Mbiz Galang Pendanaan Seri B 278 Miliar Rupiah

Platform e-procurement untuk B2B, Mbiz, tengah menggalang pendanaan seri B senilai $20 juta atau setara 278 miliar Rupiah. Ini kali pertama Mbiz mencari pendanaan baru setelah terakhir memperoleh investasi seri A dari Tokyo Century Corporation di 2017.

Menurut CEO Mbiz Rizal Paramarta, pihaknya saat ini masih melakukan penjajakan dengan sejumlah investor. “Kami dapat mandat dari shareholder untuk membuka peluang terhadap investor-investor baru. Jadi investor lama nanti hanya ‘top up‘ saja,” katanya.

Dari penjajakan tersebut, ia mengaku juga mengincar strategic partnership yang beneficial bagi kedua belah pihak. Misalnya, bersinergi dengan pihak yang memiliki ekosistem e-commerce lain.

“Ini useful buat kami karena dapat bersinergi dan mengangkat valuasi kedua belah pihak. Kalau venture fund itu terbatas di capital saja,” papar Rizal ditemui usai Media Briefing di Jakarta.

Skema lain yang diincar Mbiz adalah co-branding. Dengan bersinergi dengan pihak yang sudah memiliki brand awareness lebih besar, ini akan mengakselerasi bisnis ke depannya.

Sementara itu, Co-founder dan COO Mbiz Ryn Hermawan mengungkap bahwa sudah ada beberapa investor lokal yang secara spesifik berminat investasi di pasar B2B.

“Sudah ada advisor yang engage dengan kami untuk bawa investor yang interested ke B2B. Intinya kami masih penjajakan, mudah-mudahan finalisasinya bisa di kuartal kedua tahun ini,” ujarnya kepada DailySocial.

Di segmen serupa, Mbiz saat ini berkompetisi dengan beberapa pemain lokal seperti Bhinneka Bisnis dan Bizzy. Pemain marketplace C2C Bukalapak juga mulai menjajaki segmen B2B dengan meluncurkan layanan e-procurement BukaPengadaan.

Salah satu keunggulan layanan B2B Commerce seperti yang disajikan Mbiz adalah digitalisasi sistem pengadaan untuk bisnis (e-procurement). Seperti diketahui, dalam perusahaan skala besar, pembelian atau pengadaan barang harus dilakukan melalui serangkaian proses, bahkan harus melakukan tender terlebih dulu. Belum lagi saat berbicara soal pelaporan terkait potongan pajak, pembukuan dan lain-lain. Hal-hal seperti itu yang coba diselesaikan para pemain di B2B Commerce.

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar) dan b2b services ($36 miliar).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Pertimbangan ekspansi ke pasar regional

Lebih lanjut, Rizal mengungkap bahwa pihaknya mendapat tawaran dari investor untuk ekspansi ke pasar regional. Menurutnya, investor tersebut sudah memiliki jaringan B2B yang kuat meskipun bukan di bidang e-procurement.

Akan tetapi, ekspansi di Asia Tenggara belum menjadi prioritas perusahaan saat ini karena ruang pertumbuhan di Indonesia masih sangat besar. Terutama jika melihat masih rendahnya awareness terhadap solusi e-procurement.

“Nah, [rencana] pendanaan baru ini untuk dua tahun ke depan karena saat ini kami masih fokus di Indonesia. Tapi, dalam tiga tahun ke depan, kami bisa fokus ke mancanegara mengingat potensi pasarnya sangat besar,” tuturnya.

Sementara itu, Ryn menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi di bisnis e-procurement. Selain awareness dan engagement yang masih rendah, ia menyebut pasar marketplace B2B di Indonesia juga belum siap dalam melihat e-procurement sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.

“B2C itu distimulus oleh promo atau diskon. Artinya startup harus bakar uang untuk akuisisi pelanggan. B2B tidak demikian, pendekatannya berbeda. Kita tidak punya benchmark untuk [model bisnis] ini. Untuk akuisisi pembeli juga tidak mudah. Ada perusahaan yang, misalnya, ketergantungan dengan vendor lama. Ini jadi challenge juga bagi kami untuk engage dengan mereka,” jelasnya.

Menuju profitabilitas dan pengembangan super ecosystem

Dari sisi bisnis, Rizal mengungkap pendanaan baru akan digunakan untuk mengembangkan platform dan timnya. Rencana pengembangan ini untuk menuju target pertumbuhan sebesar empat kali lipat di 2020.

Di samping itu, perusahaan telah memprediksi dapat mengantongi keuntungan hingga 2021 karena konsisten untuk tidak melakukan strategi ‘bakar uang’ untuk mengakuisisi pelanggan.

“Selama tiga tahun terakhir, kami tidak raising dana baru karena bisnis kami efisien. Kami tidak ‘bakar uang’ atau subsidi. Profitabilitas kami jelas makanya kami optimistis di 2021 positif. Kemungkinan ini equity terakhir sampai 2021 untuk mencapai profitabilitas positif,” papar Rizal.

Adapun pengembangan platform ini, ujar Rizal, adalah bagian dari strategi Mbiz untuk menjadi super ecosystem di masa depan. Dalam hal ini, Mbiz berupaya memperkuat ekosistem platform dengan mengajak pihak-pihak terkait ke dalam transaksi e-procurement.

“Ke depan kami tidak ingin hanya buyer dan seller saja yang terlibat dalam transaksi, tetapi juga pihak-pihak lainnya, seperti fintech, asuransi, dan logistik,” tambahnya.

Berdasarkan data perusahaan, kategori jasa dan solusi berkontribusi lebih dari 50 persen dibandingkan kategori layanan. Dari segmen pembeli, kontributor transaksi terbesar berasal dari FMCG dan retail (50%), property and real estate (25%), pharmaceutical (15%), dan startup atau perusahaan teknologi (5%).

Kemudian, Gross Merchandise Value (GMV) pada 2019 tercatat tumbuh empat kali lipat (Year-on-Year/YoY). Jumlah mitra vendor yang tergabung sebesar 4.000 dengan 100.000 SKU produk.

B2B as The Most Suitable Business Scheme for Hardware Startups in Indonesia

Iglohome is a Singapore-based startup. The smart access system product developer, it’s a door lock and key equipped with the technology component. They are currently implementing the solution with proptech and OTA partners, such as Airbnb, BookingSync, Zip Rent, and others. Objectively, it’s to provide property owners with easy tracking of their “locking” access to their customers in a digital way.

In Indonesia, there is Sugar Technology, a startup that develops similar devices. It is named “smart padlock”, the user can open a padlock using a registered fingerprint. Up until now, the target market revolves around common users’ lifestyles, although it is possible to perform B2B partnerships.

The recent one is Zulu, a startup (originally non-tech), a helmet developer about a year ago received funding from Gojek’s decacorn. As a manifestation of product innovation, the helmet is equipped with Bluetooth to connect with smartphones. This smart helmet can be utilized for connectivity, such as calling, receiving voice notifications, and giving orders to Google Assistance.

Struggling to acquire users

Running a hardware business is not an easy peasy for startups in may regions. In July 2017, a headset developer, Jawbone hardware developer for headset, fitness tracker, and the wireless speaker has collapsed after 10 years operation, although having secured US$930 million funding. The shutdown is due to the limited market share of its products. They offer the products directly to consumers, with gimmick as a modern lifestyle support.

There are several reasons supposing this failure. From lack of consumer demand, high burning rates, decreasing enthusiasm after the initial fundraising process (for startups debut with crowdfunding), to the product strategy mistakes.

Unfortunately, several other well-funded startups experienced the same thing. From CB Insight’s notes, below are the seven startups in the hardware vertical that did not succeed in sustaining business growth:

cbinsight

CB Insight also noted over 400 failed hardware startups, most of which are targeting direct consumers.

On the other side, investment for the hardware startups is actually well-distributed. Aside from investors, startups can raise fund through the crowdfunding platforms such as Kickstarter or IndieGogo, targeting cash from direct consumers while acquiring the user base. High participation in these programs helped increase the enthusiasm of hardware startup founders counting their luck.

Based on the current trend, software-based products are considered to have faster scalability, with a more dynamic lifecycle, compared to hardware products. However, it’s not impossible for handset developers to be successful. In fact, some of the big business achievements involve hardware manufacturers in the growth stage.

Beats, Nest, Oculus Rift, and several other producers’ names were able to “exit” through the acquisition or share listings. Even though in small numbers, there have been 17 hardware startups that have succeeded in IPO for the decade. While there are dozens of startups per year that have been successfully acquired or have the support of larger technology companies.

B2B as the ideal business scheme

Recently, there are some primary business models run by hardware-manufacture startups. First, B2C, marketing his products to consumers in general. Second, the B2B, working together – both partially and fully – in manufacturing products for partner companies. However, many are also doing a B2B2C approach, with different product variants.

In the midst of startup’s high failure rate of selling their products directly to consumers – in the context of new (technology-based) startups – the B2B business model is becoming more interesting. From the strategic partnership, hardware products can be juxtaposed with a potential market share in the growing business vertical of digital startups, including in Indonesia.

The property sector, for example. Based on the H1 Affordability Sentiment Index 2019 data, the very high prices encouraged more Indonesians to live in rental homes. In fact, according to the Indonesia Property Watch 2018 survey, almost half of millennials in Jakarta choose to live in a boarding house.

Considering the opportunity, Igloohome invited YukStay in the strategic partnership in Indonesia to apply its products in several of its managed properties. YukStay is known to offer hospitality services for apartment rentals and boarding. Not only listings, but they also help property owners do management. The service is currently cover the Greater Jakarta and Surabaya.

As for ride-hailing, according to Gojek’s internal data, per semester 1/2019 they already have 2 million driver-partners. This was a blessing for Zulu, who became a strategic partner to accommodate partners’ main driving equipment – consisting of helmets and protective jackets.

Other companies that started out as B2C eventually adopted the B2B model through acquisition by the big players. The Oculus Rift handset for example, which is now an exclusive Facebook product, Nest is now optimized and marketed with Google technology, or Beats that has become Apple’s endorsed product.

More players to come

UMG Idealab has become one of the active venture capitalists in supporting hardware startups, either investing or acting as a venture builder. Two hardware products being prepared are the Widya Wicara smart speaker and the passenger drone named Frogs. They’re ambitious enough to make a drone as a passenger taxi, the product is to be further developed at one of the R&D centers in Yogyakarta.

A drone-passanger developed by UMG Idealab in Yogyakarta / UMG Idealab
A drone-passanger developed by UMG Idealab in Yogyakarta / UMG Idealab

Widya Wicara itself was designed to be a lifestyle device. Equipped with voice-based commands, it is expected to be a personal assistant device in performing several tasks, such as reminders. The speaker-based smart assistant is indeed a lifestyle device that deserves to be taken into account. Its popularity has increased since 2018, followed by the maturity of Natural Language Processing (NLP) technology which has become smarter in recognizing human language.

With the increasing popularity of some products, for example, eFishery. It’s using IoT to help shrimp and fishpond businesses in sowing feed automatically. There is also Jala, targeting the fisheries sector with IoT-based products. Both apply the B2B business model and for now, it appears to be well-received by consumers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

B2B Jadi Skema Bisnis Paling Ideal untuk Startup Hardware di Indonesia

Igloohome adalah startup asal Singapura. Pengembang produk “smart access system”, yakni pengunci pintu dan gembok yang dilengkapi dengan komponen teknologi. Saat ini mereka telah terapkan solusinya bersama mitra proptech dan OTA seperti Airbnb, BookingSync, Zip Rent dan lain-lain. Tujuannya memudahkan pemilik properti mengelola akses “kunci” ke pelanggannya secara digital.

Di Indonesia ada Sugar Technology, startup yang kembangkan perangkat serupa. Disebut dengan “smart padlock”, pengguna dapat membuka gembok pintu menggunakan sidik jari yang sudah didaftarkan. Sejauh ini target pasarnya masih untuk kebutuhan gaya hidup pengguna umum, kendati tidak menutup kemungkinan jalinan kemitraan B2B.

Yang terbaru ada Zulu, startup (yang awalnya non-teknologi) pengembang helm yang sekitar setahun lalu mendapatkan pendanaan dari decacorn Gojek. Sebagai perwujudan inovasi produk, helm besutannya dilengkapi konektivitas bluetooth untuk terhubung dengan ponsel pintar. Helm pintar ini bisa diutilisasikan untuk kebutuhan menelepon, menerima notifikasi suara, hingga memberikan perintah ke Google Assistance.

Perjuangan sulit merangkul konsumen

Menjalani bisnis hardware bukan perkara mudah yang diamini startup-startup dari berbagai negara. Pada Juli 2017 lalu, Jawbone pengembang perangkat headset, fitness tracker dan wireless speaker kolaps setelah 10 tahun beroperasi, padahal sebelumnya berhasil membukukan pendanaan US$930 juta. Kegagalannya ditopang minimnya market share dari produk-produk yang dijual. Mereka memasarkan produk secara langsung ke konsumen, dengan gimmick sebagai perangkat penunjang gaya hidup masa kini.

Terdapat beberapa alasan terkait kegagalan tersebut. Dari kurangnya permintaan konsumen, burning rate yang tinggi, menurunnya antusiasme setelah proses penggalangan dana awal (untuk startup yang debut dengan crowdfunding), hingga kesalahan strategi produk.

Sayangnya hal senada juga dialami beberapa well-funded startup lain. Dari catatan CB Insight, berikut tujuh startup di vertikal hardware yang tidak berhasil mempertahankan pertumbuhan bisnis:

Startup Hardware Gagal

CB Insight juga mendata ada lebih dari 400 startup hardware gagal, sebagian besar menyasar kalangan konsumer.

Di lain sisi, investasi untuk startup hardware sebenarnya masih mengalir dengan baik. Selain dari investor, startup juga bisa melakukan penggalangan dana melalui platform crowdfunding seperti Kickstarter atau IndieGogo, menjaring dana langsung dari konsumen sekaligus mendapatkan pengguna awal. Partisipasi yang tinggi dalam program-program tersebut turut meningkatkan antusiasme founder startup hardware mencoba peruntungan.

Berbekal pada tren yang ada, diakui produk berbasis software memiliki skalabilitas yang lebih cepat, dengan lifecycle yang lebih dinamis pula, dibandingkan dengan produk hardware. Namun bukan berarti mustahil bagi pengembang handset untuk bisa meraup sukses. Faktanya beberapa prestasi bisnis besar melibatkan produsen hardware yang tengah dalam tahap pertumbuhan.

Beats, Nest, Oculus Rift dan beberapa nama produsen lainnya berhasil “exit” melalui akuisisi atau pencatatan saham. Kendati jumlahnya tidak banyak, satu dekade terakhir baru sekitar 17 startup hardware yang berhasil IPO. Sementara ada puluhan startup per tahun yang berhasil diakuisisi atau mendapatkan dukungan dari perusahaan teknologi yang lebih besar.

B2B jadi skema bisnis ideal

Sejauh ini ada beberapa model bisnis utama yang dilakoni startup yang menghasilkan produk hardware. Pertama B2C, menjajakan hasil kreasinya ke kalangan konsumen secara umum. Kemudian yang kedua ada B2B, bekerja sama –baik secara parsial maupun penuh—memproduksi produk untuk perusahaan mitra. Namun tak sedikit juga yang melakukan pendekatan B2B2C, dengan varian produk yang berbeda-beda.

Di tengah tingginya tingkat kegagalan startup yang menjual produknya ke konsumen –dalam konteks startup (berbasis teknologi) baru—model bisnis B2B menjadi menarik untuk didalami. Dari kemitraan strategis tersebut, produk hardware dapat disandingkan dengan potensi pangsa pasar pada vertikal bisnis startup digital yang tengah berkembang, tak terkecuali di Indonesia.

Misalnya untuk sektor properti. Berdasarkan data Property Affordability Sentiment Index H1 2019, harga yang sangat mahal menjadikan masyarakat Indonesia lebih banyak yang memilih tinggal di rumah sewa. Bahkan menurut survei Indonesia Property Watch 2018, hampir separuh dari milenial di Jakarta memilih tinggal di indekos.

Melihat peluang tersebut, YukStay digandeng jadi mitra strategis Igloohome di Indonesia untuk mengaplikasikan produknya di beberapa properti kelolaannya. Seperti diketahui, YukStay sajikan layanan hospitality untuk penyewaan apartemen dan indekos. Tidak hanya sajikan listing, mereka turut bantu pemilik properti lakukan manajemen. Saat ini telah mencakup Jabodetabek dan Surabaya.

Sementara untuk ride hailing, menurut data internal Gojek, per semester 1/2019 mereka telah memiliki 2 juta mitra pengemudi. Hal ini menjadi berkah bagi Zulu yang dipinang jadi rekanan strategis untuk mengakomodasi kebutuhan perlengkapan mengemudi utama para mitra – terdiri dari helm dan jaket pelindung.

Perusahaan-perusahaan lain yang awalnya B2C pun akhirnya mengadopsi B2B melalui akuisisinya oleh pemain besar. Sebut saja handset Oculus Rift yang kini jadi produk eksklusif Facebook, Nest yang dioptimalkan dan dipasarkan dengan teknologi Google, atau Beats yang jadi produk yang di-endorse Apple.

Masih terus bermunculan

UMG Idealab jadi salah satu pemodal ventura yang cukup aktif mendukung startup hardware, baik berinvestasi atau bertindak sebagai venture builder. Dua produk hardware yang tengah disiapkan adalah speaker pintar Widya Wicara dan drone passenger bernama Frogs. Cukup ambisius ingin menjadikan drone sebagai kendaraan taksi penumpang, kini produk tersebut terus dimatangkan di salah satu pusat R&D yang terdapat di Yogyakarta.

Drone-Passanger yang dikembangkan tim UMG Idealab di Yogyakarta / UMG Idealab
Drone-Passanger yang dikembangkan tim UMG Idealab di Yogyakarta / UMG Idealab

Widya Wicara sendiri didesain menjadi perangkat gaya hidup. Dibekali dengan perintah berbasis suara, diharapkan perangkat ini bisa menjadi asisten personal untuk melakukan beberapa tugas, seperti sebagai pengingat. Asisten pintar berbasis speaker ini memang jadi perangkat gaya hidup yang layak diperhitungkan. Popularitasnya meningkat sejak tahun 2018, dibarengi kematangan teknologi Natural Language Processing (NLP) yang makin pintar mengenali bahasa manusia.

Sementara produk yang sudah mulai populer contohnya eFishery, manfaatkan IoT untuk membantu pebisnis tambak udang dan ikan dalam menabur pakan secara otomatis. Ada juga Jala yang juga sasar sektor perikanan dengan produk berbasis IoT. Keduanya menerapkan model bisnis B2B dan sejauh ini tampak diterima konsumennya dengan baik.

Bukalapak Aims to Dominate E-Procurement Market through BukaPengadaan

Bukalapak shared an ambition to dominate the e-procurement market through his vertical Open ProcurementD because it has a market share that is not inferior to the consumer business (b2c). Seen from the success of overseas b2b players such as Alibaba Business and Amazon Business, both grew bigger from the b2c platform.

BukaPengadaan’s Director, Hita Supranjaya said the optimism backed by the changing of Indonesian consumers’ behavior in terms of digital. Innovations, such as e-commerce, digital payment, and logistics has shifted b2c behavior significantly.

He thought the change encouraged B2B companies to make adjustments by increasing competitiveness and speed in serving customer needs. On the other side, the challenge for B2B companies in facing global market competition is that it takes a long time to develop technology and costs a lot too.

“Bukalapak through BukaPengadaan seeks opportunities to answer the challenge, backed by the proven experience in developing tech-based e-commerce c2c/b2c for ten years,” Supranjaya told DailySocial.

In order to be the leading e-procurement, BukaPengadaan is quite lucky to be integrated with Bukalapak marketplace and Quasi Retail. It connects the platform with five million sellers offering more than 80 million products.

As a result, BukaPengadaan is capable to fulfill all procurement from corporations, both business and government, quickly and at competitive prices. In terms of ecosystem, it’s comprehensive for companies and vendors, including closed ecosystems for registered users, provision of goods and services, online approval systems, monitoring of goods orders, payment and e-invoicing.

“It gives our customers an advantage in procurement, faster and closest to the sellers, resulting in competitive price. We also help managing lists of vendors and SKUs, therefore, customers can focus on things that are more important than just administrative matters.”

Since it was founded in 2016, BukaPengadaan has acquired more than 1500 users, around 80% are companies, and the rest are SMEs and government institutions. On a monthly average, 150 companies actively transact through BukaPengadaan.

Last year, there are 500 users registered, 5 thousand purchase orders, with an average transaction of Rp150 million. Within seven months, BukaPengadaan has recorded a 30% transaction growth. Also, in the last three months, the average income growth has increased by three times per month.

It is said there are new categories and vendors joined every month. Not only retails and supply chain, but also virtual products managed into a one-stop platform. “It allows us to reach almost the whole categories of small, middle to large-scale b2b company essentials,” he added.

Large business-coverage, b2b players are solving specific issues

Based on McKinsey & Co report, Indonesian e-procurement has potential worth of $125 billion by 2025. It was estimated from global corporate services ($18 billion), b2b marketplace (76 billion), and b2b services ($36 billion).

Meanwhile, Indonesia’s leading players still the b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukalapak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), and mobility (Gojek and Grab).

The brand awareness rate in this segment might not as tight as the consumer products. However, according to 2018’s DSResearch, some players are familiar to the respondents, including Bhinneka Bisnis, Bizzy, and Mbiz.

bukalapak b2b

In terms of growth, the players are not limited, there is also Ralali, Ekosis, TaniHub, and Zilingo. Each platform has its own market share. Ralali, for example, entering the agency segment to target b2b consumers.

Ekosis has its way with connecting businessmen to get various agribusiness, livestock, and mining products. As for TaniHub, plays role as a supplier for b2b consumers come from supermarket, horeca, F&B, retailers, and startup players.

Zilingo, on the other hand, provides cloud-based fashion manufacture products from all over the world for all brands and businessmen can take benefit from it.

The various kinds of b2b e-commerce have shown potential market share to be further explored in order to solve the issues within the b2b players. Moreover, Indonesian SMEs digital transformation has only reached 8% or 3.92 million of the total 59.2 million existed players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ambisi Bukalapak Pimpin Pasar E-procurement Lewat BukaPengadaan

Bukalapak mengungkapkan ambisinya untuk menguasai pasar e-procurement melalui vertikalnya BukaPengadaan, sebab punya pangsa pasar yang tidak kalah besar dengan bisnis konsumen (b2c). Terlihat dari kesuksesan pemain b2b luar negeri seperti Alibaba Business dan Amazon Business, keduanya tumbuh lebih tinggi dari platform b2c.

Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menjelaskan, optimisme ini didukung oleh perubahan perilaku konsumen Indonesia dalam hal digital. Inovasi seperti layanan e-commerce, pembayaran digital dan logistik mengubah pola perilaku b2c secara signifikan.

Menurutnya, perubahan tersebut mendorong perusahaan b2b melakukan penyesuaian dengan meningkatkan daya saing dan meningkatkan kecepatan dalam melayani kebutuhan pelanggan. Namun di satu sisi, tantangan perusahaan b2b di sini dalam menghadapi kompetisi pasar global adalah dibutuhkan pengembangan teknologi yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.

“Bukalapak melalui BukaPengadaan melihat peluang untuk dapat menjawab tantangan tersebut, berbekal pengalaman yang sudah terbukti mengembangkan e-commerce c2c/b2c berbasis teknologi selama 10 tahun,” ucap Hita kepada DailySocial.

Demi menjadi pemain e-procurement terdepan, BukaPengadaan cukup beruntung karena terintegrasi dengan platform marketplace Bukalapak dan Quasi Retail. Kondisi ini membuat platform ini terhubung dengan lima juta pelapak menawarkan lebih dari 80 juta produk.

Alhasil, BukaPengadaan mampu memenuhi seluruh pengadaan dari korporasi, baik pelaku bisnis maupun pemerintah dengan cepat dan harga bersaing. Secara ekosistem pun menyeluruh untuk perusahaan dan vendor, meliputi ekosistem tertutup bagi pengguna yang terdaftar, penyediaan barang dan jasa, sistem persetujuan online, pemantauan pesanan barang, pembayaran dan e-invoicing.

“Keuntungannya bagi pelanggan kami adalah pemenuhan kebutuhan yang lebih cepat dan terdekat dengan adanya jaringan pelapak, sehingga harga kompetitif. Kami juga membantu mengelola daftar vendor dan SKU yang berkembang terus menerus, sehingga pelanggan fokus terhadap hal-hal yang lebih penting daripada hanya hal administratif.”

Sejak BukaPengadaan dirilis pada 2016, kini telah merangkul lebih dari 1500 pengguna, sekitar 80% adalah perusahaan dan sisanya adalah UKM dan instansi pemerintah. Dalam sebulan, rata-rata 150 perusahaan aktif bertransaksi melalui BukaPengadaan.

Pada tahun lalu, tercatat ada 500 pembeli, 5 ribu purchase order, dengan rata-rata nilai per transaksi Rp150 juta. Selama tujuh bulan terakhir, BukaPengadaan mencatat pertumbuhan transaksi 30%. Serta, dalam tiga bulan terakhir, pertumbuhan pendapatan rata-rata tiga kali lipat setiap bulannya.

Diklaim setiap bulannya ada kategori produk dan vendor baru yang bergabung. Tidak hanya produk ritel dan bahan baku saja, tapi sudah menyentuh produk virtual yang dikelola menggunakan satu pintu platform. “Ini memungkinkan kami menjangkau hampir seluruh kategori kebutuhan perusahaan b2b Indonesia skala kecil, menengah hingga besar,” sambungnya.

Cakupan bisnis besar, pemain b2b ramai selesaikan isu spesifik

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar), dan b2b services ($36 miliar).

Sementara itu, pemain terdepan di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan yang bergerak di segmen b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukapalak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), dan mobilitas (Gojek dan Grab).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Secara perkembangan, pemainnya tidak hanya itu saja, ada Ralali, Ekosis, TaniHub dan Zilingo. Semuanya punya pangsa pasar masing-masing sesuai target pasarnya. Ralali misalnya bermain ke ranah keagenan untuk menyasar konsumen b2b sebagai pembeli.

Ekosis berusaha untuk menghubungkan pebisnis untuk mendapatkan berbagai produk agribisnis, peternakan, hingga pertambangan. Pun juga untuk TaniHub, bertindak sebagai penyuplai untuk konsumen b2b yang datang dari pemain supermarket, horeca, F&B, peritel hingga startup.

Sementara Zilingo, menyediakan pasokan manufaktur fesyen berbasis cloud dari seluruh dunia agar setiap merek, pengusaha, dapat memanfaatkannya.

Beragamnya layanan e-commerce b2b yang disediakan memperlihatkan bahwa ada ceruk bisnis yang bisa gali lebih dalam untuk menyelesaikan masalah di pemain b2b. Terlebih, transformasi digital UKM di Indonesia baru 8% atau 3,92 juta dari total 59,2 juta pelaku yang hadir di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Sempurnakan Integrasi “Digital Supply Chain”, Bizzy Tutup Sementara Layanan Marketplace

Bizzy menutup sementara layanan marketplace b2b tertanda mulai bulan ini. Katalog produk dihapus dari situs dan layanan pembelian untuk konsumen korporat ditiadakan untuk sementara waktu. Ini adalah bisnis pertama yang dirintis Bizzy sejak perusahaan berdiri sejak 2015, sebelum ekspansi ke layanan lainnya.

Kepada DailySocial, CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menjelaskan, penutupan ini hanya bersifat sementara. Pihaknya berencana membuka kembali pada kuartal IV 2020 dengan berbagai penyempurnaan sistem backend.

“Kita nggak tutup. Tapi in terms of priority development bakal hadir lagi di kuartal IV ini. Kita mau fokus ke area yang perkembangannya jauh lebih cepat dan secara potensi jauh lebih besar,” ujarnya, Rabu (15/1).

Dia melanjutkan, keputusan ini diambil karena perusahaan ingin menyempurnakan integrasi sistem back-end marketplace, terutama rantai pasok digital agar semakin seamless saat digunakan konsumen korporat. Tampilan UI/UX juga akan disempurnakan.

Rantai pasok digital ini sebenarnya sudah dibangun oleh Bizzy untuk layanan Tokosmart, hanya saja peruntukkannya buat konsumen toko kelontong. “Kalau dilihat digital supply chain, Tokosmart itu juga sama-sama procurement activity. Bedanya hanya target segmen, ini lebih UMKM sementara Bizzy Marketpalce buat perusahaan menengah ke atas.”

Perubahan bisnis Bizzy Marketplace sebenarnya punya semangat yang kurang lebih sama dengan Tokosmart, yakni memotong rantai sub distributor dan grosir dengan teknologi agar proses pengadaan lebih efisien dan transparan.

Dia mencontohkan, salah satu konsumen korporat Bizzy adalah Alfamart dan Indomaret. Dalam pengadaan barang, dengan penyempurnaan sistem, diharapkan mereka bisa langsung beli pasokan dari perusahaan distributor yang sudah bermitra dengan Bizzy.

“Mereka butuh beli barang-barang dari prinsipal, tapi window pembeliannya nggak pakai UI Tokosmart karena lebih UMKM. Makanya UI/UX Bizzy Commerce akan kita revamp lagi.”

Dalam pengembangan Bizzy Marketplace, ada 14 kategori yang disediakan untuk korporat dari berbagai industri. Tidak hanya menjual perlengkapan kantor saja, ada dekorasi dan elektronik rumah tangga, elektronik industri, furnitur perabotan, MRO, otomotif dan transportasi, peralatan horeca, dan masih banyak lagi.

Rencana penguatan ekosistem Bizzy

Bizzy Group tidak hanya bermain di ranah marketplace b2b, tapi meluas dari hulu ke hilir. Ada Bizzy Consolidation, Bizzy Logistics, dan Bizzy Distribution. Adapun Tokosmart termasuk dalam bagian yang terakhir.

Tokosmart adalah aplikasi pengadaan untuk konsumen toko kelontong agar lebih mudah mengisi stok barang. Semangat yang ditawarkan lewat Tokosmart adalah kemudahan pemilik toko membeli barang yang dijual langsung oleh perusahaan distributor yang ditunjuk resmi oleh brand prinsipal.

“Yang membuat kami berbeda adalah kami bekerja sama dengan prinsipal agar pasokan barang di pasar dari sisi harga tidak rusak. Brand sangat menjaga harga karena berkaitan erat dengan brand equity.”

Layanan ini sudah diresmikan sejak Mei 2019, terhitung hingga akhir tahun lalu telah meraup 46 ribu pemilik toko kelontong yang tersebar di 29 kota di seluruh Indonesia. Andrew menargetkan dapat meningkatkan jumlah konsumen hingga 100 ribu toko sampai akhir tahun ini.

market-stall-4659219_1280

Kategori produk juga diperluas tidak hanya untuk brand prinsipal dari FMCG saja, tapi juga obat over the counter (bebas dijual tanpa resep dokter), personal care, alat tulis, dan sebagainya.

“Karena platform digital supply chain yang kita bangun ini, solusinya tidak hanya applicable buat FMCG saja, tapi buat brand prinsipal lainnya dari kategori yang lain.”

Guna ekosistem lainnya, Bizzy segera merilis Truckway dan Bizzy Field Force (BFF) untuk melengkapi Bizzy Logistics. Semua layanan ini berbasis aplikasi digital namun tujuan penggunannya punya target masing-masing.

Misalnya buat Truckway digunakan oleh pelaku logistik atau distributor yang punya armada bus untuk permudah perencanaan rute pengantaran barang ke toko kelontong agar lebih efisien.

Sedangkan BFF untuk bantu tenaga pemasar dari perusahaan distribusi saat site visit ke toko kelontong mana saja yang harus didatangi dan barang apa yang bisa mereka jual. Kedua aplikasi ini sudah bisa diunduh di Google Play dan App Store, namun belum diresmikan karena masih dalam tahap iterasi dan pengembangan.

“Karena ujung-ujungnya kita mau bantu prinsipal memasok barang secara efisien ke konsumen minus one. Nah itu butuh perusahaan distribusi yang kebanyakan masih tradisional dalam menjalankan bisnisnya, jadi nggak efisien.”

Dari keseluruhan rencana bisnis Bizzy yang akan dilakukan tahun ini, juga akan menyentuh unsur finansial untuk bantu toko kelontong permudah dapat modal usaha. Andrew mengatakan pada kuartal III ini, perusahaan akan bekerja sama dengan perbankan untuk merealisasikannya.

“Kita ingin gaet bank yang benar-benar fokus ke pembiayaan UMKM karena punya bunga yang kompetitif dan bisa dorong pemilik toko berkembang. Nanti ada algoritma transaksi mereka di Bizzy untuk menentukan mana yang layak secara profil risiko untuk diberikan kredit usaha.”

Saat ini transaksi di Tokosmart menggunakan opsi bayar tunai, bank transfer, kredit yang dapat dibayar dua minggu kemudian, dan LinkAja. “Bulan depan (Februari) mau tambah opsi dengan pemain digital wallet yang lain seperti Ovo dan GoPay,” tutup Andrew.

Ralali dan Futuready Sasar Pasar Asuransi B2B untuk UMKM

Ralali resmi mengumumkan kerja samanya dengan Futuready pada Selasa ini. Lewat kerja sama tersebut, Ralali dan Futuready mematok target 1 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), sebagai nasabah asuransi B2B, hingga akhir tahun depan.

“Itu target akhir. Target awalnya 10.000-20.000 dari jumlah UMKM yang ada sudah bisa merasakan asuransi tersebut, tapi tetap target akhirnya 1 juta,” ujar SVP of Financial Business Ralali, Alvin Aulia Akbar.

Penyediaan produk asuransi untuk UMKM menjadi fokus Ralali dalam kerja sama ini. Pertama-tama hal ini tak lepas dari jumlah pengusaha UMKM yang berkisar 60 juta lebih. Sebagian kecil atau tepatnya 8 persen dari jumlah itu belum memanfaatkan layanan digital.

Alvin melanjutkan dalam produk ini UMKM mana pun bisa bergabung dengan membeli produk asuransi mulai dari harga Rp5.000 per bulan. Namun dari sekian banyak UMKM yang ada, mereka mengaku masih berfokus ke UMKM seperti warung, restoran, kafe, hingga toko elektronik.

“Dua segmen ini yang paling potensial di Indonesia, paling tidak ada 5 juta untuk kedua segmen ini,” imbuhnya.

Selain jenis-jenis usaha tersebut COO Ralali Alexander Lukman mengatakan pihaknya juga mempersilakan bagi para pelaku UMKM yang beroperasi mengandalkan gerobak. Dengan asuransi dari Futuready ini, Alex meyakini UMKM dapat terlindungi dari risiko-risiko tak terduga seperti huru-hara, banjir, hingga pemadaman listrik.

“Mungkin tidak semuanya, tapi setidaknya sekitar 70-80 persen bisa ter-cover,” ungkap Alex.

Ada sejumlah faktor yang membuat Ralali dan Futuready yakin produk asuransi mereka dapat dilirik oleh pelaku UMKM. Selain harga yang terjangkau, mereka mengandalkan Big Agent milik Ralali.

Big Agent yang merupakan agen lepas dengan sistem komisi yang melaksanakan tugas promosi, akuisisi, dan survei pasar. Sebanyak 300.000 agen yang biasanya terdiri dari mahasiswa, karyawan, hingga pengemudi ojek online, di seluruh Indonesia inilah yang nantinya memberi pengertian kepada pemilik UMKM untuk melindungi usahanya yang mayoritas merupakan single-income business.

“Mungkin sudah ada rumah toko yang bisa diasuransi. Tapi ini gerobak dan saya kira ini belum ada sebelumnya padahal kita tahu sendiri banyak sekali gerobak UMKM di Indonesia. Makanya untuk aksesibilitas kita mengandalkan Big Agent,” aku Head of Corporate Business Futuready, Gretel Griselda.

Setidaknya ada tiga jenis asuransi yang ditawarkan oleh Ralali dan Futuready ini. Mereka adalah Asuransi Fire yang ditujukan pemilik properti usaha bergerak seperti gerobak, Asuransi Pendidikan untuk melindungi pendidikan anak pemilik usaha, dan Asuransi Perlindungan Bisnis yang dapat membantu pemilik bisnis tetappunya pemasukan meski usaha sedang tidak beroperasi.

Rencana Tahun Depan

Produk asuransi baru ini memantapkan upaya Ralali membangun ekosistem pengembangan bisnis UMKM di platform mereka yang terdiri dari pembayaran, pinjaman, investasi, dan asuransi.

Alex tak menutup kemungkinan tahun depan akan ada perluasan keempat hal tadi dengan menyediakan infrastruktur logistik B2B di platform mereka. Hal ini memungkinkan bagi mereka dengan kembali menggandeng sejumlah penyedia jasa logistik pihak ketiga maupun pengiriman kargo bisnis.

Di samping itu, Ralali juga membuka kemungkinan membuka layanan gudang di platform mereka. Caranya dengan menggandeng mitra startup yang sudah bermain di sektor tersebut

“Saat ini kami sudah ekspansi di 35 kota, per akhir tahun ini akan di 55 kota. Di sana kami akan bangun fulfilment center. Lagi-lagi ini kan industri 4.0, ngakunya punya gudang tapi bukan punya kita. Kita kerja sama dengan mitra di kota tersebut agar bisa melayani lebih cepat dan lebih murah,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Ekosis Usung Konsep B2B Marketplace untuk Hubungkan Petani dengan Pebisnis

Di Indonesia sudah banyak startup yang mencari peluang bisnis dengan menghadirkan konsep marketplace, tentunya dengan niche dan pendekatan yang beragam. Satu dari banyak startup itu adalah Ekosis. Dengan konsep marketplace, mereka tengah berusaha menjadi tempat untuk menghubungkan pebisnis mendapatkan berbagai macam produk agribisnis, mulai dari pertanian, kelautan dan perikanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, hingga pertambangan.

Ekosis dimulai sejak awal tahun 2019, persisnya pada bulan Maret. Kendati belum genap satu tahun Co-founder & CMO Ekosis Ranggi Muharam mengklaim mereka sudah berhasil menjangkau 15 perusahaan agribisnis, lebih dari 500 petani dan nelayan, dan sudah aktif di 15 kabupaten kota dan 7 provinsi.

“Posisi Ekosis adalah sebagai jembatan yang menghubungan petani dan nelayan dengan perusahaan. Kami bukan sebagai offtaker yang hanya menambah atau memindahkan mata rantai. Petani dan nelayan menjual langsung hasil panen dan produk mereka kepada perusahaan agribisnis melalui platform ekosis,” jelas Ranggi.

Ranggi menambahkan, transaksi dan negosiasi tawar menawar harga terjadi di chat room Ekosis. Dengan fitur ini perusahaan agribisnis dapat langsung menanyakan harga dan ketersediaan barang kepada petani dan nelayan. Startup yang sudah berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal ini rencananya akan mengambil komisi untuk setiap transaksi yang terjadi, namun hal tersebut baru akan diimplementasikan di tahun ketiga atau keempat.

Suasana kantor Ekosis / Ekosis

Rantai perdagangan yang lebih efektif

Ranggi kepada DailySocial menceritakan bahwa Ekosis bermula dari cita-cita untuk memangkas rantai perdagangan agar lebih efektif. Mengusung misi menyejahterakan petani dan nelayan dengan membantu mereka mendapatkan harga yang pantas untuk hasil yang mereka dapatkan.

Menurutnya selain petani dan nelayan bisa menjual hasil panen, mereka juga bisa mengetahui kebutuhan perusahaan agribisnis, karena platform Ekosis memungkinkan para perusahaan memberikan informasi kebutuhan mereka untuk. Selanjutnya para petani dan nelayan bisa memberikan penawaran ke perusahaan tersebut.

“Selain itu kami juga menghubungkan penyedia jasa angkutan atau logistik, baik perorangan maupun perusahaan, untuk dapat menawarkan jasa melalui platform Ekosis guna mengangkut hasil panen dari petani atau nelayan ke perusahaan, sehingga mereka tidak lagi kebingungan dalam mengirim hasil panen ke perusahaan. Pemilik layanan angkutan pun bisa aktif mencari dan menawarkan jasa ke petani dan nelayan. Pilihaan layanan jasa angkut beragam, mulai dari darat, laut, maupun udara,” jelas Ranggi.

Ranggi dan timnya cukup optimis karena apa yang mereka hadirkan merupakan solusi dari permasalahan yang dikeluhkan petani dan nelayan di Indonesia. Terlebih lagi mereka telah bekerja sama dengan Kemendesa dan KKP untuk membantu memasarkan produk petani dan nelayan yang tinggal di daerah tertinggal dan pesisir.

“Target kami di tahun 2020, kami akan melakukan grand launching platform Ekosis, dapat memberikan dampak positif dan meningkatkan kesejahteraan kepada lebih dari 20.000 petani dan nelayan di 100 kabupaten dan kota di 15 provinsi Indonesia. Sedangkan target besar kami dalam 5 tahun bisa memberikan manfaat dan membantu 7 juta petani dan nelayan di lebih dari 300 kabupaten dan kota di 32 provinsi Indonesia,” tutup Ranggi.

Application Information Will Show Up Here

Zilingo Kembangkan Manufaktur Mini untuk Bantu Pengusaha Fesyen Perempuan

Platform e-commerce Zilingo kini mengembangkan konsep manufaktur untuk kalangan mikro demi perbesar bisnis B2B di bawah brand Zilingo Asia Mall (ZAM). Perusahaan menyasar pengusaha mikro perempuan di tingkat akar rumput untuk turut berpartisipasi di dalamnya.

Co-Founder & CEO Zilingo Ankiti Bose menjelaskan, konsep ini tertuang dalam SheWorkz, program manufaktur terdesentralisasi khusus menyasar pengusaha mikro perempuan. Indonesia menjadi negara pertama diluncurkannya inisiatif tersebut. Pada tahap pertama akan hadir di Jakarta, Cirebon, dan Tasikmalaya.

Ankiti berharap kehadiran pabrik mini tersebut dapat menjaga pasokan fesyen, sekaligus mendorong perempuan untuk mulai berkarier sebagai pengusaha. Pasalnya, perempuan masuk ke dalam kalangan yang kurang terwakili dalam lanskap ekonomi global.

Ia menyebut, di Asia Tenggara dan Selatan, jumlah angkatan kerja perempuan hanya 31% dari keseluruhan tenaga kerja dan menyumbang 24% terhadap PDB. Ini bukan menjadi masalah sosial semata, tapi juga sudah menyentuh masalah ekonomi.

“Ide awal SheWorkz adalah bantu perempuan untuk menjadi pengusaha, dengan bantuan teknologi mereka bisa scaling dan dapat bantuan modal. Mereka juga bisa kerja dari rumah, sehingga fleksibel. Ini ide awalnya,” terang Ankiti beberapa waktu lalu saat peluncuran program SheWorkz.

Dia menjelaskan Indonesia adalah negara terpenting bagi Zilingo karena pertumbuhannya yang tercepat dibandingkan negara lainnya. Diklaim setiap kali Zilingo menetapkan target pencapaian untuk ZAM selalu terlampaui. Sayangnya, Ankiti tidak ikut menyertakan data pendukungnya.

Oleh karenanya, Indonesia jadi negara pertama. Berikutnya akan di gulirkan ke negara lainnya, seperti Thailand, Filipina, Singapura, dan India.

Lebih detail, Zilingo akan mengidentifikasi empat hingga lima perempuan yang berasal dari satu daerah yang sama dan mengelompokkan mereka sesuai dengan tingkat keterampilan. Targetnya perusahaan ingin melatih 300 perempuan pada tahap awal ini.

Mereka akan diberikan pinjaman usaha (KUR) sekitar $5 ribu-$10 ribu (Rp70,9 juta-Rp140 juta) berasal dari mitra perbankan (Bank Mandiri, BNI, BRI). Lalu, akan memproduksi pakaian sesuai permintaan brand dan terhubung dengan platform Zilingo.

Di dalamnya terhubung dengan sistem untuk mencocokkan keterampilan, ketersediaan, dan spesialisasi mereka sesuai permintaan brand. Setidaknya ada 60 ribu brand pakaian global yang memasok kebutuhannya lewat perusahaan.

“Sistem yang sama juga dapat memantau output, kecepatan dan kualitas, serta mengidentifikasi di mana pelatihan lebih lanjut mungkin diperlukan.”

Berambisi jadi pabrik cloud fesyen terbesar

Co-Founder dan CEO Zilingo Ankiti Bose bersama Menko Perekonomian Darmin Nasution saat peluncuran SheWorkz / Zilingo
Co-Founder dan CEO Zilingo Ankiti Bose bersama Menko Perekonomian Darmin Nasution saat peluncuran SheWorkz / Zilingo

Ambisi yang ingin dicapai oleh Zilingo lewat program SheWorkz adalah menjadi penyedia pabrik berbasis cloud terbesar di dunia, khususnya fesyen. Visi dan misinya, setiap brand, pengusaha, dan pabrik dari semua skala bisnis bisa menjadi bagian dari perusahaan.

Dia menegaskan Zilingo tidak memiliki pabrik sendiri dalam memfokuskan bisnis B2B-nya tersebut. Perusahaan justru bermitra dengan pabrik yang sudah ada, dengan menyediakan teknologi yang mereka butuhkan. Entah itu teknologi untuk procurement, logistik, invoice, penagihan, sistem pembayaran, dan sebagainya.

“Kita matching kebutuhan brand dan supply dari pabrik secara global. Misalnya, brand Amerika kini bisa manfaatkan resource dari pabrik di Indonesia. Ini bisa dorong sisi ekspor dan hubungan ekspor antar dua negara semakin mudah.”

Terdapat lebih dari 6 ribu pabrik yang telah terhubung dan memanfaatkan teknologi dari Zilingo. Tidak disebutkan ada berapa banyak di antaranya yang berada di Indonesia.

Praktik ekspor dari pabrik Indonesia sudah mulai terjadi melalui perusahaan. Ankiti menerangkan pabrik Indonesia banyak ekspor ke Malaysia untuk produk pakaian muslim. Ada juga yang tembus ke Amerika Serikat.

Secara keseluruhan, tanpa menyebut lebih detail, diklaim pertumbuhan B2B signifikan dan unprecedented selama setahun belakangan. Di B2B, dia mengaku tidak memiliki pesaing. Malah justru menghimpun seluruh penjual fesyen, yang berjualan di kanal online manapun, untuk ikut menjadi pengguna di Zilingo.

Beda halnya di B2C, khususnya di Indonesia, persaingannya sangat ketat dan butuh modal yang besar untuk jadi yang terdepan.

Dari pendanaan seri D yang diperoleh pada tahun ini, dia menegaskan perusahaan akan fokus pengembangan teknologi pada tiga area, yaitu supply chain, pembiayaan, dan data science. “Justru kita enggak terlalu banyak spent investasi ke B2C, justru lebih ke B2B. Tiga area ini paling banyak butuh investasi buat bisnis B2B kita,” pungkas dia.

Airy Business Menjadi Layanan Unggulan Airy Indonesia

Setelah diperkenalkan akhir tahun 2018 lalu, kini Airy Business telah dipercaya oleh lebih dari 200 perusahaan dengan diperkuat akses reservasi ke 9 ribu rute penerbangan serta lebih dari 20 ribu hotel dan akomodasi di seluruh Indonesia.

Menyasar segmen B2B, platform Airy Business didesain untuk memudahkan perusahaan mengelola rencana perjalanan pegawai hanya dalam satu platform. Layanan yang diklaim menjadi unggulan Airy ini diharapkan bisa memudahkan pengelolaan perjalanan dinas perusahaan dengan sistem pengajuan dan persetujuan berbasis daring serta pelaporan komprehensif secara real time.

“Sebagai startup teknologi, Airy terus berinovasi mengembangkan diri dan menghadirkan solusi perjalanan bagi para traveller, termasuk pengguna perusahaan, serta menguatkan komitmen khusus Airy dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” kata VP Commercial Airy Viko Gara.

Viko menambahkan, Airy Business memberikan efisiensi kepada pengguna karena meringkaskan alur administrasi. Selain itu, Airy Business juga memungkinkan karyawan memiliki kebebasan mengatur perjalanan dinas dan tetap berkesempatan mendapatkan waktu rekreasi, tanpa menyalahi ketentuan perusahaan.

“Dengan keleluasaan tersebut, karyawan bisa selalu terinspirasi dan termotivasi dalam bekerja sehingga produktivitas pun meningkat dan bisnis perusahaan terus tumbuh,” tambah Viko.

Memanfaatkan ekosistem Airy

Selain menyediakan prosedur terintegrasi secara digital bagi karyawan dan manajemen perusahaan untuk pengelolaan biaya perjalanan, Airy Business juga memungkinkan pemesanan moda pesawat serta akomodasi hotel melalui satu kanal yang sama.

Untuk meningkatkan ketersediaan akomodasi, Airy Business juga diperkuat oleh lebih dari 2 ribu properti mitra yang tersebar di lebih dari 100 kota di seluruh Indonesia. Dari segi pembayaran, mereka menawarkan metode yang beragam, mulai transfer bank, kartu kredit, sampai penagihan per bulan ke bagian keuangan perusahaan.

Untuk memudahkan penggunaan, Airy Business dilengkapi dengan dedicated account manager yang dikhususkan menangani tiap pengguna, termasuk dasbor yang menyajikan informasi lengkap jadwal berbagai penerbangan dan hotel. Tidak disebutkan apakah nantinya Airy Business akan menghadirkan aplikasi.

“Lebih dari itu, dengan Airy Business, tim manajemen mudah memonitor pengeluaran perjalanan per departemen menggunakan data real time serta pelaporan secara komprehensif sehingga menciptakan transparansi antara karyawan dan perusahaan,” kata Viko.