Mengulik B2B Commerce, Strategi Baru Telkom Setelah Penutupan Blanja

Di situsnya, Blanja mengumumkan kepada para penggunanya, terhitung mulai 1 September 2020 seluruh kegiatan pembelian akan dihentikan. Dalam pernyataan resminya, pihak Telkom berdalih bahwa ini merupakan bagian dari transformasi bisnis e-commerce di perseroan, dalam upaya memperkuat profitabilitas perusahaan. Per 1 Oktober 2020, Telkom hanya akan fokus padae-commerce di segmen bisnis, baik menyasar korporasi maupun UKM.

Terkait rencana selanjutnya, kepada DailySocial pihak Telkom mengatakan, “Sesuai dengan rencana strategis Telkom, yang mengarah pada B2B Commerce bisa mengembangkan dari resource sendiri (build), bermitra dengan pihak lain (borrow), atau mengembangkan kompetensi eksternal (buy) termasuk dengan para startup.”

Blanja adalah bagian dari bisnis digital Telkom, berada di bawah kepemimpinan Fajrin Rasyid. Ditunjuknya co-founder Bukalapak tersebut untuk mendukung agenda peningkatan peluang bisnis dan potensi keuntungan perseroan dari bisnis digital.

Blanja tidak dikerjakan sendiri, Telkom menggandeng eBay sebagai mitra strategis. Untuk kelanjutan kerja sama mereka, pihak Telkom masih belum bisa berkomentar, “Nanti akan disampaikan kelanjutannya ya”. Sementara kami juga sudah mencoba meminta pernyataan resmi dari eBay Indonesia, namun sampai tulisan ini diterbitkan belum ada komentar apa pun yang disampaikan.

Menjelang akhir tahun 2019, kami sempat mewawancara CEO Blanja Jemy Confido. Ia mengklaim, dibanding tahun 2018 jumlah revenue yang didapat meningkat hingga 84%. Terjadi peningkatan EBITDA 11% dan Net Income sekitar 4%. Turut ditegaskan metrik utama perusahaan tidak lagi GMV, tetapi revenue.

Blanja sulit mengejar ketertinggalan

Sebagai platform e-commerce yang fokus pada B2C/C2C, posisi Blanja memang kurang menawan akhir-akhir ini. Salah satunya dibuktikan dari hasil riset yang dilakukan iPrice, per kuartal kedua tahun 2020, posisi Blanja ada di peringkat 16 – satu ranking persis di bawah elevenia (PT XL Planet), yang sebelumnya turut dikelola perusahaan telco XL Axiata namun telah dilepas sepenuhnya ke Salim Group.

Dalam penelitiannya, iPrice menggunakan beberapa variabel, dua di antaranya statistik kunjungan situs dan peringkat aplikasi.

Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020
Riset iPrice tentang perkembangan e-commerce di Indonesia per Q2 2020

Dengan pengalaman mendirikan dan membesarkan Bukalapak, intuisi bisnis Fajrin jelas sudah terasah. Kendati tidak disampaikan detail, pastinya ada argumen kuat yang melandasi bahwa kemungkinan Blanja untuk memimpin pasar e-commerce lokal sangat kecil, tidak berbanding dengan effort yang dikeluarkan.

Pemimpin pasar diisi oleh para unicorn yang terus bersaing dan berinovasi menjadi yang terdepan. Cakupan bisnisnya pun sudah sangat luas, tidak sekadar sebagai tempat jual-beli online, melainkan meliputi aspek fintech (pembayaran dan pinjaman), logistik, online-to-offline (kemitraan dengan warung), dan lain-lain.

Padahal Blanja di tahun 2020 ini punya target untuk mempertajam produk digitalnya, termasuk pembayaran berbagai tagihan, asuransi, investasi, bahkan sampai produk digital untuk pendidikan. Strateginya dengan menggandeng pemain lain, untuk asuransi mereka memilih Invisee sebagai mitra; untuk pembayaran dan paylater ada LinkAja dan Finpay.

Tapi rencana tinggal rencana, sekarang semua akan diubah fokus ke B2B Commerce. Lalu bagaimana pangsa pasar dan peluang bisnis yang akan dijelajah Telkom tersebut?

Potensi B2B Commerce

B2B Commerce mengacu pada pertukaran barang dan jasa antarperusahaan melalui medium digital. Kebanyakan model bisnis yang diadopsi adalah marketplace atau direct-to-consumer.  Menurut laporan yang dirilis ecommerceDB.com bertajuk “In-depth: B2B e-Commerce 2019”, nilai pasar B2B Commerce di tahun 2019 mencapai $12,2 triliun, 6x lebih besar dari pasar B2C.

Menariknya, Asia Pasifik memimpin pasar dengan kontribusi hampir 80%, membuat para pemain global menginjakkan gas untuk menggarap unit B2B-nya di sini. Sejauh ini ada dua pemain yang paling menonjol, yakni Alibaba dan Amazon Business. Tak penutup kemungkinan akan lebih riuh lagi, karena lanskap kompetisinya mulai diramaikan Rakuten, Mercateo, Global Sources, IndiaMART, hingga Walmart.

Di Indonesia, sejauh ini ada Bhinneka, Mbiz, Bizzy, AXIQoe, Monotaro, dan Ralali. Untuk pemain B2C juga belum banyak yang bermain ke sana —  salah satu yang sudah terjun adalah Bukalapak melalui layanan BukaPengadaan. Sementara Bizzy pun pivot, alih-alih menyediakan e-commerce untuk bisnis, mereka kini mengutamakan layanan logistik dan distribusi.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin, melalui wawancara terbarunya dengan DailySocial  menjelaskan, kontribusi bisnis dari B2B Commerce tembus 90%, ketimbang B2C pada tahun lalu. Selain B2B.id, beberapa fitur pendukung lainnya sudah digulirkan, termasuk Bhinneka Smart Procurement, mengembangkan omnichannel O2O, dan memiliki selected merchant.

Frost & Sullivan memproyeksikan capaian CAGR 59% di 2017-2022 untuk pertumbuhan B2B Commerce di Indonesia, sekitar dua kali lipat dari tingkat pertumbuhan B2C Commerce selama periode yang sama. UMKM berpotensi menjadi pendorong utama di lanskap ini – menurut BPS bisnis UMKM berkontribusi terhadap 60,3% PDB nasional.

DSResearch pernah merilis laporan “Indonesia B2B Commerce 2018”, di dalamnya membahas tentang perkembangan di sisi platform dan persepsi masyarakat. Seperti diketahui, salah satu keunikan dari B2B Commerce adalah memungkinkan bisnis mendapatkan sistem e-procurement, integrasi dengan ERP, e-invoicing, perpajakan, dan lain-lain – menyesuaikan dengan sistem pengadaan di perkantoran. Rata-rata platform B2B juga menyasar institusi pemerintahan, sehingga seringkali pemain mendefinisikan bisnisnya sebagai B2B2G.

Pasar B2B untuk e-commerce mungkin sedang masa pertumbuhan, mencoba mendemokratisasi sistem pengadaan yang sebelumnya ada. Potensinya jelas ada, seiring dengan makin akrabnya masyarakat dengan e-commerce. Di samping itu, memang banyak keuntungan yang bisa didapatkan oleh bisnis, termasuk kemudahan, transparansi, dan fleksibilitas.

Telkom di B2B Commerce

Disampaikan oleh pihak Telkom, upaya untuk membangun B2B Commerce sebenarnya sudah dimulai sebelumnya. Salah satunya melalui Pasar Digital (PaDi) UMKM, bekerja sama dengan 8 BUMN lainnya. Terdiri dari pusat data UMKM dan belanja BUMN (Control Tower Dashboard), pasar digital UMKM untuk BUMN (PaDi UMKM B2B), dan fitur pasar marketplace dengan akses terpusat bagi UMKM (PaDi UMKM B2C).

Telkom juga mendukung Kemendibud dalam pengadaan barang dan jasa sekolah yang dilakukan secara online melalui Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah). SIPLah dirancang untuk memanfaatkan marketplace yang memiliki fitur tertentu untuk merealisasikan rencana kerja anggaran sekolah dan memenuhi kebutuhan Kemendikbud dalam mengawasi penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kemungkinan akan lebih banyak lagi produk yang diinisiasi. Dengan infrastruktur dan posisi bisnisnya, Telkom berkemungkinan besar memaksimalkan potensi untuk membantu konsumen dari kalangan bisnis. Terlebih melalui banyak unitnya, transformasi digital terus digencarkan perusahaan, termasuk lewat MDI Ventures dengan berinvestasi ke startup digital.

Sempat beredar juga rumor rencana akuisisi Telkom terhadap platform Bhinneka untuk memperkokoh bisnis B2B Commerce, namun saat ditanya lagi pihak Telkom enggan memberikan komentar.

Mbiz Revisi Target Penggalangan Dana Baru dan Kinerja Bisnis

Platform e-procurement untuk B2B, Mbiz, merevisi penggalangan dana baru seri B yang semula ditarget sebesar $20 juta menjadi $10 juta. Perusahaan memperkirakan sudah dapat mengantongi pendanaan baru tersebut pada akhir tahun ini.

CEO Mbiz Rizal Paramarta mengungkap, revisi penggalangan dana baru ini disebabkan oleh pandemi Covid-19 sejak lima bulan terakhir. Kebijakan pembatasan sosial melimitasi upaya perusahaan untuk mencari investor baru.

“Kami terpaksa hold dulu karena tidak realistis jika melihat situasinya. Jadi, rencana kami adalah menutup pendanaan–semacam mini seri B–dengan menurunkan ticket size tahun ini. Tapi, dananya di-split masing-masing $10 juta untuk 2020 dan 2021,” ungkapnya dihubungi DailySocial.

Terakhir, Mbiz memperoleh investasi seri A dari Tokyo Century Corporation di 2017. “Untuk saat ini, kami sudah ada bridge financing, jadi masih bisa jalan sampai tahun depan,” tambahnya.

Jika melihat situasi sekarang, ujar Rizal, kemungkinan besar hanya investor lokal saja yang akan berpartisipasi pada pendanaan baru ini. Namun, pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk mencari investor asing selama memiliki presence di pasar Indonesia.

Concern kami adalah investor yang tidak punya presence di sini karena bakal kesulitan due dilligence-nya. Kecuali, mereka (investor) mau ikut saja, misal satu anchor dari lokal, sisanya ikut,” paparnya.

Lebih lanjut, pendanaan ini rencananya digunakan sebagai operational expenditure (OPEX). Beberapa di antaranya adalah untuk kebutuhan ekspansi SDM, ekspansi di luar Jakarta dan segmen pasar baru di bawah large corporate, dan pengembangan platform.

B2B turun, mulai prioritas ke segmen B2G

Selain penggalangan dana, Mbiz juga merevisi target pertumbuhan bisnisnya pada tahun ini. “Kami harus merevisi target pertumbuhan untuk core business kami menjadi dua kali lipat,” kata Rizal.

Di awal, Mbiz membidik pertumbuhan empat kali lipat yang utamanya didorong oleh bisnis e-procurement B2B. Akibat pandemi, banyak korporasi di Indonesia harus menahan dan memotong budget mereka. Alhasil, Mbiz mengalami penurunan volume transaksi pada dua bulan pertama saat pemberlakuan social distancing. 

Namun, Rizal mengungkap bisnis pengadaan Mbiz mulai meningkat kembali sejak Juni karena tertolong oleh pengadaan di segmen Business-to-Goverment (B2G). Menurutnya, peningkatan ini didorong oleh akselerasi digital di sejumlah pemerintah provinsi (pemprov).

Fenomena tersebut juga didorong oleh Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018, pemerintah harus melakukan pengadaan barang dan jasa melalui digital.

“Tahun lalu, kami sudah sign dengan Pemprov Jawa Barat. Berikutnya, kami sudah sign dengan Pemprov Bali. Dalam waktu dekat, kami akan sign dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah. [Deal] ini cukup besar buat kami dan membantu topline kami secara keseluruhan. Apalagi, ini di-drive regulasi sehingga dampak positifnya cepat ke bisnis kami,” jelasnya.

Meski pertumbuhan kinerja B2B saat ini masih dalam fase pemulihan, Rizal memperkirakan bisnis e-procurement di segmen ini akan meroket kembali di kuartal empat. Menurutnya, korporasi biasa menghabiskan budget pada periode tersebut.

Secara jangka panjang, ia juga memprediksi pandemi Covid-19 bakal membawa tren positif terhadap akselerasi transformasi digital di Indonesia, baik di segmen korporasi maupun pemerintahan. Apalagi, Presiden Joko Widodo baru saja menganggarkan Rp700 triliun untuk pemulihan ekonomi Indonesia.

Tipping point sudah terjadi di pemerintah. Ini akan mengarah ke core market kami di B2B. Jika adopsi digital sudah terjadi di pemerintahan, akan semakin mudah convince-nya. Kami harap situasi ini bisa dorong tipping point di sektor swasta untuk menggunakan platform kami,” ucapnya.

Ia juga melihat situasi ini sebagai peluang untuk mendorong akuisisi pengguna baru dan ekspansi ekosistem dari vendor-vendor yang banyak digunakan pemerintah.

Dengan melihat situasi dan peluang saat ini, Rizal memastikan bahwa Mbiz bakal memprioritaskan pertumbuhan segmen B2G tahun depan, terutama untuk pasar Jawa dan Bali.

Ralali Targetkan Balik Modal dalam Satu Tahun ke Depan

Kondisi pandemi memaksa platform marketplace B2B Ralali memilih jalan yang lebih konservatif. Founder dan CEO Ralali Joseph Aditya menegaskan bahwa untuk saat ini tak akan ada ekspansi atau pengeluaran yang gila-gilaan dari perusahaan di masa tak menentu seperti ini.

Patut diingat e-commerce B2B seperti Ralali ini merupakan salah satu yang paling terdampak dari lesunya ekonomi selama wabah Covid-19 melanda dunia. Lemahnya daya beli masyarakat dan rusaknya rantai pasokan bisnis memaksa Ralali untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Masih segar di ingatan bagaimana startup marketplace B2B Stoqo gulung tikar pada April lalu.

Kehati-hatian dalam menghadapi potensi krisis tercermin dari ucapan Aditya. Dalam konferensi pers virtual siang tadi, Aditya menekankan bahwa selain tak akan ada pengeluaran besar-besaran, keputusan mereka harus berorientasi untung.

“Intinya yang kami lakukan itu membuahkan revenue atau return. Artinya semua cost yang berubah seperti variable cost harus bisa diukur menjadi revenue. Sementara untuk yang menjadi operasional harus dioptimalkan bertahan tidak naik drastis,” jelas Aditya.

Dengan kerangka berpikir demikian, Aditya berani memasang target Ralali memperoleh break even point sebelum ulang tahun perusahaan berikutnya. “Kami inginnya bukan jadi e-commerce yang bakar-bakar duit, tapi menjadi e-commerce yang profitable,” imbuh Aditya.

Sumber keyakinan Aditya berasal dari kenaikan e-commerce B2B yang selama ini selalu didominasi oleh e-commerce B2C. Edukasi produk dan teknologi yang cukup lama dari para pelaku B2C menurutnya membantu Ralali dikenal lebih cepat oleh target pengguna.

Strategi bisnis ke depan

Ralali yang baru berusia 7 tahun sekarang punya sejumlah strategi untuk bertahan dari kencangnya guncangan ekonomi akibat pandemi. Salah satu di antaranya adalah dengan merancang hyperlocal business. Konsep ini memungkinkan satu titik bisa menyuplai kebutuhan bisnis di radius 15-20 kilometer.

Strategi lain yang diutamakan oleh Ralali adalah pendanaan UKM. Bedanya pendanaan yang disediakan oleh Ralali berbentuk barang. Menurut Aditya, pendanaan jenis ini dibutuhkan oleh para UKM yang kesulitan beroperasi kembali.

“Kita punya tim di lapangan untuk profiling yang nanti kita bisa beri bantuan dana dalam bentuk supply chain financing atau dengan kata lain pendanaan dalam bentuk barang. Jadi nanti dikasih barangnya dulu, lalu ketika produknya sudah terjual baru mereka bisa bayar ke kami,” terang Aditya.

Guna melewati masa-masa sulit saat ini, Ralali juga meluncurkan kampanye untuk mendukung dan menggandeng UMKM kembali bangkit. Kampanye tersebut meliputi promo, diskon, ongkir gratis, yang bisa dinikmati pembeli di platform Ralali.

Selama 7 tahun beroperasi, Ralali tercatat digunakan lebih dari 11.000 pemasok dan 160.000 UMKM. Angka-angka tersebut menjadikan Ralali sebagai salah satu e-commerce B2B terbesar di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Bhinneka Pertajam Bisnis B2B2B

Bhinneka terus memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar e-commerce B2B di Indonesia lewat transformasinya sebagai business super ecosystem (b2b2b). Kontribusi bisnis yang didapatkan perusahaan dari segmen ini disebutkan tembus 90%, ketimbang B2C pada tahun lalu.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin menjelaskan, transformasi ini sebenarnya sudah diumumkan sejak akhir tahun lalu lewat sejumlah rangkaian persiapan. Di antaranya, meluncurkan Bhinneka Smart Procurement, mengembangkan omnichannel O2O, dan memiliki selected merchant.

“Dan tahun ini titik untuk bertransformasi menjadi business super ecosystem. Kami ingin mengokohkan leadership kami di segmen B2B karena di situlah expertise kami, dari soal produk/jasa/solusi yang dibutuhkan untuk bisnis tetap berjalan secara efektif, hingga proses bisnis yang transparan,” jelasnya kepada DailySocial.

Posisi yang kini ditempati Vensia adalah nomenklatur baru untuk mempersiapkan model bisnis Bhinneka tersebut. Sebelum Februari 2020, ia menjabat sebagai Chief of Platform & Omnichannel.

Business super ecosystem ini secara konsep adalah ekosistem yang menghubungkan para pelaku bisnis enabler mulai dari para penghasil barang, penyedia jasa, fintech, logistik, dengan para pelanggan yang terdiri dari usaha mikro, UKM, dan enterprise.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin / Bhinneka
Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin / Bhinneka

Perusahaan mengklaim telah memiliki 1,5 juta pelanggan yang datang dari berbagai kelas usaha, termasuk institusi dan pemerintah. Di dalam platform tersebut, perusahaan mempertemukan semua kebutuhan bisnis dan memberi 1,5 juta peluang bisnis semuanya di ranah B2B2B/G.

“Para pelaku usaha dapat bergabung ke dalam Bhinneka, smart procurement yang telah kami luncurkan beberapa waktu lalu, semua ada dalam Bhinneka.com.”

Kategori produk telah ditambah, tidak hanya menjual produk IT; tapi ekstensi ke penyediaan produk MRO, solusi bisnis, dan jasa profesional yang dibutuhkan pelanggan. Beberapa pelaku usaha yang telah bergabung di antaranya adalah Markplus, Omnicom Media Group, SF Consulting, Ideoworks, dan BATS International.

Penyedia jasa lainnya akan ditambah, terutama dari segmen perpajakan, pengelolaan SDM, konsultasi marketing, riset komersial, dan lainnya.

Melalui model ini, pelaku bisnis dari beragam skala usaha dapat terhubung dengan penyedia jasa dan memanfaatkan layanan bisnis yang ditawarkan. Misalnya, melakukan konsultasi dan pelayanan pajak sejak awal bisnis; memperluas branding dan exposure; atau mendapatkan market insight melalui riset pasar yang penting dalam menyusun strategi bisnis.

Bhinneka telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 10 ribu merchant, vendor/principal, menawarkan lebih dari 1 juta SKU di platform-nya.

Sejak memproklamirkan model bisnis ini pada akhir tahun lalu, Vensia mengklaim saat ini kontribusi bisnis terbesar buat perusahaan adalah belanja korporasi dan pemerintah tembus 90%. Sisanya datang dari bisnis konsumer (B2C).

Meski kontribusi bisnis konsumer minim, Vensia mengaku bahwa segmen ini tidak akan ditutup. Pihaknya melihat justru menjadi pelengkap posisi perusahaan sebagai pemimpin pasar e-commerce B2B.

“Bhinneka melayani konsumsi perorangan, para entrepreneurs yang belanja untuk startup, termasuk para individual, pebisnis yang ingin berjualan di Bhinneka dapat menggarap segmen konsumer dan korporasi sekaligus.”

Dia melanjutkan, “Jadi peluang-peluang usaha yang bergabung dalam ekosistem platform Bhinneka, membuka peluang untuk scale up bisnis. Apalagi kami sudah 27 tahun melayani korporasi dan institusi pemerintah, jadi compliance dalam berbisnis itu kami transform juga ke pemain UMKM.”

Dampak pandemi Covid-19

Vensia menambahkan perusahaan turut berdampak semenjak pemberlakuan PSBB hingga menjelang akhir paruh pertama tahun ini. Pandemi yang berlangsung sejak Maret menyebabkan perlambatan pertumbuhan revenue dibandingkan setahun sebelumnya (yoy). Akan tetapi, disebutkan ada pergeseran kategori produk yang mengimbangi kategori yang sebelumnya populer sebelum pandemi.

“Bhinneka dengan eksistensi produk yang disediakan via platform, kini selain IT, growth tertinggi disumbang dari MRO/perkakas dan alat kesehatan. Sementara itu, di marketplace kami mencatat lonjakan pada produk makanan dan kebutuhan harian. Jadi kami melihat ada balancing process dari kedua segmentasi.”

Perusahaan berupaya mengejar pertumbuhan bisnis dengan gencar menambah variasi pada kategori kesehatan dan perawatan. Sejak awal tahun, kategori ini tumbuh lebih dari 100% berdasarkan variasinya.

Dalam merespons kondisi normal baru, perusahaan mengembangkan produk kesehatan lainnya bersama para vendor. Misalnya, perbanyak mitra layanan kesehatan seperti test Covid-19 untuk perusahaan, menawarkan produk ThermoNex untuk mendeteksi suhu tubuh secara otomatis, terhubung dengan cloud, dan dilengkapi dengan fitur face recognition sebagai data dan terhubung dengan panel absensi.

Bermitra dengan mitra healthtech seperti Triasse dan Prixa untuk menyediakan layanan kesehatan, membuat produk Digital Classroom untuk sekolah yang ingin memaksimalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tanpa tim IT sendiri, dan produk Crinoid yakni multichannel management untuk bantu mengatur penjualan di beberapa marketplace sekaligus.

“Kecepatan dan agility menjadi kunci dalam menghadapi masa yang penuh uncertainties ini, kami melakukan berbagai aktivitas dan perubahan dengan menangkap peluang-peluang yang dapat segera dilakukan,” tutup Vensia.

Application Information Will Show Up Here

Stoqo’s Shutdown and Survival Strategy for B2B Commerce

The corona pandemic has severed some culinary businesses in the country. The declining situation is inevitable due to the susceptive character of coronavirus disease 2019 (Covid-19) that forces people to do most activities at home.

Since the first Covid-19 case emerged in early March, the food business has reportedly continued to shrink. The loss has affected such players as the upper-middle-class restaurants and micro and small culinary enterprises. Digital platforms providing culinary business needs will also be affected. It happens to Stoqo.

Stoqo officially announced an operational shutdown. A few days before, the startup, which was led by Aswin Andrison as a Co-Founder & CEO, only announced that it had temporarily stopped operating. However, the pandemic finally forced them out of business.

“Since 2017, we have built STOQO to serve and empower SMEs in the culinary field in Indonesia. However, the situation triggered by the COVID-19 pandemic has caused a drastic reduction in revenue for us,” Stoqo wrote on their website.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Shutdown operation announcement

Upcoming Hazard

Stoqo is a platform that focuses on providing basic food needs for places to eat, especially restaurants, catering cafes, and home-based culinary businesses. Stoqo supplies a variety of foods ranging from meat, vegetables, flour, coffee, and others.

Aswin stated that Stoqo was focused on playing in the B2B segment ever since. They realize the platform as a hub to meet the needs of culinary businesses. With the prospect of being considered quite brilliant, it’s no wonder Stoqo won series A funding from Monk’s Hill Partners and Accel Partners India at the end of December 2018.

However, the reality ended bitterly for Stoqo. The number of restaurants, cafes, and restaurants that stopped operating claimed their income. The Indonesian Hotel and Restaurant Association said that at least thousands of restaurants were closed due to the Covid-19 outbreak.

The unfortunate events of B2B commerce business like Stoqo also happen to Eden Farm and Wahyoo. Although, the scale is yet to worrying. Eden Farm Founder & CEO, David Gunawan said there were two segments they generally served, namely restaurants and grocery stalls. Of the two, David said that the restaurant was hit by the bigger impact.

“It’s true that high-end restaurants and those in the mall are closed or shifting to delivery, half of our clients in the segment are closed,” David told DailySocial.

Meanwhile, Wahyoo Founder & CEO Peter Shearer shared a similar experience. A number of stalls affiliated with Wahyoo have stopped operating, especially those located in office areas. Peter also did not mention the exact number. But he made sure other stalls were not seriously affected by this outbreak, especially those located in residential and settlement areas.

Survival strategy

Although the impact is not as severe as Stoqo’s experience, a prolonged pandemic can be a scourge for the sustainability of the Wahyoo and Eden Farm businesses. Special strategies are needed so that they avoid the same fate of Stoqo.

Peter mentioned the problem is to keep the request ongoing. The trick to Wahyoo’s demand has been to help stalls sell on digital platforms such as Go-Food. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in Wahyoo.

“The positive impact is that the PSBB and Covid-19 have forced the food stall owners to adapt faster,” he added.

On the other hand, Eden Farm, which clients are mostly grocery stores, has another strategy to stay afloat during this pandemic. David said they now rely on the agency system to reach buyers who are reluctant to leave the house.

David rejects this new system as B2C. He said that his party only reactivated the group purchasing model, which actually existed since last year but was only revived three weeks ago.

Changes in segment composition also helped Eden Farm from the majority of their clients, restaurants and middle-up restaurants to the majority of SMEs. David said that currently 80% of their clients are middle-to-lower business people.

“We’re still getting new customers, the customer purchase growth is ongoing. Indeed, it was reducing in the early days [the pandemic], but it was back [normal] again after a few weeks,” said David.

PHRI Deputy Chairman for the Restaurant Sector Emil Arifin said there were already thousands of restaurants that had stopped operating throughout Indonesia. The estimated figure comes from the number of restaurants scattered in 327 malls that have been closed out of a total of 700 malls. In other words, more than 8,000 restaurants have closed.

“That does not include restaurants in office buildings, stand alone, in tourist parks and other facilities outside the mall. If you want to add up all of them, I think twice,” Emil explained to DailySocial.

Under this situation, Emil estimates that the culinary business in the country has lost around Rp2.5 trillion per month with 200 thousand people losing their jobs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tutupnya Stoqo dan Siasat Bertahan Pelaku B2B Commerce

Pandemi virus korona memukul bisnis kuliner Tanah Air. Redupnya bisnis ini tak terhindarkan lantaran bahaya penyebaran corona virus disease 2019 (Covid-19) yang sangat mudah sehingga memaksa sebagian besar orang hanya bisa beraktivitas dari rumah.

Sejak kasus Covid-19 pertama muncul pada awal Maret lalu, bisnis makanan dilaporkan terus menyusut. Kerugian tak hanya ditanggung para pelaku seperti restoran menengah ke atas dan pengusaha kuliner kelas mikro dan kecil. Platform digital penyedia kebutuhan bisnis kuliner pun kena imbasnya. Hal ini sudah terjadi pada Stoqo.

Stoqo resmi mengumumkan mereka berhenti beroperasi. Beberapa hari sebelumnya, startup yang dinahkodai Co-Founder & CEO Aswin Andrison ini hanya mengumumkan berhenti beroperasi untuk sementara waktu. Namun pandemi akhirnya memaksa mereka gulung tikar.

“Sejak tahun 2017, kami membangun STOQO untuk melayani dan memberdayakan UKM dalam bidang kuliner di Indonesia. Namun, situasi yang dipicu oleh pandemi COVID-19 telah menyebabkan penurunan pendapatan secara drastis bagi kami,” tulis Stoqo dalam situs mereka.

Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.
Pengumuman resmi berhenti beroperasi di situs Stoqo.

Ancaman yang membayangi

Stoqo adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan bahan pokok bagi tempat makan, khususnya restoran, kafe katering, dan usaha kuliner rumahan. Stoqo menyuplai berbagai bahan makanan mulai dari daging, sayur-mayur, tepung, kopi, dan lain-lain.

Sedari awal Aswin memang menyatakan Stoqo fokus bermain di segmen B2B. Mereka mewujudkan platformnya sebagai hub pemenuh kebutuhan pebisnis kuliner. Dengan prospek yang dianggap cukup cemerlang maka tak heran Stoqo berhasil meraih pendanaan seri A dari Monk’s Hill Partners dan Accel Partners India pada akhir Desember 2018.

Namun kenyataan berakhir pahit untuk Stoqo. Banyaknya restoran, kafe, dan rumah makan yang berhenti beroperasi merenggut pendapatan mereka. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia mengatakan bahwa setidaknya ada ribuan restoran yang tutup akibat wabah Covid-19.

Pahitnya bisnis B2B commerce seperti Stoqo ini juga dirasakan oleh Eden Farm dan Wahyoo. Kendati begitu mereka mengklaim skalanya masih belum mengkhawatirkan. Founder & CEO Eden Farm David Gunawan mengatakan ada dua segmen yang umumnya mereka layani yakni restoran dan warung kelontong. Dari keduanya, David menyebut restoran lah yang kena imbas lebih besar.

“Memang benar restoran mewah dan yang di mal itu pada tutup atau setidaknya jadi delivery, setengah klien kita di segmen itu tutup,” ungkap David kepada DailySocial.

Sementara itu Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer bercerita pengalaman serupa. Sejumlah warung yang berafiliasi dengan Wahyoo sudah berhenti beroperasi terutama yang berlokasi di area perkantoran. Peter juga tak menyebut berapa jumlah pastinya. Namun ia memastikan warung-warung lain tak terkena dampak serius dari wabah ini, terutama yang berlokasi di area perumahan dan perkampungan.

Siasat bertahan

Meskipun dampaknya tak separah Stoqo, pandemi berkepanjangan dapat menjadi momok bagi keberlangsungan bisnis Wahyoo dan Eden Farm. Strategi khusus pun diperlukan agar mereka terhindar dari nasib serupa Stoqo.

Peter menjelaskan bahwa masalah yang ada sekarang adalah menjaga permintaan terjaga. Kiat menjaga permintaan dari Wahyoo sejauh ini adalah membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti Go-Food. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah mengeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Di lain tempat, Eden Farm yang kliennya sebagian besar adalah toko kelontong punya siasat lain untuk tetap bertahan selama pandemi ini. David mengatakan mereka kini mengandalkan sistem keagenan untuk menjangkau pembeli yang enggan keluar rumah.

David menolak sistem baru ini sebagai B2C. Ia menyebut pihaknya hanya mereaktivasi model pembelian secara berkelompok yang sejatinya sudah ada sejak tahun lalu namun baru dihidupkan kembali tiga pekan lalu.

Perubahan komposisi segmen juga membantu Eden Farm dari mayoritas klien mereka restoran dan rumah makan menengah ke atas menjadi mayoritas UKM. David menyebut saat ini klien mereka 80% berasal dari pebisnis menengah ke bawah.

“Kita tetap dapat customer baru, pertumbuhan pembelian customer pun masih berjalan. Memang di awal-awal [pandemi] berkurang, tapi lewat seminggu balik [normal] lagi,” ucap David.

Wakil Ketua Umum PHRI Bidang Restoran Emil Arifin menyebut sudah ada ribuan restoran yang berhenti beroperasi di seluruh Indonesia. Perkiraan angka itu berasal dari jumlah restoran yang tersebar di 327 mal yang sudah tutup dari total 700-an mal. Dengan kata lain sudah 8.000 lebih restoran yang tutup.

“Itu belum termasuk resto di gedung perkantoran, stand alone, di taman wisata dan di fasilitas lainnya di luar mal. Kalau mau ditotal semua, saya kira dua kalinya,” terang Emil kepada DailySocial.

Dengan keadaan itu, Emil memperkirakan bisnis kuliner di Tanah Air sudah merugi sekitar Rp2,5 triliun per bulan dengan 200 ribu orang yang kehilangan pekerjaannya.

Mbiz Galang Pendanaan Seri B 278 Miliar Rupiah

Platform e-procurement untuk B2B, Mbiz, tengah menggalang pendanaan seri B senilai $20 juta atau setara 278 miliar Rupiah. Ini kali pertama Mbiz mencari pendanaan baru setelah terakhir memperoleh investasi seri A dari Tokyo Century Corporation di 2017.

Menurut CEO Mbiz Rizal Paramarta, pihaknya saat ini masih melakukan penjajakan dengan sejumlah investor. “Kami dapat mandat dari shareholder untuk membuka peluang terhadap investor-investor baru. Jadi investor lama nanti hanya ‘top up‘ saja,” katanya.

Dari penjajakan tersebut, ia mengaku juga mengincar strategic partnership yang beneficial bagi kedua belah pihak. Misalnya, bersinergi dengan pihak yang memiliki ekosistem e-commerce lain.

“Ini useful buat kami karena dapat bersinergi dan mengangkat valuasi kedua belah pihak. Kalau venture fund itu terbatas di capital saja,” papar Rizal ditemui usai Media Briefing di Jakarta.

Skema lain yang diincar Mbiz adalah co-branding. Dengan bersinergi dengan pihak yang sudah memiliki brand awareness lebih besar, ini akan mengakselerasi bisnis ke depannya.

Sementara itu, Co-founder dan COO Mbiz Ryn Hermawan mengungkap bahwa sudah ada beberapa investor lokal yang secara spesifik berminat investasi di pasar B2B.

“Sudah ada advisor yang engage dengan kami untuk bawa investor yang interested ke B2B. Intinya kami masih penjajakan, mudah-mudahan finalisasinya bisa di kuartal kedua tahun ini,” ujarnya kepada DailySocial.

Di segmen serupa, Mbiz saat ini berkompetisi dengan beberapa pemain lokal seperti Bhinneka Bisnis dan Bizzy. Pemain marketplace C2C Bukalapak juga mulai menjajaki segmen B2B dengan meluncurkan layanan e-procurement BukaPengadaan.

Salah satu keunggulan layanan B2B Commerce seperti yang disajikan Mbiz adalah digitalisasi sistem pengadaan untuk bisnis (e-procurement). Seperti diketahui, dalam perusahaan skala besar, pembelian atau pengadaan barang harus dilakukan melalui serangkaian proses, bahkan harus melakukan tender terlebih dulu. Belum lagi saat berbicara soal pelaporan terkait potongan pajak, pembukuan dan lain-lain. Hal-hal seperti itu yang coba diselesaikan para pemain di B2B Commerce.

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar) dan b2b services ($36 miliar).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Pertimbangan ekspansi ke pasar regional

Lebih lanjut, Rizal mengungkap bahwa pihaknya mendapat tawaran dari investor untuk ekspansi ke pasar regional. Menurutnya, investor tersebut sudah memiliki jaringan B2B yang kuat meskipun bukan di bidang e-procurement.

Akan tetapi, ekspansi di Asia Tenggara belum menjadi prioritas perusahaan saat ini karena ruang pertumbuhan di Indonesia masih sangat besar. Terutama jika melihat masih rendahnya awareness terhadap solusi e-procurement.

“Nah, [rencana] pendanaan baru ini untuk dua tahun ke depan karena saat ini kami masih fokus di Indonesia. Tapi, dalam tiga tahun ke depan, kami bisa fokus ke mancanegara mengingat potensi pasarnya sangat besar,” tuturnya.

Sementara itu, Ryn menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi di bisnis e-procurement. Selain awareness dan engagement yang masih rendah, ia menyebut pasar marketplace B2B di Indonesia juga belum siap dalam melihat e-procurement sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.

“B2C itu distimulus oleh promo atau diskon. Artinya startup harus bakar uang untuk akuisisi pelanggan. B2B tidak demikian, pendekatannya berbeda. Kita tidak punya benchmark untuk [model bisnis] ini. Untuk akuisisi pembeli juga tidak mudah. Ada perusahaan yang, misalnya, ketergantungan dengan vendor lama. Ini jadi challenge juga bagi kami untuk engage dengan mereka,” jelasnya.

Menuju profitabilitas dan pengembangan super ecosystem

Dari sisi bisnis, Rizal mengungkap pendanaan baru akan digunakan untuk mengembangkan platform dan timnya. Rencana pengembangan ini untuk menuju target pertumbuhan sebesar empat kali lipat di 2020.

Di samping itu, perusahaan telah memprediksi dapat mengantongi keuntungan hingga 2021 karena konsisten untuk tidak melakukan strategi ‘bakar uang’ untuk mengakuisisi pelanggan.

“Selama tiga tahun terakhir, kami tidak raising dana baru karena bisnis kami efisien. Kami tidak ‘bakar uang’ atau subsidi. Profitabilitas kami jelas makanya kami optimistis di 2021 positif. Kemungkinan ini equity terakhir sampai 2021 untuk mencapai profitabilitas positif,” papar Rizal.

Adapun pengembangan platform ini, ujar Rizal, adalah bagian dari strategi Mbiz untuk menjadi super ecosystem di masa depan. Dalam hal ini, Mbiz berupaya memperkuat ekosistem platform dengan mengajak pihak-pihak terkait ke dalam transaksi e-procurement.

“Ke depan kami tidak ingin hanya buyer dan seller saja yang terlibat dalam transaksi, tetapi juga pihak-pihak lainnya, seperti fintech, asuransi, dan logistik,” tambahnya.

Berdasarkan data perusahaan, kategori jasa dan solusi berkontribusi lebih dari 50 persen dibandingkan kategori layanan. Dari segmen pembeli, kontributor transaksi terbesar berasal dari FMCG dan retail (50%), property and real estate (25%), pharmaceutical (15%), dan startup atau perusahaan teknologi (5%).

Kemudian, Gross Merchandise Value (GMV) pada 2019 tercatat tumbuh empat kali lipat (Year-on-Year/YoY). Jumlah mitra vendor yang tergabung sebesar 4.000 dengan 100.000 SKU produk.

Bukalapak Aims to Dominate E-Procurement Market through BukaPengadaan

Bukalapak shared an ambition to dominate the e-procurement market through his vertical Open ProcurementD because it has a market share that is not inferior to the consumer business (b2c). Seen from the success of overseas b2b players such as Alibaba Business and Amazon Business, both grew bigger from the b2c platform.

BukaPengadaan’s Director, Hita Supranjaya said the optimism backed by the changing of Indonesian consumers’ behavior in terms of digital. Innovations, such as e-commerce, digital payment, and logistics has shifted b2c behavior significantly.

He thought the change encouraged B2B companies to make adjustments by increasing competitiveness and speed in serving customer needs. On the other side, the challenge for B2B companies in facing global market competition is that it takes a long time to develop technology and costs a lot too.

“Bukalapak through BukaPengadaan seeks opportunities to answer the challenge, backed by the proven experience in developing tech-based e-commerce c2c/b2c for ten years,” Supranjaya told DailySocial.

In order to be the leading e-procurement, BukaPengadaan is quite lucky to be integrated with Bukalapak marketplace and Quasi Retail. It connects the platform with five million sellers offering more than 80 million products.

As a result, BukaPengadaan is capable to fulfill all procurement from corporations, both business and government, quickly and at competitive prices. In terms of ecosystem, it’s comprehensive for companies and vendors, including closed ecosystems for registered users, provision of goods and services, online approval systems, monitoring of goods orders, payment and e-invoicing.

“It gives our customers an advantage in procurement, faster and closest to the sellers, resulting in competitive price. We also help managing lists of vendors and SKUs, therefore, customers can focus on things that are more important than just administrative matters.”

Since it was founded in 2016, BukaPengadaan has acquired more than 1500 users, around 80% are companies, and the rest are SMEs and government institutions. On a monthly average, 150 companies actively transact through BukaPengadaan.

Last year, there are 500 users registered, 5 thousand purchase orders, with an average transaction of Rp150 million. Within seven months, BukaPengadaan has recorded a 30% transaction growth. Also, in the last three months, the average income growth has increased by three times per month.

It is said there are new categories and vendors joined every month. Not only retails and supply chain, but also virtual products managed into a one-stop platform. “It allows us to reach almost the whole categories of small, middle to large-scale b2b company essentials,” he added.

Large business-coverage, b2b players are solving specific issues

Based on McKinsey & Co report, Indonesian e-procurement has potential worth of $125 billion by 2025. It was estimated from global corporate services ($18 billion), b2b marketplace (76 billion), and b2b services ($36 billion).

Meanwhile, Indonesia’s leading players still the b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukalapak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), and mobility (Gojek and Grab).

The brand awareness rate in this segment might not as tight as the consumer products. However, according to 2018’s DSResearch, some players are familiar to the respondents, including Bhinneka Bisnis, Bizzy, and Mbiz.

bukalapak b2b

In terms of growth, the players are not limited, there is also Ralali, Ekosis, TaniHub, and Zilingo. Each platform has its own market share. Ralali, for example, entering the agency segment to target b2b consumers.

Ekosis has its way with connecting businessmen to get various agribusiness, livestock, and mining products. As for TaniHub, plays role as a supplier for b2b consumers come from supermarket, horeca, F&B, retailers, and startup players.

Zilingo, on the other hand, provides cloud-based fashion manufacture products from all over the world for all brands and businessmen can take benefit from it.

The various kinds of b2b e-commerce have shown potential market share to be further explored in order to solve the issues within the b2b players. Moreover, Indonesian SMEs digital transformation has only reached 8% or 3.92 million of the total 59.2 million existed players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ambisi Bukalapak Pimpin Pasar E-procurement Lewat BukaPengadaan

Bukalapak mengungkapkan ambisinya untuk menguasai pasar e-procurement melalui vertikalnya BukaPengadaan, sebab punya pangsa pasar yang tidak kalah besar dengan bisnis konsumen (b2c). Terlihat dari kesuksesan pemain b2b luar negeri seperti Alibaba Business dan Amazon Business, keduanya tumbuh lebih tinggi dari platform b2c.

Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menjelaskan, optimisme ini didukung oleh perubahan perilaku konsumen Indonesia dalam hal digital. Inovasi seperti layanan e-commerce, pembayaran digital dan logistik mengubah pola perilaku b2c secara signifikan.

Menurutnya, perubahan tersebut mendorong perusahaan b2b melakukan penyesuaian dengan meningkatkan daya saing dan meningkatkan kecepatan dalam melayani kebutuhan pelanggan. Namun di satu sisi, tantangan perusahaan b2b di sini dalam menghadapi kompetisi pasar global adalah dibutuhkan pengembangan teknologi yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.

“Bukalapak melalui BukaPengadaan melihat peluang untuk dapat menjawab tantangan tersebut, berbekal pengalaman yang sudah terbukti mengembangkan e-commerce c2c/b2c berbasis teknologi selama 10 tahun,” ucap Hita kepada DailySocial.

Demi menjadi pemain e-procurement terdepan, BukaPengadaan cukup beruntung karena terintegrasi dengan platform marketplace Bukalapak dan Quasi Retail. Kondisi ini membuat platform ini terhubung dengan lima juta pelapak menawarkan lebih dari 80 juta produk.

Alhasil, BukaPengadaan mampu memenuhi seluruh pengadaan dari korporasi, baik pelaku bisnis maupun pemerintah dengan cepat dan harga bersaing. Secara ekosistem pun menyeluruh untuk perusahaan dan vendor, meliputi ekosistem tertutup bagi pengguna yang terdaftar, penyediaan barang dan jasa, sistem persetujuan online, pemantauan pesanan barang, pembayaran dan e-invoicing.

“Keuntungannya bagi pelanggan kami adalah pemenuhan kebutuhan yang lebih cepat dan terdekat dengan adanya jaringan pelapak, sehingga harga kompetitif. Kami juga membantu mengelola daftar vendor dan SKU yang berkembang terus menerus, sehingga pelanggan fokus terhadap hal-hal yang lebih penting daripada hanya hal administratif.”

Sejak BukaPengadaan dirilis pada 2016, kini telah merangkul lebih dari 1500 pengguna, sekitar 80% adalah perusahaan dan sisanya adalah UKM dan instansi pemerintah. Dalam sebulan, rata-rata 150 perusahaan aktif bertransaksi melalui BukaPengadaan.

Pada tahun lalu, tercatat ada 500 pembeli, 5 ribu purchase order, dengan rata-rata nilai per transaksi Rp150 juta. Selama tujuh bulan terakhir, BukaPengadaan mencatat pertumbuhan transaksi 30%. Serta, dalam tiga bulan terakhir, pertumbuhan pendapatan rata-rata tiga kali lipat setiap bulannya.

Diklaim setiap bulannya ada kategori produk dan vendor baru yang bergabung. Tidak hanya produk ritel dan bahan baku saja, tapi sudah menyentuh produk virtual yang dikelola menggunakan satu pintu platform. “Ini memungkinkan kami menjangkau hampir seluruh kategori kebutuhan perusahaan b2b Indonesia skala kecil, menengah hingga besar,” sambungnya.

Cakupan bisnis besar, pemain b2b ramai selesaikan isu spesifik

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar), dan b2b services ($36 miliar).

Sementara itu, pemain terdepan di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan yang bergerak di segmen b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukapalak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), dan mobilitas (Gojek dan Grab).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Secara perkembangan, pemainnya tidak hanya itu saja, ada Ralali, Ekosis, TaniHub dan Zilingo. Semuanya punya pangsa pasar masing-masing sesuai target pasarnya. Ralali misalnya bermain ke ranah keagenan untuk menyasar konsumen b2b sebagai pembeli.

Ekosis berusaha untuk menghubungkan pebisnis untuk mendapatkan berbagai produk agribisnis, peternakan, hingga pertambangan. Pun juga untuk TaniHub, bertindak sebagai penyuplai untuk konsumen b2b yang datang dari pemain supermarket, horeca, F&B, peritel hingga startup.

Sementara Zilingo, menyediakan pasokan manufaktur fesyen berbasis cloud dari seluruh dunia agar setiap merek, pengusaha, dapat memanfaatkannya.

Beragamnya layanan e-commerce b2b yang disediakan memperlihatkan bahwa ada ceruk bisnis yang bisa gali lebih dalam untuk menyelesaikan masalah di pemain b2b. Terlebih, transformasi digital UKM di Indonesia baru 8% atau 3,92 juta dari total 59,2 juta pelaku yang hadir di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Mbiz Siapkan Strategi Menuju Profitabilitas di Tahun 2021

Platform e-procurement b2b Mbiz membidik cetak laba pada dua tahun mendatang, seiring optimisme pertumbuhan bisnis perusahaan tiap tahunnya konsisten mencapai dua sampai tiga kali lipat.

CEO Mbiz Rizal Paramarta menjelaskan optimisme timbul karena model bisnis perusahaan adalah b2b, sehingga strategi bakar duit bukan motor utama dalam menggerakkan pertumbuhan bisnisnya.

Disebutkan sekitar 80% dari total pengeluaran perusahaan adalah gaji karyawan. Ini memperlihatkan budget untuk pemasaran tidak signifikan karena perusahaan tidak memberikan subsidi untuk penjual.

Meski tidak memberikan data pendukung, Rizal mengklaim pertumbuhan tahunan di Mbiz cukup konsisten sekitar dua sampai tiga kali lipat dan margin kotor di atas 5%. Momentum tersebut membuat perusahaan optimis bisa cetak laba pada 2021 mendatang, dimulai dengan cetak pertumbuhan bersih arus kas di tahun depan.

Growth kita tidak seperti b2c atau c2c yang 20 kali lipat setahunnya, tapi lebih 2-3x lipat, ini lebih rasional dan sehat. Mungkin penghambat pertumbuhan kita adalah ketersediaan modal kerja karena semuanya rasional, buyer dan seller kita konservatif juga,” ujar Rizal, Jumat (27/12).

Dia menambahkan, “Mungkin dengan momentum pertumbuhan 2-3 kali lipat ini, tahun depan kita bisa cash flow net growth, baru tahun depan lagi sudah net income positif.”

Dalam rangka menuju ambisi tersebut, perusahaan akan mulai rambah segmen hilir dengan bermain di segmen saluran penjualan dan distribusi (sales and distribution channel). Selama ini Mbiz fokus ke bagian hulu, bermain di solusi e-procurement saja.

Dengan saluran distribusi yang efisien dan tepat, maka proses bergeraknya barang atau jasa menuju target konsumen akan berjalan baik pula. Pasalnya tujuan dari distribusi itu sendiri adalah memastikan ketersediaan produk di semua saluran distribusi dapat lebih mudah dijangkau konsumen saat dibutuhkan.

Strategi ini sekaligus melengkapi rangkaian layanan bisnis dalam Mbiz, perusahaan sudah mengembangkan saluran distribusi bersama dengan mitranya. Di samping itu, Rizal mengaku perusahaan akan melengkapi layanan asuransi untuk memastikan layanan yang menyeluruh setiap transaksi yang masuk.

“Ekosistem e-procurement tidak hanya menyangkut buyer dan seller saja, tapi menyangkut seluruh aktor pelaku usaha di dalamnya, yang paling konkret adalah dengan Investree. Untuk asuransi, kita mau lengkapi hingga mencakup asuransi shipping.”

Bersama investornya, Investree, Mbiz akan melengkapi produk pembiayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Dia menyebut ada enam atau tujuh produk pembiayaan yang siap ditawarkan pada tahun depan. Untuk tahap awal realisasi produk yang baru disediakan adalah pemberian modal kerja.

Investree sendiri punya beberapa produk pembiayaan, di antaranya invoice financing, buyer financing, online seller financing, dan pembiayaan berlandaskan asas syariah.

“Kita ingin pembiayaan untuk vendor kami berjalan seamless karena data transaksi, akta perusahaan, sudah tercatat, sehingga terlihat size bisnisnya seperti apa. Hopefully dalam waktu singkat proses pencairan dapat lebih cepat karena proses sudah hampir instan.”

Mbiz punya dua produk, yakni Mbiz.co.id dan Mbizmarket. Keduanya menyasar segmen pembeli yang berbeda. Mbiz.co.id lebih diarahkan untuk perusahaan skala besar, sementara satunya lagi untuk segmen UKM dengan skala bisnis lebih kecil.

Per tahun lalu, kinerja Mbiz.co.id sejak diluncurkan tiga tahun lalu, telah menggaet lebih dari 350 konsumen korporat, mayoritas adalah perusahaan blue chip, BUMN, Tbk. dan multi internasional. Ada lebih dari 3400 vendor menyediakan 100 ribu SKU yang terdiri dari 11 kategori.

Platform ini mencatatkan NMV (Net Merchandise Value) lebih dari Rp2 triliun dengan rata-rata purchase order Rp70 juta.

Pada pertengahan tahun ini, perusahaan menjalin kemitraan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk integrasi Mbiz.co.id mendukung penerapan e-procurement.