GudangAda Closes Series B Round with 1.49 Trillion Rupiah Funding

The B2B marketplace platform for FMCG, GudangAda, has secured another investment of $100 million or around 1.49 trillion rupiah. This is a series B funding round led by Asia Partners and Falcon Edge.

Also, Sequoia Capital India, Alpha JWC Ventures, and Wavemake Partners are participated in this funding. For GudangAda, this investment has exceeded its initial target, which was $75 million. With the additional funding, GudangAda has now raised a total investment of up to $135 million.

Falcon Edge’s Co-Founder, Navroz D. Udwadia said, after years of investing in a number of marketplace, Stevensang seemed to have the ability to execute business in a short time. Therefore, he is optimistic that GudangAda will become the largest marketplace for Indonesian MSMEs

“With our research and discussion with principals, wholesalers and retailers, we are confident in GudangAda’s return on investment (ROI) and the benefits it offers to the entire ecosystem,” he said.

Enhance the supply chain business

GudangAda’s Founder and CEO, Stevensang said the company is now in the right path to empower all players in the Indonesian supply chain ecosystem, from producers, distributors, wholesalers, to retailers. GudangAda said its services have been used by nearly half a million users in more than 500 cities in tier 1 to tier 3 with a comprehensive monetization model and complete ecosystem.

“We will expand GudangAda’s team and enhance our service ecosystem from logistics, payment systems (POS/SaaS), marketing, data, to financial services. We will also strengthen our position by developing artificial intelligence to offer the best personalized services to SME traders,” he said in an official statement.

Meanwhile, GudangAda’s CFO, JJ Ang said that investors’ enthusiasm has proven GudangAda’s success in building a platform with efficient capital while reaping growth. GudangAda is said to start monetizing its business since the first quarter of 2020.

GudangAda claims to be one of the B2B marketplace platforms with the fastest growth and most productive capital in the Southeast Asia region. Based on the records, GudangAda has raised $6 billion Net Merchandise Value (NMV) in less than three years.

Meanwhile, the total investment value is less than $35 million with an efficiency ratio of 170 times. Moreover, the GudangAda Logistik service has been recorded to have doubled every two months since its launching in mid-2020.

Applying the asset-light and capital-efficient business concept, GudangAda has collaborated with vehicle and warehouse business owners, including its MSMEs members. In addition, GudangAda offers a dynamic transportation and warehouse management service system to make it easier for partners to digitize their business.

GudangAda offers a one-stop solution for MSME players to make it easier to access various products. By targeting the FMCG sector, GudangAda has expanded its product categories to medicines, pharmaceuticals, and household appliances. Since the category expansion, GudangAda has experienced an increase in transactions from tens of thousands of MSMEs.

Currently, GudangAda has officially partnered with more than 65 principals, both local, national and multinational. One of these investments is used to expand cooperation with more principals.

MSME as the target market

In a general note, the number of MSME players in Indonesia is estimated to reach more than 65 million as of 2020. With the digital acceleration last year, SIRCLO’s e-commerce enabler report revealed that online retailers are expected to contribute 24% in 2022. In the report, sales on digital channels can be maximized, especially by FMCG brands which market everyday products.

B2B marketplace services such as GudangAda allow these MSME actors to get product stock more efficiently.

Actually, GudangAda is not thesole player in this sector. There are others, including Ula that also working on the existing potential. In addition, with a different approach, the online marketplace giants are promoting O2O strategies to make it easier for small traders to access various products — for example, by Mitra Bukalapak or Mitra Tokopedia.

The digitization, in the long term, also provides MSMEs with potential to gain more benefits, including financially. One of the scenarios started to be promoted is that recorded transaction data can be used as a credit scoring variable to help MSME players gain access to capital financing. Thus, it will support their efforts to increase the capability and size of the business they are starting.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Tutup Putaran Pendanaan Seri B 1,49 Triliun Rupiah

Platform B2B marketplace untuk FMCG, GudangAda kembali mengantongi investasi sebesar $100 juta atau sekitar 1,49 triliun rupiah. Investasi ini merupakan putaran pendanaan seri B yang dipimpin oleh Asia Partners dan Falcon Edge.

Adapun Sequoia Capital India, Alpha JWC Ventures, dan Wavemake Partners kembali berpartisipasi pada pendanaan ini. Menurut GudangAda, investasi ini telah melampaui target awal yang ingin dikumpulkan, yakni sebesar $75 juta. Dengan tambahan pendanaan baru, GudangAda kini telah mengumpulkan total keseluruhan investasi hingga $135 juta.

Co-Founder Falcon Edge Navroz D. Udwadia mengatakan, selama bertahun-tahun berinvestasi di sejumlah kategori marketplace, sosok Stevensang dinilai memiliki kemampuan eksekusi bisnis dalam waktu singkat. Maka itu, ia optimistis GudangAda menjadi marketplace terbesar bagi UMKM Indonesia

“Dengan penelitian dan percakapan yang kami lakukan dengan para prinsipal, grosir, dan pengecer, kami yakin dengan return on investment (ROI) GudangAda dan manfaat yang ditawarkan kepada seluruh ekosistem,” ujarnya.

Memperkuat bisnis di rantai pasokan

Founder dan CEO GudangAda Stevensang mengatakan, perusahaan kini berada di posisi tepat untuk memberdayakan seluruh pemain di ekosistem rantai pasokan Indonesia, mulai dari produsen, distributor, grosir, hingga pengecer. GudangAda mengatakan layanannya telah digunakan hampir setengah juta pengguna di lebih dari 500 kota tier 1 hingga tier 3 dengan model monetisasi komprehensif dan ekosistem lengkap.

“Kami akan memperbesar tim GudangAda dan memperkuat ekosistem layanan kami mulai dari logistik, sistem pembayaran (POS/SaaS), pemasaran, data, hingga layanan keuangan. Kami juga akan memperkuat posisi kami dengan mengembangkan kecerdasan buatan untuk menawarkan layanan personalisasi terbaik kepada para pedagang UKM,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Sementara CFO GudangAda JJ Ang menilai minat besar investor kali ini menjadi bukti keberhasilan GudangAda dalam membangun platform dengan modal efisien dan meraup pertumbuhan. GudangAda menyebut sudah mulai memonetisasi bisnisnya sejak kuartal pertama 2020.

GudangAda mengklaim sebagai salah satu platform B2B marketplace dengan pertumbuhan tercepat dan modal terproduktif di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan catatannya, GudangAda mengantongi Net Merchandise Value (NMV) sebesar $6 miliar dalam waktu kurang dari tiga tahun.

Sementara, nilai investasi terakumulasi kurang dari $35 juta dengan rasio efisiensi permodalan sebesar 170 kali. Kemudian, layanan GudangAda Logistik tercatat naik dua kali lipat setiap dua bulan sejak meluncur pertama kali di pertengahan 2020.

Menerapkan konsep bisnis asset-light dan capital-efficient, GudangAda telah bekerja sama dengan para pemilik bisnis kendaraan dan gudang, termasuk juga di antaranya dengan UMKM member GudangAda. Di luar kerja sama tersebut, GudangAda juga menawarkan sistem layanan manajemen transportasi dan gudang yang dinamis untuk memudahkan mitra mendigitalisasi bisnisnya.

GudangAda menawarkan one-stop solution kepada pelaku UMKM sehingga memudahkan akses berbagai produk secara efisien. Dengan menyasar sektor FMCG, GudangAda telah memperluas kategori produknya ke produk obat-obatan, farmasi, hingga peralatan rumah tangga. Sejak perluasan kategori ini, GudangAda mengalami peningkatan transaksi dari puluhan ribu UMKM.

Saat ini, GudangAda telah bermitra secara resmi dengan lebih dari 65 prinsipal, baik lokal, nasional, dan multinasional. Investasi ini salah satunya digunakan untuk memperluas kerja sama dengan lebih banyak prinsipal.

UMKM sebagai pangsa pasar

Sebagaimana diketahui, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diestimasi mencapai lebih dari 65 juta per 2020. Dengan percepatan akselerasi digital tahun lalu, laporan e-commerce enabler SIRCLO mengungkap bahwa peritel online diperkirakan dapat berkontribusi sebesar 24% di 2022. Dalam laporannya, penjualan di kanal digital dapat dimaksimalkan, terutama oleh brand FMCG yang memasarkan produk sehari-hari.

Layanan marketplace B2B seperti GudangAda memungkinkan para pelaku UMKM tersebut mendapatkan stok produk secara lebih efisien.

Sebenarnya tidak hanya GudangAda yang melakukan hal tersebut. Beberapa pemain lain seperti Ula juga menggarap potensi yang ada. Di samping itu dengan pendekatan berbeda, para raksasa online marketplace menggalakkan strategi O2O untuk memudahkan pedagang kecil mengakses berbagai produk — misalnya yang dilakukan oleh Mitra Bukalapak atau Mitra Tokopedia.

Digitalisasi proses tersebut, untuk jangka panjang, juga memberikan potensi bagi UMKM untuk mendapatkan manfaat lebih banyak, termasuk dalam kaitannya dengan finansial. Salah satu skenario yang mulai digalakkan, data-data transaksi yang dibukukan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu variabel skoring kredit untuk membantu pelaku UMKM mendapatkan akses pembiayaan modal. Sehingga akan mendukung upaya mereka meningkatkan kapabilitas dan ukuran bisnis yang dirintisnya.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Cerita Alpha JWC Ventures Mendukung Pendanaan Kopi Kenangan dan Startup Indonesia Lainnya

DailySocial bersama Kezia Tenggono dari Alpha JWC Ventures membuka cerita tentang bagaimana sebuah venture capital memberikan dukungannya melalui pendanaan terhadap startup-startup lokal.

Saat ini, Alpha JWC Ventures sendiri telah memberikan investasi terhadap banyak startup di Indonesia, termasuk Kopi Kenangan, GudangAda, dan Bobobox.

Kunjungi pula video-video lainnya di kanal YouTube DailySocial TV.

Startup Pengembang Aplikasi Bukugaji Raih Pendanaan 69,5 Miliar Rupiah

Vara selaku pengembang SaaS untuk pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di UMKM hari ini (13/7) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai $4,8 juta atau setara 69,5 miliar Rupiah. Investasi diperoleh dari sejumlah pemodal ventura, meliputi Go-Ventures, RTP Global, Alpha JWC Ventures, Surge dari Sequoia Capital India, FEBE Ventures, dan Taurus Ventures.

Bukugaji adalah aplikasi awal yang mereka kembangkan untuk pasar Indonesia. Di dalamnya meliputi layanan digital untuk daftar kehadiran hingga sistem penggajian. Solusi ini dilatar belakangi proses pengelolaan personalia di kalangan UMKM yang sebagian besar masih manual. Perangkat lunak SDM umumnya juga berharga yang relatif mahal bagi UMKM dan juga memiliki kompleksitas yang tinggi.

Kesulitan yang muncul dari pengelolaan SDM yang sporadis dan analog ini tak jarang mempengaruhi karyawan yang umumnya tidak pernah memiliki akses untuk mendapatkan riwayat pekerjaan formal. Salah satu masalah yang sering muncul adalah sulitnya akses bagi karyawan ini mendapatkan layanan finansial dari lembaga keuangan tradisional seperti bank.

Startup ini didirikan oleh Vidush Mahansaria dan Abhinav Karale sejak November 2020. Mereka juga sempat mengikuti program akselerasi Surge kohort kelima. Selanjutnya dana yang diperoleh akan difokuskan untuk mengembangkan produk dan meningkatkan kapabilitas fitur yang dimiliki Bukugaji. Sejauh ini aplikasi tersebut diklaim sudah digunakan untuk mengelola sekitar 100 ribu staf.

Untuk berbagai skala bisnis, sejauh ini ada berbagai startup yang menggarap layanan SaaS untuk pengelolaan SDM. Di antaranya Pegaw.ai, Catapa, Synergo, KaryaOne, Mekari, dan lain sebagainya.

Masuknya Bukugaji menambah panjang pemain digital di ekosistem yang menggarap segmen UMKM. Sebelumnya cukup ramai kehadiran pengembang aplikasi pencatatan arus kas bagi pelaku bisnis kecil oleh startup seperti BukuKas, BukuWarung, dan beberapa pemain lokal lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Lemonilo Confirmed as a Centaur, Entering the List of Indonesia’s Startups with Valuation Exceeded $100 Million

The new economy startup, a healthy food products developer, Lemonilo, recently secured a series B funding. The new round has further strengthened the its valuation, listed the company as one of the centaurs. According to our source, Lemonilo’s estimated valuation has reached around $300 million or equivalent to 4.3 trillion Rupiah.

Regarding Lemonilo’s entry into the centaur list, it is also confirmed by one of the participated investors in the investment round.

Lemonilo’s current list of investors includes Alpha JWC Ventures, Unifam Capital, and Seqouia Capital. Previously, East Ventures was also involved in the seed funding, but already exited.

The startup was founded in 2015 by Shinta Nurfauzia, Johannes Ardiant, and Ronald Wijaya. From producing healthy alternatives for instant noodles, the Lemonilo product category has now expanded, including food ingredients, beverages, even skin care product brands.

In this segment, Lemonilo competes with other players. There are several new economy startups entering this segment. In terms of healthy noodles, the wellness startup The Fit Company also produces Fitmee product variants.

Lemonilo’s Co-Founder & Co-CEO Shinta Nurfauzia in an interview with DailySocial.id revealed, it is expected that instant noodle are still the favorite, but they admit that they have quite a large demand for other products such as snacks.

The company is currently focused on developing product innovation, including to present new flavors. It is said that they have launched more than 40 types of products to this day. All of these products are sold on its own digital platform and are available at more than 100 thousand distribution points in various parts of Indonesia — including utilizing its reseller network.

From the very beginning, Lemonilo leveraged its self-developed technology platform – a website and an application – for product distribution and promotion.

“The area with most of Lemonilo’s customers is still Java. Lemonilo’s target by the end of this year is to add more product variants for customers,” Shinta added.

She also said that the fresh funds obtained in the last round will be channeled to expanding and strengthening its product distribution network in Indonesia, increasing the number of teams, developing and launching new products, as well as developing technology to better serve users.

Lemonilo intends to fill the market gap between high-priced imported healthy products and FMCG companies in the market. Every product developed by Lemonilo has three pillars: healthy, practical and affordable. Using this standard, every Lemonilo product is guaranteed to be free from 100+ potentially harmful ingredients (such as preservatives, flavor enhancers, and various synthetic ingredients) that are often found in other consumer goods products.

In the 2020 Startup Report, we recorded that by the end of 2020 there are 43 Indonesian startups had listed in the ranks of the centaurs. There are 6 of them have entered the ranks of late-stage centaurs with a valuation of over $500 million.

Startup Centaur Indonesia 2020
Indonesia’s centaur list 2020 / DSInnovate

Apart from Lemonilo, there are several startups has reached that certain valuation this year. Among those are BukuWarung, Ula, and BukuKas.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Lemonilo Masuk Jajaran Centaur, Tambah Panjang Daftar Startup Indonesia yang Capai Valuasi Lebih dari $100 Juta

Startup new economy pengembang produk makanan sehat Lemonilo belum lama ini membukukan pendanaan seri B. Perolehan di putaran baru tersebut makin mengokohkan valuasi perusahaan, hingga masuk ke jajaran centaur. Dari informasi yang kami dapat, estimasi valuasi Lemonilo telah mencapai sekitar $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah.

Soal masuknya Lemonilo ke centaur, kami juga mendapatkan konfirmasi dari salah satu pihak yang terlibat dalam putaran investasi mereka.

Jajaran investor Lemonilo saat ini termasuk Alpha JWC Ventures, Unifam Capital, dan Seqouia Capital. Sebelumnya East Ventures sempat terlibat juga di pendanaan awal mereka, hanya saja saat ini sudah exit.

Startup tersebut diinisiasi sejak tahun 2015 oleh tiga orang founder, yakni Shinta Nurfauzia, Johannes Ardiant, dan Ronald Wijaya. Berawal dari memproduksi alternatif mi instan sehat, kini kategori produk Lemonilo sudah meluas, meliputi produk bahan makanan, minuman, bahkan sampai brand produk perawatan kulit.

Di segmen ini, Lemonilo tidak bermain sendiri. Ada beberapa startup new economy yang juga masuk ke ranah tersebut. Untuk produk mi sehat sendiri, startup wellness The Fit Company juga memproduksi varian produk Fitmee.

Co-Founder & Co-CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia dalam kesempatan wawancara dengan DailySocial.id mengungkapkan, tidak dimungkiri saat ini produk mi instan masih menjadi terfavorit, namun mereka mengaku mendapati permintaan yang cukup besar untuk produk lain seperti camilan.

Inovasi produk saat ini juga tengah menjadi fokus perusahaan, termasuk untuk menghadirkan varian rasa baru. Disampaikan sampai saat ini mereka telah meluncurkan lebih dari 40 jenis produk. Semua produk ini dijual di platform digitalnya sendiri serta tersedia di lebih dari 100 ribu titik distribusi di berbagai wilayah Indonesia — termasuk memanfaatkan jaringan reseller yang dimiliki.

Sejak awal, Lemonilo memanfaatkan platform teknologi yang dikembangkan sendiri –berupa situs web dan aplikasi—untuk distribusi dan promosi produk.

“Area yang masih mendominasi sebagian besar pelanggan Lemonilo adalah pulau Jawa. Target Lemonilo hingga akhir tahun ini bisa menambah lebih banyak varian produk untuk pelanggan,” kata Shinta.

Ia juga mengatakan, dana segar yang didapat pada putaran terakhir akan difokuskan untuk ekspansi serta memperkuat jaringan distribusi produknya di Indonesia, menambah jumlah tim, mengembangkan dan meluncurkan produk baru, juga pengembangan teknologi untuk melayani penggunanya dengan lebih baik.

Lemonilo ingin mengisi market gap antara produk sehat impor berharga tinggi dengan perusahaan FMCG yang ada di pasar. Setiap produk yang dikembangkan oleh Lemonilo memiliki tiga pilar: sehat, praktis, dan terjangkau. Dengan standar ini, setiap produk Lemonilo dipastikan bebas dari 100+ bahan berpotensi bahaya (seperti pengawet, penguat rasa, dan aneka bahan sintetis) yang kerap ditemukan pada produk consumer goods lainnya.

Dalam Startup Report 2020 kami mendata, hingga akhir 2020 terdapat 43 startup Indonesia yang sudah masuk ke jajaran centaur. Bahkan 6 di antaranya sudah masuk ke jajaran centaur tahap akhir dengan valuasi di atas $500 juta.

Startup Centaur Indonesia 2020
Startup Centaur Indonesia 2020 / DSInnovate

Selain Lemonilo, tahun ini ada beberapa startup yang masuki ke valuasi tersebut. Di antaranya BukuWarung, Ula, dan BukuKas.

Application Information Will Show Up Here

Validasi Hipotesis Investasi Dorong Pemodal Ventura Lakukan “Follow-on Funding”

Dibandingkan dua tahun sebelumnya, pada Q1 2021 pendanaan startup di Indonesia terpantau mengalami peningkatan, baik dari sisi jumlah transaksi maupun nominal yang dibukukan. Dari catatan tim riset kami, di periode tersebut terdapat 40 transaksi, membukukan dana [dari 24 transaksi yang nilainya diumumkan] senilai $554,7 miliar atau setara 8 triliun Rupiah.

Secara kuantitas dan kualitas mengalami peningkatan. Menjadi menarik untuk diulas lebih dalam, melihat bagaimana tren terkini pendanaan startup, khususnya yang dilakukan pemodal ventura lokal yang notabenenya lebih dekat dengan ekosistem. Kami mencoba membedah data pendanaan mengambil sampel data transaksi pendanaan 2019-2020 terhadap pemodal ventura lokal yang paling aktif: East Ventures, Alpha JWC Ventures, dan AC Ventures.

Temuan menarik pertama yang kami tangkap, ada kecenderungan investor melakukan follow-on funding (pendanaan lanjutan) kepada startup yang sudah didanai di tahun sebelumnya. Ambil contoh yang dilakukan oleh AC Ventures, sepanjang di periode tersebut mereka terlibat dalam pendanaan seri A kepada 5 startup yang pada tahun sebelumnya juga diberi pendanaan seed. Secara total dari 18 transaksi, 8 di antaranya merupakan lanjutan dari 6 pendanaan yang diberikan sebelumnya.

Hal tersebut juga menjadi sebuah indikasi bahwa para pemodal sangat disiplin dengan hipotesis investasi yang telah didefinisikan.

Besaran tiket dan sektor potensial

Mengambil rata-rata dari transaksi yang dilakukan 3 pemodal ventura lokal teraktif, nilai yang diberikan untuk follow-on funding seri A dari setiap fund cukup beragam, di rentang $100 ribu s/d $1,5 juta. Beberapa memberikan nominal yang sama dengan perolehan di seed, lainnya meningkatkan beberapa kali lipat.

Pada tahapan seed nilai minimum yang diberikan berada di kisaran $65 ribu dan nilai tertinggi yang diberikan di kisaran $2 juta. Menariknya, nilai tertinggi pendanaan diberikan pada periode tahun 2021, baik di tahapan seed maupun Seri A.

Dilihat dari ticket size yang diberikan, beberapa sektor mendapatkan nilai yang signifikan. Dari nilai maksimum pendanaan seed yang diberikan, masing-masing pemodal ventura memiliki preferensi berbeda di sisi vertikal bisnis.

Sebagai catatan, ticket size ini selain diukur dari potensi market size suatu bisnis juga dipengaruhi berbagai faktor, termasuk dari internal startup.

Fintech, cloud kitchen, SaaS memiliki kecenderungan untuk mendapatkan nominal seed yang lebih tinggi dari lainnya; pun demikian dalam follow-on funding yang diberikan. Kendati demikian, pemodal ventura kebanyakan masih sektor agnostik. Contohnya yang dilakukan East Ventures yang tetap berinvestasi dalam berbagai vertikal di luar tiga tersebut, yakni ke loyalty, e-commerce, social commerce, wellness, dan beberapa lainnya.

Data akumulasi 2019-2021, SaaS mendapat perhatian lebih dari investor lokal mengantongi jumlah transaksi pendanaan terbanyak [13], lalu disusul fintech [12]. Sektor lainnya memiliki jumlah yang relatif lebih kecil, mulai dari edtech, logistik, on-demand, dan sebagainya.

Pendanaan lanjutan

Potensi founder lokal yang masih terus bisa digali membuat sebagian besar investor lokal masih memfokuskan pada pendanaan tahap awal. Namun demikian, mereka tetap memiliki alokasi khusus untuk memberikan pendanaan lanjutan. East Ventures sebelumnya memisahkan jenis pendanaan tersebut dengan mendirikan EV Growth, namun pada akhirnya dilebur kembali dalam satu entitas.

Dari tiga pemodal ventura lokal tersebut, sepanjang periode tercatat 16 transaksi pendanaan lanjutan (seri B ke atas). Jika dilihat lebih hampir semua merupakan follow-on funding dari investasi sebelumnya yang sudah diberikan. Nilai yang diberikan rata-rata di angka $3,8 juta untuk setiap partisipasi pemodal ventura, dengan nilai maksimal mencapai $9 juta.

Startup di bidang e-commerce, coworking space, SaaS, dan fintech yang mendapatkan fasilitas pendanaan lanjutan dari ketiga investor. Jika didalami, mereka adalah startup yang sudah mencapai tahap kematangan model bisnis dan tengah gencar melakukan ekspansi pasar, baik domestik maupun regional.

Indonesia VC investment trend 2021

Proyeksi 2021

Paruh pertama tahun ini hampir ditutup, sejauh ini transaksi pendanaan ke startup masih terus mengalir. Pemodal ventura juga masih terus mengeksplorasi peluang baru dengan berinvestasi pada founder. Di sisi lain, dukungan lanjutan untuk startup juga terus mengalir — terlebih saat ini ekosistem di Indonesia sudah mendapatkan perhatian lebih dari investor global.

Kemudian, tahun 2021 berpotensi membuka sejarah baru bagi ekosistem startup di Indonesia. Jika para unicorn berhasil melantai ke bursa, ada potensi exit besar bagi para pemodal ventura. Artinya ini memberi kesempatan dana-dana yang kembali bisa diputar untuk generasi pendiri berikutnya — mungkin dengan intensitas dan nominal yang jauh lebih besar.

Didasarkan tren yang ada sejauh ini, tahun 2021 diproyeksikan menjadi pembuka dekade yang baik. Pendanaan startup ditaksirkan mencatatkan nilai tertinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan hipotesis yang lebih matang, investasi pemodal ventura juga menjadi “seleksi alam” yang baik untuk melahirkan bisnis-bisnis digital yang lebih relevan dan tangkas.


Gambar Header: Depositphotos.com

Horizons Ventures Prioritaskan Indonesia dalam Ekspansinya ke Asia Tenggara

Horizons Ventures Ltd., atau dikenal sebagai firma investasi swasta milik taipan Hong Kong Li Ka-shing akan menjadikan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, sebagai prioritas pengucuran pendanaan selanjutnya. Mereka melihat, bahwa pandemi berhasil mendorong dan menguatkan ekonomi internet di wilayah tersebut.

Inisiatif ini pertama kali dikatakan salah satu co-founder mereka Solina Chau, seperti diberitakan Bloomberg. Sejauh ini mereka sudah berinvestasi ke tiga startup di Indonesia, yakni pada putaran seri A Ajaib, seri A Bobobox, dan pendanaan seri B Kopi Kenangan — mengumpulkan lebih dari $210 juta.

Di Indonesia, Richard Li salah satu kerabat Li Ka-shing juga menjadi salah satu board member di Tokopedia.

Di Indonesia, mereka bekerja bersama Alpha JWC Ventures, pemodal ventura sektor agnostik yang cukup aktif memberikan pendanaan bagi startup lokal. Ke depan keduanya berkomitmen untuk mengidentifikasi startup yang berpeluang untuk menjadi pemimpin pasar berikutnya.

Sebelumnya Horizons Ventures lebih banyak fokus di ekosistem Amerika Utara, Eropa, dan Israel. Beberapa portofolio ternamanya meliputi Zoom, Facebook, Slack, Waze, hingga Spotify. “Di masa lalu, kami merasakan lebih banyak inovasi, peluang, dan pendiri berlatarbelakang sains dan teknologi di AS, Eropa, dan Israel; tetapi sekarang kami melihat Indonesia  dan lebih Asia Tenggara secara umum,” ujar Frances Kang selaku Direktur Horizons Ventures.

Ia juga mengatakan bahwa perusahaan akan mengerahkan lebih banyak dana modal ke wilayah tersebut. Dan telah membentuk tim lokal untuk mulai mencari peluang di sana.

Pandemi menjadi validasi

Pemodal ventura lain yang memutuskan ekspansi ke Asia Tenggara dan menjadikan Indonesia sebagai fokus utama adalah Lightspeed Venture Partners. Dalam sebuah wawancara, firma investasi berbasis utama di Amerika Serikat tersebut menyebutkan besarnya potensi pasar dan pendiri di Indonesia menjadi landasan utama ekspansi mereka. Sebelumnya mereka sudah berpartisipasi dalam pendanaan beberapa startup termasuk Shipper, Chilibeli, Ula, dan Grab.

Dalam sebuah paparan hasil riset oleh Alpha JWC Ventures bersama Kearney, Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan akan lebih banyak pemodal ventura asing yang berinvestasi di ekosistem startup Indonesia. “Investasi di sektor teknologi menggiurkan bagi investor, terbukti dengan jumlah yang terus bertambah bahkan hingga 2 kali lipat meskipun saat pandemi,” ujarnya.

Ada beberapa alasan mengapa saat pandemi masih banyak pemodal ventura yang kemudian menggelontorkan dana mereka kepada startup Indonesia. Mulai dari perkembangan makro ekonomi positif, meningkatnya kualitas startup dan founder, adopsi digital yang lebih cepat selama pandemi, hingga upaya pemerintah memajukan ekosistem di kota tier-2 dan 3 dan tentunya infrastruktur digital yang makin membaik.

Selain itu beberapa investor regional juga mengatakan menaruh perhatian lebih ke ekosistem startup Indonesia, di antaranya Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Beenext, Accelerating Asia, Sequoia Capital, dan lain-lain.

Besarnya Minat Pemodal Ventura Lokal hingga Asing Berinvestasi di Startup Indonesia

Dalam paparan riset yang dilakukan oleh Alpha JWC Ventures bersama Kearney terungkap, masih banyak pemodal ventura lokal hingga asing yang berencana untuk berinvestasi kepada startup Indonesia.

Dalam salah satu rangkaian webinar #StartupUntukNegeri yang diinisiasi Amazon Web Services dan DailySocial, Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, saat ini masih tersedia dana simpanan para VC yang telah dibukukan sejak tahun 2020. Namun yang membedakan kegiatan investasi saat pandemi adalah, proses due diligence dan kurasi yang makin ketat.

“Investasi di sektor teknologi menggiurkan bagi investor, terbukti dengan jumlah yang terus bertambah bahkan hingga 2 kali lipat meskipun saat pandemi. Ke depannya saya melihat akan makin banyak venture capital yang lebih berhati-hati ketika ingin memberikan investasi kepada startup Indonesia.”

Ada beberapa alasan mengapa saat pandemi masih banyak permodal ventura yang kemudian menggelontorkan dana mereka kepada startup Indonesia. Mulai dari perkembangan makro ekonomi positif, meningkatnya kualitas startup dan founder, adopsi digital yang lebih cepat selama pandemi, hingga upaya pemerintah memajukan ekosistem di kota tier 2 dan 3 dan tentunya infrastruktur digital yang makin membaik.

“Kemajuan teknologi juga dibantu dengan penetrasi internet di tanah air serta kemampuan belanja serta pembagunan infrastruktur di Indonesia, menjadi faktor yang kemudian menarik untuk dilirik oleh para investor. Ke depannya saya melihat akan bertambah lagi pertumbuhan digital di ekonomi digital Indonesia,” kata Jefrey.

Ditambahkan olehnya, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi untuk menjadi raksasa di regional. Saat ini menjadi momen yang tepat bagi Indonesia untuk tumbuh, didukung dengan jumlah populasi yang besar, yang didominasi oleh usia produktif dan berbakat.

Edukasi dorong adopsi digital

Menurut Shirley Santoso selaku Partner & Presiden Direktur Kearney, meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi digital masih terkonsentrasi di kota tier 1 seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, namun melihat potensi yang ada kota di tier 2 seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar sudah mulai menunjukkan pertumbuhan yang baik. Demikian juga dengan kota-kota di tier 3 seperti Magelang, Prabumulih, dan lainnya. Yang menjadi tantangan tentunya adalah kemauan dan inisiatif dari mereka untuk mulai mengadopsi teknologi.

“Kebanyakan dari mereka masih belum bersedia untuk mengeluarkan biaya lebih untuk membeli paket data atau menggunakan smartphone. Mereka masih cukup nyaman menggunakan cara-cara tradisional.”

Untuk memicu lebih banyak lagi masyarakat di kota tier 2 dan 3 mengadopsi teknologi, kegiatan edukasi kemudian wajib untuk dilancarkan. Bukan hanya dari pemerintah, namun juga startup hingga perusahaan teknologi yang ingin meng-cater kebutuhan mereka.

“Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh kota-kota di tier 2 dan 3, memiliki potensi besar bagi mereka untuk menjadi kontributor inti bagi digital ekonomi di Indonesia ke depannya,” kata Shirley.

Terkait dengan bisnis UMKM, saat ini sudah mulai banyak yang memanfaatkan teknologi untuk membantu bisnis mereka tumbuh lebih baik lagi. Namun kebanyakan dari mereka masih cukup pasif mengurus bisnis, dan hanya terbatas di penjualan, pembukuan, sourcing dan pengaturan inventori. Hanya sedikit di antara mereka yang kemudan menggunakan teknologi secara menyeluruh.

“Mayoritas masih melakukan kegiatan usaha secara tradisional, namun demikian awareness mereka akan produk digital cukup tinggi. Untuk itu penting diberikan edukasi solusi digital yang bisa membantu mereka,” kata Jefrey.

Jefrey menyimpulkan, teknologi dapat mengubah secara positif bagi bisnis UMKM, namun dibutuhkan kegiatan yang lebih untuk mendorong pertumbuhan tersebut yaitu melalui edukasi. Untuk itu bagi startup dan perusahaan teknologi yang ingin menyasar kepada pelaku UMKM, harus ada penawaran yang jelas dan solusi yang benar-benar dibutuhkan pengguna.

Gambar Header: Depositphotos.com

Alpha JWC: Kota Tier 2 dan 3 Menjadi Kunci Lompatan Ekonomi Digital di Indonesia

Alpha JWC Ventures bersama Kearney menerbitkan laporan terbaru terkait potensi pertumbuhan digital non-metropolitan di Indonesia. Laporan berjudul “Unlocking the next wave of digital growth: beyond metropolitan Indonesia” ini merupakan hasil kolaborasi dengan Credit Suisse, Amazon Web Service (AWS), dan Xiaomi Indonesia.

Dalam paparannya, Co-Founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, pihaknya ingin memberikan pemahaman lebih dalam mengenai potensi pertumbuhan digital di kota-kota tier 2 dan 3 Indonesia. Tujuannya tak lain untuk menarik minat investor global sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan digital di area tersebut.

Laporan ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) di berbagai industri yang tersebar di 13 kota tier 2 dan 3, serta hasil survei terhadap 2.100 responden consumer dan 1.100 retailer di 23 kota di Indonesia.

Investasi digital Indonesia di 2020

Sebagai pembuka, laporan ini mengungkap investasi digital di Indonesia naik dua kali lipat di 2020 dengan total nilai $4,4 miliar (Rp64,1 triliun) dari $2,1 miliar di 2019. Menariknya, meski total nilai investasi digital naik secara tahunan, jumlah kesepakatan (deal) tercatat turun dari 221 menjadi 173 deal.

“Pandemi Covid-19 membuat investasi startup di early stage hingga Pra Seri A menurun. Startup di later stage dan sudah punya traction bagus, mendapat alokasi pendanaan yang besar. Contoh, Ajaib menerima pendanaan Seri A yang saya pikir terbesar di Indonesia,” ujar Jefrey.

Menurut Jefrey, investor mengucurkan banyak investasi di Indonesia, tetapi masih menahan diri dan berhati-hati. Terlebih due diligence masih sulit dilakukan di situasi pandemi Covid-19. Kendati demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan 15 investor, sebanyak 80% mengaku optimistis investasi di sektor digital bakal kembali naik di Indonesia.

Hal ini diperkuat sejumlah faktor, antara lain meningkatnya pertumbuhan marko ekonomi, adopsi layanan digital, hingga upaya pemerintah mendorong ekosistem startup digital di kota tier 2 dan 3.

Potensi digital non-metropolitan

Salah satu temuan menarik yang turut disoroti dalam laporan ini adalah potensi dan proyeksi kontribusi kota-kota di tier 2 dan 3 terhadap ekonomi digital Indonesia. Untuk memberikan paparan mendalam, Nielsen turut berpartisipasi memetakan informasi yang diperoleh di lapangan.

Berdasarkan klasifikasi laporan ini, tier 1 (metropolitan) terdapat 15 kota, tier 2 (rising urbanites) ada 76 kota, tier 3 (slow adopter) ada 101 kota, dan tier 4 (rigid watchers) ada 322 kota di Indonesia. Periset menggunakan beberapa skor parameter untuk mengklasifikasikan kota, antara lain expenditure per capita (35%), ukuran populasi (25%), penetrasi internet (20%), GDP provinsi (10%), dan kepadatan penduduk (10%).

Secara umum, pertumbuhan ekonomi digital di kota-kota tier 2 dan 3 diestimasi naik lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Dari sejumlah wawancara dengan responden C-Level di startup SME, fintech, dan social commerce, konsumen di tier 2 dan 3 tumbuh signifikan sehingga ekspektasi pertumbuhan dalam 1-2 tahun ke depan diharapkan 50% datang dari luar Pulau Jawa.

Saat ini, metropolitan tercatat masih berkontribusi besar (24%) terhadap GDP nasional. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi di area non-metropolitan juga meningkat pesat. Apabila potensi digital di tier 2 dan 3 dapat dikembangkan secara signifikan, kontribusi GDP-nya dapat naik 3-5% di 2030, dan GDP Jakarta otomatis bakal menyusut 5-6%.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 80% dari total populasi di area non-metropolitan merupakan segmen yang terlambat mengadopsi teknologi (laggards). Karena dominasi laggards di tier 2 dan 3, sebanyak 50% responden mengaku tidak tahu (aware) dengan sejumlah aktivitas digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Laporan ini menemukan bahwa e-commerce (66%) merupakan aktivitas yang paling dikenali responden. Sementara, awareness untuk aktivitas digital lain tidak sampai 50%, antara lain ride hailing (47%), food delivery (41%), edtech (30%), payment (24%), lending (11%), dan healthtech (5%).

Rendahnya awareness digital di tier 2 dan 3 disebabkan oleh sejumlah faktor. Sebanyak 53% responden mengaku sulit menggunakan layanan, 44% responden menyebut faktor harga dan promosi, dan 41% terkait ketersediaan produk. Menariknya, beberapa aktivitas digital di kota tier 1 kurang dikenali responden, yaitu lending (15-20%), edtech (<10%), healthtech (<10%). Sementara, awareness ketiga kategori layanan tersebut di tier 2 tak sampai 5%.

Menurut laporan ini, saat ini kota tier 2 dan 3 baru di tahapan memulai adopsi digital dan tertinggal 4-5 tahun adopsinya dari kota tier 1. Namun dalam analisisnya, adopsi di tier 2 dan 3 bakal meningkat di 2025 seiring dengan semakin familiar dan terbiasa konsumen menggunakan layanan digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Lebih spesifik lagi, kota tier 2 dinilai lebih siap mendongkrak pertumbuhan digital dibandingkan tier 3 dan 4. Hal ini karena semakin banyak pemain dan enabler yang fokus di area tersebut. Pemerintah juga dinilai mulai menyebarkan fokus pengembangan infrastruktur di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi di Indonesia Timur lainnya.

Yang perlu dipertimbangkan startup dan investor

Menurut Shirley Santoso, Partner dan Presiden Direktur Kearney, kunci untuk bisa melakukan leap frog ekonomi digital di Indonesia terletak pada area tier 2 dan 3. Terlebih dengan situasi pandemi, adopsi digital meningkat signifikan. “Hal ini memicu adopsi di tier 1 menjadi lebih matang dan ruang pertumbuhan mengecil. Ini membuat pelaku startup mulai ‘lari’ ke tier 2 dan 3,” tambah Shirley.

Laporan ini juga mengungkap temuan lainnya yang dapat menjadi pertimbangan startup dan investor dalam mengembangkan fokus bisnisnya ke depan. Responden di Jawa menilai ada tiga perhatian utama dalam  mengadopsi digital, yaitu (1) kemudahaan penggunaan, (2) promosi dan harga, serta (3) ketersediaan produk.

Sebaliknya, responden non-Jawa justru lebih memperhatikan aspek (1) keamanan, (2) kemudahan penggunaan, dan (3) pengiriman dalam menggunakan layanan digital.

Apabila para stakeholder dapat menyelesaikan berbagai concern di atas, termasuk peningkatan infrastruktur, porsi ekonomi digital di tier 2 dan 3 dapat meningkat di 2025. Jika dirinci, kontribusi e-commerce bisa naik dari 30% di 2020 menjadi 48% di 2025. Kontribusi payment dapat melesat dari 22% menjadi 41%, dan ride and delivery naik dari 21% ke 35%.

Secara potensi nilai, GMV e-commerce di tier 2 dan tier 3 diproyeksi naik lima kali lipat dari $9 miliar di 2020 menjadi $45 miliar di 2025, sedangkan GTV payment diestimasi tumbuh tujuh kali lipat menjadi $20 miliar di periode sama dari $3 miliar di 2020. Kemudian, porsi ride hailing and delivery diprediksi naik dari $2 miliar ke $5 miliar.

Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis
Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis

Sejumlah startup tier 1 sebetulnya sudah melakukan ekspansi besar-besaran ke tier 2 dan 3. Dalam catatannya, GrabKios mulai memperluas cakupan di 500 kota, Bukalapak mengklaim telah memiliki 5 juta mitra warung yang terpusat di tier 2 dan 3, serta Tokopedia yang mulai memperluas jangkauan hingga ke pedesaan .

“Krisis yang kita hadapi itu tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kesehatan. Situasi ini memacu kita bagaimana Indonesia dapat mengurus krisis kesehatan dan ekonomi at the same time. Indonesia sudah mulai melakukannya lewat protokol 5M, vaksinasi, dan lainnya. Ini penting untuk bisa melalui krisis dan mendorong kembali segmen travel dan transportasi,” ucap Shirley.