OVO Confirms Partnership with Bank Mandiri, Grab, Alfamart, and MOKA

Lippo Group’s digital wallet service OVO announces a strategic partnership with 4 popular brands in Indonesia. They are Bank Mandiri, Grab, MOKA, and Alfamart. Adrian Suherman, President Director of OVO, in his speech, said the strategic partnership is expected to increase new active users coming from related parties. In addition, OVO intends to be an open platform for public use.

“Cross-acceptance platform partnership held with Bank Mandiri allows users to experience features from each platform. OVO also provides convenience for the cash-in transaction in all Alfamart outlets.”

OVO expects to reach MOKA partners across 200 cities. As the point-of-sale service, MOKA is very useful for SMEs.

Extend partnership

ovooo

Within a year post-launching, OVO claims to have around 5-10 million active users. OVO Devices are available in 350 outlets in 212 cities. It’s still dominated by Jakartans, but users from Medan, Palembang, and Surabaya are getting increased. Extending partnership will OVO’s main focus in 2018.

“The interesting fact is one of the biggest malls in Surabaya, Tunjungan Plaza, is registered with the largest number of partners,” Suherman said.

P2P Scheme and QR Code

ovoooo2

One of the plans OVO’s currently developing is the peer-to-peer (P2P) scheme in-app. Regarding its implementation, Suherman confirms it’s currently in the development stage, and if it’s final, to be launched in Q4 2018.

“We surely will wait for the decision of Bank Indonesia regarding the license. If there’s no problem, It’ll be launched immediately,” he said.

The use of P2P will add to OVO’s implemented technology scheme. Currently, their team is implementing QR Code, as a payment method, aggressively.

PT Visionet International, the OVO’s legal entity, officially acquired the license from Bank Indonesia (BI) as e-money operator mid last year.

Grab and OVO

Ridzki Kramadibrata, Managing Director of Grab Indonesia said the strategic partnership will allow OVO users to make balance top-up directly via Grab drivers which already announced in early July.

He mentioned GrabPay as a payment channel. The payment can be done via cash, credit card, Mandiri E-Cash, and OVO.

Recently, OVO has appointed Jason Thompson as the CEO. He previously was the Head of GrabPay.

“Not only OVO, there are possibility to add partners for Grab’s payment options in the future,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

OVO Tegaskan Kemitraan dengan Bank Mandiri, Grab, Alfamart, dan MOKA

Layanan digital wallet Lippo Group OVO hari ini mengumumkan kemitraan strategis dengan empat brand ternama di Indonesia. Mereka adalah Bank Mandiri, Grab, MOKA dan Alfamart. Dalam sambutannya Presiden Direktur OVO Adrian Suherman mengungkapkan kerja sama strategis ini diharapkan bisa menambah jumlah pengguna aktif OVO baru yang datang dari mitra terkait. Selain itu OVO juga ingin menjadi open platform yang bisa digunakan semua orang.

“Kemitraan cross acceptance platform yang terjalin dengan Bank Mandiri memungkinkan pengguna untuk menikmati fitur dari masing-masing platform. OVO juga memberikan kemudahan untuk transaksi cash-in di semua gerai Alfamart.”

Sementara itu, OVO juga berharap merangkul mitra MOKA yang sudah tersebar di 200 kota. Sebagai layanan point-of-sale, MOKA digunakan berbagai pelaku UKM, mulai dari food truck hingga toko pakaian.

Menambah jumlah mitra

Dalam waktu satu tahun sejak diluncurkan, OVO mengklaim telah memiliki sekitar 5-10 juta pengguna aktif. Perangkat OVO tersedia di 350 gerai di 212 kota. Meskipun masih didominasi pengguna Jakarta, namun saat ini jumlah pengguna dari Medan, Palembang, dan Surabaya mulai menyusul jumlahnya. Penambahan jumlah mitra akan menjadi fokus OVO sepanjang tahun 2018.

“Yang menjadi menarik adalah salah satu mall terbesar di Surabaya, yaitu Tunjungan Plaza, tercatat merupakan jumlah merchant terbanyak OVO,” kata Adrian.

Skema P2P dan QR Code

Salah satu rencana yang saat ini tengah dikembangkan OVO adalah skema peer-to-peer (P2P) dalam aplikasi. Disinggung seperti apa penerapannya nanti, Adrian menegaskan saat ini masih dalam tahap pengembangan dan jika sudah final akan diluncurkan pada Q4 2018.

“Tentunya kita akan menunggu keputusan Bank Indonesia soal lisensi tersebut. Jika sudah dapat lampu hijau akan kita luncurkan segera,” kata Adrian.

Penggunaan P2P akan menambah skema teknologi yang diterapkan OVO. Saat ini pihaknya gencar menerapkan penggunaan QR code sebagai cara pembayaran.

PT Visionet Internasional, pemegang brand aplikasi OVO, resmi mendapatkan izin Bank Indonesia (BI) sebagai penyelenggara uang elektronik (e-money) pertengahan tahun lalu.

Grab dan OVO

Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyebutkan kerja sama strategis yang terjalin memungkinkan pengguna OVO melakukan top up saldo langsung melalui mitra pengemudi Grab yang sudah diperkenalkan awal Juli lalu.

Ridzki menegaskan GrabPay adalah nama kanal pembayaran. Pembayarannya sendiri bisa menggunakan uang tunai, kartu kredit, Mandiri E-Cash, dan OVO.

OVO sendiri baru saja mengangkat Jason Thompson sebagai CEO OVO. Jason sebelumnya adalah Head of GrabPay.

“Bukan hanya dengan OVO. Ada kemungkinan ke depannya kami akan menambah jumlah mitra untuk pilihan pembayaran di Grab,” kata Ridzki.

Application Information Will Show Up Here

Ramai-Ramai Mengembangkan Chatbot

Industri perbankan menjadi sasaran berikutnya yang ‘terganggu’ dengan kehadiran teknologi. Perkembangan teknologi yang tidak terbendung, mau tak mau tidak bisa dilawan, tapi harus jadi kawan.

Inilah yang terjadi ketika bank dihadapi dengan salah satu perkembangan teknologi terkini, chatbot. Sebuah robot yang diprogram untuk membalas pesan dibantu dengan kecerdasan buatan agar percakapan terasal lebih natural. Dari sana, lahirlah Vira (BCA), Cinta (BNI), Mita (Bank Mandiri), dan Sabrina (BRI).

Dalam mengembangkan chatbot, bank tidak harus bekerja keras sendiri, bisa gandeng startup yang spesialis di bidangnya. Ada Kata.ai, Bang Joni, Sprint Asia, Botika, Eva, dan lainnya. Persis seperti yang dilakukan oleh BRI dengan gandeng Kata.ai, Bank Mandiri dengan InMotion, BNI dengan Bang Joni.

Pertimbangannya, tren yang terjadi saat ini melakukan kegiatan perbankan sekarang tidak harus lagi harus datang ke cabang tapi bisa lewat ponsel saja tanpa harus unduh aplikasi tambahan apapun. Cukup pakai aplikasi chat messaging atau sosial media yang dipakai untuk bisa akses layanan bank.

Perlu diketahui, pada dasarnya fungsi chatbot digolongkan ke dalam dua kategori, yakni otomasi percakapan dan kebutuhan fungsional. Untuk otomasi percakapan umumnya sering diimplementasikan oleh pedagang online demi meningkatkan interaksi secara kontinu dengan konsumennya.

Sedangkan kebutuhan fungsional, umumnya dirancang secara spesifk dengan melibatkan fitur lain yang kompleks seperti API khusus, otomatisasi pembayaran dan lainnya.

Untuk tahap awal fungsi chatbot yang dihadirkan keempat perbankan tersebut masih menjalankan fungsi customer service yang ada di lapisan pertama. Bertugas membantu jawab pertanyaan yang sifatnya umum dan repetitif.

Dari fungsinya tersebut, chatbot jadi manuver bank bagaimana menjadikan selayaknya saat nasabah menghubungi CS, yang mana bisa dihubungi kapan saja, tutur bahasa yang ramah, dan dapat diandalkan.

Tidak menutup kemungkinan bank lainnya akan menyusul hal serupa seperti yang dilakukan keempat bank besar ini. Mengapa belakangan bank ramai-ramai lirik peluang dari chatbot?

CEO Sprint Asia Technology Setyo Harsoyo punya jawabannya. Menurutnya, pada dasarnya semua perusahaan termasuk bank ingin meningkatkan engagement dengan para customer-nya. Banyak cara yang sudah dilakukan, seperti lewat situs, call center, email, SMS, dan lainnya.

Kemudian lahirnya teknologi chatbot yang berbeda dari semua channel di atas. Dengan chatbot, nasabah dari suatu bank dapat dengan mudah berhubungan dengan bank karena chatbot bisa melayani secara interaktif ribuan nasabah pada saat bersamaan dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan call center.

“Misalnya untuk dapat melayani 1.000 nasabah pada saat bersamaan cukup dengan satu bot, sementara call center memerlukan 1.000 agen,” terang Setyo.

Menambahkan pernyataan Setyo, CEO Kata.ai Irzan Raditya menuturkan chatbot adalah salah satu pilihan strategis karena mereka menyadari tren yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Aplikasi messaging sudah jadi bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, hal tersebut jadi peluang untuk lebih mudah jangkau nasabah melalui akun chatbot di aplikasi messaging favorit mereka.

“Hal inilah yang menurut kami menjadi kelebihan chatbot di bandingkan aplikasi. Friksi dan upaya yang diperlukan dari nasabah untuk mengakses chatbot jauh lebih kecil dibandingkan meng-install aplikasi, buka situs, atau menelepon CS,” terangnya.

“Terlebih lagi, banyak dari bank tersebut telah berinvestasi di kanal media sosial mereka sebagai sarana marketing untuk menggaet ratusan ribu bahkan jutaan audiens. Maka dari itu chatbot hadir sebagai layanan yang memberikan nilai tambah bagi nasabah mereka dengan berbagai macam kegunaan,” sambung Irzan.

Chatbot adalah suatu keniscayaan

DailySocial pun mencoba menghubungi perwakilan keempat bank tersebut untuk mengutarakan pendapatnya. Semuanya sepakat bahwa chatbot adalah suatu keniscayaan yang sudah saatnya untuk diadaptasi lantaran harus mengikuti tren yang terjadi.

“Teknologi yang dipilih dan dikembangkan tentunya didasarkan atas kebutuhan nasabah dari bank. Kami menerapkan pola customer centric dan research yang memadai sebelum launching suatu produk. Kami pilih chatbot untuk jawab kebutuhan masyarakat yang semakin dinamik lewat digital channel,” ujar Direktur BRI Indra Utoyo.

General Manager E-Banking Division BNI Anang Fauzie menambahkan, “Orang spending waktu lebih banyak di aplikasi chat dan mereka lebih menyukai menerima info dan promo lewat media sosial atau aplikasi.”

Pun demikian bagi BCA, Direktur BCA Santoso bilang, “Adopsi terhadap suatu teknologi harus seirama dengan fokus kami yaitu memberikan pengalaman terbaik bagi nasabah.”

Oleh karenanya, BCA melihat chatbot mampu menyampaikan dengan baik tujuan tersebut. Menurutnya informasi yang disampai Vira tidak hanya terbatas untuk nasabah saja, masyarakat umumpun dapat menikmati informasi-informasi yang diberikan Vira.

Bagi Bank Mandiri, chatbot mampu menciptakan komunikasi dua arah seperti selayaknya menghubungi customer service. Sebelumnya perseroan sudah menggunakan social messaging seperti Line untuk promosi dan edukasi, namun sifatnya hanya satu arah, dan masyarakat tidak bisa berinteraksi lebih lanjut.

“Pada perkembangannya, layanan contact center digital Bank Mandiri melalui email dan media sosial telah mencapai 10% dari total interaksi nasabah ke CS,” ujar Senior VP Customer Care Group Bank Mandiri Lila Noya.

Lila melanjutkan, “Pada tahap awal, nasabah dapat berinteraksi melalui chatbot untuk memperoleh informasi tentang produk, layanan, program promosi, dan informasi finansial. Sebab sekitar 70% nasabah yang berinteraksi dengan CS permintaannya terkait hal tersebut.”

Investasi yang worth it

Sekalinya sudah terjun, tentunya bank tidak bisa mundur begitu saja dari chatbot ini. Apalagi implementasinya ini masih tahap awal. Begitupun bagi BNI, Anang bilang keputusan bank untuk terjun ke chatbot ini worth it dengan manfaat chatbot bagi pengembangan bisnis.

Pihaknya mengaku investasi IT akan terus berlanjut menyesuaikan dengan tren industri. Sayangnya Anang tidak menerangkan lebih detil soal nominalnya.

Santoso pun menddukung pernyataan Anang. “Pastinya dengan shifting dunia yang semakin digital, teknologi jadi komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam semua aspek kehidupan maupun dalam organisasi. Tentunya ini akan seiring dengan jumlah investasi IT yang akan dikeluarkan.”

“Kami melihatnya dari sisi efektifitas dan efisiensi layanan. Melalui chatbot, nasabah dapat lebih mudah berinteraksi dengan Bank Mandiri, sehingga bisa memperkuat loyalitas mereka yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan bisnis bank,” tutur Lila Noya.

Dari kacamata para pengembang, menurut Irzan, biaya pengembangan dan operasional chatbot sangat bervariasi, tergantung pada fitur yang ingin dihadirkan seiring ambisi bank ingin seberapa jauh teknologi AI dan machine learning yang ingin diimplementasikan. Termasuk pula pengaruh berapa banyak pengguna yang ingin disasar.

“Kami sendiri menagih biaya operasional chatbot berdasarkan penggunaan (berapa banyak pesan yang masuk, berapa pengguna yang mengajak ngobrol, berpaa lama sesi percakapan antara chatbot dengan pengguna).”

Berdasarkan pengalamannya, meski tidak tidak disebutkan nominalnya, jumlah investasi di chatbot tidak lebih mahal dari jumlah investasi IT yang biasa dihabiskan oleh perusahaan besar.

Sementara bagi CEO Bang Joni Diatche Harahap, biaya untuk pembuatan chatbot sekarang sudah relatif turun tapi tergantung sistem dan kegunaan apa yang akan dilakukan. Bahkan, di dalam platformnya, biaya pembuatannya sangat terjangkau, relatif tanpa harus lewati proses coding, kecuali untuk fitur yang dikostumisasi untuk spesifik perbankan.

Setyo Harsoyo turut berpendapat, “Biaya sangat relatif, tergantung dibandingkan dengan apa? Jika dibandingkan dengan biaya pengadaan dan pengelolaan call center jelas lebih murah.”

Kendati dianggap sebagai investasi yang worth it, masih ada kekurangan yang dirasa oleh para pemain. Lila Noya berpendapat, meski perekaman data melalui Mita sangat mudah dan dapat jadi bahan evaluasi untuk meningkatkan layanan kepada nasabah dan internal kontrol.

Akan tetapi, pengembangan sistem bot untuk dapat merespons permintaan nasabah yang kompleks masih membutuhkan waktu yang relatif lama.

Senada, Anang Fauzie melihat pengkayaan kosa kata sangat menantang karena akan sangat variatif cara orang bertanya dan berbahasa. Namun hal tersebut bisa diakali dengan mengoptimalkan kecerdasan buatan untuk pelajari bahasa, agar ia semakin pintar deteksi bahasa.

 

Teknologi baru, tantangan baru

Irzan Raditya memahami karena masih implementasi tahap awal, kemampuan chatbot yang diterapkan bank di Indonesia tergolong cukup terbatas. Banyak sekali pengembangan yang perlu dilakukan untuk memastikan chatbot memiliki fungsionalitas sekaya aplikasi atau situs.

Saat ini, sambungnya, tantangan utama untuk chatbot yang diimplementasi di kanal media sosial adalah keamanan data. Ketika chatbot merambah fitur transaksi (core banking), opsi terbaik untuk melakukannya adalah lewat aplikasi atau situs milik bank tersebut.

“Maka dari itu mayoritas chatbot yang ada saat ini masih terfokus di fungsi-fungsi komplementer, seperti CS, cari promo kartu kredit/debit, cari ATM terdekat, cari tahu soal produk, daftar kartu kredit, dan gimmick marketing lainnya. Namun kami yakin di masa yang akan datang, chatbot akan bisa mencapai fungsionalitas lebih baik dari sisi teknologinya.”

Ditambah pula, dari sisi teknis mengenai keamanan data, bank tidak diperkenankan untuk menyimpan data nasabah di server eksternal atau cloud. Semua data dan sistem teknologi harus tersimpan di server milik mereka sendiri (on premise).

Dampaknya, terletak pada biaya investasi yang perlu mereka keluarkan saat mencoba mengimplementasikan teknologi baru karena harus bangun infrastruktur teknologi mereka sendiri. Namun di sisi lain, bank hanya akan berinvestasi pada teknologi yang sudah terjamin mengingat kerumitan yang harus mereka hadapi saat implementasi teknologi baru.

“Dengan berlomba-lombanya bank di Indonesia eksplorasi chatbot, ini menunjukkan chatbot bukan lagi sekadar eksperimen teknologi. Tapi sudah jadi sebuah pilihan teknologi yang strategis untuk proses bisnis mereka.”

Di samping itu, tantangan lainnya yang masih harus dihadapi bank saat implementasi teknologi baru adalah soal regulasinya. Menurut Diatche Harahap, regulasi bank terkesan sangat terlambat untuk mengikuti perkembangan teknologi chatbot dengan AI.

Dia mencontohkan, untuk regulasi pembukaan rekening dan transaksi. Saat ini setelah hampir setahun, tak kunjung ada restu dari regulator padahal kebutuhan utama dari chatbot adalah regulasi yang mendukung.

“Regulasi adalah tantangan terbesar, bukan hanya data,” kata Ache, panggilan akrab Diatche.

Selalu membutuhkan sentuhan manusia

Kendati chatbot adalah robot yang menyerupai manusia, namun perbankan memastikan bahwa mereka akan selalu membutuhkan sentuhan manusia yang nyata dalam memberikan pelayanan kepada nasabah.

“Sampai saat ini, kami belum melihat bahwa robot akan menggantikan manusia 100%. Akan selalu dibutuhkan sentuhan manusia dalam setiap teknologi. Apalagi untuk jenis usaha finansial seperti bank,” kata Santoso.

Bagi bank, berhubungan dengan nasabah secara langsung merupakan sesuatu yang sangat penting. Teknologi atau robot dalam hal ini akan membuat beberapa hal lebih efisiens dan lebih cepat (responsif), baik dari sisi perusahaan maupun nasabah.

Diungkapkan bahwa manusia memiliki unsur relationship yang tidak dapat tergantikan oleh robot. Anang Fauzie menambahkan, chatbot jadi alat untuk bantu dan melengkapi layanan, bukan untuk menggantikan penuh tenaga manusia.

Chatbot, menurutnya, akan membantu tim melayani hal-hal yang simpel namun banyak sekali dibutuhkan atau ditanyakan. Dengan demikian SDM bisa lebih fokus untuk pekerjaan yang lebih kompleks, sehingga tidak menyita waktu mereka.

“Sebagian layanan yang tidak bisa direspon via chatbot misalnya, yang sifatnya konsultatif maka tetap membutuhkan kehadiran layanan manusia,” ucap Indra Utoyo.

Masa depan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina

Tak hanya berguna untuk meringankan beban pekerjaan tim CS, chatbot juga dapat dimaksimalkan untuk keperluan lainnya. Lila Noya mengatakan Mita juga dimanfaatkan perseroan untuk keperluan marketing, menggali kebutuhan nasabah lewat survei dan representasi Bank Mandiri secara korporat.

Selain itu, Anang menambahkan, chatbot dipakai sebagai alat peningkat transaksi dan akuisisi nasabah baru. Serta, data mining untuk mengetahui preferensi nasabah.

“Kelak nasabah bebas memilih sarana atau channel apa yang sesuai dengan keinginan atau preferensi dan pola laku (behavior) yang cocok bagi nasabah,” tandas Santoso.

Sejauh ini bisa dikatakan BCA sebagai bank pelopor yang menghadirkan Vira ke publik pada pertengahan tahun lalu. Santoso menuturkan dampaknya bagi perusahaan adalah peningkatan pengguna dan interaksi dengan nasabah setiap bulannya. Sayangnya, dia tidak disebutkan berapa angka detailnya.

Bagi BCA, hal tersebut menjadi pencapaian yang positif karena semakin sering Vira diajak ngobrol, dia akan semakin “pintar”.

Sedangkan bagi Cinta, dampak bagi BNI adalah perseroan dapat menyebarkan informasi dengan biaya yang rendah karena lewat aplikasi messaging.

“Dengan demikian setiap blast promo yang kami kirimkan dapat dilihat langsung oleh user lewat gadget mereka,” terang Anang.

Perjalanan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina masih sangat panjang. Masih banyak sekali fitur-fitur yang bisa dikembangkan dan akan terus bertambah. Inisiasi empat bank beraset terbesar di Indonesia ini dengan memulainya lebih dahulu bisa menjadi faktor pemicu untuk bank lainnya melakukan hal serupa.

OVO Partners with Bank Mandiri to Boost New Subcribers

OVO, Lippo Group’s fintech and loyalty platform, announces a business partnership with Bank Mandiri to fulfill its ambition in facilitating financial inclusion in Indonesia.

Mandiri’s e-cash, e-money, debit, and credit card customers can do all transactions at OVO’s merchant partners. Similar terms apply to OVO‘s users to increase cashless transaction growth for both companies.

However, the implementation won’t be available immediately. It will be available by mid-year or the third quarter of 2018.

“Therefore, Bank Mandiri’s EDC machine will be accepting OVO’s transaction. Moreover, it will be distributed to the merchants which yet to own EDC machine. We’ll [OVO and Bank Mandiri] do co-marketing [effort] so all promos can be enjoyed by customers from both companies,” Adrian Suherman, OVO’s CEO, said (3/29).

Furthermore, OVO will be accepting Mandiri service in its app and making use of Mandiri’s network such as ATM and Mandiri Online as the supporting infrastructure.

Users can top-up and withdraw OVO’s cash balance through Bank Mandiri. There will also be offerings for the credit facility, investment products, and other features.

“As the leading banking company in Indonesia, we always embrace new innovations. In this digital era, working with the technology company is one way to increase interoperability,” Rico Usthavia Frans, Bank Mandiri’s Director of Technology and Operations, said.

Bank Mandiri’s EDC machine is claimed to have been distributed to 250 thousand merchants, while OVO has around 23 thousand merchants in 209 cities throughout Indonesia. OVO has 9.5 million customers with 60% are women between 23-35 years old.

OVO’s next step is to partner with fintech companies and other bankings to improve acceptance in making transaction anywhere.

Aiming for 20 million users

Besides partnering with Bank Mandiri, OVO also initiates some new features to give added value to customers. By the end of this year, OVO’s users should reach 15-20 million. Its current number is 9.5 million.

“Honestly, the initial target of users have been achieved. Therefore, we’ll aim for a higher number by the end of this year, for 15-29 million users.”

Suherman said that the increasing number of users can be observed from parking promo in Lippo Group’s malls. In addition, many users are interested in the redeem point program through the app.

In terms of product innovation, there will be many improvements to be introduced. Recently, OVO Invest is available for mutual funds transaction. The company partners with Cipta Dana for money market mutual funds. It’s currently in beta version.

It completes OVO’s initial products consist of OVO Points as a loyalty program, OVO Cash as electronic money for all transactions. Customers can use OVO app to top up, transfer, pay bills, and for insurance.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Aliansi dengan Bank Mandiri, Strategi OVO Dongkrak Pengguna Baru

Platform fintech dan loyalitas pelanggan milik Grup Lippo OVO mengumumkan aliansi bisnis dengan Bank Mandiri demi mewujudkan ambisinya untuk membuka ekosistem untuk akses pembayaran seluas-luasnya.

Nantinya baik pengguna kartu debit, kartu kredit, e-money, dan e-cash dapat bertransaksi di jaringan merchant yang telah bermitra dengan OVO. Begitu pun bagi pengguna OVO, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan transaksi non tunai bagi kedua perusahaan.

Hanya saja implementasi dari aliansi ini belum bisa dinikmati segera oleh para pengguna. Sebab baru akan diluncurkan pada kisaran pertengahan tahun atau paling lambat kuartal ketiga tahun ini. Sekarang kedua perusahaan baru teken kerja sama lewat penandatanganan kesepahaman sebagai seremonialnya.

“Jadi nantinya di mesin EDC Bank Mandiri bisa menerima transaksi dari OVO. Kemudian akan digulirkan ke lokasi merchant yang belum ada mesin EDC. Kami berdua akan buat co-marketing sehingga promo-promo bisa dipakai untuk pengguna dari kedua perusahaan,” terang CEO OVO Adrian Suherman, Kamis (29/3).

Tak hanya soal membuka akses pembayaran jadi lebih luas, kerja sama ini akan diseriusi untuk di bawa ke tahap lebih lanjut. Ke depannya, OVO akan menerima layanan Mandiri di aplikasinya dan dapat memanfaatkan jaringan elektronik Bank Mandiri seperti ATM dan Mandiri Online sebagai infrastruktur pendukung.

Pengguna OVO juga bisa isi ulang saldo OVO Cash dan tarik dana melalui jaringan Bank Mandiri. Bakal tersedia pula penawaran untuk fasilitas kredit, produk investasi, dan masih banyak lagi.

Bagi Bank Mandiri aliansi ini sangat berguna bagi perseroan untuk meningkatkan interoperabilitas dengan perusahaan teknologi seperti OVO. Pihaknya juga berharap dapat memperoleh nasabah baru dari pengguna OVO yang sebelumnya bukan nasabah perseroan.

“Kami selaku perusahaan perbankan terdepan di Indonesia, selalu berusaha untuk terbuka terhadap inovasi. Terlebih di era digital ini, bekerja sama dengan perusahaan teknologi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan interoperability,” ucap Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri Rico Usthavia Frans.

Diklaim mesin EDC Bank Mandiri telah tersebar di 250 ribu merchant, sementara OVO sekitar 23 ribu merchant yang tersebar di 209 kota di seluruh Indonesia. OVO memiliki 9,5 juta pengguna, dengan profil demografi 60% di antaranya adalah perempuan, berusia 23-35 tahun.

Tak berhenti di sini, ke depannya OVO akan kembali menjalin kemitraan dengan perusahaan fintech dan perbankan lainnya untuk kemitraan sejenis demi meningkatkan akseptasi untuk bertransaksi di mana pun.

Bidik sampai 20 juta pengguna baru

Di samping bermitra dengan Bank Mandiri, OVO juga melakukan sejumlah inisiatif penambahan fitur untuk memberi nilai tambah bagi penggunanya. Ditargetkan sampai akhir tahun ini pengguna OVO dapat mencapai 15-20 juta pengguna dari posisi saat ini 9,5 juta.

“Jujur saja untuk target awal yang kita bidik untuk jumlah pengguna sudah tercapai. Untuk itu kami bidik angka lebih tinggi sampai akhir tahun ini di angka 15-29 juta pengguna.”

Menurut Adrian, faktor yang mendongkrak jumlah pengguna terlihat dari promo bayar parkir yang diadakan dalam mal jaringan Grup Lippo. Berikutnya adalah layanan redeem point untuk setiap transaksi lewat aplikasi, pengguna tertarik untuk memanfaatkannya.

Dari segi produk, bakal ada banyak pengembangan untuk para pengguna. Produk yang belum lama ini diluncurkan adalah OVO Invest untuk jual beli reksa dana. Dalam hal ini perusahaan bekerja sama dengan Ciptadana untuk produk reksa dana pasar uang. Fitur tersebut masih hadir dalam bentuk beta.

Kehadiran fitur tersebut, melengkapi produk awal OVO sejak pertama kali berdiri di 2016, yakni OVO Points yang merupakan program loyalitas pelanggan untuk pelanggan merchant rekanan atau mitra OVO. Dari poin yang dikumpulkan, pengguna dapat menukarnya dengan berbagai penawaran di setiap rekanan OVO.

Terdapat juga OVO Cash, produk uang elektronik yang dapat digunakan untuk pembayaran berbagai transaksi. Pengguna dapat top up, kirim dana ke OVO dan non OVO, bayar tagihan listrik, beli pulsa, dan bayar asuransi.

Application Information Will Show Up Here

PrivyID Siap Sambangi Empat Negara, Pasarkan Tanda Tangan Digital

Startup penyedia jasa tanda tangan digital PrivyID tengah mempersiapkan ekspansi ke empat negara pada tahun depan seiring upaya memperluas penetrasi bisnis. Rencananya keempat negara yang akan dipilih adalah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Australia.

CEO PrivyID Marshall Pribadi menuturkan rencana tersebut akan diselenggarakan pasca perolehan dana segar untuk putaran Seri A. Belum direncanakan bentuk nyata ekspansi tersebut, apakah PrivyID akan membentuk badan hukum di sana, menggandeng mitra lokal, atau sekadar berdagang lewat iklan digital saja.

“Paling tidak kami bisa ekspansi ke Asia Tenggara, inginnya bisa ke sana. Sebab dari regulasi UU ITE, Indonesia tergolong sangat ketat dibandingkan negara persemakmuran Inggris, seperti India, Malaysia, dan Singapura. Sehingga bila aturan di sini [Indonesia] kami sudah comply, pasti secara otomatis juga akan comply dengan aturan di sana,” terang Marshall, akhir pekan lalu.

Atas keyakinannya tersebut, pihaknya yakin dapat bersaing dengan perusahaan sejenis di skala global yang diklaim jumlahnya telah mencapai lebih dari 100 perusahaan. Beberapa di antaranya DocuSign, HelloSign, dan masih banyak lagi.

Perusahaan diklaim sebagai startup pertama yang telah mengantongi sertifikat ISO 27001:2013 untuk menjamin keamanan dan kerahasiaan data pengguna pada akhir Januari 2017. Sertifikat tersebut umumnya hanya dimiliki oleh perusahaan besar seperti perbankan, operator telekomunikasi (XL Axiata), lembaga pemerintah (situs pelaporan Ditjen Pajak), dan perusahaan asing (Google for Business).

“Sekarang standar keamanan PrivyID sudah diakui lembaga internasional setara dengan standar keamanan Ditjen Pajak, bahkan perusahaan sekelas Google.”

Selain itu, perusahaan juga telah terdaftar di Kominfo sebagai otoritas untuk menerima pendaftaran, memverifikasi, serta menerbitkan sertifikat elektronik (CA) dan tanda tangan elektronik untuk masyarakat Indonesia.

Rampungkan dana segar baru

Sebelum rencana ekspansi mancanegara ini diwujudkan, Marshall menuturkan tahun ini pihaknya ingin menambah pengguna dari kalangan individu jadi sebanyak tiga juta orang dan 200 pengguna korporasi.

Agar target tersebut terwujud, perusahaan siap meluncurkan beberapa layanan baru agar semakin relevan dengan kesulitan yang biasa dihadapi perusahaan. Untuk itu, PrivyID disebut hampir merampungkan proses penggalangan dana Seri A senilai US$5 juta (lebih dari 71 miliar Rupiah) berbentuk convertible note.

Convertible note adalah surat utang yang dapat diterbitkan startup. Investor diberi opsi apakah ingin mengonversinya jadi bentuk saham atau dikembalikan saat jatuh tempo.

Marshall melanjutkan pada penggalangan dana ini hampir seluruh investor lama berpartisipasi dan ada tambahan investor baru dari perusahaan lokal dalam nilai yang lebih kecil dibandingkan investor lama. Kendati demikian, dia masih enggan menuturkan lebih detil mengenai investasi ini.

“US$5 juta itu sebagian besar telah terpenuhi. Satu investor lagi dalam jumlah lagi tahap finalisasi sehingga belum bisa diumumkan. Mungkin sekitar satu atau dua bulan lagi [bisa diumumkan].”

Saat ini PrivyID memiliki empat investor, yakni Mandiri Capital Indonesia, MDI Ventures, Gunung Sewu, dan Mahanusa Capital. MDI Ventures diklaim sebagai pemegang saham terbesar di antara ketiga lainnya dengan persentase kepemilikan hampir 20%. PrivyID memperoleh pendanaan Pra Deri A tahun lalu yang dipimpin MDI Ventures dengan nilai yang tidak disebutkan.

Kinerja bisnis

Sejak meluncur secara resmi pada awal 2016 lalu, hingga kini PrivyID telah digunakan perusahaan seperti Telkom, Bank Mandiri, BNI, Bussan Auto Finance, AwanTunai, KlikAcc, dan sebagainya. Secara total layanannya telah digunakan oleh 1,2 juta pengguna individu dan sekitar 70 korporasi.

Legal & Compliance Manager of Digital Service Division Telkom Indonesia Marlina mengatakan, sejak menjadi pengguna PrivyID sejak November 2016, perseroan telah menandatangani secara digital 112 perjanjian kerja sama dengan mitra atau mencapai 56% dari seluruh total perjanjian per Maret 2018.

Adapun kerja sama kemitraan dilakukan antara Telkom dengan anak usaha, mitra lokal dan global, startup lokal dan global, dan karyawan magang. Pada tahap berikutnya, Telkom akan memanfaatkan tanda tangan digital untuk diterapkan saat proses penagihan.

“Tanda tangan digital itu lebih fleksibel karena bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Ini masih inisiasi awal, berikutnya akan kami pakai layanan ini untuk proses penagihan. Kami sudah adakan workshop untuk proses edukasinya,” terang Malina.

Pengguna lainnya, startup p2p lending KlikACC mengungkapkan, implementasi layanan PrivyID dapat memotong proses registrasi dari 11 hari menjadi 2 jam. Alhasil nilai pinjaman meningkat dari ratusan juta menjadi miliaran dalam sebulannya.

“Kami sekarang sudah 100% pakai tanda tangan digital untuk pengisian dokumen. Dari hasil obrolan kami dengan peminjam, bagi mereka kecepatan [pencairan dana] itu yang utama, baru kemudian bunganya,” ucap Sales & Marketing Director KlikACC Iwan.

Pun demikian bagi startup fintech lainnya seperti AwanTunai. COO Awan Tunai Windy Natriavi menuturkan setelah memanfaatkan PrivyID, pihaknya dapat memproses sekitar 1.000 dokumen setiap bulannya.

“Kita jadi yang tercepat untuk lending offline karena dalam 15 menit bisa langsung cair. Kalau pakai manual bisa dua hari,” kata Windy.

Untuk model bisnis, perusahaan melakukan monetisasi dengan menyediakan paket bertarif mulai dari Rp35 ribu untuk 10 dokumen. Sebelum menggunakan tanda tangan digital dari PrivyID, pengguna harus mengunggah foto diri dan KTP, memasukkan data pribadi seperti alamat email, nomor telepon, tanda tangan, hingga informasi tempat kerja, hingga riwayat pendidikan.

Seluruh data tersebut akan diverifikasi PrivyID, salah satunya dengan memanfaatkan data dukcapil. Tersedia pula dashboard untuk memantau seluruh progress dokumen yang sudah diunggah, apakah sudah ditandatangani anggota atau belum.

“Dari model bisnis ini, peningkatan volume bisnis kami mencapai 30% dengan omzet hampir Rp1 miliar dalam sebulan. Kami akan coba tingkatkan fitur dalam dashboard sehingga pengguna bisa lebih optimal dalam memantau progres dokumen,” pungkas Marshall.

Susul Bank Besar Lain, Bank Mandiri Perkenalkan Chatbot “Mita” [UPDATED]

Bank Mandiri perkenalkan chatbot Mita (Mandiri Artificial Assistant) sebagai upaya meningkatkan kualitas layanan kepada nasabah. Mita dapat diakses melalui platform Line, Facebook Messenger, dan Telegram.

Dalam menghadirkan layanan ini, Bank Mandiri menggandeng perusahaan AI lokal InMotion sebagai perusahaan teknologinya dengan domain knowledge yang disiapkan langsung tim Bank Mandiri untuk isi kontennya. Di tahap awal, Mita dipersiapkan untuk menjawab informasi seputar info produk dan layanan, promo dan event, cek lokasi cabang dan ATM.

Direktur Operasional Bank Mandiri Ogi Prastomiyono menuturkan Mita adalah salah satu langkah transformasi digital perseroan dalam memberikan layanan yang lebih efektif, efisien, dan consumer oriented. Menurut data internal, interaksi melalui layanan contact center (email dan media sosial) tahun lalu mengalami peningkatan frekuensi sekitar 40% ketimbang tahun sebelumnya.

Dari rasio tersebut, interaksi nasabah untuk permintaan informasi sekitar 51%, permintaan bantuan 28%, dan keluhan 21%. Porsi dari interaksi jalur ini cukup kecil yakni sekitar 10% dari total interaksi antara 600 ribu-700 ribu kali interaksi pada tahun lalu.

“Artinya kanal digital ini semakin diminati nasabah dan non nasabah, seiring dengan perkembangan smartphone. Mudah-mudahan, chatbot yang memanfaatkan Natural Language Processing (NLP) ini, dapat mempercepat dan memudahkan interaksi nasabah dengan bank,” tutur Ogi, Senin (19/3).

Direktur Digital Banking & Technology Rico Usthavia Frans menambahkan, kehadiran Mita dapat mengurangi beban kerja, sekaligus memfilter layanan mana yang bisa difokuskan untuk ditindaklanjuti oleh tim contact center. Pasalnya, mayoritas interaksi yang masuk ke perseroan sekadar meminta bantuan informasi seputar produk perbankan.

“Mita akan bantu pertanyaan umum yang biasa ditanyakan nasabah, sehingga bisa mengurangi beban tim contact center Bank Mandiri yang berlokasi di tiga tempat, Menara Mandiri, Rempoa, dan Yogyakarta,” terangnya.

Rico melanjutkan Mita adalah salah satu dari investasi IT perseroan dengan mengalokasi capex sebesar US$120 juta (sekitar Rp1,6 triliun) pada tahun ini. Dalam anggaran capex tersebut, perseroan mengalokasikannya untuk peningkatan keamanan TI, pengembangan dan perbaikan teknologi baru, membangun data center, dan sebagainya.

Rencananya tahun ini, Bank Mandiri akan menambah satu lokasi data center baru di Surabaya.

Rilis tampilan baru situs

Selain memperkenalkan chatbot Mita, Bank Mandiri juga merilis tampilan baru situs perseroan demi memudahkan masyarakat berinteraksi dan mencari informasi. Di dalam situs, nasabah bisa memblokir kartu, cari informasi produk yang mendukung keterbukaan informasi perusahaan.

Situs Bank Mandiri tercatat memiliki jumlah pengunjung sebanyak 155 ribu per hari. Adapun, jumlah nasabah tabungan Bank Mandiri mencapai 21,9 juta dan 1,8 juta nasabah kredit hingga akhir tahun lalu.

Kehadiran Bank Mandiri lewat layanan chatbot ini semakin memanaskan persaingan perbankan dalam menyambut era digital dengan memanfaatkan chatbot demi meningkatkan interaksi dengan nasabah existing maupun upaya akuisisi nasabah baru. Sebelumnya, bank-bank besar lain, seperti BCA (Vira), BNI (Cinta), dan BRI (Sabrina) telah lebih dahulu meluncurkan layanan serupa.


*Kami menambahkan nama perusahaan AI yang digandeng Bank Mandiri

Go-Jek Klaim Kuasai 30% Transaksi Non Tunai Seluruh Indonesia

Dalam artikel yang dipublikasi Go-Jek, Go-Pay diklaim telah berkontribusi untuk 30% transaksi non tunai di seluruh Indonesia per Oktober 2017. Tidak dijelaskan seberapa besar perputaran dana yang terjadi dalam kurun waktu tersebut.

Pihak Go-Jek menyebut secara rerata penggunaan Go-Pay untuk transaksi setiap bulannya tumbuh 25%, nominal pengisian ulang (top up) juga meningkat sampai 15%. Pertumbuhan pengguna Go-Pay diklaim bertambah hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Ada tiga alasan yang diungkapkan pengguna memilih Go-Pay, yaitu adanya promo atau potongan harga, tidak perlu menyiapkan uang tunai, dan mudah digunakan. Go-Jek menyebut dengan seluruh penawaran tersebut, pengguna dapat menghemat hingga Rp200 ribu per bulannya.

Per November 2017, Go-Pay telah memproses pengiriman uang dari Jabodetabek dengan total Rp570 juta ke beberapa titik di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.

“Go-Pay akan terus tumbuh. Tidak hanya untuk Go-Jek, tapi juga untuk keseluruhan ekonomi digital,” kata CEO Go-Jek Nadiem Makarim dalam artikel tersebut.

Secara industri, Bank Indonesia baru memberi izin kepada 26 perusahaan sebagai pemain uang elektronik. Hingga Oktober 2017, secara volume transaksi mencapai 600,5 juta transaksi senilai Rp8,76 triliun.

Dikutip dari Bisnis, Direktur Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eny V Panggabean menyatakan transaksi uang elektronik merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam transaksi non tunai.

“Rata-rata transaksi uang elektronik mencapai 2,3 juta transaksi per hari dengan nominal Rp2,8 triliun,” kata Eny.

Transaksi non tunai memakai ATM/debit mencapai 15,5 juta transaksi per hari dengan nilai Rp16,6 triliun. Sedangkan transaksi harian dengan kartu kredit mencapai 872 ribu transaksi dengan nilai Rp802 triliun.

Disangsikan bankir

Pernyataan Go-Jek di atas, membuat beberapa bankir sedikit sangsi. Pasalnya, transaksi non tunai itu tidak hanya uang elektronik saja, tapi juga terdapat kartu debit, kartu kredit, hingga ATM.

Direktur Perbankan Digital dan Teknologi Bank Mandiri Rico Usthavia Frans menuturkan bila Go-Jek mengklaim transaksi non tunai yang dimaksud adalah transaksi uang elektronik, klaim tersebut akan masuk akal.

“Transaksi non tunai itu ada banyak sumbernya, bisa dari e-money, kartu kredit, debit, dan ATM,” katanya kepada DailySocial.

Pun demikian Direktur BCA Santoso Liem. Dia bilang, uang elektronik itu juga terbagi jadi dua jenis, server base dan card base. Akan tetapi, menurutnya, porsi uang elektronik masih kecil dibandingkan transaksi ritel lainnya.

“Kalau transaksi non tunai kan termasuk debit, kartu kredit, ATM dan lain-lain, jadi masih sangat jauh.”

Produk uang elektronik Bank Mandiri, E-Money, secara total (sejak pertama kali diluncurkan) hingga sekarang telah memproses lebih dari 510 juta transaksi dengan nilai Rp5,45 triliun. Jumlah kartu beredarnya mencapai 13 juta keping, dengan rincian 220 ribu di antaranya co-branding dengan enam bank. Penggunaan transaksi banyak dipakai untuk pembayaran tol dan transportasi umum.

Flazz BCA sendiri sudah memiliki kartu beredar sebanyak 12 juta keping.

Fintech di sektor pembayaran dan peminjaman akan jadi primadona

Digital Artha Media (DAM) meramal fintech yang bergerak di sektor pembayaran dan peminjaman akan tetap merajai industri fintech pada tahun depan. Kedua kategori tersebut dianggap adalah kebutuhan dasar yang dibutuhkan masyarakat.

Managing Director DAM Fanny Verona menjelaskan fintech sektor pembayaran akan semakin dibutuhkan karena ada kemampuan untuk menambang data. Data tersebut dibutuhkan oleh pelaku industri, seperti e-commerce, untuk mengetahui kebiasaan belanja konsumen.

Sementara itu, untuk fintech sektor peminjaman masih akan tetap dicari karena layanannya yang mudah. Terlebih, di Indonesia ada segmen khusus yang gandrung dengan gaya hidup berutang.

“Entah kenapa masyarakat kita ada yang suka sekali kredit, misal beli ponsel yang harganya di luar jangkauan mereka,” terang Fanny, Kamis (21/12).

Berdasarkan data dari Asosiasi Fintech Indonesia dan OJK, pelaku fintech di Indonesia masih didominasi sektor pembayaran (43%), pinjaman (17%), dan sisanya adalah agregator, crowdfunding, personal or financial planning, dan lainnya.

Industri “Gaming”: Digemari Tapi Sulit Dimodali

Industri game masih dianggap menjadi barang asing di mata pemain jasa keuangan, mulai dari perbankan hingga modal ventura. Jangan heran jika jumlah pembiayaan modal kerja bagi industri ini masih minim. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Gaming Industry harus mengandalkan modal dari pihak asing untuk terus mengembangkan usahanya.

Bisnis game yang memiliki faktor X (faktor ketidakpastian) dianggap menjadi titik lemah bagi pemain jasa keuangan lokal. Ketidakpastian yang dimaksud adalah meski produk sudah dibuat sesuai riset pasar dan memakai talenta berbakat, masih ada kemungkinan besar untuk gagal.

Keunikan dan ketidakpastian pasar dan keuntungan membuat hanya sedikit pemodal yang berani terjun. Beberapa nama perusahaan modal ventura lokal yang sudah berinvestasi di perusahaan game adalah Ideosource dan Maloekoe Ventures. Untuk modal ventura asing ada Discovery Nusantara Capital (DNC).

Berbeda dengan perbankan, pembiayaan melalui Modal Ventura dilakukan melalui penyertaan saham. Jadi, modal tunai disuntikkan dan ditukar dengan sejumlah saham kepemilikan.

Kisah investasi di startup gaming

Ideosource pernah berinvestasi putaran seri A untuk perusahaan game lokal Touchten dengan nilai yang dirahasiakan di 2011. Investasi tersebut adalah kick off Ideosource sejak pertama kali berdiri. Meski nilai investasi tidak disebutkan, namun kisaran nilai investasi seri A US$1 juta-US$4 juta (Rp13 miliar-Rp52 miliar). Seluruh sumber dana investasi yang digunakan Ideosource berasal dari dana keluarga lokal dengan nama dirahasiakan.

Touchten Games dapatkan pendanaan untuk kembangkan industri

Managing Director Ideosource Andi S Budiman menuturkan pihaknya memilih Touchten sebagai investasi perdana karena pada saat itu baru Touchten satu-satunya yang memiliki mobile game dengan jumlah unduhan lebih dari 1 juta kali. Hal ini melatarbelakangi Ideosource untuk berkeyakinan bahwa Touchten memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar.

Founder Touchten punya trik tersendiri untuk membuat perusahaan mampu bertahan. Salah satunya berkolaborasi dengan brand terkenal, dengan menggabungkan variasi game dari digital sampai kartu berbentuk fisik. Lalu dipasarkan dengan penggabungan online dan offline (O2O).

“Dari situ kami berkeputusan bahwa perusahaan ini punya up side bisnis yang tinggi. Benar kejadian tiga tahun kemudian, saat mereka berhasil mendapat investor dengan nilai valuasi 7 kali lipat dari saat kami masuk,” kata Andi.

Touchten terhitung menjadi perusahaan game lokal teraktif yang mendapatkan pendanaan dari investor. Namun seluruhnya berasal dari asing, yakni perusahaan teknologi konglomerat Jepang Cyber Agent Ventures, perusahaan animasi Jepang TMS Entertainment, private equity UOB Venture Management, perusahaan mobile game Jepang Gree, modal ventura Amerika Serikat 500 Startups, dan DNC.

Modal ventura asing yang terhitung menjadi investor teraktif berinvestasi di perusahaan game lokal adalah DNC. Ada tiga perusahaan game lokal yang masuk ke dalam portofolio DNC, yaitu Touchten, Toge Productions, dan Arsanesia.

DNC fokus ke investasi tahap awal (seed stage). Biasanya besaran nilai investasi dalam tahap ini US$50 ribu-US$1 juta (Rp650 juta-Rp13 miliar). DNC adalah perusahaan patungan antara Hangzhou Zhexin IT Co., Ltd. (Zhe Xin IT) dengan Project Discovery Ltd. dan Qomolangma Ltd. yang didirikan September 2016.

DNC didirikan khusus berinvestasi di sektor game di Asia Tenggara, dengan fokus utama di Indonesia.

Tim DNC / DNC
Tim DNC / DNC

Zhe Xin IT adalah anak usaha dari Zhejiang Jinke Entertainment Culture Co., Ltd. Pada awalnya Zhe Xin IT adalah perusahaan game yang berdiri pada tahun 2010. Seluruh dana investasi DNC berasal dari kombinasi antara Limited Partner dan Angel investor.

Sebagai modal ventura yang paham dengan siklus perusahaan game, Managing Partner DNC Irene Umar menjelaskan alasan DNC terjun ke sektor ini. Ia menjelaskan, selain karena ada hubungan dengan afiliasi perusahaan game, juga karena tidak ada modal ventura yang mau fokus investasi ke industri game. Yang terakhir ini, menurut DNC justru sebuah peluang.

Dia menilai DNC memiliki kemampuan transfer pengetahuan dari jaringan investor yang mereka miliki ke para talenta lokal. Hal ini ditambah bonus demografi dan potensi bisnis yang besar. Oiya, yang juga penting adalah para personil DNC gemar bermain game.

“Ketika kami memutuskan bahwa DNC khusus investasi ke game, banyak yang bilang kami itu gila. Sebab pada saat itu, banyak perusahaan game yang tidak tahu bagaimana cara kerja VC [Venture Capital – Red] dan sebagainya. Kami harus melakukan edukasi bahwa VC adalah elemen penting yang sempat hilang pada tahun lalu dalam ekosistem game. Kami pun bangga dapat masuk mengisi kekosongan gap tersebut,” terang Irene.

Dalam mengukur portofolio perusahaan yang akan diinvestasi, ada beberapa parameter keuangan yang dipakai DNC. Di antaranya pendapatan, operating expenditure (opex), arus kas, dan laba bersih. Semua parameter ini dilihat secara historis maupun proyeksi yang harus sesuai dengan rencana bisnisnya.

Intinya, sambung Irene, arah perusahaan harus didorong oleh visi founder yang kemudian diterjemahkan ke dalam rencana bisnis. Tujuannya untuk menentukan langkah apa yang diambil selanjutnya dan sesuai tujuan mereka. “Semuanya akan berakhir ke keuangan mereka. Kuncinya, ada di founder itu sendiri.”

Menurutnya, perusahaan hanyalah kendaraan dan motor penggeraknya berasal dari orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu, DNC cenderung melihat secara dekat karakter founder dan mencoba untuk memahami visi mereka, menilai kemampuannya untuk mengeksekusi, dan tingkat kemampuan yang dapat mereka hadapi dalam kesuksesan.

Jadi ide itu sesuatu yang murah karena yang terpenting adalah eksekusi. Menaiki tangga menuju kesuksesan lebih mudah daripada mempertahankannya.

“DNC bercita-cita ingin mendukung perusahaan portofolio kami ke puncak. Tapi akan terserah mereka apakah bersedia untuk tetap melangkah atau tetap di posisi puncak.”

Industri gaming di kacamata perbankan

Pelaku jasa keuangan di Indonesia, baik perbankan maupun modal ventura lokal, masih enggan mempercayakan uangnya di perusahaan game. Alasannya klasik, karena bank menyalurkan dana masyarakat, sehingga perlu rekam jejak perusahaan dan sudah memiliki cash flow yang lancar sebagai jaminan keberlangsungan usaha. Tak ketinggalan, perlu aset fisik sebagai jaminan utamanya.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengaku belum memberikan kredit untuk perusahaan game. Menurutnya, kredit itu prinsipnya adalah menggunakan dana masyarakat untuk membantu masyarakat yang mau berbisnis. Untuk itu perlu ada prinsip bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki pengalaman di bisnis tersebut, ada jaminan cukup, referensi bisnis dari temannya.

“Jadi memang ketat [persyaratannya]. Kalau industri kreatif tersebut memenuhi persyaratan akan kita berikan. Sayangnya belum banyak,” tutur Jahja.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Meski bukan bergerak di ekonomi kreatif, salah satu perusahaan digital yang pernah ‘lulus’ dan mendapatkan kredit dari BCA adalah Tiket.com. Jahja menuturkan Tiket mendapat kredit sebesar Rp100 miliar dengan mengagunkan laporan keuangan yang diakumulasi selama tiga tahun.

“Tiket.com pakai agunan kok laporan keuangan dan account. Mereka dapat kredit bukan untuk jangka panjang. Mereka itu agak unik karena 80% penjualan mereka melalui channel BCA, untuk kartu kredit, transfer dan lainnya. Fasilitasnya juga lebih banyak sebagai overdraft untuk weekend dan hari libur.”

Bank Mandiri juga berpendapat sama. Perusahaan game dianggap memiliki risiko dan ketidakpastian yang tinggi. Kendati demikian, perseroan terus membuka kemungkinan untuk menjadikan perusahaan game sebagai debitur. Asalkan perusahaan tersebut memiliki kejelasan bisnis, pasar, dan domisili usaha. Malah, perseroan membuka kesempatan kolaborasi B2B untuk para perusahaan game dalam hal sistem pembayaran. Misalnya, co-branding kartu, pembayaran dengan mesin EDC, atau lainnya.

“Bank Mandiri apabila diposisikan sebagai technical aqcuiring, kami bisa bantu. Tidak harus selalu bentuk loan, jadinya ini saling win win,” kata Senior Vice Presiden Bank Mandiri Rahmat Broto Triaji.

Senada dengan Bank Mandiri, Bank Permata berkeyakinan bahwa industri kreatif, terutama digital adalah industri yang mempunyai prospek baik di masa yang akan datang.

“Kami terus mempelajari industri semacam ini dari waktu ke waktu. Bila dipandang layak, maka kemungkinan akan dibiayai,” ucap Direktur Ritel Bank Permata Bianto Surodjo.

Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock
Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock

Sedikit berbeda dengan BNI. Kendati belum terjun ke perusahaan game untuk memberikan kredit, namun perseroan mengaku akan perlahan-lahan masuk ke sektor industri kreatif. Sejauh ini sektor yang sudah masuk dalam portofolio BNI didominasi oleh kuliner, kerajinan, dan fesyen. Total kredit yang telah disalurkan BNI untuk sektor tersebut sebesar Rp3,5 triliun per Juni 2017 dengan total debitur 5 ribu orang.

“BNI sudah bekerja sama dengan beberapa startup berbasis digital untuk membiayai kegiatan usahanya, antara lain TaniHub dan membiayai penjual yang tergabung dalam [layanan] e-commerce Tokopedia dan Lazada. Skema unik yang akan kami kembangkan ke subsektor lainnya adalah perfilman, desain, dan lainnya,” terang Direktur Perencanaan & Operasional BNI Bob Tyasika Ananta.

Dari data terakhir yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), realisasi penyaluran kredit dari perbankan untuk ekonomi kreatif sebesar Rp121 triliun atau 2,87% terhadap total kredit perbankan Rp4.213 triliun sepanjang September 2016.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Bagi modal ventura lokal, industri game belum begitu menarik karena bisnisnya yang unik, cenderung riskan untuk dimasuki karena perlu orang yang benar-benar paham dengan industri tersebut.

Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengatakan tidak banyak investor lokal yang paham dengan siklus bisnis dari perusahaan game. Hal ini yang mengakibatkan banyak perusahaan game lokal akhirnya melarikan diri ke modal ventura asing untuk mendapatkan bantuan pendanaan.

“Karena untuk investasi ke sektor manapun butuh ahli yang paham, sehingga tidak banyak perusahaan game yang menerima funding dari ventura lokal. Buat game itu sama seperti artis yang produksi film, jadi lebih unsur gambling-nya kalau enggak ngerti,” ujar Donald.

Dia menambahkan, di Indonesia itu lebih banyak perusahaan game yang bertindak sebagai publisher, membawa game dari luar untuk dipasarkan di Indonesia. Bagi investor itu bukan sesuatu yang bernilai tinggi karena posisinya mereka hanya menjadi penyokong dana untuk kegiatan pemasaran.

Amvesindo melihat tren modal ventura saat ini lebih banyak yang fokus pendanaan untuk sektor financial technology (fintech) dan layanan e-commerce.

Langkah Bekraf

Untuk menstimulasi industri kreatif, sejak pertengahan tahun ini Bekraf mendapat persetujuan dari pemerintah untuk memberikan dana hibah bersumber dari kantong Bekraf sendiri lewat program Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Bekraf mengalokasikan dana hibah senilai Rp10,8 miliar untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang kuliner, aplikasi dan developer game (AGD).

Dreadout Cover
Dreadout Cover

BIP adalah skema bantuan modal nonperbankan berupa penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap yang difasilitasi Bekraf. Besaran dana hibah yang diberikan berkisar antara Rp90 juta sampai Rp200 juta tergantung hasil penilaian.

Dari total applicant yang masuk, Bekraf menyaringnya dan memutuskan ada 34 perusahaan yang menerima dana hibah. Rinciannya terdiri dari 19 perusahaan dari kuliner dan 15 perusahaan dari aplikasi dan developer game. Rata-rata berlokasi di Pulau Jawa, Makassar, dan Balikpapan. Beberapa nama perusahaan game yang mendapat BIP adalah Ekuator Games (kreator game PC Celestian Tales), Digital Semantika Indonesia (kreator game PC DreadOut).

“Kita bayarkan 40% dari nilai assesment, lalu dievaluasi untuk kemudian ditentukan pencairan berikutnya. Evaluasi itu dilakukan pada November 2017,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Tak berhenti di sini, Bekraf akan melanjutkan program ini pada tahun depan. Hanya saja Hari enggan menyebutkan nominal dana hibah yang diajukan ke pemerintah. Lewat inisiasi nyata lewat BIP ini diharapkan bisa menimbulkan efek domino di industri jasa keuangan dan membuka mata tentang nyatanya potensi industri game di Indonesia. Kita tunggu kabar-kabar baik ke depannya.

Masih Miliki Dana Sekitar Rp200 Miliar, Mandiri Capital Siap Tambah Empat Startup Baru

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengungkapkan saat ini perusahaan masih memiliki sisa dana kelolaan sekitar Rp200 miliar untuk menambah tiga hingga empat startup baru masuk ke dalam portofolio perusahaan.

Hingga pertengahan tahun ini, MCI telah menggelontorkan dana investasi sekitar Rp300 miliar untuk tujuh startup fintech. Empat di antaranya sudah diumumkan, yaitu Moka, Amartha, PrivyID, dan Cashlez. Sementara sisanya akan diumumkan dalam waktu dekat, dengan rincian dua startup bergerak di sistem pembayaran dan satu startup di enterprise solution.

“Kami masih memiliki sisa dana kelolaan sebesar Rp200 miliar untuk berinvestasi ke tiga sampai empat startup baru. Namun, belum tentu [investasi] akan kami selesaikan sampai akhir tahun ini, bisa jadi tahun depan karena kami masih mencari-cari [startup yang cocok],” ucap Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro, Rabu (12/7).

MCI, sambungnya, hanya memfokuskan diri untuk investasi pada startup fintech yang bergerak di tiga sektor yaitu payment, lending, dan enterprise solution saja. Ketiga sektor tersebut dinilai lebih dapat bersinergi secara langsung dengan Grup Bank Mandiri dan diprediksi bakal menjadi tren ke depannya.

Untuk mencari kriteria startup yang sesuai dengan selera perusahaan, Eddi mengaku selama ini pihaknya mengandalkan relasi dari anggota Aftech Indonesia, berkunjung ke kampus, dan memilih dari peserta inkubasi.

“Kami bukan investor yang pasif, yang hanya menaruh uang saja. Kami itu aktif, sebab setiap startup yang masuk [ke portofolio] satu per satu akan diperkenalkan ke seluruh jaringan Bank Mandiri dan masuk ke ekosistemnya. Lagipula, tim MCI itu kurang dari 10 orang sehingga tidak bisa bergerak cepat.”

Masih andalkan pembiayaan berupa penyertaan saham

Eddi mengungkapkan sejauh ini, mayoritas jenis pembiayaan yang banyak dilakukan MCI adalah penyertaan saham. Dalam Peraturan OJK, regulator memberi keleluasaan pada pemain modal ventura untuk memilih dua jenis pembiayaan lainnya, yaitu pembiayaan bagi hasil dan obligasi konversi.

“Tujuh startup yang tahun ini kami biayai, semuanya berupa penyertaan saham.”

Dia beralasan dari segi bisnis seluruh jenis pembiayaan tersebut masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Oleh karena itu, MCI harus memeriksa kondisi dari tiap startup yang kasusnya tidak selalu sama.

Mengacu ke laporan OJK, hingga Mei 2017 industri modal ventura telah menggelontorkan pembiayaan sebesar Rp7,15 triliun. Pembiayaan bagi hasil mendominasi total pembiayaan dengan nilai Rp5,42 triliun, dengan porsi mencapai 75,72%. Kemudian, diikuti penyertaan saham sebesar Rp1,16 triliun dan obligasi konversi Rp570 miliar.