Dorong Kualitas Layanan Toko, Lazada Luncurkan Asisten Virtual Cerdas LISA

Chatbot sangat penting bagi pelaku ecommerce karena memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan pelanggan, memberikan dukungan 24/7, dan menyelesaikan masalah dengan cepat.

Fitur chatbot juga dapat meningkatkan personalisasi pengalaman pelanggan dan memudahkan proses pembelian. Analisis data dari aplikasi chat membantu dalam memahami perilaku pelanggan, sementara penerapan aplikasi chat yang baik memberikan keunggulan kompetitif bagi ecommerce dalam pasar yang bersaing ketat.

Demi tujuan tersebut, Lazada Indonesia (Lazada) telah memperkenalkan fitur chatbot bernama Lazada IM Shop Assistant atau LISA yang berbasis kecerdasan buatan. Fitur ini bertujuan untuk mempermudah interaksi antara penjual dan pelanggan, meningkatkan performa toko, serta memberikan pengalaman pelanggan yang memuaskan.

“Terkadang saya kesulitan membagi waktu untuk selalu standby melayani chat dari pelanggan dan mengatur pesanan yang masuk. Apalagi di awal toko saya bergabung dengan Lazada belum memiliki petugas admin, jadi semua masih ditangani sendiri,” ungkap Hafiz Anugrah Marsya, pemilik toko Senzamor Kids di Lazada.

“Banyak yang merasa lebih puas jika bertanya dahulu sebelum mereka memutuskan untuk membeli,” lanjutnya.

Menurut Ferry Kusnowo, Direktur Eksekutif dan Chief Customer Officer Lazada Indonesia, “Membangun toko online memiliki banyak tantangan, termasuk dalam layanan pelanggan yang menjadi faktor penentu kinerja toko. Pelayanan pelanggan yang cepat bukanlah hal yang mudah, tetapi Fitur LISA hadir untuk membantu penjual memberikan layanan terbaik bagi pelanggan sambil memastikan pesanan diproses dengan lancar. Kami percaya fitur ini dapat menjadi solusi efisien bagi para penjual dalam mengelola operasional toko dan memberikan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bagi pelanggan.”

Dikutip dari situs resmi Lazada, ada beberapa fitur yang dimiliki oleh LISA yang tertuang dalam gambar berikut ini.

Kemudian untuk mengaktifkan fitur LISA, penjual dapat melakukan satu dari dua cara.

  • Yang pertama, penjual dapat membuka menu Seller Center kemudian klik Toolkit Populer dan pilih LISA/Chatbot AI.

  • Atau yang kedua, melalui menu Akun Saya, kemudian klik menu Pengaturan Chat dan klik menu Balasan Otomatis.

Selanjutnya setelah langkah di atas dilakukan, Anda bisa mengaktifkan fitur LISA lalu pilih prioritas IM Shop Assistant agar Lisa menjadi layanan pelanggan yang didahulukan. Selesai, Anda bisa langsung mencoba sendiri kemampuan Lisa di ikon chat.

“Fitur LISA merupakan salah satu bentuk komitmen Lazada untuk memberdayakan penjual dengan teknologi dan solusi yang inovatif. Dengan memanfaatkan kekuatan chatbot cerdas ini, penjual dapat meningkatkan layanannya kepada para pelanggan, memperkuat kehadiran toko dan merek mereka, sehingga dapat terus berkembang dan unggul dalam persaingan di dunia eCommerce,” tutup Ferry.

MTARGET Meluncurkan Asisten Penulis Email Berbasis AI “DIA”

Platform SaaS untuk otomasi pemasaran MTARGET resmi meluncurkan Digital Intelligence Assistant (DIA), sebuah asisten penulisan email berbasis artificial intelligence (AI). Fitur email berbasis AI yang disebut pertama di Indonesia ini didesain untuk mengatasi masalah writer’s block dan blank page syndrome yang sering dialami para penulis konten, termasuk email marketer.

Sebelumnya, pada Januari lalu, MTARGET terpilih sebagai salah satu startup Indonesia yang berpartisipasi dalam program Microsoft Founders Hub. Kemitraan ini turut berperan penting dalam mengembangkan DIA dengan dukungan dari tenaga OpenAI, perusahaan yang mengembangkan ChatGPT. Microsoft sendiri diketahui masuk sebagai jajaran investor OpenAI.

Fitur DIA sudah dapat dinikmati oleh semua pengguna MTARGET di halaman dashboard masing-masing. Asisten pintar berbasis AI ini bekerja layaknya manusia dengan menuliskan subject, preheader, dan body email sesuai perintah yang diterima. Solusi ini memungkinkan tim pemasaran untuk fokus pada strategi yang lebih besar dan menyediakan waktu untuk mengerjakan hal lain.

Dalam menggunakan fitur ini, pengguna dapat memulai dengan menuliskan prompt, kemudian sistem AI akan menampilkan kata-kata yang sesuai dengan arahan tersebut. Hasilnya pun dapat diedit dan disesuaikan kemudian. Alih-alih membuat orang jadi malas, DIA disebut akan membantu pekerja jadi lebih produktif dan menghemat waktu.

CEO MTARGET Yopie Suryadi meyakini bahwa teknologi ini dapat membantu perusahaan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam email pemasaran mereka. Selain itu, industri retail dan keuangan disebut sebagai dua sektor yang paling banyak merasakan manfaat solusi ini mengingat pengguna email marketing paling banyak datang dari dua sektor tersebut.

Yopie menilai produk ChatGPT dari OpenAI terbilang yang terbaik dengan hype masih mengular hingga saat ini. Meski begitu, model AI yang digunakan oleh DIA tidak bersifat conversational seperti ChatGPT. Hal ini yang membuatnya sangat cocok untuk digunakan dalam email marketing.

“Risiko tentu ada, mungkin error atau apapun. Namun, saya tidak melihat ini sebagai halangan utama karena memang diperuntukkan untuk membantu (assist) bukan untuk membuat sebuah tulisan. Tetap diperlukan skill dan kreativitas si penulis,” tambahnya.

Di global sendiri, platform email marketing pihak ketiga, Mailchimp sempat meluncurkan kampanye serupa di Super Bowl. Namun, saat ini fitur tersebut diketahui hanya untuk menulis subject, belum sampai ke tahap isi konten.

Fokus selanjutnya

Didirikan pada 2016, MTARGET merupakan rebranding dari platform SaaS pemasaran email MailTarget. Sebagai penyedia tools dan layanan email, perusahaan memahami kebutuhan industri di tiap perkembangan zaman. Saat ini MTARGET fokus pada visinya untuk menyediakan software kapabilitas email yang cepat, mudah, dan terjangkau untuk industri keuangan dan retail.

Melalui fitur email berbasis AI ini, MTARGET berupaya menunjukkan komitmennya dalam menyediakan solusi inovatif bagi bisnis di Indonesia. Dengan semakin banyak solusi yang memanfaatkan kemampuan teknologi, hal ini ditakutkan menjadi ancaman bagi eksistensi para pekerja di sektor terkait.

Seperti diketahui, Microsoft sempat mengumumkan PHK sekitar 10.000 karyawan sebagai langkah efisiensi setelah perusahaan memutuskan untuk menambah investasi ke perusahaan teknologi OpenAI. Terkait hal ini, Yopie mengakui bahwa kondisi MTARGET ketika pandemi tidak baik-baik saja. Meskipun begitu, perusahaan mempertahankan untuk tidak melakukan layoff.

Secara personal, Yopie memiliki prinsip untuk tidak diperbudak oleh teknologi, melainkan menggunakan teknologi sebagai sarana penunjang. “Bukannya mengancam, teknologi menambah value dari pekerja itu sendiri. Banyak hal-hal yang bisa dipelajari dan diimplementasikan. Seperti punya mentor atau coach pribadi di dunia kerja. Itulah yang langka di zaman sekarang,” tegasnya.

Saat ini MTARGET fokus untuk menjadi the email company sebagai identitas utamanya, Produk yang akan diluncurkan di masa depan akan sangat bervariatif, dan semuanya berpusat di email.

“Di Q1 2023 ini, kami sudah meluncurkan dua produk baru, yakni SONAR-Email Tracker (Google Chrome Extension) dan Purify-Email Database Cleansing Tools.
Fokus utama adalah mendapatkan revenue dan mempertahankan profitability. We may not be the biggest yet, but we’re definitely the best for now,” tutupnya.

Investree Memperkenalkan “AIForesee” dan “Sahabat Bisnis”

Menandai tujuh tahun berdiri, Investree Group memperkenalkan Sahabat Bisnis dan AIForesee untuk memperkuat penilaian kredit (credit scoring) dalam mendukung penyaluran pinjaman bagi pelaku UMKM.

AIForesee dan Sahabat Bisnis berada di bawah naungan Investree Singapore Pte Ltd yang memiliki fokus berbeda dengan induk usaha. AIForesee menyediakan platform penilaian kredit alternatif untuk mendukung penyaluran pinjaman produktif ke UMKM.

Platform ini ingin mendorong pelaku UMKM untuk memahami skor kredit mereka sebelum mengajukan pinjaman ke lembaga jasa keuangan, termasuk platform pembiayaan. Layanan ini sudah tercatat di OJK sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Figital (IKD).

AIForesee menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan data alternatif yang dimiliki oleh ekosistem. Beberapa variabel yang dinilai, antara lain kesehatan finansial yang dapat diproyeksikan dari rerata pendapatan dan keseluruhan omset, perilaku pembayaran yang diindikasikan dan perilaku ketepatan pembayaran tagihan, serta hubungan bisnis dengan pelanggan, jumlah supplier, dan tren media sosial.

Sementara, Sahabat Bisnis (SABI) merupakan platform lending-as-a-service (LaaS) yang menyediakan akses pinjaman terintegrasi ke Usaha Mikro dan Kecil (UMK). SABI ingin menjembatani ekosistem UMK yang membutuhkan dukungan modal dengan lembaga pembiayaan.

SABI juga memfasilitasi business health check untuk memeriksa ‘kesehatan’ bisnis pelaku UMK dan penilaian kredit. Kolaborasinya dengan AIForesee dalam ekosistem Investree Grup menjadi bentuk penguatan inisiatif dalam memberikan solusi bisnis terpadu bagi UMKM.

Co-founder sekaligus CEO Investree Indonesia dan Investree Group Adrian Gunadi meyakini pertumbuhan tidak akan terjadi tanpa adanya kolaborasi. Ini salah satu yang menjadi fokus utama perusahaan sejak awal berdiri melalui penguatan kolaborasi dengan berbagai ekosistem agar lebih berdampak terhadap pelaku UMKM.

Selain lending, perusahaan juga membangun, berinvestasi langsung, atau membuat perusahaan patungan bersama mitra yang ahli di bidangnya. Beberapa hasil kolaborasi Investree, termasuk e-procurement (Mbiz, Garuda Financial, dan Pengadaan.com), e-invoicing (billtree), payment (OY!), serta paylater B2B (Andalin).

Perjalanan Investree

Dalam kesempatan ini, perusahaan turut memaparkan pertumbuhan bisnis yang positif terkait penyaluran pinjaman kepada pelaku UMKM kreatif di Indonesia. Chief Sales Officer Investree Salman Baharuddin menyebut mayoritas peminjam datang dari sektor kreatif, di mana pinjaman yang telah disalurkan di 2022 sebesar Rp1,290 triliun.

“Sejak 2015 sampai sekarang, total angka pinjaman tersalurkan di sektor ini sebanyak Rp1,636 triliun kepada 327 peminjam. Bidang usahanya bermacam-macam, mulai dari agensi periklanan dan digital, rumah produksi, konsultan kreatif, mode, hingga makanan-minuman”, tambahnya.

Hingga Oktober 2022, Investree berhasil membukukan catatan total fasilitas pinjaman Rp15,6 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp12,14 triliun dengan rata-rata tingkat imbal hasil +16.3 p.a. dan rata-rata TKB90: 97,3%.

Presiden Joko Widodo menargetkan ekonomi digital daat berkontribusi sebesar 18% dari total PDB pada 2030. Untuk mencapai target ini, sektor layanan keuangan digital atau fintech memainkan peranan integral dalam menjembatani berbagai kebutuhan pembayaran dan pendanaan masyarakat dan usaha.

Melalui Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK), OJK menargetkan tingkat inklusi keuangan Indonesia pada 2024 sebesar 90% dari 76,19% di 2022. Artinya, masih banyak ruang bagi para pemerintah, pelaku di sektor fintech, dan pemangku kepentingan lain untuk mendorong edukasi bagi masyarakat di Indonesia.

Untuk mendukung pencapaian target-target tersebut, edukasi untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan pun harus segera digenjot. Dalam rangka konteks bulan fintech nasional, Investree juga akan menyelenggarakan kembali konferensi tahunan “Investree Conference 2022 (i-Con 2022): Empowering the Grow7h of Creative Industry through Fintech & Digital Ecosystem” pada 14 Desember 2022.

Investree akan membahas lebih dalam upaya fintech lending terhadap kebangkitan industri kreatif yang telah menjadi penyumbang angka signifikan pada portofolio penyaluran pinjaman Investree sejak awal berdiri. Selain itu, turut dibahas strategi pivot pasca pandemi oleh industri hiburan dan solusi perbankan digital bagi kemajuan sektor ini.

Verihubs Kembangkan Solusi Verifikasi Berbasis API untuk Perusahaan Digital

Proses verifikasi menjadi komponen penting dalam setiap aktivasi atau transaksi yang terjadi secara digital. Implementasinya sendiri sangat diperlukan untuk mengukur kebenaran dan kompatibilitas satu sama lain dalam berbagai ekosistem perusahaan, termasuk dalam e-commerce, lembaga keuangan, permainan online, dan bahkan media sosial.

Salah satu pemain yang coba menyasar segmen ini adalah Verihubs, sebuah layanan berbasis API yang membantu perusahaan digital dalam proses verifikasi menggunakan sumber data lokal dan mengakses informasi keuangan dan identitas pengguna. Platform ini baru saja lulus dan berhasil meraih seed funding dari program akselerator Y Combinator.

Berawal dari isu pinjaman ilegal yang menerpa salah satu anggota keluarganya, CEO & Co-founder Verihubs, Rick Firnando yang pada saat itu bekerja pada sebuah perusahaan SaaS, mulai melihat hal ini sebagai peluang. Lalu, semasa bekerja ia juga mendapati beberapa permintaan dari perusahaan untuk solusi verifikasi. Pertemuannya dengan Williem yang ketika itu sedang mendalami ilmu AI untuk face recognition di salah satu universitas di Korea, semakin memantapkan niat Rick untuk membangun solusi verifikasi berbasis API ini.

Dalam peluncuran produknya, Rick juga mengungkapkan, “Misi kami adalah untuk membantu perusahaan layanan berbasis digital baru dan yang sudah ada (termasuk fintech) untuk memulai bisnis mereka dan transisi dari verifikasi manual ke proses yang sepenuhnya otomatis, masing-masing dengan menyediakan platform tunggal untuk semua solusi KYC, memungkinkan pelanggan untuk mendapatkan autentikasi, verifikasi, dan otorisasi ke layanan klien kami dalam hitungan detik.”

Model bisnis dan target ke depan

Verihubs mulai menawarkan solusinya di tahun 2019 yang mencakup proses orientasi pelanggan, mulai dari verifikasi nomor telepon, proses KYC ujung ke ujung, deteksi penipuan, hingga menautkan akun bank. Selain itu, platform ini juga menyediakan interkoneksi antarplatform keuangan yang memungkinkan pengguna akhir dapat segera menarik dana langsung dari rekening bank pilihan melalui verifikasi instan.

Teknologi deep learning yang diterapkan diklaim dapat mengurangi risiko kesalahan dan memastikan proses berjalan mulus demi meningkatkan pengalaman pengguna. Perusahaan menggunakan lima teknologi autentikasi berbasis AI, yaitu Face Recognition, Liveness Detection, Face Search, Text Recognition, dan Telco Credit Score.

Dalam perjalanan mengembangkan solusi ini, Rick mengakui adanya tantangan ketika di masa awal mereka masih merintis bisnis. Saat itu perusahaan baru mendapat pre-seed dengan tim yang relatif sedikit, sementara talenta teknis sangat dibutuhkan untuk bisa mengembangkan sebuah platform SaaS. Namun seiring waktu, perusahaan semakin berkembang dan hingga kini timnya telah memiliki 25 anggota dengan 75% adalah tim produk dan engineer.

Perusahaan menerapkan model bisnis berbasis transaction fee, klien akan membayar sesuai dengan jumlah verifikasi yang berhasil dilakukan. Hingga saat ini Verihubs sudah memproses lebih dari 6 juta verifikasi dan dipercaya oleh sekitar 45 perusahaan terkemuka, setengah di antaranya bergerak di bidang keuangan; seperti Payfazz, Bank Central Asia, dan Bank Commonwealth.

Untuk target dalam setahun ke depan, timnya mengaku sedang menjajaki solusi open banking untuk akses finansial. Selain itu, salah satu yang juga ada di pipeline adalah ekspansi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailan, Vietnam dan Malaysia.

Kompetisi pasar

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menargetkan segmen sejenis seperti ASLI RI. Bekerja sama dengan LoginID, perusahaan asal Silicon Valley, ASLI RI luncurkan produk AsliLoginID, sebuah platform Biometric-Authentication as a Service (BaaS) yang mempunyai sertifikasi FIDO2. Sertifikasi tersebut menjadi salah satu standar keamanan yang paling ketat saat ini, diakui secara internasional dan kompatibel dengan beragam jenis sistem operasi perangkat komputasi.

Selain itu, salah satu startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux juga memiliki lini bisnis yang fokus mengembangkan solusi untuk mempermudah proses eKYC yaitu Identifai. Nodeflux sendiri menjadi salah satu mitra Ditjen Dukcapil sebagai penyedia platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan.

Terkait lanskap industri SaaS yang spesifik mengembangkan solusi verifikasi berbasis API, Rick turut menyampaikan bahwa dari segi edukasi, target pasar untuk layanan ini sudah memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya solusi verifikasi. “Seiring pertumbuhan industri fintech serta perusahaan lain yang berbasis digital, solusi ini akan semakin dibutuhkan dan berkembang,” ujarnya.

Menurut laporan dari ReportLinker, pasar perangkat lunak sebagai layanan (SaaS) global diperkirakan akan tumbuh dari $225,6 miliar pada tahun 2020 menjadi $272,49 miliar pada tahun 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 20,8%. Pasar diperkirakan akan mencapai $ 436,9 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12,5%.

Program akselerator

Didirikan pada tahun 2019, Verihubs sempat terlibat dalam beberapa program akselerator. Di akhir tahun 2020, timnya menjadi salah satu partisipan dalam batch pertama dari Startup Studio Indonesia, sebuah program yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk memfasilitasi startup digital yang sedang dalam proses mencapai tahap product-market fit.

Setelah itu, Verihubs juga ikut serta dalam Indigo Demo Day 1-2021 yang diadakan oleh Indigo Creative Nation pada 15 Juni 2021 silam, timnya berkesempatan pitching secara langsung dan disaksikan oleh Venture Capital terkemuka dari dalam dan luar negeri. Dari sini, mereka berhasil meraih perhatian serta pendanaan seed dari program akselerator yang berbasis di Amerika, Y Combinator.

Sebagai salah satu yang berkesempatan untuk menjalani program akselerator YC, Verihubs mengaku mendapat banyak sekali keuntungan selain pendanaan. “Bukan cuma pendanaan, tapi kita juga benar-benar diajari dari sisi produk dan komunitasnya sangat kuat. Kita jadi punya koneksi yang luas untuk bisa going global,” ujar Rick yang saat diwawancara sedang menyiapkan sesi Demo Day dan dijadwalkan lulus dari program Y Combinator di minggu ini.

Dilansir dari Crunchbase, selain Indigo Creative Nation, perusahaan yang berbasis di Indonesia ini juga turut didukung oleh beberapa angel investor untuk pre-seed termasuk dari Co-Founder Payfazz, Hendra Kwik serta Co-Founder & CEO Xfers, Tianwei Liu.

On Lee dari GDP Membahas Potensi AI dalam Industri Teknologi Tanah Air

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Menghabiskan hampir lebih dari tiga puluh tahun di negeri orang, CEO & CTO GDP Labs juga sebagai CTO GDP Venture, On Lee akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 10 tahun, ia berhasil mengembangkan GDP Venture dan membangun GDP Labs dari awal berbekal pengalaman matang hasil merantau. Selain itu, ia sebelumnya menjabat sebagai CEO & CTO Kaskus, forum komunitas online Indonesia terbesar di Indonesia.

Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman dalam dunia internet, seluler, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, pengembangan perangkat lunak konsumen dan perusahaan, ia telah memegang berbagai posisi manajemen dan teknis sebagai salah satu pendiri, CEO, CTO, Wakil Presiden Eksekutif Teknik, dan teknisi di perusahaan startup dan Fortune 500 di AS.

On Lee sangat tertarik dengan inovasi Artificial Intelligence. Beliau sempat mengampu jurusan teknik elektro sebelum akhirnya beralih jurusan ke ilmu komputer. Keyakinannya pada industri teknologi Indonesia dan teknisi lokal telah memberinya inspirasi untuk mendirikan GDP Labs. Dari tahun 2012 hingga saat ini, GDP Labs telah mempekerjakan 160 orang [kebanyakan insinyur] di lima kota di Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, dan Surabaya.

Melalui GDP Venture, sebagai venture builder, dengan fokus pada komunitas digital, media, perdagangan, dan perusahaan solusi di industri internet konsumen Indonesia. Mereka telah berinvestasi di lebih dari 50 portofolio dan masih terus bertambah. Selain itu, ia telah membangun tim untuk memulai produk baru yang strategis di perusahaan rintisan dan perusahaan besar di AS, Indonesia, Cina, dan India.

DailySocial berhasil mendapat waktu beliau untuk berbagi cerita penuh wawasan sepanjang perjalanan entrepreneurship-nya.

Sebagai CTO GDP Ventures, juga CEO & CTO GDP Labs, menurut Anda apakah industri teknologi Indonesia berpotensi untuk membangun pusat global untuk teknologi tinggi dan inovasi atau menjadi sebuah hub?

Pastinya. Teknologi digital dan AI mewakili peluang emas bagi Indonesia, dengan populasi yang relatif muda dan bersemangat lebih dari 260 juta orang. Negara ini menawarkan usia rata-rata produktif 30 tahun dan tingkat literasi 95 persen. Ekosistem start-up digital Indonesia sudah prima dan siap mengikuti jejak negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, Taiwan, Korea, dan China yang telah berhasil mentransformasi negaranya melalui teknologi. Mereka telah secara signifikan meningkatkan keterampilan individu, standar hidup, dan produktivitas serta telah diakui sebagai pemain global utama di dunia. Pemerintah Indonesia memiliki banyak inisiatif teknologi; kebanyakan universitas menawarkan kelas ilmu komputer; dan investor lokal dan asing berinvestasi besar-besaran dalam ekonomi digital, dan semua hal ini meningkat selama pandemi.

Setelah sekian lama merantau, hampir tiga puluh tahun menggali ilmu di negeri Paman Sam. Apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia dan memulai GDP Labs? Apa yang menjadi mimpi Anda?

Saya kembali ke Indonesia karena alasan keluarga. Orang tua kami semakin tua, dan kami perlu merawat mereka.

Saya kemudian menemukan banyak talenta teknisi perangkat lunak yang hebat tetapi masih mentah di Indonesia. Banyak dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk menerima pelatihan yang tepat, bimbingan, dll. Pak Martin Hartono, CEO di GDP Venture, dan saya membina beberapa pemimpin muda yang paling cemerlang dan paling menjanjikan yang akan menjadi ahli teknologi dan berpengetahuan luas dalam bisnis dan kepemimpinan di GDP Labs. Upaya kami menunjukkan hasil awal yang menjanjikan.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee dalam acara GDP Labs Team Building 2018 bersama Martin Hartono

Kapan pertama kali Anda mengecap industri teknologi? Apakah hal ini memang menjadi passion Anda?

Awalnya saya mengambil jurusan teknik elektro, sebelum kemudian beralih ke jurusan ilmu komputer dengan minor dalam matematika.

Salah satu hobi saya adalah bermain catur. Dulu saya sempat menjadi pemain catur profesional. Saya tertarik pada ilmu komputer, matematika, dan catur karena keduanya memiliki dua kesamaan: logika dan pemecahan masalah. Hal ini membantu meningkatkan hidup saya secara pribadi dan profesional.

on lee 9
On Lee sedang bermain catur secara simultan dengan 2 orang teknisinya

Saya sempat membaca beberapa artikel Anda terkait Artificial Intelligence (AI). Apa yang menjadi alasan Anda percaya bahwa teknologi dapat menjadi solusi bagi seluruh masalah di dunia?

McKinsey memprediksi AI memiliki potensi untuk menambah aktivitas ekonomi global sekitar USD13 triliun pada tahun 2030. Betul sekali, besarnya USD13 triliun. Beberapa ahli mengatakan bahwa AI sama pentingnya dengan penemuan api dan listrik. Meskipun itu mungkin tampak berlebihan, intinya adalah bahwa AI akan menjadi salah satu teknologi terpenting yang pernah ditemukan manusia, meninggalkan dampak pada masyarakat dan bisnis dengan cara yang sangat mendalam. Kemungkinan besar akan memiliki kelasnya sendiri. Hal ini akan menjadi bagian dari kehidupan pribadi kita, di hampir semua industri. AI akan membantu mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global serta memposisikan Indonesia dengan baik untuk masa depan dunia baru di hadapan kita.

2020 bukanlah situasi yang ideal bagi semua orang, namun apakah Anda yakin bahwa industri teknologi tanah air berperan penting dalam pemulihan kondisi negara ini?

Tahun 2020 menjadi sulit bagi semua orang karena pandemi yang menyebabkan kebangkrutan, pengangguran, dan masalah sosial. Selain mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas dan kenyamanan, teknologi akan membantu kita menjadi lebih aman dan sehat. Hal ini akan turut membantu mempercepat pemulihan ekonomi.

Bagaimana dengan GDP Venture dan GDP Labs sendiri? Apakah situasi ini mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifikan?

Tentunya, tidak ada yang kebal. Kami telah meminta perusahaan kami untuk merevisi rencana tahun 2020 mereka tentang bagaimana bertahan dalam jangka pendek dan berkembang dalam jangka panjang. Pandemi ini bisa diibaratkan seperti kaca pembesar dan akselerator. Ia menyoroti apa yang telah Anda lakukan dengan benar tetapi juga apa yang telah Anda lakukan salah. Kami telah memilih untuk mempercepat beberapa inisiatif. Singkatnya, kami mencoba beradaptasi.

Dalam hal investasi, apakah menurut Anda Indonesia sudah memiliki iklim yang bagus untuk industri teknologinya? Apakah Anda melihat perubahan pada lanskap investasi sebelum dan sesudah pandemi?

Iya. Kami mendapat dukungan pemerintah yang cukup baik. Universitas menghasilkan banyak teknisi perangkat lunak setiap tahunnya, dan terdapat hampir 200 juta pengguna Internet di Indonesia, pengusaha, investor lokal dan asing.

Pandemi adalah salah satu bentuk peringatan yang baik. Startup fokus pada apa yang paling penting untuk bertahan dan berkembang, penilaian dan ekspektasi perusahaan menjadi lebih realistis. Ini adalah pengalaman yang mengajarkan banyak hal.

Beberapa portofolio GDP

Sebagai serial entrepreneur dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam dunia teknologi, Anda pasti pernah ditempatkan dalam situasi yang sulit sebelumnya. Apakah Anda berkenan berbagi kisah jatuh bangun membangun perusahaan? Serta bagaimana Anda berhasil melewati masa-masa sulit itu?

Benar. Waktu dan keberuntungan memainkan peran besar dalam keberhasilan atau kegagalan perusahaan mapan dan startup. Salah satu perusahaan rintisan tempat saya bekerja berada di jalur yang tepat untuk mencapai valuasi miliaran dolar di Silicon Valley. Sayangnya, resesi 2008 melanda AS serta perkara hutang teknis. Perusahaan itu dijual dengan harga lebih rendah dari ekspektasi kami meskipun kami masih mendapat untung.

Apakah Anda memiliki sosok panutan (mentor) untuk melewati masa-masa sulit? Mungkin semacam support system.

Pastinya. Saya beruntung mendapat bantuan dari banyak orang – teman, keluarga, pembimbing, rekan kerja, guru, dan bahkan orang asing.

Setiap orang akan memiliki titik terendah dalam hidup mereka. Mereka membutuhkan support system untuk melewati kesulitan. Saya belum melihat ada orang yang berhasil melakukannya sendiri.

Siapa yang menginspirasi Anda hingga seperti saat ini? Apakah Anda masih punya mimpi yang belum tercapai?

Banyak orang – ahli teknologi, ilmuwan, olahragawan, seniman – menginspirasi saya. Mereka memiliki karakteristik sebagai berikut: mereka terus-menerus belajar untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas dalam kepemimpinan, bisnis, dan pemimpin dalam domain masing-masing.

Saya percaya, adalah hal yang penting untuk membantu generasi muda karena banyak orang membantu dan memberi saya kesempatan ketika saya masih muda dan belum berpengalaman. Ada begitu banyak peluang untuk mendisrupsi banyak bidang dengan menggunakan teknologi, sementara beberapa perusahaan mapan masih menggunakan teknologi abad ke-20. Tetaplah sehat.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para tech enthusiast yang masih berjuang menapaki jalan menuju industri namun terhadang oleh pandemi?

Kejelasan. Kepercayaan. Keyakinan. Memiliki kejelasan tentang apa yang ingin Anda lakukan. Jalankan dengan kepercayaan dan keyakinan tanpa henti. Ada peluang tersembunyi selama pandemi.

Artificial Intelligence disebut akan menggantikan pekerjaan manusia. Sebagai seorang individu, pernahkah Anda memikirkan tentang skenario terburuk yang bisa diakibatkan oleh teknologi ini?

AI akan menggantikan beberapa pekerjaan yang ada. Tapi, itu juga akan menciptakan jenis pekerjaan baru; lebih dari itu menghilangkan. Mari kita lihat dua skenario berikut.

Pertama, industri mobil menggantikan industri kuda. Ada lebih dari 1,4 miliar mobil dan hanya ada 58 juta kuda di dunia sekarang. Industri mobil – produksi, layanan, mobilitas yang baru ditemukan, dll. – telah menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada yang dihilangkan dari industri kuda.

Kedua, ada perusahaan yang mengimplementasikan robot bertenaga AI di gudang mereka. Banyak karyawan yang khawatir akan kehilangan pekerjaan. Ternyata perusahaan mempekerjakan lebih banyak orang karena robot. Ini mungkin tampak kontra-intuitif. Mengapa? Karena robot efisien dan bekerja 24 jam sehari sehingga menghasilkan lebih banyak; manusia menjadi penghambat dan lebih banyak manusia perlu disewa untuk mengimbangi robot. Meskipun robot dapat melakukan tugas tertentu, mereka tidak dapat melakukan segala hal.

Manusia akan bebas melakukan pekerjaan yang lebih kreatif, sementara teknologi dan AI menangani pekerjaan mekanis. Selain itu, teknologi dan AI membebaskan sebagian waktu umat manusia sehingga kita dapat menghabiskan waktu kita dengan orang lain.

Singkatnya, AI meningkatkan kreativitas manusia dan pada akhirnya menjadikan kita lebih manusiawi.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

GDP’s On Lee Talks about The Potential of AI in Indonesian Tech Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Spending almost over thirty years outside the nation, the CEO & CTO of GDP Labs and CTO of GDP Venture, On Lee finally returned to Indonesia in 2011. In the span of 10 years, he managed to grow GDP Venture and build GDP Labs from scratch, based on the best practice he learned from overseas. Meanwhile, he previously served as the CEO & CTO of Kaskus, the largest Indonesian online community forum in Indonesia.

With over 30 years of experience in internet, mobile, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, consumer and enterprise software development, he has held various management and technical positions as a co-founder, CEO, CTO, Executive VP of Engineering, and engineer in both startup and Fortune 500 companies in the US.

On Lee has quite an interest in Artificial Intelligence innovation. He was doing electrical engineering before eventually shifting major into computer science. His belief in the Indonesian tech industry and local engineers has brought him the inspiration for GDP Labs. From 2012 to date, GDP has employed 160 people [mostly engineers] in five cities in Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, and Surabaya.

Through GDP Venture, as a venture builder, focusing on digital communities, media, commerce, and solution companies in the Indonesian consumer internet industry. They have invested in over 50 portfolios and still counting. Additionally, he has built teams to start strategic new products in startups and large companies in the US, Indonesia, China, and India.

DailySocial managed to convince him to share some insightful stories along his entrepreneurial journey.

As the CTO of GDP Ventures, also the CEO & CTO of GDP Labs, do you think the Indonesian tech industry has the potential to develop the global center for high technology and innovation or become a tech hub?

Definitely. Digital technology and AI represent a golden opportunity for Indonesia, with a relatively young and vibrant population of over 260 million people. The country boasts a median age of 30 and a literacy rate of 95 percent. Indonesian digital start-ups are primed and ready to follow in the footsteps of other Asian countries such as Japan, India, Taiwan, Korea, and China, which have been successful in transforming their countries through technology. They have significantly improved people’s skills, the standard of living, and productivity and have been recognized as key global players in the world. The Indonesian government has multiple technology initiatives; most universities offer computer science classes; and local and foreign investors are investing heavily in the digital economy, and this has only accelerated during the pandemic.

You’ve been away for almost thirty years, growing knowledge in the U.S. What drives you back to Indonesia and finally started GDP Labs? What was your dream?

I returned to Indonesia due to family reasons. Our parents were getting old, and we needed to take care of them.

I then discovered many great but raw software engineering talents distributed in Indonesia. Many of them did not have the opportunity to receive the right training, mentoring, etc. Mr. Martin Hartono, CEO at GDP Venture, and I are nurturing some of the brightest and most promising young leaders who would become technology savvy and well-rounded in business and leadership at GDP Labs. Our efforts show promising early results.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono

When was the first time you encountered the tech industry? Does technology always been your passion?

I originally majored in electrical engineering. I then switched to a computer science major with a minor in mathematics.

One of my hobbies is playing chess. I used to be a professional chess player. I am interested in computer science, mathematics, and chess because they have two things in common: logic and problem-solving. They helped improve my life personally and professionally.

on lee 9
On Lee was playing chess simultaneously with 2 of his engineers

I read some of your articles about Artificial Intelligence (AI). What makes you believe in the first place that this technology can be a key solution for most problems in the world?

McKinsey predicts AI has the potential to deliver additional global economic activity of around USD 13 trillion by 2030. Yes, that’s USD 13 trillion. Some experts have said that AI is as important as the discovery of fire and electricity. Although that may seem like an exaggeration, the point is that AI is going to be one of the most important technologies humanity will ever invent, leaving an impact on society and business in a deeply profound way. It will likely be in a class by itself. It is going to be part of our personal lives, across virtually all industries. AI will help accelerate the global economy’s recovery and growth and position Indonesia well for the future of a new world before us.

2020 is not an ideal situation for everyone, do you believe our tech industry can play a big part in our country’s recovery?

2020 has been hard for everyone due to the pandemic which leads to bankruptcies, unemployment, and social issues. In addition to reducing costs, increasing productivity and convenience, technology will help us be safer and healthier. This will help to lead economic recovery faster.

Many companies and governments are accelerating their digital transformation using cloud computing, mobile computing, and AI during the pandemic.

How about GDP Venture and GDP Labs, does this pandemic situation affect the company in a significant way?

Yes, no one is immune. We have asked our companies to revise their 2020 plan on how to survive in the short term and thrive in the long term. Pandemic is like a magnifying glass and accelerator. It highlights what you have been doing right but also what you have been doing wrong. We have chosen to accelerate some initiatives. In short, we needed to adapt.

In terms of investment, do you think Indonesia has provided a good investment climate for its tech industry? Do you see any significant change in the tech investment scene before and after the pandemic?

Yes. We get good government support. Universities produce many software engineers annually, and almost 200 million Internet users in Indonesia, entrepreneurs, local and foreign investors.

The pandemic is a good wake up call. Startups focus on what matters most to survive and thrive, company valuations and expectations become more realistic. It is a humbling experience.

Some of GDP Venture’s portfolios

As a serial entrepreneur with over 30 years of experience in technology, I believe you’ve been put in a bad situation before. Are you willing to share some of the hardships in building a venture? And how you come up with a solution amid the pressure?

Yes. Timing and luck play a big part in both established companies’ and startups’ success or failure. One of the startups that I worked at was on track to hit a billion-dollar valuation in Silicon Valley. Unfortunately, the 2008 recession hit the US and technical debts. The company was sold for lower than our expectations even though we still made some profit.

Do you have certain figures(mentors) to help you through the hard days? Some kind of support system?

Definitely. I was fortunate to get help from many people — friends, family, mentors, colleagues, teachers, and even strangers.

Everyone will have low points in their lives. They need a support system to go through hardship. I haven’t seen anyone successful by doing it alone.

Who inspired you to be the person you are now? Do you have goals you’re yet to achieve?

Many people — technologists, scientists, sportspeople, artists — inspired me. They have the following characteristics: they were constantly learning to be well-rounded in leadership, business, and master in their domain.

I believe it’s important to help young people because many people helped and gave me opportunities when I was young and inexperienced. There are so many opportunities to disrupt many areas using technology, while some established companies are still using 20th-century technology. Stay healthy.

What will you say to those tech enthusiasts struggling to pave their paths into the industry yet stumble upon the current pandemic situation?

Clarity. Confidence. Conviction. Have clarity on what you want to do. Execute on it with confidence and conviction relentlessly. There are hidden opportunities during the pandemic.

Artificial Intelligence (AI) is said to replace a human’s job. As a human, has it ever occurred to you that there’s the worst scenario that can result from this technology?

AI will replace some existing jobs. But, it will also create new types of jobs; more than it eliminates. Let’s look at the following two scenarios.

First, the car industry replaced the horse industry. There are over 1.4 billion cars and there are only 58 million horses in the world now. The car industry – production, services, newfound mobility, etc. – has created more jobs than it eliminated from the horse industry.

Second, there was a company implementing AI-powered robots in their warehouses. Many employees were worried they would lose their jobs. It turned out that the company hired more people due to robots. This may seem counter-intuitive. Why? Because robots are efficient and work 24 hours a day so they produce more; humans became the bottleneck and more humans needed to be hired to keep up with the robot. Although robots could do certain tasks, they couldn’t do anything.

Humans will be free to do more creative work while technology and AI take care of mechanical work. Also, technology and AI free up some of humanity’s time so we could spend our time with other people.

In short, AI augments humans’ creativity and ultimately makes us more human.

Datasaur Bukukan Dana 58 Miliar Rupiah dari Keikutsertaannya dalam Y Combinator

Startup pengembang platform pelabelan data Datasaur mengumumkan perolehan investasi senilai $3,9 juta atau setara 58 miliar Rupiah. Nilai total pendanaan tersebut mencakup pendanaan awal senilai $1.1 juta yang diterima tahun lalu dari GDP Venture dan $2.8 juta pendanaan tambahan yang didapat usai mengikuti demo day di program akselerator Y Combinator Maret lalu. Investor baru yang terlibat meliputi Initialized Capital, Y Combinator, dan CTO OpenAI Greg Brockman.

Kepada DailySocial Founder & CEO Datasaur Ivan Lee mengungkapkan, sebagian besar dana tersebut akan dimanfaatkan untuk merekrut talenta guna memperkuat tim. Perusahaan juga memiliki rencana untuk berinvestasi lebih lanjut pada pengembangan sistem cerdas, dengan tujuan meningkatkan kapabilitas “automasi” pelabelan data, sehingga bisa membuat proses pengerjaan data menjadi lebih efisien.

“Kami juga ingin melakukan ekspansi [produk] lebih luas lagi, [masukan datanya] bukan hanya dalam format teks, tapi juga gambar dan video,” kata Ivan.

Tren penggunaan dan pengembangan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) yang makin masif melatarbelakangi pengembangan Datasaur. Di balik setiap algoritma AI, ada ribuan pelatihan mesin yang umumnya masih berbasis “human-labeled training”. Mengelola dan memberi label data seperti itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan, memakan waktu, dan mahal.

Datasaur mencoba membantu mengefisienkan proses tersebut melalui beberapa fitur. Misalnya fitur labeling interface intelligence component yang dapat mengenali data-data dasar sehingga pemberi label tidak perlu menandai data yang sama berulang-ulang. Ada juga team organizing component untuk mengelola proses pelabelan data yang umumnya dilakukan berkelompok.

Contoh tampilan aplikasi pelabelan data yang dikembangkan Datasaur
Contoh tampilan aplikasi pelabelan data yang dikembangkan Datasaur

Selain di Indonesia, Datasaur juga menjalankan bisnis di California, Amerika Serikat.

“Untuk fokus bisnis kami di Indonesia, ke depannya Datasaur memiliki rencana untuk membantu menyebarkan penggunaan dan adopsi NLP di Indonesia, dan menjadi standar industri utama untuk pelabelan data di Indonesia,” kata Ivan.

Sebagai salah satu startup asal Indonesia yang menjadi anggota program akselerasi Y Combinator batch Winter 2020, banyak pengalaman serta edukasi penting yang didapatkan oleh Ivan. Bukan hanya memvalidasi bisnis, Datasaur juga mendapatkan banyak masukan terkait membangun tim yang solid dan fokus bisnis yang lebih terukur.

Selain Datasaur, ada juga startup lain dari Indonesia yang turut mendapat peruntungan di batch tersebut. Ialah BukuWarung, aplikasi pencatatan arus keuangan untuk pengusaha mikro di Indonesia. Selepas demo day, mereka juga mendapatkan antusias investor untuk turut berpartisipasi memberikan dananya.

AI di Esports: Coach Baru yang Lebih Efektif?

Pada April, AI buatan OpenAI, organisasi yang didukung oleh Elon Musk, berhasil mengalahkan OG, tim profesional yang memenangkan The International 2018, salah satu turnamen Dota 2 paling bergengsi.

Meskipun begitu, ini bukan berarti AI akan menggantikan atlet profesional. Ada banyak batasan yang ditetapkan dalam pertandingan yang mengadu AI dengan pemain manusia ini. Misalnya, di Dota 2, ada lebih dari 100 karakter. Namun, dalam pertandingan tersebut, kedua tim hanya bisa menggunakan 17 karakter.

Selain itu, OpenAI juga tidak berencana untuk mengembangkan AI yang dapat bermain Dota 2 ini lebih lanjut. Karena, pada akhirnya, tujuan utama OpenAI adalah untuk membuat AI yang bisa belajar tentang dunia nyata dan bukannya AI khusus untuk bermain game.

“OpenAI Five menggunakan metode deep reinforce learning, yang berarti kami tidak membuat kode tentang cara bermain Dota 2. Kami membuat AI itu agar bisa belajar,” kata Chairman dan Co-Founder OpenAI, Greg Brockman, lapor The Verge.

Anda bisa menonton video di bawah ini untuk tahu cara kerja AI yang dapat memainkan Dota 2 buatan OpenAI.

Esports kini menjadi industri dengan nilai US$1,1 miliar, menurut Newzoo. Seiring dengan semakin banyaknya perusahaan endemik dan non-endemik yang tertarik untuk mendukung industri esports, semakin banyak pula kompetisi esports yang diadakan.

Tidak hanya itu, besar hadiah yang ditawarkan juga semakin fantastis. Siapa yang tidak mau menjadi seperti Kyle “Bugha” Giersdorf, remaja 16 tahun yang memenangkan US$3 juta dari Fortnite World Cup?

Untuk bisa menjadi pemain profesional, selain bakat, seseorang juga harus berlatih. Falcon AI melihat ini sebagai kesempatan. Mereka mengembangkan AI, bernama SenpAI, yang dapat membantu seseorang untuk dapat bermain dengan lebih baik.

Pada awalnya, SenpAI hanya tersedia untuk game Dota 2. Namun, sekarang, SenpAI juga tersedia untuk pemain League of Legends. Menurut situs resminya, ada tiga hal yang SenpAI tawarkan: rekomendasi strategi, statistik pemain, dan pelacakan performa pengguna.

Co-founder dan CEO Falcon AI, Olcay Yilmazcoban mengatakan bahwa AI buatan mereka akan membantu para pemain untuk tahu kelemahan dan kekuatan mereka. Tidak berhenti sampai di situ, SenpAI juga akan memberitahukan cara bagi pemain untuk menang.

“Kami memberdayakan pemain agar mereka bisa bermain dengan lebih baik, terutama gamer kelas pemula dan menengah yang memang masih bisa berkembang,” kata co-founder Falcon AI, Berk Ozer pada Inc.com.

“Kami mengembangkan AI yang bisa membuat replika dari para pemain dan menyarankan tindakan yang bisa dilakukan pemain untuk meningkatkan performanya.”

Sumber: Team Liquid
Sumber: SAP

AI tidak hanya digunakan oleh pemain pemula, tapi juga profesional. Pada tahun lalu, SAP mengumumkan kerja samanya dengan Team Liquid.

Dalam situs resminya, SAP berkata bahwa kerja sama ini akan bertujuan untuk mengembangkan software yang dapat membantu tim esports tersebut untuk menganalisa permainan mereka. Tujuan akhirnya, tentu saja, adalah untuk meningkatkan performa mereka.

Selain membantu para pemain, AI juga bisa digunakan untuk membantu caster. Pada Maret lalu, IBM menunjukkan bagaimana AI mereka — bernama Watson — bisa membantu para caster dalam menyampaikan jalannya pertandingan.

IBM mengakui bahwa esports adalah industri yang besar dan masih bertumbuh. Selain itu, turnamen esports juga mengundang banyak penonton, baik penonton yang datang langsung ataupun menonton secara online.

“Para ahli dan developer di IBM mengembangkan cara bagi promotor acara untuk menarik fans menggunakan video cerdas, dan memberikan informasi penting pada komentator pertandingan,” kata IBM pada Variety.

IBM menggunakan teknologi yang sama dengan teknologi yang digunakan di turnamen tenis US Open.

Pada dasarnya, AI buatan IBM akan dapat menunjukkan momen penting dari sebuah pertandingan secara real-time berdasarkan ratusan jam konten yang ia konsumsi. Dengan begitu, sang caster akan bisa memastikan bahwa komentar mereka tetap relevan selama pertandingan berlangsung.

Selain itu, ada beberapa cara lain AI bisa digunakan di industri esports. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa membacanya di sini.

Sumber: The Verge, Inc.com, Variety, Forbes

Yuna & Co: Analisis Prediktif Menjadi Model Bisnis Menjanjikan dari Pemanfaatan AI

Yuna & Co merupakan aplikasi fashion matchmaking berbasis preferensi pengguna dan juga pertama di Indonesia. Aplikasi ini mengandalkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk memperoleh data tentang preferensi gaya pakaian pengguna.

Memasuki tahun keduanya, Yuna & Co telah melayani kebutuhan styling sebanyak 3000 pengguna wanita. Bagi perusahaan, angka tersebut merupakan pencapaian baik dengan dukungan 21 karyawan. Itu sudah termasuk beberapa personal stylist yang membantu kurasi pakaian pengguna.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Founder dan CEO Yuna & Co Winzendy Tedja bicara tentang pesatnya perkembangan e-commerce di Indonesia yang mendorong perusahaan untuk dapat memberikan layanan fashion yang lebih personal kepada konsumen.

Sebagaimana kita tahu, e-commerce merupakan lokomotif industri digital di Indonesia. Riset Google Temasek memprediksi nilai transaksi e-commerce di Indonesia berdasarkan Gross Merchandise Value (GMV) bakal mencapai $53 miliar atau sekitar Rp 758 miliar di 2025.

Pria yang karib disapa Zendy ini berujar bahwa konsumen saat ini sudah jauh lebih matang. Konsumen dianggap sudah lebih paham apa yang mereka inginkan dibandingkan beberapa tahun silam saat industri e-commerce terbilang masih baru.

Akan tetapi, maraknya pemain e-commerce atau marketplace saat ini dinilai memberikan terlalu banyak pilihan kepada konsumen. Menurutnya, pemain di bisnis ini harus dapat memberikan yang lebih personal kepada setiap konsumen mereka.

“Sekarang konsumen sudah mulai terbiasa dan percaya untuk bertransaksi online. Malah konsumen punya begitu banyak pilihan setiap harinya. Bahkan terlalu banyak pilihan kadang bikin mereka bingung. Makanya, sudah saatnya kita bisa memberikan elemen personal untuk setiap konsumen,” jelasnya.

Bicara peran AI terhadap kepuasan pelanggan, Yuna & Co belum memiliki standar atau pengukuran tertentu. Akan tetapi, perusahaan tetap berpatok pada kepuasan konsumen sebagai Key Perfomance Indicator (KPI) utama.

“Bicara peran AI terhadap kepuasan pelanggan, sebetulnya teknologi AI kami masih dalam tahap pembelajaran. Tapi kami tidak akan berhenti berevolusi,” ungkapnya.

Kolaborasi dan bisnis analisis prediktif

Saat ini, Yuna & Co masih mengandalkan transaksi penjualan Matchbox sebagai model bisnis utamanya. Matchbox merupakan paket berisi satu set pakaian yang dipilih stylist Yuna & Co berdasarkan kebutuhan/selera/kepribadian dan ukuran tubuh pengguna.

Sebetulnya, perusahaan berminat untuk menerapkan sistem berlangganan (subscription). Apalagi, tingkat ketertarikan konsumen dinilai sangat tinggi terhadap produk ini. Akan tetapi, perusahaan ingin fokus terhadap penambahan pengguna baru, kolaborasi brand, dan edukasi pasar di tahun ini.

Untuk memperkuat bisnisnya di masa depan, Zendy melihat analisis prediktif sebagai model bisnis menjanjikan yang dapat menghasilkan pendapatan baru. Dengan mengandalkan data yang dimilikinya, analisis prediktif menjadi use case yang sangat memungkinkan dari pemanfaatan teknologi AI.

Selain itu, analisis prediktif juga dapat diimplementasikan untuk kebutuhan yang lebih luas, misalnya menurunkan jumlah inventory, meningkatkan kepuasan pelanggan, menurunkan item return yang menjadi biaya besar bagi perusahaan maupun konsumen.

“Analisis prediktif itu tidak hanya digunakan perusahaan kami, tetapi juga dapat menguntungkan ekosistem secara keseluruhan. Dengan data ini, kami harap dapat menguntungkan dan mengedukasi pemain industri besar, seperti UKM di industri tekstil,” jelas Zendy.

Application Information Will Show Up Here

Hukumonline Luncurkan Chatbot “LIA”, Berikan Kemudahan Akses Informasi Hukum

Jika sebelumnya teknologi chatbot banyak digunakan layanan e-commerce, jasa, dan lainnya, kini hadir chatbot yang bisa membantu masyarakat umum mengerti lebih mendalam tentang hukum di Indonesia. Fitur chatbot yang diluncurkan Hukumonline tersebut bernama Legal Intelligent Assistant (LIA).

Mengklaim sebagai chatbot hukum pertama di Indonesia, fokus ke informasi seputar edukasi hukum yang kerap ditanyakan masyarakat umum. Di perayaan ulang tahunnya yang ke-18, Hukumonline ingin menghadirkan teknologi baru yang menyajikan informasi ini.

Secara khusus LIA digambarkan sebagai seorang perempuan generasi milenial yang ceria, cerdas, berpenampilan stylish, berusia 23 tahun, dan melek hukum karena sering membaca artikel-artikel dari Klinik Hukumonline.

Diluncurkannya LIA disebut sebagai komitmen Hukumonline dalam memberi edukasi hukum dan meningkatkan kemudahan bagi pembaca untuk mengakses kontennya

“Bertepatan pada ulang tahun Hukumonline ke-18, kami dengan bangga memperkenalkan chatbot Legal Intelligent Assistant, atau yang kami panggil ‘LIA’. LIA merupakan chatbot berteknologi Artificial Intelligence (AI) yang mampu memahami dan merespon pertanyaan terkait hukum,” kata CTO Hukumonline Arkka Dhiratara.

Memanfaatkan Facebook Messenger

Untuk memudahkan pengguna mengakses, LIA chatbot memanfaatkan channel Facebook Messenger. Pilihan ini bisa dinikmati pengguna saat mengakses situs atau langsung melalui platform Facebook Messenger.

“Dipilihnya Facebook Messenger sebagai channel karena berdasarkan survei yang kami lakukan kepada pengguna dan tergolong media sosial favorit mereka. Dengan alasan itu kami prioritaskan dulu channel Facebook Messenger,” kata Arkka.

LIA akan menyapa pengguna dan menawarkan tiga informasi hukum, yaitu hukum perkawinan, perceraian dan waris. Usai pilihan ditentukan, akan terlihat informasi hukum yang dicari dengan gaya bahasa informal.

LIA juga dibekali teknologi AI natural language processing (NLP), yaitu kemampuan untuk memahami dan menulis bahasa manusia. Dengan NLP, LIA mengerti apa yang ditulis pengguna dan mampu merespon layaknya manusia.

Teknologi NLP memungkinkan interaksi yang lebih natural. Dengan demikian, pengguna LIA dapat lebih nyaman dan bebas bertanya seputar dunia hukum.

“Kami terus melakukan inovasi tiada henti dalam mengemas konten hukum agar dapat mudah dipahami dan bermanfaat buat masyarakat luas,” kata Arkka.