Bobobox Dikabarkan Galang Pendanaan Seri B Rp128 Miliar, Salah Satunya dari Kakao Investments [UPDATED]

Startup akomodasi berbasis teknologi Bobobox dikabarkan telah menggalang pendanaan putaran pendanaan seri B. Putaran ini bernilai $8,3 juta (lebih dari Rp128 miliar).

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari VentureCap, sejumlah investor turut serta dalam putaran tersebut, di antaranya Kakao Investments, Best Trade Developments Limited, Bravo Castle Limited, Emtek, dan investor terdahulunya, Alpha JWC Ventures.

Bobobox merupakan startup ketiga asal Indonesia yang bergabung ke dalam portofolio Kakao, setelah Kopi Kenangan dan GoWork.

Kepada DailySocial, perwakilan Bobobox membenarkan informasi terkait pendanaan ini. Kemudian, perwakilan Emtek membenarkan adanya investasi ini, namun turut disampaikan juga bahwa investasi ke Bobobox telah diberikan oleh perseroan sejak dua tahun yang lalu.

Hubungan antara Co-founder Bobobox Indra Gunawan dengan Emtek bukanlah baru. Sebagai konteks, Indra sebelumnya pernah merintis startup game Artoncode Indonesia pada 2012. Startup tersebut diakuisisi oleh Emtek, yang saat itu memegang lisensi BBM, pada dua tahun kemudian.

Bobobox terakhir kali mengumumkan pendanaan Seri A senilai $11,5 juta pada Mei 2020. Horizons Ventures dan Alpha JWC Ventures menjadi investor lead dalam putaran tersebut.

Berdiri sejak 2018 di Bandung, Bobobox berambisi ingin menjadi perusahaan gaya hidup yang relevan bagi generasi muda dengan menyediakan pengalaman tidur dan istirahat yang berkesan melalui inovasi teknologi, desain modular yang ramah lingkungan.

Diklaim saat ini perusahaan memiliki lebih dari 1.262 kamar, terdiri dari Bobocabin (elevated camping), Bobopod (hotel kapsul), dan Boboliving (indekos/co-living) yang tersebar di 28 lokasi di Indonesia, seperti Bandung, Banyumas, Bogor, Kintamani, Malang, Ubud, Toba Samosir, umba, dan Yogyakarta.

Adapun untuk tingkat okupansi kamar rata-rata dapat dipertahankan di angka 90%. Sebanyak 80% pesanan penginapan dilakukan secara langsung (direct-transaction) melalui aplikasi Bobobox.

Dengan konsep teknologi ramah lingkungan, perusahaan ikut meramaikan tren wellness tourism yang kian populer di tahun ini. Dari riset berbagai sumber seperti Agoda Travel Trend Survey (2023) dan Wellness Tourism Global Market Report 2023, nilai pasar dari wellness tourism berpotensi tembus $2,1 triliun serta peningkatan CAGR sebesar 12,42% pada tahun 2030.

Hal ini salah satunya didukung dengan peningkatan preferensi wisatawan, terutama di kalangan generasi muda yang cenderung memilih wellness tourism bertemakan alam terbuka. Data menunjukkan 41% generasi milenial sudah mulai menganggarkan untuk investasi di wellness experience, salah satunya wellness tourism tersebut.

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari Emtek dan Bobobox

Application Information Will Show Up Here

Imbas Pariwisata Lokal Meningkat, Bisnis Hotel Bujet Melesat

Genap tiga tahun terkena dampak pandemi, industri pariwisata tanah air diprediksi memasuki babak baru tahun ini. Pemulihan sudah terlihat dan industri ini perlahan mulai bangkit. Hal ini juga tercermin dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia serta peningkatan jumlah perjalanan domestik..

Berdasarkan data BPS, dari Januari hingga Oktober 2022, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3,92 juta kunjungan, naik 215,16 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama di tahun 2021. Peningkatan juga terlihat dari angka perjalanan domestik di Indonesia.

Di akhir tahun 2022 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan bahwa Indonesia telah memecahkan all time record dengan lebih dari 800 juta pergerakan wisatawan domestik sepanjang tahun. Angka ini melampaui jumlah perjalanan domestik sebelum pandemi sebanyak 722,16 juta pada 2019.

Jumlah perjalanan domestik di Indonesia selama 2012-2021 (dalam juta). Sumber: Statista

Bangkitnya industri pariwisata turut menghadirkan peluang dan tantangan baru bagi para pelaku industri. Pasalnya selama pandemi ada pergeseran kebiasaan berlibur pada masyarakat dan para pelaku usaha terkait yang ingin mengembangkan bisnisnya harus berusaha untuk tetap relevan dengan tren dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Pergeseran tren pariwisata

Pada 2021, ketika pembatasan interaksi mulai longgar dan akses vaksin sudah merata, wisatawan domestik menjadi penggerak kinerja sektor ini. Mengingat risiko virus masih tinggi, alih-alih melakukan perjalanan internasional, wisatawan gencar mengeksplorasi wisata domestik. Menurut data Statista, terdapat lebih dari 603 juta perjalanan domestik terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Pegipegi Travel Report 2022 , hasil survei secara online terhadap lebih dari 450 pelanggan menunjukkan bahwa 49 persen responden telah traveling lebih dari lima kali, dan 44 persen lainnya traveling sebanyak 2–4 kali sepanjang tahun. Sebagian besar dari mereka menyukai traveling di dalam kota maupun menuju destinasi-destinasi di luar kota.

Terkait perencanaan kegiatan liburan, mayoritas responden atau sekitar 82 persen, mengalokasikan budget secara rinci untuk kebutuhan traveling, mencakup biaya transportasi, akomodasi, konsumsi, dan kebutuhan lainnya. Adapun rentang alokasi budget yang dikeluarkan responden untuk satu kali perjalanan yaitu sekitar Rp1 juta–Rp3 juta (sebesar 36 persen) dan Rp3 juta–Rp5 juta (sebesar 25 persen).

Sumber: Pegipegi Travel Report 2022

Melihat data di atas, salah satu yang diproyeksi akan menjadi tren masa depan industri pariwisata adalah budget travel yang berarti bepergian dengan biaya minim. Dari sini, lahir beberapa konsep liburan baru. Salah satunya staycation, konsep ini mengedepankan sisi praktis liburan yang dilakukan di rumah atau area dalam kota.

Di samping itu, satu hal yang juga memengaruhi pariwisata lokal semakin meningkat adalah konsep kerja di beberapa perusahaan yang masih menerapkan WFA atau work from anywhere. Hal ini memungkinkan para pekerja untuk lebih fleksibel dan bisa bekerja dari mana saja, termasuk area wisata. Tren liburan sambil bekerja ini juga disebut workation.

Laporan dari Asia Travel Leaders Summit juga menyebutkan bahwa karakter wisatawan milenial Indonesia merupakan yang paling memperhatikan keterjangkauan harga jika dibandingkan dengan karakter wisatawan China, Singapura, dan India. Pertumbuhan tren budget travel ini tentunya mendorong bisnis hotel bujet yang sebagian besar dipilih karena keterjangkauan harga.

Industri hotel bujet mulai ekspansi

Di Indonesia sendiri, industri hotel bujet mulai ramai ketika pemain global masuk dan menyasar pasar Indonesia. RedDoorz menjadi salah satu pionir yang masuk ke Indonesia di tahun 2015. Perusahaan menganut model bisnis bekerja sama dengan properti yang bersifat kecil dan independen.

Pada dasarnya, model bisnis ini tidak jauh berbeda dengan pemain hotel bujet terbesar di India, OYO, yang akhirnya ikut masuk ke pasar Indonesia di tahun 2018. Kedua platform ini menawarkan renovasi, pengelolaan manajemen hotel, serta pemberdayaan bagi pegawai dalam mengelola akomodasi.

Selain mengakibatkan perubahan tren, kehadiran pandemi juga melahirkan fenomena baru yang tengah berlangsung di industri hotel bujet. Jika sebelumnya kebanyakan hotel berbintang memperluas jangkauan dengan membuka cabang hotel bujet, kini hotel bujet mulai memperluas jangkauan dengan menambahkan segmen pelanggan, termasuk premium.

RedDoorz mulai menerapkan strategi baru untuk menjadi perusahaan new age hospitality dengan membangun merk hotel baru “Sans Hotel” di akhir tahun 2020. Melalui brand ini, perusahaan menargetkan pelancong dari generasi Z dan milenial dengan mengedepankan konsep akomodasi yang youthful, design inspired, dan warmth, memadukan teknologi pintar dan harga terjangkau.

Perubahan strategi ini terbukti menghantarkan perusahaan mencapai break even point (BEP) atau tidak lagi merugi.

“Melalui implementasi strategi dan fundamental bisnis yang berfokus kepada property owners dan customers, kami berhasil memenuhi janji kami untuk mencapai BEP di tahun 2022,” ujar Regional VP Marketing RedDoorz Henry Manampiring.

Selain Sans Hotel, RedDoorz juga memiliki Urbanview Hotel untuk para urban traveler, Sunerra Hotel yang cocok bagi keluarga yang menginginkan layanan berkelas, KoolKost yang cocok untuk akomodasi jangka panjang, serta The Lavana yang akan segera diluncurkan. Selama tujuh tahun beroperasi, RedDoorz telah mengakomodasi sekitar 3 ribu properti di 257 kota di seluruh Indonesia.

Country Operation Head OYO Indonesia Hendro Tan mengungkapkan, “Tren perjalanan saat ini menunjukkan bahwa wisatawan mencari tempat menginap yang nyaman, sehingga permintaan pada akomodasi premium diperkirakan akan naik secara signifikan.”

OYO sendiri disebut tengah menggenjot akomodasi di segmen bisnis dan premium di Indonesia sebagai core market-nya di Asia Tenggara dan global. “Indonesia menjadi kunci dari rencana pertumbuhan bisnis dalam skala global, OYO telah membuktikan transformasinya, dan berfokus pada properti premium,” tegasnya.

Beberapa pilihan akomodasi segmen premium OYO, termasuk Townhouse OAK, Townhouse, Collection O, dan Capital O. “Kami juga ingin menjalin kemitraan yang kuat dengan pelanggan kami di kota-kota bisnis dan kota tujuan rekreasi, dengan penetrasi yang lebih kuat ini kami yakin untuk terus menambah portofolio kami untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, serta menerapkan lokalisasi produk dan layanan,” tutupnya.

Dengan konsep yang berbeda, bobobox menyasar pasar hotel bujet di Indonesia dengan menawarkan layanan hotel kapsul yang mengutamakan efisiensi ruang. Didirikan pada 2018, bisnis hotel kapsul Bobobox telah melejit dengan total okupansi sebanyak 922 kamar di 16 lokasi yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia.

Perusahaan juga memiliki cabang premium yang diberi nama bobocabin. Tahun ini, Bobocabin menjadi fokus ekspansi Bobobox dengan menjangkau lebih banyak daerah di Indonesia, diantaranya Padusan, Jawa Timur, dan Ubud, Bali. Harapannya, ekspansi yang dilakukan Bobobox dapat berkontribusi terhadap perekonomian serta pemberdayaan sosial daerah setempat.

Tantangan dan peluang

Industri pariwisata memang sempat mengalami titik terendah pada awal pandemi yang memicu pembatasan mobilitas masyarakat secara besar-besaran. Pada 2020, salah satu pelaku industri, Airy, memutuskan untuk menutup bisnis secara permanen setelah dilaporkan telah memberhentikan 70 persen jumlah karyawannya.

Hal ini juga menimpa pelaku industri lainnya seperti OYO yang mencatat tingkat okupansi mitra hotel anjlok sebanyak 60%. Tidak hanya kondisi fisik, mental pun juga terdampak. RedDoorz sendiri sempat meluncurkan program Hope Hotline untuk menyediakan layanan sesi penyuluhan kepada mitra secara online.

Di samping pandemi, CEO Bobobox Indra Gunawan juga mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade, ada beberapa hal yang masih menjadi penghambat terbesar dari bisnis akomodasi, seperti modal yang tinggi, standar yang tidak konsisten, dan profitabilitas yang rendah. “Hal inilah yang ingin kami lawan di Bobobox,” tegasnya.

Selain skena jaringan hotel kapsul, bobobox juga menawarkan model bisnis kemitraan untuk investor yang berminat masuk ke bisnis bobobox. Mereka dapat terlibat pendanaan proyek, maupun bekerja sama terkait kepemilikan lahan.

Di tengah isu perlambatan ekonomi global, perekonomian nasional terus menunjukkan resiliensi dan beranjak pulih lebih cepat. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan IV-2022 yang tumbuh solid sebesar 5,01% (yoy). Pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2022 bahkan mencapai 5,31% (ctc), kembali mencapai level sebelum pandemi.

Melihat hal ini, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga optimistis bahwa Indonesia memiliki potensi wisatawan domestik yang cukup besar untuk menyokong industri pariwisata tanah air. Tahun ini, pemerintah telah menargetkan sekitar 1,2-1,4 miliar pergerakan perjalanan wisatawan domestik serta 3,5-7,4 juta kunjungan wisata mancanegara.

Pada awal Februari 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengumumkan total 5,47 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2022 penuh. Angka ini memang masih jauh dari total kunjungan sebelum Covid-19 sebanyak 16,11 juta wisatawan pada 2019. Namun, krisis COVID-19 telah merusak jumlah wisatawan Indonesia secara struktural. Maka dari itu, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan proses yang tidak instan untuk bisa pulih secara menyeluruh.

[Video] Bobobox Tambah Layanan dan Terapkan “Contactless Experience”

DailySocial bersama CEO Bobobox Indra Gunawan membahas  tantangan yang dihadapi perusahaan selama pandemi dua tahun terakhir. Ia juga bercerita strategi ekspansi yang dilakukannya Bobobox untuk memberikan kemudahan bagi pelanggan mendapatkan penginapan.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi sejumlah startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Arip Tirta: Teknologi Bisa Mengubah Orang dan Bisnis Secara Cepat dan Signifikan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Silicon Valley menjadi ‘surga’nya industri startup dan Arip Tirta sempat menjajal kawasan ini selama hampir 7 tahun, menganalisis pasar untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan.

Pada tahun 2011 ia memutuskan untuk pulang dan membangun usahanya sendiri. Ia memulai debut di bidang properti bersama UrbanIndo, sebuah layanan online yang membantu penggunanya untuk memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia. Setelah diakuisisi oleh startup proptech lain 99.co, Arip melanjutkan berjalanan bisnisnya di sektor akomodasi, Bobobox. Selain membangun usaha, dia juga aktif berinvestasi di startup, termasuk terlibat langsung dalam operasional perusahaan di beberapa startup.

Saat ini, Arip sedang fokus pada Evermos, sosial commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam mengembangkan ekosistem UKM, juga berperan menjadi bagian dari komisaris BRI Ventures untuk membantu membangun ekosistem VC di Indonesia.

Selain pengalamannya di Silicon Valley, Arip Tirta memiliki spesialisasi di bidang modal ventura, pinjaman ventura, perusahaan ekuitas, start-up, wirausahawan, manajemen keuangan, dan model bisnis. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi mengenai bisnis dan ekspektasi masa depan industri teknologi Indonesia.

Kapan pertama kali Anda menyadari ketertarikan pada industri teknologi?

Saya memiliki latar belakang pendidikan di bidang komputasi ilmiah. Sebuah ilmu kombinasi dari matematika terapan, statistik, dan ilmu komputer. Selama di kampus, saya selalu bermimpi untuk masuk ke Wall Street dan menjadi seorang trader. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Di tahun terakhir kuliah saya, saya mendapat kesempatan wawancara dengan salah satu perusahaan modal ventura & ekuitas swasta yang berbasis di Palo Alto. Saat itu, sudut pandang saya tentang industri teknologi masih terbatas, namun, akhirnya saya diterima karena kemampuan teknis.

Perjalanan awal saya di industri teknologi adalah menjadi analis untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan. Selama beberapa tahun pertama, saya adalah generalis sampai pada akhirnya memutuskan untuk fokus pada industri teknologi di tahun ketiga. Saat itu, semuanya mulai terasa lebih menarik. Selama hampir 7 tahun menganalisis pasar di Silicon Valley, saya memutuskan untuk pulang serta mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari di sana.

Pertemuan tahunan Hercules Capital tahun 2008

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di Silicon Valley, apa yang meyakinkan Anda untuk meninggalkan kawasan itu dan pulang ke Indonesia?

Jika ada satu hal yang saya pelajari di Silicon Valley, teknologi dapat mengubah orang dan bisnis secara cepat dan signifikan. Contohnya, dalam hal pemasaran. Pada era ketika internet sangat eksklusif, orang harus mengeluarkan banyak uang untuk iklan. Saat ini, pilihan semakin banyak, banyak hal yang bisa dilakukan bahkan dengan keterbatasan finansial. Teknologi mengubah cara kerja pemasaran dan hal ini akan terus berkembang.

Pada tahun 2010, Indonesia mengalami era ledakan internet yang pertama, salah satu momen bersejarah adalah akuisisi Koprol oleh Yahoo! Saya menyaksikan pertumbuhan perusahaan teknologi Indonesia dari jauh dan cukup terkesan. Dengan beberapa pertimbangan serius, saya akhirnya mengambil keputusan besar dan meninggalkan Silicon Valley untuk berkontribusi dalam kapasitas saya dengan pengalaman saya ke pasar Indonesia.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam membangun startup?

Ketika kita ingin memulai sesuatu, tidak yang namanya perfect timing. Beberapa bulan sebelum berangkat ke kampung halaman, saya sudah mengerjakan beberapa ide dan rencana bisnis, salah satunya adalah industri real estate.

Penampakan Indonesia di tahun 2010 adalah seperti wild wild west dimana infrastruktur dasar sangat terbatas. Oleh karena itu, kami [penggiat teknologi] secara kolektif berusaha mengembangkan fondasinya. Saya melakukannya di sektor properti, lalu yang lain juga melakukannya di berbagai sektor. Pada saat yang sama, kita pun perlu mengedukasi pasar. Dalam kasus ini, pasar tidak hanya mewakili pengguna akhir tetapi juga pemerintah, termasuk keluarga alias masyarakat.

Ketika menginjakkan kaki kembali di tanah air, saya sadar bahwa tidak seharusnya membandingkan kultur kerja di sini dengan yang ada di Silicon Valley. Oleh karena itu, semua saya lakukan tanpa ekspektasi tinggi, yang penting bisa berjalan lancar. Kami mendirikan UrbanIndo pada tahun 2011, layanan online yang membantu pengguna memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia.

Kegiatan akhir tahun UrbanIndo tahun 2014

Pertama, saya melihat dunia properti Indonesia kekurangan data pasar dan memutuskan untuk melakukan disrupsi agar lebih banyak orang dapat memiliki lebih banyak wawasan di sektor ini. UrbanIndo dibangun untuk menjadi situs properti terbaik di Indonesia dengan mendefinisikan ulang cara pandang masyarakat Indonesia terhadap properti. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia dapat mengambil keputusan terbaik terkait investasi properti. Kami fokus pada wawasan pasar, perubahan harga, proyeksi, undervalued property yang tersedia, dan sebagainya.

Kami melakukan segalanya dalam kapasitas kami untuk membangun platform ini, didukung oleh Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, dan angel investor terkemuka. Sebuah masa yang menyenangkan selama hampir 7 tahun membangun bisnis sampai pada akhir tahun 2017, kami akhirnya memutuskan untuk menerima unsolicited offer dari startup pencarian properti Singapura 99.co.

Diketahui aktif sebagai angel investor, Anda juga salah satu Co-Founder Bobobox serta secara langsung berkontribusi dalam operasionalnya sebagai Managing Director selama hampir satu tahun. Bagaimana Anda mengelola waktu dan kepentingan?

Ketika di UrbanIndo, saya juga menjalankan angel investing. Ada beberapa sektor yang rentan disrupsi. Dengan bobobox, saya terlibat sejak awal. Saya melihat industri travel sedang dalam puncak kejayaan. Banyak orang bepergian, sekedar untuk konten atau dengan harapan mendapat ketenangan pikiran. Lalu kami menemukan bahwa akomodasi yang memakan banyak biaya menjadi masalah besar di segmen ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memaksimalkan ruang sehingga menghasilkan penawaran harga yang hemat biaya.

Bobobox didirikan pada tahun 2018, solusi akomodasi baru, muda, ramping, gesit, dan cerdas untuk semua orang. Bobobox menjadi akomodasi alternatif bagi para pelancong milenial dan smart traveler yang ingin mencoba sesuatu yang baru dan berbeda. Platform ini dibangun untuk merevolusi kebiasaan tidur dan membantu orang tidur lebih baik dan menyajikan pengalaman lebih banyak melalui teknologi.

Angel Investing di Indonesia semakin populer karena banyak pendiri startup telah exit dan individu dengan kekayaan berlimpah yang semakin tertarik untuk berinvestasi langsung di startup. Berbeda halnya dengan Silicon Valley, karena di sana sudah terjadi siklus penuh dari pendirian startup hingga exit. Sementara di Indonesia, tahun ini bisa terjadi full cycle ketika unicorn/decacorn nasional berhasil exit di bursa luar negeri.

Sebagai social commerce, Evermos fokus untuk memberdayakan UMKM dan individu pada platformnya, secara khusus brand-brand Muslim. Mengapa anda memutuskan menggunakan pendekatan seperti ini?

Kilas balik ke Silicon Valley, dulu saya sempat berpikir untuk memulai usaha di ranah e-commerce. Di setiap daerah, sektor yang biasanya lebih dulu take off adalah e-commerce, juga yang pertama menjadi unicorn. Namun, ketika saya melihat situasi di Indonesia saat itu, sudah ada beberapa pemain papan atas dan jika harus menambahkan, tidak akan ada perbedaan yang signifikan dalam hal value proposition.

Melaju ke 2018, saya melihat ada banyak pain points di industri ritel. Ada banyak perantara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus dari pemilik merek hingga pengguna akhir. Dan saya berpikir, bagaimana mendisrupsi pasar ritel ini? Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi persentase pembelian online masih terhitung tidak cukup besar. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah manusia sebagai makhluk sosial dan budaya.

Saat itu, perdagangan sosial belum menjadi sesuatu. Bahkan, kami juga berusaha membawa dampak positif e-commerce ke pasar yang lebih besar. Didirikan pada November 2018, Evermos menjadi social commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform kami.

Kami ingin menciptakan ekonomi dan kesejahteraan yang inklusif dengan memberikan akses, kesempatan, dan pelatihan bagi individu dan UKM untuk lebih mandiri secara finansial.

Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, oleh karena itu, kami memutuskan menjadi platform yang berbasis syariah. Namun, ini tidak eksklusif dan terbuka untuk semua jenis pedagang terlepas dari basis syariah tersebut. Pendekatan ini semata-mata demi membuat platform lebih inklusif.

Saya memutuskan fokus dengan UKM karena industri ini telah menyumbang 60% dari PDB kita dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja domestik. Belum dihitung dengan pekerja unskilled. Evermos dianggap mengambil jalan yang sulit, jauh lebih mudah menjangkau merek global dengan pola pikir yang berkembang dan teknologi yang canggih. Namun, kami mempertanyakan diri sendiri, dampak seperti apa yang ingin diberikan, apakah itu menghasilkan keuntungan jangka pendek atau keuntungan jangka panjang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk fokus pada merek lokal yang dapat memberikan dampak bagi perekonomian bangsa.

Kami percaya sekelompok orang atau UKM yang bekerja sama dengan platform dan insentif yang tepat, dapat mencapai sesuatu yang substansial. Itulah mengapa kami menaruh kepercayaan pada social commerce, karena ini adalah ekonomi kerakyatan, di mana kami dapat menjadi jembatan bagi UKM di tahap awal. Dengan Evermos, mereka dapat fokus pada produksi untuk menciptakan harga yang kompetitif dengan pemain global. Saluran penjualan kami tersebar di seluruh Indonesia, sehingga merek lokal otomatis akan memiliki jangkauan nasional. Inilah yang menjadi proposisi nilai kami.

Ketakutan terbesar saya dari sisi startup teknologi atau UKM adalah negara kita menjadi konsumen tunggal. Kita harus bisa membangun nilai, bukan menjadi pedagang tunggal. Perekonomian Indonesia harus memiliki dampak positif, itu adalah bagian penting dari bangsa ini.

Perjalanan pitching pertama Evermos di 2018

Anda telah mengarungi sektor properti, akomodasi, lalu social commerce. Apa yang menjadi tantangan terbesar atau pelajaran berharga dari semua pengalaman tersebut?

Setiap industri memiliki masalah yang berbeda. Sebenarnya, ada beberapa masalah serupa yang harus kita waspadai dan tingkatkan secara kolektif. Di Indonesia, beberapa startup biasanya mengalami kesulitan dalam monetisasi. Kesalahan kami sebelumnya adalah memikirkan pangsa pasar dan menjadi yang terdepan lebih dulu, lalu memikirkan tentang monetisasi. Strategi ini telah terbukti di banyak negara. Nyatanya, Indonesia adalah bangsa yang unik, banyak orang berpendapat solusi internet seharusnya gratis. Strategi seperti ini mungkin berhasil di negara lain tetapi di Indonesia adalah sebuah peruntungan.

Kedua, sumber daya manusia. Hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis karena kurangnya pekerja di lapisan tengah. Dari sisi suplai, talenta masih cukup langka, terutama yang berlatar belakang teknologi. Saya pikir kedua masalah ini terjadi di hampir semua sektor.

Berpengalaman sebagai venture capitalist serta venture builder, bagaimana Anda melihat iklim investasi di Indonesia serta proyeksi pertumbuhan industri teknologi Indonesia beberapa tahun terakhir?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, Indonesia belum pernah menciptakan satu siklus penuh dalam hal investasi ventura. Mulai dari investasi hingga panen. Tahun ini akan menjadi tahun validasi bagi unicorn/decacorn yang sudah memiliki rencana IPO. Semoga exit tersebut juga bisa menjembatani startup lain untuk kegiatan M&A. Indonesia sudah menjadi pasar yang sangat menarik, ini adalah cara kita untuk memicu lebih banyak kisah sukses yang berdampak pada seluruh ekosistem.

Di era pandemi, banyak orang mencari modal, sementara VC semakin selektif dengan investasinya. Melalui dua perspective, bagaimana menurut Anda sebuah bisnis layak mendapat investasi serta apa value utama yang dicari investor dari sebuah bisnis/seorang founder?

Pandemi ini adalah sebuah anomali dan yang menjadi reaksi pertama adalah menunggu dan mengamati. Seiring berjalannya waktu, investor semakin beradaptasi dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini, melihat beberapa perusahaan dapat melewatinya dengan pertumbuhan yang sehat. Lagipula, ada sejumlah uang yang harus dikucurkan ke perusahaan. Ketika masa menunggu dan mengamati berlalu, para investor mulai masuk secara selektif.

Saat ini, banyak startup yang juga sedang menggalang dana, dan situasinya diharapkan semakin membaik. Mengenai penilaian VC, itu sangat tergantung pada pasar dan pengalaman pribadi. Ada kalanya pertumbuhan menjadi hal yang mendasar,  dewasa ini, bukan lagi perihal pertumbuhan dengan cara apapun, tetapi pertumbuhan yang sehat.

Sebagai salah satu komisaris di BRI Ventures, saya pribadi memiliki dua hal. Pertama, perusahaan ingin membangun ekosistem VC di Indonesia. Karena banyak VC membangun kantor di negara ini, uangnya tidak tinggal di sini. Hal ini adalah tentang bagaimana membuat VC dan uangnya bisa tinggal untuk membangun ekosistem. Kedua, BRI sebagai bank yang fokus pada UKM sangat selaras dengan passion saya terhadap UKM.

Para direktur dan komisaris BRI Ventures di 2020

Sebagai salah seorang yang layak disebut seasoned entrepreneur, apa hal yang dapat Anda sampaikan untuk para penggiat teknologi yang saat ini sedang berjuang membangun bisnis di era pandemi?

Untuk membuat startup teknologi, diperlukan pola pikir tertentu serta tidak menunggu waktu yang tepat. Selalu pikirkan jalan keluar terbaik dari situasi apa pun. Bagaimana kita bisa membuat kartu yang jelek bisa bekerja. Faktanya, ketika kita memutuskan untuk membangun usaha, tantangan adalah sesuatu yang sudah diantisipasi. Jika Anda harus menunggu waktu yang tepat, bagaimana Anda bisa menghadapi lebih banyak tantangan di depan.

Saya pribadi suka tangan saya kotor, itulah mengapa saya selalu terlibat di level operasional. Namun, saya mengerti bahwa inilah saatnya bagi kaum muda untuk berkembang. Saat ini saya sedang memfokuskan energi saya untuk membimbing dan sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ini. Kita hidup di masa yang sangat menyenangkan. Sekitar 400 tahun yang lalu, hampir tidak mungkin menciptakan dampak besar dalam waktu sesingkat itu. Teknologi menciptakan kesempatan yang sama dan menarik kesenjangan lebih dekat bagi orang-orang untuk menciptakan dampak yang besar.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arip Tirta: Technology Can Change People and Business in a Fast and Significant Way

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Silicon Valley is the paradise of the startup industry and Arip Tirta spent nearly 7 years analyzing the market for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. He has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models.

In 2011 he decided to come home and built his own venture. His startup debut is in the property sector, with UrbanIndo, an online service that helps its users to market, sell, and buy property in Indonesia. After being acquired by another proptech startup 99.co, Arip moved to the next venture in the accommodation sector, Bobobox. Aside from building a venture, he also actively invest in startups, he also directly involved in some of the startups.

Arip’s current focus now lies in Evermos, the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers through the platform. He’s currently very passionate about cultivating the SME ecosystem, also become a part of BRI Ventures’ commissioner to help to build the VC ecosystem in Indonesia.

Aside from his experience in Silicon Valley, Arip Tirta has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models. DailySocial team has an opportunity to discuss his venture and future expectations of the Indonesian tech industry.

When was the first time you realize that you’re in the tech industry?

I have an educational background in scientific computing. It’s a combination of applied math, statistics, and computer science. During my campus life, I always dreaming about making it into Wall Street and become a trader. Then, life got in the way. In my last year of college, I got an interview with one of the venture capital & private equity-based in Palo Alto. My viewpoint of the tech industry was limited at that time, however, I managed to pass the interview with my technical skill.

My first attempt in the tech industry was being an analyst for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. During my first few years, I was being a generalist until I decided to focus on the tech industry in my third year. I think that was when it all started to become more interesting. I spent 7 years analyzing the market in Silicon Valley and leaving with the finest seeds to plant in the home country.

Hercules Capital annual meeting circa 2008

You’ve had the time of your life in Silicon Valley, what makes you leave the “it” city and decided to come home?

If there is one thing I’ve learned in Silicon Valley, technology can change people and business in a fast and significant way. In terms of marketing, back in the day when the internet is very exclusive, people have to pay loads of money for ads. Nowadays, when there are options, everything is made possible even with just a little money. Technology is changing the way marketing works and still counting.

In 2010, Indonesia was having its first internet boom, one of the historical moments was Koprol’s acquisition by Yahoo! I was watching Indonesian tech companies’ growth from afar and quite impressed. With some serious considerations, I finally pull the trigger and leave Silicon Valley to contribute more in my capacity with my experience to the Indonesian market.

How was your first experience building a startup?

When we want to start anything, there is no such thing as perfect timing. Few months before leaving for my hometown, I’ve already worked on some ideas and business plans, one of which is the real estate industry.

Indonesia circa 2010 is like a wild wild west where basic infrastructure is very limited. Therefore, we [tech enthusiasts] collectively trying to develop the foundation. I did it in the property sector, there are others in different sectors. At the same time, we need to educate the market. Market in this sense not only stands for end-users but also the government, including families a.k.a societies.

When I set my foot back in this archipelago, I’m aware that I shall not compare how things work in here with the way things are in Silicon Valley. Therefore, I did it all without high expectation, just try to make it work. We founded UrbanIndo, an online service that helps users market, sell, and buy property in Indonesia in 2011.

UrbanIndo year-end event circa 2014

First, I see the Indonesian property lacks market data and decided to disrupt this industry for more people can have more insights on this sector. UrbanIndo was build to become the best property site in Indonesia by redefining the way Indonesians looking at properties. Therefore, all Indonesian people can make the best decision regarding investment in property. We’re focused on market insights, changing prices, projections, available undervalued property, and so on.

We did everything in our capacity to build this platform, it was backed by Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, and prominent angels. It was an exciting nearly-7-years time of making business work until in late 2017, we finally decided to accept an unsolicited offer from Singapore’s property search startup 99.co.

It is said that you are also an active angel investor. With Bobobox, you become the Co-Founder and directly contribute to managing day-to-day operations as Managing Director for almost a year. How did you manage?

While I was working with UrbanIndo, I also did some angel investing. There are several sectors that are worth disrupting. With bobobox, I was involved since the beginning. I see the travel industry is at its peak. Many people are traveling a lot, despite for content or just for peace of mind. We then found out that accommodation becomes a big cost-related issue in this segment. One of the ways to solve this problem is to maximize space resulting in cost-effective price.

Bobobox was founded in 2018, a new, young, sleek, nimble, and smart accommodation solution for everyone. Bobobox becomes the alternative accommodation for millennial adventurers and smart travelers who crave something new and refreshing. The platform was built to revolutionize sleeping habits and help people sleep better and experience more through technology.

Angel investing in Indonesia is getting popular as many startup founders have exited with high net worth individuals growing interested to invest directly in startups. In Silicon Valley, it’s different indeed as they have passed some full cycle from startup founding to exit. Meanwhile in Indonesia, it’ll make its full cycle this year when the nation’s unicorn/decacorn succeeded to exit in the overseas stock exchange.

As social commerce, Evermos focuses to empower SMEs and individuals on its platform, especially Muslim brands. Why do you take this approach?

Throwback to Silicon Valley, I used to think I would start my venture with e-commerce. In every region, the sector that is usually taking off first is e-commerce, the first one to make it into a unicorn. However, when I examine the current situation in Indonesia, there are already some leading players and if I added one more, there will not be a significant difference in terms of a value proposition.

Fast forward to 2018, I see the there are lots of pain points in our retail industry. It requires many middlemen to complete the cycle from brand owners to end-users. And I think to myself, how to disrupt this retail market? Years have passed since e-commerce expanding all around Indonesia, but the percentage of online purchasing is considered not big enough. There are several reasons, including people as a social being and culture.

Back then, social commerce is yet to be a thing. In fact, we also tried to bring the positive impact of e-commerce to a bigger market. Founded in November 2018, Evermos is the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers via our platform.

We want to create inclusive economy and prosperity by giving access, opportunity and training for individuals and SMEs to become more financially independent.

Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, therefore, we decided our platform be sharia compliance. However, it is not exclusive and it’s open for all kinds of merchants regardless of the sharia compliance. The approach is to make the platform more inclusive.

SME becomes one of my focus since it contributes to 60% of our GDP and absorbs around 97% of domestic employment. Try counting the unskilled workers, too. Evermos is considered to take the hard road as it is easier to deal with global brands with a growth mindset and sophisticated technology. However, we did questioning ourselves about the impact we want to create, is it to make a short term gain or long term gain. Thus, we decided to focus on local brands that can create an impact on the nation’s economy.

We believe whether the group of people or SMEs work together with the right platform and incentives, we can achieve something substantial. That is why we put our trust in social commerce because this is people’s economy, where we can be the bridge for SMEs in the early stage. With Evermos, they can focus on production to create a competitive price with global players. Our sales channels are distributed throughout Indonesia, therefore, the local brands automatically become national companies. This has become our value proposition.

My biggest fear in terms of tech startups or SME is that our country became a sole consumer. We have to be able to build the value, instead being a sole trader. Indonesian economy should have the positive impact, it’s an essential part of this nation.

Evermos first pitch to investor trip circa 2018

You’ve been venturing in the property sector, accommodation, and now the social commerce, Evermos. What is the biggest challenge or the lesson learned from all your experiences?

Every industry holds different issues. In fact, there are some similar concerns we should be aware of and collectively improve. In Indonesia, some startups are usually having difficulty with monetization. Our previous blunder was thinking of market share first and being the leading one, then we can turn on monetization. This strategy has proven in many countries. After all, Indonesia is indeed a unique nation that some people are not willing to pay a certain amount for an internet solution. It might work in other country but it’s a leap of faith in Indonesia.

Second, it’s the human resources. To date, Indonesia still experiences a crisis due to the lack of a middle layer. In terms of supply, talent is still quite rare, especially in a tech background. I think both issues are happening in almost every sector.

You’ve had experience as a venture capitalist and venture builder, what do you think of Indonesia’s investment climate, and how do you see the Indonesian tech industry’s growth for the past few years?

As I said previously, Indonesia is yet to create one full cycle in terms of venture investment. From investing to harvesting. This year will be the year of validation for the unicorn/decacorn which already have plans for IPO. Hopefully, the exit can also bridge other startups for M&A activities. Indonesia is already a very attractive market, it’s how we trigger more success stories to impact the whole ecosystem.

In this time of the pandemic, people are looking for capital everywhere, and VCs have been tight and selective with their investment. Using both perspectives, what do you think a business can do to get funding and what kind of value most investors are seeking for in a founder/business.

The pandemic is an anomaly and people’s first reaction is to wait and see. In time, investors are getting adapt and adjust to the current condition seeing some companies can make it through with healthy growth. Also, there’s a certain amount of money to be planted to companies. When the wait-and-see season is finally passed, they started to chip in selectively.

There are also lots of startups fundraising at this moment, hopefully, the situation gets better. Regarding VC’s assessment, it’s really depend on the market and personal experience. There are times when growth becomes the fundamental, today, it’s not really about growing at any cost, but growing in a healthy way.

As one of the commissioners in BRI Ventures, I personally have two things. First, the company wants to build VC ecosystem in Indonesia. As many VCs build offices in this country, the money did not stay here. It’s about how to make VCs and its money can stay to generate the ecosystem. Second, BRI as an SME-focused bank is very aligned with my passion for SMEs.

BRI Ventures directors and commissioners circa 2020

As a seasoned entrepreneur, do you have anything to say to those tech enthusiasts who tried to start something in this time of pandemic?

In order to create tech startup, it requires certain mindset and no perfect timing. Always think of the best way out of any situation. How can we make an unfortunate card works. In fact, when we decided to venture, challenge is something expected. If you have to wait for the perfect timing, how can you face the more challenges ahead.

I personally like my hands dirty, that’s why I involved in the operation level. However, I understand that this is the time for young people to blossom. I’m currently focusing my energy to mentor and it’s already time to pass the baton. We live in a very exciting time. About 400 years ago, it’s almost impossible to create big impact in such short time. Technology creates equal opportunity and pulling the gap closer for people to create a big impact.

Bobobox Expands Services, Optimistic with Local Tourism Industry

The tourism industry is the first most affected layer by the Covid-19 pandemic. Many companies are competing to develop other businesses as a pivot to buffer due to survival. The same strategy is taken by proptech startup Bobobox, which is developing several innovations outside the capsule hotel.

Bobobox’s Co-Founder and CEO, Indra Gunawan said to DailySocial that his startup was quite affected by the pandemic. However, thanks to the team persistence, the company was able to adapt quickly and continue to innovate during that time.

“As a result, we managed to get a V shape recovery that is much faster than we predicted. This is also the fact that 90% of our market is domestic, has helped us to survive the crisis better,” Indra said.

The Series A funding was announced in March 2020, which is the right ammunition for Bobobox to stay afloat. Currently, the company has launched two new products, accommodation services with the concept of co-living (Boboliving) and glamping/glamor camping (Bobocabin). There are other products currently in progress, including hourly rental single pods and campervan accommodation.

Indra explained that Bobobox and Boboliving originated from the company’s internal findings from its customers. It was found that the domestic market rose faster and used to stay in the range of 1-2 days, now it is longer by around weeks to months. This condition is reflected in the Bobobox report, where long-term guests have grown rapidly during the pandemic.

As narrowed down, there are now two types of hotel guests. First, those who still need to go to the office during the pandemic and want to avoid long-distance travel. Second, people who work from home, but do not have fast work facilities such as high-speed Wi-Fi and a safe environment. “This led us to develop Boboliving and the product was sold out within 3 weeks on the market.”

The result is, Bobobox noticed that WFH lifestyle will continue in the future, even when Covid-19 has ended. Then, today’s consumer trends are driven by self-protection and social distancing. “We want to develop solutions where people can have alternative options for work and school fees (for the younger ones).”

Bobocabin and Boboliving

Boboliving / Bobobox
Boboliving / Bobobox

Bobocabin and Boboliving take advantage of existing technology for their operations. In terms of design, Bobocabin is designed by adopting a futuristic modular design with a capacity of two adults and one child while considering the need for social distancing restrictions. Each cabin is equipped with modern facilities, supported by IoT technology to control the features in it, such as windows, lights, doors, and audio speakers that can be controlled from a visitor’s smartphone.

Bobocabin is available in two areas in Bandung, Rancupas, and Cikole by utilizing land owned by Perhutani. Respectively an area of ​​1.26Ha and 1Ha. Apart from the rooms, Bobocabin is also equipped with 24-hour front desk, barbecue and bonfire. The official fee ranges from IDR 450 thousand to IDR 550 thousand per night.

Bobocabin emphasizes the need for sustainable tourism through the nature-based tourism segment that offers more benefits from an economic, social, and environmental perspective.

Meanwhile, Boboliving is like a boarding house with more spacious room facilities for work areas. The rooms are prepared with 10 pods containing mattresses and wardrobes. These capsules can be rented daily, weekly, monthly, and yearly. Currently, Boboliving is available in Pancoran, South Jakarta.

“Bobobox sees the huge economic potential with the existence of a residential business ecosystem such as co-living, especially for property business activists who want to start a business yet constrained by limited land. This is also driven by the need for housing which is increasing every year, but it is inversely proportional to the availability of land, especially in big cities,” Indra said in an official statement.

Regarding the latest development of the Bobobox capsule hotel, it has distributed in several cities on Java, including Yogyakarta, Semarang, and Solo. Until the fourth quarter of 2020, this product recorded an occupancy rate of back to 80% from the pre-pandemic position which reached the 80% -90% range.

Indra is optimistic from the various sources he summarized, indicating that more than 70% are interested in traveling. This shows that vacations seem non-negotiable to many. “With a market fit for our new product, we are confident that we can reimagine tourism across Indonesia with an extraordinary experience.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ekspansi Layanan, Bobobox Optimis dengan Industri Pariwisata Lokal

Industri pariwisata adalah layer pertama yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Perusahaan banyak berlomba-lomba mengembangkan bisnis lain sebagai langkah pivot untuk buffer agar tidak jatuh terlampau dalam. Strategi yang sama juga diambil oleh startup proptech Bobobox yang mengembangkan beberapa inovasi di luar hotel kapsul.

Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO Bobobox Indra Gunawan menuturkan, startupnya juga ikut terdampak dari pandemi. Akan tetapi berkat kegigihan tim, perusahaan dapat beradaptasi dengan cepat dan tetap melanjutkan inovasi dalam kurun waktu tersebut.

“Sebagai hasilnya, kami berhasil mendapat pemulihan kurva V (V shape recovery) yang jauh lebih cepat dari yang kami prediksi. Ini juga fakta bahwa 90% pasar kami adalah domestik, berhasil membantu kami untuk bertahan lebih baik dari krisis,” terang Indra.

Pendanaan Seri A yang diumumkan pada Maret 2020 lalu merupakan amunisi tepat buat Bobobox untuk tetap bertahan. Saat ini perusahaan sudah meluncurkan dua produk baru, yakni produk jasa akomodasi dengan konsep co-living (Boboliving) dan glamping/glamour camping (Bobocabin). Produk lainnya yang sedang disiapkan adalah akomodasi dengan konsep sewa perjam (hourly rental single pods) dan campervan.

Indra menjelaskan Bobobox dan Boboliving berawal dari hasil temuan internal perusahaan dari para konsumennya. Ditemukan bahwa pasar domestik bangkit lebih cepat dan dulunya masa inap berada di kisaran 1-2 hari, sekarang jadi lebih panjang sekitar mingguan hingga bulanan. Kondisi inilah yang tercermin dengan laporan Bobobox, yang mana tamu jangka panjang telah berkembang pesat selama pandemi.

Bila dikerucutkan, kini ada dua tipe tamu hotel. Pertama, mereka yang masih perlu pergi ke kantor selama pandemi dan ingin menghindari perjalanan jarak jauh. Kedua, orang yang bekerja dari rumah, tatapi tidak memiliki fasilitas kerja yang cepat seperti Wi-Fi berkecepatan tinggi dan lingkungan aman. “Ini mengarahkan kami untuk mengembangkan Boboliving dan produknya terjual habis dalam waktu 3 minggu di pasaran.”

Dari hasil kajian ini, Bobobox menangkap bahwa ke depannya WFH adalah gaya hidup yang akan terus berlanjut, bahkan ketika Covid-19 sudah berakhir. Lalu, tren konsumen saat ini didorong oleh perlindungan diri dan jarak sosial. “Kami ingin mengembangkan solusi di mana orang dapat memiliki pilihan alternatif untuk bekerja dan biaya sekolah (untuk yang lebih muda).”

Bobocabin dan Boboliving

Boboliving / Bobobox
Boboliving / Bobobox

Bobocabin dan Boboliving memanfaatkan keberadaan teknologi untuk operasionalnya. Dari segi desain, Bobocabin dirancang dengan mengadopsi desain modular yang futuristik berkapasitas dua orang dewasa dan satu anak dengan tetap memerhatikan kebutuhan untuk pembatasan jarak sosial. Tiap kabin dilengkapi dengan fasilitas modern, didukung teknologi IoT untuk mengontrol fitur-fitur di dalamnya, seperti jendela, lampu, pintu, dan audio speaker yang bisa dikendalikan dari smartphone pengunjung.

Bobocabin tersedia di dua kawasan di Bandung, yaitu Rancupas dan Cikole dengan memanfaatkan lahan milik Perhutani. Masing-masing seluas 1,26Ha dan 1Ha. Selain kamar, Bobocabin dilengkapi dengan fasilitas resepsionis 24 jam, barbeque, dan api unggun. Biaya yang banderol berkisar dari Rp450 ribu hingga Rp550 ribu per malam.

Bobocabin ini mengedepankan kebutuhan pariwisata yang keberlanjutan melalui segmen nature-based tourism yang menawarkan manfaat lebih dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Sementara itu, Boboliving seperti indekos dengan fasilitas kamar yang lebih luas untuk area bekerja. Kamar yang disiapkan sebanyak 10 unit pods berisi kasur dan lemari pakaian. Kapsul ini dapat disewa harian, mingguan, bulanan, hingga tahunan. Saat ini Boboliving sudah tersedia di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

“Bobobox melihat potensi ekonomi yang besar dengan adanya ekosistem bisnis hunian seperti co-living, terutama bagi pegiat bisnis properti yang ingin memulai bisnis namun terkendala oleh keterbatasan lahan. Hal ini didorong pula oleh adanya kebutuhan hunian yang semakin meningkat setiap tahunnya, namun berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan terutama di kota-kota besar,” ujar Indra dalam keterangan resmi.

Terkait perkembangan terkini hotel kapsul Bobobox, sekarang sudah tersebar di beberapa kota di pulau Jawa, antara lain Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Hingga kuartal IV 2020, produk ini mencatatkan tingkat okupansi kembali ke besaran 80% dari posisi sebelum pandemi yang mencapai kisaran 80%-90%.

Indra optimis dari berbagai sumber yang ia rangkum, menunjukkan bahwa lebih dari 70% tertarik untuk bepergian. Hal ini memperlihatkan bahwa liburan tampaknya tidak bisa dinegosiasikan bagi banyak orang. “Dengan kesesuaian pasar untuk produk baru kami, kami sangat yakin dapat menata kembali pariwisata di seluruh Indonesia dengan pengalaman yang luar biasa.”

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures’ Focus and Plans Amid Pandemic

With many VCs performing tight curation, even postpone their investment plans to startup during the pandemic, Alpha JWC Ventures claimed to be quite aggressive in pouring fresh funds into startups in Indonesia. Reportedly, they have announced follow-on funding on 3 of the portfolios. Those include Kopi Kenangan, GudangAda, and Bobobox.

The three startups are Alpha JWC’s preference, as the business model innovations in the industry engaged with people’s basic needs. For example, FMCG – daily-consumed products, yet the industry is still constrained by supply chain structures and traditional transaction processes.

When the pandemic strikes and business activities are limited, these items cannot reach the end consumer as expected. Such startups as GudangAda plays an important role in providing solutions for traders to carry out the transaction (trading) flows, at various levels of the supply chain, in a simplified way through their marketplace platforms and logistics service.

Bobobox is also quite interesting. When the occupancy rate in the hotel industry has dropped dramatically, they provide long-stay accommodation for people who need adequate work-at-home facilities, and also modify their pods into medical rest space.

“We are looking for a startup with a clear vision, a distinctive value proposition, and an agile organizational and cultural structure, therefore, they can adapt to various challenges. Such companies will be able to maintain relevance, develop according to their potential expectations, and eventually became a market leader,” Alpha JWC’s Partner, Eko Kurniadi said.

Alpha JWC is also conducting an assessment of new startups in various funding phases. On the other hand, the team internally focused on helping founders in the current portfolio, both strategically and financial support in the form of follow-on funding.

Business adjustment during pandemic

In particular, Alpha JWC eyes structural changes in the startup business model, as a result of a pandemic that caused changes in consumer consumption behavior and patterns. Businesses are then ‘forced’ to look for new ways to maintain their relevance among consumers – including changes in the customer acquisition process, user experience innovation, and the search for new sources for monetization.

Another thing worth highlighting is the importance of strong business and financial fundamentals. The term ‘growing at all cost’ is no longer the single important line for startups. Startups are now required to show healthy unit economics calculations and clear business plans to achieve profitability.

On the other hand, adjustments or corrections to valuation calculations will also occur through natural selection. The number of startups with funding demand will rise, especially in difficult times. On the contrary, most investors take a more cautious and selective approach in choosing which companies to invest. It is due to the mismatch between supply and demand, price correction (valuation) in the market arose.

The tech industry has helped accelerate digital adoption in traditional industries. This has been visible in some sectors and it is expected that the changes are to spread to other industries such as FMCG, F&B, finance, agriculture, entertainment, and others. Pandemics also create opportunities for many consumers, who were previously conservative, to try technology products offering more convenience.

“Looking at some of the more mature (later-stage) startups in the sectors we discussed earlier, I believe they have the right ingredients to maintain this momentum, even after the pandemic ends – then, it’s a matter of proper execution at the right time,” Kurniadi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fokus dan Rencana Investasi Alpha JWC Ventures di Tengah Pandemi

Meskipun kebanyakan VC memilih untuk melakukan kurasi ketat, bahkan menunda, rencana investasinya ke startup, namun selama pandemi Alpha JWC Ventures mengklaim justru cukup agresif menggelontorkan dana segar kepada startup di Indonesia. Tercatat mereka telah mengumumkan pendanaan lanjutan (follow-on funding) bagi 3 dari portofolio. Di antaranya adalah Kopi KenanganGudangAda, dan Bobobox.

Ketiga startup tersebut menjadi pilihan Alpha JWC, dilihat dari inovasi model bisnis dalam industri yang justru merupakan basic needs dari masyarakat. Contohnya, FMCG — kebutuhan pokok masyarakat yang dikonsumsi sehari-hari, namun industri tersebut masih terkendala struktur supply chain dan proses transaksi yang masih tradisional.

Pada saat pandemi melanda dan berbagai kegiatan bisnis menjadi terbatas, barang-barang tersebut tidak dapat sampai ke pintu konsumen akhir seperti yang diharapkan. Startup seperti GudangAda memegang peranan penting dalam memberikan solusi bagi para pedagang agar tetap dapat menjalankan arus transaksi (jual-beli) mereka, di berbagai level supply chain, dengan jauh lebih mudah melalui platform marketplace dan layanan logistiknya.

Bobobox juga menjadi contoh menarik. Di saat occupancy rate di industri perhotelan menurun drastis, mereka menyediakan penginapan long-stay bagi masyarakat yang butuh fasilitas bekerja di rumah yang memadai, dan juga memodifikasi pods mereka menjadi tempat istirahat tenaga medis.

“Yang kami cari adalah startup yang memiliki visi jelas, value proposition yang distinctive, dan struktur organisasi dan culture yang agile, sehingga mereka dapat beradaptasi dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Perusahaan seperti inilah yang akan mampu mempertahankan relevansi, berkembang sesuai harapan atas potensinya, dan akhirnya menjadi market leader,” kata Partner Alpha JWC Eko Kurniadi.

Alpha JWC juga sedang melakukan assessment kepada startup baru dalam fase proses pendanaan yang beragam. Di sisi lain, secara internal tim juga fokus untuk membantu founder dalam portofolio binaan, baik secara strategis maupun dukungan finansial dalam bentuk pendanaan lanjutan.

Penyesuaian bisnis startup saat pandemi

Secara khusus Alpha JWC melihat perubahan struktural pada model bisnis startup terjadi, akibat dari pandemi yang menyebabkan perubahan dalam perilaku dan pola konsumsi konsumen. Pelaku bisnis kemudian ‘dipaksa’ untuk mencari cara-cara baru untuk mempertahankan relevansi mereka di mata konsumen — termasuk perubahan dalam proses akuisisi pelanggan, inovasi user experience, dan pencarian sumber-sumber baru untuk monetisasi.

Hal lain yang kemudian menjadi perhatian adalah, pentingnya fundamental bisnis dan finansial yang kuat. Istilah ‘growing at all cost’ bukan lagi merupakan satu-satunya hal utama bagi startup. Startup kini dituntut untuk menunjukkan perhitungan unit economics yang sehat dan rencana bisnis yang jelas untuk mencapai profitabilitas.

Di sisi lain penyesuaian atau koreksi perhitungan valuasi juga akan terjadi melalui proses seleksi alam. Jumlah startup yang membutuhkan dana akan bertambah, terutama di masa sulit seperti ini. Namun sebaliknya, investor kebanyakan mengambil pendekatan yang lebih hati-hati dan selektif dalam memilih perusahaan mana yang akan didanai. Karena adanya mismatch antara supply dan demand, koreksi harga (valuasi) di pasar pun terjadi.

Industri teknologi juga turut membantu mempercepat adopsi digital di industri tradisional. Hal ini sudah terlihat di beberapa sektor tersebut dan diharapkan perubahan ini akan terus cepat menyebar ke industri lainnya seperti FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, hiburan, dan lainnya. Pandemi juga menciptakan peluang bagi banyak konsumen, yang tadinya cenderung konservatif, untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan convenience. 

“Melihat beberapa startup yang lebih matang (later-stage) di sektor-sektor yang tadi kita bahas, saya percaya mereka memiliki ingredients yang tepat untuk menjaga momentum ini, bahkan setelah pandemi berakhir — dari situ, hanya tinggal masalah eksekusi yang benar di saat yang tepat,” kata Eko.

Bobobox Secures Series A Funding Worth 170 Billion Rupiah

Bobobox, known as a startup of capsule hotel accommodation service, recently announced Series A funding worth of US$ 11.5 million or equivalent to 170 billion Rupiah. This round was led by Horizons Ventures with the previous investor, Alpha JWC Ventures. It is with participation of some investors, including Cocoa Investments, Sequoia Surge, and Mallorca Investment.

Prior to this, Bobobox’s pre series A began in March 2019, it was involving Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, and three other investors. Later, in May 2019, the Bandung based startup returned to get funding from Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, Everhaus, Alpha JWC Ventures, and Ganesia Ventures.

With this additional capital fund, the company will focus on developing features to improve the experience of using pods (call for lodging capsules). In addition, they also plan to strengthen teams in manufacturing and operations, plus expansion to several other countries in Southeast Asia after the Covid-19 pandemic ends.

This round becomes quite unique, as the Covid-19 outbreak happened, many players in the accommodation and tourism industries have collapsed, some are shutting down the business. Bobobox’s Co-Founder & CEO Indra Gunawan said, “We are grateful and proud to still be able to obtain funding from global investors amid the crisis due to the Covid-19 outbreak. I believe this is part of the result from our discipline in maintaining our unit economics in all branches.”

In the past year, Bobobox has established six new locations in three cities: Bandung, Jakarta, and Semarang. To date, they operate eight locations with a total of 572 pods and occupancy rates of 80-90% before the pandemic. After the pandemic it is significantly dropped to 50-60%.

“In my opinion, another factor behind investor’s trust in Bobobox is the unique selling proposition that allows us to be prepared for the crisis and behavioral changes that arise from this pandemic, even before we know this will happen. It will benefit us later when technology-based accommodation becomes an industry demand,” he added.

Alternative lodging during pandemic

Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox
Launching pods for medical staff of Covid-19 hospital partners / Bobobox

It is stated in the release, the Covid-19 pandemic also opened up new opportunities. As the tourism industry slows down, local residents become new customers of the Bobobox pods. In order to meet consumer demand and maintain the safety of its staff and customers, Bobobox implements preventive measures, including limiting the number of entrants and closing public gathering spaces.

“With additional preventive measures, many local residents have chosen to relocate to our pods to support their work-from-home needs. Some of them choose the closest Bobobox from their office to avoid long travel and the crowds, all to reduce the risk of exposure to Covid-19,” Bobobox’s Co-Founder & President, Antonius Bong explained.

Previously, in collaboration with the Li Ka Shing Foundation, Bobobox also donated 100 sleeping pods to Covid-19 referral hospitals in DKI Jakarta and West Java. It is to be used as a resting place for medical staff during their breaks.

“The crisis shows the true state of the company and how strong their business and revenue framework is. The crisis finally shows which companies are really solid. With satisfactory performance and growth since we first invested in Bobobox in 2018, we believe Bobobox will not only be able to overcome the current shocks but will be a leading player in the regional tourism industry,” Alpha JWC Ventures’ Managing Partner, Chandra Tjan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here