Ketimbang Mengejar Kuantitas, Kualitas Pengusaha Indonesia Lebih Urgen Ditingkatkan

Menginjak di usia kelima beroperasi di Indonesia, Endeavor Indonesia menyelenggarakan Scale-Up Asia 2017 dengan mengangkat tema “High Impact Entrepreneur“. Tema ini diangkat untuk memperkuat ekosistem kewirausahaan Indonesia.

BPS mencatat terjadi kenaikan 4 juta pengusaha dalam kurun waktu 10 tahun belakangan. Jika melihat dari sisi kuantitas, hal ini tentu saja menjadi angin segar meski belum cukup untuk membantu menyokong pertumbuhan ekonomi tanah air. Namun bila melihat dari sisi kualitas, bisa menjadi bumerang karena banyaknya pengusaha yang membuat bisnis belum tentu bisa kontinu bertahan lama akibat tingkat persaingan yang tinggi.

Oleh karenanya lewat kesempatan ini, Endeavor Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang sudah berdiri sejak 1997 dan memfokuskan diri pada pengembangan high impact entrepreneurs, menekankan bahwa dalam dunia kewirausahaan lebih penting untuk meningkatkan kualitas daripada kuantitas.

Sebab menurut Endeavor, seharusnya pengusaha mampu memberikan dampak terhadap masyarakat, menyokong ekosistem kewirausahaan, dan menjadi katalisator bagi ekonomi negara.

Sebagai gambaran, 19 Endeavor Entrepreneur dari 17 perusahaan di Indonesia mampu menciptakan 6.340 lapangan pekerjaan baru dan kontribusi terhadap ekonomi sebesar Rp2,2 triliun di tahun 2015. Saat ini Endeavor Indonesia sudah memiliki 35 orang pengusaha dari 28 perusahaan di dalam jaringannya.

Secara global, Endeavor sudah hadir di lebih dari 25 negara di seluruh dunia. Organisasi tersebut sudah menyeleksi sebanyak 1.421 high impact entrepreneurs dari 886 negara. Bila ditotal para pengusaha yang tergabung di Endeavor telah mencetak pendapatan sebesar US$8,16 miliar dan menciptakan 600 ribu lapangan pekerjaan berkualitas tinggi.

“Kami percaya bahwa high impact entrepreneur dapat menciptakan siklus kewirausahaan kondusif, secara jangka panjang mampu berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan. Acara Scale-Up hadir sebagai wadah untuk membangun ekosistem kewirausahaan yang lebih kuat dan mendukung lebih banyak lagi high impact entrepreneur,” kata Endeavor Indonesia Board Chairman Harus Hajadi, Rabu (15/3).

Acara ini mempertemukan lebih dari 1.000 orang pengusaha muda, mulai dari kalangan CEO, investor, pebisnis, tokoh pemerintahan terkemuka di Indonesia untuk berdiskusi dan mengembangkan jaringan.

Dalam rangkaian acaranya, selama satu hari penuh para mentees akan diisi dengan berbagai kegiatan. Pada pagi hari, mereka akan mengikuti berbagai diskusi panel dengan tema berbeda yang diisi oleh para mentor ahli di masing-masing bidangnya.

Lalu pada siang hari dilanjutkan dengan Mega Scale-Up Clinic, menghadirkan 150 mentor dengan 370 mentees. Dalam sesi ini, para mentees bisa mengajukan satu topik pertanyaan dengan mentor yang sudah ditentukan lokasi untuk per tema. Mereka hanya bisa berdiskusi dengan durasi 20-25 menit. Untuk diskusi lebih lanjut, mentees bisa mengatur pertemuan berikutnya dengan mentor dalam agenda terpisah. Terakhir, pada malam harinya seluruh mentor dan mentees akan menghadiri acara makan malam bersama.

Salah satu diskusi panel yang menghadirkan Aldi Haryopratomo (RUMA), Noni Purnomo (Blue Bird), Achmad Zaky (Bukalapak), Nadiem Makariem (Go-Jek), dan dimoderatori oleh Antonny Liem (Merah Putih Inc) / DailySocial
Salah satu diskusi panel yang menghadirkan Aldi Haryopratomo (RUMA), Noni Purnomo (Blue Bird), Achmad Zaky (Bukalapak), Nadiem Makariem (Go-Jek), dan dimoderatori oleh Antonny Liem (Merah Putih Inc) / DailySocial

“Endeavor ini menjadi payung paguyuban mengumpulkan mentor dan mentees dalam mendukung usaha yang bisa memberi dampak sosial. Para mentor yang tergabung di sini sudah memberikan komitmennya untuk memberi sesi diskusi terpisah dengan para mentees yang ingin bertanya lebih dalam,” terang CEO RUMA Aldi Haryopratomo.

Presiden dan CEO Maybank Indonesia Taswin Zakaria menambahkan perusahaan melihat kegiatan ini sejalan dengan misi Maybank untuk humanizing financial services yang bermakna bahwa perusahaan akan selalu berada di tengah-tengah komunitas. Caranya dengan memberdayakan masyarakat melalui pembekalan jasa keuangan termasuk kepada pengusaha.

“Forum seperti ini bisa menjadi wadah bagi mentor untuk berbagi pengalaman dan perspektif untuk para pengusaha yang baru mulai usaha. Sebelumnya kami sudah beberapa kali jadi pihak sponsor yang berkaitan pengembangan dunia kewirausahaan,” ucap Taswin.

Siap revisi aturan yang menghambat dunia kewirausahaan

Sementara itu, dari sisi pemerintah dalam hal ini Bekraf, Kepala Bekraf Triawan Munaf menjelaskan pada tahun ini pihaknya akan fokus pada revisi aturan lama atau disebut dengan “Game changing policy year.” Bekraf akan fokus mengidentifikasi aturan mana saja yang perlu direvisi dalam setiap sub sektor di Bekraf.

Salah satu sub sektor yang sudah “diamankan” Bekraf adalah industri perfilman, dalam kaitannya dikeluarkannya film dari daftar negatif investasi (DNI) pada tahun lalu.

“Tahun ini kami akan fokus ke game changing policy year. Saat ini banyak aturan lama yang menghambat gerak ekonomi kreatif, kami masih identifikasi berdasarkan tingkat urgensinya. Untuk film sudah [keluar dari DNI], masih ada 15 sub sektor lagi yang akan diberi kemudahan,” ujar Triawan.

Menurutnya, dengan adanya revisi aturan akan memudahkan gerak para pengusaha dalam menjalankan usahanya agar mudah bersaing secara global maupun dalam negeri. Sekaligus menjadi upaya nyata pemerintah untuk melindungi mereka dari serbuan produk impor yang mayoritas berasal dari Tiongkok.

Mengenai Peluang dan Tantangan Ekonomi Kreatif Indonesia di Tahun 2017

Bekraf secara khusus didirikan pemerintah untuk fokus memajukan ekonomi kreatif Indonesia. Pemerintah sadar betul akan potensi ekonomi kreatif yang diyakini akan perlahan-lahan mendominasi jadi sumber pendapatan negara. Agar dapat terus bergerak ke arah sana, maka dari itu perlu kerja sama nyata antara pemerintah, swasta dan pelakunya itu sendiri. Namun seperti apa langkahnya?

Dalam diskusi panel yang diadakan Plug and Play Indonesia bertajuk “Indonesia Creative Economy 2017”, menghadirkan berbagai pembicara dari ketiga pelaku. Mulai dari Ricky J Pesik selaku Wakil Kepala Bekraf, Mari Pangestu (Mantan Mendag), Gandi Sulistiyanto (Managing Director Sinarmas), Aloysius Budi (Chief Human Capital Dev Astra Intl), dan Dino Patti Djalal (Mantan Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat).

Dari sisi Bekraf, Ricky menegaskan bahwa saat ini Indonesia perlu meluruskan lagi pemahaman mengenai ekonomi kreatif. Dari ranah kementerian dan lembaga (K/L) rupanya ekonomi kreatif itu bersinggungan dengan 27 K/L, oleh karenanya perlu pemetaan tugas kembali agar tidak saling tumpang tindih.

Untuk mendukung hal tersebut, saat ini Bekraf bersama K/L lainnya sedang dalam tahap penyusunan regulasi yang menggantikan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, terhitung sudah resmi tidak berlaku lagi sejak 2015.

Selain itu, Ricky mengungkapkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah pemerintah lainnya dalam rangka mendukung ekonomi kreatif lewat pengembangan startup. Misalnya mengevaluasi atau membuat regulasi baru yang mendukung aktivitas industri.

“Dari kacamata pemerintah untuk dukung ekonomi kreatif adalah mengevaluasi ulang sejumlah regulasi lama atau melahirkan regulasi baru yang lebih adaptif. Menurut saya startup itu sangat memerlukan dukungan regulasi yang jelas karena mereka lahir akibat perubahan yang cepat,” ucap Ricky, kemarin (8/3).

Sementara dari sisi swasta, Aloysius Budi mengatakan bahwa saat ini Astra mulai concern untuk bekerja sama dengan startup untuk bergabung dalam Astra Digitalization Program. Hal ini dimaksudkan agar terjadi akselerasi bisnis Astra lewat inovasi yang ditawarkan dari para startup.

Begitupula dengan Sinarmas, Gandi Sulistiyanto menambahkan perhatian Sinarmas kepada startup terlihat dari pendirian Sinarmas Digital Ventures (SMDV) dan bergabung menjadi anggota Plug and Play Indonesia. Menurutnya, dengan menjadi member dapat memberi akses kepada Sinarmas untuk menambah jaringan startup-startup yang berpotensi akan diincar Sinarmas untuk diinvestasikan.

Involvement dari swasta itu penting untuk keberhasilan startup. Pasalnya mereka juga membutuhkan mentor, sementara bagi kami perlu menghubungkan diri dengan startup untuk akselerasi bisnis. Ini jadi solusi win-win,” terang Gandi.

Sedangkan dari sisi Mari Pangestu dan Dino Patti, mereka hanya memberi masukan untuk startup agar dapat lebih kompetitif ke depannya. Mari bilang, bahwa startup diharuskan untuk dekat dengan industri. Tujuannya agar startup dapat memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dihadapi industri.

Tak hanya itu, Mari juga menekankan pada pentingnya kemampuan untuk manajemen bisnis startup. Menurutnya, ide yang baik belum tentu akan berjalan sukses bila manajemennya tidak tepat.

Dino pun sepakat dengan ucapan Mari. Dino mengatakan bahwa startup tidak boleh memiliki pola pemikiran nasionalisme sempit. Hal ini, lanjutnya, masih ditemukan dalam kampus di Indonesia yang menganggap penggunaan bahasa asing sebagai kapitalisme.

“Jargon seperti ini tidak bisa membuat mereka bersaing setelah keluar dari kampus. Ekonomi kreatif itu mengenai bagaimana Anda bersikap nasionalisme terbuka, jangan tertutup. Penguasaan bahasa asing itu sangat diperlukan saat berbisnis,” pungkas dia.

Pemerintah Siapkan Regulasi tentang Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Kreatif

Pemerintah saat ini sedang membahas regulasi yang akan menggantikan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, terhitung sudah resmi tidak berlaku lagi sejak 2015. Draft regulasi sudah jadi dan pembahasan antar kementerian dan lembaga (KL) masih terus bergulir.

Rencananya Bekraf dan kementerian terkait akan membentuk kelompok kerja untuk membahas lebih lanjut sebelum diresmikan Presiden. Regulasi tersebut dikatakan sudah lewat tahap pembahasan di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Targetnya akan segera terbit pada tahun ini.

Sebelumnya, Inpres ini disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (pada saat itu) dengan menugaskan Kementerian Perdagangan yang dipimpin Mari Elka Pangestu sebagai koordinator pengembangan ekonomi kreatif antar KL terkait.

Inpres memuat kebijakan pengembangan 14 sub sektor industri kreatif sepanjang tahun 2009 sampai 2015. Terdapat 28 KL yang diinstruksikan terlibat dalam ekonomi kreatif, mulai dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, hingga level Gubernur, Bupati/Walikota.

Namun ketika Mari Elka pindah tugas menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 2011, Inpres tersebut belum mengalami perbaharuan sama sekali hingga akhirnya kadaluarsa di 2015. Inpres tidak lagi aktif sampai pemerintah membentuk Bekraf melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 6 Tahun 2015.

“Kami sedang mengusahakan aturan ini terbit lagi, supaya tidak jalan sendiri-sendiri. Aturan ini akan jadi instruksi presiden tentang strategi nasional pengembangan ekonomi kreatif, di dalamnya akan berisi detil tentang pokok tugas KL sebab banyak sekali persimpangan di ekonomi kreatif,” terang Wakil Kepala Bekraf Ricky J Pesik, Kamis (2/3).

Nantinya, dalam aturan terbaru akan menentukan kementerian yang bakal ditunjuk untuk pengembangan salah satu sektor ekonomi kreatif, membantu Bekraf sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas mendorong pengembangan 16 sektor ekonomi kreatif Indonesia. Tujuannya agar tidak saling tumpang tindih dan menciptakan efisiensi.

Ricky memastikan ketika regulasi ini diresmikan hal pertama kali yang akan dilakukan Bekraf adalah melakukan komunikasi antar KL untuk penyelarasan program. Lagipula, Bekraf membutuhkan payung hukum yang lebih kuat agar dapat berkoordinasi dengan antar KL. Pasalnya, dalam beberapa kementerian memiliki aturan tersendiri untuk ekonomi kreatif.

Ricky mencontohkan Bekraf membutuhkan koordinasi dengan Kemendikbud untuk industri film dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait dicabutnya bioskop dari daftar negatif investasi (DNI).

“Kerja besarnya kita harus mapping semua kegiatan terkait ekonomi kreatif di seluruh KL, tujuannya supaya kelihatan ruang kerja dan kewenangan agar integrasi jadi lebih mudah dan tidak tumpang tindih.”

Terkait efisiensi anggaran, tahun ini pemerintah menganggarkan dana negara untuk Bekraf sebesar Rp902 miliar. Dana tersebut akan dibagi-bagi sesuai pokok permasalahan dalam ekonomi kreatif.

Ricky bilang fokus anggaran Bekraf pada tahun adalah perbaikan infrastruktur. Besaran dana yang disiapkan sebesar Rp180 miliar, sekitar 19,96% dari total anggaran. Salah satu proyek yang disiapkan Bekraf adalah dukungan pendirian creative hub di berbagai daerah. Sementara, sisa dana akan dipergunakan untuk pemasaran, pengembangan riset, dan lainnya.

Bekraf Kirim Ahlijasa dan Lima Startup Lainnya ke Ajang Startup World Cup 2017

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) siap mengirimkan satu startup sebagai delegasi Indonesia untuk bersaing di Grand Final Startup World Cup (SWC) 2017 dan lima startup lainnya untuk menghadiri konferensi SWC 2017.

SWC diadakan oleh Fenox Venture Capital, merupakan acara kompetisi sekaligus konferensi internasional yang mempertemukan startup, venture capital, pengusaha, sekaligus CEO teknologi global di Silicon Valley, Amerika Serikat pada 24 Maret 2017.

Ahlijasa adalah finalis Indonesia yang berkompetisi di Grand Final SWC 2017, bersama dengan 15 startup lainnya dari 12 negara di antaranya Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Chili, dan lainnya. Ahlijasa terplih menjadi finalis setelah menjuarai kompetisi SWC Indonesia yang telah diselenggarakan pada 23 Agustus 2016.

Lima startup lainnya, yakni Talenta, Qlue, Paprika, Azzam Trade, dan Ojesy untuk menghadiri konferensi SWC 2017. Keenam startup tersebut akan tiba di San Francisco pada 19 Maret 2017, kemudian mengunjungi beberapa perusahaan teknologi global, di antaranya Plug and Play Tech Center, Microsoft, Google, Apple, Facebook, dan Amazon.

Selama acara, mereka berkesempatan mengikuti diskusi yang dihadiri oleh Steve Wozniak (Co-Founder Apple), Daymond John (Shark Tank dan Founder & CEO FUBU), Alexis Ohanian (General Partner Initialized Capital), Phil Libin (Co-Founder Evernote), dan lainnya.

Jadi ajang pembelajaran sekaligus buka peluang investasi

Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menjelaskan ajang ini menjadi langkah startup Indonesia untuk belajar langsung dari para pemimpin perusahaan teknologi skala global untuk dapat diimplementasikan ke bisnis masing-masing. Mereka juga dapat membuka peluang koneksi dengan berbagai pelaku, entah untuk mencari mentor, berkolaborasi bisnis, atau membuka potensi penggalangan dana.

“Enam startup Indonesia ini berpeluang terjaring pada komunitas startup internasional. Mereka berkesempatan belajar dari ahli industri dunia, bertemu dengan lebih dari 200 investor global, lebih dari 300 eksekutif perusahaan besar, serta menjalin network dengan lebih dari 500 startup global,” kata Fadjar, Kamis (2/3).

SWC, lanjut Fadjar, adalah salah satu dari tiga pokok fokus kegiatan Bekraf sepanjang tahun lalu hingga kini. Bekraf ingin memperbanyak pertemuan antara startup lokal dengan para pemain dari kancah global dan dalam negeri, sebagai upaya membuka peluang kerja sama dan investasi.

Wakil Kepala Bekraf Ricky J Pesik menambahkan, bagi Bekraf acara seperti SWC menjadi upaya untuk berjualan demi membuka peluang investasi. Startup digital memiliki nilai bisnis dengan taksiran valuasi yang berkali-kali lebih besar daripada bisnis konvensional, padahal awalnya hanya berupa ide.

Hal ini terjadi karena startup menjual user based dan proyeksi nilai yang bisa mereka dapatkan lewat investasi yang didapat dari investor. Apalagi dengan user based di Indonesia sebagai salah satu negara berpopulasi terbesar di dunia, menjadikan Indonesia sangat seksi untuk dijadikan lahan bisnis.

“Bagi kami [Bekraf] dengan mengirimkan startup ke luar, mereka bisa jadi duta investasi karena menjual potensi startup Indonesia dengan user based-nya yang sangat besar. Kami ingin dorong startup sebagai pendorong investasi dari luar masuk ke sini, jadi tidak hanya dorong investor bangun pabrik saja. Makanya kami expose mereka ke investor global,” ucap Ricky.

Founder Ahlijasa Jay Jayawijayaningtyas mengatakan pihaknya percaya diri bisa memenangkan kompetisi ini. Pasalnya, Ahlijasa adalah startup on-demand dengan mengedepankan layanan jasa. On-demand merupakan segmen bisnis yang diperlukan dan membutuhkan oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari.

We are pretty confident akan memenangkan kompetisi ini, sebab bisnis kami adalah on-demand service yang dapat membantu banyak hajat hidup banyak orang. Sama halnya dengan Uber yang juga merupakan startup on-demand. Berangkat dari segmen yang sama, kini Uber telah menjelma jadi perusahaan global yang telah membantu banyak orang,” ucap Jay.

Upaya Bekraf Buka Akses Pendanaan Startup di Tahun 2017

Dalam rangka membuka ruang pendanaan yang lebih lebar untuk startup di tanah air, Bekraf terus menggalakkan terobosan terbaru. Di antaranya adalah bersama dengan Filantropi Indonesia mendirikan Filantropi Ventures, rencananya akan diluncurkan dalam bulan depan. Selain itu, Bekraf juga akan menyiapkan dana Rp10 miliar untuk para pemain usaha di sektor ekonomi kreatif.

Dana tersebut merupakan anggaran yang disetujui oleh pemerintah untuk digunakan Bekraf untuk menyuntik para pemain ekonomi kreatif. Alokasinya sebagian besar akan diarahkan untuk startup digital, sementara sisanya untuk sektor ekonomi kreatif lainnya.

Dana tersebut nantinya akan digulirkan lewat perhelatan kompetisi yang akan diselenggarakan Bekraf pada tahun ini. Dalam kompetisi tersebut bakal dipilih para pemenang yang berhak mendapatkan dana segar tersebut.

“Alhamdulillah, tahun ini kami diperkenankan untuk memberikan bantuan permodalan dari pemerintah. Ada anggaran Rp10 miliar yang boleh diberikan kepada para pemain ekonomi kreatif secara keseluruhan. Akan tetapi nantinya porsi untuk startup digital akan besar, nanti ada proses seleksi yang akan kami adakan dalam tahun ini,” ujar Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo, saat diskusi panel dalam acara Local Startup Fest, Jumat (24/2).

Sementara itu, dari sisi pendirian Filantropi Ventures memiliki potensi dana yang besar. Fadjar bilang, tiap tahunnya asosiasi tersebut menyalurkan dana yang jumlahnya triliunan Rupiah untuk membantu kegiatan sosial. Kini, Bekraf mendorong untuk anggota Filantropi Indonesia agar mulai mengarahkan pengucuran dana yang lebih berbau bisnis, tidak lagi melulu berbentuk sosial saja.

Langkah perluasan sumber pendanaan di luar bank ini menjadi upaya Bekraf, sembari mengedukasi perbankan yang belum memahami proses bisnis dalam startup digital.

Berdasarkan hasil survei ekonomi kreatif 2016 yang dilakukan Bekraf, sebanyak 92,3% responden mengatakan bahwa sumber pendanaan mereka berasal dari kantong sendiri (bootstrap). Kemudian, sebanyak 24,44% menyebut mereka mendapat pendanaan dari pinjaman bank, dan 0,66% responden mendapat pendanaan dari perusahaan modal ventura.

Fadjar berharap, lewat upaya yang dilakukan oleh Bekraf ini secara berangsur-angsur bisa menambah porsi pendanaan startup digital dari modal ventura jadi 5%.

“Hasil survei ini merupakan sampel dan berbentuk pilihan ganda, jadi persentase ini bukan berasal dari angka proporsi. Kami berharap kalau tahun ini angka pendanaan startup dari modal ventura menjadi 5% itu sudah lumayan.”

Kolaborasi Bekraf lainnya yakni dengan OJK. Kali ini keduanya sedang menggodok penyusunan skema pembiayaan IPR Financing. Intellectual Property Rights (IPR) Financing dapat menjadi jaminan dalam pembiayaan atau pendanaan perbankan dalam pengembangan industri kreatif.

Menurut Fadjar, IPR adalah roh dari bisnis ekonomi kreatif yang memiliki sifat intangible. IPR merupakan sumber monetisasi dari pelaku usaha yang dapat ditawarkan saat bertemu investor.

“Apalagi dalam bisnis startup digital itu yang bisa dijadikan sumber monetisasi adalah traksi. Ini bisa ditawarkan oleh pemilik usaha saat bertemu investor. Kami dan OJK masih menggodok skema ini,” pungkas dia.

Bekraf Kirim Perwakilan Startup ke Ajang SXSW 2017

Pemerintah Indonesia melalui Bekraf akan mengirim beberapa startup dan pelaku kreatif Indonesia untuk mengikuti festival SXSW 2017 (South by Southwest), sebuah festival tahunan yang terdiri dari berbagai kegiatan konferensi, festival, ekshibisi, dan networking yang rencananya akan digelar pada 10-19 Maret di Austin, Texas, AS mendatang. Empat perusahaan digital yang diundang adalah Go-Jek, AR & Co, PicMix, dan GDP; sementara lima startup digital yang terpilih melalui seleksi adalah Qlue, Happy5, Kostoom, Kuassa, dan Dreadout.

Selain para startup Bekraf juga memboyong beberapa pelaku kreatif Indonesia untuk turut menghadiri festival SXSW yang memiliki beberapa jenis acara, di antaranya adalah SXSW Music dan SXSW Film. Pelaku industri kreatif lain yang turut diajak adalah group musik Lightcraft, The Trees and The Wild, dan Kimokal.

“Saat ini persiapan untuk para pelaku kreatif Indonesia untuk tampil di SXSW sudah mencapai tahap akhir. Proses kurasi yang berjalan semenjak tahun 2016 telah selesai menyeleksi karya dan pelaku unggulan untuk mewakili Indonesia,” ujar Deputi Pemasaran Bekraf Josua Puji Mulia Simanjuntak.

“Tentunya harapan kami dari Deputi Pemasaran adalah masuknya karya kreatif Indonesia di pasar dunia dan SXSW ini adalah pintu yang sangat baik untuk menembus pasar global,” kata Josua.

Ia juga menjelaskan bahwa kehadiran Indonesia di ajang SXSW ini akan membawa kebanggaan baik bagi pelaku kreatif Indonesia maupun memberikan rasa positif bagi industri kreatif. Josua juga menambahkan bahwa Bekraf akan terus berupaya menjaga momentum seperti ini dan berharap agar para pelaku kreatif yang kembali dari SXSW dapat menginspirasi pelaku kreatif di lingkungannya.

Selain SXSW 2017, Bekraf juga akan menginformasikan pengumuman call for entries untuk pelaku kreatif bidang aplikasi dan games developer yang ingin berpartisipasi dalam event CeBIT (Centrum für Büroautomation, Informationstechnologie und Telekommunikation) yang akan diselenggarakan pada 20-24 Maret 2017 di Hannover, Jerman.

Promosi Digital Jadi Prioritas Tantangan Utama Pengembang Lokal

Dari gelaran Bekraf Developer Conference (BDC) 2016, 180 top pengembang lokal merumuskan ada tiga prioritas tantangan utama harus diselesaikan bersama. Yakni, mengenai promosi digital, pendirian asosiasi developer aplikasi, dan preload.

Sekadar informasi, BDC 2016 adalah acara puncak dari pelaksanaan roadshow Bekraf Developer yang telah diselenggarakan di Malang, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Acara ini mempertemukan 180 top pengembang lokal dengan pemerintah (diwakili kementerian terkait) untuk merumuskan tantangan yang perlu diselesaikan demi membangun ekosistem yang dapat mendukung pengembang perangkat lunak bisa berkembang pesat di Indonesia.

“Acara BDC ini jadi wadah terbentuknya talenta di bidang digital yang akan melahirkan startup yang menyediakan solusi, sehingga Indonesia dapat menjadi tuan rumah di Ekonomi Digital Indonesia,” ucap Hari Sungkari selaku Deputi Infrastruktur Bekraf, Senin (28/11).

Awalnya, ada 64 prioritas tantangan yang muncul. Lalu, ada proses voting untuk menentukan tingkat urgensi permasalahan, akhirnya mengerucut jadi sepuluh prioritas tantangan. Terakhir, terpilihlah tiga prioritas tantangan yang tingkat urgensinya paling tinggi.

“Proses perumusan masalah awalnya ada 64 isu, kemudian dilakukan voting hingga akhirnya tersaring jadi tiga isu. Ketiga isu ini dipilih karena urgensinya yang sangat tinggi dan dibutuhkan oleh pelaku pengembang lokal,” terang Andi Taru Nugroho selaku CEO dan Founder Educa Studio.

Dijabarkan lebih jauh, promosi digital adalah jalur kegiatan pemasaran yang masih asing untuk dilakukan oleh pelaku usaha yang kebanyakan masih menganut dengan cara konvensional. Maka dari itu, lanjut Andi, solusi yang ditawarkan pengembang kepada pemerintah ada tiga hal.

Yaitu, pemerintah melakukan kampanye nasional untuk mengedukasi pentingnya menghargai dan memakai karya lokal. Membuat etalase bersama (marketplace) aplikasi atau games yang bisa dipromosikan pemerintah. Terakhir, memberikan edukasi kepada pengembang mengenai cara promosi digital yang efektif.

Isu kedua, mengenai pendirian asosiasi developer aplikasi Indonesia. Urgensi untuk isu kedua ini cukup tinggi. Pasalnya, selama ini komunikasi antara pemerintah dengan pelaku pengembang belum maksimal karena ketidakhadiran asosiasi sebagai wakil yang tatap muka langsung dengan pemerintah.

“Sekarang ini baru ada Asosiasi Game Indonesia (AGI), untuk aplikasinya belum ada. Sementara, untuk bertemu dengan pemerintah perlu diwakili oleh asosiasi untuk membicarakan lebih jauh. Lagipula, kehadiran asosiasi memang diperlukan sejak awal sebagai wadah penampung aspirasi pengembang,” ujar Andi.

Isu terakhir, adalah mengenai preload. Solusi yang ditawarkan terkait masalah preload ini adalah membuat aplikasi khusus sebagai etalase bersama untuk perload dalam perangkat smartphone yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi aplikasi lokal yang baru dan berkualitas untuk di-preload.

Pengembang juga meminta kepada pemerintah agar mempermudah syarat preload agar semua developer memiliki kesempatan dan exposure yang sama. Andi mengatakan, usulan mengenai preload ini erat kaitannya dengan rencana pemerintah mulai 1 Januari 2017 untuk menetapkan 30% Tingkat Kandungan dalam Negeri (TKDN) untuk telekomunikasi berbasis standar Long-Term Evolution (LTE).

“Aturan TKDN itu sebenarnya sangat baik karena tujuannya ingin memajukan produksi buatan dalam negeri. Hanya saja, aturan TKDN terlalu tinggi karena untuk bisa masuk ke preload itu hanya aplikasi yang sudah diunduh satu juta kali. Sementara untuk bisa menyentuh angka itu, butuh waktu yang tidak sebentar.”

Maka dari itu, sambung Andi, pihaknya mengusulkan untuk membuat aplikasi preload khusus yang sudah ditanamkan ke perangkat smartphone yang berisi aplikasi lokal berkualitas dan sudah terkurasi.

“Tujuan akhirnya, kami ingin masyarakat mengenai aplikasi lokal karena selama ini sangat minim yang tahu. Dengan adanya aplikasi khusus yang sudah di-preload, masyarakat jadi gampang mengetahuinya.”

Hari menambahkan, usulan yang diajukan pengembang lokal untuk bisa masuk ke TKDN diharapkan syaratnya bisa diturunkan, tidak lagi harus satu juta unduhan. Angka yang dinilai ideal menurut pelaku usaha adalah 100 ribu unduhan.

“Masukan angka unduhan minimal 100 ribu kali diunduh menurut kami cukup masuk akal dan bisa diukur kualitasnya. Kalau menunggu satu juta unduhan butuh waktu lama, bisa jadi tahunan.”

Isu kekurangan talenta masuk dalam prioritas tantangan

Selain itu, dalam konferensi ini juga membahas tujuh isu lainnya dan solusi yang coba ditawarkan kepada pemerintah. Pada dasarnya, ada lima bidang permasalahan yakni pasar, talenta, regulasi, infrastruktur, dan permodalan.

Mengenai permasalahan pasar, isu yang disinggung setelah promosi digital adalah meningkatan pangsa pasar lokal. Untuk masalah talenta, mengenai dukungan industri teknologi, ruang untuk inovasi, dan institusi pendidikan.

Untuk masalah regulasi, selain isu preload adalah perizinan dan legal. Masalah infrastruktur, mengenai kebutuhan riset pasar dan inkubator. Terakhir, masalah permodalan adalah isu mengenai investor.

Narenda Wicaksono, CEO Dicoding Indonesia, menerangkan salah satu masalah utama yang jadi tantangan adalah kurangnya talenta. Institusi pendidikan yang menyediakan ilmu jurusan komputer atau ilmu informatika memang jumlahnya banyak, tapi mayoritas tidak semua lulusan dari sana yang bisa langsung terserap di industri. Pasalnya, kurikulumnya tidak relevan dengan industri.

Menurutnya, perlu ada kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dengan institusi pendidikan berupa komunikasi yang intensif agar ada restrukturisasi kurikulum yang dibangun sesuai dengan kebutuhan industri.

Salah satu kurikulum yang dibangun oleh pelaku usaha adalah International Business Machines (IBM) Indonesia. Vina Kasim, Country Manager IBM Indonesia menerangkan untuk mendukung talenta IT yang berkualitas pihaknya meluncurkan materi yang bisa diakses secara online dan berbahasa Indonesia yang diakses melalui situs Dicoding.

Di sana, para pengembang bisa mempelajari dengan gratis dalam tenggat waktu yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, IBM juga menyediakan akses infrastruktur dan teknologi bentuk kredit untuk penggunaan platform Softlayer dan IBM Bluemix.

“Kami percaya para pengembang Indonesia merupakan yang terbaik dalam mengarahkan perekonomian kreatif di negeri ini dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Kami berharap bisa jadi mitra dalam membantu mereka melalui perangkat dan platform teknologi yang kami miliki,” pungkas Vina.

Seleksi Nasional Global Mobile Challenge 2016 Segera Dilaksanakan Minggu Ini

Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI) berkolaborasi dengan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Dicoding dalam waktu dekat akan menyelenggarakan salah satu rangkaian Global Mobile Challenge 2016, sebuah kompetisi mobile apps bertaraf internasional yang akan ditargetkan untuk kalangan profesional dan mahasiswa di enam benua. Perkembangan Global Mobile Challenge (GMC) sudah dimulai sejak tahun 2013 di Timur Tengah. Sampai saat ini sudah terdapat lebih dari 60 negara dengan final regional di Eropa Timur Tengah, Eurasia, Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Global Mobile Challenge memberikan kriteria utama untuk berkompetisi, yaitu membuat produk aplikasi atau game berbasis mobile. Selain itu, produk sudah harus dipublikasikan melalui mobile marketplace.

Rangkaian acara GMC 2016 dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap Country Semi Final, Asia-Pacific Regional Final dan Global Mobile Challenge Grand Final. Sesi Country Semi Final Indonesia akan diadakan di Jakarta pada tanggal 27 November 2016. Pada tahap Country Semi Final, akan dipilih dan diseleksi peserta yang mendaftarkan diri untuk melakukan pitching session di depan para juri dan kemudian akan dipilih tim terbaik yang akan mengikuti tahap selanjutnya yaitu Asia-Pacific Regional Final yang diadakan di Singapura.

Setelah bersaing untuk memenangkan Asia-Pacific Regional Final, peserta yang lolos akan mengikuti Global Mobile Challenge Grand Final di Barcelona, Spanyol. Untuk Country Semi Final Asia-Pacific, akan dipilih berbagai kontestan dari 10 negara dengan aplikasi terbaik.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, GMC ini akan mengumpulkan 55 negara untuk berpartisipasi dan lebih dari 1.500 aplikasi ditargetkan akan dilombakan di kompetisi ini.

GCM 2016 ini akan turut didukung oleh mitra internasional seperti GSMA, IE, 4YFN, Imtiaz dan The Applied Innovation Institute. Pagelaran GCM 2016 di Indonesia diselenggarakan sejalan dengan visi GEPI, yaitu meningkatkan kemajuan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan sosial melalui kewirausahaan, juga sebagai sarana untuk membantu startup tahap awal untuk mencapai tahap berkembang, akan menjadi selangkah lebih dekat.

Para pengembang aplikasi di Indonesia yang ingin berpartisipasi dalam acara ini dapat mendaftarkan diri melalui tautan berikut: klik di sini.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner pagelaran Global Mobile Challenge 2016.

Menegaskan Kembali Visi BEKRAF untuk Startup Indonesia

Pada sebuah kesempatan di pagelaran Puncak Startup Pitch Day, BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) kembali menegaskan visi dan strateginya untuk tingkatkan kualitas dan kuantitas industri ekonomi kreatif lokal. Disampaikan Wakil Kepala BEKRAF Ricky Joseph Pesik, sebagai lembaga setingkat kementerian yang masih sangat baru, ada beberapa tantangan yang saat ini coba dipatahkan. BEKRAF masuk ke wilayah yang sedang menjadi tren dengan pemahaman yang berbeda, tak lain seputar startup di Indonesia.

Bagi BEKRAF startup merupakan sebuah paradigma baru, dikatakan sebagai versi yang lebih eksklusif dari UMKM yang umum dikenal sebelumnya. Nilai eksklusif tersebut didukung adanya model bisnis dan pendekatan yang lebih modern, terlebih kebergantungannya dengan unsur digital. Ada dua aspek yang begitu mendominasi perbedaan tersebut, yakni startup memiliki financial engineering (terkait dengan funding, valuasi dan sebagainya) dan dihadapkan langsung dengan persaingan global (internet membuat sekat persaingan menjadi kabur).

Langkah strategis yang dirilis BEKRAF sebagai lembaga pemerintahan

Tepatnya ada 16 sub-sektor ekonomi kreatif yang ditangani oleh BEKRAF, yang terbagi ke dalam 6 fungsi. Dengan berbagai keterbatasan tentu akan memakan waktu yang sangat lama untuk mengusung suksesi di seluruh bidang. Dari fakta tersebut BEKRAF menyadari bahwa diperlukan sinergi dengan stakeholder lain yang memiliki lini sama dengan tujuan tersebut. BEKRAF mencoba menjadi lembaga penghubung anter kementerian untuk bersama-sama membangun ekosistem startup Indonesia.

Dalam kesempatan pertemuan ini juga hadir para perwakilan dari berbagai deputi yang ada di tubuh BEKRAF. Dari Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan hadir Abdur Rohim Boy Berawi menyampaikan tentang bagaimana pendekatan berbasis edukasi dan riset menjadi komponen penting untuk merealisasikan ekosistem startup nasional. Saat ini pihaknya mengaku tengah berfokus pada penyusunan data, untuk dapat memetakan berbagai aspek dan kebutuhan pengembangan industri secara tepat. Visinya ke open data, dan saat ini tengah bekerja sama dengan BPS (Badan Pusat Statistik).

Sebagai langkah mengakselerasi pengumpulan data tersebut, BEKRAF kini memiliki sebuah aplikasi survei bernama BISMA (BEKRAF Information System Mobile Application). Selain itu pihaknya tengah gencar bekerja sama dengan kampus-kampus ternama sebagai pusat peneliti ekonomi. Selain itu di Deputi Akses Permodalan, Badan Ekonomi Kreatif yang diwakili Fadjar Hutomo turut memaparkan visinya. Program yang paling ingin ditonjolkan adalah HIVI (How to Invest In).

Aplikasi mobile dinilai menjadi medium persebaran informasi yang tepat oleh BEKRAF
Aplikasi mobile dinilai menjadi medium persebaran informasi yang tepat oleh BEKRAF

Program HIVI bertujuan untuk memberikan akses sekaligus edukasi kepada investor yang berminat melakukan investasi ke industri kreatif nasional. Sebagian besar isunya saat ini adalah kurangnya informasi terkait dengan jalur investasi, kesenjangan tersebut yang ingin diminimalkan. BEKRAF menyadari betul, bahwa dengan APBN yang dimilikinya, hampir tak mungkin dilakukan pendanaan langsung. Dari situ pendekatan yang diambil adalah strategi sebagai “mak comblang”.

Beberapa pagelaran diadakan bekerja sama dengan pemodal ventura, baik lokal maupun internasional. Pendekatan kepada angel investor pun terus digencarkan. Sehingga mampu membantu startup untuk melakukan scale-up mengimbangi inovasi yang dirilisnya. Pihaknya juga menyadari betul, bahwa investasi melalui perbankan memiliki kompleksitas dan banyak berbenturan dengan aturan yang berlaku. Sebagai konwledge based economy, suntikan pendanaan dianggap perlu untuk mendorong perkembangannya.

Dukungan bagi startup yang bersifat langsung

Dukungan yang dapat dinikmati langsung untuk operasional startup nyatanya juga dibutuhkan. Menanggapi hal ini, seperti disampaikan Direktur Fasilitasi Infrastruktur TIK Muhammad Neil El Himam, BEKRAF akan memberikan dukungan berupa infrastruktur fisik dan infrastruktur TIK. Infrastruktur fisik akan berupa bangunan seperti co-working space yang mendukung insan kreatif berkarya. Sedangkan infrastruktur TIK mencakup kebutuhan seperti hosting, software dan sebagainya. Menjadi concern karena software legal untuk produktivitas masih menjadi kendala secara umum di lanskap startup Indonesia.

Pemasaran turut menjadi hal yang ingin dibenahi oleh BEKRAF. Menhariq Noor selaku Kasubdit Pasar Segmen Bisnis dan Pemerintahan menyampaikan bahwa isu yang ada saat ini adalah ketidaksesuaian “kemasan” produk yang sebenarnya mampu memberikan nilai lebih terhadap suatu produk dan layanan. Oleh karenanya branding dan packaging akan banyak diupayakan pengembangannya. Hal ini selaras dengan unsur HKI yang semestinya menjadi prioritas sebuah industri kreatif.

Menurut Ari Juliano Gema selaku Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi, HKI seharusnya menjadi ciri khas ekonomi kreatif. Pendaftaran HKI dan sertifikasi produk menjadi program yang terus digencarkan. Tahun ini ditargetkan adanya 1000 pendaftaran HKI dan 5000 sertifikasi produk. Mendukung langkah ini, aplikasi pengetahuan Biima dikembangkan, untuk mendampingi kanal konsultasi yang bersifat langsung. Memerangi pembajakan juga menjadi langkah antisipatif yang sedang terus digencarkan.

Industri butuh kepastian, lebih dari sekedar perencanaan

Ketika masuk ke ranah praktik, maka upaya yang “terasa” akan lebih bermakna dalam mendukung kegiatan industri kreatif. Berlaku sebagai garda terdepan pemerintah, BEKRAF harus mampu memetakan regulasi, memberikan solusi dan pilihan, mana yang sifatnya mendukung dan mana yang akan merusak stabilitas. Pada dasarnya kita dihadapkan pada sebuah sistem ekonomi dari kultur internet. Orang banyak bilang sebagai sharing economy, ada pula yang menyebutnya sebagai optimized economy. Definisinya sama, yakni bagaimana perekonomian dapat terdorong dengan perkembangan digital yang ada saat ini.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Edukasi Komunikasi Startup dan Investor Jadi Fokus Puncak Startup Pitch Day BEKRAF

Pada akhir pekan lalu, selama 3 hari, dimulai pada tanggal 5 November 2016, Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) bekerja sama dengan Kinara Indonesia mengadakan program puncak Startup Pitch Day. Dalam acara ini hadir 24 startup yang disaring dari 5 kota, meliputi kota Medan, Depok, Malang, Bandung dan Denpasar. Penyaringan startup dari 5 kota itu sendiri sudah berjalan sejak dua bulan lalu. Turut hadir pula sekurangnya 14 investor yang terdiri dari venture capital, angel investor dan juga perkumpulan filantropi Indonesia.

Rangkaian acara Pitch Day tersebut memang memfokuskan pada edukasi untuk membekali kemampuan pitching terhadap startup di tahap early stage (BEKRAF menyebutnya dengan cockroach startup). Disampaikan Fajar Anugerah, Senior. Partner Kinara Indonesia, salah satu hal yang ingin diraih dari acara ini adalah kemampuan founder untuk mengkomunikasikan berbagai aspek di startupnya kepada investor. Selama ini komunikasi adalah kendala yang paling krusial. Selain itu pematangan aspek teknis seperti model bisnis dan tatanan finansial turut menjadi bagian dalam kerangka workshop.

Dimulai dengan workshop terpadu, dipraktikkan langsung dengan investor

Semua startup yang tergabung memang benar-benar masih di tahap baru. Hal ini senada dengan program BEKUP (BEKRAF for Pre-Startup) yang memfokuskan pada edukasi pengembangan startup di fase awal. Rangkaian acara ini menyajikan materi terpadu untuk para founder startup, meliputi manajemen finansial, memahami perjanjian investasi, perlindungan HKI dan kiat mendesain serta penyampaian sebuah pitch deck kepada investor.

Selama dua hari materi workshop dijejalkan pada para peserta. Dan di hari terakhir, para peserta ditantang untuk melakukan pitching selama 3 menit bergantian dengan 14 investor yang dihadirkan. Acara ini memang tidak menargetkan adanya investasi yang dikucurkan, bukan yang utama, karena misinya terletak pada edukasi.

Deputi Akses Permodalan BEKRAF Fadjar Hutomo mengatakan:

“…usaha kreatif (dalam hal ini startup) berkembang begitu pesat. Namun, diakui banyak dari pendiri usaha tersebut masih sangat muda, dan sebagian besar belum memiliki pengetahuan lebih untuk mengembangkan bisnis serta menggaet investor. Menurut kami, di sinilah tanggung jawab BEKRAF harus dijalankan. Acara ini diselenggarakan bukan sebagai ajang bersaing antar startup, tetapi sebagai kesempatan belajar bagi mereka agar semakin mumpuni dalam mengembangkan bisnis.”

Harapan utama dari penyelenggaraan acara ini adalah berkembangnya ekosistem permodalan bagi para startup, terutama dari permodalan non-perbankan, serta menghubungkan pemilik industri kreatif lokal dengan jajaran investor yang lebih luas.

Startup dengan pendanaan atau bootstrapping

Di sela-sela acara, Fajar menyampaikan ketika dihadapkan pada realitas saat ini dalam kaitannya dengan cara startup berkembang, maka pilihannya ada model bootstrapping atau akselerasi melalui pendanaan. Menariknya dari startup yang kian heterogen di Indonesia, polanya tidak bisa disama-ratakan. Menurut Fajar, ini akan sangat bergantung pada apa yang dikerjakan oleh startup tersebut.

“Dari sudut pandang saya sebagai bagian dari investor, jalan scale-up startup masing-masing berbeda. Ada startup dengan produk yang bisa langsung menghasilkan keuntungan, karena sejak awal bisnisnya sudah menekankan ekonomi transaksional (menghasilkan untung). Ada pula yang perlu pendanaan untuk bisa melakukan scale-up, contohnya startup pengembang produk kesehatan atau yang lebih mengarah ke riset mendalam.”

Tren startup Indonesia yang perlu diperbaiki

Menurut Fajar, berbagai macam hal perlu untuk ditanamkan sejak awal di startup-startup baru di Indonesia saat ini. Trennya ada dua hal, terkait dengan networking dan dedikasi. Disampaikan bahwa perbedaan startup dengan UMKM pada umumnya adalah pada mode berpikir cepat. Startup terbiasa dengan dinamika yang sangat cepat, dan digitalisasi membuat bisa berlari untuk mengimbangi, karena sekarang eranya sudah “online” tanpa batas.

Networking ialah tentang kemauan para founder atau punggawa startup untuk lebih banyak bertemu calon pengguna dan rekanan strategis. Tak cukup hanya berfokus pada produk, karena mendengarkan umpan balik kadang memberikan bermacam insight yang sebelumnya tidak terpikirkan saat perancangan produk. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan sebelumnya, bahwa komunikasi bisnis oleh founder startup baru menjadi salah satu isu yang ingin dibenahi oleh BEKRAF.

Berikutnya adalah soal dedikasi. Dibangun secara mandiri, tak jarang startup justru ditaruh pada opsi ke sekian dalam rutinitas bekerja harian. Banyak para founder startup yang bekerja paruh waktu untuk startupnya. Desakan pendapatan umumnya jadi alasan. Padahal, menurut Fajar, dedikasi full-time untuk membangun startup menjadi hal yang sangat berpengaruh untuk keberhasilan startup itu sendiri. Totalitas menjadi kuncinya.