Nusantics Kantongi Pendanaan dari Program Akselerator Global “Illumina”

Setelah mengikuti program akselerator yang diinisiasi oleh Illumina, Inc. (NASDAQ: ILMN), Nusantics yang merupakan platform biotech lokal, mengatakan telah mengantongi pendanaan dari program tersebut. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa pendanaan yang diterima. Selama enam bulan, Nusantics mengikuti rangkaian program akselerator yang fokus kepada sekuensing DNA dan teknologi berbasis array.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri mengungkapkan, dana segar tersebut akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk terus mengembangkan riset human microbiome dan produk-produk turunannya.

“Biotechnology itu harus global dan idenya harus terus di uji coba dan di peer-reviewed. Tidak bisa jago kandang, kita harus rutin kalibrasi apalagi tujuan kita membawa bioteknologi Indonesia di kancah global.”

Dalam keterangan resminya disebutkan, selama siklus programnya enam bulan dua kali per tahun, Illumina Accelerator menyediakan kepada startup terpilih akses ke investasi awal, panduan bisnis, keahlian genomik, dan ruang lab yang beroperasi penuh yang berdekatan dengan kampus Illumina di Cambridge atau Bay Area.

Selanjutnya Nusantics juga berencana untuk menjalin kolaborasi strategis dengan Illumina untuk melakukan riset terkini terutama kepada human respiratory microbiome. Tercatat saat ini ada lebih dari 20 juta orang di Indonesia yang di diagnosis dengan microbial related infection setiap tahunnya, kebanyakan yang berhubungan dengan gangguan pernapasan.

Nusantics sendiri sebelumnya telah mendapatkan pendanaan seri A dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin East Ventures. Nusantics didirikan oleh Sharlini Eriza Putri, Vincent Kurniawan, dan Revata Utama.

Fokus kepada pengembangan

Bisnis inti Nusantics terletak pada kapabilitas R&D. Selain membudidayakan produk dan layanan kecantikan, Nusantics berencana bekerja sama dengan pemangku kepentingan di bidang kesehatan dan pendidikan untuk memproduksi test kit untuk menganalisis dan memantau profil mikrobioma.

Sejak awal meluncur misi dari Nusantics adalah memanfaatkan kemampuan dalam riset mikrobioma untuk mengembangkan dua generasi alat uji (test kit) Covid-19 berbasis PCR dengan tingkat sensitivas dan spesifitas tinggi. Alat uji tersebut mampu mendeteksi beragam mutasi virus Corona di Indonesia, termasuk strain virus yang baru-baru ini mewabah di Inggris.

Alat uji generasi pertama telah didistribusikan ke 19 provinsi sebagai bagian dari gerakan Indonesia PASTI BISA berkolaborasi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Perusahaan juga bermitra dengan Bio Farma dalam pengembangan alat uji generasi kedua yang memangkas proses diagnosis pengujian menjadi tiga kali lebih cepat. Diklaim alat uji ini terbukti masih relevan dengan mutasi virus terkini yang mendeteksi mewabah di Inggris.

Startup ini pertama kali memperkenalkan teknologinya ke industri kecantikan. Di labnya, Nusantics Hub, startup tersebut melakukan tes usap wajah bagi konsumen untuk menilai dan menilai keragaman mikrobioma kulit. Mereka juga menyediakan layanan konsultasi untuk perawatan keseimbangan mikrobioma kulit.

Menurut Nusantics, mikrobioma yang beragam dan seimbang sangat penting untuk kulit yang sehat, jadi memahami keseimbangan mikrobioma dapat menghasilkan pilihan yang tepat tentang produk perawatan kulit yang sesuai dengan kondisi fisik alami seseorang.

MDI Ventures dan Bio Farma Bentuk Dana Kelolaan 292 Miliar Rupiah untuk Startup Biotech

MDI Ventures dan Bio Farma membentuk dana kelolaan baru “Bio Health Fund” sebesar $20 juta atau sekitar 292 miliar Rupiah. Melalui dana kelolaan ini, keduanya membidik investasi startup early dan growth stage yang berfokus pada bidang biotech dan layanan kesehatan di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Bio-Health Fund ditargetkan dapat memberikan sinergi kepada Bio Farma sebagai salah satu LP utama. Sekaligus membuka peluang untuk meningkatkan kapabilitas Bio Farma dalam bidang penelitian biotech dan layanan kesehatan secara end-to-end.

“Saat ini industri kesehatan di Indonesia memiliki berbagai tantangan, termasuk bagaimana mengembangkan teknologi baru terkait bio science, farmasi, dan healthtech. Ini menjadi alasan Kementerian BUMN melalui Bio Farma, Kimia Farma, dan Indofarma, untuk berinvestasi teknologi dengan MDI Ventures,” tutur Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury.

Sementara, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengungkap, Bio Farma memiliki nilai kuat dengan posisinya sebagai produsen farmasi dan penyedia layanan kesehatan. Hal ini akan memberi nilai tambah bagi startup biotech untuk melakukan go-to-market.

“Bio-Health Fund tidak membatasi fokus geografi investasinya, terbuka untuk produk dan solusi yang dapat berkontribusi dan memberikan nilai tambah bagi sektor penyedia kesehatan di Indonesia,” tambah Honesti.

Sebagai informasi, Bio Farma merupakan anak usaha BUMN Farmasi yang bergerak di bidang kesehatan secara end-to-end di antaranya R&D, manufaktur, distribusi, hingga retail apotek, klinik, dan lab klinik. Bio Farma menyebut sebagai satu-satunya produsen vaksin manusia di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara.

Sementara MDI Ventures merupakan perpanjangan tangan untuk investasi Telkom Group. Total portofolionya mencapai 64 di mana tiga di antaranya merupakan startup healthtech, yakni Alodokter, mClinica. dan Heals.

Transformasi berbagai sektor

Selain vaksin dan serum, Bio Farma akan menambah portofolio produk dengan berinovasi bersama startup untuk memproduksi kit diagnostik berupa mBio-Cov dan Biosaliva. “Ini menjadi bagian dari inovasi untuk produk life science dan healthtech sebagai ultimate goal kami membentuk ekosistem kesehatan nasional,” tambah Honesti.

Sementara itu, COO & Risk Management MDI Ventures Sandhy Widyasthan mengatakan biotech punya potensi untuk mentransformasi, tak hanya sektor kesehatan, tetapi juga pertanian dan manufaktur di Indonesia.

“Selama dua tahun terakhir, MDI telah berinvestasi di sektor kesehatan dan investasi biotech dengan saran dari Bio Farma. Kami melihat biotech dapat menjadi the next frontier di teknologi yang sudah matang untuk ekspansi lebih cepat,” ucapnya.

Biotech atau biotechnology didefinisikan sebagai proses pemanfaatan bagian dari makhluk hidup untuk menghasilkan produk berupa barang atau jasa yang bermanfaat bagi manusia. Bioteknologi dapat diterapkan dapat pembuatan pangan, pengolahan limbah, hingga menghasilkan bibit dan produksi tanaman.

Biotech di Indonesia

Mengutip Bisnis.com, Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani menilai startup biotech belum dapat tumbuh optimal di Indonesia karena sejumlah faktor, seperti aturan yang kompleks dan kurangnya kompetitor.

Rata-rata pemain biotech dipegang oleh perusahaan besar dan konglomerasi. Sementara startup-startup berbasis riset membutuhkan waktu lebih lama untuk go-to market karena kurangnya pendanaan dan tidak punya kepastian pendapatan.

Menurut Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang, potensi pertumbuhan startup biotech cukup besar selama diimbangi dengan dukungan pemerintah untuk membangun ekosistem yang dibutuhkan, termasuk kesiapan SDM.

“Startup bioteknologi adalah perusahaan yang membutuhkan SDM yang andal tidak hanya secara digital, tetapi juga secara multiteknologi, kedokteran, kimia, biologi, nanoteknologi, dan lainnya. Selama ini fokus di Indonesia masih lebih banyak pada talenta digital untuk kebutuhan jasa saja,” katanya.

Nalagenetics Umumkan Pendanaan Seri A 181 Miliar Rupiah

Startup pengembang produk dan layanan pengujian genetik Nalagenetics mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri A senilai $12,6 juta atau setara 181 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Intudo Ventures dan Vulcan Capital, didukung sejumlah investor termasuk Diagnostics Development Hub (DxD Hub) melalui Agency for Science, Technology and Research’s (A*STAR) A*ccelerate Technologies Pte Ltd, Dexa International, Diagnos Laboratories, East Ventures, AC Ventures, dan sejumlah angel investor — termasuk salah satu eksekutif platform e-commerce lokal.

Sebelumnya mereka telah membukukan pendanaan tahap awal pada November 2018 lalu senilai $1 juta. Berbekal dana investasi tersebut, Nalagenetics secara agresif mengembangkan solusi pengujian genetika menyeluruh, yang memungkinkan pencegahan penyakit. Melalui perangkat lunak dan solusi genetiknya, mereka memberdayakan profesional di bidang kesehatan untuk menerapkan pengujian prediktif dan pra-gejala guna pencegahan atas kondisi kronis.

Solusi awal yang dihadirkan Nalagenetics adalah kit genotipe yang terjangkau dan solusi bioinformatika untuk interpretasi data genetik. Seiring perkembangannya, kini mereka turut menawarkan ragam solusi mencakup pembuatan, penerapan, dan integrasi informasi genetika dalam sistem perawatan kesehatan. Dengan salah satu platform berjuluk “Clinical Decision Support” untuk lab-lab kesehatan.

Di luar perangkat lunak, layanan Nalagenetics mencakup protokol lab basah, algoritma bioinformatika, rekomendasi klinis, dan koneksi API, untuk memberdayakan rumah sakit dan laboratorium agar menjalankan layanan pengujian genetik yang efektif.

Selain itu, Nalagenetics telah mendukung pemerintah dan sektor swasta selama pandemi Covid-19, meningkatkan pengujian untuk pasien di seluruh penjuru Indonesia.

Lanjutkan ekspansi regional

Saat ini Nalagenetics melayani pasar utamanya di Indonesia dan Singapura. Selanjutnya melalui dana segar yang didapat, perusahaan akan melanjutkan ekspansi ke Malaysia dan sejumlah negara lain tahun ini. Perusahaan juga telah bermitra strategis dengan lebih dari 40 rumah sakit dan klinik kesehatan. Selain ekspansi, pengembangan produk juga akan menjadi fokus utama.

Nalagenetics telah mengembangkan modul klinis untuk farmakogenomik, nutrigenomik, dan prediksi risiko kanker payudara. Kemudian berencana untuk mengembangkan modul baru seputar skor risiko poligenik untuk mengatasi kondisi kompleks dan pembunuh terbesar di Asia Tenggara, yang mencakup penyakit kardiometabolik, kanker, dan kondisi neurodegeneratif.

“Kami bersemangat untuk terus mengadvokasi pengembangan skrining genetik hemat biaya untuk personalisasi resep dan skrining untuk kardiovaskular, neurodegeneratif, dan kanker sebagai pembunuh terbesar di Asia Tenggara. Karena momentum untuk pengujian genetik dan adopsi perawatan berbasis nilai semakin meningkat, kami melihat banyak minat dari rumah sakit dan penyedia layanan yang sebelumnya tidak ada,” kata Co-Founder & CEO Nalagenetics Levana Sani.

Pertumbuhan pasar yang signifikan

Menurut data yang disampaikan, Asia menjadi pasar pengujian genetika dengan pertumbuhan tercepat. Namun, masih ada ruang yang signifikan untuk pertumbuhan, karena saat ini hingga 80% dari semua penemuan genetik terus ditemukan terutama pada populasi Kaukasia.

Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan, “Populasi lokal membutuhkan solusi lokal dalam mengatasi masalah terkait genetika. Indonesia, dan lebih luas lagi di Asia Tenggara, telah lama menjadi pasar yang kurang terlayani untuk pengujian genetika. Dengan solusi yang disesuaikan dengan konteks lokal, Nalagenetics mengintegrasikan produk dan layanan yang ditargetkan ke dalam sistem perawatan kesehatan lokal untuk menawarkan layanan pengujian genetika dan analitik untuk pasien yang tidak memiliki akses ke layanan tersebut.”

Kendati demikian, di Indonesia memang belum banyak startup yang bermain di ranah ini. Kebanyakan kebutuhan akan pengujian genetika atau biomedis lainnya baru di tangani lab-lab konvensional – yang biasanya membutuhkan biaya lebih besar untuk penggunaan layanannya. Startup biotech lain yang telah hadir dan juga mendapatkan pendanaan dari pemodal ventura adalah Nusantics. Selama pandemi salah satu inovasi yang mereka gencarkan ialah menghadirkan alat pengujian Covid-19 yang ramah di kantong.

East Ventures Leads Series A Funding for Biotech Startup Nusantics

Nusantics biotech startup announced series A funding led by East Ventures with an undisclosed value. Less than a year ago, East Ventures took the lead in seed funding for this startup managed by Sharlini Eriza Putri.

East Ventures decided to reinvest because these startups have managed to grow due to their fast response to the disruption caused by the Covid-19 pandemic. Nusantics utilizes its capabilities in microbiome research to develop two generations of PCR-based Covid-19 test kits with high levels of sensitivity and specificity.

The test kit is capable to detect various mutations of the Coronavirus in Indonesia, including a virus strain that recently became an epidemic in the UK. The first generation test kits have been distributed to 19 provinces as part of the Indonesia PASTI BISA movement in collaboration with the Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT).

The company is also partnering with Bio Farma in the development of a second-generation test kit that cuts the diagnostic test process three times faster. It is claimed that this test is still relevant to the latest virus mutations that have detected an outbreak in the UK.

Bio Farma has produced and marketed the second generation of test kits with a production capacity of test kits per month which can be increased to 3 million test kits per month.

In an official statement, Nusantics will use the series A fund to strengthen their research and development capabilities to continue innovations in the field of microbiome analysis and medical diagnostic tools. The company is currently developing a third-generation Covid-19 PCR test kit designed to detect the SARS-CoV-2 virus in saliva samples.

“We are planning to develop a new product, a test kit that can detect viruses through saliva samples. The use of saliva increases the efficiency, safety level of medical personnel, and makes the sampling process more comfortable,” Nusantics’ CTO Revata Utama said, Thursday (7/1).

According to Revata, this test method also allows the detection of potential transmission because it can distinguish which samples are more infectious. In addition, they will continue to optimize for the test kits that have been produced can be used in all types of PCR machines in Indonesia. The company is working with several companies on research and development projects related to the microbiome.

Nusantics’ CEO, Sharlini Eriza Putri mentioned that their short-term focus is to participate in efforts to combat the pandemic, while the medium-term focus is to shape understanding in the public about the relationship between microbiome diversity and health.

“We want to contribute to finding solutions to the impact of the Anthropocene (human impact on the environment), by utilizing the biodiversity index associated with the microbiome. This is a challenging journey, but exciting,” she said.

Previously, in the last year’s seed funding round announcement, Nusantic had officially launched the Nusantics Hub in Jakarta, the first microbiome laboratory in Indonesia to provide testing and consulting services for the treatment of skin microbiome balance.

On the same occasion, Nusantics also announced Triawan Munaf as a member of the Board of Commissioners at Nusantics. Triawan also serves as Venture Advisor at East Ventures.

“Indonesian youth must continue to innovate in the field of biotechnology domestically and collaborate with other stakeholders, including the government, in order to increase local resilience. Nusantics, has shown this spirit of collaboration and I am very happy to be part of their journey,” Triawan said.

Responding to Triawan, Sharlini said, “We are proud to have someone like Triawan who is visionary, with a broad cultural understanding, and never stops looking for solutions that benefit all parties. We will indeed learn a lot from him,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Kembali Pimpin Pendanaan Seri A Startup Biotech Nusantics

Startup biotech Nusantics mengumumkan pendanaan seri A dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin East Ventures. Kurang dari satu tahun lalu, East Ventures memimpin pendanaan tahap awal untuk startup yang dipimpin oleh Sharlini Eriza Putri ini.

Ketertarikan East Ventures untuk berinvestasi kembali, lantaran startup tersebut berhasil tumbuh akibat kesigapan mereka dalam merespons disrupsi akibat pandemi Covid-19. Nusantics memanfaatkan kemampuan dalam riset mikrobioma untuk mengembangkan dua generasi alat uji (test kit) Covid-19 berbasis PCR dengan tingkat sensitivas dan spesifitas tinggi.

Alat uji tersebut mampu mendeteksi beragam mutasi virus Corona di Indonesia, termasuk strain virus yang baru-baru ini mewabah di Inggris. Alat uji generasi pertama telah didistribusikan ke 19 provinsi sebagai bagian dari gerakan Indonesia PASTI BISA berkolaborasi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Perusahaan juga bermitra dengan Bio Farma dalam pengembangan alat uji generasi kedua yang memangkas proses diagnosis pengujian menjadi tiga kali lebih cepat. Diklaim alat uji ini terbukti masih relevan dengan mutasi virus terkini yang mendeteksi mewabah di Inggris.

Bio Farma telah memproduksi dan memasarkan generasi kedua alat uji tersebut dengan kapasitas produksi 1,5 juta test kit per bulan yang bisa ditingkatkan hingga 3 juta test kit per bulan.

Dalam keterangan resmi, Nusantics akan menggunakan dana seri A untuk memperkuat kapabilitas penelitian dan pengembangan sehingga mereka bisa meneruskan inovasi di bidang analisis mikrobioma dan alat diagnosis medis. Saat ini perusahaan tengah mengembangkan test kit PCR Covid-19 generasi ketiga yang didesain untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 di sampel air liur.

“Kami berencana mengembangkan produk baru, yaitu test kit yang dapat mendeteksi virus melalui sampel air liur. Penggunaan air liur meningkatkan efisiensi, tingkat keselamatan tenaga medis, dan membuat proses pengambilan sampel menjadi lebih nyaman,” ujar CTO Nusantics Revata Utama, Kamis (7/1).

Menurut Revata, metode uji ini juga memungkinkan deteksi potensi penularan karena dapat membedakan sampel mana yang lebih menular (infectious). Selain itu, ia akan terus melakukan optimasi agar test kit yang selama ini diproduksi dapat digunakan di semua jenis mesin PCR di Indonesia. Perusahaan bekerja sama dengan beberapa perusahaan dalam proyek penelitian dan pengembangan terkait mikrobioma.

CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri menambahkan, fokus jangka pendek kami adalah turut serta dalam upaya penanggulangan pandemi, sedangkan fokus jangka menengahnya adalah membentuk pemahaman di publik tentang keterkaitan antara keanekaragaman mikrobioma dan kesehatan.

“Kami ingin berkontribusi dalam mencari solusi dari dampak Anthropocene (dampak manusia ke lingkungan), dengan memanfaatkan indeks keanekaragaman hayati yang terkait mikrobioma. Ini adalah perjalanan yang menantang, tetapi mengasyikkan,” tutur dia.

Sebelumnya, dalam putaran pendanaan tahap awal diumumkan tahun lalu, Nusantic telah meresmikan Nusantics Hub di Jakarta, laboratorium mikrobioma pertama di Indonesia yang menyediakan layanan pengujian dan konsultasi untuk perawatan keseimbangan mikrobioma kulit.

Pada kesempatan yang sama, Nusantics juga mengumumkan Triawan Munaf sebagai anggota Dewan Komisaris di Nusantics. Triawan juga menjabat sebagai Venture Advisor di East Ventures.

“Anak muda Indonesia harus terus berinovasi di bidang bioteknologi di dalam negeri dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan yang lain, termasuk pemerintah, demi meningkatkan ketahanan lokal. Nusantics, telah menunjukkan semangat kolaborasi tersebut dan saya sangat senang bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka,” ujar Triawan.

Menanggapi Triawan, Sharlini menuturkan, “Kami bangga memiliki seseorang seperti Pak Triawan yang visioner, punya pemahaman budaya yang luas, dan tidak pernah berhenti mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Tentu, kami akan belajar banyak dari beliau,” tutupnya.

Mendukung Pertumbuhan Startup Bioteknologi dan “Life Science” Indonesia

Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.

DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.

Pasar yang “niche”

Tim Nalagenetics
Tim Nalagenetics

Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.

Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.

Tim Nusantics
Tim Nusantics

Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.

“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”

Pandemi mendorong akselerasi

Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.

“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.

Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.

Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.

Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

Dukungan investor

Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.

“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.

Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.

“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.

Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.

Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.

“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”

Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.

“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.

Nusantics Biotech Startup Secures Seed Funding from East Ventures

A startup in the genomic tech sector, Nusantics, announced seed funding from East Ventures at undisclosed value. The fresh money is to be channeled to accelerate the company’s mission in leading the genome industry in Indonesia.

The startup was founded last year by Sharlini Eriza Putri (CEO), Vincent Kurniawan (COO), and Revata Utama (CTO). The three hold various backgrounds in academics, in the manufacture, FMCG, clean energy, aerospace, and biotechnology.

They believe in the science of biology, especially the microbiome, as one of the most essential parts of working a sustainable solution to human problems.

As a tech-based startup, Nusantics focused on the development of the implementation of various genome and microbiome research to fulfill a sustainable and healthy lifestyle demand.

Microbiomes are complex ecosystems consisting of microorganisms such as bacteria, viruses, to fungi that live on the surface and in the bodies of all living things, including humans. Every person has a unique microbiome profile that plays an important role in their immune system.

“Consumers can avoid mistakes in using skincare products if they understand the profile of their respective skin microbiomes. This is the solution provided by Nusantics,” Nusantics’ Co-Founder and CEO Sharlini Eriza Putri said in an official statement, Friday (3/20).

With a specialization in microbiomes, Nusantics conducts skin analysis to help industry and consumers consider the impact of each of their decisions on the health and sustainability of nature. This is claimed to be a new approach that was previously carried out for consumers in the lifestyle industry.

Sharlini explained, in various studies in the field of genomics showing healthy skin is skin that has diverse and balanced microbiomes. However, limited knowledge about the role of microbiome balance makes it difficult for consumers to find skincare products that are suitable for their individual needs.

Nusantics alone has released skincare products with the concept of clean beauty without adding dangerous products. The product range starts with facial cleanser, essence, face oil, serum, and balm. These products are sold online through various e-commerce platforms.

As estimated, according to the Nielsen and Euromonitor report titled Beauty Market Survey, the market value of the beauty industry in Indonesia reached Rp36 trillion in 2018. About 31.7% of that value came from skincare products.

Nusantics’ Co-Founder and CTO, Revata Utama ensures that skin problems are only a part of life aspects, the solution of which can be found by genomics and microbiome technology.

“I witnessed myself how this technology can help solve the various problems we face in the world. We work closely with the best scientists from within and outside the country, and ensure that the most sophisticated genomics research tools are available and can be implemented immediately,” Revata added.

East Ventures’ partner Melisa Irene added, more and more people are increasingly aware of the importance of well-being and holistic health. She said the quality of the Indonesian nation will develop with the availability of health inspection facilities that are affordable, accurate, and easily accessible.

“The Nusantics team has a mindset, character, and capability to introduce the positive impact of technology around the microbiome to the wider community. We are very enthusiastic about working with them,” she continued.

This is not East Ventures’ first portfolio in wellness concept company, they previously invest in Base offering beauty and wellness products. In addition, there is also Newman’s digital health clinic specifically targeting hair care products for men. This startup enters the W20 batch in Y Combinator.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Biotech Nusantics Terima Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Startup yang bergerak di bidang teknologi genomika, Nusantics, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dari East Ventures dengan nilai yang tidak diungkapkan. Suntikan dana akan digunakan untuk mengakselerasi misi perusahaan dalam mempelopori industri biogenome di Indonesia.

Startup ini didirikan tahun lalu oleh Sharlini Eriza Putri (CEO), Vincent Kurniawan (COO), dan Revata Utama (CTO). Ketiganya memiliki beragam latar belakang akademis dan profesional, di bidang manufaktur, FMCG, energi bersih, dirgantara, dan bioteknologi.

Mereka percaya pemahaman atas ilmu hayati, khususnya tentang mikrobioma, adalah salah satu faktor terpenting dalam memberikan solusi berkelanjutan atas beragam permasalahan manusia.

Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan hingga penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan.

Mikrobioma adalah ekosistem kompleks yang terdiri dari mikroorganisme seperti bakteri, virus, hingga jamur yang hidup di permukaan dan di dalam tubuh semua makhluk hidup, termasuk manusia. Setiap orang memiliki profil mikrobioma unik yang berperan penting dalam sistem imunitas mereka.

“Konsumen dapat menghindari kesalahan dalam menggunakan produk perawatan kulit bila memahami profil mikrobioma kulitnya masing-masing. Inilah solusi yang disediakan oleh Nusantics,” terang Co-Founder dan CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri dalam keterangan resmi, Jumat (20/3).

Dengan spesialisasi di mikrobioma, Nusantics melakukan analisis kulit untuk membantu industri dan konsumen dalam mempertimbangkan dampak setiap keputusan mereka bagi kesehatan dan keberlangsungan alam. Hal ini diklaim sebagai pendekatan baru yang sebelumnya pernah dilakukan untuk konsumen di industri gaya hidup.

Sharlini menjelaskan, dalam berbagai riset di bidang genomika menunjukkan kulit sehat adalah kulit yang memiliki mikrobioma yang beragam dan seimbang. Namun, keterbatasan pengetahuan tentang peran keseimbangan mikrobioma ini membuat konsumen kesulitan mencari produk perawatan kulit yang sesuai bagi kebutuhan masing-masing.

Nusantics sendiri telah merilis produk perawatan kulit dengan konsep clean beauty tanpa menambahkan produk berbahaya. Rangkaian produknya mulai dari pembersih wajah, essence, face oil, serum, dan balm. Produk tersebut dijual secara online melalui berbagai platform e-commerce.

Diestimasi, menurut laporan Nielsen dan EuroMonitor bertajuk Beauty Market Survey, nilai pasar industri kecantikan di Indonesia mencapai Rp36 triliun pada 2018. Sekitar 31,7% dari nilai tersebut berasal dari produk perawatan kulit.

Co-Founder dan CTO Nusantics Revata Utama memastikan permasalah kulit hanya sebagian dari aspek kehidupan yang solusinya dapat ditemukan oleh teknologi genomika dan mikrobioma.

“Saya menyaksikan sendiri bagaimana teknologi ini bisa membantu menyelesaikan berbagai masalah yang kita hadapi di dunia. Kami bekerja sama dengan ilmuwan terbaik dari dalam dan luar negeri, serta memastikan bahwa perangkat penelitian genomics tercanggih tersedia dan dapat langsung diimplementasikan,” ucap Revata.

Partner East Ventures Melisa Irene menambahkan, semakin hari semua orang semakin menyadari pentingnya kesejahteraan dan kesehatan yang holistik. Menurutnya, kualitas bangsa Indonnesia akan berkembang dengan tersedianya fasilitas pemeriksaan kesehatan yang terjangkau, akurat, dan mudah di akses.

“Tim Nusantics mempunya cari pikir, karakter, dan kapabilitas untuk memperkenalkan dampak positif dari teknologi seputar microbiome ke masyarakat luas. Kami sangat antusias bekerja bersama mereka,” tandasnya.

East Ventures bukan pertama kalinya berinvestasi ke perusahaan dengan konsep wellness seperti ini, sebelumnya ada Base yang menawarkan produk kecantikan dan wellness. Di luar itu, ada Newman’s khusus menyasar produk perawatan rambut untuk pria. Startup ini masuk ke dalam batch W20 di Y Combinator.