Pengembangan Layanan Berbasis Chatbot di Indonesia Sebagai “The Next Big Thing”

Mengambil definisi CEO Octane AI Matt Schlicht, Chatbot merupakan sebuah layanan yang didukung sebuah peraturan (mekanisme program) atau kecerdasan buatan yang berinteraksi dengan pengguna melalui antarmuka chatting. Chatbot digadang-gadang akan menjadi salah satu tren teknologi paling atraktif tahun 2017 ini. Beberapa narasumber kami bahkan mengatakan bahwa bot menjadi level selanjutnya dari transisi kanal distribusi berbasis teknologi. Bisa dikatakan kanal distribusi telah berkembang pesat di era internet. Dimulai dari popularitas aplikasi berbasis web untuk ragam layanan, dilanjutkan konversi ke mobile app, dan kini mengarah ke chatbot.

Banyak faktor yang menyebabkan layanan ini berkembang. Dari sisi teknologi, messaging app menjadi salah satu yang terlaris di abad smartphone ini. Kehadirannya mampu mewadahi sebuah sistem terpadu untuk ragam kebutuhan. Tak heran jika Messaging Apps mulai mengarah dari Communication Apps menjadi Messaging as a Services. Contohnya adalah hadirnya marketplace di dalam aplikasi pesan dan kemampuan untuk terhubung dengan layanan pihak ketiga, misalnya untuk pemesanan tiket, hingga permainan digital yang embedded secara native pada aplikasi chat.

Hasil kajian seputar sistem cerdas juga telah sampai ke tahap implementasi riil, sebut saja Natural Languange Processing (NLP) dan Machine Learning (ML). Alogritma yang disajikan didesain untuk mampu memahami kebutuhan yang berasal kebiasaan pengguna, yang dilakukan secara terus-menerus. Seakan seperti manusia berpikir, mesin komputer didesain untuk dapat belajar dari aktivitas yang dilakukan penggunanya. Bahasa yang lazim digunakan manusia kini mulai ditanamkan pada mesin untuk dibiasakan.

Memfasilitasi lebih dari sekedar kenyamanan berkomunikasi

Pada akhirnya ujung tombak terdapat pada layanan yang mewadahi sistem komunikasi populer tersebut. Saat kenyamanan pengguna untuk melakukan komunikasi chatting tersebut sudah melebur dalam kultur masyarakat secara umum, beberapa layanan mencoba menyajikan lebih. Beberapa aplikasi pesan populer telah berevolusi sedemikian rupa, dalam kaitannya dengan bot ragam dukungan berbasis API (Application Program Interface) mulai dimunculkan ke pengembang.

Dukungan dalam layanan Mesagging Apps saat ini / Oratio
Dukungan dalam layanan Mesagging Apps saat ini / Oratio

Membahas tentang dibukanya dukungan bot dari layanan aplikasi pesan, kami berdiskusi dengan Global Engineer LINE Indonesia Matthew Tanudjaja. Ia mengawali perbincangan dengan menguak kesiapan pengembang lokal untuk membuat aplikasi kompleks. Inovasi berbasis chatbot sendiri dinilai bukan hal yang baru.

“Sejak jaman mIRC balasan otomatis oleh sistem sudah ada, hanya saja kala itu ada keterbatasan, misalnya dari sisi storage dan display untuk menampilkan konten interaktif. Tren chatbot sendiri hadir dari kelanjutan kemajuan platform didukung oleh berkembangnya infrastruktur,” ujar Matthew.

Inti dari sistem berbasis chatbot saat ini ialah kemampuan untuk bisa melakukan request informasi secara otomatis. NLP dan ML mampu membantu mesin melakukan generalisasi dari aktivitas pengguna. Oleh karenanya, sangat umum jika saat ini sistem berbasis chatbot masih didampingi oleh pelayanan manusia. Hal-hal yang umum dan mampu dipelajari oleh mesin akan ditangani, sedangkan kebutuhan kustom atau yang benar-benar baru harus tetap ditangani manusia. Studi kasusnya pada sistem pelayanan pelanggan.

Chatbot membuka banyak kemungkinan

Saat ini implementasi paling populer untuk sistem layanan pelanggan (customer service), namun, menurut Matthew, masih banyak peluang yang dapat digali dari popularitas layanan berbasis chatbot. Beberapa contoh implementasi turut disampaikan, misalnya untuk layanan reservasi di sebuah restoran, untuk dukungan game online hingga memfasilitasi kontrol perangkat IoT (Internet of Things). Dukungan untuk itu semua, khususnya di kanal API LINE, telah tersedia, kreativitas pengembang menjadi kuncinya.

“Konsep layanan seperti chatbot sebenarnya ada sejak lama. Mungkin dulu kita mengenal dengan SMS Gateway, melalui medium pesan singkat kita bisa mengontrol sesuai dari jarak jauh. Kemampuan aplikasi pesan untuk mengelola informasi menjadikannya lebih kuat. Saya membayangkan konsep chatbot diterapkan dalam smart home, misalnya melalui LINE kita bisa mengetikkan matikan lampu, secara otomatis lampu di rumah akan mati. Hal seperti itu sangat mungkin untuk berkembang,” lanjut Matthew.

Matthew Tanudjaja, Global Engineer LINE Indonesia
Matthew Tanudjaja, Global Engineer LINE Indonesia

Di Indonesia sendiri beberapa bisnis telah memulai ke mengeksplorasi chatbot untuk membantu kegiatan operasinya, khususnya yang berkaitan dengan konsumen. Khusus untuk yang menggunakan platform LINE, beberapa bisnis di Indonesia seperti BCA, Bang Joni, dan Teman Jalan sukses mengimplementasikan sistem tersebut. Migrasi ke layanan berbasis chatbot disebut mampu meningkatkan traksi pengguna layanan. Alasannya aplikasi pesan yang digunakan sudah menjadi basis pengguna. LINE mengklaim telah memiliki 90 juta Monthly Active Users (MAU) di Indonesia.

Secara teknis, ada beberapa model monetisasi yang bisa diterapkan ketika sebuah bisnis atau startup akan mendalami chatbot sebagai sebuah sistem primer. Tiga hal yang bisa diputar dalam roda bisnisnya adalah sistem berlangganan, sistem analisis riset pasar, penjualan, dan referral. Trennya baru saja dimulai, sehingga belum bisa dipastikan model mana yang paling cocok di Indonesia.

Tantangan dan potensi membisniskan chatbot

Bang Joni menjadi salah satu pengembang produk berbasis chatbot di Indonesia. Setelah berjalan sejak tahun 2015, pembaruan terakhir yang diusung memantapkan diri untuk memanfaatkan platform LINE dalam sistem bisnisnya. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Bang Joni Ache Harahap bercerita memulai proses bisnis dengan sistem seperti ini tidak mudah. Dicontohkan di tahun pertama mereka beroperasi, sangat sulit untuk meyakinkan merchant yang bergabung. Alasannya belum ada benchmark pada waktu itu. Memang layanan chatting sudah sangat populer, namun proses transaksi di dalamnya tidak.

“Berbicara teknis, chatbot adalah salah satu dari pada pendekatan kami untuk mengembangkan kemampuan Artificial Intelligence. Artificial Intelligence sendiri menurut kami adalah kemampuan membaca berbagai macam sumber data dalam waktu super cepat sehingga menghasilkan result yang diinginkan,” terang Ache.

Ache Harahap, Co-Founder dan CEO Bang Joni
Ache Harahap, Co-Founder dan CEO Bang Joni

Seiring berjalannya waktu, pengguna sudah mulai aware dengan manfaat chatbot dan sistem berbasis AI. Bang Joni makin berkembang dan mudah diterima oleh pengguna, namun bukan berarti tanpa kendala. Secara teknis bahasa juga masih menyajikan tantangan yang harus terus direduksi. Ache menceritakan penggunaan bahasa saat chatting polanya sulit ditebak, misalnya unsur SPOK jarang digunakan. Tim Bang Joni harus selalu memastikan untuk memperbarui basis data bahasa dengan bahasa dan singkatan yang sering digunakan pengguna. Dalam hal ini NLP menjadi kunci.

Sebelumnya Bang Joni juga memanfaatkan platform Telegram dan Facebook, namun dukungan ke dua platform tersebut ditutup dan fokus ke LINE. Bang Joni menargetkan bisa digunakan sekurangnya satu juta pengguna LINE di Indonesia.

“Kami mempunyai beberapa strategi pemasaran dan target market. Yang pertama adalah existing LINE user dan yang kedua existing merchant user untuk dIakuisisi yang menjadi fokus kami saat ini,” lanjut Ache.

Tak serta merta mengikuti popularitas chatting

Kesempatan pengembangan dan debut di pangsa pasar seakan sudah di depan mata, namun ada satu hal yang perlu digarisbawahi. Popularitas chatting sebagai sarana komunikasi dan sebagai media transaksi tidak bisa disamaratakan. Saat seseorang hendak melakukan transaksi, yang ia butuhkan adalah trust, di balik kenyamanan itu sendiri. Akibatnya proses edukasi di pasar harus kembali digalakkan, sama halnya ketika debut bisnis e-commerce hadir di Indonesia.

Dengan berbagai kemungkinan yang dimiliki, besar harapan layanan ini untuk dapat berkembang di pangsa pasar Indonesia. Aplikasi pengguna di smartphone kian terfragmentasi, sementara orang-orang mulai beralih ke sesuatu yang sifatnya simpel. Ketika sistem berbasis chatbot mampu memenuhi kriteria ini, besar kemungkinan disruption akan terjadi lagi di lingkungan bisnis Indonesia.


Amir Karimuddin berkontribusi dalam penulisan dan penyuntingan artikel ini.

Berkat Amazon Echo Look, Alexa Siap Menjadi Konsultan Busana Pribadi Anda

Keluarga speaker pintar Amazon Echo resmi kedatangan anggota baru, Echo Look. Berkat Echo Look, asisten virtual Alexa pun ikut bertambah pintar; ia sekarang tak hanya bisa mendengar Anda saja, tapi juga melihat dan menilai penampilan Anda.

Keunggulan utama Echo Look terletak pada kamera depth-sensing miliknya. Dibantu oleh sederet LED flash, kamera ini siap mengambil foto Anda secara menyeluruh sehingga koleksi selfie Anda tidak lagi berisikan wajah, wajah dan wajah saja. Video pendek pun juga bisa diambil, semuanya hanya dengan mengucapkan ‘mantra’ “Alexa, take a picture” atau “take a video.

Akan tetapi bagian yang paling mencuri perhatian adalah fitur bernama Style Check. Berkat fitur ini, Echo Look beserta Alexa pada dasarnya bisa beralih peran menjadi konsultan busana pribadi Anda. Caranya, cukup dengan mengambil dua foto dengan busana yang berbeda.

Berkat Echo Look, koleksi selfie Anda tidak lagi berisi wajah melulu / Amazon
Berkat Echo Look, koleksi selfie Anda tidak lagi berisi wajah melulu / Amazon

Dari situ, algoritma machine learning beserta input dari para ahli fashion akan mencoba menilai gaya penampilan mana yang paling cocok buat Anda berdasarkan sejumlah faktor, seperti misalnya warna, ukuran, model maupun tren terkini.

Sebelum Anda khawatir perihal privasi, Amazon telah membekali Echo Look dengan tombol untuk menonaktifkan mikrofon sekaligus kameranya. Selebihnya, fungsi Echo Look kurang lebih sama seperti kedua saudaranya, dimana Anda dapat mengakses berbagai informasi menggunakan perintah suara.

Untuk sekarang, Amazon Echo Look baru tersedia secara terbatas untuk konsumen yang telah mendapatkan undangan saja. Banderol harganya sendiri dipatok di angka $200, lebih mahal $20 dari Echo standar.

Sumber: TechCrunch.

AI Buatan Facebook, M, Resmi Menyapa Pengguna Messenger

Pada bulan Agustus 2015, Facebook memperkenalkan M, asisten virtual bertenaga AI yang kurang lebih memiliki fungsi serupa seperti Siri atau Cortana. Awalnya cuma berupa eksperimen kecil, Facebook kini sudah siap meluncurkannya untuk pengguna di Amerika Serikat.

M menyapa pengguna Messenger secara tidak langsung, tidak seperti Siri atau Cortana yang blak-blakan memberikan pertanyaan kepada kita. M bekerja secara proaktif di balik layar, merekomendasikan konten dan fitur-fitur yang relevan selagi pengguna sedang berkomunikasi satu sama lain.

Contoh yang paling sederhana, saat Anda sedang berpamitan dengan lawan bicara, M akan menampilkan deretan sticker berpesan “Thank you” atau “Bye-bye”. Kalau Anda merasa itu kurang relevan, abaikan saja. Facebook juga membebaskan pengguna untuk menonaktifkan M secara total lewat menu pengaturan Messenger.

Sejatinya ada banyak skenario dimana M bisa menyodorkan bantuannya. Saat Anda sedang mendiskusikan rencana ketemuan misalnya, akan muncul logo M diikuti oleh tombol “Start Plan”. Dari situ Anda bisa melengkapi detailnya, dan M akan membuatkan reminder secara otomatis buat Anda dan lawan bicara Anda.

Dalam konteks percakapan grup, M dapat membantu Anda membuatkan polling sehingga semua bisa memberikan input terkait rencana ketemuan tadi. Selanjutnya, M juga dapat memberikan rekomendasi “Get A Ride” via layanan seperti Uber atau Lyft.

M juga bisa memahami ketika Anda sedang membicarakan mengenai pembayaran, lalu memberikan opsi untuk mengirim atau meminta uang dengan mudah. Terakhir, Anda juga bisa memanfaatkan M untuk membagikan lokasi Anda dalam percakapan.

Meski untuk sementara baru tersedia di AS saja, Facebook berjanji untuk menghadirkan M ke hadapan pengguna di negara-negara lainnya. Prosesnya mungkin cukup lama, mengingat M harus bisa mengakses database konten lokal supaya bisa berfungsi dengan baik.

Sumber: Facebook.

Duo Adalah Cermin Pintar Berbekal Sistem Kecerdasan Buatan

Film Iron Man yang dirilis di tahun 2008 banyak menginspirasi imajinasi kita akan gadget masa depan. Di saat kita baru mengenal iPhone selama setahun, Iron Man menunjukkan kalau asisten virtual berbasis AI bakal berperan besar dalam perkembangan teknologi. Sekarang, kita sudah punya Siri, Alexa, Google Assistant, dan yang paling baru, Bixby.

Saya yakin Iron Man juga merupakan salah satu film favorit startup asal New York bernama Duo AI berikut. Mereka menciptakan sebuah cermin pintar dengan pengoperasian berbasih sentuh dan perintah suara. Sontak saya teringat dengan adegan yang menunjukkan isi rumah mewah Tony Stark, dimana jendela panoramiknya dapat menampilkan berbagai macam info, dan Jarvis yang menjadi otak dari segalanya.

Semua komponen elektronik Duo tersimpan dalam kotak kecil ini / Duo AI
Semua komponen elektronik Duo tersimpan dalam kotak kecil ini / Duo AI

Oke, perangkat bernama Duo ini pastinya belum secanggih itu. Secara mendasar ia merupakan komputer mini yang tersambung ke layar 27 inci beresolusi full-HD. Layar ini begitu reflektif, hingga akhirnya bisa berperan sebagai cermin.

Namun peran sebenarnya jauh lebih besar dari itu. Duo ingin menjadi pusat kendali rumah Anda lewat integrasi perangkat smart home, memungkinkan Anda mengontrol thermostat atau lampu via sentuhan pada layar maupun perintah suara. Mengecek informasi seperti ramalan cuaca atau berita terkini juga bisa dilakukan sembari Anda berdandan.

Duo didampingi oleh asisten virtual bernama Albert, yang saya yakin namanya diambil dari pelayan pribadi Bruce Wayne, alter-ego dari Batman. Panggil namanya, maka Albert siap menjalankan perintah Anda, mulai dari memutar playlist Spotify sampai video YouTube.

Tidak ada informasi mendetail mengenai sistem operasi yang Duo jalankan, tapi saya menduga Android yang telah dimodifikasi. Duo dibekali dengan sejumlah aplikasi, tapi pengembangnya juga akan menyematkan app store beserta SDK-nya agar developer pihak ketiga juga bisa memberikan kontribusi.

Duo rencananya akan dipasarkan mulai bulan Oktober mendatang, namun pengembangnya sudah menerima pre-order dengan harga $399 – harga retail-nya dipatok $200 lebih mahal. Jujur pertama-tama saya cukup skeptis dengan Duo, tapi setelah melihat video demonstrasinya di bawah dan bukan yang berupa iklan tadi, sepertinya perangkat ini dapat terealisasi sesuai visi pengembangnya.

Sumber: Wareable dan Duo AI.

Flickr Permudah Pencarian Gambar Lewat Fitur Similarity Search

Dengan koleksi miliaran foto, sudah sewajarnya apabila Flickr terus berupaya menyediakan cara baru untuk mempermudah proses pencarian gambar di situsnya. Selama ini, kita sudah diberi sejumlah tool seperti filter warna atau style guna melakukan pencarian yang lebih spesifik. Sekarang, giliran artificial intelligence (AI) yang berperan.

Flickr baru-baru ini memperkenalkan sebuah fitur bernama Similarity Search. Fitur ini pada dasarnya memungkinkan pengguna untuk mencari gambar yang mirip secara visual dengan suatu gambar yang ditunjuknya, entah itu seekor kucing dari spesies tertentu atau malah sebuah mobil klasik dari tahun tertentu.

Menariknya, pengguna tidak perlu menambahkan kata kunci atau filter khusus untuk melakukan pencarian semacam ini. Dari hasil pencarian, cukup arahkan kursor mouse ke salah satu gambar, lalu klik menu “…” yang muncul di atas kanan dan pilih opsi “Search for similar photos”. Setelahnya, biarkan AI yang bekerja.

Sistem yang dirancang Flickr akan menganalisa gambar tersebut sebelum menyajikan deretan gambar lain yang serupa. Teknologi yang sama sebenarnya sudah Flickr terapkan sejak lama untuk menentukan apakah sebuah gambar tergolong NSFW (not safe for work), alias berbau porno.

Pada akhirnya fitur ini dimaksudkan supaya pengguna tidak perlu men-scroll halaman demi halaman guna menemukan gambar yang diinginkan. Similarity Search saat ini sudah bisa dinikmati di web, sayang tidak ada informasi apakah fitur ini juga tersedia di aplikasi mobile Flickr.

Sumber: Flickr.

Line Perkenalkan Clova, Asisten Virtual ‘Berdarah’ Asia

Selain sama-sama merupakan asisten virtual, apa persamaan lain dari Alexa, Siri dan Google Assistant? Mereka sama-sama datang dari daerah barat, sehingga pada akhirnya kurang begitu relevan dalam penggunaan sehari-hari di kawasan Asia.

Di Asia, salah satu pihak yang cukup paham dengan pola penggunaan konsumen adalah Line. Baik aplikasi pesan instan maupun layanan-layanannya yang lain sudah dipakai secara rutin oleh ratusan juta konsumen di Asia, dan sekarang mereka ingin memanfaatkan pengetahuan yang berharga itu untuk mengembangkan platform artificial intelligence (AI) berbasis cloud bernama Clova.

Sesuai dugaan, Clova adalah singkatan dari Cloud Virtual Assistant. Fungsinya mirip-mirip seperti trio asisten virtual yang saya sebutkan tadi, mengandalkan teknologi speech recognition dan natural language understanding guna berinteraksi dengan pengguna via percakapan yang terdengar alami.

Clova dapat memberikan beragam informasi, mulai dari ramalan cuaca sampai berita-berita terkini maupun terjemahan bahasa, semuanya tanpa mewajibkan pengguna menyentuh layar ponsel. Cukup gunakan perintah suara, maka Clova akan merespon sesuai permintaan.

Teknologi-teknologi yang pada akhirnya membentuk platform Clova / Line
Teknologi-teknologi yang pada akhirnya membentuk platform Clova / Line

Line sepertinya banyak belajar dari Amazon maupun Google. Pasalnya, produk pertama yang akan datang membawa integrasi Clova nantinya adalah sebuah speaker pintar bernama Wave, yang rencananya akan diluncurkan di Jepang dan Korea pada musim panas mendatang. Bersamaan dengan itu, mereka juga akan merilis Clova App untuk smartphone.

Rencana lebih ke depan lagi tidak luput dari perhatian Line. Mereka turut mengumumkan kemitraannya dengan Sony Mobile maupun produsen mainan TOMY guna mengembangkan potensi Clova. Sejenak saya langsung kepikiran sebuah headset buatan Sony yang mengusung integrasi Clova, tapi Sony sendiri juga punya Xperia Ear, jadi mungkin saya terlalu berkhayal.

Line memastikan Clova akan segera menyusul ke negara-negara lain setelah ia dirilis di Jepang dan Korea terlebih dulu. Bisa jadi ini merupakan asisten virtual pertama yang relevan dengan penggunaan konsumen tanah air nantinya.

Microsoft AirSim Adalah Simulator Drone dan Mobil Tanpa Sopir yang Amat Realistis

Sebelum seorang pilot dapat menerbangkan pesawat, ia harus lebih dulu lulus ujian simulasi. Drone maupun mobil tanpa sopir juga demikian. Kalau tidak, tim pengembangnya bisa menghabiskan biaya banyak hanya untuk mengajari drone buatannya membedakan tembok dan bayangan.

Simulasi sejatinya sangat berperan dalam pengembangan teknologi computer vision, machine learning maupun artificial intelligence. Gampangnya, kalau pengujiannya membutuhkan banyak trial and error, simulasi merupakan cara terbaik untuk menghindari sejumlah konsekuensi yang ada, contohnya drone yang menabrak tembok kalau dalam skenario tadi.

Tim Microsoft Research baru-baru ini merilis sebuah software simulator berlisensi open-source yang bisa dimanfaatkan untuk menguji drone, mobil maupun gadget lain yang mengandalkan AI dan teknologi kemudi otomatis. Dinamai Aerial Informatics and Robotics Platform, atau AirSim singkatnya, simulator ini diklaim sanggup menciptakan dunia virtual seakurat dan semirip mungkin dengan dunia nyata.

Berbekal Unreal Engine, AirSim mampu me-render elemen-elemen grafik yang kompleks macam bayangan atau refleksi secara akurat dan realistis. Para pengembang drone pada dasarnya bisa menguji berbagai teorinya dan menabrakkan drone buatannya berulang-ulang sampai ratusan bahkan ribuan kali tanpa harus mengalami kerugian finansial.

Microsoft menegaskan bahwa AirSim tidak dimaksudkkan untuk menggantikan pengujian di dunia nyata, namun setidaknya bisa jadi pelengkap yang efektif sekaligus efisien. Singkat cerita, sebelum pengembang menguji apakah vacuum cleaner robotik garapannya bisa benar-benar berhenti sebelum terjatuh dari tangga, mereka bisa lebih dulu mematangkan teknologinya dengan simulator ini.

Microsoft AirSim saat ini masih dalam tahap beta, akan tetapi developer sudah bisa mengaksesnya lewat GitHub.

Sumber: 1, 2, 3.

Kai Sulap Kacamata Biasa Menjadi Kacamata Pintar Bertenaga AI

Di saat tren kacamata berkamera terus menjamur berkat Spectacles serta alternatif lain yang modular seperti PogoCam dan Blincam, sebuah startup bernama Glimpse Wearables lebih tertarik untuk menjadikan kacamata sebagai extension dari smartphone. Buah pemikiran mereka? Kai, sebuah modul kecil yang dapat mengubah kacamata biasa menjadi kacamata pintar.

Namun jangan bayangkan kacamata pintar yang dimaksud memiliki display dan kamera macam Google Glass. Dari depan, Kai bahkan sama sekali tidak kelihatan; ia menancap pada ujung tangkai kacamata, lalu duduk manis di belakang telinga Anda tanpa mengundang perhatian dan lirikan tajam dari orang-orang di sekitar penggunanya.

Tanpa layar dan kamera, Kai berfokus pada satu fitur saja, yakni asisten virtual berbasis artificial intelligence. Jadi tanpa perlu mengakses smartphone, Anda sudah bisa berinteraksi dengan asisten virtual yang responsif sekaligus cerdas, yang ditenagai oleh platform AI Houndify besutan SoundHound.

Kai dirancang agar tidak mengganggu penglihatan dan bisa nyaman dipakai dalam durasi yang lama / Glimpse Wearables
Kai dirancang agar tidak mengganggu penglihatan dan bisa nyaman dipakai dalam durasi yang lama / Glimpse Wearables

Dengan Kai dan Houndify, pengguna dapat mengakses beragam informasi menggunakan perintah suara. Mereka bahkan bisa memesan Uber kalau perlu, atau mengontrol perangkat smart home yang kompatibel hanya dengan beberapa frasa saja. Panduan navigasi juga tersedia, begitu pula dengan notifikasi event kalender dan reminder.

Kai mengandalkan teknologi bone conduction untuk mengirimkan suara ke telinga tanpa perlu berada di dalam kanal telinga Anda. Hal ini juga berarti Anda bisa mendengar suara di sekitar tanpa gangguan sedikit pun. Material silikon yang digunakan memastikan agar kulit di belakang telinga tidak iritasi.

Saat ini Kai sedang ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga $130 – lebih murah $70 dari estimasi harga retail-nya. Paket penjualannya sudah mencakup sebuah kacamata opsional dengan lensa jernih.

Tanpa Bantuan Caption, AI Facebook Dapat Mencari Gambar Berdasarkan Objek di Dalamnya

Berkat perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan alias AI, April tahun kemarin Facebook berhasil meluncurkan fitur yang dapat membantu kaum tuna netra memahami isi Facebook, khususnya jutaan foto yang diunggah ke jejaring sosial tersebut. Kini, Facebook malah telah sukses memodifikasi platform AI yang sama untuk mempermudah pencarian gambar.

Apa yang Facebook lakukan sederhananya adalah melatih AI buatannya mengenali objek dalam gambar dengan memperlihatkan jutaan foto beserta caption-nya masing-masing. Pada akhirnya, AI yang dijuluki Lumos tersebut sanggup mengenali beragam objek dalam gambar tanpa harus ada caption maupun tag yang menyertai.

Semua ini kemudian diterjemahkan ke algoritma pencarian gambar di Facebook. Jadi semisal Anda mencari dengan kata kunci “Yosemite National Park”, Facebook pun sanggup menampilkan beberapa gambar yang relevan meski tidak ada caption-nya sama sekali.

Facebook juga memastikan kalau hasil pencarian gambarnya akan bervariasi dan bukan gambar yang sama tapi diambil dari sudut yang berbeda begitu saja. Singkat cerita, hasil pencarian gambar di Facebook akan lebih relevan sekaligus memuaskan dibanding sebelumnya.

Tujuan akhir yang ingin dicapai Facebook adalah mengaplikasikan teknologi serupa ke segudang video yang penggunanya unggah. Saat sudah tiba di titik itu, kita pada dasarnya dapat menemukan momen yang tepat dari suatu video hanya dengan bermodalkan kata kunci saja. Namun untuk sekarang, fitur pencarian gambar yang lebih istimewa ini baru tersedia untuk pengguna di AS saja.

Sumber: TechCrunch dan Facebook. Gambar header: Pixabay.

SoundHound Raih Pendanaan Sebesar $75 Juta untuk Berfokus pada Pengembangan AI

Melihat keberadaan asisten virtual pada perangkat di pasaran, hampir semua yang populer berasal dari raksasa teknologi macam Apple atau Google. Jadi kesimpulannya, hanya perusahaan besar yang bisa mengembangkan teknologi kecerdasan buatannya sendiri, benarkah begitu? Tidak juga.

SoundHound adalah bukti nyatanya. Sejak Maret tahun kemarin, perusahaan yang dikenal akan aplikasi penebak judul lagunya tersebut telah mempunyai asisten virtual bertenaga AI bernama Hound. Hound pun perlahan juga mulai merambah perangkat, dimulai dari speaker nyentrik bernama Boombotix Hurricane.

SoundHound juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Mereka belum lama ini malah menerima pendanaan senilai $75 juta dari sejumlah investor untuk mengembangkan Hound dan platform di baliknya lebih matang lagi. Alasannya, SoundHound sangat yakin perintah suara bakal menjadi medium interaksi dengan perangkat yang dominan ke depannya.

Dua dari investor-investor tersebut juga bukan perusahaan kacangan, melainkan nama sekelas Samsung dan Nvidia. Seperti yang kita tahu, kedua pabrikan ini memang sudah cukup lama menunjukkan ketertarikannya pada integrasi kecerdasan buatan dalam wujud asisten virtual.

Pendanaan ini akan dimanfaatkan SoundHound untuk menarik lebih banyak konsumen dan memperluas jangkauan pengoperasiannya ke Eropa dan Asia. Sejumlah kelebihan AI besutan SoundHound adalah proses pengenalan kata/frasa dan pemahaman konteks secara real-time (tidak menunggu pengguna selesai berbicara terlebih dulu), serta integrasi dengan aplikasi atau perangkat tanpa ‘mengisolasi’ data pengguna yang dikumpulkannya sendiri.

Sumber: Bloomberg.