Tanpa Bantuan Caption, AI Facebook Dapat Mencari Gambar Berdasarkan Objek di Dalamnya

Berkat perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan alias AI, April tahun kemarin Facebook berhasil meluncurkan fitur yang dapat membantu kaum tuna netra memahami isi Facebook, khususnya jutaan foto yang diunggah ke jejaring sosial tersebut. Kini, Facebook malah telah sukses memodifikasi platform AI yang sama untuk mempermudah pencarian gambar.

Apa yang Facebook lakukan sederhananya adalah melatih AI buatannya mengenali objek dalam gambar dengan memperlihatkan jutaan foto beserta caption-nya masing-masing. Pada akhirnya, AI yang dijuluki Lumos tersebut sanggup mengenali beragam objek dalam gambar tanpa harus ada caption maupun tag yang menyertai.

Semua ini kemudian diterjemahkan ke algoritma pencarian gambar di Facebook. Jadi semisal Anda mencari dengan kata kunci “Yosemite National Park”, Facebook pun sanggup menampilkan beberapa gambar yang relevan meski tidak ada caption-nya sama sekali.

Facebook juga memastikan kalau hasil pencarian gambarnya akan bervariasi dan bukan gambar yang sama tapi diambil dari sudut yang berbeda begitu saja. Singkat cerita, hasil pencarian gambar di Facebook akan lebih relevan sekaligus memuaskan dibanding sebelumnya.

Tujuan akhir yang ingin dicapai Facebook adalah mengaplikasikan teknologi serupa ke segudang video yang penggunanya unggah. Saat sudah tiba di titik itu, kita pada dasarnya dapat menemukan momen yang tepat dari suatu video hanya dengan bermodalkan kata kunci saja. Namun untuk sekarang, fitur pencarian gambar yang lebih istimewa ini baru tersedia untuk pengguna di AS saja.

Sumber: TechCrunch dan Facebook. Gambar header: Pixabay.

SoundHound Raih Pendanaan Sebesar $75 Juta untuk Berfokus pada Pengembangan AI

Melihat keberadaan asisten virtual pada perangkat di pasaran, hampir semua yang populer berasal dari raksasa teknologi macam Apple atau Google. Jadi kesimpulannya, hanya perusahaan besar yang bisa mengembangkan teknologi kecerdasan buatannya sendiri, benarkah begitu? Tidak juga.

SoundHound adalah bukti nyatanya. Sejak Maret tahun kemarin, perusahaan yang dikenal akan aplikasi penebak judul lagunya tersebut telah mempunyai asisten virtual bertenaga AI bernama Hound. Hound pun perlahan juga mulai merambah perangkat, dimulai dari speaker nyentrik bernama Boombotix Hurricane.

SoundHound juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Mereka belum lama ini malah menerima pendanaan senilai $75 juta dari sejumlah investor untuk mengembangkan Hound dan platform di baliknya lebih matang lagi. Alasannya, SoundHound sangat yakin perintah suara bakal menjadi medium interaksi dengan perangkat yang dominan ke depannya.

Dua dari investor-investor tersebut juga bukan perusahaan kacangan, melainkan nama sekelas Samsung dan Nvidia. Seperti yang kita tahu, kedua pabrikan ini memang sudah cukup lama menunjukkan ketertarikannya pada integrasi kecerdasan buatan dalam wujud asisten virtual.

Pendanaan ini akan dimanfaatkan SoundHound untuk menarik lebih banyak konsumen dan memperluas jangkauan pengoperasiannya ke Eropa dan Asia. Sejumlah kelebihan AI besutan SoundHound adalah proses pengenalan kata/frasa dan pemahaman konteks secara real-time (tidak menunggu pengguna selesai berbicara terlebih dulu), serta integrasi dengan aplikasi atau perangkat tanpa ‘mengisolasi’ data pengguna yang dikumpulkannya sendiri.

Sumber: Bloomberg.

Amazon, Apple, Google, Facebook, IBM dan Microsoft Bekerja Sama dalam Penelitian Pengembangan AI

Alexa, Siri, Google Assistant dan Cortana terus bersaing memperebutkan gelar asisten virtual terbaik buat konsumen. Namun terlepas dari persaingan tersebut, ternyata perusahaan-perusahaan pengembangnya malah bekerja sama untuk melakukan penelitian mendalam di bidang yang menjadi kunci dari ini semua, yaitu kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).

Pada bulan September tahun kemarin, dibentuk sebuah tim peneliti gabungan bernama Partnership on AI. Anggotanya tidak main-main, mencakup para ahli dari Amazon, Apple, Google, Facebook, IBM dan Microsoft. Tujuannya tidak lain dari memformulasikan praktek-praktek terbaik di bidang pengembangan AI sekaligus menjadi platform diskusi dan keterlibatan yang terbuka.

Sepintas terdengar aneh kalau Apple mau menjadi bagian dari platform terbuka seperti ini, sebab perusahaan pimpinan Tim Cook tersebut dikenal sangat tertutup. Namun mengingat AI tergolong masih baru dan Apple tidak bisa merekrut semua ahli di bidang ini, mau tidak mau mereka harus membuka pintunya dan terlibat dalam kolaborasi besar semacam ini.

Siri sendiri bisa dibilang sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan Google Assistant misalnya. Itulah mengapa Apple telah melakukan upaya-upaya khusus untuk meningkatkan kualitas Siri, salah satu yang paling menonjol adalah ketika mereka merekrut ahli AI asal Carnegie Mellon University, Professor Russ Salakhutdinov.

Apple perlahan juga membuka dirinya di bidang pengembangan AI ini dengan mempersilakan sang profesor untuk memublikasikan hasil studinya. Apple sendiri ternyata juga merupakan salah satu anggota pendiri Partnership on AI, dan telah terlibat sejak sebelum tim gabungan tersebut dibentuk – hanya saja statusnya sebagai anggota baru diumumkan secara resmi belum lama ini.

Sumber: Bloomberg dan Partnership on AI.

Mattel Ciptakan Speaker Bertenaga Kecerdasan Buatan untuk Anak-Anak

Di titik ini Anda pastinya sudah tidak bisa meragukan popularitas speaker bertenaga kecerdasan buatan (AI) macam Amazon Echo dan Google Home. Ke depannya pabrikan-pabrikan lain pasti menyusul, tapi sebelum itu, ada Mattel yang lebih dulu memperkenalkan speaker serupa khusus untuk anak-anak.

Dijuluki Aristotle, ia merupakan perpaduan sebuah speaker Bluetooth dan kamera. Misi utama yang diusungnya adalah menjadi pengawas bayi sekaligus teman bermain dan belajar anak-anak. Ia dapat mengenali anak yang berbeda berdasarkan suaranya, memberikan instruksi sekaligus berinteraksi dengan mereka.

Aristotle ditenagai oleh tiga AI yang berbeda: buatan Mattel sendiri, Microsoft Cognitive Services (dan tidak lama lagi Cortana), dan buatan perusahaan bernama Silk Labs. Nama Aristotle sendiri mengindikasikan kalau ia mempunyai karakter bijaksana seperti sang filsuf asal Yunani yang menginspirasi namanya.

Aristotle memadukan AI, computer vision, voice recognition dan otomatisasi sehari-harinya. Contoh, saat ia mendeteksi bayi yang menangis, ia dapat mengirimkan notifikasi ke orang tua atau memutar lagu tidur dengan sendirinya. Semua ini bisa diatur melalui aplikasi pendampingnya di ponsel.

Dihadapkan dengan balita, Aristotle akan memfasilitasi mereka dalam mempelajari alfabet maupun membacakan cerita. Kepada anak yang lebih besar lagi, Aristotle akan membantu mereka dalam mengerjakan PR maupun menyajikan hiburan. Terakhir, bersama para remaja, Aristotle bisa melakukan interaksi yang lebih kompleks sekaligus mendampingi mereka belajar bahasa asing.

Dalam mengembangkan Aristotle, Mattel tidak mau setengah-setengah dalam hal keamanan dan privasi. Semua data yang masuk dan keluar akan dienkripsi, dan untuk mencegah serangan DDoS atau ancaman lain dari para hacker, pengguna harus melakukan pairing manual setiap kali hendak menyambungkan ponsel dengan Aristotle.

Sejatinya ada banyak sekali yang bisa dilakukan Mattel Aristotle, termasuk mengontrol perangkat smart home atau IoT yang kompatibel. Perangkat ini rencananya akan dipasarkan mulai musim panas mendatang seharga $299.

Sumber: PC World dan PR Newswire.

Mark Zuckerberg dan Impiannya Menjadi Tony Stark

Penggemar Iron Man pasti tidak asing lagi dengan Jarvis. Di film dan komik, asisten digital ini berkali-kali menyelamatkan nyawa Tony Stark dan Pepper Potts, tidak heran jika banyak orang diam-diam berimajinasi memiliki AI sepertinya buat membantu mereka di berbagai skenario. Di dunia nyata sendiri, ternyata CEO Facebook merupakan sosok yang paling mendekati Tony Stark.

Mungkin Anda sudah tahu, Mark Zuckerberg beberapa waktu lalu memublikasikan beberapa video demonstrasi kecerdasan buatan yang ia namai seperti sang asisten Iron Man. Tentu saja kreasinya itu bukan diciptakan untuk Mark sematkan di jubah eksoskeleton yang diam-diam ia buat. Implementasinya lebih ‘casual‘: di tahun 2016 ini, Mark menantang dirinya untuk membangun AI di rumah.

Sang chairman Facebook mengakui, perjalanan pengembangan AI yang ideal masih sangat jauh, meski teknologi saat ini memungkinkan terealisasinya sejumlah terobosan besar. Dan upaya menciptakan sistem home automation ini juga membuat Mark mempelajari lebih banyak hal, termasuk lebih memahami teknologi internal Facebook yang dimanfaatkan para teknisi.

Buat sekarang, Mark bisa berinteraksi dengan Jarvis menggunakan smartphone dan komputer. Lewat AI, ia dapat mengendalikan banyak pernak-pernik di rumah, misalnya lampu, thermostat, perabotan, bahkan mengakses sistem hiburan seperti musik dan keamaman. AI tersebut mampu menganalisis pola dan minat penghuni rumah, lalu pelan-pelan bisa mengetahui kata-kata serta konsep baru – bahkan dapat membantu Mark dan Priscilla menghibur buah hatinya, Max.

Jarvis memanfaatkan kombinasi sejumlah teknik pembangun AI seperti teknologi proses bahasa, sistem pengenal wajah dan suara, dan ‘reinforcemwent learning‘; ditulis di Python, PHP dan Objective C. Sebelum mulai menggarap Jarvis, Mark pertama-tama harus menyambungkan segala sistem (pintu, lampu, pengaturan suhu ruang, sampai sistem audio) di rumahnya ke server, lalu melengkapinya dengan menyiapkan user interface (messenger bot, app, dan kamera).

Bagi Mark, membuat AI bisa mengenali wajah manusia adalah salah satu tantangan terbesarnya. Pasalnya, mesin lebih susah membedakan wajah dua individu ketimbang dua objek berbeda. Untung saja kemampuan pengenal wajah Facebook semakin canggih, dan untuk menyempurnakan fungsinya, Mark memasang beberapa kamera buat mengambil gambar dari sudut berbeda, lalu memerintahkan mereka melakukan pengawasan secara terus-menerus.

Selanjutnya, Mark punya agenda untuk membangun aplikasi Android, memasang terminal suara Jarvis di lebih banyak ruang, serta mengoneksikan lebih banyak perabotan. Ia juga ingin mengeksplorasi kemampuan self-learning sehingga Jarvis bisa belajar secara mandiri tanpa perlu perintah spesifik.

Sumber: Facebook.

Samsung Sedang Siapkan Penerus Gear VR dan Headset Macam Microsoft HoloLens

Melihat kesuksesan Gear VR, sudah bisa dipastikan bahwa Samsung tengah sibuk menyiapkan suksesornya yang lebih canggih lagi. Namun kira-kira perubahan seperti apa yang bakal diterima oleh konsumen?

Berbicara di panggung Virtual Reality Summit, Dr. Sung-Hoon Hong yang menjabat sebagai Vice President Samsung Electronics mengungkap sedikit mengenai apa yang sedang timnya kerjakan untuk segmen VR. Yang cukup mengejutkan, Samsung rupanya tengah mengembangkan dua headset sekaligus.

Yang pertama adalah penerus Gear VR dengan teknologi rendering engine baru. Detailnya sejauh ini masih samar-samar, tapi pastinya engine baru ini akan meningkatkan kualitas grafik yang tersaji saat konsumen menggunakan headset. Dan kalau belajar dari pengalaman sebelumnya, Samsung pastinya juga akan menyempurnakan desain Gear VR baru ini supaya bisa lebih nyaman lagi saat dikenakan.

Akan tetapi yang justru sangat menarik perhatian adalah headset kedua yang Dr. Hong bicarakan. Headset ini pada dasarnya mengedepankan teknologi augmented reality seperti yang ditawarkan Microsoft HoloLens. Pada kenyataannya, Dr. Hong mengakui kalau timnya banyak belajar dari prototipe HoloLens sekaligus Magic Leap.

Dr. Hong tak lupa menjelaskan kalau teknologi hologram yang diaplikasikan pada headset ini nantinya akan terkesan begitu realistis berkat penerapan light field engine hasil pengembangan mereka sendiri. Tidak ketinggalan, Samsung juga punya visi untuk mengintegrasikan artificial intelligence dalam wujud asisten virtual.

Skenario yang dibayangkan adalah dimana pengguna bisa berbelanja perabot maupun produk lain, melihat wujud virtual-nya secara nyata dan melakukan pemesanan secara langsung dari headset, semuanya dengan bantuan sang asisten virtual.

Samsung juga tidak menutup kesempatan untuk bekerja sama dengan pihak lain yang ahli di bidang ini, baik startup kecil maupun perusahaan yang terkesan misterius seperti Magic Leap – Gear VR sendiri merupakan hasil kolaborasi Samsung dengan Oculus. Rencananya, suksesor Gear VR dan AR headset baru ini akan diperkenalkan pada ajang Mobile World Congress tahun depan.

Sumber: WearableZone.

Uber Dirikan Lab Khusus Pengembangan Artificial Intelligence

Armada mobil tanpa sopir Uber telah resmi beroperasi. Untuk sekarang, mobil-mobil tersebut masih harus didampingi oleh seorang engineer dan co-pilot. Namun ke depannya, saat teknologinya sudah matang dan regulasi setempat sudah mengizinkan, mobil-mobil tersebut hanya akan diisi oleh penumpang saja.

Uber nampaknya ingin impian ini bisa terealisasi sesegera mungkin. Mereka baru-baru ini mengakuisisi sebuah startup bernama Geometric Intelligence yang ahli di bidang artificial intelligence (AI) dan membentuk sebuah divisi baru bernama Uber AI Labs. Tim beranggotakan 15 orang ini akan berkolaborasi langsung dengan tim yang tergabung dalam Uber Advanced Technologies Center guna menyempurnakan armada mobil kemudi otomatisnya.

Selain mematangkan sistem kemudi otomatis, apa yang dikerjakan oleh Uber AI Labs ini nantinya juga akan diterapkan ke berbagai hal; seperti mencegah dan menanggulangi kasus penipuan, menyaring informasi dari rambu-rambu lalu lintas dan membantu kinerja tim Uber yang sedang menggarap sistem pemetaan digitalnya sendiri.

Namun mungkin Anda penasaran kenapa harus Geometric Intelligence yang dipilih Uber. Well, startup ini menarik karena riset mereka terhadap AI dilakukan dengan melibatkan sejumlah metode sekaligus. Singkat cerita, AI yang mereka kembangkan bisa belajar secara lebih efisien meski sumber datanya terbatas.

Uber AI Labs ini sekaligus menjadi bukti bahwa artificial intelligence merupakan salah satu highlight dunia teknologi di tahun 2016 ini. Uber hanyalah satu dari seabrek nama-nama besar yang berfokus pada pengembangan AI; di antaranya adalah Google, Facebook, Amazon, Apple, Nvidia dan masih banyak lagi.

Sumber: New York Times dan Uber.

DigiTalks: Obrolan Chatbots secara Sederhana

Kedengarannya memang kontradiktif, tapi begitulah judul yang rasanya tepat untuk menggambarkan talkshow DigiTalks, yang diselenggarakan pada hari Rabu (30/11) kemarin. Konsep chatbots mungkin simpel, yakni tentang bagaimana program komputer dapat menggantikan peran manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Ada bahasa dan algoritma yang tertuang pada kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) yang terlibat di dalamnya. Namun, kompleksitas dari bagaimana chatbots melakukan tugasnya di industri didiskusikan di DigiTalks dengan suasana yang sederhana dan hangat, sehingga tidak membuat sistem ini terasa agung untuk diimplementasikan.

Ruang tengah dari Rumah Mandiri Inkubator Bisnis malam itu sudah diisi beberapa tech enthusiast yang terus berdatangan seiring hujan yang mereda. Setelah menikmati coffee time, acara bertajuk “Chat Commerce: The Next Frontier of E-Commerce” ini dibuka oleh MC yang dilanjut dengan opening speech dari CEO Mandiri Capital Eddie Danusaputro.

Setelah sambutan dari pihak Mandiri Capital selaku tuan rumah acara, giliran CEO Kata.ai Irzan Raditya yang memberikan keynote presentation sekaligus memberikan gambar besar terlebih dahulu mengenai sejarah, manfaat, serta signifikansi kehadiran chatbots di industri.

Menurut Irzan, inovasi yang ia lakukan salah satunya didorong oleh fenomena bahwa customer support perusahaan yang tidak melayani pelanggan saat jam operasional usai dan juga pelayanan mereka yang cenderung lambat di peak hour. Belum lagi, layanan perusahaan seringkali menggunakan prosedur yang dinilainya menjemukkan seperti instruksi untuk menekan nomor-nomor agar kita sampai ke bagian terkait. “Chatbots adalah solusi untuk hal ini,” ujar Irzan.

Setelah keynote dari Irzan, DigiTalks masuk ke acara utamanya yakni talkshow. Acara diserahkan kepada Editor-in-chief DailySocial Lifestyle Wiku Baskoro yang menjadi moderator malam itu, dengan Irzan dan Thomas Diong, Chief Product and Data Officer Salestock, yang merupakan panelisnya.

Diskusi panel diawali dengan menyinggung beberapa hal yang telah disampaikan Irzan dalam keynote-nya. Thomas sependapat jika chatbots mumpuni untuk melakukan tugas yang lebih advance dari manusia, seperti satu bot yang dapat melayani 1000 konsumen dalam empat menit. Selain itu, chatbots dapat menjawab pertanyaan repetitif (FAQ) yang umum dilemparkan konsumen-konsumen dari sebuah perusahaan. “Jadi, chatbots dapat memahami konteks dengan tidak perlu melihat chat-chat sebelumnya saat menangani banyak konsumen,” tegas Thomas.

Para peserta DigiTalks memperlihatkan besarnya rasa ingin tahu mereka di sesi tanya-jawab. Saat moderator Wiku menawarkan waktu untuk bertanya, terlihat di bangku peserta banyak yang mengacungkan tangannya. Meski tidak semua yang mengangkat tangannya mendapat kesempatan bertanya di sesi tanya-jawab, mereka masih mendapat kesempatan itu dan berdiskusi langsung dengan pembicara di sesi networking yang pada malam hari itu menjadi penutup dari DigiTalks.


Disclosure: DailySocial adalah media partner dari DigiTalks.

Studi Universitas Stanford: Robot Tak Akan Membahayakan Manusia

Ada banyak kisah fiksi yang mengangkat tema mengenai efek samping perkembangan kecerdasan buatan: The Matrix, Terminator, sampai Ex Machina. Semuanya membuat kita berpikir, apakah mungkin di satu titik di masa depan, kemajauan teknologi malah berbalik dan membahayakan manusia? Sudah ada beberapa contohnya, tapi menurut Universitas Stanford, kita tak perlu cemas.

Berniat untuk mengulik ranah itu lebih dalam, Stanford menyelenggarakan proyek bertajuk One Hundred Year Study on Artificial Intelligence. Sesuai namanya, ia adalah sebuah proses studi panjang demi menghasilkan data dan laporan lengkap tentang bagaimana kecerdasan buatan akan memengaruhi aspek kehidupan kita – melampaui gambaran AI di film, kekhawatiran para ahli, serta keinginan orang memperoleh asisten pribadi yang super-pintar.

Bagian pertama laporan tersebut sudah dirilis, diberi judul ‘Artificial Intelligence and Life in 2030’. Berisi 28.000 kata, bab pembuka itu merupakan rangkuman dari pengkajian kemajuan AI di sebuah kota di Amerika sepuluh tahun lagi, prosesnya dilakukan selama setahun. Di sana, para ilmuwan menggarisbawahi bahwa hal-hal yang banyak orang takutkan tidak akan terjadi, karena hal itu tidak realistis.

Berdasarkan pemaparan tersebut, AI akan dimanfaatkan di berbagai sektor, seperti transportasi, medis, edukasi hingga ranah pekerjaan. Studi memperlihatkan kesamaan antara pengembangan AI dengan adopsi smartphone modern. Ia memang bukanlah kebutuhan pokok, namun Anda mungkin sulit membayangkan hidup tanpa ditemani perangkat bergerak.

Menurut para peneliti, transportasi merupakan salah satu bidang pertama yang segera mengadopsi kecerdasan buatan. Nantinya, publik akan mulai bertanya-tanya apakah AI dapat diandalkan untuk mengoperasikan kendaraan secara optimal serta menjaga keselamatan para penumpang. Dalam beberapa tahun lagi, kendaraan tanpa pengemudi akan jadi hal yang lumrah. Interaksi antara manusia dan mesin inilah yang memengaruhi persepsi awal publik tentang AI.

Selanjutnya, kecerdasan buatan di ranah medis pelan-pelan akan membantu dokter serta pakar kesehatan mengumpulkan data berjumlah besar. Robot juga bisa mempermudah proses pengiriman pasokan obat, meskipun manusia tetap dibutuhkan buat mendistribusikannya ke lokasi yang spesifik.

Setelah itu, AI dapat digunakan di bidang keamanan publik, walaupun implementasinya terbilang cukup kompleks. Contohnya: dengannya penegak hukum bisa mengawasi keadaaan sosial media atau menganalisis kerumunan massa untuk mengantisipasi terjadinya sebuah event publik berskala besar.

Laporan ini ditutup oleh pernyataan bahwa para peneliti tidak melihat adanya potensi bahaya dari pemanfaatan kecerdasan buatan di waktu dekat.

Sumber: Fast Company. Gambar header: Flickr.

Dashbot Tambahkan Kecerdasan Buatan di Segala Jenis Mobil

Terlepas dari potensi kecanggihan mobil pintar, ada banyak faktor yang menghambat adopsinya: teknologinya tidak murah, mayoritas konsumen lebih percaya pada kendaraan biasa, belum lagi produsen harus memenuhi regulasi pemerintah. Menariknya, developer pencipta PocketChip punya solusi mudah dan murah buat menyulap mobil biasa menjadi kendaraan ‘cerdas’.

Next Thing Co. memperkenalkan Dashbot, sebuah aksesori mobil berisi kecerdasan buatan yang memungkinkan pengemudi melakukan berbagai hal: mengaktifkan musik, membuka peta, sampai mengirim pesan teks. Caranya? Cukup dengan menempelkan Dashbot di dashboard kendaraan, dan menyambungkan device ini ke smartphone via Bluetooth sebelum berkendara.

Dashbot menjanjikan kemudahan dalam penggunaan, dibekali dukungan pengelolaan playlist lagu, podcast, serta kompatibel ke berbagai layanan streaming musik (Spotify, Google Play Music, Apple Music, Soundcloud, NPR One, hingga ESPN Radio). Ia bisa merangkul semua app di satu wadah sehingga Anda tidak perlu mengaksesnya secara manual – semuanya dapat dilakukan lewat perintah suara.

Developer asal Oakland itu menyampaikan bahwa Dashbot didesain agar bisa dioperasikan sepenuhnya dengan voice. Dalam penyajian info, device akan memberikan informasi arah secara turn-by-turn, membacakan pesan secara lantang dan segera memberi tahu siapa yang sedang menelepon Anda. Jika punya pertanyaan, Anda hanya tinggal mengucapkannya saja, dan AI di Dashbot dapat beradaptasi dengan suara serta keadaan lingkungan di sekitar mobil.

Perangkat unik ini memanfaatkan rangkaian microphone beamforming dan kemampuan proses sinyal digital high-end sehingga sanggup mendengar ucapan Anda terlepas dari ramainya kondisi lalu lintas serta ketika musik sedang mengalun di volume tinggi. Untuk membuat pesan teks, Dashbot sudah dibekali engine speech-to-text terbaik, dan perangkat akan membacakan kembali pesan tersebut sebelum dikirim.

Di fitur navigasi, Dashbot juga dilengkapi sistem pencahayaan LED untuk memberikan petunjuk yang mudah dimengerti – misalnya menampilkan simbol anak panah ke kiri atau ke kanan. Dan untuk data lokasi, device menggunakan Google Maps.

Dashbot dapat dipasangkan ke segala jenis mobil, bekerja dengan dukungan app companion di smartphone (Android 5.0 atau iOS 10 atau yang lebih baru). Perangkat ditenagai kabel USB atau power port 12V (pemantik rokok di mobil), terkoneksi ke sistem audio kendaraan Anda via Bluetooth atau jack auxiliary.

Dashbot baru tersedia untuk konsumen di negara-negara tertentu saja, ditawarkan melalui Kickstarter. Harganya sangat murah, produk cuma dibanderol US$ 50.