mendelegasikan pekerjaan dan mempercayakan tim untuk mengerjakan task yang sulit.
  • Terakhir, kita sebagai composer tidak boleh takut tim kita salah salah. Musik dalam sebuah orkestra harus terus mengalir dan sejak awal harus memiliki ekspektasi bahwa nothing is perfect. Growing ke arah perfect adalah keniscayaan dan harus dirancang agar dapat berjalan secara kontinyu.

Menangkap Peluang Email untuk Kegiatan Pemasaran

Seringkali email marketing disamakan strateginya dengan social media marketing. Padahal sebenarnya keduanya itu adalah sangat berbeda jauh. Email bisa dikatakan sebagai channel pemasaran yang tertua, namun memiliki conversion rate dan menghasilkan ROI (return of investment) tertinggi.

Hanya saja, awareness yang kurang karena masuk ke kotak masuk. Beda halnya dengan sosial media yang memiliki conversion rate yang kecil, akan tetapi awareness yang tinggi.

Dari penawaran yang ditawarkan email ini, sebenarnya seberapa besarkah peluang email untuk kegiatan pemasaran? Lalu bagaimana tipsnya untuk memastikan email tidak masuk ke dalam spam?

Dalam #SelasaStartup edisi kali ini, seluruh pertanyaan tersebut dijawab oleh Founder MailTarget Yopie Suryadi. MailTarget adalah startup SaaS yang bergerak sebagai penyedia layanan otomasi email untuk pemasaran yang sudah berdiri sejak akhir 2016.

Mengapa melirik email marketing?

Dari berbagai sumber yang dikutip Yopie, ada beberapa fakta pendukung mengapa Anda perlu melirik email sebagai channel marketing. Misalnya, jumlah akun email di seluruh dunia yang diprediksi bakal terus bertambah tiap tahunnya, disebutkan pada 2016 jumlah akun email mencapai 4,3 miliar.

Fakta berikutnya, karyawan menghabiskan waktu setidaknya 13 jam setiap minggu untuk mengecek inbox di akun email mereka. Lalu sekitar 90% email yang terkirim langsung ke inbox penerima, sementara hanya 2% dari pengikut dari akun Facebook Anda yang melihat setiap unggahan di Newsfeed mereka.

Email 40 kali lebih efektif mendapatkan konsumen baru daripada lewat Facebook dan Twitter. Email menempati posisi kedua untuk channel marketing terefektif untuk mengeksekusi pemasaran digital setelah lewat situs. Kemudian diikuti oleh media sosial, pencarian organik, pencarian berbayar, mobile, dan iklan.

“Ada studi di Amerika Serikat yang menyebut, sekarang sudah 0 orang yang mau mengunduh aplikasi baru di smartphone mereka. Kecenderungannya mereka lebih memilih newsletter agar tetap terhubung dengan brand tanpa harus mengunduh aplikasinya. Itu anginnya lagi ke sini [peluang dari email marketing].”

Konten memegang unsur terpenting

Menurut Yopie, email marketing itu fondasi dasarnya adalah konten. Bila tidak menguasai itu, ujung-ujungnya yang akan terjadi adalah hard selling. Anda bisa memakai konten berisi tips yang ringan untuk menggiring terjadinya akuisisi pengguna baru.

Maka dari itu sebelum membuat tips, pastikan Anda tahu betul strategi yang tepat sesuai dengan tipe konsumen. Ada tiga istilah, cold audience, warm, dan hot audience.

Beberapa inspirasi yang bisa Anda masukkan untuk dimasukkan ke dalam email, seperti video tutorial, e-book, akses masuk ke webinar/podcast, kupon, atau sesuatu yang membuat orang rela membeli, dan sebagainya. Sebab konten ini adalah cara untuk mendapatkan leads mengenai data dari calon konsumen.

“Konten itu raja, sementara data adalah ratu, dan otomasi adalah putra mahkotanya.”

Pahami alur email marketing

Sebelum membuat konten, Yopie menyarankan Anda untuk membuat landing page yang bertugas untuk menangkap data dari calon konsumen. Dalam istilah pemasaran digital, landing page adalah satu halaman web yang muncul sebagai respons dari meng-klik hasil pencarian mesin pencari yang dioptimalkan atau iklan online.

Di dalamnya perlu berisi konten, dengan berbagai persyaratan untuk mencegah email tersebut masuk ke dalam kotak spam penerima. Sebaiknya tulis konten dengan bahasa yang personal (atau tidak), singkat, namun menarik. Lalu ketika mendapatkan calon konsumen, Anda bisa mengelola data mereka untuk meng-otomasi kegiatan email marketing.

Ambisi akhirnya adalah dari email tersebut konsumen tetap bisa terhubung dengan perusahaan Anda dengan terus membeli produk-produk yang Anda tawarkan.

“Di dalam konten harus tentukan isinya mau bagaimana, bisa weekly newsletter, promosi, ucapan selamat ulang tahun, email series, info acara, dan sebagainya. Jangan sampai email dari kita itu ditandai spam oleh penerima.”

Menurut hasil riset MailTarget, sambung Yopie, jam terbaik untuk mengirim email marketing adalah jam 10 pagi, 8 malam, dua siang, atau jam enam pagi. Sedangkan untuk harinya, yang terbaik adalah hari Selasa, Kamis, dan Rabu.

Itu berlaku untuk global, sementara di Indonesia yang terbaik adalah hari Senin. Setiap hari Senin, tingkat kunjungan email adalah tertinggi dibandingkan hari-hari lainnya.

Teknik menghindari spam

Hal paling menakutkan dari email marketing adalah apabila frekuensi pengiriman email terlalu sering maka konsumen akan jengah sampai akhirnya menandai email Anda sebagai spam. Apalagi, saat ini algoritma Gmail semakin pintar sehingga apabila ada kesalahan kata, secara otomatis akan masuk ke dalam spam.

Pada dasarnya, menurut Yopie, ada tiga faktor yang menyebabkan email dideteksi sebagai spam. Yakni, domain dan reputasi alamat IP, konten, dan frekuensi.

Untuk mengatasi itu, Anda harus pandai-pandai menggunakan hashbusting yaitu memakai karakter spesial untuk mengganti huruf (cont. Fre3e W!nn*r / Free Winner). Berikutnya hindari bad link, dengan mengganti situs yang tidak memiliki reputasi baik atau konten, dengan menggunakan penyingkat url.

Hindari subject email yang menyesatkan, dan memakai solusi “Re:” atau “Fwd:” untuk menghubungi konsumen yang belum pernah berkomunikasi dengan Anda sebelumnya.

“Menggunakan gambar terlalu banyak juga bisa dideteksi sebagai spam, makanya perlu menyematkan teks di dalam gambar atau mengirim email tanpa teks.”

Pertimbangan Startup Saat Merekrut Karyawan

Ketika memutuskan untuk berlari kencang, salah satu yang perlu dihindari adalah batu sandungan yang mungkin membuat kita tersungkur. Demikian juga ketika menjalankan startup dan memutuskan untuk segera mendapatkan pertumbuhan, salah satu batu sandungannya mungkin anggota tim yang tidak cocok. Faktor yang membuat tidak cocok ini tidak cuma soal kemampuan atau kompetensi, ritme kerja, visi dan juga ambisi memiliki peran yang cukup besar. Perlu kehatian-hatian dalam proses rekrutmen untuk menghindari hal tersebut dan itu butuh banyak pertimbangan. Tidak hanya sekedar intuisi saat proses wawancara.

Di artikel sebelumnya mengenai rekrutmen karyawan, mengenalkan budaya dan kultur perusahaan menjadi salah satu hal yang disarankan. Berbeda dengan perusahaan ternama, untuk mendapatkan talenta terbaik startup tidak hanya  menawarkan gaji yang terbaik, tetapi juga visi dan budaya kerja yang baik. Dengan mengenalkan budaya kerja dan menampilkan visi bisnis, motivasinya tidak hanya uang tetapi juga pencapaian visi dan misi bersama.

Mempekerjakan mereka yang penuh  passion

Frasa passion yang bisa berarti gairah atau semangat yang menggebu atau bahkan kesenangan saat mengerjakan sesuatu bisa menjadi menjadi kunci pertama dalam proses menyeleksi karyawan. Mungkin tidak semua orang menunjukkan secara nyata dan gamblang passion mereka tugas rekruter adalah mencari tahu dan menggali lebih dalam.

Tidak semua orang yang tidak memiliki passion berarti tidak bisa bekerja dengan baik, hanya saja startup di awal membutuhkan semangat dan kegembiraan dalam bekerja karyawan baru untuk tetap menjaga laju tetap dalam jalur yang benar. Karena semangat dalam bekerja tidak hanya memompa produktivitas pribadi tetapi juga mampu menular ke seluruh anggota tim. Bukankah tim yang semangat dan percaya diri adalah modal baik bagi startup di tahap awal?

Punya keinginan berkembang dan mampu bekerja secara tim

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kandidat yang dicari para perusahaan adalah mereka yang mampu berkembang secara individu kemudian mampu memberikan efek kepada perusahaan juga mereka yang mampu menjadi bagian dari sebuah tim, sederhananya mampu bekerja dengan tim. Kondisi tersebut juga bisa menjadi salah satu indikator jika startup ingin merekrut anggota tim baru.

Mempunyai keinginan berkembang ini sangat erat kaitannya dengan passion. Salah satu ciri yang terlihat dari calon kandidat yang sangat ingin berkembang adalah mereka yang tidak ragu untuk berinovasi dan belajar. Salah satu poin tersendiri jika menemukan karyawan yang mampu menggali potensinya sendiri dan mengembangkan diri bersamaan dengan pertumbuhan bisnis.

Sementara itu salah satu kriteria dalam hal mampu bekerja sama dengan tim adalah kemampuan berkomunikasi. Jika melakukan serangkaian test atau ujian kepada kandidat karyawan aspek yang harus ada adalah menguji bagaimana kemampuan mereka berkomunikasi. Kemampuan tersebut memegang peran penting untuk bisa membantunya masuk ke dalam ritme kerja ke dalam tim yang sudah ada.

Mempertimbangkan mereka yang juga menjadi pengguna

Startup adalah produk digital yang berpotensi mudah dikenal masyarakat karena kegunaannya. Dalam proses mencari karyawan atau anggota tim baru salah satu yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah mereka yang juga menggunakan produk atau mengenal bisnis Anda sebagai pengguna.

Hal tersebut menggambarkan dua hal. Pertama mereka memperhatikan produk ada sehingga mampu mengetahu kekurangan produk dari sisi pengguna, yang kedua karyawan yang juga adalah pengguna tertarik untuk berkontribusi dan mengembangkan produk menjadi lebih baik lagi.


Sumber: Entrepreneur, Quora

Menentukan Cara Tepat “Scale Up” Produk

Dalam sesi #SelasaStartup minggu ini, DailySocial mengundang Go-Life Product Management Lead, Adi Purwanto Sujarwadi. Belajar dari pengalamannya membuat produk yang makin popular di kalangan pengguna, Adi membagikan tips seru seputar cara tepat membuat produk dan kapan waktu yang pas untuk melepaskan produk jika tidak berjalan dengan baik.

Berikut adalah tips tentang bagaimana startup membangun produk dan harus melakukan scale up.

Temukan masalah yang ada

Sebelum produk dibuat temukan dulu masalah yang ada. Jangan membuat produk berdasarkan idealisme saja atau sekedar menghadirkan teknologi yang baru. Jika produk tersebut pada akhirnya tidak dibutuhkan oleh target pasar, upaya yang sudah dilakukan akan menjadi sia-sia. Yang perlu diingat adalah, produk tidak hanya aplikasi, namun berupa layanan yang ditawarkan kepada pengguna.

“Aplikasi hanya alat, namun produk dari startup yang sebenarnya adalah layanan itu sendiri. Produk tersebut harus bisa menjadi solusi dari problem yang ada,” kata Adi.

Hipotesis

Setelah solusi untuk mengatasi problem tersebut ditemukan, langkah selanjutnya adalah melakukan hipotesis. Buatlah prototipe atau contoh kasus yang bisa validasi ide. Adi mengingatkan untuk membuat produk paling mendasar dulu.

Jangan pernah bertanya ke target pasar tentang produk apa yang mereka inginkan. Jawaban yang didapatkan nantinya akan terlalu luas dan tidak relevan. Buatlah produk secara bertahap, dimulai dengan hal paling mendasar kemudian tambah fitur lainnya sesuai dengan kebutuhan dan demand dari target pasar.

Uji coba

Proses ini saatnya startup melakukan MVP (minimum viable product), namun demikian upayakan untuk membuat produk tersebut sebaik mungkin dan jangan terlalu cepat dilemparkan ke pasar. Hal ini menurut Adi kurang baik untuk produk itu sendiri. Pada akhirnya proses MVP ini juga harus memberikan nilai lebih kepada target pengguna.

“Banyak yang menganggap proses MVP tersebut harus dilakukan secara cepat, namun jika produk tersebut belum siap, proses yang tergesa-gesa akan mengganggu proses selanjutnya.”

Hasil produk

Setelah semua proses dilakukan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan hasil tersebut (result) yang kebanyakan dalam bentuk data. Rangkum semua feedback, error hingga keberhasilan yang dicapai, kemudian olah semua dan kumpulkan data untuk kemudian di lihat dan diprediksi produk yang ada. Data menjadi penting untuk bisa mengembangkan dan melanjutkan tahap scale up produk.

Proses ini juga bisa digunakan untuk mempelajari dan melakukan koreksi terhadap produk yang sudah dibuat. Adi juga mengingatkan jangan terlalu fokus dengan data saja, gunakan data tersebut sesuai kebutuhan, hindari untuk menjadi “budak” data.

“Saat startup siap masuk ke tahap scale up, harus memikirkan retention. Utamakan pengguna yang loyal agar aspek word of mouth bisa berjalan, yang ternyata sangat efektif untuk promosi secara organik,” kata Adi.

Mengoptimalkan Cara Perekrutan Pegawai Startup

Keterbatasan adalah satu hal yang erat dengan startup di fase awal, baik itu modal maupun talenta. Yang membedakan startup satu dengan yang lain mungkin hanya soal seberapa besar keinginan mereka untuk tumbuh. Setelah fase awal biasanya startup mulai memasuki fase untuk bergerak cepat. Untuk itu mereka membutuhkan tenaga-tenaga ekstra. Fase inilah yang cukup krusial. Memutuskan untuk menambah jumlah anggota tim tidak selamanya berjalan mulus. Harus ada kecocokan antara visi, misi dan ritme kerja untuk tidak mengacaukan laju pertumbuhan startup.

Sebagai startup yang masih di tahap awal dan ingin terus berkembang dengan cepat, mengajak ahli yang sudah memiliki nama untuk bergabung bukan perkara mudah. Selain soal gaji, kecocokan dengan pendiri dan anggota lainnya adalah salah satu yang dipertimbangan. Di sisi lain, jika membuka lowongan kerja secara terbuka, ada risiko ketidakcocokan atau kegagalan. Bisa soal visi, ritme kerja, atau soal kemampuan.

Memperkenalkan bisnis dan kultur

Untuk bisa mengawali dan meminimalisir kegagalan dan kesalahan dalam perekrutan, hal yang harus dilakukan adalah dengan memperkenalkan bisnis dan kultur yang sedang dibangun. Dengan cara ini, calon pekerja atau profesional bisa melihat bagaimana visi, misi, dan keseriusan bisnis dalam mengerjakan solusi yang ditawarkan.

Kanal-kanal media sosial untuk profesional, seperti LinkedIn, bisa jadi jalan pertama untuk memperkenalkan bisnis. Media sosial lainnya dan halaman blog resmi juga bisa dioptimalkan. Ceritakan apa yang sedang dikerjakan dan capaian apa yang sudah didapat. Catatan-catatan seperti itu tidak hanya untuk dokumentasi tetapi juga untuk mengenalkan seperti apa bisnis dijalankan dan bagaimana budaya kerja budaya di dalamnya.

Realistis untuk kualifikasi

Setiap pemimpin pasti akan mencari mereka yang sempurna untuk mengisi posisi di tim mereka. Misalnya untuk posisi developer pemimpin akan merasa harus mempekerjakan mereka yang memiliki kemampuan bahasa pemrograman yang lengkap dan pengetahuan mengenai infrastruktur teknologi yang baik. Pada kenyataannya sulit untuk mendapatkan talenta semacam itu. Jika pun ada mereka pasti mencari gaji yang cukup tinggi. Belum waktunya bagi startup yang masih ada di tahap awal.

Untuk meminimalkan hal tersebut, cara terbaiknya adalah fokus pada kualifikasi yang dibutuhkan. Misalnya jika membutuhkan mereka yang bisa mengoptimalkan peran media sosial, ketika mengiklankan lowongan tersebut sampaikan kualifikasi yang dibutuhkan dengan rinci dan jelas.

Member get member

Di startup, banyak yang mengandalkan membuka lowongan pekerjaan di media sosial atau situs perekrutan kerja lainnya. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, hanya kadang sebagai startup perlu sebuah inovasi dan sesuatu yang lebih cepat dan efektif.

Salah satu alternatifnya adalah memanfaatkan anggota tim untuk mendapatkan rekan atau kenalan mereka. Dengan pendekatan secara personal, kesamaan visi dan misi serta kemampuan bisa dilihat dari awal. Komunitas, seminar, workshop hingga pameran bisnis bisa menjadi ajang yang tepat untuk menjaring koneksi dan relasi.

Pimpinan juga bisa menawarkan reward menarik bagi mereka yang bisa mengajak kenalan yang memiliki kesamaan visi misi dan juga kemampuan untuk bergabung dengan tim.


Sumber: Jobstreet, LabManager