Empat Startup Indonesia Ikuti Program eFounder Fellowship Asia Angkatan Kedua

Empat startup dari Indonesia terpilih  untuk mengikuti angkatan kedua Kelas Asia dari eFounder Fellowship. Sebuah program hasil kerja sama The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan Alibaba Business School. Ketiganya bersama dengan peserta lainnya dari 11 negara Asia akan mengikuti program intensif selama 14 hari di Tiongkok untuk mendapatkan wawasan dan pengalaman langsung seputar e-commerce dan inovasi-inovasi dari Tiongkok dan berbagai negara dunia.

Program ini diikuti oleh founder startup dari negara-negara Asia seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Pakistan. Sementara negara yang baru ikut serta dalam angkatan kedua ini adalah Singapura, India, Bangladesh, dan Myanmar.

Para peserta terpilih dari 300 pendaftar dan mewakili berbagai industri termasuk e-commerce, logistik, teknologi finansial, pariwisata dan big data. Setelah lulus program ini mereka akan menjadi anggota eFounders Fellows, sebuah komunitas pengusaha muda eksklusif yang bertujuan untuk mendorong transformasi digital di negara mereka.

Empat orang wakil dari Indonesia adalah, Agung Bezharie dari Warung Pintar, Mario Ronaldo Andrew Mawikere mewakili Bizzy Indonesia, Rade Tampubolon mewakili SociaBuzz, dan Victor Jia Hap Liew mewakili Xfers.

“Kami menilai kemitraan kami bersama Alibaba Business School dalam kegiatan eFounders adalah sebuah model kemitraan yang sukses untuk memenuhi tujuan global. Kami menilai bahwa pengusaha muda, terutama mereka yang terlibat di program ini menunjukkan komitmen yang sangat kuat untuk berkontribusi terhadap dunia. Kami juga mencatat bahwa memperkuat ekonomi digital, membangun daerah pedesaan dan mengikut sertakan kelompok tenaga kerja yang rentan melalui pelatihan di negara-negara berkembang adalah beberapa poin penting sejak peluncuran eFounder Fellowshop tahun lalu,” terang Koordinator program eFounders Fellowshop UNCTAD Ariette Verploegh.

Sebelumnya eFounders Fellowship telah menjalankan tiga kelas. Kelas pertama terdiri dari 24 pengusaha dari Afrika, kelas kedua dengan 37 pengusaha dari Asia Tenggara dan Asia Selatan dan kelas ketiga dengan 29 pengusaha dari Afrika.

Keikutsertaan pengusaha atau founder dari Indonesia ini adalah kali kedua, sebelumnya pada bulan Maret 2018 sembilan wakil startup Indonesia telah mengikuti kelas pertama program eFounder Fellowship untuk Asia.

Vice President of Alibaba Group Brian A Wong mengungkapkan bahwa mereka sangat senang bisa melanjutkan misi untuk mendukung para pengusaha digital dan komunitas dari berbagai belahan dunia termasuk dari Asia. Ia juga mengungkapkan bahwa eFounders Fellowship akan terus berkembang seiring dengan masuknya anggota baru.

“Kam ingin menginspirasi para pengusaha dari berbagai belahan dunia untuk menjadi katalisator dalam mendorong pembangunan digital yang lebih inklusif dan bermanfaat secara ekonomi untuk bisnis mereka sendiri dan masyarakat secara luas, serta menyebarluaskan paradigma dan manfaat digital ekonomi di negara asal mereka,” terang Brian Wong.

DANA Rilis Aplikasi “Standalone” dan Mesin QR Code

Layanan pembayaran DANA merilis aplikasi standalone dalam versi beta dan mesin QR Code yang sudah didistribusikan secara terbatas ke merchant di Jabodetabek. Langkah awal ini sebagai bagian strategi DANA untuk menjadi pemain pembayaran terdepan di Indonesia.

VP of Products DANA Rangga Wiseno menegaskan, kehadiran aplikasi standalone ini bukan berarti menghentikan strategi DANA untuk hadir sebagai open platform di dalam layanan merchant. Sejak awal DANA memiliki konsep open platform, yang mendukung semua merchant baik online maupun offline.

“Jadi DANA akan senantiasa menjaga komitmen ini dan menyediakan jasa pembayaran terbaik bagi seluruh merchant,” ujarnya kepada DailySocial.

DANA Widget (sebutan DANA di dalam layanan merchant) didesain dengan pembatasan fitur per merchant dan UX-nya dikustomisasi sesuai use case per merchant. Alhasil pengguna tidak merasa pindah ke aplikasi lain saat melakukan pembayaran. Contohnya pembayaran tiket bioskop di TIX.id dan pembayaran transaksi di marketplace Bukalapak.

Berbeda dengan DANA Widget, sambungnya, aplikasi DANA ditujukan untuk aplikasi utama yang dapat digunakan pengguna dalam memonitor seluruh transaksi yang dilakukan di seluruh merchant yang sudah terhubung. Aplikasi ini memiliki fitur lain yang tidak ada di Widget, misalnya pembayaran QR, pengiriman uang, pembayaran tagihan atau beli pulsa.

“DANA mendukung fasilitas pembayaran via kartu debit dan kredit, sehingga pengguna tidak perlu lagi top up. Pengguna juga dapat mengatur kartu yang sudah terhubung dengan DANA via Widget di aplikasi ini.”

Mesin QR Code

Mesin QR Code dari DANA / DailySocial
Mesin QR Code dari DANA / DailySocial

Rangga melanjutkan, mesin QR Code ini dinamai “Litte White Box”. Mesin pemindai QR ini dikembangkan oleh salah satu mitra DANA. Perusahaan melakukan kustomisasi dan beberapa pengujian, seperti Penetration Testing atau Performance Testing, sesuai komitmen perusahaan dalam memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna.

Ada dua pendekatan yang ingin disasar perusahaan dari mesin QR tersebut. Pertama untuk Merchant Scan User, jadi QR user bersifat dinamis, selalu berubah-ubah dalam setiap transaksi sehingga tidak bisa digandakan.

Untuk melakukan transaksi, pengguna cukup menampilkan QR mereka dari aplikasi tanpa perlu terhubung ke internet. Tidak perlu repot pula memasukkan harga karena pemindai dapat langsung terhubung ke POS merchant untuk mendeteksi nilai transaksi. Notifikasi status pembayaran dapat langsung diterima merchant secara realtime.

“Hal ini membuat kami yakin bahwa metode ini dapat memberikan kenyamanan yang lebih bagi pengguna DANA dibanding metode User Scan Merchant yang sudah banyak beredar di pasar.”

Rangga menyebut dari hasil riset internal, metode ini hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga detik (scan>memasukkan PIN>selesai) untuk menyelesaikan transaksi. Dibandingkan metode user scan merchant yang butuh waktu lebih dari 10 detik (scan>input amount>konfirmasi>PIN>notifikasi merchant>selesai).

“Jadi, metode ini sangat cocok bagi merchant yang memiliki pengunjung padat untuk meminimalisir antrean.”

Kedua, User Scan Merchant. Metode ini lebih diperuntukkan untuk pedagang mikro yang low tech sebab lebih simpel untuk diterapkan. Pedagang dapat mencetak QR statis melalui aplikasi DANA dan pengguna dapat memindai QR tersebut via aplikasi dan memasukkan nilai transaksi untuk melakukan pembayaran.

Merchant akan menerima notifikasi saat pembayaran berhasil. Metode ini sama seperti yang kebanyakan beredar di pasar saat ini.

Untuk sementara, uji coba QR Code masih terbatas di wilayah Jabodetabek untuk merchant KFC dan Ramayana. Menurut Rangga, hal ini dimaksudkan agar perusahaan dapat fokus menerima masukan dari pengguna DANA dan melakukan perbaikan sebelum meluncurkan versi full dalam waktu dekat.

“Nanti versi full akan memiliki jangkauan area ke seluruh Indonesia sesuai dengan lokasi merchant atau pedagang yang bekerja sama dengan DANA,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

UC Ads Perkenalkan Platform Iklan Video Durasi Pendek

UC Ads, anak usaha Alibaba yang menyediakan solusi mobile marketing, melengkapi layanan beriklan dengan inovasi terbaru berupa video durasi pendek. Tambahan layanan ini diharapkan menjadi ambisi perusahaan sebagai penyedia solusi mobile marketing terdepan di Indonesia.

Dalam format iklan ini, video akan disematkan di dalam feeds artikel berita di UC Web atau UC Browser dan di dalam artikel berita. GM Mobile Monetization UC Ads, Morden Chen, menuturkan video merupakan media yang lebih interaktif karena berisi informasi yang padat dan tampilan gambar bergerak dengan durasi singkat, sehingga lebih mudah menangkap perhatian target konsumen.

Terlebih, Morden mengklaim rata-rata pengguna UC News menghabiskan waktunya untuk membaca konten di dalam aplikasi mencapai 40 menit dalam seharinya. Angka ini jauh lebih besar dari kebiasaan konsumen membuka aplikasi GO-JEK dan LINE.

“Tidak sekadar menghadirkan platform video saja, kami melakukannya dengan mindset yang berbeda. Sebab iklan yang ditampilkan sudah d sesuaikan dengan preferensi pembaca kami di UC News yang merupakan platform UGC,” terangnya di sela-sela konferensi Mobile Marketing Associasion Forum 2018, kemarin (17/10).

Pihaknya akan mengedepankan lebih jauh inovasi yang bisa dilakukan dalam platform video ke depannya, sehingga baik pengiklan maupun pengguna UC bisa mendapatkan lebih banyak nilai tambah.

Platform teranyar ini sudah lebih dulu UC Ads perkenalkan di India. Di sana, para pemain operator saling “berperang” menurunkan tarif paket data sehingga sangat murah dibandingkan Indonesia.

Menjadikan orang India lebih sering menatap layar smartphone-nya daripada menonton TV. Namun fokusnya jadi terpecah-pecah, sehingga membuat durasi menatap suatu konten jadi lebih singkat.

Kehadiran iklan video durasi pendek pun akhirnya semakin populer dengan peningkatan konsumsi informasi dari teks murni, menjadi teks gambar ditambah video.

Peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh pengiklan karena kehadiran iklan video ini memperlihatkan adanya kebiasaan baru konsumen yang lebih banyak menghabiskan aktivitasnya di layar kecil.

UC Ads siap mengembangkan platform video ini bersama para mitra pengiklannya. Di Indonesia, perusahaan bermitra dengan Lazada, Shopee, Tokopedia, Elevenia, Blibli, Vivo, Oppo, dan Indosat Ooredoo.

Beberapa layanan bentuk placement yang disediakan UC Ads diantaranya interstitial screen, banner, push notification, recommendation, native ads, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Belum Ada Rencana Konkret Pendirian “Jack Ma Institute” di Indonesia

Pasca kehadiran Co-Founder Alibaba Jack Ma ke ajang IMF-WB Annual Meeting beberapa waktu lalu di Bali, rencana pendirian Jack Ma Institute kembali mengemuka. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya inisiatif tersebut sudah menjadi wacana sejak September tahun lalu.

Ide awal pendirian institusi tersebut justru dari pemerintah dan Ma sendiri menyambut baik. Pihak Alibaba yang kami hubungi mengatakan, sejauh ini belum ada upaya konkret untuk merealisasikan Jack Ma Institute tersebut, sehingga belum bisa dipastikan seperti apa bentuk dan kapan realisasinya.

Ma sendiri dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa dirinya sangat bersemangat untuk menjadi bagian dalam meningkatkan kompetensi melalui pendidikan, khususnya untuk kewirausahaan. Ia menekankan, upayanya untuk pendidikan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan kehumasan atau pemasaran, murni untuk pengembangan.

10×1000 Tech for Inclusion

Di kesempatan yang sama, International Financial Corporation (IFC), anggota Grup Bank Dunia, dan Ant Financial Services Group (operator Alipay) meresmikan sinergi program “10×1000 Tech for Inclusion”. Ma mengatakan program ini bertujuan membangun platform interaktif dan terbuka dalam meningkatkan dukungan bagi para pemimpin di bidang teknologi.

Program tersebut ditujukan bagi mereka  yang bergerak pada upaya mengurangi angka kemiskinan dan membuat layanan dasar keuangan untuk masyarakat di negara-negara berkembang. Indonesia adalah negara pertama yang dilibatkan di program ini.

“Saya percaya berinvestasi pada masyarakat berarti berinvestasi untuk masa depan. Membangun talenta merupakan salah satu tindakan penting yang dapat dilakukan oleh ekosistem Alibaba,” ujar Ma.

Program 10×1.000 Tech for Inclusion ini akan bekerja sama dengan mitra lokal dari sektor publik dan swasta di negara-negara berkembang. Serangkaian lokakarya yang berhubungan teknologi finansial akan dilaksanakan di Tiongkok dan berbagai negara. Lokakarya ini bertujuan untuk menginspirasi para pemimpin dan orang-orang berbakat di bidang teknologi untuk menjadi “Agen Perubahan” di era digital.

AI Copywriter Besutan Alibaba Siap Mudahkan Pekerjaan Copywriter Manusia

Profesi copywriter merupakan salah satu ujung tombak kreativitas berbagai industri. Kendati dituntut untuk memiliki kreativitas yang tinggi, tidak jarang para copywriter harus menghadapi pekerjaan repetitif sehari-harinya, semisal menuliskan frasa yang sama berulang kali untuk berbagai produk.

Kalau belajar dari pengalaman, kita semua tahu bahwa mesin atau robot merupakan kandidat yang paling tepat untuk beragam pekerjaan repetitif, dan copywriting pun tidak luput dari itu. Sebagai buktinya, Alibaba melalui divisi pemasaran digitalnya, Alimama, baru saja meluncurkan alat copywriting berbasis teknologi kecerdasan buatan.

AI Copywriter, demikian nama resminya, mengandalkan perpaduan teknologi deep learning dan natural language processing untuk mempelajari segudang contoh tulisan yang ada di situs e-commerce kepunyaan Alibaba, spesifiknya Tmall dan Taobao. Untuk menggunakannya, perusahaan atau pengiklan hanya perlu mencantumkan tautan produk dan memilih dari sederet opsi yang dihasilkan oleh sistem ini.

Alimama mengklaim bahwa AI Copywriter rancangannya telah berhasil melewati Uji Turing, serta sanggup menghasilkan sekitar 20.000 contoh teks pemasaran dalam waktu satu detik saja. Selain jumlah kata, gaya penulisannya pun juga bisa disesuaikan, apakah yang bersifat promosional, fungsional, atau bahkan yang terkesan puitis.

Sejauh ini sudah ada dua brand fashion ternama yang memanfaatkan AI Copywriter, yakni Esprit dan Dickies. Di samping itu, Alimama juga bilang bahwa teknologi ini telah digunakan lebih dari satu juta kali dalam sehari oleh para pedagang dan pemasar di situs-situs seperti Taobao, Tmall, Mei.com dan 1688.com.

Contoh tulisan hasil AI Copywriter di situs e-commerce Alibaba / Alibaba
Contoh tulisan hasil AI Copywriter di situs e-commerce Alibaba / Alibaba

Lalu yang mungkin menjadi pertanyaan terpenting adalah, jika Anda berprofesi sebagai copywriter, apakah ini pertanda tamatnya karir Anda? Tidak, sebab semua konten yang dihasilkan oleh AI Copywriter sebenarnya mengacu pada berbagai konten berkualitas yang dibuat oleh manusia.

Christina Lu, General Manager Alimama Marketing, mengatakan lewat siaran pers bahwa kreativitas manusia masih menjadi landasan bagi teknologi ini dikarenakan mesin tidak akan mampu menggantikan kreativitas seseorang. Sederhananya, AI Copywriter ini diciptakan justru untuk meningkatkan efisiensi kerja profesi copywriter, terutama untuk bagian-bagian repetitif seperti dalam proses revisi misalnya.

Jadi ketimbang harus menuliskan baris demi baris teks, fungsi copywriter bisa bergeser menjadi memilih opsi terbaik yang dihasilkan oleh sistem ini. Singkat cerita, peran manusia masih dibutuhkan di bidang copywriting. Anggap saja mereka naik pangkat menjadi supervisor selaku pemegang keputusan final, dengan anak buah yang bisa bekerja dengan sangat cepat.

Alibaba smart banner tool

Masih di seputar pemasaran, Alimama juga punya tool lain yang berfungsi untuk memudahkan proses desain spanduk digital secara cepat dan cerdas. Berbekal aset visual dan teks yang sudah ada, sistem dapat menghasilkan berbagai format dengan proporsi gambar yang bervariasi, semuanya semudah melakukan cropping gambar.

Tim desain sejatinya tinggal menentukan seberapa besar bidang spanduknya, maka sistem yang akan menyesuaikan proporsi kontennya. Berkaca pada cara kerja yang sama, Alibaba juga memanfaatkannya untuk merancang tool penyunting video, di mana brand bisa menggunakannya untuk menciptakan video promosional berdurasi 20 detik dalam waktu kurang dari satu menit.

Sumber: Alizila.

Alibaba dan Guess Demonstrasikan Kemudahan Berbelanja Busana di Toko Retail Masa Depan

Tidak bisa dipungkiri, Alibaba merupakan salah satu yang terdepan dalam mengimplementasikan konsep toko retail masa depan. Raksasa teknologi asal Tiongkok tersebut begitu gencar mempromosikan dan mendemonstrasikan visinya yang bertajuk “New Retail”, dan kolaborasi terbaru mereka bersama brand fashion Guess tidak luput dari konsep tersebut.

Keduanya membuka sebuah toko konsep bernama FashionAI guna mendemonstrasikan kemudahan berbelanja busana di masa depan, yang ditunjang oleh infrastruktur berbasis artificial intelligence. Di dalam toko yang hanya dibuka selama beberapa hari itu, tersembunyi beragam inovasi teknologi yang sangat menarik.

Alibaba FashionAI Concept Store

Yang paling utama adalah kehadiran cermin pintar di sejumlah sudut toko, berfungsi untuk menyuguhkan rekomendasi produk berdasarkan pakaian yang konsumen ambil, sehingga konsumen bisa mendapat gambaran berbagai gaya busana yang cocok. Dalam implementasinya, Alibaba juga memanfaatkan teknologi computer vision dan RFID (radio-frequency identification).

Dari situ konsumen bisa menuju ke ruang ganti untuk mencoba sejumlah pakaian yang hendak dibelinya, akan tetapi mereka tidak perlu membawa apa-apa. Cukup pilih pakaian yang diinginkan dan tambahkan ke keranjang belanja virtual melalui cermin pintar itu tadi, maka pegawai toko akan mengantarkannya ke ruang ganti.

Alibaba FashionAI Concept Store

Di dalam ruang ganti, konsumen akan kembali disambut oleh sebuah cermin pintar, tapi kali ini tentu saja tanpa ada satu pun kamera. Di situ fungsinya adalah untuk memilih varian warna atau ukuran lain dari pakaian yang dijajal, dan sesaat setelahnya pegawai toko lagi-lagi akan mengantar varian lain sesuai permintaan konsumen.

Bagaimanapun juga, membeli pakaian tetap lebih enak di toko fisik ketimbang online. Inisiatif Alibaba ini sejatinya punya potensi untuk menyelamatkan bisnis retail fashion yang belakangan sering diberitakan terus merosot seiring bertambah banyaknya toko dari berbagai brand yang ditutup.

Sumber: Engadget dan Alizila.

Lazada Announces New Office and Additional Feature for Seller and Consumer

In providing more benefits for sellers and consumers, Lazada e-commerce comes with a new feature. With the hashtag #LazNgobrolYuk, Lazada Indonesia has launched a ChatNow feature to facilitate sellers and consumers.

This feature bound to convince potential customers by live communication through the app. It can also be used to build positive relationships. By that means, sales can be easier and more transparent by appreciating customer service.

“Lazada wants the sellers to provide better customer service not only offline but also offline. Therefore, we launch the chat feature,” Haikal Bekti Anggoro, Head of Digital Marketing of Lazada Indonesia, claimed.

Moreover, Lazada Indonesia also provide select new features for sellers. Among those are, store builder, business analysis involving data analytics for potential clients wishlist and sales performance in desktop and application.

“In the business analysis, sellers can view the consumer’s behavior and how a store can give bonuses, discounts, and vouchers to users based on data analytics prepared by Lazada Indonesia,” Felicia Natalie Wijaya, Head Seller Service & Training of Lazada Indonesia, said.

New office

Lazada Indonesia has moved to a new office in Capital Place Building, South Jakarta. The two-floored office comes with auditorium, lounge, dining room, and working space with open space concept.

Filled with blue and natural colors, Lazada’s signature, the new office has a wide space and designed to comfort and accommodate the increasing number of employees.

Flash Sale

Achmad Alkatiri – CMO Lazada Indonesia
Achmad Alkatiri – CMO Lazada Indonesia

One of the regular activities held by Lazada Indonesia is Flash Sale. It is to sell products from selected brands in short period. Despite the benefits for sellers to increasing sales, there are many who took advantage of this event by purchasing loads of goods, but most of them are not the end consumers.

“We’ve heard of the middlemen existence who perform such activities. However, it can be assured with our tight filtering process, we’ve anticipated such consumers,” Achmad Alkatiri, CMO of Lazada Indonesia, said.

In this case, Lazada Indonesia will cancel the order of more than one items and set a limit for purchase. They also denied any allegation regarding Flash Sale that only provides limited items.

“We can assure by the time the Flash Sale start, thousands of products are available. If it sells fast, we ensure the reason was not a lack of stock,” Alkatiri said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Resmikan Kantor Baru, Lazada Indonesia Tambah Fitur Baru untuk Penjual dan Pembeli

Bertujuan untuk memberikan keuntungan lebih kepada penjual dan pembeli, layanan e-commerce Lazada Indonesia kembali meluncurkan fitur baru yang bisa dimanfaatkan penjual dan pembeli. Mengusung tagar #LazNgobrolYuk, Lazada Indonesia menghadirkan fitur Chat Now yang diklaim akan memberikan kemudahan untuk pengguna dan juga penjual.

Fitur Chat Now ini diharapkan bisa membantu meyakinkan calon pembeli, karena komunikasi langsung melalui aplikasi. Fitur Chat Now juga bisa dimanfaatkan penjual untuk membina relasi yang positif. Dengan demikian proses penjualan bisa lebih mudah, transparan dengan mengedepankan layanan pelanggan.

“Lazada inginnya para penjual juga bisa memberikan layanan pelanggan yang baik secara online, bukan secara offline saja. Dengan alasan itu fitur Chat kami luncurkan,” kata Head of Digital Marketing, Lazada Indonesia Haikal Bekti Anggoro.

Selain fitur Chat Now, Lazada Indonesia juga memberikan fitur pilihan untuk penjual. Di antaranya adalah, pembuatan toko (store builder), fitur analisis bisnis yang mencakup data analytics untuk wishlist calon pembeli dan performa penjualan di desktop dan aplikasi.

“Di analisis bisnis nantinya penjual bisa melihat consumer behavior dari pembeli dan bagaimana toko bisa memberikan bonus, diskon, dan voucher kepada pembeli berdasarkan data analytic yang disediakan oleh Lazada Indonesia,” kata Head Seller Service & Training Lazada Indonesia Felicia Natalie Wijaya.

Kantor baru

Kini Lazada Indonesia memiliki kantor baru yang bertempat di Gedung Capital Place, Jakarta Selatan. Kantor yang menempati dua lantai ini dilengkapi dengan auditorium, lounge, dining room, dan ruangan kerja dengan konsep open space.

Sarat dengan warna natural dan biru, yang merupakan signature color dari Lazada, kantor baru Lazada Indonesia memiliki ruangan yang luas dan didesain untuk memberi kenyamanan dan menampung jumlah pegawai yang makin bertambah.

Flash Sale

Achmad Alkatiri - CMO Lazada Indonesia
Achmad Alkatiri – CMO Lazada Indonesia

Salah satu kegiatan yang rutin digelar oleh Lazada Indonesia adalah Flash Sale. Yaitu kegiatan menjual produk dari brand terpilih untuk jangka waktu yang cepat. Meskipun mengklaim kegiatan ini memberikan keuntungan kepada penjual menambah volume penjualan,  tidak dapat dipungkiri masih banyak oknum yang menyalahgunakan kegiatan ini dengan sengaja membeli barang dalam jumlah banyak dan kebanyakan bukan end consumer.

“Kami memang sudah mendengar adanya oknum (tengkulak) yang melakukan kegiatan tersebut. Namun bisa dipastikan dengan proses filtering ketat dari kami, sudah kami antisipasi jika adanya kategori pembeli tersebut,” kata CMO Lazada Indonesia Achmad Alkatiri.

Dalam hal ini, Lazada Indonesia akan membatalkan pesanan barang yang lebih dari satu dan memberikan batasan jumlah barang yang bisa dibeli. Lazada Indonesia juga membantah adanya dugaan bahwa dalam kegiatan Flash Sale, hanya menyediakan barang dalam jumlah yang sedikit.

“Bisa kami pastikan bahwa saat Flash Sale digelar, ribuan produk sudah kami siapkan. Jika penjualan laku cepat dalam waktu yang singkat, kami jamin bukan karena barang tersebut sedikit jumlahnya,” kata Achmad.

Application Information Will Show Up Here

Sabar Menanti Transaksi “Cashless” yang Mulus di Indonesia

“Zaman sekarang lebih khawatir enggak bawa ponsel daripada bawa dompet.”

Tuturan ini sering dilontarkan oleh orang-orang urban saat dihadapkan pada pilihan barang apa yang mereka selalu bawa sebelum beraktivitas di luar rumah.

Wajar saja mereka berkata demikian karena di dalam ponsel berisi berbagai aplikasi pendukung kegiatan keuangan yang semuanya hanya cukup dilakukan lewat genggaman jari saja. Semuanya berkat produk keuangan yang bermunculan dari berbagai perusahaan, dengan variasi layanan yang ditawarkan memberi andil besar sebagai upaya dukung program pemerintah gerakan nasional non tunai.

Akan tetapi, apakah pilihan dari orang urban ini berlaku juga untuk yang berada di daerah rural? Saya menyangsikan itu. Transaksi tunai masih menjadi raja di Indonesia. Bank Indonesia mencatat sepanjang tahun 2017 peredaran uang mencapai Rp694,8 triliun atau naik 13,4% dari tahun sebelumnya.

“Kita tahu kemajuan pembayaran nontunai pesat namun data menunjukkan kebutuhan untuk memenuhi tunai tidak berkurang,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Suhaedi dikutip dari Okezone.

Mata uang Indonesia / Pixabay
Mata uang Indonesia / Pixabay

BI memprediksi kebutuhan uang tunai akan meningkat 10%-12% pada tahun ini lantaran sudah memasuki tahun politik, sehingga banyak agenda politik yang akan menstimulus kegiatan ekonomi, khususnya konsumsi.

“Kami perkirakan di rentang 10-12 persen, tapi kami akan lihat terus karena semuanya bergantung pada faktor pertumbuhan ekonomi,” terangnya.

Tentunya, kondisi tersebut menjadi kontradiktif dengan program pemerintah yang sudah digadang-gadang sejak 2014 silam. Kendati secara perlahan porsi transaksi dengan uang elektronik mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Dari statistik BI, volume transaksi uang elektronik di 2017 mencapai 943,31 juta transaksi dan nominalnya Rp12,37 triliun. Sementara pada 2016, volumenya mencapai 683,13 juta transaksi dengan nominal Rp7,06 triliun.

Ketika transaksi tunai masih merajai di Indonesia, orang urban mau tak mau harus tetap memiliki cadangan uang tunai di sakunya untuk berjaga-jaga bila terjadi suatu. Entah mereka tiba-tiba ingin jajan di kaki lima, membayar mikrolet, membeli minum di minimarket, atau sebagainya.

Masalah cashless di Singapura

Indonesia tidak sendiri saat harus menghadapi fakta bahwa tunai masih jadi raja. Negara terdekat kita, Singapura juga mengalami masalah serupa. Meski mereka adalah negara maju, dijuluki sebagai negara dengan biaya hidup termahal di dunia. Negara tersebut belum bisa move on dari transaksi tunai.

Dikutip dari The Straits Times, Singapura memiliki terlalu banyak skema sistem pembayaran. Hal ini membuat warganya jadi bingung hingga pada akhirnya kembali beralih ke transaksi tunai. Lagipula, untuk mendapatkan uang tunai konsumen cukup mudah menemukan mesin ATM minimal radius 500 meter di manapun mereka berada.

Belum lagi, ketika beralih ke non tunai, konsumen dikenakan biaya layanan. Besarannya bervariasi, ketika bayar taksi dengan kartu kredit konsumen dikenakan biaya tambahan 10%. Bahkan ketika menggunakan kartu e-money EZ Link untuk membayar MRT, LRT, bus, dan beberapa outlet lainnya, konsumen dikenakan biaya 25 sen Dollar Singapura untuk tiap transaksi.

Untuk naik transportasi umum di Singapura cukup memakai kartu e-money EZ Link / Pixabay
Untuk naik transportasi umum di Singapura cukup memakai kartu e-money EZ Link / Pixabay

Tak hanya konsumen yang mengeluh karena tambahan biaya, merchant pun demikian. Mereka dikenakan biaya MDR sebesar 3% ketika menerima pembayaran via Visa, Mastercard, ataupun platform e-money seperti Apple Pay, Samsung Pay, dan Google Pay.

Ditambah lagi dengan kondisi settlement terhitung cukup lambat ketika konsumen membayar ke merchant secara elektronik. Bisa satu sampai dua hari pembayaran dicairkan ke rekening merchant.

Kondisi yang dialami Singapura ini menjadikan negara tersebut ketinggalan jauh dengan Tiongkok.

“Merana” membayar di Tiongkok

Ketika jadi turis di Singapura, tipsnya cukup beli kartu EZ Link dan uang tunai secukupnya, Anda semua sudah bisa berkeliling seantero negara dengan puas. Apalagi, sudah ada bank lokal yang buka cabang di Singapura, seperti BCA, Bank Mandiri, BNI, BRI, dan Bank Panin meski tidak banyak.

Turis Indonesia bisa dengan leluasa belanja tanpa khawatir uang tunainya habis. Bila punya cadangan kartu kredit, bisa pakai dulu. Toh, money changer juga banyak bertebaran di sana.

Kondisi tersebut hampir 360 derajat berbeda ketika turis Indonesia mengunjungi Tiongkok. Hampir semua kota besar di sana sudah mengimplementasi transaksi uang non tunai. Pemain besar di sana adalah dua platform yang sering terpampang di berbagai outlet, yakni Alipay dan WeChat Pay.

Transaksi digital menggunakan Alipay di minimarket di Tiongkok / Ant Financial
Transaksi digital menggunakan Alipay di minimarket di Tiongkok / Ant Financial

Baik WeChat Pay dan Alipay memiliki jaringan merchant dan pengguna yang luas. Hampir setiap outlet menerima metode pembayaran dari kedua perusahaan tersebut. Penetrasinya yang kuat di Tiongkok menjadikan warganya sudah terbiasa untuk membayar apapun dengan cara online. Belanja di kaki lima, memberi uang ke pengemis, pengamen saja cukup scan pakai QR Code saja.

Bisa saja sebenarnya ketika meminta opsi pembayaran dengan tunai, namun sebaiknya perlu sediakan uang pas. Karena kondisinya saat ini merchant jarang sekali menyediakan uang tunai sebagai kembaliannya.

Itu yang saya alami ketika berkunjung ke salah satu mall di Hangzhou, di sela-sela undangan Alibaba untuk sejumlah media asal Indonesia. Kami memesan taksi online dari aplikasi Didi Chuxing. Pengemudi tetap meminta kami untuk membayar via Alipay, meski sebelum memesan sudah menandai bahwa kami membayar dengan tunai. Akhirnya dia tetap menerima uang tunai kami, dengan ekspresi yang sedikit kecewa.

Begitu pun saat membeli makanan cepat saji di bandara, pramuniaga terlihat kerepotan mencari uang kembalian. Hal itu menyebabkan lini antrian kami sedikit terganggu.

Akibat berbagai kesulitan tersebut, kami akhirnya jadi malas berbelanja. Lantaran hanya bisa menerima Alipay ataupun WeChat Pay, kartu bertanda Visa ataupun Mastercard saja jarang sekali kami temukan.

Keinginan untuk terdaftar sebagai pengguna Alipay timbul, hanya saja kita perlu rekening bank asal Tiongkok dengan memakai identitas paspor. Itu bisa memakan waktu. Belum lagi harus proses verifikasi saat mendaftar di Alipay.

Kami pun bertemu dengan pelajar Indonesia yang sedang menetap di sana untuk studi bernama Feby. Dia menuturkan dalam kesehariannya dirinya tidak perlu lagi bawa dompet karena semua transaksi dilakukan lewat Alipay.

“Ini lagi bawa dompet aja karena mau ketemu kalian (kami rombongan dari Alibaba), tapi sehari-hari sih enggak bawa dompet. Cukup bawa hape aja kalau mau kemana-mana. Disini juga aman banget,” ujar Feby.

Dia bilang untuk mendaftar sebagai pengguna Alipay, prosesnya cukup mudah. Banyak bank di Tiongkok yang sudah mendukung Alipay. Tinggal pilih saja bank yang diinginkan, ketika verifikasi selesai tinggal hubungkan saja dengan aplikasi.

Nanti rekening bank akan otomatis terhubung dengan Alipay. Semua pembayaran akan terpotong dari saldo rekening bank. Tinggal scan QR Code atau pakai facial recognition untuk pembayarannya.

Membawa pengalaman ke negara lain

Alipay dan WeChat Pay sadar bahwa agar terus berkembang, perlu inovasi tak henti-henti demi menjaring pengguna baru sebanyak-banyaknya. Untuk itu kedua perusahaan memboyong layanannya tersebut ke berbagai negara.

Alipay sudah merilis aplikasi versi spin-off untuk menyasar pengguna baru dari Hong Kong, AlipayHK. Sebelum merilis aplikasi tersebut, sebenarnya Alipay sudah hadir di sana. Dengan AlipayHK, untuk pertama kalinya mereka menerima mata uang di luar Renmimbi.

WeChat Pay tak mau kalah. Kini ia bisa digunakan para ekspat yang tinggal di Tiongkok dan warga Hong Kong, Macau, dan Taiwan. Cukup menghubungkan kartu berlogo JCB, Mastercard, dan Visa.

Inovasi tersebut memang sifatnya masih terbatas, namun menjadi sinyal bahwa kedua perusahaan tidak bisa selamanya menganut sistem closed loop untuk jadi yang terdepan.

Indonesia pun ikut jadi sasaran Alipay. Induk usahanya Ant Finansial telah membentuk aliansi strategis dengan Grup Emtek untuk mendirikan perusahaan patungan DANA. Aplikasi ini sudah meresmikan kehadirannya, meski masih beta, dengan mengusung pendekatan open platform sehingga pengguna tidak perlu mengunduh DANA secara terpisah.

DANA dalam platform BBM

Sementara ini DANA baru tersedia di dalam platform BBM. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan pihak DANA akan meluncurkan aplikasinya secara tersendiri meski belum diungkapkan realisasinya.

Mengingat masih beta, pengalaman yang diberikan DANA belum secanggih dan se-seamless Alipay. Layanan yang baru tersedia adalah pembelian pulsa, membayar tagihan listrik, air, dan telepon, BPJS, dan pembayaran beberapa jenis cicilan. Untuk pengisian saldo, pihaknya masih menggunakan transfer bank.

Dalam rencananya, DANA sedang mempersiapkan implementasi pembayaran non tunai untuk segmen offline dengan memanfaatkan teknologi QR code. Perusahaan akan menggandeng warung tradisional sebagai mitranya. Rencana tersebut kan direalisasikan setelah Bank Indonesia membuat aturan standarisasi pembayaran dengan QR code yang masih digodok.

“Kami akan terus perkenalkan teknologi baru yang semuanya dilakukan secara in-house. Dalam tim kami, rasio engineer cukup mendominasi sekitar 70%-80%,” ucap CEO DANA Vincent Iswara.

Mudahnya berbelanja dengan Alipay

Selama perjalanan di Tiongkok, kami diajak berkeliling pihak Alibaba bagaimana konsep new retail dimanfaatkan, termasuk kemudahan pembayaran lewat Alipay.

Ada toko bacang tradisional bernama Wu Fang Zhai yang berdiri sejak 1999, kemudian bertransformasi penuh secara digital. Jadi setiap pesanan dan pembayarannya bisa dilakukan secara online.

Toko perdananya meluncur pada awal Januari 2018. Kini mereka sudah memiliki enam toko digital dari total 400 outlet yang mereka miliki seantero Tiongkok.

Konon Jack Ma hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja untuk berbicara langsung dengan pemilik toko bacang saat mengajak mitra perdana Alibaba. Sang pemilik langsung mengangguk menyetujui ajakan Ma ketika jam makan siang selesai.

“Dulu perlu 13 orang jaga toko, kini hanya satu orang saja. Itupun tugasnya hanya mengajarkan pengunjung bagaimana cara memesan makanan. Secara umum sales setelah bulan pertama diresmikan naik 40%,” ucap Kubei Business Catering Trade Operator Advisor Ant Financial Service Group Liszt.

Setelah implementasi ini, setiap pesanan mampu dilayani maksimal 15 menit tanpa restoran perlu menaikkan harga produknya sama sekali. Padahal sebelumnya membutuhkan waktu sampai 30 menit. Setiap harinya restoran digital tersebut menerima 300 pengunjung.

Tak hanya Wu Fai Zhang, toko lainnya juga mengimplementasi teknologi Alibaba seperti toko furnitur HomeTimes di Incity Mall, Hangzhou. Toko ini menyediakan barang-barang yang paling banyak dibeli warga sekitar dan tersedia di Taobao berdasarkan analisis big data.

Pengunjung bisa memilih mau beli barang secara online atau offline dari toko tersebut. Bila ingin belanja online, cukup scan QR Code dari barang yang diinginkan lewat Taobao untuk diarahkan ke katalog produk tersebut. Nanti barang akan dikirimkan ke alamat tujuan.

Jika ingin berbelanja secara offline, cukup ambil barang yang diinginkan nanti pengunjung cukup masuk ke kasir digital. Pengunjung berdiri di depan mesin sensor kasir, mesin akan menghitung barang yang masuk ke dalam keranjang. Daftar belanjaan akan muncul beserta total uang yang harus dibayarkan.

Berikutnya, pengunjung cukup scan QR Code untuk membayarnya dengan Alipay. Setelah sukses, pengunjung bisa keluar dari mesin sensor.

“Cara ini baru kami terapkan hari Senin lalu (16/4) hasilnya cukup menggembirakan karena lebih efisien, tidak perlu antre lagi,” ucap petugas HomeTimes.

Berikutnya kami juga diajak mengunjungi HEMA, toko supermarket milik Alibaba. Di supermarket tersebut, beberapa cabang di antaranya mengggunakan metode pembayaran dengan facial recognition, tak lagi dengan QR code.

Metode tersebut hanya berlaku ketika pengunjung sudah memverifikasi wajah mereka ke dalam sistem di Alipay. Dalam beberapa detik, mesin akan mengenali wajah dan secara otomatis saldo di Alipay akan terpotong sesuai total belanjaan.

Jika memutuskan untuk belanja online, pengguna hanya cukup memesan via aplikasi HEMA. Pengiriman akan dilakukan untuk pemesanan dengan radius maksimal 3 km saja dengan lama pengiriman 30 menit.

Dalam ekosistem HEMA, terdapat gabungan berbagai lini Alibaba seperti Tmall, bike sharing Ofo, dan penyedia layanan navigasi Autonavi, untuk memberikan pengalaman yang terbaik.

Sabar menanti

Lambang Ant Financial Services / DailySocial
Lambang Ant Financial Services / DailySocial

Teknologi mutakhir yang ditawarkan Alibaba lewat Alipay dan berbagai integrasi dengan anak-anak usahanya, merupakan pengalaman baru yang bisa dijadikan inspirasi untuk Indonesia. Bahwa integrasi layanan untuk menciptakan pengalaman transaksi yang seamless adalah sebuah kunci.

Kapan itu akan terjadi? Belum tahu, yang pasti harus perpanjang kesabaran kita semua. Ada banyak tahapan yang perlu diselesaikan, seperti Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang kini masih dalam tahap proses integrasi. BI menargetkan proses tersebut bisa selesai pada tahun depan.

Sejauh ini BI mencatat implementasi GPN sudah berjalan sesuai rencana, seperti standar nasional teknologi chip kartu ATM/debit atau National Standard Indonesian Chip Card Specification (NSICCS). BI juga sudah membentuk lembaga servis dan standar. Aturan soal QR Code targetnya bisa selesai sebelum Juni 2018 berbarengan dengan gerbang pembayaran nasional bagian kartu debit.

Menurut pihak BI, sebentar lagi juga ada implementasi single line dan multiline free flow. Beberapa bank mengaku juga mulai menyiapkan finalisasi terkait implementasi GPN kartu debit dan mulai mengedarkan kartu barunya tersebut ke publik.

Proses transaksi yang seamless itu masih panjang untuk bisa diterapkan di Indonesia. Untuk sementara, kita bisa menggunakan aplikasi yang sudah ada dan memanfaatkannya dalam pembayaran di berbagai merchant. Memang sudah ada yang bisa pakai dengan QR code, tapi pengalamannya belum sepadan dengan yang ditawarkan Alipay.

Kendati demikian, hal tersebut perlu diapresasi.  Suatu saat akan ada Alipay dan WeChat Pay versi Indonesia yang bisa menawarkan pengalaman seamless saat transaksi online. Sabar sabar saja dulu.

Belajar Bagaimana Alibaba Mendorong Penetrasi E-Commerce ke Pelosok

Kondisi bisnis e-commerce di Indonesia sering disamakan dengan Tiongkok. Banyak yang bilang, Indonesia saat ini adalah kondisi Tiongkok pada 10 tahun lalu. Indonesia diprediksi bisa memangkas ketimpangan waktu tersebut dalam waktu singkat.

Pernyataan tersebut didukung fakta masih berlangsungnya berbagai upaya dari pemerintah untuk membangun infrastruktur pendukung. Pekerjaan rumah terbesar pemerintah Indonesia adalah menghubungkan seluruh wilayah dengan koneksi internet dan mengintegrasikan sistem logistik untuk menekan biaya pengiriman.

Sesungguhnya urusan ketimpangan berlaku juga untuk Tiongkok. Dilihat dari segi ekonomi makro, negara Tirai Bambu ini masih mengalami disparitas, pusat perekonomian negara didorong kawasan timur ketimbang barat.

Persoalannya bagaimana mengurangi tingkat urbanisasi tak hanya menjadi PR untuk pemerintah setempat, tapi perlu bantuan dari pihak swasta. Alibaba punya jawaban tersendiri untuk mengatasinya dengan menggelar proyek Rural Taobao.

Rural Taobao pertama kali meluncur di akhir 2014. Sebenarnya proyek ini berawal dari ide yang berbau CSR, namun sudah dimasukkan ke dalam unit bisnis Taobao. Kendati demikian, belum menjadi unit bisnis yang bisa dimonetisasi karena sifatnya jangka panjang dan belum sampai ke tahap tersebut.

Kantor pusat Alibaba, dinamai Alibaba Campus di Hangzhou, Tiongkok / DailySocial
Kantor pusat Alibaba, dinamai Alibaba Campus di Hangzhou, Tiongkok / DailySocial

Kepada sejumlah media asal Indonesia, termasuk DailySocial, yang diundang Alibaba ke markasnya, perwakilan perusahaan menyebut proyek ini adalah ajang mempromosikan transaksi dua arah antara Tiongkok kawasan pedesaan dan perkotaan.

Warga desa menjadi sasaran empuk Alibaba, lantaran sekitar 600 juta dari 1,4 miliar penduduk Tiongkok tinggal di desa. Mereka bukan hanya menjadi sumber produk dan sumber daya yang dibutuhkan negara, namun juga memiliki daya beli yang besar.

Dikutip dari CNNIC (China Internet Network Information Center), tingkat penetrasi di kawasan pedesaan hanya 35,4% sedangkan kawasan urban mencapai 71% per Desember 2017. Kendati masih rendah, proporsi pengguna internet di desa terus meningkat.

Masih dikutip dari sumber yang sama, jumlah pengguna internet di area pedesaan meningkat 4% menjadi 209 juta sejak Desember 2016, mewakili 27% dari total pengguna internet di Tiongkok.

Secara kualitas jaringan, meski sangat terbatas namun sudah 4G. Ini masih menjadi PR karena rintangan geografis dan infrastruktur harga pendistribusian internet ke wilayah terpencil sangat mahal.

“Proyek ini sudah masuk ke versi 4.0 jadi kami lewati fase penetrasi internet lewat PC, melainkan langsung ke tahap smartphone. Jadi kami dorong warga desa untuk mengakses internet di smartphone dan berbelanja di sana dengan sinyal yang sudah 4G,” ucap pihak Alibaba.

Untuk melancarkan proyek ini, Alibaba bangun jaringan pusat pelayanan e-commerce di level kabupaten untuk menghilangkan keterbatasan logistik dan jalur masuknya informasi, serta kekurangan tenaga kerja dan pengetahuan seputar e-commerce.

Tempat tersebut dioperasikan oleh seorang agen yang direkrut dari komunitas lokal bernama “Perwakilan Rural Taobao”. Agen tersebut bertanggung jawab terhadap kabupaten masing-masing. Menerima upah melalui biaya pelatihan untuk memfasilitasi pesanan e-commerce dan menyediakan pelayanan lokal.

Di sana, pusat pelayanan sekaligus menjadi fasilitas penyortiran untuk paket yang masuk dari pesanan warga desa. Warga bisa langsung mengambil pesanan mereka atau dibantu pengirimannya oleh manager dengan radius maksimal pengiriman 3 km.

Lama pengiriman sejak order dikirim pun bervariasi tergantung provinsi. Bila masih dalam provinsi yang sama, barang akan sampai ke pusat pelayanan antara 1-3 hari, jika di luar provinsi bisa memakan waktu antara 4-5 hari. Rata-rata durasi pengiriman ini mirip dengan kondisi di Indonesia.

Hingga November 2017, Rural Taobao telah berdiri di lebih dari 30 ribu pusat pelayanan desa di 29 provinsi di Tiongkok. Diklaim lebih dari 10% dari populasi desa menjual produk online di Alibaba dengan pendapatan tahunan setidaknya RMB 10 juta (sekitar USD 1,6 juta).

Sejak pertama kali diluncurkan, Alibaba Group berkomitmen untuk berinvestasi sebanyak RMB 10 miliar (sekitar US$1,6 miliar) selama tiga sampai lima tahun untuk membangun 1.000 pusat operasi tingkat kabupaten dan 100 ribu pusat pelayanan desa di seluruh Tiongkok.

Selektif memilih agen

Dalam merekrut agennya, Alibaba menetapkan mereka harus bekerja penuh waktu, umumnya menargetkan penduduk muda yang paham akan internet dan pernah tinggal di perkotaan. Mereka juga harus bersedia kembali ke desanya masing-masing untuk mengembangkan pusat pelayanan Rural Taobao.

Tak sembarang Alibaba merekrut seorang agen. Para kandidat diharuskan mengikuti ujian untuk memastikan mereka memiliki kemampuan dan komitmen dalam melayani komunitas mereka. Selain menjadi agen berbelanja, mereka diharapkan dapat menawarkan sejumlah pelayanan yang bersangkutan dengan mata pencaharian penduduk desa dengan memanfaatkan ekosistem dari Alibaba Group.

Termasuk di dalam pelayanan ini adalah pelayanan berbelanja online, pengadaan pembelian kebutuhan bertani, pembayaran tagihan pemesanan tiket dan penginapan, membuat janji kunjungan medis, aplikasi simpanan bank, pelatihan pengusaha, dan berbagai tawaran budaya dan hiburan.

Berkunjung langsung ke lapangan

Tak hanya menjelaskan latar belakang dan informasi terbaru Rural Taobao, kami juga diajak menemui langsung dua pusat layanan di desa Leping dan Bainiu. Keduanya berlokasi di Kabupaten Qianchuan, Provinsi Zhejiang, Tiongkok.

Bainiu terkenal dengan produk kacang kenari. Warga desa memanfaatkan Taobao untuk memasarkan produk olahannya tersebut. Kami menemui Xu Bing Bing, pemasok kacang kenari. Kesehariannya, Xu membeli kacang dari para petani di desa sekitar, lalu memasoknya ke para pengolah, diberi rasa, dan dipasarkan melalui Taobao.

Xu mengenal Taobao sejak 2007, hasil ajakan teman-temannya yang sudah lebih dulu menggunakan. Dia menjadi salah satu dari 400 lebih warga yang telah merasakan dampak dari kehadiran layanan e-commerce terhadap lapangan pekerjaan, tanpa harus meninggalkan keluarga untuk bekerja di kota.

Desa ini hanya memiliki 500 keluarga dan memiliki 68 toko online di Taobao dan Tmall. Total penghasilannya mencapai RMB 350 juta (sekitar USD 55,7 juta) tahun lalu.

Selain Bainiu, kami juga mengunjungi desa Leping. Masih satu provinsi dengan Bainiu, namun jaraknya cukup jauh, sekitar 50 km. Di sana, kami menemui Zheng Weiling yang memilih kembali ke desa suaminya dan membuka pusat layanan di 2015. Sebelumnya ia bekerja di Shenzhen, namun memilih kembali ke desa demi menikmati lebih banyak waktu bersama keluarga.

Sebelum pusat layanan ini berdiri, warga desa Leping perlu menempuh jarak 20 km untuk mengambil barang yang mereka beli secara online. Kini 3 km saja. Zheng menceritakan ia banyak menghabiskan waktu untuk mengajarkan warga setempat tentang cara mengoperasikan komputer atau smartphone untuk membeli produk secara online.

Tempatnya tak hanya menjadi tempat parkir paket warga, namun juga menjual produk-produk populer bagi masyarakat setempat, seperti produk peralatan rumah tangga, material dekorasi, produk keperluan sehari-hari, serta bahan-bahan pertanian.

Zheng mengaku kini pendapatan bulanannya stabil di kisaran RMB 6 ribu (sekitar USD 955). “Sekitar 80-90 paket berdatangan setiap harinya, lalu kami pilah pilih kembali mana paket yang akan diantar, mana yang akan diambil langsung warga,” tutur Zheng.

Alibaba mengaku masih memiliki PR bagaimana bisa mengirim barang ke seluruh Tiongkok dalam waktu satu hari saja. Perusahaan mengerahkan berbagai inovasi dari lini unit usahanya untuk membantu mewujudkannya. Lewat Cainiao Network, contohnya. Sebagai perusahaan logistik, Cainiao kini memiliki 200 robot AGV (automated guided vehicles) yang ditempatkan dalam dalam salah satu gudang Alibaba di Huizhou.

Robot tersebut mampu memproses satu juta pengiriman dalam sehari atau tiga kali lebih efisien dari operasi manual. Robot bisa dipakai selama enam jam dan durasi charge hanya satu jam.

Indonesia bisa belajar

Indonesia memiliki banyak potensi produksi lokal yang layak dipasarkan. Upaya yang dilakukan Alibaba juga dilakukan perusahaan e-commerce di Indonesia dengan berbagai pendekatan.

Blanja menyediakan platform khusus UMKM, sementara Lazada secara bertahap mengedukasi mitra UMKM untuk go online dan berencana untuk mengajak mereka berdagang di platform global milik Lazada.

Ada juga Blibli yang memilih menggandeng Pos Indonesia dan memanfaatkan jaringan kantor dengan menempatkan kiosk Blibli InStore di Kantor Pos. Blibli ingin menyasar konsumen ke area rural tier dua dan tiga, yang terdiri dari pelanggan setia Kantor Pos, karyawan Pos Indonesia, sekaligus penduduk sekitarnya.

CEO Blibli Kusumo Martanto dan Direktur Utama Pos Indonesia Gilarsi W Setijono di depan kiosk Blibli InStore / DailySocial
CEO Blibli Kusumo Martanto dan Direktur Utama Pos Indonesia Gilarsi W Setijono di depan kiosk Blibli InStore / DailySocial

Mereka didorong bertransaksi lewat perangkat yang disediakan Blibli dan membayarnya secara tunai lewat Pospay. Setiap pesanan akan dikirim menggunakan Pos Kilat Khusus hingga retur barang secara gratis.

Ada banyak lagi inisiasi yang dilakukan perusahaan e-commerce untuk meningkatkan derajat UMKM lokal. Salah satu dampak yang diharapkan adalah berkurangnya tingkat urbanisasi dan naiknya ekonomi daerah.

 

Apakah Alibaba cocok untuk menjadi role model yang tepat? Meski tidak semuanya bisa diterapkan saat ini, kita bisa mencontoh bagaimana mengintegrasikan sistem terpadu yang dimiliki berbagai perusahaan logistik dan layanan e-commerce.

Yang Indonesia butuhkan adalah menekan ongkos logistik yang mahal dan memiliki jaringan internet yang stabil agar semakin banyak orang mau memanfaatkan platform online untuk berjualan ataupun membeli barang.

Inisiasi yang dilakukan antar perusahaan swasta dan BUMN sebenarnya sudah cukup nyata. Hanya saja butuh andil dari pemerintah di tengah-tengah untuk mengawal seluruh prosesnya.

Lalu hal-hal apa saja yang memerlukan kehadiran pemerintah? Jawabannya ada di peta jalan e-commerce. Semua sudah tertera jelas di sana, apa saja PR-nya, kapan tenggat waktunya selesai, dan sebagainya. Sejak diresmikan di tahun lalu, hingga sekarang belum ada langkah nyata implementasinya padahal peta jalan tersebut memiliki tenggat waktu sampai 2019. Itulah mengapa, baik Indonesia maupun Tiongkok, pada akhirnya memiliki PR masing-masing yang harus diselesaikan.