Pentingnya Diversifikasi dan Inovasi di Tengah Pandemi

Pada akhirnya, agar bisnis bisa bertahan, cara terbaik adalah beradaptasi terhadap perubahan. Ketika pandemi berlangsung berkepanjangan dan mengganggu jalannya bisnis, ada baiknya startup melakukan penyesuaian dan diversifikasi.

Dengan semakin sulitnya menggalang dana, startup dituntut menghasilkan peluang bisnis baru, yang tidak hanya membantu meningkatkan pendapatan, tetapi juga menjadi added value agar bisa bertahan selama pandemi.

Di sebuah tulisan, perusahaan modal ventura terkemuka Sequoia menyebutkan, kondisi saat ini merupakan black swan. Saat kondisi sedang mengalami penurunan, pendapatan dan uang tunai menjadi fokus utama ketimbang pengeluaran.

“Seperti yang dirangkum Darwin, mereka yang selamat bukan yang terkuat atau paling cerdas, tetapi paling mudah beradaptasi dengan perubahan.”

Menerapkan survival mode

DailySocial mencatat, perlahan tapi pasti, berbagai startup menambah jenis layanan yang dirasa relevan saat ini.

  • Titipku, startup asal Yogyakarta yang awalnya fokus pada pemberdayaan UMKM, kini memperkenalkan fitur layanan berbasis lokasi. Layanan ini dikembangkan untuk memudahkan pengguna mencari pedagang untuk berbelanja.
  • Startup logistik Deliveree meluncurkan platform belanja sembako online yang langsung bisa diakses di aplikasi. Fitur ini dilengkapi live chat atau panggilan untuk bisa langsung terhubung dengan toko.
  • Platform periklanan bergerak Ubiklan yang menjajaki bisnis baru bernama UbiFresh. Mereka menawarkan belanja grocery secara online melalui aplikasi.
  • Platform property management Travelio menghadirkan beberapa inovasi baru, termasuk meluncurkan TravelioMart sebagai platform penjualan bahan pangan segar, seperti sayur, buah, berbagai variasi daging, dan produk kebutuhan dasar rumah tangga lainnya untuk tenant perusahaan.
  • Platform fotografer on-demand SweetEscape menawarkan solusi baru yang diharapkan menjadi tren, yaitu Virtual Photoshoot dan Terrace Photoshoot.
  • Halodoc juga menambah fitur baru yang bertujuan membantu pengguna berkonsultasi seputar kesehatan mental dan jiwa mereka. Melalui fitur Konsultasi Jiwa, Halodoc mencoba untuk membantu mereka yang membutuhkan.
  • Zalora, yang selama ini fokus ke layanan fashion commerce, menghadirkan kategori baru, yaitu produk kesehatan dan rumah tangga, untuk memudahkan keluarga melengkapi berbagai kebutuhan. Langkah strategis ini diambil menyesuaikan kebutuhan masyarakat saat pandemi.

Inovasi menarik investasi

Ketika pandemi Covid-19 menjadi gangguan, perusahaan modal ventura memperketat penilaian investasi dan mengidentifikasi prioritas. Untuk perusahaan tahap awal, rencana melanjutkan pendanaan ke tahapan lanjutan menjadi lebih sulit.

Di sisi lain, pandemi ini telah memberikan akselerasi positif bagi adopsi beberapa sektor teknologi. Sektor-sektor seperti e-commerce, healthtech, edtech, dan logistik secara umum justru mengalami peningkatan.

“Kami juga melihat tingginya jumlah transaksi e-commerce di masa Idul Fitri, terlepas dari adanya pandemi. Masyarakat kini juga lebih terbuka dengan tele-konsultasi medis via Zoom [..] Dengan interaksi fisik yang terbatas, solusi yang diberikan perusahaan teknologi menjadi sebuah kebutuhan agar pola hidup masyarakat bisa kembali berjalan normal,” kata Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Adopsi teknologi membantu mempercepat digitalisasi di industri tradisional. Ke depannya perubahan ini akan terus menyebar ke industri lain, termasuk FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, dan hiburan.

Pandemi telah menciptakan peluang bagi konsumen yang lebih konservatif untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan kemudahan. Meskipun demikian, seberapa lama momentum ini akan berlanjut sangat tergantung pada kemampuan pelaku bisnis menciptakan ketergantungan atas produk atau layanan mereka.

Menurut Partner Kolibra Capital Teezar Firmansyah, startup bisa memberikan respons positif saat pandemi berlangsung dan bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini.

Kolibra melihat saat ini menjadi saat yang krusial bagi startup menunjukkan jati diri mereka. Apakah mereka bisa bersaing dan menawarkan inovasi baru kepada pelanggan.

“Pandemi Covid-19 saat ini memang cukup mengubah lanskap dari bisnis startup. [..] Ini merupakan ujian survival of the fittest, di mana startup yang bisa beradaptasi dengan changing trend dari pasar akan bisa bertahan,” kata Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital Indonesia.

Alpha JWC Ventures Terlibat dalam Pendanaan Awal Hangry Senilai 42,7 Miliar Rupiah

Hangry, startup yang mengembangkan konsep restoran “multi-brand” telah mendapatkan pendanaan tahap awal senilai US$3 juta atau setara dengan 42,7 miliar Rupiah. Investasi tersebut didapatkan dari Sequoia dan Alpha JWC Ventures. Putaran pendanaan tersebut sudah ditutup sejak awal tahun 2020 ini.

Sebelumnya bisnis yang digawangi Abraham Viktor, Andreas Resha, dan Robin Tan tersebut juga mengikuti program akselerator Surge milik Sequoia India pada debut awalnya.

“Benar kami sudah menutup pendanaan tahap awal sejak Januari 2020. Sangat bersyukur bisa dipercaya oleh investor,” ujar Viktor kepada DailySocial.

Konsep multi-brand Hangry memiliki dan mengelola beberapa brand produk makanan. Mereka mengoptimalkan layanan pesan antar makanan untuk mendistribusikan produk-produknya – mengandalkan berbagai platform seperti Gofood, Grabfood, dan Traveloka Eats. Saat ini juga sudah merilis aplikasi untuk sistem loyalty.

“Selama pandemi ini, growth kami masih aman. Mungkin karena banyak orang yang belum mulai makan di luar. Dari Januari sampai Maret pertumbuhannya 100%, sementara dari Maret ke Juni 30% tiap bulannya,” imbuhnya.

Produk makanan yang mereka jajakan meliputi San Gyu (japanese beef bowl), Ayam Koplo (ayam geprek), Bude Sari (nasi ayam, kulit dan paru tradisional) dan Kopi Dari Pada (aneka ragam minuman). Dan baru-baru ini meluncurkan brand baru bernama “Moon Chicken”.

“Sejauh ini kami masih melayani pelanggan  di sekitar Jakarta, Bintaro, Bekasi, dan Karawaci. Tapi sedang proses juga untuk membuka di Serpong, Alam Sutra, Cengkareng, dan beberapa wilayah lainnya. Tentu ekspansi ke kota-kota lain akan menjadi agenda kami selanjutnya,” terang Viktor.

Hangry adalah salah satu representasi perkembangan bisnis kuliner. Melalui sentuhan teknologi, bisnis kuliner mulai bertransformasi. Misalnya, akhir-akhir ini banyak bisnis menghadirkan konsep “cloud-kitchen”, yakni konsep restoran yang hanya melayani pemesanan makanan melalui aplikasi delivery.

Penyaji makanan di cloud kitchen umumnya tidak memiliki kedai atau tempat makan layaknya restoran biasa. Hanya saja, secara brand dan produk mereka memiliki daya tawar tersendiri. Startup pengembang platform cloud kitchen menjembatani proses bisnis antara dapur dengan pelanggan, sembari memberikan jasa pengiriman hingga transaksi.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures’ Focus and Plans Amid Pandemic

With many VCs performing tight curation, even postpone their investment plans to startup during the pandemic, Alpha JWC Ventures claimed to be quite aggressive in pouring fresh funds into startups in Indonesia. Reportedly, they have announced follow-on funding on 3 of the portfolios. Those include Kopi Kenangan, GudangAda, and Bobobox.

The three startups are Alpha JWC’s preference, as the business model innovations in the industry engaged with people’s basic needs. For example, FMCG – daily-consumed products, yet the industry is still constrained by supply chain structures and traditional transaction processes.

When the pandemic strikes and business activities are limited, these items cannot reach the end consumer as expected. Such startups as GudangAda plays an important role in providing solutions for traders to carry out the transaction (trading) flows, at various levels of the supply chain, in a simplified way through their marketplace platforms and logistics service.

Bobobox is also quite interesting. When the occupancy rate in the hotel industry has dropped dramatically, they provide long-stay accommodation for people who need adequate work-at-home facilities, and also modify their pods into medical rest space.

“We are looking for a startup with a clear vision, a distinctive value proposition, and an agile organizational and cultural structure, therefore, they can adapt to various challenges. Such companies will be able to maintain relevance, develop according to their potential expectations, and eventually became a market leader,” Alpha JWC’s Partner, Eko Kurniadi said.

Alpha JWC is also conducting an assessment of new startups in various funding phases. On the other hand, the team internally focused on helping founders in the current portfolio, both strategically and financial support in the form of follow-on funding.

Business adjustment during pandemic

In particular, Alpha JWC eyes structural changes in the startup business model, as a result of a pandemic that caused changes in consumer consumption behavior and patterns. Businesses are then ‘forced’ to look for new ways to maintain their relevance among consumers – including changes in the customer acquisition process, user experience innovation, and the search for new sources for monetization.

Another thing worth highlighting is the importance of strong business and financial fundamentals. The term ‘growing at all cost’ is no longer the single important line for startups. Startups are now required to show healthy unit economics calculations and clear business plans to achieve profitability.

On the other hand, adjustments or corrections to valuation calculations will also occur through natural selection. The number of startups with funding demand will rise, especially in difficult times. On the contrary, most investors take a more cautious and selective approach in choosing which companies to invest. It is due to the mismatch between supply and demand, price correction (valuation) in the market arose.

The tech industry has helped accelerate digital adoption in traditional industries. This has been visible in some sectors and it is expected that the changes are to spread to other industries such as FMCG, F&B, finance, agriculture, entertainment, and others. Pandemics also create opportunities for many consumers, who were previously conservative, to try technology products offering more convenience.

“Looking at some of the more mature (later-stage) startups in the sectors we discussed earlier, I believe they have the right ingredients to maintain this momentum, even after the pandemic ends – then, it’s a matter of proper execution at the right time,” Kurniadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fokus dan Rencana Investasi Alpha JWC Ventures di Tengah Pandemi

Meskipun kebanyakan VC memilih untuk melakukan kurasi ketat, bahkan menunda, rencana investasinya ke startup, namun selama pandemi Alpha JWC Ventures mengklaim justru cukup agresif menggelontorkan dana segar kepada startup di Indonesia. Tercatat mereka telah mengumumkan pendanaan lanjutan (follow-on funding) bagi 3 dari portofolio. Di antaranya adalah Kopi KenanganGudangAda, dan Bobobox.

Ketiga startup tersebut menjadi pilihan Alpha JWC, dilihat dari inovasi model bisnis dalam industri yang justru merupakan basic needs dari masyarakat. Contohnya, FMCG — kebutuhan pokok masyarakat yang dikonsumsi sehari-hari, namun industri tersebut masih terkendala struktur supply chain dan proses transaksi yang masih tradisional.

Pada saat pandemi melanda dan berbagai kegiatan bisnis menjadi terbatas, barang-barang tersebut tidak dapat sampai ke pintu konsumen akhir seperti yang diharapkan. Startup seperti GudangAda memegang peranan penting dalam memberikan solusi bagi para pedagang agar tetap dapat menjalankan arus transaksi (jual-beli) mereka, di berbagai level supply chain, dengan jauh lebih mudah melalui platform marketplace dan layanan logistiknya.

Bobobox juga menjadi contoh menarik. Di saat occupancy rate di industri perhotelan menurun drastis, mereka menyediakan penginapan long-stay bagi masyarakat yang butuh fasilitas bekerja di rumah yang memadai, dan juga memodifikasi pods mereka menjadi tempat istirahat tenaga medis.

“Yang kami cari adalah startup yang memiliki visi jelas, value proposition yang distinctive, dan struktur organisasi dan culture yang agile, sehingga mereka dapat beradaptasi dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Perusahaan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan relevansi, berkembang sesuai harapan atas potensinya, dan akhirnya menjadi market leader,” kata Partner Alpha JWC Eko Kurniadi.

Alpha JWC juga sedang melakukan assessment kepada startup baru dalam fase proses pendanaan yang beragam. Di sisi lain, secara internal tim juga fokus untuk membantu founder dalam portofolio binaan, baik secara strategis maupun dukungan finansial dalam bentuk pendanaan lanjutan.

Penyesuaian bisnis startup saat pandemi

Secara khusus Alpha JWC melihat perubahan struktural pada model bisnis startup terjadi, akibat dari pandemi yang menyebabkan perubahan dalam perilaku dan pola konsumsi konsumen. Pelaku bisnis kemudian ‘dipaksa’ untuk mencari cara-cara baru untuk mempertahankan relevansi mereka di mata konsumen — termasuk perubahan dalam proses akuisisi pelanggan, inovasi user experience, dan pencarian sumber-sumber baru untuk monetisasi.

Hal lain yang kemudian menjadi perhatian adalah, pentingnya fundamental bisnis dan finansial yang kuat. Istilah ‘growing at all cost’ bukan lagi merupakan satu-satunya hal utama bagi startup. Startup kini dituntut untuk menunjukkan perhitungan unit economics yang sehat dan rencana bisnis yang jelas untuk mencapai profitabilitas.

Di sisi lain penyesuaian atau koreksi perhitungan valuasi juga akan terjadi melalui proses seleksi alam. Jumlah startup yang membutuhkan dana akan bertambah, terutama di masa sulit seperti ini. Namun sebaliknya, investor kebanyakan mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dan selektif dalam memilih perusahaan mana yang akan didanai. Karena adanya mismatch antara supply dan demand, koreksi harga (valuasi) di pasar pun terjadi.

Industri teknologi juga turut membantu mempercepat adopsi digital di industri tradisional. Hal ini sudah terlihat di beberapa sektor tersebut dan diharapkan perubahan ini akan terus cepat menyebar ke industri lainnya seperti FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, hiburan, dan lainnya. Pandemi juga menciptakan peluang bagi banyak konsumen, yang tadinya cenderung konservatif, untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan convenience. 

“Melihat beberapa startup yang lebih matang (later-stage) di sektor-sektor yang tadi kita bahas, saya percaya mereka memiliki ingredients yang tepat untuk menjaga momentum ini, bahkan setelah pandemi berakhir — dari situ, hanya tinggal masalah eksekusi yang benar di saat yang tepat,” kata Eko.

Lima Venture Capital Indonesia yang Paling Aktif di 2019

Menjalankan sebuah usaha tidaklah semudah membalik telapak tangan. Butuh kerja keras dan modal yang cukup untuk membangun bisnis yang besar. Bicara mengenai modal, hampir semua startup di indonesia tumbuh dengan bantuan Venture Capital atau jasa penyedia modal usaha.

Dilansir dari  e-Conomy SEA 2019, ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 mendatang, tahun ini angkanya sudah mencapai $40 miliar – rata-rata pertumbuhannya 49% per tahun. E-commerce dan ride-hailing menjadi pendorong utama di kawasan ini, ditambah adopsi pembayaran digital yang mendominasi semua layanan berbasis aplikasi. Pertumbuhan bisnis terkait didukung investasi yang terus mengalir. Termasuk dukungan yang diberikan pada unicorn Indonesia, nilainya mencapai $4 miliar pada tahun 2018 lalu. Melihat pertumbuhan yang signifikan, tentu sangat berpeluang bagi startup yang ingin ikut mengembangkan bisnisnya dengan perusahaan unicorn. Ada lima Venture Capital Indonesia yang paling aktif mengucurkan dana ke startup indonesia di tahun 2019.

lima perusahaan modal ventura yang paling aktif memberikan pendanaan ke startup indonesia di tahun 2019.
Lima perusahaan modal ventura yang paling aktif di tahun 2019.

East Ventures Capital

East Ventures terlibat dalam 19 pendanaan di tahun 2019
East Ventures aktif sejak tahun 2009

East Ventures berdiri sejak 2009 di Indonesia oleh Willson Cuaca, Batara Eto, dan Taiga Matsuyama. Dari 160 startup yang telah didanai, tercatat 30 startup di antaranya sudah exit. Kemudian dua startup yang lain menjadi unicorn.

East Venture sebagai salah satu venture capital Indonesia yang paling aktif memberikan pendanaan. Pihaknya juga masih memiliki rencana untuk terus memberikan pendanaan tahap awal kepada startup Indonesia. Sedikitnya sudah 30 startup yang mendapatkan pendanaan di tahun 2018. Selang setahun setelahnya berdasarkan startup report 2019, East Ventures terlibat dalam 19 pendanaan startup. Beberapa diantaranya berada di tahap Pra-Series A, Series A, dan Seed Funding. East Ventures konsisten dengan misi mereka membantu startup early stage.

Daftar Startup yang mendapat pendanaan di tahun 2019
Startup yang mendapat pendanaan oleh East Ventures

pada tahap Seed Funding adalah Komunal, Lubna, Triplogic, Wahyoo, Kedai Sayur, Cumi, Advotics, Feedloop, The Fit Company, Base.

Pada tahap Pra-Series A startup yang mendapat pendanaan dari East Ventures adalah Ekrut. Sedangkan ada 8 startup di tahap Series A yang mendapat pendanaan. Mereka adalah Stickearn, MobilKamu, Julo, Yummy Corp, Stockbit, Fore Coffee, Kedai Sayur, dan Jojonomic. 

SMDV

Sinar Mas mendirikan perusahaan modal ventura perusahaan berorientasi teknologi yang disebut Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) pada tahun 2018. Perusahaan ini telah berinvestasi dalam startup seperti layanan grosir bahan makanan HappyFresh, startup periklanan Stickearn, dan perusahaan Software-as-a-Service logistik Waresix. Perusahaan pemodal ini menjadi pemodal aktif nomor dua berdasarkan startup report 2019.

SMDV memberikan pendanaan kepada 11 startup Indonesia di tahun 2019
SMDV merupakan singkatan dari Sinar Mas Digital Verture.

SMDV juga sudah berinvestasi di beberapa startup pada tahun 2019 yaitu StickEarn (Series A), Yummy Corp (Series A), Fore Coffee (Series A), Wahyoo (Seed Funding), Kedai Sayur (Seed Funding & Series A), Waresix (Series A), Warung Pintar (Series B), IDN Media (Series C), R Fintness (Pre-Series A).

Alpha JWC Ventures

Alpha JWC Ventures merupakan perusahaan modal ventura yang telah berinvestasi di sekitar 30 startup, termasuk Uang Teman, Kopi Kenangan, Tanihub, Modalku, dan WeWork.

Alpha JWC Ventures memberikan pendanaan kepada 9 startup Indonesia di tahun 2019
Perusahaan yang didirikan pada awal 2015 ini telah berinvestasi lebih dari 30 startup

Perusahaan yang fokus berinvestasi pada startup berbasis teknologi di Indonesia ini didirikan oleh Chandra Tjan bersama Jefrey Joe dan Will Ongkowidjaja pada awal 2015. Dalam debut awalnya di tahun 2016, Alpha JWC Ventures meluncurkan Fund 1 senilai $50 juta atau sekitar 700 miliar Rupiah. Hingga tahun 2019 Alpha JWC Ventures mengumumkan telah menutup pengumpulan dana investasi keduanya senilai $123 juta atau setara 1,7 triliun Rupiah. Dalam manajemen portofolio, pihaknya memakai pendekatan hands-on dalam berbagai lini bisnis terkait, mulai dari dukungan rekrutmen, pemasaran, dan legal.

Beberapa startup yang mendapat pendanaan dari Alpha JWC adalah Zuzu (Series A), Carro (Series B), Evermos (Series A), Ajaib (Seed Funding), Bobobox (Pre-Series A), Goola (Seed Funding), Verikool (Seed Funding), Style Theory (Series B). 

Agaeti Ventures

Agaeti Venture memberikan pendanaan kepada delapan startup Indonesia di tahun 2019.
Agaeti Venture masuk ke dalam 5 besar pemodal paling aktif di tahun 2019.

Siapa yang tak mengenal Fore? Kopi susu yang sering menemani dikala penat ini, lahir dari dana investasi Agaeti Ventures. Perusahaan pemodal ini, juga mendonorkan dana pada Wahyoo, Akseleran, CoHive dan Yummy Corp.

Tahun 2019 beberapa startup mendapat pendanaan dari Agaeti Ventures, mereka adalah StickEarn (Series A), Yummu Corp (Series A), Warung Pintar (Series B), R Fintness (Pre-Series A), Alami (Seed Funding), Bobobox (Seed Funding) dan Kargo Technologies (Seed Funding). 

Agaeti Ventures berfokus pada perusahaan baru yang mendukung teknologi Pra-Seri A dan Seri A, atau yang baru berkembang di Indonesia dan fokus ekspansi ke Asia Tenggara. Dengan dipercayanya, perusahaan pemodal ini, Agaeti Venture masuk ke dalam 4 besar pemodal paling aktif di tahun 2019.

Lalu, di tahun 2020 dua perusahaan modal ventura (venture capital) lokal, Agaeti Ventures dan Convergence Ventures resmi mengumumkan merger dan kini bernama AC Ventures (ACV). Para Partner kedua perusahaan menjadi Partner perusahaan baru ini, yaitu Adrian Li, Michael Soerijadji, Donald Wihardja, dan Pandu Sjahrir.

Golden Gate Ventures

Golden Gate Venture merupakan perusahaan modal ventura tahap awal yang berdiri sejak 2011. Salah satu venture venture capital Indonesia paling aktif ini telah berinvestasi di lebih dari 30 perusahaan di lebih dari 7 negara di Asia. Perusahaan berinvestasi dalam startup internet & seluler di banyak sektor, termasuk e-commerce, pembayaran, pasar, aplikasi mobile, dan platform SaaS.

Golden Gate Ventures memberikan pendanaan kepada delapan startup Indonesia di tahun 2019
Berdiri sejak tahun 2011 dan telah berinvestasi lebih dari 30 perusahaan

Dengan menggandeng startup yang ingin berkembang pesat dengan memanfaatkan teknologi dan internet, Golden Gate Venture mampu melahirkan Startup hebat seperti, Gojek, Carousell, Alodokter, Tanihub, dan lain sebagainya.

Pada tahun 2019 beberapa startup seperti Alami (Seed Funding), Jojonomic (Series A), TaniGroup (Series A), Alodokter (Series C), Zuzu (Series A), Sampingan (Pre-Series A), Ritase (Series A) dan Paper.id (Series A) oleh Golden Gate Ventures 

 

.

 

Bobobox Secures Series A Funding Worth 170 Billion Rupiah

Bobobox, known as a startup of capsule hotel accommodation service, recently announced Series A funding worth of US$ 11.5 million or equivalent to 170 billion Rupiah. This round was led by Horizons Ventures with the previous investor, Alpha JWC Ventures. It is with participation of some investors, including Cocoa Investments, Sequoia Surge, and Mallorca Investment.

Prior to this, Bobobox’s pre series A began in March 2019, it was involving Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, and three other investors. Later, in May 2019, the Bandung based startup returned to get funding from Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, Everhaus, Alpha JWC Ventures, and Ganesia Ventures.

With this additional capital fund, the company will focus on developing features to improve the experience of using pods (call for lodging capsules). In addition, they also plan to strengthen teams in manufacturing and operations, plus expansion to several other countries in Southeast Asia after the Covid-19 pandemic ends.

This round becomes quite unique, as the Covid-19 outbreak happened, many players in the accommodation and tourism industries have collapsed, some are shutting down the business. Bobobox’s Co-Founder & CEO Indra Gunawan said, “We are grateful and proud to still be able to obtain funding from global investors amid the crisis due to the Covid-19 outbreak. I believe this is part of the result from our discipline in maintaining our unit economics in all branches.”

In the past year, Bobobox has established six new locations in three cities: Bandung, Jakarta, and Semarang. To date, they operate eight locations with a total of 572 pods and occupancy rates of 80-90% before the pandemic. After the pandemic it is significantly dropped to 50-60%.

“In my opinion, another factor behind investor’s trust in Bobobox is the unique selling proposition that allows us to be prepared for the crisis and behavioral changes that arise from this pandemic, even before we know this will happen. It will benefit us later when technology-based accommodation becomes an industry demand,” he added.

Alternative lodging during pandemic

Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox
Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox

It is stated in the release, the Covid-19 pandemic also opened up new opportunities. As the tourism industry slows down, local residents become new customers of the Bobobox pods. In order to meet consumer demand and maintain the safety of its staff and customers, Bobobox implements preventive measures, including limiting the number of entrants and closing public gathering spaces.

“With additional preventive measures, many local residents have chosen to relocate to our pods to support their work-from-home needs. Some of them choose the closest Bobobox from their office to avoid long travel and the crowds, all to reduce the risk of exposure to Covid-19,” Bobobox’s Co-Founder & President, Antonius Bong explained.

Previously, in collaboration with the Li Ka Shing Foundation, Bobobox also donated 100 sleeping pods to Covid-19 referral hospitals in DKI Jakarta and West Java. It is to be used as a resting place for medical staff during their breaks.

“The crisis shows the true state of the company and how strong their business and revenue framework is. The crisis finally shows which companies are really solid. With satisfactory performance and growth since we first invested in Bobobox in 2018, we believe Bobobox will not only be able to overcome the current shocks but will be a leading player in the regional tourism industry,” Alpha JWC Ventures’ Managing Partner, Chandra Tjan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bobobox Dapatkan Pendanaan Seri A 170 Miliar Rupiah

Bobobox, yang dikenal sebagai startup penyedia layanan akomodasi hotel kapsul, baru-baru ini mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai US$11,5 juta atau setara 170 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin Horizons Ventures dan investor sebelumnya Alpha JWC Ventures. Beberapa pemodal yang turut terlibat termasuk Kakao Investments, Sequoia Surge dan Mallorca Investment.

Sebelumnya pendanaan pra-seri A Bobobox sudah dimulai sejak Maret 2019, waktu itu melibatkan Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, dan tiga investor lainnya. Kemudian pada Mei 2019, startup asal Bandung tersebut kembali dapatkan pendanaan dari Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, Everhaus, Aplha JWC Ventures, dan Ganesia Ventures.

Dengan dana modal tambahan ini, perusahaan akan fokus pada pengembangan fitur demi meningkatkan pengalaman penggunaan pods (sebutan untuk kapsul penginapan). Selain itu, mereka juga rencanakan penguatan tim di bidang manufaktur dan operasional, plus ekspansi ke beberapa negara lain di Asia Tenggara setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Pendanaan ini menjadi menarik, pasalnya di tengah terpaan Covid-19, banyak pemain di industri akomodasi dan pariwisata terpuruk, bahkan sampai ada yang memutuskan menghentikan bisnisnya. Co-Founder & CEO Bobobox Indra Gunawan mengatakan, “Kami bersyukur dan bangga masih dapat meraih pendanaan dari investor global di sela-sela guncangan yang ditimbulkan Covid-19. Saya percaya hal ini tak terlepas dari disiplin kami dalam menjaga unit economics yang sehat di semua cabang.”

“Menurut saya, faktor lain di balik kepercayaan investor pada Bobobox adalah unique selling proposition yang memungkinkan kami siap menghadapi krisis dan perubahan perilaku yang muncul dari pandemi ini, bahkan sebelum kita tahu hal ini akan terjadi. Hal ini juga memberikan keuntungan bagi kami nantinya saat akomodasi berbasis teknologi menjadi kebutuhan industri,” imbuhnya.

Dalam satu tahun terakhir, Bobobox telah mendirikan enam lokasi baru di tiga kota: Bandung, Jakarta, dan Semarang. Saat ini, mereka mengoperasikan delapan lokasi dengan total 572 pods dan tingkat okupansi 80-90% sebelum pandemi. Setelah pandemi turun menjadi 50-60%.

Selama pandemi digunakan jadi alternatif menginap

Peluncuran pods yang ditujukan untuk tenaga medis RS mitra Covid-19 / Bobobox
Peluncuran pods yang ditujukan untuk tenaga medis RS mitra Covid-19 / Bobobox

Dalam rilisnya perusahaan menguraikan, masa pandemi Covid-19 turut membuka peluang baru. Di saat industri pariwisata melambat, penduduk lokal menjadi pelanggan baru pods Bobobox. Untuk memenuhi permintaan konsumen dan tetap menjaga keselamatan staf dan pelanggannya, Bobobox menerapkan langkah-langkah preventif, termasuk membatasi jumlah penginap dan menutup ruang berkumpul umum.

“Dengan adanya langkah-langkah preventif tambahan, banyak penduduk lokal memilih relokasi ke pods kami demi menunjang kebutuhan work-from-home mereka. Tidak sedikit yang memilih Bobobox terdekat dari kantor mereka agar tidak perlu melakukan perjalanan jauh demi menghindari keramaian dan mengurangi risiko terpapar Covid-19,” jelas Co-Founder & President Bobobox Antonius Bong.

Sebelumnya, bekerja sama dengan Li Ka Shing Foundation, Bobobox juga mendonasikan 100 sleeping pods ke rumah sakit rujukan Covid-19 di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Difungsikan sebagai tempat istirahat tenaga medis di sela-sela tugasnya.

“Krisis memperlihatkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya serta seberapa kuat bisnis dan kerangka pemasukan mereka. Krisis juga akhirnya menunjukkan mana perusahaan yang benar-benar solid. Dengan kinerja dan pertumbuhan yang memuaskan sejak pertama kali kami berinvestasi di Bobobox pada 2018, kami percaya Bobobox tak hanya dapat melewati guncangan krisis saat ini, tapi juga akan menjadi pemain unggulan industri pariwisata regional,” ujar Managing Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

Application Information Will Show Up Here

Kopi Kenangan Announces Over 1.6 Trillion Rupiah Worth of Series B Funding

The new retail startup Kopi Kenangan has announced Series B funding worth of $109 million (over 1.6 trillion Rupiah) led by the previous investor, Sequoia Capital India. There are some new investors, such as B Capital, Horizon Ventures, Verlinvest, Kunlun, and Sofina participated in this round, also the seed investor, Alpha JWC Ventures.

It is reported that one of Facebook’s co-founders, Eduardo Saverin has joined Kopi Kenangan’s board of commissioners, through B Capital. His participation is expected to help make a faster business transformation.

“I look forward to working with Kopi Kenangan and building a global brand that celebrates the distinctive flavors of Indonesia and Southeast Asia,” Saverin stated in the official release, Tuesday (5/12).

Historically, Kopi Kenangan has acquired seed funding from Alpha JWC Ventures worth of $8 million in 2018. A year later, they raised a series A round of $20 million led by Sequoia Capital India with additional funds at an undisclosed value from Arrive, Serena Ventures, NBA’s Caris LeVert, and Sweetgreen’s founder, Jonathan Neman.

In separate occasion, Kopi Kenangan’s Co-Founder & CEO, Edward Tirtanata confirmed to DailySocial that the company is yet to acquire the unicorn status. As a general note, Kopi Kenangan’s valuation is said to exceed the centaur position. “Kopi Kenangan is yet to be a unicorn,” he said.

He revealed the plan with this fresh funding is to tighten its positionn in Indonesia. One thing, it’s the plan to offer food and beverages from local partners and developing a cloud kitchen.

“As a startup in the growth stage, we are quickly adapting to challenges through contactless transactions and highly-curated hygiene standards throughout our stores. Employee welfare is a big priority and we are investing in their safety, along with increasing health benefits and additional training to help them cope with this big change,” he said.

The pandemic hits Kopi Kenangan’s business hard. Edward said all other industries, including F&B, are experiencing a significant decline, especially offline outlets. However, thanks to the grab and go business model, the company saw an increase in online orders by 50% in certain locations.

He believes businesses that quickly adapt to conditions can survive in a crisis, unlike the most brilliant or with large capital ones. “Kopi Kenangan has gained investor trust by adopting a grab and go business model that fits the current situation.”

To date, Kopi Kenangan employs 3 thousand employees in 324 outlets in all cities in Indonesia. It is expected that this year the store can add up to 500 stores. The company also has ambitions for post-pandemic regional expansion. Thailand, the Philippines, and Malaysia, are the countries they are after.

“Regional expansion is still on schedule, by adapting to the post-Covid-19 situation,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kopi Kenangan Umumkan Pendanaan Seri B Lebih dari 1,6 Triliun Rupiah

Startup new retail Kopi Kenangan mengumumkan pendanaan seri B senilai $109 juta (lebih dari 1,6 triliun Rupiah) yang dipimpin investor terdahulunya Sequoia Capital India. Beberapa nama baru seperti B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, dan Sofina turut bergabung dalam putaran ini, sekaligus investor pertamanya Alpha JWC Ventures.

Dikabarkan pula, salah satu co-founder Facebook Eduardo Saverin bergabung ke dalam jajaran komisaris Kopi Kenangan, melalui B Capital. Keterlibatannya diharapkan dapat membantu transformasi perusahaan jauh lebih cepat.

“Saya berharap dapat bekerja sama dengan Kopi Kenangan dan membangun merek global yang merayakan citarasa khas Indonesia dan Asia Tenggara,” kata Saverin dalam keterangan resmi, Selasa (12/5).

Dalam rekam jejaknya, Kopi Kenangan pertama kali mengantongi pendanaan tahap awal dari Alpha JWC Ventures senilai $8 juta pada 2018. Setahun kemudian, menggalang pendanaan seri A sebesar $20 juta dipimpin oleh Sequoia Capital India dan tambahan dana dengan nilai dirahasiakan dari Arrive, Serena Ventures, pebasket NBA Caris LeVert, dan pendiri Sweetgreen Jonathan Neman.

Bila ditotal, investasi yang diterima perusahaan mencapai lebih dari $137 juta (lebih dari 2 triliun Rupiah).

Secara terpisah, kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengonfirmasi, sampai tahap ini perusahaan belum menyandang status unicorn, sebelumnya diketahui bahwa valuasi Kopi Kenangan sudah tembus status centaur. “Sampai saat ini Kopi Kenangan belum menjadi unicorn,” ujarnya.

Dia menerangkan mengatakan pendanaan segar ini akan digunakan untuk memperkuat posisinya di Indonesia. Salah satunya, rencana untuk menawarkan berbagai produk makanan dan minuman dari pedagang lokal serta mengembangkan cloud kitchen.

“Sebagai startup yang sedang tumbuh, kami cepat beradaptasi terhadap tantangan melalui transaksi tanpa kontak dan standar kebersihan yang tidak kenal kompromi di seluruh toko kami. Kesejahteraan karyawan adalah prioritas besar dan kami berinvestasi untuk keselamatan mereka, bersamaan dengan itu peningkatan manfaat kesehatan dan pelatihan tambahan untuk membantu mereka mengatasi perubahan besar ini,” ujarnya.

Dampak pandemi, juga menghantam bisnis Kopi Kenangan. Edward menuturkan, semua industri lain, F&B juga mengalami penurunan signifikan, terutama di gerai offline. Tapi berkat model bisnis grab & go, perusahaan melihat adanya peningkatan online order sebesar 50% di lokasi-lokasi tertentu.

Dia pun percaya, bisnis yang cepat beradaptasi dengan kondisi dapat bertahan di tengah krisis, bukanlah mereka yang terpintar atau punya modal besar. “Kopi Kenangan mendapatkan kepercayaan investor dengan mengangkat model bisnis grab and go yang cocok dengan situasi saat ini.”

Saat ini Kopi Kenangan memperkerjakan 3 ribu karyawan tersebar di 324 gerai di seluruh kota di Indonesia. Diharapkan pada tahun ini dapat menambah lokasi toko hingga mencapai 500 gerai. Perusahaan juga berambisi untuk ekspansi regional pasca pandemi. Thailand, Filipina, dan Malaysia, menjadi negara yang mereka incar.

“Rencana ekspansi regional akan tetap dilaksanakan, dengan melihat situasi pasca-Covid-19,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

GudangAda Notches 372 Billion Rupiah Worth of Series A Funding

After securing seed funding last February 2020, GudangAda B2B marketplace platform for FMCG products today (5/5) has announced another round. In this series A, the firm managed to bag funding worth of US$25.4 million, or around 372 billion Rupiah. This round was led by Sequoia India and Alpha JWC Ventures, with the participation of Wavemaker Partners. The company is to develop a new line ob business and build up the internal team.

The platform provides a place for FMCG industry players to meet and conduct transactions online, from suppliers, distributors to retail traders. This warehouse provides an opportunity for traders to develop their business through faster inventory turns, optimal pricing, greater choice of goods and business partners, and transparent transaction management.

GudangAda is said to succeed in connecting around 50 thousand traders in 500 cities, and covering almost 100 percent of FMCG wholesalers in Indonesia, through an enabler approach.

Previously, GudangAda received seed funding from Alpha JWC Ventures and Wavemaker Partners, with participation from Pavilion Capital, valued at US$10.5 million or around 154 billion Rupiah. With this series A funding, the company has managed to get total funding of US$ 36 million within 15 months since it was founded.

“When we first invested in GudangAda and Stevensang, we knew that they would become leading players in the FMCG industry, not only in Indonesia but also in Southeast Asia […] FMCG is an industry that is still running traditionally and is also difficult to break down innovation. It’s not easy to change habits and behavior, especially those that have been going on for decades. However, GudangAda claims that it is possible as long as the players know where to penetrate, what kind of difficulties, and how to execute the strategy effectively,” Alpha JWC Ventures’ Managing Partner, Chandra Tjan said.

In fact, there are some existing startups with similar services beforehand, making it easy for business partners to complete basic standards. Previously, there was Stoqo who served similar services targeting partners from food businesses. Unfortunately, they had to announce service termination earlier this year. In addition, there are other players such as Foodia, Eden Farm, Wahyoo, and many more serves different specializations – with the same core, becoming a hub for business players with merchants.

Momentum amid pandemic

Stevensang GudangAda
GudangAda’s Founder and CEO, Stevensang

GudangAda was founded in the end of 2018 by Stevensang (CEO) with 25 years of experience in the FMGC industry. In an interview with DailySocial he said, “GudangAda was founded due to his concerns over the continuity of the traditional shop business in the digital age. The business concept is to empower all parties involved in the ecosystem, therefore, they can get optimal benefits from the platform.”

Amid the Covid-19 pandemic, GudangAda has gained momentum to expand. The physical distancing situation has put the online-based solutions as an alternative to fulfill the demand of FMGC products – as to ensure the availability of food and other daily needs, and help industry players to continue to run optimally during the PSBB period in some areas.

“B2B supply chains in many developing countries face challenges in terms of capital constraints, ineffective inventory management, and manual operational processes. GudangAda built a digital ecosystem that can change the face of the Indonesian FMCG industry which is currently still running traditionally […] Indonesia will witness the emergence and development of the use of B2B technology in the second e-commerce wave, and we are very pleased for the opportunity to work with GudangAda in this trip,” Managing Director of Sequoia Capital (India) Singapore, Abheek Anand said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here