Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus Terpilih Mengikuti Program Akselerator NINJA JICA 2022

Program akselerator NINJA JICA 2022 bermitra dengan ANGIN telah memilih 3 startup berdampak asal Indonesia yang berhak untuk mengikuti program akselerasi. Tiga startup tersebut adalah Bell Society, CarbonEthics, dan Surplus. Mereka berhasil lolos setelah melalui proses kurasi, total ada 200 startup yang terdaftar.

Bertujuan untuk meningkatkan ekosistem kewirausahaan yang berdampak di Indonesia, program akselerasi yang diinisiasi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) ini melakukan proses pemilihan secara selektif dan ketat. Mereka ingin mendukung dan melengkapi perusahaan rintisan Indonesia yang berpengaruh untuk menghadapi daftar investor yang dikurasi, memperluas peluang kemitraan, dan meraih dukungan finansial.

Selanjutnya ketiga startup terebut akan menerima sesi mentoring mulai bulan November 2022 dan menghadiri Demo Day untuk investor lokal, regional, dan Jepang pada Februari 2023 di Jakarta dan Jepang. Startup terpilih tersebut nantinya dapat berkontribusi pada pengelolaan limbah dan area emisi rendah karbon.

Startup berdampak

Salah satu persamaan yang dimiliki oleh tiga startup terpilih tersebut adalah, fokus mereka yang menyasar kepada impact. Kategori startup berdampak saat ini mulai banyak bermunculan, mulai climate tech, waste management, renewable energy, hingga energy efficiency.

CarbonEthics misalnya, mendukung institusi dan individu dalam aksi iklim melalui perhitungan karbon dan penyerapan karbon melalui konservasi mangrove berbasis masyarakat. CarbonEthics berencana untuk memasuki pasar kredit karbon global dengan menyediakan proyek karbon terverifikasi dan memperluas cakupannya dari hanya ekosistem karbon biru ke solusi iklim berbasis alam yang lebih luas.

Sementara Bell Society mengembangkan dan memproduksi kulit biomaterial dengan mengubah limbah kulit kopi, sekam, dan ampas kopi. Kulit digunakan sebagai bahan tas, sepatu, waller. Bell Society memperoleh kopi dan sampah organik dari kafe, restoran, dan langsung dari koperasi petani kopi. Rencana pertumbuhan mereka akan mencakup skala dan distribusi global untuk menjadi merek global dan memiliki kolaborasi di seluruh dunia dalam 2 tahun ke depan.

Startup lainnya yang berfokus kepada food waste management adalah Surplus. Tercatat saat ini Surplus sudah mengalami pertumbuhan yang positif sebagai sebuah food waste prevention app. Tahun 2022 dijadikan momentum khusus bagi perusahaan untuk bergerak maju, menghadirkan layanan dan produk yang relevan kepada target pengguna. Sekaligus membantu lebih banyak industri terkait untuk mengurangi laju food waste mereka.

Surplus telah memiliki sekitar 100 ribu unduhan aplikasi dan 2 ribu merchant lebih yang tersebar di 11 kota seperti Jabodetabek, Bandung, Yogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, hingga Bali. Jika dulunya mereka yang menjemput bola, kini dengan word of mouth di kalangan mitra, mulai banyak mitra yang kemudian menawarkan diri langsung untuk bergabung di ekosistem Surplus.

Disclosure: DailySocial.id merupakan media partner ANGIN untuk peliputan startup berdampak di Indonesia

Solusi “End-to-End” SolarKita untuk Pemanfaatan Tenaga Surya

Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap menjadi salah satu strategi pemerintah meningkatkan pengembangan energi terbarukan di tanah air. Hal ini terkait target yang ditetapkan pemerintah untuk bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Hingga Juni 2022, terhitung realisasi bauran EBT tersebut baru mencapai 12,8%.

Pada tahun 2018 silam, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait PLTS atap di Indonesia melalui Permen ESDM No. 49/2018. Hal ini terbukti berhasil meningkatkan adopsi PLTS atap dari hanya 592 pelanggan di bulan November 2018 menjadi 3.781 pelanggan di bulan Mei 2021. Lanskap yang ada mendorong kehadiran sejumlah layanan untuk mendukung pemanfaatan teknologi tersebut, salah satunya SolarKita.

SolarKita didirikan tiga orang yang melihat peluang di industri ini, yaitu Amarangga Lubis sebagai Co-Founder & CEO, Aldamanda A. Lubis sebagai Co-Founder & Chairman of The Board, dan Bambang S. Nugroho sebagai Co-Founder & Head of Technology.

Amarangga, yang lebih akrab disapa Rangga, mengungkapkan hasil kajiannya dari semua format energi baru terbarukan (EBT). Menurutnya yang paling mudah diimplementasi adalah PLTS atap. Sebelum memulai SolarKita, ia telah mencoba menggunakan teknologi ini, namun merasa sisi layanannya masih kurang memuaskan.

“Saya melihat loophole-nya ada pada kebanyakan penyedia layanan yang fokus hanya sampai program instalasi. Padahal, dari sisi pengguna, pengalamannya baru dimulai ketika PLTS-nya dipasang. Di sinilah peran kita untuk memastikan penggunaan PLTS yang optimal. Kita kembangkan platform SolarKita untuk memonitor secara aktif dan memastikan semua performance solar panel dari pengguna berjalan dengan baik,” jelas Rangga.

SolarKita menawarkan layanan end-to-end atau menyeluruh, dimulai dari konsultasi dan edukasi terkait PLTS, diikuti survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS. Tidak berhenti di situ, timnya juga akan membantu proses transisi ke PLN. Untuk pengawasan dan pemeliharaan, perusahaan memiliki platform yang bisa digunakan para pengguna.

Gambaran cara kerja PLTS Atap. Sumber: SolarKita

“Sebenarnya tujuan kita ada untuk mempermudah pengalaman pengguna untuk transisi menggunakan PLTS. Salah satu yang ingin kita tekankan di sini adalah solusi end-to-end atau menyeluruh untuk pemanfaatan PLTS. Kita akan dampingi dari awal seiring penggunaan teknologinya,” tambah Rangga.

Sejauh ini, pemain yang berkompetisi langsung dengan SolarKita di industri adalah Xurya.

Model bisnis dan target ke depan

Secara global, pemanfaatan PLTS ini bukanlah hal baru. Meskipun demikian, di Indonesia, teknologi ini masih awam digunakan. Walau sudah mendapat dukungan dari pemerintah, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Dari sisi edukasi, masih ada stigma bahwa teknologi ini mahal sehingga banyak yang enggan memulai.

Selain itu, masih banyak yang belum paham konsepnya. Di sinilah peran SolarKita untuk bisa memberi edukasi lebih dalam. Selain itu, Rangga  menggarisbawahi regulasi yang masih dinamis, yang mempengaruhi eksekusi di lapangan. Hal ini juga terus diupayakan dan dikomunikasikan melalui Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) yang fokus pada percepatan pemanfaatan energi surya di Indonesia.

Terkait model bisnis, Rangga mengungkapkan bahwa operasional bisnisnya cukup sederhana dengan mengambil margin dari penawaran produk dan layanan. Di samping itu, perusahaan juga menyediakan program referral bagi setiap individu yang memberikan rekomendasi. Ketika berjalan lancar, konsumen akan memperoleh success fee.

Selain memberikan dampak melalui energi baru terbarukan, panel  surya dan PLTS ini disebut telah membuka industri baru. SolarKita mengaku juga memiliki potensi sosial dengan membuka lapangan kerja bagi para pekerja lapangan. “Di sini kita ingin semua masyarakat bisa terlibat. Untuk tim instalasi di lapangan, kita bermitra dengan individu/PT yang sudah kita latih. Banyak tim yang dulunya tukang listrik atau buruh. Terkait upah, kita usahakan industri baru ini bisa menyejahterakan mereka lebih dari yang sebelumnya,” tutur Rangga.

SolarKita juga menawarkan program financing yang bekerja sama dengan lembaga keuangan dan non-perbankan, seperti Bank OCBC untuk kredit multiguna dan juga KoinWorks. Untuk menawarkan proses yang lebih sederhana, perusahaan juga menyediakan opsi rent-to-own dengan konsep serupa program cicilan untuk para pengguna yang ingin memanfaatkan PLTS.

Per tahun lalu, SolarKita telah menjadi bagian dari portfolio New Energy Nexus. Perusahaan ini bergerak dan membentuk ekosistem pendanaan, program dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Saat ini perusahaan juga telah tergabung dalam jaringan ANGIN, sebagai jembatan yang menghubungkan investor dan entrepreneur.

Hingga saat ini 80% pengguna SolarKita datang dari kaum residensial. Perusahaan memiliki tim perwakilan di Jabodetabek, Surakarta, dan Bali. Ke depannya, Rangga mengungkapkan ingin ekspansi ke kota-kota besar di Indonesia. Targetnya, perusahaan ingin mengakuisisi 1 megawatt melalui sekitar 330 rumah di tahun 2023.

Disclosure: Artikel ini terbit atas kerja sama DailySocial.id dan ANGIN untuk seri Startup Impact Indonesia. ANGIN turut membantu melakukan proses kurasi startup terkait.

Application Information Will Show Up Here

Peranan Grace Tahir Mendukung “Entrepreneur” Perempuan

Setelah mendirikan startup dan berkecimpung di ekosistem sebagai mentor dan angel investor, Grace Tahir kini memiliki kesibukan baru sebagai Limited Partner (LP) di sebuah venture capital.

Kepada DailySocial, Grace menceritakan strategi investasinya dan passion besar untuk championing woman equality di Indonesia.

Angel investor dan LP

Grace Tahir bersama Wilson Cuaca saat berinvestasi kepada Talenta tahun 2014

Selaras dengan pengalaman bisnis keluarga di Mayapada Hospital and Siloam Hospital, Grace memulai kiprah di industri healthtech dengan Dokter.id dan Medico. Dokter.id adalah platform edukasi bagi masyarakat yang memberikan konsultasi gratis melalui chat dan berita. Sementara Medico bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan, seperti rumah sakit dan klinik, sebagai bagian solusi end-to-end.

Beberapa tahun terakhir, ia mulai tertarik menjajaki industri yang berbeda. Tak hanya healthtech, tetapi diversifikasi segmen yang  tetap diupayakan bisa sejalan dengan visi perusahaan keluarga.

“Menjadi angel investor bagi saya bukan hanya ingin memberikan capital, namun juga membantu perusahaan tersebut. Harapannya agar tercipta sinergi,” kata Grace.

Hingga saat ini Grace memiliki 7 startup portofolio dalam kapasitas sebagai angel investor, di antaranya Printerous, Lababook, Filmore, Dokter.id dan startup lain dari bidang makanan dan minuman, edukasi, hingga layanan e-commerce. Di tahun 2014, bersama East Ventures, Grace berinvestasi ke Talenta yang telah diakuisisi Mekari tahun 2018 lalu. Sebagai investor, Grace hanya tertarik berinvestasi kepada startup tahap awal.

Kesibukkannya yang masih mengelola perusahaan keluarga terkadang menyulitkan Grace melakukan proses kurasi dan due diligence startup berpotensi. Meskipun masih bergabung dengan Angel Investment Network Indonesia (Angin), Grace mulai mengurangi kegiatannya sebagai angel investor dan memilih menjadi LP di beberapa venture capital yang sesuai dengan minat dan misinya.

“Saat ini saya sudah menjadi LP di Teja Ventures dan Avatar Capital yang keduanya dipimpin oleh perempuan. Melihat kinerja dan pilihan investasi yang mereka lakukan, menurut saya cukup sesuai dengan minat dan passion saya,” kata Grace.

Teja Ventures selama ini memosisikan diri sebagai venture capital yang membantu entrepreneur perempuan untuk mengembangkan bisnisnya. Sementara Avatar Capital, meskipun tidak terlalu fokus hanya ke founder perempuan, memiliki visi dan misi yang serupa. Kedua pendirinya, Virgina Tan (Teja Ventures) dan Gitta Amelia (Avatar Capital) adalah kolega dekat Grace.

Sebagai business woman, Grace ingin fokus membantu perempuan Indonesia mengembangkan bisnisnya. Pendekatan gender lens investing (GLI) menjadi fokus Grace, yaitu berinvestasi ke startup yang fokus ke pasar perempuan dan bagaimana produk yang ditawarkan bisa memberikan impact bagi perempuan Indonesia.

Peluang bisnis direct to consumer (D2C)

Grace Tahir / Photo credit : Angin

Sebagai investor, Grace melihat kategori bisnis yang dilirik tidak harus heavy menggunakan teknologi. Salah satu industri yang mulai menjadi fokusnya adalah social commerce dan konsep bisnis direct to consumer.

“Berdasarkan survei terungkap saat ini sekitar 40% generasi muda lebih menyukai brand atau produk yang memiliki konsep D2C. Bisnis tersebut tidak lagi harus memiliki toko atau gerai khusus atau fokus kepada pengembangan teknologi,” kata Grace.

DailySocial mencatat konsep bisnis D2C memang mengalami peningkatan di Indonesia. Kebanyakan perusahaan di sektor ini didirikan oleh pendiri perempuan dan menawarkan produk kecantikan, fashion, hingga makanan.

“Startup asal Indonesia menjadi fokus investasi saya. Startup asing bisa dibilang sangat mudah mendapatkan modal dari venture capital dibandingkan dengan startup Indonesia,” kata Grace.

[VIDEO] Mengenal ANGIN, Penghubung antara Investor dan “Entrepreneur”

Berbeda dengan jenis-jenis investor lain umumnya, di video kali ini David Soukhasing dari ANGIN (Angel Investment Network Indonesia) berbagi cerita ke DailySocial tentang  strategi yang dilakukan perusahaannya perihal pendanaan dan seperti apa pandangannya terhadap ekosistem startup di Indonesia saat ini.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal Youtube DailySocialTV.

Menyambut Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia, Siap dengan Risiko Tinggi Investasi Startup

Pentingnya peran serta angel investor terlibat dalam ekosistem startup, terutama saat tahap awal, tidaklah terbantahkan. Selain membantu startup itu sendiri, bagi investor berinvestasi ke startup tahap awal tergolong “masih murah”, sehingga “ramah budget”. Pesona ini belakangan menarik investor individu yang berlatar belakang sebagai founder startup.

Dalam laporan ANGIN bertajuk “Angel Investment Network 2020”, jumlah angel investor di Indonesia masuk dalam fase bertumbuh (growing), bersama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Adapun, Malaysia dan Singapura berada dalam fase dewasa (mature).

Impact Investment Lead ANGIN Benedikta Atika mengatakan, di segi kuantitas, kini angel investor terbagi menjadi dua kelompok: aspiring and new angel investors dan experienced angel investors. Untuk kelompok pertama, menurutnya, secara umum pihaknya melihat antusiasme dari individual untuk masuk sebagai angel investor pada tahap awal.

ANGIN sendiri turut merasakan jumlah angel investor yang bergabung ke dalam jaringannya meningkat hingga 40% dalam dua tahun terakhir. Tren tersebut diperkirakan akan semakin kuat ke depannya dengan lebih banyak mantan pengusaha (misalnya founder startup) yang lebih aktif dalam berinvestasi. Juga bergabung para profesional muda, diaspora, dan generasi berikutnya dari keluarga terkemuka.

“Sementara untuk experienced angel investors, terjadi pergeseran di mana angel investor yang lebih berpengalaman kini maju sebagai LP/menjadi fund manager. Maka mereka tidak lagi aktif lagi sebagai angel investor,” ucap Atika kepada DailySocial.

Dari sisi kualitas, dengan semakin banyak individu yang terjun, makin beragam pula bentuk dukungan yang lebih baik diberikan kepada para founder.

Saat ini ANGIN memiliki lebih dari 130 klien investor yang di dalamnya mencakup sekitar 80 angel investor individu dan sisanya investor institusi. Dari jumlah tersebut, ANGIN berhasil mengumpulkan lebih dari 200 investor tahap awal yang terlibat dalam pendanaan melalui jaringannya. Sejak ANGIN berdiri di 2014, secara akumulasi telah berinvestasi ke 60 startup.

Statistik ini menjadikan ANGIN organisasi jaringan angel investor terbesar di Indonesia. Di luar itu, terdapat ANGEL EQ (kini bernama ALTIRA) dan Angel.ID.

Dalam jajaran angel investor yang bergabung di ANGIN, terdapat investor institusi yang datang dari VC, keluarga konglomerat, korporat, impact investor, dan organisasi. Sementara dari kalangan individu, datang dari pengusaha, HNWI (High-Net-Worth-Individuals), dan figur publik. Sebesar 80% dari total klien ANGIN adalah orang Indonesia.

Di luar jaringan ANGIN, dalam catatan DailySocial, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul nama-nama angel investor yang datang dari founder startup tersohor. Berikut daftarnya:

No

Nama Investor Posisi saat ini

Startup yang diinvestasikan

1 Arya Setiadharma CEO Prasetia Dwidharma Wallez (angel round, 11/2016)
2 Arip Tirta Co-Founder Urbanindo Bobobox, Evermos
3 Derianto Kusuma Co-Founder Traveloka AllSome Fulfillment (venture round, 8/19)
4 Reynold Wijaya Co-Founder Modalku Brick (tahap awal, 03/21)
5 Haryanto Tanjo Co-Founder MOKA Greenly (tahap awal, 7/21)
6 Edy Sulistyo Co-Founder Loket Undisclosed
7 Kevin Aluwi Co-Founder Gojek – LoveLocal, rebrand dari m.Paani (12/19)
8 Aldi Haryopratomo Co-Founder Mapan BukuWarung (seri A, 06/21)
9 Edward Tirtanata Co-Founder Kopi Kenangan – BukuKas,

– GudangAda,

– OtoKlix,

– Medigo (pra-Seri A, 12/20),

– Noice

*Pendanaan melalui  Kenangan Fund

10 Rohan Monga CEO Zenius – Zenius (Seri A, 10/19),

– Ula (tahap awal, 06/20)

12 Achmad Zaky Co-Founder Bukalapak – Eduka (tahap awal, 04/20),

– IDCloudHost (tahap awal, 03/21),

– Codemi (tahap awal, 10/20)

 

*Pendanaan melalui VC Init-6

13 Heriyadi Janwar EVP B2B Corp Solution Blibli – Printera,

– Job2Go,

– x0swab

14 Willy Arifin Co-Founder KoinWorks – BukuKas,

– Ula (tahap awal, 06/20),

– Dedoco (tahap awal, 07/21)

15 Christian Sutardi Co-Founder Fabelio BukuKas
16 James Pranoto Co-Founder Kopi Kenangan BukuKas
17 Filippo Lombardi Co-Founder Fabelio BukuKas
18 Sebastian Wijaya Serial investor x0swab
19 Alexander Rusli Serial investor Digiasia, dan 11 startup lainnya
20 Hendra Kwik Co-Founder Payfazz Payfazz, Shipper, Pahamify, Verihubs

 

*Pendanaan sebagai LP di Number

 

Dalam jaringan ANGIN

No

Nama investor

Posisi saat ini

  (Seasoned investor)
1 Shita Kamdani CEO Sintesa Group
2 Noni Purnomo Direktur Utama PT Blue Bird Tbk
3 Jefrey Joe Co-Founder & Managing Director Alpha JWC
4 Mariko Asmara CEO Ango Ventures
(New generation investor)
1 James Prananto Co-Founder Kopi Kenangan
2 Evelyn Grace Png Founder Sunflower Ventures Asia
3 Bianca Belnadia Lie Country Head Love, Bonito
Portofolio ANGIN Burgreens, Kitabisa.com, Siklus, Binar Academy, dan lainnya.

Fungsi dan peran angel investor

Belakangan jumlah VC yang turut berinvestasi dengan ticket size seperti angel investor mulai ramai, ada yang dimulai dari $25 ribu sampai $50 ribu. Kendati begitu, menurut Atika, mau bagaimanapun peran angel investor itu berbeda dengan VC dan tetap relevan dengan kebutuhan startup tahap awal.

Alasannya 1) angel investor memberikan dukungan di luar kapital, walaupun lebih banyak VC yang high-touch, tapi angel investor masih lebih fleksibel. Nilai tambah inilah yang membuat angel investor lebih unggul; 2) angel investor mempelopori dukungan kepada founder di sektor niche (misalnya less-tech enabled model, memiliki misi berdampak sosial) yang sering dianggap terlalu dini atau kurang menarik bagi investor pada umumnya.

Pernyataan Atika didukung penuh oleh Edy Sulistyo (CEO GoPlay) dan Heriyadi Janwar (EVP B2B Corp Solution Blibli). Keduanya adalah penggiat startup sekaligus angel investor.

Edy menyampaikan kehadiran sosok angel investor tidak hanya sebagai pendukung finansial perusahaan, tetapi juga sebagai validasi eksternal dan sosok pertama yang percaya dengan ide founder. “Hampir kebanyakan founder masih berhubungan baik dengan para angel investor yang juga menjadi mentor, tak hanya bagi perjalanan bisnis tetapi juga kehidupan mereka.”

Sepak terjang Edy sebagai angel investor dimulai sejak 2012, ia pun juga berkesempatan menjadi advisor untuk beberapa perusahaan dan startup yang didorong oleh motivasi besar untuk berbagi dan menumbuhkan ekosistem startup Indonesia.

Heriyadi menambahkan, mau bagaimanapun sosok angel investor itu tetap dibutuhkan karena kebanyakan startup tahap awal butuh dana tahap awalnya, untuk scale up dan validasi. Kondisi tersebut tidak berlaku apabila founder datang dari keluarga berada dan tidak memiliki limitasi kapital. “Ini sesuatu yang dibutuhkan, lagipula startup di Indonesia itu bukan tipe yang kalau butuh dana pinjam ke bank,” ucapnya.

Berinvestasi ke founder

Sumber: Depositphotos

Mengutip dari sebuah tulisan yang dibuat Arya Setiadharma di Asean Business, playbook angel investor di Asia Tenggara berbeda dengan negara maju yang ekosistemnya sudah jauh lebih matang dan peraturan yang mendukung (seperti aturan pasar tunggal di EU). Makanya, biasanya para angel investor di kawasan ini sudah akrab dengan kultur di pasar ASEAN. Hal tersebut juga berdampak pada lebih riskan risiko gagalnya.

Seringkali pula, angel investor menemukan diri mereka harus berurusan dengan founder baru yang belum memiliki pandangan 360 derajat terkait startup. Oleh karenanya, menurut Arya, ada tiga tanda bahaya yang harus segera diidentifikasi angel investor sebelum menimbulkan masalah di kemudian hari: kepemimpinan yang tidak stabil, tidak ada pengakuan persaingan, dan harapan yang tidak realistis.

“Jika Anda sebagai angel dapat meramalkan mimpi founder jadi kenyataan, patut bertaruh bahwa mereka dapat menggunakan kisah itu lagi nanti saat mengumpulkan lebih banyak modal dari investor lain. Ini mungkin terdengar terlalu sederhana, tetapi setidaknya dalam kasus saya, ini terbukti benar dalam banyak kesempatan,” kata Arya.

Edy turut menyampaikan bahwa investor itu berinvestasi ke founder adalah benar adanya, terlebih bagi startup tahap awal. Sebab pada fase ini, belum banyak hal yang bisa dilihat, sehingga alangkah penting untuk mendalami seluk beluk si founder dan timnya.

Perlu untuk menanyakan, siapakah dia, apa latar belakangnya, visi dan misinya, lalu bagaimana susunan tim founder dari startup, dan bagaimana mereka menjalankan bisnisnya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat kecocokan antara satu sama lain. Layaknya mencari pasangan hidup.

Edy merujuk pada pengalamannya terdahulu. Dia bilang, sebelum mengkaji hal-hal seperti model bisnis dan potensi pasar, penting untuk memahami “Masalah apa yang ingin founder selesaikan.”

“Karena saya percaya, apabila founder telah menemukan apa problem atau pain point bagi konsumen, product/services yang dia hasilkan akan jauh lebih kuat. Semakin kuat pain point dan passionate para founders dengan masalah tersebut, maka akan lebih baik, apabila mereka berhasil menghadirkan solusi yang dapat menjawab hal tersebut.”

Heriyadi ikut menambahkan, mengenal founder itu adalah filtering pertama sebelum ia memutuskan untuk berinvestasi ke startup. “Saya lebih suka kalau founder-nya sudah saya kenal. Tidak mau kalau tidak kenal sama sekali, minimal dalam jajaran founder-nya ada satu yang saya kenal. Atau saya dikenalkan dari jaringan saya sendiri,” katanya.

Filter berikutnya yang biasa ia lakukan adalah memahami seberapa besar ide bisnis tersebut bisa di-scale up dan seberapa besar pangsa pasarnya. “Kalau validasi market-nya terlalu besar atau kekecilan, menurut saya jadinya tidak realistis.”

Seluruh topik pertanyaan Edy dan Heriyadi ini akan terjawab dengan membaca pola pikir founder tersebut dan respons-respons yang diberikan. Apabila founder keras kepala, tidak mau cepat beradaptasi, akan susah untuk berkembang. Sebab, menurut Heriyadi, terjun ke startup itu artinya harus fleksibel.

“Sebab dari pendanaan angel investor ini runway-nya hanya cukup untuk 6 bulan-1 tahun, setelah itu harus melakukan raise funding lagi. Kalau tidak dapat funding dalam kurun waktu tersebut, kita harus tanyakan mereka akan bagaimana karena perusahaan harus tetap ada bisnis untuk cashflow,” tutur Heriyadi.

Ia juga menekankan suntikan dari angel investor tersebut, sebaiknya bukan untuk menggaji karyawan yang sudah ada. Investor harus tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa saja. “Duitnya harus buat bikin produk, caranya dengan hiring orang produk dan sebagainya. Itu kasusnya kalau founder-nya bukan orang teknikal.”

Di tengah antusiasme hadirnya angel investor baru, Edy tetap menekankan bahwa investasi di sektor ini menghasilkan big-gain, pasti high-risk. Untuk itu, investasi di startup merupakan investasi jangka panjang yang benar-benar harus terukur. Khusus untuk startup tahap awal, kalkulasi yang bisa dilakukan adalah perlunya keterlibatan (hands-on) dengan melakukan mentoring dan diskusi secara intens.

“Karena pada tahap awal itulah kita masih berkesempatan memberikan arah jalan perusahaan, memberikan saran pengembangan produk berdasarkan pengalaman-pengalaman kita.”

Sementara itu, bagi Heriyadi, adalah investor perlu mendapat progress rutin terkait bisnis startup tersebut apakah sesuai dengan rencana awal atau tidak. Bila ada kendala, biasanya ia akan bantu dengan mengandalkan jaringan-jaringan yang sudah dibangun.

Terhitung Heriyadi telah berinvestasi untuk enam startup sebagai angel investor. Beberapa namanya adalah Printera, Job2Go, dan x0swab. Selain itu, ia aktif sebagai LP untuk fund yang dibuat sejumlah VC.

Risiko tinggi dan tantangan lainnya

Atika mengatakan, dengan lebih banyak investasi yang dikucurkan ke startup, pihaknya melihat bahwa mencari startup yang berkualitas tak lagi menjadi tantangan buat angel investor. Saat ini ada begitu banyak program kesiapan investasi, matchmaking, speed dating, dan acara startup yang membantu angel investor mendapatkan akses ke founder.

Namun, masalah utama yang terus menjadi isu adalah mengenai eksekusi (penataan kesepakatan/deal structuring, negosiasi, dan closing), termasuk di dalamnya mengenai struktur investasi (investment structure). Angel investor punya keterbatasan untuk berpartisipasi dalam kesepakatan dengan struktur tertentu.

Misalnya karena tempat tinggal mereka, terbatasnya akses/pengetahuan terhadap dukungan hukum atau alternatif badan hukum yang tersedia. Hal ini membuat angel investor tidak efisien untuk berinvestasi, terutama mengacu pada ticket size yang berukuran lebih kecil.

Dalam menyelesaikan isu tersebut, pihaknya didukung oleh Frontiers Lab Asia, saat ini sedang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah ini dan membuka peluang angel investor dapat berinvestasi di level Asia. “Kami sedang mengerjakan solusi yang dapat diskalakan untuk membuat angel investment lebih efisien dan relevan di seluruh wilayah.”

Isu ini juga dikemukakan Co-Founder Payfazz Hendra Kwik, yang kini juga terlibat sebagai LP dan Partner MAGIC. MAGIC adalah VC global untuk pendanaan tahap awal yang dikelola oleh sekelompok founder startup. Menurut Hendra, dirinya cenderung masuk sebagai LP daripada berinvestasi secara langsung karena ia ingin lebih terstruktur dan profesional.

“Jadi saya ingin mencegah [tidak profesional], semua harus profesional [proses pendanaannya],” kata Hendra.

Dalam melakukan pendanaan, ANGIN memiliki tiga lapisan penilaian ini sebelum dihubungkan ke angel investor yang masuk ke dalam jaringannya. “Kami memiliki kartu skor sendiri, tetapi selama peninjauan, kami pasti akan melihat orang-orangnya (misalnya motivasi, komitmen, kecocokan pendiri/pasar, dan struktur tim), kecocokan masalah/solusi, dan kecocokan produk/pasar.”

Hal lainnya yang masuk dalam proses analisis ANGIN adalah bagaimana memahami founder apakah cocok dengan minat dan selera risiko angel investor di ANGIN. Dengan profil yang beragam antar individu, cara tersebut memberikan proses analisa di ANGIN lebih kaya karena memberikan tambahan perspektif.

Arya melanjutkan, di tengah risiko yang lebih tinggi di ASEAN, para angel di kawasan ini dapat menggunakan kesepakatan awal untuk berinvestasi melalui instrumen SAFE (simple agreement for future equity) atau convertible notes.

Menurutnya, instrumen ini memberikan tingkat perlindungan jika startup mengalami penurunan karena kreditur diprioritaskan daripada pemegang saham, sambil menghasilkan saham ekuitas yang lebih besar jika startup berhasil dalam putaran pendanaan di masa depan.

“Sama seperti yang mereka lakukan dengan kelas aset lainnya, para angel harus berusaha seproduktif mungkin saat mendukung startup untuk mendiversifikasi risiko.”

Ia juga menyarankan agar angel investor jangan membatasi diri, melainkan bangun portofolio dari berbagai tema industri. Pilihan lainnya adalah coba bergabung dengan jaringan angel yang tepat dan co-invest dengan angel lainnya.

“Di atas segalanya, jangan berkecil hati ketika startup dalam portofolio Anda gagal, atau investasi tertentu tidak berjalan dengan baik. Angel perlu dipersiapkan untuk membuat banyak taruhan. Jika ini tidak sesuai dengan Anda, saran sederhana saya: jangan mencoba menjadi angel di ASEAN,” tutup Arya.


*Foto header: Depositphotos.com

A Starter Kit to Become Angel Investor

Based on data compiled by DailySocial, there are at least seven deals in Indonesia that have announced to receive funding from angel investors in 2020.

In a recent conversation with DailySocial, Edward Tirtanata once mentioned the landscape of angel investors in Indonesia. He said, the current angel investor ecosystem is not very developed. In fact, quite a few startups seek access to early-stage funding through this route.

Indonesia currently has an angel investment network through ANGIN (Angel Investment Network Indonesia), however, if you refer to information from a number of startup founders, there is not much access to connect with angel investors. The existence of angel investors in Indonesia is not actually non-existent, it’s just that they tend to avoid exposure.

In addition to access, there is another issue that is quite interesting and gain much attention, the amount of investment value to become an angel investor. Can someone who was not quite rich, be an angel investor? If the answer is yes, what is the ideal value should one has to become an angel investor?

Angel Investor’s definition

In a blog written by journalist and investment observer Chris Muller, there are some tips that can be implemented by anyone who wants to try their luck as an angel investor, even though they may not be rich.

Before we get there, let’s clarify what an angel investor is. Muller defines it as someone who has enough money to invest in an early-stage business or an existing business that is already growing. Similar to investors in general, angel investors crave a return on investment which is usually in the form of equity in the company or revenue sharing.

As citing Entrepreneurs, their motivation to invest is not solely for profit, but based on the desire to help new business. Angel investors can come from various professions, such as doctors, lawyers, suppliers, or business partners. Unlike the VC which stands as an institution to invest other people’s money.

When referring to regulations in the United States (US), anyone can become an angel investor as long as they meet the requirements as an “accredited investor” by the Securities and Exchange Commission (SEC) Stock Exchange Commission, which is to have a net worth of $1 million or more (excluding residence principal) and earns $200,000 per year.

How much capital required?

Back to the first question, is it possible to invest in a small amount of money? How much does it take to become an angel investor? Muller revealed, referring to recommendations from experienced investors, investors allocate up to 10% of the portfolio for angel investment.

This might not answer how much is actually required. The easiest answer that can be given is that it depends on the type and size of the targeted investment. If you copy the references to the television show Shark Tank, you can start with an investment of hundreds of thousands of US dollars.

In fact you could have invested on a smaller scale, says $10,000. However, Muller highlighted that the smaller the investment, the smaller the shares owned (and of course the profits). This amount can also be a factor that affects the involvement of investors in making business decisions.

He gave an example, if the total investment in the portfolio is $100,000, this will fulfill the 10% portion as mentioned earlier. However, if you want to invest in a good startup business, he recommends having at least $50,000 – meaning your overall portfolio can be close to $500,000.

Meanwhile, quoted from Pluang blog, Angel Capital Association data noted that investors with entrepreneurial backgrounds invest an average of $39,000. There are also those who invest an average of $28,000. There is no specific amount, it all depends on the investor and the targeted business.

Collectively, global angel investors set aside up to $24 billion to invest in 64,000 startups each year.

Pros and cons of angel investors

Basically, investing is not just a way to enjoy profits. It’s a risky movement and you could lose probably all of the money – even if the company underperforms or goes bankrupt. Other data from the Angel Capital Association shows that at least 50% of angel investors lost half of their funds.

Moreover, we need to underline that this is an investment, not a loan. One of the reasons why businesses prefer angel investment is because it is not recorded as a loan on their balance sheet. Angel investors buy part of the company. This means that there is another way if the business fails and you lose money than bothering to take action if it is a loan that cannot be repaid.

On the other hand, angel investment can also potentially generate very high returns. Muller gave an example, Peter Thiel’s investment in Facebook has become one of the most popular angel investments. Thiel injected $500,000 into Facebook in 2004 before Mark Zuckerberg’s platform went public. If only Thiel hadn’t sold his 80% stake by now, Thiel’s stake could be worth $10 billion today.

Another plus side is that you can build your company the way you want. Angel investment makes it possible to acquire ownership of the company, which automatically enables you to be involved in making decisions. However, this is all provided that it refers to the size of the investment and the agreement you make with the business owner.

What is also important is investment diversification. Muller said, angel investing gives investors the option to expand their investment portfolio, such as stocks, bonds, and exchange traded funds (ETFs). Investors can become part owners of the company and pocket returns in the form of company profits.

Does angel investment profit?

Still referring to the Pluang blog, a number of angel investors reported returns ten times higher than their initial investment after selling their shares in the company.

Based on a number of studies, only 5-10% of angel investments are recorded for profit. On average, 11% of funded companies generate positive exits. It also has a variety of exit results.

Thus, not all exits are profitable for angel investors. All of this goes back to the research conducted by investors regarding the company and the business category to be funded. First understand the business you want to fund before deciding to invest.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memulai Langkah Menjadi “Angel Investor”

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial, setidaknya ada tujuh deal di Indonesia yang mengumumkan menerima pendanaan dari angel investor di tahun 2020.

Dalam percakapan dengan DailySocial beberapa waktu lalu, Edward Tirtanata pernah menyinggung tentang kondisi angel investor di Indonesia. Menurutnya, ekosistem angel investor di sini masih belum terlalu berkembang. Padahal, tak sedikit pelaku startup yang mencari akses pendanaan tahap awal lewat jalur ini.

Indonesia saat ini sudah memiliki jaringan investasi angel melalui ANGIN (Angel Investment Network Indonesia), namun jika mengacu informasi dari sejumlah founder startup, akses untuk terhubung dengan angel investor dirasa belum banyak. Eksistensi angel investor di Indonesia sebetulnya bukannya tidak ada, hanya saja mereka cenderung tak ingin terekspos namanya.

Selain akses, ada isu lain yang cukup menarik dan banyak diperbincangkan, yakni besaran nilai investasi untuk menjadi angel investor. Apakah seseorang yang mungkin tidak kaya raya, bisa menjadi angel investor? Jika jawabannya ya, sebetulnya berapa nilai ideal yang dapat dipenuhi untuk menjadi angel investor?

Definisi angel investor

Dalam sebuah blog yang ditulis jurnalis sekaligus pemerhati investasi Chris Muller, ada beberapa tips yang dapat dicontek siapapun yang ingin menjajal peruntungan sebagai angel investor, meskipun mungkin tidak kaya raya.

Sebelum ke sana, mari kita perjelas kembali apa itu angel investor. Muller mendefinisikannya sebagai seseorang yang punya cukup uang untuk diinvestasikan ke bisnis tahap awal atau bisnis existing yang sudah berkembang. Seperti investor pada umumnya, angel investor mendambakan balik modal yang biasanya berbentuk ekuitas di perusahaan atau bagi hasil (revenue sharing).

Sementara mengutip Entrepreneur, motivasi mereka berinvestasi tak semata-mata mencari keuntungan, tetapi berdasarkan pada keinginan untuk membantu para pelaku bisnis baru. Angel investor bisa berasal dari berbagai macam profesi, seperti dokter, pengacara, pemasok, atau rekan bisnis. Berbeda dengan VC yang berdiri sebagai institusi untuk menginvestasikan uang orang lain.

Apabila mengacu regulasi di Amerika Serikat (AS), siapapun bisa menjadi angel investor selama mereka memenuhi persyaratan sebagai “investor terakreditasi” oleh Komisi Bursa Efek dari Securities and Exchange Commission (SEC), yaitu memiliki kekayaan bersih $1 juta atau lebih (tidak termasuk tempat tinggal utama) dan menghasilkan $200.000 per tahun.

Berapa modal yang dibutuhkan?

Kembali pada pertanyaan di awal, apakah bisa berinvestasi dalam jumlah uang yang kecil? Berapa jumlah yang dibutuhkan untuk menjadi angel investor? Muller mengungkap, jika mengacu rekomendasi dari yang berpengalaman, investor mengalokasikan hingga 10% dari portofolio untuk angel investment.

Memang ini tidak menjawab berapa banyak yang dibutuhkan. Jawaban termudah yang bisa diberikan adalah tergantung pada tipe dan ukuran investasi yang diincar. Jika menyontek referensi acara televisi Shark Tank, Anda bisa memulainya dengan investasi ratusan ribu dolar AS.

Sebetulnya Anda bisa saja berinvestasi dalam skala yang lebih kecil, misalnya $10.000. Meskipun demikian, Muller menggarisbawahi bahwa semakin kecil investasi, akan semakin kecil pula saham yang dimiliki (dan tentunya keuntungan). Besaran ini juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi keterlibatan investor dalam mengambil keputusan bisnis.

Ia mencontohkan, apabila keseluruhan investasi pada portofolio sebesar $100.0000, ini akan memenuhi porsi 10% seperti disebutkan di awal. Tapi, jika ingin menginvestasikan bisnis startup yang baik, ia merekomendasikan setidaknya punya $50.000artinya portofolio keseluruhan sudah bisa mendekati $500.000.

Sementara, mengutip dalam blog Pluang, data Angel Capital Association mencatat investor dengan latar belakang kewirausahaan rata-rata menaruh sebesar $39.000. Ada juga yang berinvestasi dengan rata-rata $28.000. Tidak ada jumlah spesifik, semua bergantung pada investor dan bisnis yang diincar.

Secara kolektif, angel investor global menyiapkan dana hingga $24 miliar untuk diinvestasikan ke 64.000 startup setiap tahunnya.

Plus dan minus menjadi angel investor

Pada dasarnya berinvestasi tidak semata cara untuk menikmati keuntungan. Investasi berisiko dan Anda dapat kehilangan uang yang mungkin semuanya–inipun jika perusahaan berkinerja buruk atau bangkrut. Data lain Angel Capital Association menunjukkan setidaknya 50% dari angel investor kehilangan separuh dananya.

Lagi-lagi kita juga perlu menggarisbawahi bahwa ini adalah investasi, bukan pinjaman. Salah satu alasan mengapa pelaku bisnis menyukai angel investment adalah karena ini tidak tercatat sebagai pinjaman dalam neraca keuangan mereka. Angel investor membeli sebagian dari perusahaan. Artinya, ada jalan lain apabila bisnis gagal dan Anda kehilangan uang daripada repot mengambil tindakan jika itu pinjaman yang tak mampu dibayarkan.

Sebaliknya, angel investment juga dapat berpotensi menghasilkan return yang sangat tinggi. Muller mencontohkan, investasi Peter Thiel di Facebook menjadi salah satu angel investment terpopuler. Thiel menyuntik sebesar $500.000 ke Facebook pada 2004 silam sebelum platform besutan Mark Zuckerberg tersebut go public. Andai saja Thiel tidak menjual 80% sahamnya hingga sekarang, saham Thiel bisa bernilai sebesar $10 miliar saat ini.

Nilai plus lainnya adalah Anda dapat membangun perusahaan seperti yang diinginkan. Angel investment memungkinkan untuk memperoleh kepemilikan perusahaan, yang otomatis memampukan Anda untuk terlibat dalam membuat keputusan. Namun, ini semua dengan catatan mengacu pada ukuran investasi dan kesepakatan yang Anda buat bersama pemilik bisnis.

Tak kalah penting adalah diversifikasi investasi. Menurut Muller, angel investing memberikan pilihan kepada investor untuk memperluas portofolio investasi, seperti saham, obligasi, dan exchange traded fund (ETF). Investor dapat menjadi pemilik sebagian dari perusahaan dan dapat mengantongi imbal hasil dalam bentuk laba perusahaan.

Apakah angel investment menguntungkan?

Masih mengacu pada blog Pluang, sejumlah angel investor melaporkan pengembalian lebih tinggi sepuluh kali lipat dari investasi awal usai menjual saham mereka di perusahaan.

Menurut sejumlah riset, hanya 5-10% dari angel investment yang tercatat meraup keuntungan. Rata-rata sebanyak 11% dari perusahaan yang didanai menghasilkan exit yang positif. Itupun memiliki hasil exit yang bervariasi.

Bisa disimpulkan tidak semua exit menguntungkan bagi angel investor. Semua ini kembali lagi pada riset yang dilakukan investor terkait perusahaan dan kategori bisnis yang akan didanai. Pahami dulu bisnis yang ingin didanai sebelum memutuskan melakukan investasi.

The Momentum of Green Business Startup

Blue skies, fresher air, cooking back to the kitchen, exercising are just some of the signs that many people have experienced since the pandemic. Even though the situation is getting flexible as there have been relaxation in many sectors, a figure pops out that there is an awareness to start living a healthy life.

The opportunity arises for environmental enterprises to be recognized. Although there are not many startups practicing green or environmental, social and governance (ESG) approach, Managing Director of Angel Investor Network Indonesia (ANGIN), David Soukhasing said, there is currently a positive trend of having impactful businesses in the ecosystem. Impact investment has also emerged, which has been discussed in the DSInnovate report on Indonesian agritech.

Most of them are there to support entrepreneurship, providing more specific support for certain groups of social entrepreneurs, for example an energy focus accelerator program, an accelerator program waste management focus, or entrepreneurial support that focuses on a specific geographic area.

For Soukhasing, this factor was able to measure Indonesia’s readiness for impact investment. Indonesia needs a comprehensive ecosystem to be ready to welcome impact investors. Not only capital, basically a strong pipeline from companies/startups is necessary.

“A measure of maturity is the overall value of diversity in capital, diversity of investors, different stages, different types of money, and all supporting functions. In terms of supporting functions, such as incubators, accelerators, co-working spaces, Indonesia is actually quite developed. There are quite a lot of pipeline networks and investors here,” Soukhasing explained to DailySocial.

He continued, “However, we need more action, capital diversity is required to really talk about a mature ecosystem. Another aspect of maturity is the policy, how regulations are developed to have an impact on investment and entrepreneurship, and this is still lacking in Indonesia.”

Based on ANGIN’s report entitled Investing in Impact in Indonesia, in 2013, the concept of impact investing was quite rare in Indonesia. However, it is getting more familiar as some VCs has created special funds to invest in impact business.

There are several impact investors have invested in Indonesia, both local and foreign players. Some already have a representative team in Indonesia. It has reached 66 investors, including 61 from foreign funds and the five remaining from Indonesia.

Meanwhile, the mainstream investors that have disbursed its funds to impactful sectors will continue to increase, nearly two times as many as 107 investors. It includes 32 local investors and 75 investors from abroad.

Each impact investor actually has different focuses. ANGIN thematically recorded, there are 10 types of respective focus for impactful businesses, divided into financial inclusion, forestry, clean energy, poverty, gender lens, circular economy, fisheries, climate, agriculture, and the media. Each reflects the opportunities and challenges in Indonesia.

What the global non-profit organization New Energy Nexus has done may be a concrete example in the field. They know that the potential for renewable energy has not been fully explored in Indonesia, provoking them to be present in Indonesia since 2018 through the routinely held incubation and acceleration programs and hackhaton.

To date, New Energy Nexus has completed seven batches of incubation and acceleration programs, and guided more than 40 renewable startups in honing their business and innovation strategies. “We not only provide capacity building support but also provide funding to provide overall support,” New Energy Nexus Indonesia’s Program Director, Diyanto Imam said.

Total grants has reach IDR650 million until March 2021, while convertible notes funding has reached IDR 3.5 billion. One of its portfolios is PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), a renewable energy startup that provides a Warung Energi marketplace and B2B solar energy solutions for commercial, industrial, and centralized.

It’s different with philantrophy

Soukhasing explained that the basic similarity between philanthropy and impact investing is that both have “impact intention” and “impact measurement”. However, we can distinguish them based on two factors, priorities and expectations of financial returns.

Philanthropy has clear social and environmental objectives, placing investments that are given as grants and not to expect returns. Unlike philanthropy, impact investors prioritize impact and profit.

Thus, impact investors expect financial returns. However, there are investors adopting a second approach called venture philanthropy.

This hybrid approach takes the best of both ways. The gain is the creation of a social impact and an expected financial return. Impact investors value opportunities differently from philanthropists. “It is important to note that not every impact (which is often discussed by philanthropists) is always suitable for impact investing and vice versa.”

Monetization strategy and challenges of impact business

Interestingly, many impact businesses have currently positioned its businesses as startups, aka using a technological approach to reach their target users, monetize, and accept investments from third parties.

One example is Siklus, which focuses on reducing plastic waste. Siklus provides a mobile refill post for shampoo, detergent, and floor cleaning fluid. One jerry can of shampoo brought by the officers is claimed to save the cost of making 2,500 sachets. Consumers can buy few or many refills at a lower price.

The business model Siklus uses is B2C because they do capital expenditures and require a number of orders per station which is difficult to do when using B2B2C.

“Our selling point is that we offer cheaper price and deliver to consumers’ places, suitable for price sensitive customers. However, we also see that there is a growing consumer segment that cares about sustainability,” Siklus’ Founder and CEO, Jane von Rabenau said.

The same focus, but with a different approach, was used by Rekosistem. They focus on recycling inorganic waste by creating a collection point or approaching consumers with a logistics fleet provided and ordered through the application.

Any inorganic waste received will be reprocessed into recycled materials, energy, and environmentally friendly building materials. Meanwhile, organic waste is processed using a biodigester into liquid fertilizer and biogas which will be given to consumers.

In other sectors, nafas focuses on providing air quality data through applications. The Indonesian people awareness about the pros and cons of air quality has not become a common topic for many people’s daily lives. Currently, apart from the application, nafas is exploring a smart home based air purifier product called aria. Nafas’ Co-Founder & CEO, Nathan Roestandy explained, the biggest challenge for startups like nafas, apart from increasing awareness in the market, is access to good quality factories for ease of the manufacturing process.

“Manufacturing in Indonesia is still dominated by large electronics brands that are capable of setting up large factories. Resources [that big] are not accessible to startups. However, we have the experience to build a supply chain to overcome this,” Nathan said.

Aria is indeed no different from the products of other brands. Nathan claims, aria has a sensor connected to nafas for the most up-to-date indoor air quality monitor. These are the advantages offered to the market.

Soukhasing added that the challenges of impacts business  is quite vary and is not apple-to-apple with other types of businesses. He gave an example that the green energy sector has its own characteristics and stakeholder profiles that cannot be compared with other types of startups.

Talking about “attractiveness” also has a different meaning, as green energy startups also comprise multiple verticals – whether they work with urban households/settlements, rural residents, or B2B companies.

“Therefore, we’d say we can’t measure green energy startups using the same success metrics we usually have for a typical startup. This will bring another context to the problems faced by green energy startups, including finding the right investors and support systems who understand their sector well.”

Most investors who are unfamiliar with green energy startups may perceive their business model to be capital heavy (high capital expenditure), require a longer timeframe, and require more effort to penetrate and educate a market that is more familiar with existing solutions (e.g. energy-based fossil). Therefore, startups have a lot of homework to “educate” customers and investors, supported by programs or other ecosystem actors.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Momentum Startup Hijau Naik Panggung

Langit biru, udara yang lebih segar, kembali memasak di dapur, kembali berolahraga adalah sekian pertanda yang dialami banyak orang sejak pandemi. Meski sekarang kondisi tersebut tidak sepenuhnya valid karena sudah ada pelonggaran di banyak sektor, namun ada gambaran bahwa timbul kesadaran untuk mulai hidup sehat.

Muncul kesempatan bagi usaha-usaha yang peduli pada lingkungan dikenali banyak orang. Meski jumlah startup yang memakai pendekatan hijau atau environmental, social, and governance (ESG) masih terbatas, menurut Managing Director Angel Investor Network Indonesia (ANGIN) David Soukhasing, saat ini terjadi tren positif kehadiran usaha berdampak di ekosistem. Investasi berdampak (impact investment) pun bermunculan, sebagaimana yang juga dibahas di laporan DSInnovate tentang agritech di Indonesia.

Mayoritas mereka hadir untuk mendukung kewirausahaan, memberikan dukungan yang lebih spesifik untuk kelompok wirausaha sosial tertentu, misalnya program akselerator fokus energi, fokus pengelolaan limbah program akselerator, atau dukungan wirausaha yang berfokus pada area geografis tertentu.

Bagi Soukhasing, faktor tersebut mampu mengukur kesiapan Indonesia terhadap investasi berdampak. Indonesia butuh ekosistem menyeluruh untuk siap menyambut investor berdampak. Tidak hanya permodalan, pada dasarnya dibutuhkan pipeline yang kuat dari perusahaan/startup.

“Salah satu ukuran kematangan adalah keseluruhan nilai keanekaragaman permodalan, keragaman investor, tahapan yang berbeda, jenis uang yang berbeda, dan semua fungsi pendukung. Dari segi fungsi pendukung, seperti inkubator, akselerator, co-working space, Indonesia sebenarnya cukup berkembang. Ada cukup banyak jaringan pipeline dan investor ada di sini,” terang Soukhasing kepada DailySocial.

Ia melanjutkan, “Namun kita perlu lebih banyak tindakan, keragaman permodalan diperlukan untuk benar-benar berbicara tentang ekosistem yang matang. Aspek kedewasaan lainnya adalah aspek kebijakan, bagaimana regulasi dikembangkan untuk berdampak pada investasi dan kewirausahaan, dan hal ini masih kurang di Indonesia.”

Menurut laporan ANGIN bertajuk Investing in Impact in Indonesia, pada tahun 2013 konsep investasi berdampak masih sangat jarang di Indonesia. Namun sekarang makin familiar karena mulai ada VC yang membuat fund khusus untuk investasi di sektor berdampak.

Ada sejumlah investor berdampak yang telah berinvestasi di Indonesia, baik itu pemain lokal dan asing. Beberapa telah memiliki tim representatif di Indonesia. Totalnya mencapai 66 investor, dengan rincian 61 dari fund luar negeri dan lima sisanya dari Indonesia.

Sementara itu, investor mainstream yang telah mengucurkan sejumlah dananya untuk sektor berdampak jumlahnya jauh lebih banyak, hampir dua kali lipatnya sebanyak 107 investor. Dengan rincian 32 investor lokal dan 75 investor dari luar negeri.

Fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

Apa yang dilakukan lembaga non-profit global New Energy Nexus mungkin bisa menjadi contoh konkret di lapangan. Mereka tahu potensi energi terbarukan belum tergali dengan maksimal di Indonesia, memancing mereka untuk hadir di Indonesia sejak 2018 melalui program inkubasi dan akselerasi dan hackhaton yang rutin diadakan.

Sampai saat ini, New Energy Nexus sudah menyelesaikan tujuh angkatan program inkubasi dan akselerasi, serta membimbing lebih dari 40 startup terbarukan dalam mengasah strategi bisnis dan inovasi mereka. “Kami tidak hanya berikan dukungan capacity building tapi juga ada pendanaan untuk memberikan dukungan secara menyeluruh,” ucap Program Director New Energy Nexus Indonesia Diyanto Imam.

Total hibah yang telah diberikan mencapai Rp650 juta sampai Maret 2021, sementara pendanaan berbentuk convertible notes mencapai Rp3,5 miliar. Salah satu portofolionya adalah PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), startup energi terbarukan yang menyediakan marketplace Warung Energi dan solusi B2B energi surya untuk komersial, industrial, maupun tersentralisasi.

Berbeda dengan filantropi

Soukhasing menerangkan, persamaan mendasar antara filantropi dan investasi berdampak adalah keduanya sama-sama memiliki “niat dampak (impact intention)” dan “pengukuran dampak (impact measurement)”. Namun kita dapat membedakannya berdasarkan dua faktor, yaitu prioritas dan ekspektasi keuntungan finansial.

Filantropi jelas memiliki tujuan sosial dan lingkungan, menempatkan investasi yang diberikan sebagai hibah sehingga tidak mengharap imbal hasil. Tidak seperti filantropi, investor berdampak memprioritaskan dampak dan keuntungan.

Dengan demikian, investor berdampak mengharapkan keuntungan finansial. Akan tetapi, ada investor yang mengadopsi pendekatan keduanya yang disebut venture philanthropy.

Pendekatan hibrida ini mengambil sisi terbaik dari kedua sisi. Keuntungan yang didapat adalah penciptaan dampak sosial dan ekspektasi keuntungan finansial. Investor dampak menilai peluang dengan cara yang berbeda dari filantropis. “Penting untuk diperhatikan bahwa tidak setiap dampak (yang sering dibahas oleh para filantropis) selalu cocok untuk investasi berdampak dan sebaliknya.”

Cara monetisasi dan tantangan usaha berdampak

Menariknya, saat ini usaha berdampak banyak yang menempatkan diri sebagai startup, alias memanfaatkan pendekatan teknologi untuk menjangkau para target penggunanya, melakukan monetisasi, dan menerima investasi dari pihak ketiga.

Salah satu contohnya adalah Siklus yang fokus mengurangi sampah plastik. Siklus menyediakan pos pengisian isi ulang mobile untuk sampo, deterjen, hingga cairan pembersih lantai. Satu jerigen sampo yang dibawa petugas diklaim mampu menghemat biaya pembuatan sebanyak 2.500 sachet. Konsumen dapat membeli sedikit atau banyak isi ulang dengan harga lebih murah.

Model bisnis yang dimanfaatkan Siklus adalah B2C karena mereka melakukan belanja modal dan membutuhkan sejumlah pesanan per stasiun yang sulit dilakukan jika memakai B2B2C.

“Nilai jual kami adalah bahwa kami lebih murah dan mengirimkan ke rumah konsumen, cocok untuk mereka yang sensitif terhadap harga. Namun, kami juga melihat bahwa ada segmen konsumen yang terus bertumbuh yang peduli dengan keberlanjutan,” terang Founder dan CEO Siklus Jane von Rabenau.

Fokus yang sama, tapi dengan pendekatan yang berbeda, diambil Rekosistem. Mereka fokus pada daur ulang sampah anorganik dengan membuat titik penampungan atau menghampiri konsumen dengan armada logistik yang disediakan dipesan melalui aplikasi.

Setiap sampah anorganik yang diterima akan diproses kembali menjadi material daur ulang, energi, dan material bahan bangunan ramah lingkungan. Sementara sampah organik diolah menggunakan biodigester menjadi pupuk cair dan biogas yang akan diberikan kepada konsumen.

Di sektor lainnya ada nafas yang fokus menyediakan data kualitas udara lewat aplikasi. Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap baik buruknya kualitas udara belum menjadi topik umum bagi keseharian banyak orang. Kini selain bermain di bidang aplikasi, nafas merambah produk air purifier berbasis smart home bernama aria. Co-Founder & CEO nafas Nathan Roestandy menerangkan, tantangan terbesar bagi startup seperti nafas, selain meningkatkan awareness di pasar, adalah akses untuk mendapat pabrik berkualitas baik untuk kemudahan proses manufakturnya.

“Manufaktur di Indonesia masih didominasi brand elektronik besar yang mampu setup pabrik besar. Resources [sebesar itu] itu tidak accessible bagi startup. Akan tetapi kami punya pengalaman untuk bangun supply chain buat mengatasi hal tersebut,” kata Nathan.

Produk aria memang secara kasat mata tidak berbeda dengan produk keluaran brand lain. Nathan mengklaim, aria memiliki sensor terhubung dengan nafas untuk monitor kualitas udara di dalam ruangan yang paling aktual. Kelebihan tersebut yang ditawarkan ke pasar.

Soukhasing menambahkan, tantangan usaha berdampak cukup beragam dan tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan jenis usaha lainnya. Ia mencontohkan sektor green energy memiliki karakteristik dan profil pemangku kepentingannya sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan jenis startup lainnya.

Membahas tentang “daya tarik” juga memiliki arti yang berbeda, karena startup energi hijau juga terdiri dari berbagai vertikal — apakah mereka bekerja dengan rumah tangga / pemukiman perkotaan, penduduk pedesaan, atau perusahaan B2B.

“Jadi, kami akan mengatakan bahwa kami tidak dapat mengukur startup energi hijau dengan metrik kesuksesan yang sama yang biasanya kami miliki untuk startup biasa. Sebab ini akan membawa konteks lain untuk masalah yang dihadapi oleh para startup energi hijau, yaitu menemukan investor yang tepat dan sistem pendukung yang memahami sektor mereka dengan baik.”

Sebagian besar investor yang tidak mengenal startup energi hijau mungkin menganggap model bisnisnya adalah modal berat (belanja modal tinggi), membutuhkan jangka waktu yang lebih lama, dan membutuhkan lebih banyak upaya untuk menembus dan mendidik pasar yang lebih akrab dengan solusi yang ada (misalnya energi berbasis fosil). Oleh karena itu, startup memiliki pekerjaan rumah “mengedukasi” pelanggan maupun investor, dengan didukung program atau pelaku ekosistem lainnya.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

“Growth vs Profit”: Tren Tesis Investor di Tahun 2021

Tersandungnya rencana IPO WeWork di tahun 2019, seakan membuka mata para perusahaan modal ventura bahwa metrik growth (pertumbuhan) yang selama ini menjadi fokus startup dan perusahaan modal ventura, tidak lagi jadi satu-satunya andalan. Kegiatan “membakar uang” demi inovasi dan pengguna baru, jika tidak dibarengi strategi bisnis yang kuat, bisa berujung kegagalan.

Di awal tahun 2021, ketika pandemi masih menjadi persoalan utama, banyak startup yang melakukan pivot model bisnis dan mendapatkan penerimaan demi bisa mempertahankan operasional.

Kami berbincang dengan sejumlah investor untuk memahami bagaimana tesis investasi mereka tahun ini.

Pandemi menjadi momen pembuktian

Menurut Managing Partner BAce Capital Benny Chen, pandemi menjadi kesempatan membuka mata lebih lebar lagi untuk mendorong perusahaan menjadi lebih baik. Kondisi ini menjadi momen penting untuk lebih waspada dan lebih fokus ke model bisnis.

Hal senada diungkapkan Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee. Menurutnya, perusahaan yang sukses melakukan penggalangan dana saat pandemi memiliki posisi yang lebih baik untuk fokus ke pertumbuhan. “Kuncinya” adalah memiliki 18-24 bulan runway.

“Menurut saya tidak ada perubahan mendasar dalam hal sikap umum terhadap growth dan profitabilitas.”

Portofolio Genesia Ventures, klaim Elsha, menutup tahun dengan angka yang jauh lebih baik daripada di awal tahun 2020.

Sementara menurut Kelvin Yim dari Alpha Momentum Indonesia, pertumbuhan dan profitabilitas startup di tahun 2021 mendatang sangat bergantung pada ide bisnis startup dan strategi di tengah pandemi.

“Jika produk dan layanan tersebut memiliki relevansi selama pandemi ini, maka ini adalah peluang yang baik untuk merebut pangsa pasar dan mendorong beberapa keuntungan. Jika tidak, maka strategi harus diterapkan untuk melihat bagaimana startup dapat mendorong penjualan dan pertumbuhan selama pandemi,” kata Kelvin.

Tidak dapat dipungkiri pandemi telah menurunkan bahkan menunda kegiatan perusahaan modal ventura untuk memberikan investasi kepada startup.

Menurut Managing Director ANGIN David Soukhasing, kondisi ini memaksa para pendiri yang tidak dapat mencapai target penggalangan dana mereka untuk menciptakan aliran pendapatan baru atau mengontrol pengeluaran mereka dengan lebih baik.

“Menurut saya tahun 2021 masih belum jelas seperti apa prospeknya. Pengelolaan pertumbuhan akan terus menjadi fokus dari pendiri startup. Pada akhirnya, keputusan akan ada di tangan investor dan keinginan dari para pendiri sendiri. [..] Jika logika berubah dan Anda melihat perusahaan dinilai dengan EBITDA atau laba bersih, maka investor akan mendorong kepada pertumbuhan dan profitabilitas yang terkendali,” kata David.

Menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas

Menurut Benny, meskipun kebanyakan fokus startup di tahapan pendanaan awal adalah kepada pertumbuhan, tidak menutup kemungkinan profitibilitas juga bisa diraih dengan strategi yang tepat. Benny menambahkan, tidak ada standarisasi untuk hal tersebut, jika startup tersebut memiliki model bisnis yang relevan, baiknya dicoba saja kedua proses tersebut, tentunya setelah pendiri memahami benar bagaimana cara tepat mendapatkan profit dan mencapai pertumbuhan yang ideal.

Sementara menurut Kelvin, menjadi lebih baik untuk startup yang masih dalam tahapan pendanaan awal untuk selalu memikirkan kepada pertumbuhan. Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai indikasi. Indikator umum kemungkinan akan berada di sekitar jumlah pelanggan dan jika startup berada pada tahap awal, idealnya harus memiliki rencana strategis untuk melihat bagaimana pertumbuhan pelanggan dilakukan.

“Profitabilitas cenderung berada dalam fase di mana startup dapat mengidentifikasi annual break-even point terhadap pengeluaran operasional. Beberapa startup mungkin memiliki masalah dalam mengidentifikasi di mana pendapatan dapat diperoleh, tetapi selalu lebih baik untuk masuk ke bisnis dengan mempertimbangkan profitabilitas. Pada tahap awal untuk rencana 3 atau 5 tahun, startup harus memasukkan break-even dan profitabilitas, sehingga startup dapat menyusun strategi bagaimana mencapai tujuan tersebut sejak awal,” kata Kelvin.

Sebagai perusahaan modal ventura yang fokus kepada startup tahap awal, Genesia Ventures melihat kebanyakan startup tahap awal akan menghabiskan sebagian besar waktu dan sumber daya mereka untuk mencari product market fit dan begitu mereka menemukannya, pertumbuhan menjadi fokus yang penting, karena menunjukkan kepada calon investor bahwa solusi yang diberikan startup adalah sesuatu yang diinginkan pasar.

“Secara keseluruhan, menurut saya pertumbuhan lebih dihargai pada tahap awal, meskipun pada saat yang sama penting untuk menunjukkan kepada investor bahwa setidaknya ada jalan menuju profitabilitas dengan mencapai unit ekonomi yang sehat. Ketika perusahaan tumbuh, fokusnya kemudian akan mulai bergeser ke arah profitabilitas. Para pendiri perlu menemukan keseimbangan antara pertumbuhan dan profitabilitas,” kata Elsha.

Menurut Kelvin, jika startup berada pada tahapan awal tapi menuntut ticket size yang besar di awal, maka mungkin pertumbuhan vs profitabilitas harus sudah disiapkan untuk menarik investasi.

Tanpa pertumbuhan, sebuah startup tidak mungkin dapat mencapai tahap keuntungan, mengingat mereka akan menghabiskan dana operasional dengan sangat cepat. Bergantung pada tahap di mana startup berada, indikator pertumbuhan biasanya penting pada tahap awal. Ketika startup telah beroperasi selama beberapa waktu, profitabilitas adalah tonggak pencapaian selanjutnya.

“Jika saya harus memilih, saya percaya bahwa pola pikir perspektif pertumbuhan memaksa para pendiri untuk bergantung pada pendanaan. Itu berarti tidak hanya pelanggan dan pasar yang memutuskan kepercayaan perusahaan, tetapi juga investor yang membuat keputusan tentang siapa yang akan dipertaruhkan,” kata David.

Sementara menurut Elsha, investor juga akan melihat metrik lain, seperti pendapatan berulang dan keterlibatan pengguna. Pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberikan solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna untuk membayar, sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan.

“Tetapi sekali lagi, memiliki unit ekonomi yang baik dan menunjukkan jalur menuju profitabilitas adalah penting, terutama seiring kemajuan perusahaan menuju penggalangan dana untuk tahap pertumbuhan,” kata Elsha.