Amazon, Apple, Google, Facebook, IBM dan Microsoft Bekerja Sama dalam Penelitian Pengembangan AI

Alexa, Siri, Google Assistant dan Cortana terus bersaing memperebutkan gelar asisten virtual terbaik buat konsumen. Namun terlepas dari persaingan tersebut, ternyata perusahaan-perusahaan pengembangnya malah bekerja sama untuk melakukan penelitian mendalam di bidang yang menjadi kunci dari ini semua, yaitu kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).

Pada bulan September tahun kemarin, dibentuk sebuah tim peneliti gabungan bernama Partnership on AI. Anggotanya tidak main-main, mencakup para ahli dari Amazon, Apple, Google, Facebook, IBM dan Microsoft. Tujuannya tidak lain dari memformulasikan praktek-praktek terbaik di bidang pengembangan AI sekaligus menjadi platform diskusi dan keterlibatan yang terbuka.

Sepintas terdengar aneh kalau Apple mau menjadi bagian dari platform terbuka seperti ini, sebab perusahaan pimpinan Tim Cook tersebut dikenal sangat tertutup. Namun mengingat AI tergolong masih baru dan Apple tidak bisa merekrut semua ahli di bidang ini, mau tidak mau mereka harus membuka pintunya dan terlibat dalam kolaborasi besar semacam ini.

Siri sendiri bisa dibilang sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan Google Assistant misalnya. Itulah mengapa Apple telah melakukan upaya-upaya khusus untuk meningkatkan kualitas Siri, salah satu yang paling menonjol adalah ketika mereka merekrut ahli AI asal Carnegie Mellon University, Professor Russ Salakhutdinov.

Apple perlahan juga membuka dirinya di bidang pengembangan AI ini dengan mempersilakan sang profesor untuk memublikasikan hasil studinya. Apple sendiri ternyata juga merupakan salah satu anggota pendiri Partnership on AI, dan telah terlibat sejak sebelum tim gabungan tersebut dibentuk – hanya saja statusnya sebagai anggota baru diumumkan secara resmi belum lama ini.

Sumber: Bloomberg dan Partnership on AI.

Adobe Demonstrasikan Asisten Virtual ala Siri untuk Mengedit Foto

Tahun demi tahun, asisten virtual dan kecerdasan buatan terus berkembang pesat. Kemajuan ini membuat Siri, Google Assistant, Cortana, Alexa dan lainnya menjadi semakin relevan dalam kegiatan sehari-hari, contoh yang paling gampang adalah meminta mereka untuk memesankan Uber.

Namun pernahkah Anda membayangkan meminta bantuan mereka untuk mengedit suatu foto? Semisal Anda ingin mengubah rasio foto menjadi kotak, Anda tinggal bilang dan Siri pun akan langsung mengerjakannya sesuai permintaan. Tak usah dibayangkan lebih lanjut, sebab Adobe sedang sibuk mengembangkan teknologi semacam ini.

Jadi ketimbang harus mengutak-atik berbagai macam slider dan kenop, Anda tinggal bilang fotonya ingin diedit seperti apa. Adobe mengklaim teknologi voice recognition yang mereka rancang sanggup memahami instruksi yang diucapkan dalam bahasa sehari-hari, ya kira-kira sama seperti Siri atau Google Assistant.

Dari video demonstrasinya di bawah, sejauh ini mungkin baru penyuntingan standar yang bisa dilakukan macam cropping atau rotate, tetapi ke depannya asisten virtual Adobe ini pastinya juga bisa melakukan editing yang lebih kompleks.

Saya membayangkan nantinya ketika teknologi ini sudah benar-benar matang, saya hanya perlu mengucapkan instruksi semacam “buat foto ini jadi lebih terang”, dan sang asisten pun akan mengutak-atik parameter seperti exposure, highlight, shadow dan lainnya secara otomatis untuk membuat foto tak cuma lebih cerah, namun tetap mempertahankan estetikanya.

Sumber: PetaPixel.

Mattel Ciptakan Speaker Bertenaga Kecerdasan Buatan untuk Anak-Anak

Di titik ini Anda pastinya sudah tidak bisa meragukan popularitas speaker bertenaga kecerdasan buatan (AI) macam Amazon Echo dan Google Home. Ke depannya pabrikan-pabrikan lain pasti menyusul, tapi sebelum itu, ada Mattel yang lebih dulu memperkenalkan speaker serupa khusus untuk anak-anak.

Dijuluki Aristotle, ia merupakan perpaduan sebuah speaker Bluetooth dan kamera. Misi utama yang diusungnya adalah menjadi pengawas bayi sekaligus teman bermain dan belajar anak-anak. Ia dapat mengenali anak yang berbeda berdasarkan suaranya, memberikan instruksi sekaligus berinteraksi dengan mereka.

Aristotle ditenagai oleh tiga AI yang berbeda: buatan Mattel sendiri, Microsoft Cognitive Services (dan tidak lama lagi Cortana), dan buatan perusahaan bernama Silk Labs. Nama Aristotle sendiri mengindikasikan kalau ia mempunyai karakter bijaksana seperti sang filsuf asal Yunani yang menginspirasi namanya.

Aristotle memadukan AI, computer vision, voice recognition dan otomatisasi sehari-harinya. Contoh, saat ia mendeteksi bayi yang menangis, ia dapat mengirimkan notifikasi ke orang tua atau memutar lagu tidur dengan sendirinya. Semua ini bisa diatur melalui aplikasi pendampingnya di ponsel.

Dihadapkan dengan balita, Aristotle akan memfasilitasi mereka dalam mempelajari alfabet maupun membacakan cerita. Kepada anak yang lebih besar lagi, Aristotle akan membantu mereka dalam mengerjakan PR maupun menyajikan hiburan. Terakhir, bersama para remaja, Aristotle bisa melakukan interaksi yang lebih kompleks sekaligus mendampingi mereka belajar bahasa asing.

Dalam mengembangkan Aristotle, Mattel tidak mau setengah-setengah dalam hal keamanan dan privasi. Semua data yang masuk dan keluar akan dienkripsi, dan untuk mencegah serangan DDoS atau ancaman lain dari para hacker, pengguna harus melakukan pairing manual setiap kali hendak menyambungkan ponsel dengan Aristotle.

Sejatinya ada banyak sekali yang bisa dilakukan Mattel Aristotle, termasuk mengontrol perangkat smart home atau IoT yang kompatibel. Perangkat ini rencananya akan dipasarkan mulai musim panas mendatang seharga $299.

Sumber: PC World dan PR Newswire.

Mark Zuckerberg dan Impiannya Menjadi Tony Stark

Penggemar Iron Man pasti tidak asing lagi dengan Jarvis. Di film dan komik, asisten digital ini berkali-kali menyelamatkan nyawa Tony Stark dan Pepper Potts, tidak heran jika banyak orang diam-diam berimajinasi memiliki AI sepertinya buat membantu mereka di berbagai skenario. Di dunia nyata sendiri, ternyata CEO Facebook merupakan sosok yang paling mendekati Tony Stark.

Mungkin Anda sudah tahu, Mark Zuckerberg beberapa waktu lalu memublikasikan beberapa video demonstrasi kecerdasan buatan yang ia namai seperti sang asisten Iron Man. Tentu saja kreasinya itu bukan diciptakan untuk Mark sematkan di jubah eksoskeleton yang diam-diam ia buat. Implementasinya lebih ‘casual‘: di tahun 2016 ini, Mark menantang dirinya untuk membangun AI di rumah.

Sang chairman Facebook mengakui, perjalanan pengembangan AI yang ideal masih sangat jauh, meski teknologi saat ini memungkinkan terealisasinya sejumlah terobosan besar. Dan upaya menciptakan sistem home automation ini juga membuat Mark mempelajari lebih banyak hal, termasuk lebih memahami teknologi internal Facebook yang dimanfaatkan para teknisi.

Buat sekarang, Mark bisa berinteraksi dengan Jarvis menggunakan smartphone dan komputer. Lewat AI, ia dapat mengendalikan banyak pernak-pernik di rumah, misalnya lampu, thermostat, perabotan, bahkan mengakses sistem hiburan seperti musik dan keamaman. AI tersebut mampu menganalisis pola dan minat penghuni rumah, lalu pelan-pelan bisa mengetahui kata-kata serta konsep baru – bahkan dapat membantu Mark dan Priscilla menghibur buah hatinya, Max.

Jarvis memanfaatkan kombinasi sejumlah teknik pembangun AI seperti teknologi proses bahasa, sistem pengenal wajah dan suara, dan ‘reinforcemwent learning‘; ditulis di Python, PHP dan Objective C. Sebelum mulai menggarap Jarvis, Mark pertama-tama harus menyambungkan segala sistem (pintu, lampu, pengaturan suhu ruang, sampai sistem audio) di rumahnya ke server, lalu melengkapinya dengan menyiapkan user interface (messenger bot, app, dan kamera).

Bagi Mark, membuat AI bisa mengenali wajah manusia adalah salah satu tantangan terbesarnya. Pasalnya, mesin lebih susah membedakan wajah dua individu ketimbang dua objek berbeda. Untung saja kemampuan pengenal wajah Facebook semakin canggih, dan untuk menyempurnakan fungsinya, Mark memasang beberapa kamera buat mengambil gambar dari sudut berbeda, lalu memerintahkan mereka melakukan pengawasan secara terus-menerus.

Selanjutnya, Mark punya agenda untuk membangun aplikasi Android, memasang terminal suara Jarvis di lebih banyak ruang, serta mengoneksikan lebih banyak perabotan. Ia juga ingin mengeksplorasi kemampuan self-learning sehingga Jarvis bisa belajar secara mandiri tanpa perlu perintah spesifik.

Sumber: Facebook.

Samsung Sedang Siapkan Penerus Gear VR dan Headset Macam Microsoft HoloLens

Melihat kesuksesan Gear VR, sudah bisa dipastikan bahwa Samsung tengah sibuk menyiapkan suksesornya yang lebih canggih lagi. Namun kira-kira perubahan seperti apa yang bakal diterima oleh konsumen?

Berbicara di panggung Virtual Reality Summit, Dr. Sung-Hoon Hong yang menjabat sebagai Vice President Samsung Electronics mengungkap sedikit mengenai apa yang sedang timnya kerjakan untuk segmen VR. Yang cukup mengejutkan, Samsung rupanya tengah mengembangkan dua headset sekaligus.

Yang pertama adalah penerus Gear VR dengan teknologi rendering engine baru. Detailnya sejauh ini masih samar-samar, tapi pastinya engine baru ini akan meningkatkan kualitas grafik yang tersaji saat konsumen menggunakan headset. Dan kalau belajar dari pengalaman sebelumnya, Samsung pastinya juga akan menyempurnakan desain Gear VR baru ini supaya bisa lebih nyaman lagi saat dikenakan.

Akan tetapi yang justru sangat menarik perhatian adalah headset kedua yang Dr. Hong bicarakan. Headset ini pada dasarnya mengedepankan teknologi augmented reality seperti yang ditawarkan Microsoft HoloLens. Pada kenyataannya, Dr. Hong mengakui kalau timnya banyak belajar dari prototipe HoloLens sekaligus Magic Leap.

Dr. Hong tak lupa menjelaskan kalau teknologi hologram yang diaplikasikan pada headset ini nantinya akan terkesan begitu realistis berkat penerapan light field engine hasil pengembangan mereka sendiri. Tidak ketinggalan, Samsung juga punya visi untuk mengintegrasikan artificial intelligence dalam wujud asisten virtual.

Skenario yang dibayangkan adalah dimana pengguna bisa berbelanja perabot maupun produk lain, melihat wujud virtual-nya secara nyata dan melakukan pemesanan secara langsung dari headset, semuanya dengan bantuan sang asisten virtual.

Samsung juga tidak menutup kesempatan untuk bekerja sama dengan pihak lain yang ahli di bidang ini, baik startup kecil maupun perusahaan yang terkesan misterius seperti Magic Leap – Gear VR sendiri merupakan hasil kolaborasi Samsung dengan Oculus. Rencananya, suksesor Gear VR dan AR headset baru ini akan diperkenalkan pada ajang Mobile World Congress tahun depan.

Sumber: WearableZone.

Uber Dirikan Lab Khusus Pengembangan Artificial Intelligence

Armada mobil tanpa sopir Uber telah resmi beroperasi. Untuk sekarang, mobil-mobil tersebut masih harus didampingi oleh seorang engineer dan co-pilot. Namun ke depannya, saat teknologinya sudah matang dan regulasi setempat sudah mengizinkan, mobil-mobil tersebut hanya akan diisi oleh penumpang saja.

Uber nampaknya ingin impian ini bisa terealisasi sesegera mungkin. Mereka baru-baru ini mengakuisisi sebuah startup bernama Geometric Intelligence yang ahli di bidang artificial intelligence (AI) dan membentuk sebuah divisi baru bernama Uber AI Labs. Tim beranggotakan 15 orang ini akan berkolaborasi langsung dengan tim yang tergabung dalam Uber Advanced Technologies Center guna menyempurnakan armada mobil kemudi otomatisnya.

Selain mematangkan sistem kemudi otomatis, apa yang dikerjakan oleh Uber AI Labs ini nantinya juga akan diterapkan ke berbagai hal; seperti mencegah dan menanggulangi kasus penipuan, menyaring informasi dari rambu-rambu lalu lintas dan membantu kinerja tim Uber yang sedang menggarap sistem pemetaan digitalnya sendiri.

Namun mungkin Anda penasaran kenapa harus Geometric Intelligence yang dipilih Uber. Well, startup ini menarik karena riset mereka terhadap AI dilakukan dengan melibatkan sejumlah metode sekaligus. Singkat cerita, AI yang mereka kembangkan bisa belajar secara lebih efisien meski sumber datanya terbatas.

Uber AI Labs ini sekaligus menjadi bukti bahwa artificial intelligence merupakan salah satu highlight dunia teknologi di tahun 2016 ini. Uber hanyalah satu dari seabrek nama-nama besar yang berfokus pada pengembangan AI; di antaranya adalah Google, Facebook, Amazon, Apple, Nvidia dan masih banyak lagi.

Sumber: New York Times dan Uber.

Studi Universitas Stanford: Robot Tak Akan Membahayakan Manusia

Ada banyak kisah fiksi yang mengangkat tema mengenai efek samping perkembangan kecerdasan buatan: The Matrix, Terminator, sampai Ex Machina. Semuanya membuat kita berpikir, apakah mungkin di satu titik di masa depan, kemajauan teknologi malah berbalik dan membahayakan manusia? Sudah ada beberapa contohnya, tapi menurut Universitas Stanford, kita tak perlu cemas.

Berniat untuk mengulik ranah itu lebih dalam, Stanford menyelenggarakan proyek bertajuk One Hundred Year Study on Artificial Intelligence. Sesuai namanya, ia adalah sebuah proses studi panjang demi menghasilkan data dan laporan lengkap tentang bagaimana kecerdasan buatan akan memengaruhi aspek kehidupan kita – melampaui gambaran AI di film, kekhawatiran para ahli, serta keinginan orang memperoleh asisten pribadi yang super-pintar.

Bagian pertama laporan tersebut sudah dirilis, diberi judul ‘Artificial Intelligence and Life in 2030’. Berisi 28.000 kata, bab pembuka itu merupakan rangkuman dari pengkajian kemajuan AI di sebuah kota di Amerika sepuluh tahun lagi, prosesnya dilakukan selama setahun. Di sana, para ilmuwan menggarisbawahi bahwa hal-hal yang banyak orang takutkan tidak akan terjadi, karena hal itu tidak realistis.

Berdasarkan pemaparan tersebut, AI akan dimanfaatkan di berbagai sektor, seperti transportasi, medis, edukasi hingga ranah pekerjaan. Studi memperlihatkan kesamaan antara pengembangan AI dengan adopsi smartphone modern. Ia memang bukanlah kebutuhan pokok, namun Anda mungkin sulit membayangkan hidup tanpa ditemani perangkat bergerak.

Menurut para peneliti, transportasi merupakan salah satu bidang pertama yang segera mengadopsi kecerdasan buatan. Nantinya, publik akan mulai bertanya-tanya apakah AI dapat diandalkan untuk mengoperasikan kendaraan secara optimal serta menjaga keselamatan para penumpang. Dalam beberapa tahun lagi, kendaraan tanpa pengemudi akan jadi hal yang lumrah. Interaksi antara manusia dan mesin inilah yang memengaruhi persepsi awal publik tentang AI.

Selanjutnya, kecerdasan buatan di ranah medis pelan-pelan akan membantu dokter serta pakar kesehatan mengumpulkan data berjumlah besar. Robot juga bisa mempermudah proses pengiriman pasokan obat, meskipun manusia tetap dibutuhkan buat mendistribusikannya ke lokasi yang spesifik.

Setelah itu, AI dapat digunakan di bidang keamanan publik, walaupun implementasinya terbilang cukup kompleks. Contohnya: dengannya penegak hukum bisa mengawasi keadaaan sosial media atau menganalisis kerumunan massa untuk mengantisipasi terjadinya sebuah event publik berskala besar.

Laporan ini ditutup oleh pernyataan bahwa para peneliti tidak melihat adanya potensi bahaya dari pemanfaatan kecerdasan buatan di waktu dekat.

Sumber: Fast Company. Gambar header: Flickr.

Dashbot Tambahkan Kecerdasan Buatan di Segala Jenis Mobil

Terlepas dari potensi kecanggihan mobil pintar, ada banyak faktor yang menghambat adopsinya: teknologinya tidak murah, mayoritas konsumen lebih percaya pada kendaraan biasa, belum lagi produsen harus memenuhi regulasi pemerintah. Menariknya, developer pencipta PocketChip punya solusi mudah dan murah buat menyulap mobil biasa menjadi kendaraan ‘cerdas’.

Next Thing Co. memperkenalkan Dashbot, sebuah aksesori mobil berisi kecerdasan buatan yang memungkinkan pengemudi melakukan berbagai hal: mengaktifkan musik, membuka peta, sampai mengirim pesan teks. Caranya? Cukup dengan menempelkan Dashbot di dashboard kendaraan, dan menyambungkan device ini ke smartphone via Bluetooth sebelum berkendara.

Dashbot menjanjikan kemudahan dalam penggunaan, dibekali dukungan pengelolaan playlist lagu, podcast, serta kompatibel ke berbagai layanan streaming musik (Spotify, Google Play Music, Apple Music, Soundcloud, NPR One, hingga ESPN Radio). Ia bisa merangkul semua app di satu wadah sehingga Anda tidak perlu mengaksesnya secara manual – semuanya dapat dilakukan lewat perintah suara.

Developer asal Oakland itu menyampaikan bahwa Dashbot didesain agar bisa dioperasikan sepenuhnya dengan voice. Dalam penyajian info, device akan memberikan informasi arah secara turn-by-turn, membacakan pesan secara lantang dan segera memberi tahu siapa yang sedang menelepon Anda. Jika punya pertanyaan, Anda hanya tinggal mengucapkannya saja, dan AI di Dashbot dapat beradaptasi dengan suara serta keadaan lingkungan di sekitar mobil.

Perangkat unik ini memanfaatkan rangkaian microphone beamforming dan kemampuan proses sinyal digital high-end sehingga sanggup mendengar ucapan Anda terlepas dari ramainya kondisi lalu lintas serta ketika musik sedang mengalun di volume tinggi. Untuk membuat pesan teks, Dashbot sudah dibekali engine speech-to-text terbaik, dan perangkat akan membacakan kembali pesan tersebut sebelum dikirim.

Di fitur navigasi, Dashbot juga dilengkapi sistem pencahayaan LED untuk memberikan petunjuk yang mudah dimengerti – misalnya menampilkan simbol anak panah ke kiri atau ke kanan. Dan untuk data lokasi, device menggunakan Google Maps.

Dashbot dapat dipasangkan ke segala jenis mobil, bekerja dengan dukungan app companion di smartphone (Android 5.0 atau iOS 10 atau yang lebih baru). Perangkat ditenagai kabel USB atau power port 12V (pemantik rokok di mobil), terkoneksi ke sistem audio kendaraan Anda via Bluetooth atau jack auxiliary.

Dashbot baru tersedia untuk konsumen di negara-negara tertentu saja, ditawarkan melalui Kickstarter. Harganya sangat murah, produk cuma dibanderol US$ 50.

Tak Lagi Per Kata, Google Translate Kini Terjemahkan Satu Kalimat Utuh

Akui saja, saat membaca suatu terjemahan yang buruk, Anda pasti pernah berprasangka Google Translate-lah penyebabnya. Google Translate memang menguasai segudang kosa kata dari total 103 bahasa, tapi seperti yang kita ketahui, butuh lebih dari sekadar kosa kata untuk membentuk suatu kalimat terjemahan yang sempurna.

Google sadar akan masalah ini, itulah sebabnya mereka terus melakukan riset demi riset guna menyempurnakan hasil terjemahan Google Translate. Setelah beberapa tahun, mereka akhirnya menemukan solusi yang tepat, yakni teknologi yang dijuluki Neural Machine Translation.

Sederhananya, Google Translate sudah tidak lagi mengandalkan terjemahan berbasis data. Neural Machine Translation melibatkan artificial intelligence yang menerjemahkan satu kalimat utuh, memperhatikan faktor seperti konteks dan tata bahasa, bukan kata demi kata seperti sebelumnya. Alhasil, terjemahan bisa terdengar lebih alami sekaligus akurat, seperti yang bisa dilihat pada gambar di atas.

Google mengklaim peningkatan yang dicapai melalui Neural Machine Translation melampaui semua yang mereka lakukan selama sepuluh tahun Google Translate eksis. Seiring berjalannya waktu, teknologi ini juga akan terus berkembang dengan sendirinya demi menghasilkan terjemahan yang lebih alami lagi.

Sejauh ini Neural Machine Translation baru tersedia dalam 8 bahasa, yakni Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Portugis, Tionghoa, Jepang, Korea dan Turki. Misi jangka panjang yang hendak dituju Google adalah menyediakan teknologi ini untuk semua bahasa yang didudukung Google Translate.

Sumber: Google Blog.

Update Google Allo Hadirkan Fitur Smart Smiley dan Background Theme

Google Allo telah terbukti cukup populer, dan Google sepertinya tidak mau hype-nya hilang begitu saja. Update demi update terus mereka luncurkan, masing-masing mengemas fitur-fitur baru yang cukup menarik.

Dalam versi 3.0, Google Allo kedatangan dua fitur baru, yakni Smart Smiley dan Background Theme, sesuai yang dilaporkan sebelumnya. Sebagai bonus, tersedia pula sticker pack resmi yang terinspirasi dari film “Fantastic Beasts and Where to Find Them”.

Smart Smiley pada dasarnya dirancang untuk memudahkan pengguna mencari dan mencantumkan emoji atau sticker yang pas guna mendampingi setiap pesannya. Integrasi Google Assistant sangat berperan di sini, pasalnya deretan emoji dan sticker yang disajikan relevan dengan pesan atau sentimen yang hendak Anda sampaikan.

Bahkan sebelum Anda mengetikkan apapun, Smart Smiley akan memberikan rekomendasi emoji dan sticker berdasarkan percakapan sebelumnya – mungkin bermanfaat sebagai icebreaker. Untuk sementara baru percakapan dalam bahasa Inggris yang didukung, tapi ke depannya Google berjanji untuk menyediakan dukungan bahasa lain.

Google Allo menyediakan sederet pilihan tematik yang bisa diganti kapan saja / Google
Google Allo menyediakan sederet pilihan tematik yang bisa diganti kapan saja / Google

Selanjutnya ada Background Theme. Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan pengguna Allo untuk mengganti latar sekaligus warna-warna pada percakapannya. Google menyediakan sejumlah pilihan tematik yang bisa diganti kapan saja pengguna mau.

Terakhir, mencari sticker pack dalam Allo sekarang jadi jauh lebih mudah. Saat teman Anda mengirimi sticker dari pack yang belum Anda punyai, Anda bisa menyentuh sticker tersebut untuk mengunduh sticker pack-nya secara langsung.

Sumber: Google Blog.