10 Game dengan Penghasilan dan Angka Penjualan Terbesar Sepanjang Sejarah

Popularitas game datang dan pergi. Biasanya, popularitas sebuah game akan memudar seiring dengan berjalannya waktu. Namun, ada beberapa game yang tetap dapat relevan bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun sejak ia diluncurkan. Kali ini, saya akan membahas game-game yang berhasil mencetak rekor di dunia. Dua tolok ukur yang saya gunakan adalah total pendapatan dan total penjualan.

10 Game dengan Pemasukan Terbesar Sepanjang Masa

Daftar ini dibuat menggunakan data dari Video Games Sales Wiki. Angka penjualan dari game disesuaikan dengan tingkat inflasi menggunakan kalkulator inflasi.

1. Space Invaders (1978) – per 2021 – US$34 miliar

Percaya atau tidak, Space Invaders — game yang diluncurkan pada 1978 — memegang gelar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Game shooting buatan developer Jepang ini bisa dimainkan di arcade dan juga konsol Atari. Dari penjualan mesin arcade, total pemasukan Space Invaders mencapai US$7,5 miliar pada 1982 atau sekitar US$21,26 miliar pada 2021.

Selain dari penjualan arcade, Space Invaders juga mendapatkan pemasukan dari coin drop. Pada 1983, pemasukan Space Invaders dari coin drop mencapai US$4,4 miliar. Jika Anda menghitung inflasi, angka itu setara dengan US$12,47 miliar pada 2021. Sementara itu, dari konsol Atari, Space Invaders mendapatkan pemasukan sebesar US$151 juta pada 1990, sekitar US$316 juta pada 2021. Jadi, secara total, pemasukan yang didapat oleh Space Invaders adalah US$34 miliar.

2. Pac-Man (1980) – per 2021 – US$27,50 miliar

Peringkat kedua masih diisi oleh game klasik, yaitu Pac-Man, yang diluncurkan pada 1980. Game ini tersedia di arcade dan konsol. Dari penjualan mesin arcade, Pac-Man mendapatkan US$9,34 miliar pada 1982, yang setara dengan US$24,68 miliar. Masih di tahun 1982, Pac-Man mendapatkan US$319,2 juta (sekitar US$905 juta pada 2021) dari penjualan game untuk konsol.

Sementara itu, per 1987, penjualan Pac-Man di PC menyumbangkan US$2 juta (setara dengan US$4,82 juta pada 2021). Nantinya, Pac-Man juga diluncurkan untuk mobile. Dari mobile, Pac-Man mendapatkan US$84 juta per 2012, sekitar US$100 juta jika Anda menghitung inflasi. Jadi, secara total, pemasukan Pac-Man mencapai US$27,5 miliar.

3. Street Fighter II (1991) – per 2017 – US$21,3 miliar

Street Fighter II diluncurkan pertama kali pada 1991 sebagai game arcade. Satu tahun berikutnya, Capcom meluncurkan beberapa versi baru dari Street Fighter II, seperti Street Fighter II: Champion Edition, Street Fighter II Turbo, Super Street Fighter II, dan Super Street Fighter II Turbo. Keempat game itu masih merupakan game arcade. Masih di 1982, Capcom merilis Street Fighter II: The World Warrior untuk Super Nintendo Entertainment System (SNES). Game itu terjual sebanyak 6,3 juta unit.

Pada 1993, Capcom meluncurkan Street Fighter II Turbo untuk SNES dan Street Fighter Special Champion Edition untuk Mega Drive. Setahun kemudian, Super Street Fighter II diluncurkan untuk SNES. Setelah itu, Capcom berhenti untuk meluncurkan Street Fighter II untuk platform apa pun selama 12 tahun. Baru pada 2006, Capcom merilis Street Fighter II untuk PlayStation Portable (PSP) sebagai bagian dari Classics Collection Reloaded. Dua tahun kemudian, pada 2008, Capcom merilis Super Street Fighter II Turbo HD Remix untuk PlayStation 3 dan Xbox 360.

 

Super Street Fighter II Turbo HD Remix. | Sumber: GameSpot

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Di tahun yang sama, Capcom merilis Ultra Street Fighter II: The Final Challengers untuk konsol Nintendo tersebut. Di tahun yang sama, Capcom juga sempat meluncurkan Super NES Classic Edition untuk SNES. Secara total, pemasukan yang Capcom dapat dari Street Fighter II adalah US$10,61 miliar pada 1991. Dengan inflasi, angka itu naik menjadi US$21,3 miliar.

4. Dungeon Fighter Online (2005) – per 2020 – US$15 miliar

Sejak diluncurkan pada 2005, Dungeon Fighter Online berhasil mendapatkan total pemasukan sebesar US$15 miliar, berdasarkan laporan keuangan Nexon untuk Q1 2020. Game beat-em up 2D action ini sangat populer di Tiongkok. Meskipun begitu, ia tidak terlalu populer di tingkat global. Buktinya, walau game itu tersedia di Steam, jumlah rata-rata dari concurrent players Dungeon Fighter Online di Steam hanya mencapai 450 pemain. Padahal, menurut laporan MMOS, pada puncaknya, jumlah concurrent players di Tiongkok bisa mencapai 3 juta orang.

Meskipun begitu, spending dari para gamers di Tiongkok sudah cukup untuk membuat Dungeon Fighter Online masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Setiap bulan, game ini juga sering masuk dalam daftar game PC dengan pemasukan terbesar, menurut data dari Superdata Research.

Dungeon Fighter Online sering masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbanyak. | Sumber: Superdata Research

5. CrossFire (2007) – per 2019 – US$14,2 miliar

CrossFire merupakan game FPS buatan Smile Gate yang dirilis pada 2008. Pada 2008-2009, pemasukan game itu hanya mencapai US$213 juta atau setara dengan US$250 juta pada 2021. Namun, pada 2010, pemasukan CrossFire meningkat pesat, mencapai US$1,2 miliar. Sejak saat itu, setiap tahun, pendapatan dari CrossFire tidak pernah kurang dari US$1 miliar. Per 2019, total pemasukan yang didapat oleh CrossFire mencapai US$14,2 miliar.

6. World of Warcraft (2004) – per 2017 – US$12,05

Menurut data dari Video Games Sales Wiki, pemasukan World of Warcraft pada 2005 mencapai US$250 juta. Angka ini naik menjadi US$597 juta pada 2006 dan menjadi US$843 juta pada 2007. Pemasukan World of Warcraft menembus US$1 miliar untuk pertama kalinya pada 2008. Sampai 2011, pemasukan World of Warcraft terus ada di atas US$1 miliar.

Namun, pada 2012, pendapatan dari game MMORPG ini mulai turun, menjadi US$901 juta. Angka ini kembali turun pada 2013 — menjadi US$805 juta — dan pada 2014, menjadi US$728 juta. Pada 2015, pemasukan World of Warcraft memang sempat naik, menjadi US$814 juta. Namun, pada 2017, total pemasukan World of Warcraft kembali turun, menjadi US$472 juta. Secara total, jika Anda menghitung inflasi, pemasukan World of Warcraft dalam periode 2005-2017 mencapai US$12, 02 miliar.

7. League of Legends (2009) – per 2020 – US$11,866 miliar

Diluncurkan pada 2009, League of Legends adalah game pertama buatan Riot Games. Selama 10 tahun ke depan, League of Legends menjadi satu-satunya game besutan studio asal Los Angeles tersebut. Fokus Riot untuk mengembangkan game MOBA itu tidak sia-sia. Per 2020, total pemasukan yang Riot Games dapatkan dari League of Legends hampir mencapai US$12 miliar. Jika Anda penasaran bagaimana Riot bisa fokus pada League of Legends selama bertahun-tahun, Anda bisa membacanya di sini.

Pemasukan League of Legends pada 2015-2020. | Sumber: Statista

Pada 2012, pemasukan dari League of Legends mencapai US$200 juta. Perlahan tapi pasti, angka ini terus naik. Dalam satu tahun, pada 2013, pemasukan League of Legends melonjak menjadi US$624 juta. Pada tahun berikutnya, pemasukan game itu kembali naik, menjadi US$964 juta. Dan sejak 2015 sampai 2020, pemasukan League of Legends tidak pernah kurang dari US$1 miliar, menurut data Statista. Pada 2017, pemasukan dari League of Legends bahkan menembus US$2,1 miliar.

8. Honor of Kings (2015) – per 2021 – US$10 miliar

Minggu lalu, pemasukan Honor of Kings mencapai US$10 miliar. Dengan begitu, game MOBA tersebut menjadi mobile game pertama yang mendapatkan pencapaian tersebut. Ironisnya, Honor of Kings hanya membutuhkan waktu 6 tahun untuk bisa mendapatkan US$10 miliar. Padahal, League of Legends — yang menjadi inspirasi dari Honor of Kings — membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan US$10 miliar.

9. Lineage (1998) – per 2019 – US$9,635 miliar

Lineaga dirilis pada September 1998. Per 2019, total pemasukan yang didapat game MMORPG asal Korea Selatan ini mencapai US$9,7 miliar, menjadikannya sebagai salah satu game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Faktanya, Lineage merupakan salah satu franchise game paling populer di Korea Selatan.

Berkat kesuksesan Lineage, franchise itu menelurkan banyak game lain. Misalnya, pada 2003, Lineage II dirilis. Game itu merupakan prekuel dari Lineage, dengan setting waktu 150 tahun sebelum Lineage. Pada 2017, tiga game Lineage diluncurkan sekaligus, yaitu Lineage 2 Revolution, Lineage 2 M, dan Lineage Red Knights. Ketiganya merupakan mobile game. Lineage 2 M — yang merupakan versi mobile dari Lineage II — diluncurkan pada 2019.

10. Monster Strike (2013) – per 2021 – US$9,3 miliar

Monster Strike menjadi mobile game kedua yang masuk dalam daftar game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa. Diluncurkan pada 2013, Monster Strike dengan cepat menjadi populer di Jepang. Per Oktober 2018, total pemasukan dari game itu mencapai US$7,2 miliar. Ketika itu, Monster Strike berhasil menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar, menggeser Puzzle & Dragons yang sebelumnya memegang gelar tersebut.

Monster Strike. | Sumber: VentureBeat

Dari daftar di atas, saya mencoba untuk menarik beberapa kesimpulan. Pertama, di era sebelum konsol, penjualan mesin arcade menjadi sumber pemasukan terbesar untuk game. Dan walau tiga peringkat teratas diisi oleh game klasik, hal itu bukan berarti industri game menyusut. Data dari berbagai perusahaan riset menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, industri game terus berkembang.

Lalu, kenapa tidak ada game modern yang pemasukannya mengalahkan game klasik? Kemungkinan, hal ini terjadi karena banyaknya game yang tersedia di pasar. Jadi, total belanja yang dihabiskan oleh pemain juga terbagi ke jauh lebih banyak game. Sehingga, tidak ada satu game yang berhasil mendapatkan pemasukan yang sangat besar.

Kesimpulan kedua, pemasukan mobile game tidak kalah besar dari pemasukan game-game PC atau konsol. Buktinya, Honor of Kings dan Monster Strike berhasil masuk dalam daftar 10 game dengan penghasilan terbesar sepanjang masa, walau kedua game itu baru diluncurkan pada era 2010-an.

Kesimpulan lain yang bisa ditarik dari kesuksesan Honor of Kings dan Monster Strike adalah jika sebuah game berhasil sukses di pasar game yang besar, maka developer bisa fokus pada satu pasar itu saja. Honor of Kings sangat populer di Tiongkok dan Monster Strike di Jepang. Namun, keduanya tidak terlalu populer di dunia internasional. Meksipun begitu, keduanya tetap dapat meraup penghasilan miliaran dollar. Hal ini bisa terjadi karena Tiongkok merupakan pasar game terbesar, dan Jepang pasar game terbesar ketiga.

Kesimpulan terakhir, 6 dari 10 game dalam daftar di atas merupakan game free-to-play. Hal ini menunjukkan besarnya potensi dari model bisnis ini. Jadi, tidak heran jika sejumlah perusahaan game merombak model bisnis dari franchise lama mereka, seperti Konami yang meluncurkan eFootball sebagai game free-to-play.

Bagi developer game, salah satu daya tarik model bisnis free-to-play game adalah game tetap bisa memberikan pemasukan bertahun-tahun sejak game itu diluncurkan. Sementara jika developer menggunakan model bisnis game premium — jadi Anda cukup membeli game itu sekali dan Anda bisa memainkannya selamanya — mereka hanya punya dua kesempatan untuk mendapatkan pemasukan. Pertama, ketika mereka pertama kali meluncurkan game mereka. Kedua, saat mereka meluncurkan DLC.

10 Game dengan Angka Penjualan Terbesar

Selain total pemasukan, metrik lain untuk mengukur kesuksesan sebuah game adalah menghitung angka penjualan game tersebut. Berikut 10 game dengan angka penjualan tertinggi.

1. Tetris – 500+ juta unit

Menghitung angka penjualan Tetris tidak mudah, mengingat game ini pertama kali diluncurkan pada 1984. Menurut Digital Trends, penjualan fisik dari Tetris mencapai 70 juta unit. Sekitar 35 juta unit berasal dari paket bundling Tetris dengan Nintendo Game Boy. Setelah itu, Tetris diluncurkan di mobile, yang mendorong angka penjualan. Pada 2014, VentureBeat melaporkan bahwa game Tetris yang berbayar telah diunduh sebanyak 425 juta kali. Angka ini tidak mencakup versi gratis dari Tetris. Jadi, kemungkinan,  total penjualan Tetris bahkan lebih tinggi dari 500 juta unit.

2. Minecraft – 238+ juta unit

Ketika pertama kali diluncurkan pada 2009, Minecraft bisa dimainkan dengan gratis. Beberapa bulan kemudian, Minecraft dijual dengan sistem pre-order. Sekarang, Anda bisa memainkannya dengan gratis. Namun, jika Anda ingin memainkannya di PC atau konsol, Anda harus membelinya. Total penjualan dari Minecraft dari PC, konsol, dan mobile diperkirakan mencapai lebih dari 200 juta unit.

Total penjualan Minecraft. | Sumber: Statista

3. Grand Theft Auto V – 150+ juta unit

Berdasarkan laporan keuangan Take-Two pada Q1 2020, sejak diluncurkan pada 2013, Grand Theft Auto V telah terjual sebanyak 135 juta unit. Sebanyak 15 juta unit terjual pada 2020. Per Agustus 2021, total penjualan GTA V menembus 150 juta unit. Angka ini mencakup penjualan GTA V di semua platform.

4. Wii Sports – 82,9 juta unit

Total penjualan Wii Sports mencapai 82,9 juta unit, menjadikannya sebagai salah satu game paling laris sepanjang masa. Namun, angka penjualan itu tidak menggambarkan kesuksesan game tersebut. Pasalnya, game itu memang dijual bersamaan dengan konsol Wii. Jadi, setiap orang yang membeli Wii akan mendapatkan game Wii Sports, tidak peduli apakah dia ingin membeli game tersebut atau tidak.

5. PUBG – 70+ juta unit

PlayerUnknwon’s Battlegrounds (PUBG) pertama kali diluncurkan pada 2017.  Hanya dalam waktu 4 tahun, game tersebut berhasil terjual sebanyak 70 juta unit. Dan angka penjualan PUBG masih menunjukkan angka naik. Tak hanya itu, PUBG juga cukup populer di mobile. Versi mobile dari PUBG telah diunduh sebanyak lebih dari 1 miliar kali. Hal ini menjadikan PUBG Mobile sebagai salah satu mobile game terpopuler sepanjang masa.

6. Super Mario Bros. – 48,24 juta unit

Super Mario Bros. diluncurkan pertama kali untuk Nintendo Entertainment System (NES). Ketika itu, game tersebut berhasil terjual sebanyak 40 juta unit. Setelah itu, game ini juga dirilis untuk beberapa konsol buatan Nintendo lainnya, seperti Game Boy Color, Game Boy Advance, dan Wii Virtual Console. Di ketiga platform tersebut, Super Mario Bros. terjual sebanyak 8 juta unit.

Super Mario Bros. untuk NES. | Sumber: Digital Trends

7. Pokemon Gen. 1 – 47,52 juta unit

Game Pokemon generasi pertama hadir dalam empat versi: Red, Blue, Yellow, dan Green. Di Jepang, ada dua game Pokemon generasi pertama, yaitu Red dan Green. Namun, untuk peluncuran global, Nintendo merilis tiga varian, yaitu Red, Blue, dan Yellow. Secara total, keempat game Pokemon generasi pertama terjual sebanyak 47,52 juta unit. Menurut Digital Trends, sekitar 46 juta unit dari game Pokemon generasi pertama terjual di Game Boy. Sementara sekitar 1,5 juta lainnya terjual melalui Nintendo 3DS Virtual Console.

8. Mario Kart 8/Deluxe – 45,53 juta unit

Mario Kart 8 adalah game Wii U dengan angka penjualan tertinggi. Meskipun begitu, total penjualan Mario Kart 8 di Wii U hanyalah 8,45 juta unit. Hal ini tidak aneh, mengingat Wii U hanya terjual sebanyak 13,56 juta unit per Desember 2019. Angka penjualan Mario Kart 8/Deluxe naik ketika Nintendo meluncurkan game itu di Switch. Di konsol itu, Mario Kart 8 Deluxe terjual sebanyak 37,08 juta unit, menurut Nintendo.

9. Wii Fit dan Wii Fit Plus 43,8 juta unit

Wii Fit dijual bersama aksesori Balance Board. Sesuai namanya, Wii Fit mengintegrasikan kegiatan olahraga ke dalam game, mendorong para pemilik Wii untuk menggerakkan badan mereka. Dan ternyata, “gameplay” ini terbukti populer. Wii Fit terjual sebanyak 22 juta unit. Sementara Wii Fit Plus — yang memiliki lebih banyak olahraga — terjual sebanyak 21 juta unit. Dengan begitu, Wii Fit menjadi game terpopuler ke-2 di Wii, hanya kalah dari Wii Sports.

10. Red Dead Redemption 2 – 38 juta unit

Red Dead Redemption 2 adalah salah satu game paling ambisius buatan Rockstar. Dan Rockstar berhasil membuat game open world dengan karakter yang realistis dan detail visual yang fantastis. Menurut ScreenRant, per Agustus 2021, game itu telah terjual sebanyak 38 juta unit.

Red Dead Redemption 2. | Sumber: Polygon

Dari daftar kali ini, salah satu hal yang bisa saya simpulkan adalah game klasik sekali pun tetap bisa populer jika ia diluncurkan di platform yang sesuai. Selain itu, angka penjualan sebuah game bisa didorong jika game tersebut diluncurkan di banyak platform, seperti yang dibuktikan oleh Minecraft dan Grand Theft Auto.

Selain menjadi salah satu game dengan angka penjualan terbanyak, GTA V juga merupakan salah satu game yang paling laris dalam waktu paling singkat. Ketika diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360, game itu terjual sebanyak 11,21 juta hanya dalam waktu 24 jam. Menariknya, Monster Hunter Rise menjadi salah satu game yang terjual dengan cepat. Dalam waktu 3 hari, game itu terjual sebanyak 4 juta unit. Padahal, game tersebut hanya tersedia untuk Switch, setidaknya untuk saat ini.

10 Mobile Game dengan Pemasukan Paling Besar

Jika dibandingkan dengan jumlah gamers PC dan konsol, jumlah mobile gamers jauh lebih banyak. Namun, spending yang dikeluarkan oleh para mobile gamers belum tentu sebesar total belanja dari gamers konsol dan PC. Karena itu, di segmen ini, saya ingin fokus pada mobile game untuk melihat berapa banyak pemasukan yang bisa didapat oleh mobile game.

1. Honor of Kings (2015) – US$10 miliar

Seperti yang sudah saya sebutkan, Honor of Kings merupakan mobile game pertama yang mendapatkan pemasukan lebih dari US$10 miliar. Saat ini, game itu merupakan game paling sukses dari Tencent. Dan ke depan, Honor of Kings akan tetap berkontribusi pada pemasukan Tencent. Pasalnya, sampai saat ini, game tersebut masih punya 100 juta pemain aktif harian.

Honor of Kings sangat sukses di Tiongkok. Pada 2018, 98% pemasukan dari game ini berasal dari gamers di Tiongkok. Begitu suksesnya Honor of Kings sehingga ia disebut sebagai sebagai “candu”. Dan hal ini mendorong pemerintah Tiongkok untuk memperketat regulasi terkait waktu bermain anak dan remaja di bawah umur.

2. Monster Strike (2013) – US$9,3 miliar

Monster Strike diluncurkan pada Agustus 2013 oleh developer Jepang Mixi. Game ini merupakan game RPG dengan elemen puzzle serta fitur multiplayer. Monster Strike sangat populer di Jepang. Selain di Jepang, game ini juga diluncurkan di Amerika Utara, Taiwan, dan Korea Selatan. Hanya saja, Monster Strike tidak begitu populer di negara-negara itu.

Namun, spending dari para gamers di Jepang sudah cukup untuk membuat Monster Strike menjadi salah satu mobile game dengan pemasukan terbesar speanjang masa. Faktanya, pada 2014, game itu menjadi mobile game dengan pemasukan terbesar. Mixi — yang dulunya dikenal dengan nama XFLAG —  bahkan mengaku bahwa Monster Strike menyelamatkan mereka dari kebangkrutan.

3. Clash of Clans (2012) – US$7,7 miliar

Clash of Clans pertama kali diluncurkan untuk iOS pada Agustus 2012. Satu tahun kemudian, Supercell meluncurkan game ini di Android. Clash of Clans adalah game buatan Supercell yang paling sukses. Faktanya, kesuksesan Clash of Clans yang membuat nama Supercell menjadi sangat dikenal seperti sekarang. Setelah sukses dengan Clash of Clans, Supercell meluncurkan empat game spin-off dari game tersebut, yaitu Clash Royale, Clash Mini, Clash Quest, dan Clash Heroes.

4. Candy Crush Saga (2012) – US$6,4 miliar

Pada awalnya, Candy Crush Saga diluncurkan sebagai broswer game. Kemudian, game ini diluncurkan di iOS pada November 2012 dan di Android pada Desember 2012. Candy Crush dianggap sebagai salah satu mobile game dengan model freemium yang paling sukses. Memang, Anda bisa memainkan game match-three puzzle ini tanpa harus mengeluarkan uang. Namun, para pemain tetap terdorong untuk membeli item dalam game karena item membantu membantu mereka untuk melalui level yang sulit.

5. PUBG Mobile (2018) – US$6,2 miliar

PUBG adalah salah satu pelopor genre battle royale. Versi PC dari PUBG dirilis pada 2017. Satu tahun kemudian, pada Maret 2018, PUBG Mobile diluncurkan. Pada awalnya, PUBG menghadapi persaingan ketat dengan Fortnite, yang juga mengadopsi genre battle royale. Namun, PUBG berhasil bertahan dan menjadi salah satu game battle royale paling sukses di mobile.

Di Tiongkok, Tencent menjadi publisher dari PUBG. Pada awalnya, mereka juga menghadapi masalah. Pasalnya, regulator Tiongkok tengah memperketat peraturan terkait peluncuran dan monetisasi game baru. Tencent dilarang untuk memonetisasi PUBG Mobile karena game itu dianggap melanggar peraturan terkait kekerasan dalam game. Pada akhirnya, PUBG Mobile ditarik dari Tiongkok dan diluncurkan kembali dengan nama Peacekeeper Elite atau Game for Peace.

Battleground India Mobile adalah versi India dari PUBG Mobile.

Tak hanya di Tiongkok, PUBG Mobile juga mengalami masalah di beberapa negara lain, termasuk India, yang merupakan salah satu pasar terbesar untuk PUBG Mobile. Alasan pemerintah India menarik PUBG Mobile dari App Store dan Play Store adalah karena mereka khawatir akan keamanan siber dari game itu. Selain itu, mereka juga khawatir Tiongkok akan menyadap data pemain PUBG Mobile, mengingat game itu dinaungi oleh Tencent sebagai publisher. Hal ini mendorong Krafton untuk menjadi publisher dari PUBG Mobile di India. Setelah PUBG Mobile dilarang, Krafton meluncurkan kembali game itu dengan nama Battlegrounds India Mobile.

6. Puzzle & Dragons (2012) – US$5,6 miliar

Sejak diluncurkan pada Februari 2012, Puzzle & Dragons itu telah diunduh sebanyak 80 juta kali. Tidak hanya itu, game ini juga merupakan mobile game pertama yang berhasil mendapatkan pemasukan lebih dari US$1 miliar. Jepang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan dari Puzzle & Dragons. Saat ini, pemasukan game ini memang menunjukkan tren turun. Namun, setiap bulan, pemasukan Puzzle & Dragons tetap mencapai puluhan juta dollar.

7. Fate/Grand Order (2015) – US$5,4 miliar

Fate/Grand Order adalah game RPG buatan Aniplex yang didasarkan pada franchise Fate/stay night dari Type-Moon. Game ini pertama kali diluncurkan untuk Android di Jepang pada Juli 2015. Dua minggu kemudian, game tersebut dirilis untuk iOS. Versi bahasa Inggris dari game ini diluncurkan pada Juni 2017.

Game Fate/Grand Order sangat populer di Jepang. Faktanya, gamers Jepang memberikan kontribusi 82% dari total pemasukan game itu. Pemasukan Fate/Grand Order mencapai lebih dari US$5 miliar, menjadikannya sebagai salah satu mobile game Sony yang paling populer. Pasalnya, Aniplex merupakan bagian dari Sony Music Entertainment di Jepang.

8. Pokemon Go (2016) – US$5,2 miliar

Diluncurkan pada Juli 2016, Pokemon Go dengan cepat menjadi fenomena di seluruh dunia. Salah satu daya tarik dari game ini adalah elemen Augmented Reality yang developer Niantic integrasikan pada game ini. Gameplay Pokemon Go juga mendorong para pemainnya untuk berjalan-jalan dan menjelajah di dunia nyata. Hal ini berkebalikan dengan kebanyakan mobile game, yang  biasanya membuat para pemainnya duduk diam.

9. Fantasy Westward Journey (2015) – US$4,7 miliar

Fantasy Westward Journey merupakan mobile game yang diadaptasi dari game MMORPG untuk PC dengan judul yang sama. Versi PC dari game itu diluncurkan pada Desember 2001. Sementara versi mobile dari Fantasy Westward Journey dirilis untuk iOS dan Android pada Maret 2015.

Fantasy Westward Journey 3D bakal diluncurkan dalam waktu dekat. | Sumber: Twitter

Pada 2016, Fantasy Westward Journey berhasil menjadikan developer NetEase sebagai perusahaan mobile game dengan pemasukan terbesar. Sampai sekarang, game itu tetap memberikan kontribusi besar pada pemasukan NetEase. Faktanya, di Tiongkok Fantasy Westward Journey sering masuk ke dalam daftar game dengan players spending setiap bulan. Biasanya, game ini ada di peringkat 2, kalah dari Honor of Kings.

10. Lineage M (2017) – US$3,5 miliar

Lineage M diriliis pada 2017. Game ini merupakan versi mobile dari MMORPG Lineage yang diluncurkan pada 1998. Di Korea Selatan, Lineage adalah salah satu franchise paling populer. Jadi, tidak heran jika hanya dalam waktu tujuh jam sejak ia diluncurkan, Lineage M berhasil menjadi game paling populer di App Store Korea Selatan.

Dalam waktu sebulan sejak peluncuran, Lineage M berhasil mendapatkan US$233 juta. Pemasukan game itu menembus US$1 miliar pada Juni 2018. Seperti yang disebutkan oleh Pocket Gamer, sampai sekarang, Lineage M adalah salah satu game paling menguntungkan untuk developer NCSoft.

Dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar sepanjang masa, umur mobile game yang masuk dalam daftar tersebut relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan game-game dalam daftar game dengan pemasukan terbesar. Tidak heran, mengingat mobile adalah platform yang relatif baru dari konsol atau PC. Meskipun begitu, semua mobile game itu memiliki pemasukan lebih dari US$1 miliar.

Hal menarik lainnya yang dapat disimpulkan dari daftar mobile game dengan pemasukan terbesar adalah beragamnya genre dari game yang masuk daftar tersebut. Di satu sisi, game-game seperti Honor of Kings, PUBG Mobile, dan Lineage M merupakan game dengan gameplay yang ditujukan untuk hardcore gamers. Di sisi lain, game-game kasual — seperti Monster Strike, Candy Crush Saga, dan Puzzle & Dragons — juga berhasil masuk dalam daftar. Hal ini menjadi bukti bahwa game kasual pun punya pasar yang tidak kalah besar.

Sumber header: PC Mag

Naming Rights Agreements in Esports

In recent years, more and more non-endemic brands have decided to support esports players and esports organizations. One of the perks the esports sponsors usually receive is the installation of the company logo or name on the pro jersey. 

Unfortunately, broadcasting esports matches is vastly different from traditional sports competitions. When you watch sports broadcasts, you can clearly observe the athletes and their jerseys. However, most esports matches usually only show in-game events, which of course does not include the player. Players are rarely highlighted, and so their jerseys are also not often displayed. To work around this problem, most companies looking to sponsor an esports team opt to use naming sponsorships. As a result, the company’s name will be integrated and clearly displayed in the team name.

The History of Naming Rights Contracts in Esports

By 2020, the esports industry’s revenue is estimated to be nearly $1 billion USD. Sponsorships and media rights contribute to almost 75% of this total revenue. Furthermore, for most esports organizations, sponsors often contribute to almost all of their income and finances. According to Gaming Street, on average, about 90% of an esports organization’s total revenue comes from sponsorships.

Of course, all these sponsoring companies have their own set of goals they want to achieve from the collaboration. Based on the study called Sponsorship in Esports, most companies that sponsor esports organizations usually seek long-term goals such as building a reputation among esports fans. Short-term goals like increasing sales are usually not the primary motive behind these esports sponsors.

Indeed, being an esports sponsor will boost their popularity among the millennials and Gen Z, which are the large majority of the demographic of esports followers. According to another study titled Sponsoring Esports to Improve Brand Image, one-third of esports fans will usually prefer and perceive sponsoring brands more positively over non-sponsoring ones. Considering that today’s esports audience approximately reaches 474 million, sponsorship companies can effectively attract 158 million potential customers into their business.

The growth of esports viewership. | Source: Newzoo

Generally speaking, there are four types of sponsorship: media sponsors, promotional sponsors, in-kind sponsors, and financial sponsors. Media sponsors deal with secure advertising for an event through television, newspapers, or digital channels (such as websites and blogs). Promotional sponsors are similar to media sponsors. However, promotional sponsors usually involve only a single person with a large network of followers rather than a whole media outlet.

In-kind sponsors are usually businesses which can provide goods or services. Beverage brands, for instance, can become an in-kind sponsor by providing drinks to the viewers, tournaments officials, players, etc. The last and perhaps the most common form of sponsorship is financial sponsorship. As the name implies, financial sponsors will provide direct financial support or funds for the tournament, event, or organization they sponsor.

As mentioned previously, one of the perks that esports teams can offer to their sponsors is displaying the sponsor’s logo or name on the players’ jerseys. But, of course, we already knew the limitations of this approach. Therefore, some companies prefer to become name sponsors (or sometimes called title sponsors) and combine their brand name with the esports team name. After all, the name of the esports team will always be mentioned and displayed in the esports competition broadcast. So, by becoming the naming sponsor of the esports team, companies can exponentially increase their exposure towards consumers — especially esports audiences. So far, there are several esports organizations that have signed naming rights contracts with brands, both endemic and non-endemic.

Kia Motor is the name sponsor of DAMWON Gaming. | Source: Esports Insider

An example of an esports organization with a name sponsor is DAMWON Gaming, a South Korean organization that won the League of Legends World Championship in 2020. In December 2020, DAMWON announced its naming rights deal with Kia Motor starting in 2021, changing its team name to DWG MCH. DAMWON also introduced a new logo and jersey for their League of Legends team. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division in Kia Motors, explained that they wanted to “revitalize” the global esports ecosystem through the partnership with DAMWON. Kia Motors also wishes to promote and expose the brand to esports fans around the world.

Another esports organization that recently signed a naming rights contract is JD Gaming. The organization is part of the esports division of Jing Dong, an e-commerce company from China. The company that sponsored JD Gaming is Intel. The naming rights agreement, which lasts for two years, effectively changes JD Gaming’s brand name to JDG Intel Esports Club. Unfortunately, we have no information about the cost of purchasing JD Gaming’s name contract. 

Team SoloMid (TSM) has also just signed a naming rights contract in early June 2021 with a cryptocurrency exchange company from Hong Kong called Future Exchange (FTX). The partnership between TSM and FTX is reported to last for 10 years and is valued at US$210 million. TSM now undergoes with the brand name of TSM FTX. Again, FTX conducted this partnership in the hopes of marketing the brand to the American public.

Aerowolf’s partnership with Genflix. | Source: Twitter

In Indonesia, there is also an esports team that has signed a naming rights contract. The esports organization is Aerowolf. In May 2019, Aerowolf announced that Genflix, a local video streaming platform, had officially become their naming sponsor and changed its brand name from Aerowolf Roxy to Genflix Aerowolf. Just like FTX and most other name sponsors, Genflix’s goal behind collaborating with Aerowolf is to increase its brand awareness, especially towards the younger esports audience.

Advantages and Disadvantages of Naming Rights Agreements

Every company wants to have a popular and good brand reputation. In the midst of intense competition, having a positive brand image can be a massive game-changer in terms of generating revenue. And, of course, sponsorship is an easy and effective method to boost a brand’s reputation. Thus, many companies today who look into marketing their brand towards the younger demography will more often than not turn into sponsorships in esports.

According to Winnan, sponsoring events and teams are currently the best option in esports sponsorships. However, out of all of the aforementioned types of sponsorships, which one should you pick if you are looking to be an esports sponsor?

Naming or title sponsorships does look like the best option. After all, we already discussed why naming rights contracts are considered a far more superior form of sponsorship in esports. Other than the increased exposure in tournament broadcasts, naming sponsorships usually have a higher chance of capturing the loyalty of the fans. In a book entitled The eSports Market and eSports Sponsoring, author Julian Heinz Anton Stroh states that most esports fans are aware that companies that sponsor their favorite teams have goals of their own self-interest, such as increasing sales. However, fans also know that the esports industry needs sponsors to survive, which is why they often appreciate and care deeply about the support that sponsors provide.

Esports fans have high enthusiasm. | Source: ESTNN

Various studies also show that fans still gladly welcome non-endemic brands (companies that are not related to esports or gaming) to support the competitive gaming scene. Although most esports followers do slightly prefer sponsorships from endemic brands, the study by Stroh shows that 70% of esports fans still hope that more and more non-endemic brands will enter the esports scene.

Being an esports sponsor does improve the brand image in the eyes of esports fans. However, several other factors also affect the company’s reputation in a sponsorship deal, such as the activation method used by sponsors, the target audience, and the products offered by the company.

It is undeniable that the esports community is incredibly enthusiastic. If a sponsor can successfully “win the hearts” of esports fans, its brand will be vastly promoted on social media. Unfortunately, the enthusiasm of esports fans can also act as a double-edged sword. A slight fault or mistake in a sponsor’s message towards fans can spread bad reputation like wildfire. This fact also applies to naming rights contracts.

Naming rights contracts a form of partnership with the highest associativity since brand names are effectively combined together. Therefore, if either party is exposed to a scandal, the other will also be extensively affected. For example, if an esports team is caught in a cheating accusation, both the esports organization and the name sponsor will suffer from reputation damage.

The primary goal of name sponsor brands is often to get fans to associate their brand with the team. However, naming rights contracts sometimes don’t last long. And if the team name frequently changes, fans will eventually feel indifferent towards name sponsors. Another possibility that might occur is that fans will only remember the old name sponsor over new ones.

According to a Chron report, this exact scenario has occurred at Candlestick Park, the stadium of the San Francisco 49ers and San Francisco Giants. The stadium was initially named Candlestick Park in 1960. In 1995-2002, the stadium’s name was changed to 3Com Park. The name of the stadium changed again in 2004-2008 to Monster Park. However, today, most fans still associate the stadium name as Candlestick Park despite the two name modifications that took place. A simple solution to this problem that name sponsors can employ is to extend the name contract duration, similar to the partnership between TSM and FTX. 

Team SoloMid has just signed a naming rights agreement with FTX. | Source: Dot Esports

Naming rights partnerships are similar to company takeovers in the business world. Both of them have the potential to be profitable or yield extreme losses for both parties. A company acquisition or takeover is considered successful when the acquired company can contribute revenue greater than the initial purchase value. Take Facebook’s acquisition of Instagram in 2012 as an example. Although Facebook initially bought Instagram for $1 billion USD, Instagram today has more than 1 billion users and contributes over $20 billion to Facebook’s revenue each year.

However, startups or small companies do not always want to accept takeover offers. Sometimes, these companies may believe that they can independently grow into a business with a larger value than the acquisition price. An example of a company that resisted large corporate takeovers is Discord. Microsoft had offered $12 billion USD to acquire Discord. However, according to a Bloomberg report, Discord refused and instead look into the opportunity to go public in the future.

All these plus and minuses in company takeovers are also present in naming rights contracts. The deal between TSM and FTX, for instance, lasts for 10 years and is worth $210 million USD. Therefore, we can assume that the TSM brand is currently valued at $210 million USD. However, TSM might become more popular in the future, and their brand value might increase, favoring FTX. However, there is also a possibility that the performance and popularity of the TSM organization might decline over the next 10 years, which will cause FTX huge losses since their contract value decreases.

Naming Rights Contracts in Conventional Sports

Naming rights agreements are also a common occurrence in the conventional sports world. For example, several basketball teams in Indonesia have sold their naming rights to sponsors. One of these Indonesian basketball teams with a name sponsor is Satria Muda. 

Since its establishment in 1993, Satria Muda has signed naming rights contracts with several brands. In 1997, Coca-Cola Company’s AdeS brand became the first name sponsor of this Jakarta-based basketball team. As a result, the team name was changed to AdeS Satria Muda. A year later, in 1998, the team name changed again to Mahaka Satria Muda after signing a deal with PT Abdi Bangsa Tbk owned by Erick Tohir. In 2004, BRI through BritAma became the next name sponsor of the Satria Muda team, altering the team name to Satria Muda BritAma. The Satria Muda headquarters was also named The BritAma Arena as a result of the agreement. However, in 2015, Satria Muda signed their last and current name sponsor with Pertamina. Along with this change, the basketball team’s name was changed to Satria Muda Pertamina.

Another national basketball team that also has a name sponsor is Amartha Hangtuah. When it was initially founded in 2003, the basketball team undergoes by the name Hangtuah and only modified it to Hangtuah Sumsel Indonesia Muda five years later. This name was used until 2019 when Amartha decided to become the name sponsor of HangTuah. After the partnership, the basketball team became known as Amartha Hangtuah.

Amartha is currently HangTuah’s name sponsor. | Source: Kompas

Of course, not all sports teams are willing to sell the exclusive naming rights of their team. European football clubs, for instance, rarely sell the club’s naming rights and instead opt to sell the naming rights of their stadiums. For example, the Emirates airline bought the naming rights to Arsenal’s stadium in 2004. It is estimated that this 15-year contract between the two parties is worth £100 million. The deal also includes the installation of Emirates’ logo in the Arsenal player jerseys since the 2006-2007 season. Last year, Barcelona also just sold the naming rights of their stadium, Camp Nou, and donated the funds they receive to COVID-19 related charities. 

The main reason why most top-tier football clubs almost never give up their naming rights is that their club name is already “too well-known” to people around the world. Their club names, in some sense, are considered to be formally established. In contrast to the relatively new esports teams, most European football clubs are more than 100 years old. Four famous clubs in the UK were founded before 1900: Arsenal in 1886, Liverpool in 1892, Manchester City in 1880, and Manchester United in 1878. Therefore, it is very unlikely that these clubs will surrender the longevity of their brand name to sponsors. And if they were to open up a naming sponsorship deal, the price that they would set would be incredibly expensive. Most sponsors can perhaps already get a reasonable amount of exposure in regular sponsorship agreements with football clubs and thus would never opt to become title sponsors even if there is an opportunity to do so.

Naming rights contracts are not limited to sports teams or esports organizations. Some companies are also willing to become naming sponsors of sports events or esports competitions. Toyota, for instance, became the naming sponsor of Thailand’s national football league called Toyota League Cup. In the realm of esports, Intel is undoubtedly one of the most well-known tournament name sponsors. Intel Extreme Masters and Intel Grand Slam are two examples of Intel-sponsored esports tournaments. In Indonesia, JD.id has also conducted a name sponsorship agreement with Yamisok’s esports league called the High School League. Like all other name sponsors, JD.id’s goal behind this partnership is to increase brand awareness among high school esports players and viewers

Conclusion

The world of business is full of intense competition as hundreds of brands try their best to win the market and rise to the top. One of the most effective methods for a company to beat its competitors is building a good brand reputation and image, which is why many of them opt to become sponsors of popular sports or esports teams.

Placing a logo or company name on a player’s jersey is one of the most basic forms of sponsorship in conventional sports or esports. However, companies can further increase their exposure by conducting a naming sponsorship deal with the organization. By becoming a name sponsor, fans will immediately associate the brand name with their favorite team. But, of course, name sponsorship agreements can have potential repercussions for both parties as well. If one of the sides is affected by an issue, the other might also be severely affected. Like all business decisions, there are always pros and cons that must be carefully considered. Nevertheless, when it comes to esports sponsorships, the current hot trend and deals are happening in naming rights agreements.

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Seberapa Penting Reputasi Brand di Industri Game dan Esports?

Tahukah Anda, biaya produksi iPhone 11 Pro Max hanyalah US$490,5. Padahal, smartphone itu dijual dengan harga sekitar US$1.099 sampai US$1.449. Memang, Apple juga memberikan berbagai layanan untuk para pengguna iPhone. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, keuntungan yang Apple dapatkan dari iPhone cukup besar.

Pada 2019, Apple hanya menguasai 14,5% pangsa pasar smartphone. Perusahaan asal Amerika Serikat itu masih kalah jika dibandingkan dengan Samsung, yang menguasai 21,8% pangsa pasar dan Huawei, dengan pangsa pasar 17,6%. Meskipun begitu, dari segi laba, Apple menguasai 66% total keuntungan industri smartphone.

Lalu, apa yang membuat iPhone menjadi lebih berharga di mata para pengguna dari smartphone lainnya? Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, salah satu alasan kenapa konsumen mau membeli produk Apple adalah karena barang elektronik dengan logo apel tersebut memang punya reputasi sebagai barang mewah. Hal ini menjadi bukti bahwa reputasi sebuah brand bisa membuat konsumen rela membayar harga lebih mahal.

Dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang pengaruh reputasi merek pada perusahaan. Dan bagaimana reputasi akan memengaruhi perusahaan game atau entitas esports.

Brand Equity: Definisi dan Keuntungan yang Diberikan ke Perusahaan

Secara harfiah, brand equity berarti nilai atau valuasi dari sebuah brand. Cara untuk mengetahui apakah sebuah brand punya nilai atau tidak cukup mudah. Jika sebuah brand menawarkan sebuah produk dengan harga yang lebih mahal dari produk serupa di pasar dan konsumen tetap mau membeli produk dari merek itu, maka merek tersebut punya nilai. Buktinya, konsumen rela mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan produk dari merek tersebut.

Mari kita ambil Louis Vuitton sebagai contoh. Ketika mereka bekerja sama dengan Riot Games untuk membuat koleksi pakaian LVxLOL, mereka membanderol kaos dengan gambar Qiyana seharga US$670 atau sekitar Rp9,4 juta. Dari semua koleksi tersebut, jaket kulit menjadi produk yang paling mahal, dengan harga US$5.650 atau sekitar Rp79 juta. Padahal, biaya produksi untuk membuat sebuah kaos bergambar atau jaket kulit jelas tidak semahal itu. Namun, harga yang jauh lebih mahal dari biaya produksi tidak menghentikan orang-orang untuk membeli koleksi LVxLOL — atau produk Louis Vuitton lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa merek Louis Vuitton punya nilai tersendiri di mata konsumen. Dan memang, nilai brand Louis Vuitton mencapai US$14,86 miliar pada 2021, menurut data dari Statista.

Nilai merek Louis Vuitton dari 2016 ke 2021. | Sumber: Statista

Ada beberapa keuntungan yang didapat perusahaan ketika merek mereka punya reputasi yang bagus. Menurut Investopedia, reputasi merek yang baik bisa berdampak langsung pada keuntungan perusahaan. Pasalnya, perusahaan bisa memasang harga yang lebih mahal dari pesaing ketika mereka menjual produk mereka, walau produk itu tidak jauh berbeda dari produk milik pesaing. Hal itu berarti, perusahaan bisa mendapatkan margin untung yang lebih besar. Dalam kasus Louis Vuitton — atau merek luxury fashion lainnya — mereka tentu punya margin untung yang jauh lebih besar daripada penjual kaos di pasar.

Tak hanya margin laba, brand equity juga bisa memengaruhi volume penjualan produk. Semakin baik reputasi perusahaan, semakin banyak pula orang yang mau membeli produk dari perusahaan itu. Pada akhirnya, hal ini juga akan meningkatkan keuntungan yang didapat perusahaan. Meskipun margin laba yang perusahaan dapatkan dari sebuah produk kecil, tapi jika mereka bisa menjual produk itu dalam jumlah banyak, maka keuntungan yang mereka dapat pun tetap akan menjadi besar.

Terakhir, keuntungan yang perusahaan dapat dari reputasi yang baik adalah kesetiaan pelanggan. Ketika seorang konsumen sudah setia dengan satu brand, biasanya dia akan selalu membeli produk dari merek tersebut. Ketika membeli makanan, saya cenderung memilih restoran yang mereknya sudah saya kenal. Selain menjadi repeat customer, pelanggan yang sudah menjadi fans setia dari sebuah merek juga biasanya akan membeli lebih dari satu produk dari merek tersebut. Sebagai contoh, pengguna iPhone biasanya juga menggunakan iMac. Bagi perusahaan, pelanggan yang setia berarti mereka bisa menghemat ongkos marketing. Karena, biaya untuk retensi konsumen cenderung lebih murah daripada mengakuisisi konsumen baru.

Biaya untuk mempertahankan konsumen biasanya tidak semahal mendapatkan konsumen baru. | Sumber: Deposit Photos

Lalu, bagaimana cara untuk menghitung brand equity?

Secara garis besar, ada tiga mteode yang bisa digunakan untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Pertama, cost-based brand valuation. Sesuai namanya, metode ini menentukan nilai dari sebuah brand dengan menghitung total biaya yang dikeluarkan untuk membangun merek itu, mulai dari biaya promosi, biaya iklan, sampai biaya untuk mendaftarkan lisensei dan trademarks. Semua biaya tersebut harus dihitung sejak merek didirikan. Jadi, metode ini cocok digunkaan untuk menghitung valuasi brand yang masih baru, seperti yang disebutkan oleh The Balance.

Market-based brand valuation merupakan cara lain untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Metode ini menentukan nilai brand dengan membandingkan merek tersebut dengan merek pesaing, khususnya ketika merek pesaing baru saja dijual. Dalam market-based brand valuation, nilai saham dari perusahaan pesaing juga bisa menjadi tolok ukur untuk menentukan nilai merek sebuah perusahaan.

Metode terakhir untuk menghitung nilai brand adalah income approach. Di metode ini, Anda menghitung nilai sebuah brand dengan memperkirakan pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan dari brand tersebut. Selain potensi pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan, hal lain yang harus diperhitungkan dalam metode ini adalah besar penghematan biaya yang bisa perusahaan lakukan. Contohnya, penghematan biaya marketing karena konsumen yang sudah loyal.

Pentingnya Reputasi Merek di Dunia Game dan Esports

Menurut data dari World Federation of Advertisers, hampir 40% konsumen tidak percaya dengan iklan tradisional. Namun, sebagian besar konsumen justru akan mempercayai komentar dari teman mereka atau review online. Hal ini menunjukkan, saat ini, reputasi merek semakin penting. Reputasi merek tidak hanya penting bagi perusahaan yang menjual barang, tapi juga entitas yang menyediakan layanan jasa, termasuk perusahaan game dan pelaku esports.

Bagi developer game, membangun reputasi sama artinya dengan membangun komunitas. Dan hal ini akan membantu mereka untuk menjual game mereka di masa depan. Topik akan pentingnya membangun komunitas bagi developer dibahas oleh Shahid Ahmad, mantan Director of Strategic Content, PlayStation, pada Casual Connect Europe pada 2016. Jason Della Rocca, mantan Executive Director dari International Game Developers Association, Cabang Montreal, juga mengungkapkan hal yang sama.

Jason Della Rocca. | Sumber: Wikipedia

Della Rocca mengakui, developer game biasanya lebih memilih untuk fokus pada proses pembuatan game dan menyerahkan tugas membangun komunitas pada publisher. Namun, dia menyebutkan, hal ini justru bisa merugikan developer. Alasannya, developer tidak selalu bekerja sama dengan publisher yang sama ketika meluncurkan game.

“Anda bisa saja bekerja sama dengan Publisher X untuk menerbitkan game pertama Anda dan menggandeng Publisher Y untuk game Anda berikutnya,” kata Della Rocca, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Keberadaan komunitas dan kemampuan Anda untuk berkomunikasi dengan fans secara langsung merupakan aset penting bagi developer. Bagi indie developer, komunitas adalah hal yang sangat krusial.”

Tanpa fanbase, developer akan kesulitan untuk menggunakan berbagai marketing tools yang ada secara maksimal. Della Rocca menjadikan Kickstarter sebagai contoh. Melalui Kickstarter, developer bisa mendapatkan uang yang diperlukan untuk mengembangkan game mereka. Namun, jika developer mengadakan kampanye Kickstarter tanpa membangun fanbase terlebih dulu, kemungkinan besar, kampanye mereka tidak akan berhasil atau tidak maksimal. “Kickstarter adalah alat untuk membangun komunitas. Ia bisa digunakan sebagai bagian dari proses marketing game,” ujar Della Rocca.

Sementara itu, Ahmad menjelaskan, membangun fanbase bisa membantu developer untuk membuat game-nya tampil menonjol dari game-game lain. Dia memperkirakan, setiap harinya, ada lebih dari 100 game yang diluncurkan di iOS. Ditambah dengan game-game yang diluncurkan di platform lain, maka setiap harinya, ada ratusan game baru yang diluncurkan. Membuat game yang bisa tampil menonjol dari ratusan atau bahkan ribuan game lain bukanlah perkara mudah. Sementara sebagai gamer, Ahmad menceritakan pengalaman pribadinya, dia justru sering merasa kesulitan untuk memilih game baru untuk dimainkan karena ada terlalu banyak opsi.

Banyaknya pilihan game terkadang justru membuat seseorang bingung. | Sumber: Deposit Photos

“Kadang saya memeriksa iPhone saya untuk mencari game baru. Saya mengunduh game baru, tapi hanya memainkannya selama sekitar 20 detik. Setelah itu, saya akan membuka Steam, yang menampilkan daftar game yang sudah dikurasi sesuai preferensi saya,” cerita Ahmad. Namun, pada akhirnya, dia justru memainkan Call of Duty. Alasannya karena dia tidak menemukan game dari indie developer yang menarik perhatiannya.

“Jadi, apa yang harus developer lakukan untuk mengatasi masalah itu? Mereka harus membangun reputasi,” ujar Ahmad. “Membangun reputasi menjadi salah satu keharusan bagi developer. Sekarang, punya reputasi yang baik sama pentingnya — atau justru lebih penting — dari membuat game yang berkualitas.” Dia menambahkan, tanpa reputasi dan tanpa komunitas, developer harus bisa membuat game yang benar-benar stand out di mata gamers.

“Padahal, sekarang, semua game terlihat sangat bagus. Karena, semua developer bisa mengakses berbagai tool hebat. Selain itu, ada banyak cara untuk meluncurkan game Anda, ada begitu banyak platform yang bisa Anda pilih,” kata Ahmad. “Jika Anda tidak berusaha untuk membangun reputasi Anda, jika Anda tidak mendekatkan diri dengan komunitas Anda, menunjukkan visi dan misi Anda di hadapan audiens Anda, Anda akan mengalami masalah.”

Blizzard dikenal dengan berbagai game mereka yang populer. | Sumber: Twitter

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Di industri game, perusahaan besar sekalipun bisa terkena skandal. Contohnya, Blizzard. Pada akhir Juli 2021, Blizzard dituntut oleh Departemen Ketenagakerjaan California karena mereka dianggap membiarkan budaya diskriminasi dan pelecehan seksual terjadi di perusahaan. Begitu skandal ini menyebar di media, Blizzard mendapatkan reaksi negatif dari berbagai pihak, mulai dari karyawan, mantan karyawan, pemain, sampai sponsor dari liga esports yang mereka adakan.

Menanggapi kasus ini, karyawan Blizzard mengadakan aksi mogok. Selain itu, mereka juga membentuk koalisi pekerja bernama “Aliansi Pekerja ABK”. Sementara itu, beberapa sponsor dari Overwatch League memutuskan untuk mundur. Salah satu sponsor yang mengundurkan diri adalah T-Mobile, perusahaan telekomunikasi raksasa asal AS. Tak hanya itu, Kellog — perusahaan yang membawah merek Cheez-It dan Pringles — juga tidak lagi menjadi sponsor dari OWL. Sementara Coca-Cola dan State Farm mengungkap bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali status mereka sebagai sponsor OWL.

Jumlah pemain aktif bulanan (MAU) Blizzard dari kuartal ke kuartal. | Sumber: Statista

Skandal Blizzard ini juga memengaruhi jumlah pemain game-game mereka. Pada Q2 2021, jumlah pemain aktif bulanan Blizzard hanya mencapai 26 juta orang, turun dari 46 juta orang pada Q2 2017. Menurut laporan GameRant, tren penurunan jumlah pemain Blizzard memang sebenarnya sudah terjadi sebelum muncul skandal akan diskriminasi dan pelecehan seksual, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas. Alasan para pemain Blizzard berhenti bermain beragam. Sebagian memutuskan untuk berhenti bermain karena mereka kecewa dengan game dari Blizzard. Sementara sebagian yang lain berhenti bermain karena Blizzard dianggap tidak memberikan dukungan yang memadai untuk game yang mereka mainkan, seperti pada Overwatch.

Walau jumlah pemain Blizzard cenderung turun, pemasukan perusahaan tetap menembus US$1 miliar. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pemasukan Blizzard pada 2018 naik menjadi US$2,3 miliar dari US$2,1 miliar pada 2017. Memang, pendapatan mereka sempat turun drastis ke US$1,7 miliar pada 2019. Namun, angka itu kembali naik ke US$1,9 miliar pada 2020.

Pemasukan Blizzard dari 2007 sampai 2020. | Sumber: Statista

Ramainya pemberitaan tentang budaya diskriminasi dan pelecehan seksual di Blizzard juga sempat membuat nilai saham perusahaan itu turun. Nilai saham Blizzard turun menjadi US$84,05 pada 27 Juli 2021 dari US$91,5 pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, pada 11 Agustus 2021, saham Blizzard sudah kembali naik, menjadi US$85 per lembar. Dan sayangnya, dampak skandal ini pada pemasukan Blizzard masih belum bisa dilihat. Jadi, belum diketahui apakah tuntutan yang diajukan pada Blizzard akan mendorong perusahaan itu untuk berubah atau mereka akan membiarkan budaya perusahaan yang tidak sehat terus berlanjut.

Blizzard bukan perusahaan game pertama yang terkena skandal. Sebelum ini, Riot Games dan Ubisoft pun pernah mendapatkan pemberitaan negatif karena budaya perusahaan yang kurang baik. Keduanya memang melakukan sejumlah perubahan. Meskipun begitu, sampai saat ini, dua perusahaan itu masih tetap menjalankan bisnis.

Pentingnya Reputasi Merek di Indonesia

Indofood Group adalah salah satu perusahaan asal Indonesia yang sukses bahkan hingga ke pasar internasional. Sebagai perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG), Indofood punya beberapa merek, seperti Indomie, Indomilk, Sarimi, Bimoli, dan Indofood. Dari semua merek tersebut, Indomie merupakan merek dengan nilai paling tinggi, mencapai US$440 juta. Sementara merek terpopuler kedua adalah Indomilk, yang bernilai US$335 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat gambar di bawah.

 

Nilai merek di bawah Indofood Group. | Sumber: SWA

Perhitungan nilai merek di atas dilakukan oleh SWA Brand Finance. SWA menjelaskan, ada beberapa faktor yang mereka jadikan tolok ukur untuk menghitung nilai dari masing-masing merek di bawah Indofood Group. Faktor pertama adalah Brand Strength, yang melibatkan kinjera keuangan perusahaan, sustainability, dan hubungan emosional brand dengan konsumen. Faktor-faktor lainnya adalah Royalty Range, Royalty Rate, pemasukan dari brand, proyeksi pendapatan dari merek, biaya royalti, dan proyeksi royalti.

Lalu, seberapa penting reputasi brand untuk organisasi esports? Andrian Pauline, CEO RRQ menyebutkan, reputasi itu sangat penting bagi organisasi esports. Tidak heran, mengingat sebagian besar pemasukan organisasi esports datang dari sponsorship. Dan seperti yang terlihat dari kasus Blizzard, sponsor akan mundur begitu pihak yang mereka sponsori terlibat skandal.

Untuk menentukan baik atau buruknya reputasi RRQ, AP menceritakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur. Salah satunya adalah perbandingan antara jumlah pemberitaan positif dengan pemberitaan negatif. Untuk meminimalisir pemberitaan negatif, AP mengungkap, pihak RRQ biasanya memang tidak mau berbicara tentang topik-topik tertentu. Dan ketika memberikan jawaban, mereka cenderung memberikan jawaban normatif.

“Kita semua di RRQ setuju bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa di-share ke media. Mengumbar hal-hal jelek demi konten, it’s just not us,” ujar AP ketika dihubungi melalui telepon. Selain pemberitaan media, hal lain yang menjadi tolok ukur reputasi RRQ adalah penghargaan yang mereka menangkan. AP menjelaskan, penghargaan yang dia maksud di sini bukanlah kompetisi esports yang RRQ menangkan, tapi penghargaan yang didasarkan pada pemungutan suara penonton atau metode lainnya.

Salah satu “penghargaan” yang RRQ pernah menangkan adalah gelar sebagai tim Mobile Legends paling populer di Asia Tenggara. Hal lain yang juga bisa menunjukkan baik-buruknya reputasi organisasi esports adalah brand yang menjadi rekan mereka. “Kalau kita mengadakan kolaborasi, tidak mungkin dengan brand atau perusahaan yang reputasinya kurang baik,” kata AP.

Tim Mobile Legends terpopuler di Asia Tenggara. | Sumber: Esports Charts

AP mengaku bersyukur karena semua orang di bawah RRQ — baik atlet esports maupun pihak manajemen — sepakat bahwa reputasi organisasi adalah sesuatu yang harus dijaga bersama. Dia menambahkan, bahkan setelah seseorang keluar dari RRQ, dia biasanya tidak akan membocorkan masalah internal organisasi ke pihak lain. “RRQ itu paling menjaga hal-hal yang bersifat internal. Segala sesuatu yang berhubungan dengan nama baik organisasi, kita coba selesaikan secara internal,” ujar AP. “Bukan berarti kita lebih bersih dari organisasi esports lain. Hanya saja, kita coba menyelesaikan masalah yang bisa diselesaikan secara internal.” Harapannya, pemberitaan buruk terkait masalah internal RRQ bisa diminimalisir.

Namun, RRQ bukanlah organisasi esports kecil. Mereka membawahi lebih dari 40 atlet esports. Tentunya, mereka juga mempekerjakan sejumlah orang untuk mengisi posisi manajemen. Sebagai CEO, mengawasi semua orang yang bekerja untuk RRQ memang mustahil. AP menyadari hal itu. Tapi, dia tetap percaya, semua orang di bawah RRQ mau menjaga nama baik organisasi. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena budaya perusahaan di RRQ.

“Saya beruntung punya kolega kerja, pemain, manajer, dan pelatih yang memang tahu peraturan di RRQ,” ujar AP. “Yang saya lihat, mereka bukannya takut pada RRQ sebagai organisasi atau fans kami, tapi karena kebiasaan perusahaan, mulai dari hal-hal kecil, yang akhirnya membentuk individu yang bisa mengikuti peraturan. Kami juga memberikan contoh dari atas ke bawah. Mulai dari dulu, waktu kita hanya 4-5 orang saja, akhirnya sampai sebesar sekarang. Sampai saat ini, tidak ada yang menceritakan aib hanya demi buat konten seru-seruan. Sebisa mungkin kita bereskan secara internal.”

Organisasi esports bukan satu-satunya elemen dalam ekosistem esports. Ada berbagai entitas lain yang juga punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports, mulai dari publisher sampai penyelenggara turnamen.  Sayangnya, walau organisasi esports bisa menjaga nama baik mereka, terkadang, pihak lain dari ekosistem esports yang justru terkena skandal. Bisa jadi, yang tersangkut kasus justru sang publisher, seperti yang terjadi pada Blizzard. Ketika ditanya apa yang RRQ lakukan ketika publisher terkena masalah, AP menjawab bahwa RRQ akan mengambil sikap pragmatis.

Mobile Legends adalah salah satu game esports yang tumbuh pesat di Indonesia.

“Contoh, Moonton terkena kasus di Tiongkok, dituntut oleh Tencent. Di Indonesia, apa impact-nya? Apakah orang-orang yang main bakal masuk penjara? Apa EO yang membuat event untuk Moonton bakal dituntut oleh pengacara dari Tiongkok? Jika tidak ada, ya kita tidak usah ikut campur. Masalah itu akan menjadi masalah antara tim legal Moonton dan Tencent di Tiongkok,” jelas AP panjang lebar.

AP menyebutkan, RRQ juga tetap akan berusaha untuk menyuarakan kepentingan komunitas esports. Namun, mereka juga sadar bahwa pada akhirnya, RRQ hanyalah organisasi esports. “Mau sebanyak apapun fans Persija, mereka cuma klub sepak bola. Masih ada otoritas yang lebih tinggi dari mereka,” kata AP, memberikan analogi. Dan di ekosistem esports, publisher merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. “Kita tidak bisa pungkiri, ekosistem esports muncul berkat publisher. Dan tim esports, fans, EO, dan media merupakan bagian penting dari ekosistem esports. Kita tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” ujarnya. Satu hal yang pasti, AP menekankan, RRQ akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam sebuah ekosistem esports.

Bagi orang-orang yang ingin menjadi atlet esports, AP memberikan sejumlah saran tentang cara menjaga reputasi dan mengembangkan karir. Salah satunya adalah fokus pada latihan. Menurutnya, saat ini, kebanyakan orang ingin menjadi pemain esports demi popularitas. Memang, biasanya, setelah pensiun, pemain esports akan menjadi streamer. Namun, dia menyebutkan, fokus utama dari pemain esports tetaplah memberikan performa yang baik dan membawa tim ke kemenangan.

“Atlet esports seharusnya bukan ingin bisa populer. Seharusnya, dia memasang target agar bisa jago dan membawa tim menang,” ungkap AP. Dia menyebutkan, ketika seseorang memberikan performa yang baik dan membawa timnya juara, popularitas akan datang dengan sendirinya.

Saran kedua dari AP adalah untuk tidak terlalu menyibukkan diri dengan membuat banyak konten. Alasannya, ketika seorang atlet esports justru fokus untuk membuat konten, maka dia tidak bisa berlatih dengan maksimal. Dan pada akhirnya, hal ini justru bisa menghambat karir sang atlet itu sendiri. “Peluang di esports itu kan sedikit dan tidak lama. Kalau dapat kesempatan, sebaiknya Anda berlatih keras. Dan juga bersosialisasi, perbanyak teman,” ujarnya. “Membangun chemistry dengan teman satu tim itu juga penting, tidak sekadar push rank.”

Bagi atlet esports, kemampuan untuk bisa membawa diri juga menjadi penting karena kebanyakan game esports dimainkan bersama-sama dengan tim dan tidak perseorangan. AP mengatakan, tidak peduli seberapa jago seorang atlet, jika dia tidak bisa rukun dengan teman satu timnya serta pelatihanya, karirnya tidak akan bertahan lama.

Sementara saran yang AP berikan untuk pemilik organisasi esports adalah untuk mencintai esports. “Temukan passion-nya,” ujarnya. “Kalau orientasinya lagi-lagi uang, jangan deh. Dia harus fall in love with esports. Bukan berarti dia harus main 12 jam sehari juga. Tapi, dia harus punya antusiasme akan esports. Kalau dia sendiri nggak enjoy, begitu pemain ada yang ngambek, ya jadi capek sendiri.” Dia juga menyebutkan, membangun tim esports bukan sesuatu yang instan. “Di dua tahun pertama pasti bleeding, entah waktu, tenaga, atau uang.”

Penutup

Seiring dengan bertambahnya jumlah penonton esports, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor dari pelaku esports. Bahkan merek non-endemik sekalipun mulai menjajaki dunia esports dalam beberapa tahun belakangan. Sebagian dari mereka bahkan membeli naming rights dari organisasi esports.

Ketika sebuah brand menjadi sponsor dari pelaku esports, maka mau tidak mau, reputasi dan image dari brand juga akan melekat pada pihak yang disponsori. Karena itu, perusahaan biasanya memilih pihak yang mereka sponsori dengan hati-hati. Dan jika pihak yang disponsori tersandung skandal, pihak sponsor biasanya tidak ragu untuk membatalkan kontrak sponsorship mereka. Mengingat sebagian besar pemasukan industri esports masih berasal dari sponsorship, maka semua pelaku industri esports — mulai dari atlet, organisasi esports, penyelenggara turnamen, sampai publisher — harus dapat menjaga reputasi mereka.

Free Fire Kolaborasi dengan Timnas Sepak Bola Brasil, F1 Adakan Kompetisi Mobile Esports Baru

Dua organisasi esports mengumumkan kontrak kerja sama baru mereka pada minggu lalu. FaZe Clan mengungkap bahwa mereka akan berkolaborasi dengan McDonald’s untuk membuat industri game dan esports menjadi semakin inklusif. Sementara OG mengumumkan kerja sama mereka dengan perusahaan analitik asal Jerman. Di sisi lain, dua sponsor utama Overwatch League mempertimbangkan untuk menghentikan kontrak mereka karena skandal yang menimpa Blizzard.

Free Fire Kolaborasi dengan Timnas Sepak Bola Brasil

Minggu lalu, Free Fire resmi menjalin kerja sama dengan Konfederasi Sepak Bola Brasil (CBF). Dengan ini, Free Fire akan menjadi sponsor resmi dari tim-tim sepak bola Brasil selama dua tahun. Salah satu hasil dari kolaborasi ini adalah para pemain Free Fire di Brasil dan di seluruh dunia bakal punya kesempatan untuk mendapatkan skin dan item kolaborasi eksklusif. Selain itu, Free Fire juga akan melakukan kegiatan aktivasi di setiap pertandingan sepak bola dari timnas Brasil.

Pada 6 Agustus 2021, Free Fire memperkenalkan dua skin baru hasil kolaborasi mereka dengan tim nasional Brasil. Salah satu skin itu berupa seragam  sepak bola berwarna biru dan kuning, dua warna yang biasa digunakan oleh tim nasional Brasil. Selain itu, Free Fire juga akan meluncurkan beberapa item baru. Koleksi item itu akan menjadi bagian dari Farra dos Colecionadores alias Collector’s Spree. Namun, Garena belum memberikan informasi lebih lanjut terkait item tersebut, lapor Esports Insider.

OG Esports Kolaborasi dengan Perusahaan IT, Shikenso Analytics

Organisasi esports asal Eropa, OG Esports, baru saja menjalin kerja sama dengan Shikenso Analytics, perusahaan IT asal Jerman. Sebagai bagian dari kolaborasi ini, Shikenso akan memberikan analisa mendalam tentang performa media sosial OG. Sebelum kerja sama dengan OG, Shikenso juga telah membantu beberapa pelaku esports lain, seperti FATE Esports dan penyelenggara turnamen BLAST. Kepada rekan mereka, Shikenso biasanya memberikan informasi terkait performa dari kegiatan aktivasi mereka.

Shikenso akan berikan data tentang performa media sosial OG. | Sumber: Esports Insider

“Kami sangat senang dengan platform Shikenso dan kami kagum akan layanan yang bisa mereka berikan pada rekan-rekan kami,” kata Head of Partnerships, OG Esports, Romane Sorine, seperti dikutip dari Esports Insider. “Ketka kami menggunakan platform dari Shikenso, mereka bisa membuat platform yang sesuai dengan kebutuhan OG serta membantu kami dalam membuat presentasi yang memenuhi keinginan dari rekan-rekan kami.”

Dua Sponsor Utama Overwatch League Dikabarkan Bakal Batalkan Kontrak Sponsorship

Coca-Cola dan State Farm dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk menghentikan kontrak sponsorship dengan Overwatch League (OWL) setelah kasus gugatan Blizzard akan diskriminasi dan pelecehan seksual merebak. Seperti yang disebutkan oleh The Washington Post, kedua sponsor utama OWL itu sedang menimbang kembali apakah mereka masih mau melibatkan diri dengan liga esports itu. State Farm dan Coca-Cola merupakan dua dari tujuh sponsor utama yang namanya tertulis pada situs OWL. Beberapa sponsor lain OWL adalah IBM, Xfinity, Cheez-It, Pringles, dan TeamSpeak.

Minggu lalu, perusahaan telekomunikasi AS, T-Mobile telah menghentikan kerja sama mereka dengan OWL. Dan tampaknya, sponsor-sponsor lain dari OWL akan mengikuti jejak T-Mobile, menurut laporan Polygon. Jika Coca-Cola dan State Farm memutuskan untuk berhenti menjadi sponsor, hal ini akan menjadi masalah bagi OWL. Pasalnya, kontrak sponsorship OWL dengan sejumlah brand besar merupakan salah satu bukti dari kesuksesan liga esports tersebut.

McDonald’s Gandeng FaZe Clan untuk Dorong Inklusivitas Industri Esports

McDonald’s baru saja menandatangani kontrak sponsorship dengan FaZe Clan. Melalui kerja sama ini, McDonald’s dan Faze akan membuat sejumlah konten yang dibintangi oleh para kreator ternama Faze. Konten tersebut dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa industri game dan esports merupakan industri yang inklusif.

Konten hasil kolaborasi McDonald’s dan FaZe akan menampilkan beragam cerita. Misalnya, cerita tentang bagaimana para anggota FaZe bisa menjadi populer seperti sekarang. Pada akhirnya, tujuan dari kolaborasi ini adalah untuk mendukung keberagaman di industri game dan esports serta menunjukkan apa yang FaZe dan McDonald’s lakukan untuk membuat industri game dan esports menjadi semakin inklusif, lapor Forbes.

F1 Bakal Gelar Kompetisi Mobile Esports Baru

Formula 1 menggelar kompetisi mobile esports kedua mereka. Kali ini, game yang diadu adalah Real Racing 3, yang dirilis oleh Electronic Arts. Pemain yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan tiket untuk menghadiri satu balapan F1 pilihan mereka dalam satu tahun ke depan. Sementara 10 pemain terbaik akan mendapatkan kacamata hitam berlisensi F1, Formuleyes. Dalam update terbaru Real Racing 3, game itu sudah menyertakan semua mobile F1 pada 2021.

“Sekarang, kami sedang berusaha untuk membangun reputasi kami di lanskap mobile game. Dan kami sangat senang karena bisa menyertakan Real Racing 3 dalam F1 Esports,” kata Ellie Norman, Director of Marketing and Communications, Formula 1, seperti dikutip dari The Race. “Kami harap, jumlah peserta dari kompetisi ini akan lebih banyak dari sebelumnya.”

Kolaborasi Antara EVOS Esports dengan VISA dan Mandiri: Bukti Seksinya Industri Esports

Industri game dan esports kini tengah naik daun. Untuk memberikan gambaran tentang keadaan industri game dan esports di Indonesia dan Asia Tenggara, EVOS Esports menggelar Media Discussion: Indonesia Industry Outlook 2021. Dalam konferensi pers virtual itu, EVOS menjelaskan tentang potensi dari industri game dan esports di Indonesia, baik dari segi jumlah gamers, jumlah pemasukan, serta jumlah penonton esports.

Jumlah Gamers dan Total Belanja Gamers Indonesia

Di enam negara Asia Tenggara — Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura — jumlah gamers diperkirakan mencapai 284,6 juta orang pada 2021. Sementara jumlah pemasukan industri game di keenam negara itu diduga akan mencapai US$5,86 miliar. Dari enam negara tersebut, Indonesia menjadi negara dengan jumlah gamers paling banyak. Hal ini tidak aneh, mengingat Indonesia memang memiliki populasi terbesar dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Jumlah gamers di Indonesia pada 2021 diduga akan mencapai 116 juta orang. Sebagai perbandingan, jumlah gamers di Filipina mencapai 55,5 juta orang dan di Vietnam 54,8 juta orang.

Jika dibandingkan dengan lima negara lainnya, industri game Indonesia juga punya pemasukan paling besar, mencapai US$1,9 miliar. Thailand menjadi negara dengan industri game terbear kedua di Asia Tenggara, diikuti oleh Malaysia. Meskipun begitu, dari segi ARPU (Average Revenue per User), Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand. ARPU di Indonesia hanya mencapai US$16,4. Sebagai perbandingan, ARPU Thailand mencapai US$31,2, Malaysia US$47,1 dan Singapura US$111,6.

Jumlah gamers dan pemasukan industri game di 6 negara SEA. | Sumber: EVOS Esports

Sementara di masa depan, jumlah gamers diperkirakan masih akan naik. Dari 2020 sampai 2025, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun (CAGR) dari jumlah gamers mencapai 4,9%. Jadi, pada 2025, jumlah gamers di Tanah Air diproyeksikan akan mencapai 142 juta orang. CAGR dari jumlah penonton esports bahkan lebih tinggi, mencapai 16,4%. Pada 2020, jumlah penonton esports di Indonesia mencapai 14 juta orang: 8 juta enthusiast viewers dan 6 juta occasional viewers. Lima tahun kemudian, pada 2025, jumlah penonton esports diduga akan menembus 29 juta orang, dengan pembagian 17 juta enthusiast viewers dan 12 juta occasional viewers.

“Pada tahun 2016, PC gaming memang dominan. Namun, dalam tiga tahun terakhir, muncul mobile game, seperti Mobile Legends dan Free Fire. Dengan begitu, hanya berbekal smartphone, anak-anak muda sekarang sudah bisa jadi gamers. Barrier of entry-nya jadi jauh lebih mudah. Hal ini jadi salah satu alasan mengapa jumlah pemain game sekarang lebih banyak daripada konsumsi konten digital lainnya,” kata Co-Founder & Chief Marketing Officer EVOS Esports, Michael Wijaya alias Mike. “Jumlah gamers di Indonesia akan naik pesat. Dan dari segi passion, mereka juga lebih memilih untuk bermain game daripada menikmati hiburan lainnya.”

Kebiasaan Penonton Esports di Indonesia

Sebagian besar penonton esports di Indonesia bersaal dari generasi milenial dan Gen Z. Berdasarkan data dari EVOS, sebanyak 58% dari penggemar EVOS dan esports merupakan remaja di bawah 18 tahun. Sementara 41% lainnya berada di rentang umur 19-29 tahun. Mudanya umur para penggemar esports berpengaruh pada lama waktu mereka bermain. Sebanyak 62,8% fans EVOS bermain game setiap hari. Dan sekitar 41,73% dari mereka menghabiskan waktu untuk bermain game selama 3-5 jam sehari.

Kebiasaan para gamers di Indonesia. | Sumber: EVOS Esports

Menariknya, kebanyakan dari fans esports setia untuk bermain satu game. Sebanyak 33,65% fans esports mengungkap bahwa mereka hanya memainkan satu game. Sementara sebanyak 27,96% hanya bermain 2 game. Mike menyebutkan, tiga game yang paling populer di kalangan fans esports adalah Mobile Legends, Free Fire, dan PUBG Mobile.

Soal kebiasaan berbelanja, sebanyak 39,33% audiens esports melakukan pembelian dalam game sebanyak 1-3 kali sebulan. Walau, dari segi besar transaksi, total belanja mereka tidak terlalu besar. Sebanyak 67,96%  penonton esports menghabiskan uang kurang dari Rp100 ribu. E-wallet seperti GoPay, OVO, Dana, dan LinkAja, jadi pilihan pembayaran favorit para fans esports. Hampir setengah (48,13%) dari fans esports melakukan pembayaran melalui e-wallet. Hanya 6,42% penonton esports yang melakukan transaksi via platform milik bank. Hal ini menunjukkan, pihak bank masih bisa menggenjot jumlah transaksi di kalangan para gamers.

Kerja Sama EVOS dengan VISA dan Mandiri

Seiring dengan semakin berkembangnya industri esports, semakin banyak pula pihak yang ingin terlibat dalam industri tersebut, termasuk perusahaan-perusahaan non-endemik, seperti VISA dan Bank Mandiri. EVOS telah menjalin kerja sama dengan VISA pada Juli 2020. Sementara dengan Bank Mandiri, EVOS meluncurkan EVOS Card pada Juni 2021. Berfungsi layaknya kartu debit, EVOS Card bisa didapatkan oleh nasabah lama maupun orang-orang yang membuka rekening baru di Mandiri. Hanya saja, kartu itu dibuat dalam jumlah terbatas. Sejauh ini, telah ada seribu orang yang menggunakan kartu tersebut.

Mike mengungkap, EVOS menyambut perusahaan-perusahaan non-endemik dengan tangan terbuka. Karena, keikutsertaan perusahaan-perusahaan non-endemik yang sudah berumur puluhan tahun dan punya reputasi baik, seperti bank, dapat membantu EVOS dan pelaku dunia esports lain untuk menghilangkan stigma negatif yang ada terkait esports. Memang, sampai saat ini, masih ada orang yang percaya dengan sejumlah mitos terkait game dan esports.

“Dalam lima tahun terakhir, EVOS ingin mengubah sentimen negatif yang ada. Kami ingin menunjukkan, ada karir di industri esports. Melalui kerja sama dengan Bank Mandiri dan VISA, kami ingin menunjukkan pada para orang tua bahwa industri esports bahkan telah disorot oleh banking, yang secara nature sangat dipercaya,” ujar Mike.

Para pembicara di Outlook bersama dengan MC.

Sementara itu, Head of Strategy & Planning Visa Indonesia, Handikin Setiawan menjelaskan alasan mengapa VISA tertarik untuk menjajaki dunia esports. Dia mengungkap, sebagai perusahaan yang telah berumur puluhan tahun, VISA terus berusaha untuk tetap relevan dengan tren yang ada. “Kita melihat bahwa sekarang adalah zaman digital. Dan industri game merupakan ekosistem digital first,” ujarnya. Karena itu, VISA ingin agar mereka tetap bisa relevan di mata para gamers. Lebih lanjut, Handikin menjelaskan, saat ini, segmen gaming berisi orang-orang berumur di bawah 30 tahun. Dan memang, di Indonesia, kebanyakan masyarakatnya ada di bawah umur 30 tahun.

“Dalam 5-10 tahun lagi, generasi ini akan masuk ke prime age. Mereka yang akan menentukan how payment is done,” ujarnya. Dia juga menyebutkan, pandemi telah membuat gaya hidup masyarakat mulai berubah, dari offline ke online. VISA percaya, tren ini adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, penting bagi mereka untuk bisa dekat dengan komunitas gamers, yang merupakan digital native.

Sumber header: Esports Insider

Epic Games Datangkan Mobil Ferrari ke Dunia Fortnite

Fortnite merupakan game Battle Royale ternama besutan Epic Games. Game ini dikenal dengan gameplay building-nya yang unik serta kolaborasinya dengan beberapa film, komik, kartun, maupun artis. Beberapa artis ternama yang sudah pernah menjelajahi dunia Fornite meliputi Marshmellow, Neymar, LeBron James, dan banyak lagi. Menariknya, saat ini Epic Games mengumumkan sebuah kolaborasi yang terbilang tidak biasa untuk Fortnite.

Pada 21 Juli, Epic Games secara resmi mengumumkan menggandeng pabrikan mobil super asal Italia, Ferrari, untuk dimasukkan ke dunia Fortnite. Pabrikan supercar yang sudah berumur sekitar 80 tahun ini mendatangkan salah satu mobil terbarunya, Ferrari 296 GTB. Kolaborasi ini telah hadir di game pada tanggal 22 Juli kemarin.

Image Credit: Epic Games

Di dunia nyata, Ferrari 296 GTB dibanderol dengan harga US$330 ribu atau sekitar Rp4,7 milliar. Namun, di Fortnite, Anda bisa mengendarainya secara gratis. Mobil Ferrari ini bisa ditemukan diparkir di kota Believer Beach dan Lazy Lakes. Fortnite juga membuat beberapa event mingguan yang melibatkan Ferrari 296 GTB ini seperti time trial, uji kecepatan tertinggidan mengemudi melalui badai di game.

Selain mobil Ferrari 296 GTB, Fortnite juga hadirkan beberapa aksesoris in-game yang bisa dibeli berupa pakaian dan tas ransel. Aksesoris yang dinamakan Road Ready Ferrari Bundle ini berisikan ikon Modena dan kostum balap Maranello, serta tas ransel bernama Ferrari Turbo Back Bling.

Image Credit: Epic Games

Fortnite merilis mobil-mobil yang dapat dikendarai ke dalam mode Battle Royale sekitar 1 tahun lalu pada Chapter 2 Season 3. Namun, semua kendaraan yang ada di Fortnite saat itu, seperti mobil sport, truk, sedan, sampai truk pikap, tidak ada yang didasarkan pada model mobil di dunia nyata. Ini artinya, Ferrari 296 GTB ini merupakan mobil dari dunia nyata pertama di Fortnite.

Beberapa waktu lalu, Fortnite juga mendatangkan beberapa karakter baru dari animasi Rick And Morty. Hal ini diumumkan langsung di akun Twitter resmi Fortnite yang memberikan bocoran konten season 7 melalui teaser singkat yang memperlihatkan sebuah robot yang memegang mentega. Anda dapat membaca lebih lengkap tentang ini, di sini.

Tren Esports Sponsorship di Asia Tenggara

Industri game di kawasan Asia Tenggara dan Taiwan (GSEA) diperkirakan bernilai US$5 miliar pada 2019. Menurut Niko Partners, pada 2019, jumlah mobile gamers di GSEA mencapai 227 juta orang dan jumlah pemain PC mencapai 154,3 juta orang. Berkembangnya industri game di GSEA juga akan mendorong pertumbuhan industri esports. Alasannya, gamers di GSEA tidak hanya senang bermain game, tapi juga aktif di dunia esports.

Berdasarkan data dari Niko Partners, jumlah penonton di Asia Tenggara mencapai 100 juta orang. Audiens esports di masing-masing negara biasanya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu populasi dan konektivitas internet. Semakin besar populasi sebuah negara, semakin besar pula jumlah penonton esports di negara itu. Sementara itu, infrastruktur internet yang baik akan mendorong pertumbuhan ekosistem esports di sebuah negara.

Banyaknya jumlah penonton memang bisa menumbuhkan ekosistem competitive gaming. Karena, biasanya, semakin besar jumlah penonton, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor. Memang, saat ini, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama di dunia esports. Lalu, bagaimana tren sponsorship di Asia Tenggara?

Industri Endemik Masih Mendominasi Sponsorship untuk Esports

“Perusahaan yang paling sering menjadi sponsor esports adalah perusahaan-perusahaan endemik industri game, seperti produsen komputer, gaming peripherals, maupun ponsel,” kata Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners ketika ditanya tentang tren esports sponsorship di kawasan Asia Tenggara. Meskipun begitu, perusahaan-perusahaan non-endemik  alias perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan dunia game dan esports pun mulai tertarik untuk mendukung pelaku esports. “Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan non-endemik juga mulai masuk ke sponsorship esports di ASEAN,” ujar Darang. Lebih lanjut dia menjelaskan, perusahaan non-endemik tersebut biasanya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang makanan/minuman, perbankan, dan transportasi.

Yamaha jadi salah satu perusahaan otomotif yang mendukung esports.

Di Indonesia, beberapa perusahaan endemik yang menjadi sponsor esports antara lain Acer Predator, ASUS ROG, Logitech, dan Razer. Mengingat di Indonesia mobile esports sangat populer, beberapa perusahaan smartphone juga aktif menjadi sponsor, seperti Xiaomi dan Samsung. Sementara itu, beberapa perusahaan non-endemik yang ikut aktif di kancah esports lokal adalah Red Bull yang menjadi sponsor dari Bigetron Esports dan ONIC Esports serta Sukro yang mendukung RRQ dan EVOS Esports.

BCA menjadi salah satu bank yang aktif mendukung pelaku esports di Indonesia. Salah satu turnamen esports yang BCA dukung adalah Piala Presiden. Mereka menyebutkan, alasan mengapa mereka tertarik untuk masuk ke komunitas esports adalah karena mereka ingin menggaet hati anak-anak muda, yang memang senang dengan competitive gaming. Contoh bank lain yang mendukung esports adalah BNI, yang belum lama ini menjadi sponsor dari Ladies Series MLBB 2021.

Dari segi nilai sponsorship, perusahaan endemik juga masih unggul. Meskipun begitu, Darang menyebutkan, semakin banyak perusahaan non-endemik yang menjadi sponsor esports. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu alasan di balik tren tersebut. Pasalnya, kompetisi esports masih bisa diselenggarakan secara online walau pemerintah melakukan lockdown dan masyarakat disarankan untuk melakukan social distancing. Memang, pada awal tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 baru dimulai, konten esports bahkan dianggap bisa menjadi pengganti dari siaran olahraga. Karena, ada banyak kompetisi olahraga yang harus ditunda atau bahkan dibatalkan.

Vici Gaming yang memenangkan ONE Esports Singapore Major. | Sumber: Talk Esports

Sementara itu, jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, Singapura menjadi negara yang menarik esports sponsorship dengan nilai yang paling besar. Menurut Darang, alasannya sederhana, yaitu karena Singapura sering menjadi tuan rumah dari turnamen esports dengan hadiah besar. Salah satu turnamen esports yang diadakan di Singapura belum lama ini adalah ONE Esports Singapore Major 2021, yang menawarkan hadiah sebesar US$500 ribu. Dan pada Mei 2021, Free Fire World Series 2021 Singapore digelar di Marina Bay Sands. Total hadiah dari kompetisi Free Fire itu mencapai US$2 juta.

Apa yang Membuat Ekosistem Esports Asia Tenggara Unik?

Hampir semua negara-negara di Asia Tenggara merupakan negara mobile first. Karena itu, tidak heran jika industri mobile game berkembang pesat di kawasan ASEAN. Alhasil, ekosistem esports yang berkembang pun merupakan ekosistem mobile game. Darang menyebutkan, hal ini juga terlihat pada kontrak esports sponsorship di kawasan Asia Tenggara. Di ASEAN, mobile esports menjadi minat utama para sponsor. Meskipun begitu, Darang menyebutkan, di Asia Tenggara, tidak ada satu game yang mendominasi kontrak sponsorship.

Mobile game tetap menjadi yang paling diminati oleh para sponsor. Beberapa game yang paling banyak mendapatkan sponsor dalam pergelaran turnamen di seantero Asia Tenggara antara lain Free Fire, Arena of Valor, PUBG Mobile, dan Mobile Legends,” ungkap Darang. Ketika ditanya mengapa mobile game populer, dia menjawab, “Pengguna dan penonton mobile esports merupakan segmen terbesar esports di Asia Tenggara. Game ponsel juga mudah diakses, tidak memerlukan spec dan perlengkapan mahal seperti PC dan konsol, serta keberlanjutan turnamen-turnamennya mampu bertahan di kala pandemi. Hal-hal tersebut menjadikan mobile esports sebagai segmen paling populer di Asia Tenggara.”

 

Esports jadi salah satu cabang olahraga bermedali di SEA Games 2019. | Sumber: Esports Observer

Selain populernya mobile game, satu keunikan lain dari ekosistem esports di Asia Tenggara adalah aktifnya pemerintah dalam mengembangkan industri competitive gaming. Buktinya, esports telah dimasukkan dalam beberapa ajang olahraga bergengsi. Misalnya, di Asian Games 2018, esports dinobatkan sebagai cabang olahraga eksibisi. Sementara di SEA Games 2019, esports bahkan menjdi cabang olahraga bermedali. Esports juga akan kembali menjadi bagian dari SEA Games 2021 dan Asian Games 2022. Di Indonesia, esports juga akan menjadi cabang olahraga eksibisi Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021. Pemerintah bahkan memilih Lokapala, mobile MOBA buatan developer lokal, menjadi salah satu game yang diadu.

“Satu hal yang unik dan membedakan Asia Tenggara dengan kawasan lain adalah keterlibatan pemerintah sebagai sponsor atau penyelenggara acara esports,” kata Darang. “Sebagai contoh, pemerintah Indonesia melalui PB Esports dan Kemenparekraf, pemerintah Malaysia melalui MDEC, dan pemerintah Singapura melalui SGGA tercatat cukup terlibat dalam penyelenggaraan turnamen esports di negara masing-masing.”

Sumber header: Dot Esports

Pros and Cons of the Absolute Power of Game Publishers in the World of Esports

In the esports world, game publishers are the absolute power holder who can determine every aspect of the game’s ecosystem. They are essentially the kings of the esports kingdom. Of course, there are pros and cons that comes with this system. On the one hand, publishers can give much-needed resources to grow and develop an esports ecosystem. On the other hand, publishers can also single-handedly shut down the whole esports ecosystem if deemed unprofitable. Let’s explore each these advantages and disadvantages in greater depth. 

Advantage #1: No Power Scramble

In Indonesia, four major associations oversee the country’s esports scene, namely the Indonesia Esports Association (IESPA), the Indonesian Video Game Association (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia or AVGI), the Indonesian Esports Federation (Federasi Esports Indonesia or FEI), and the Indonesian Esports Executive Board (Pengurus Besar Esports Indonesia or PBESI). Each association has its own affiliation. For example, IESPA has been a member of the International Esports Federation since 2013 and has been a member of the Indonesian Olympic Committee (Komite Olimpiade Indonesia or KOI) since 2018. In addition, it is also affiliated with the Indonesian Community Recreational Sports Federation (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia or FORMI). On the other hand, PBESI has a close relationship with the Indonesian National Sports Committee (Komite Nasional Olahraga Indonesia or KONI).

In August 2020, KONI recognized esports as a legitimate sport, no longer considered as merely a recreational sport. On the other hand, PBESI’s position is on par with the Football Association of Indonesia (PSSI) or the Badminton Association of Indonesia (PBSI). According to One Esports, however, PBESI is the association with the highest authority or power in promoting esports. All of this information suggests that IESPA’s power or influence in the esports realm is not very widespread. However, IESPA used to be involved in encouraging esports athletes to compete in global competitions and is even responsible for selecting esports athletes at the 2019 SEA Games.

We are proud to announce the Indonesian Esports national team contingent squad for the 2019 SEA Games. Further finalization processes will be carried out by the Indonesian Olympic Committee and @KEMENPORA_RI. Please support us so that Indonesia can win as much gold medals as possible! pic.twitter.com/OZ3apKDZgV

— Indonesia Esports Association (@iespaorg) September 2, 2019

Ideally, these esports associations in Indonesia can work hand in hand to develop the esports ecosystem in the country. Boxing, for example, has four associations that can coexist in overseeing and developing the sport. However, the coexistence of multiple associations does present the possibility of conflict and the overlapping of responsibilities.

Instead, if one single organization controls the whole sport, these power struggle conflict can be prevented entirely. Publishers can ensure that all parties involved in the esports ecosystem (players, teams, tournament organizers) will comply with the rules they set. As a result, the development of the esports ecosystem will become a much more cohesive and stable process.

Let’s compare the absolute power of publishers in the esports scene with a dictatorial government system. People have always said that a democratic system is far better than an autocratic one. However, in a democracy, the government leadership or power will always change once every few years. In Indonesia, for example, a person can serve as president for a maximum of ten years (or two terms). 

Unfortunately, different leaders will have different visions, goals, virtues, and implementation of policies. Erratic changes can occur especially if the new leader comes from the opposing party, which happened in DKI Jakarta a few years ago. When Anies Baswedan and Sandiaga Uno won the DKI Jakarta Regional Head Election in 2017, they immediately modified several policies that were put in place by the previous governors.

PBESI Inauguration. | Source: Hybrid.co.id

Of course, in the context of a country or state, a change in leadership may have a positive impact in the long term. However, in the esports scene, continuity is a very important commodity. For example, let’s say that the majority of the power in the esports scene was in the hands of association A. The association felt that the regeneration of esports players is of utmost importance and subsequently hosted several competitions at the high school and college level. However, the very next year, the power shifted to association B, which considers amateur-level tournaments unnecessary. Association B proceeds to disband all competitions at the student level held by association A in the previous year. You can see how changes of power or influence can cause instability and conflict in the esports ecosystem

On the flip side, countries under dictatorship solely depend on the goals and policies that the dictator implements. Similarly, when the publisher holds absolute power, the success or failure of the esports scene will depend entirely on the publisher’s actions. Fortunately, most game publishers do want their esports ecosystem to thrive since it highly impacts their finances and revenue.

Advantage #2: Publishers will try their best to maintain and cultivate their esports ecosystem

Valve earned approximately $130.8 million USD from the sales of The International 9 Battle Pass. 25% of the total Battle Pass sales — approximately US$32.7 million — went directly to TI9’s prize pool, enabling it to accumulate a whopping $34.3 million USD. Valve, interestingly, only prepared $1.6 million USD for the starting price and pocketed $98.1 million USD from the 75% of remaining sales of the Battle Pass. Dota 2 is a relatively old game, launched in July 2013, which is also free to play. However, due to the massive success of its esports scene, Dota 2 is arguably the most profitable money-making machine for Valve. Looking at Valve’s success from Dota 2, it begs the question: why do some game publishers not opt to maintain or grow their esports scene?

Of course, The International might be an extreme case that is not easily replicable for most publishers out there. However, publishers do have other options for monetizing the esports scene than just using the prize pool. For example, Riot Games creates special and limited skins based on the team that won the League of Legends World Championship. Riot also implemented the franchise league model to generate extra revenue from esports. A franchise league model allows teams to participate in the league if they pay a certain amount of money. Currently, Riot has implemented the model in three different LoL leagues, namely the North American League (LEC), European League (LEC), and South Korean League (LCK). In Indonesia, one of the publishers that adopt the franchise league monetization model is Moonton through Mobile Legends Professional League (MPL).

PBE previews, @DWGKIA for the win!

🏆DWG Nidalee
🏆DWG Kennen
🏆DWG Twisted Fate
🏆DWG Jhin
🏆DWG Leona pic.twitter.com/lk2YxQrWYI

— League of Legends (@LeagueOfLegends) April 13, 2021

Esports can also be used as a marketing tool to maintain the player base and extend the life span of a game. Ubisoft is an example of a successful publisher that uses esports as a means of marketing. In 2016, a year after launching Rainbow Six: Siege, the game only has around 10 million active players. Jumping to 2020, however, that number skyrocketed to 55 million players. This trend usually does not occur in the gaming industry, as games often lose players a few years after their release. However, Ubisoft uses R6’s esports scene to keep the game relevant and maintain the loyalty of its fans.

As we can observe, the esports scene can highly impact the success and relevancy of a game throughout its life span, which is why most game publishers will try their best to develop their esports ecosystem. For example, Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive were used to have a very big scene in Indonesia. However, since both of these franchises’ esports were not properly cultivated in the country, Dota 2 and CS eventually died out in the region. Very few esports organizations in Indonesia still have teams competing in these two games, and the player base in the country is also shrinking rapidly.

ClutchGuild that qualified for AOV World Cup 2018. | Source: Mineski

Similar to Dota 2 and CS, Arena of Valor is also losing its prestige in the local esports ecosystem. However, the AOV esports scene is still very much alive and much more thriving than the two previous games. AOV’s major tournament, Arena of Valor Premier League, is still being held today, with prize pools reaching $350 thousand USD. As you may have already expected, Tencent and Garena were directly involved in hosting these tournaments. Therefore, although some esports ecosystems can survive without publisher support (like what we see locally with Dota 2), the game publisher’s support will extensively affect the degree of success of an esports scene.

Advantage #3: Fixed Set of Rules

In most esports, both tournament organizers and game publishers usually determine the rules in their esport scenes. However, publishers do have a stronger influence to enforce the rules they set since they obviously have direct access to the game. For example, if an esports player cheats in an official PUBG Mobile competition, Tencent can directly ban the player ID from the game. On the other hand, if a player was caught cheating in a third-party tournament, then he/she might only be banned from participating in the tournament. 

We can also take an example from Pro Evolution Soccer, one of the large esports ecosystems in Indonesia without publisher support. The PES esports scene can grow due to the efforts of Liga1PES and also the Indonesia Football e-League (IFeL). Of course, these 2 leagues have implemented their own set of rules. However, Liga1PES will not be able to interfere in the regulations made by IFeL and vice versa, potentially causing several inconsistencies or interference. 

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Source:  IFeL Official Documentation

Indeed, there is a possibility of abusing the absolute power that publishers have. However, referring back to the second point/advantage, publishers will most likely use their influence for the good of the esports ecosystems as it directly impacts their finances. 

Disadvantage #1: Abrupt Shutdowns of the Esports Ecosystem

Although esports can generate a lot of revenue for publishers, creating and maintaining a profitable esports ecosystem is not an easy task. More often than not, publishers have to invest a substantial amount of budget and time to develop the esports scene of their games. As a result, when esports is no longer deemed profitable for the company, it can decide to pull out their investments and shut down the ecosystem overnight. Blizzard Entertainment is an infamous publisher that has done this in the past.

In 2015, Blizzard released Heroes of the Storm as their MOBA franchise. In the same year, Blizzard collaborated with a university-level esports organization, Tespa, to hold a HoTS competition called Heroes of the Dorm. Blizzard provides a prize pool of $25,000 USD in scholarships for the winning team. One year later, in 2016, Blizzard held a top-tier HoTS competition for professionals called Heroes of the Storm Global Championship (HGC). It went all-in on the tournament, making it global, and invested a lot of capital into it. The HoTS esports scene was a massive hit, gathering a number of well-known esports organizations, such as Gen.G from South Korea and Fnatic from England.

Unfortunately, in December 2018, Blizzard decided to stop supporting the HoTS esports scene, considering it to be unprofitable. Blizzard did not inform this move far ahead of time, causing many HoTS professional coaches and players to abruptly lose their jobs. Esports organizations that recently created HoTS teams also suffer sizable losses. Luckily, many loyal HoTS fans continued to push and support the HoTS esports scene, although most tournaments are conducted at a much smaller scale.

Blizzard’s decision to unilaterally shut down HoTS’ esports is one of the negative impacts that may arise when publishers hold absolute power in the esports world. South Korean politicians even reacted to Blizzard’s action and subsequently made regulations to prevent this type of event. In May 2021, Korean Democratic Party congressman Dong-su Yoo proposed a regulation called the Heroes of the Storm Law which ensures that no tournament organizers or game publishers can abruptly cancel or shut down tournaments before properly informing related parties. According to a Naver Sports report, through the HoTS Law, Yoo hopes that game publishers will notify teams and players far ahead of time before executing an event cancellation.

“In esports, if the game publisher is no longer willing to support the competition, the rights of many other parties who are involved in the competitions, including esports organizations, players, casters, viewers, and others would seriously be affected by these kinds of unilateral decisions,” Yoo said, as quoted from The Esports Observer. He pointed out that most esports players are in their early 20s, a vital period of determining a person’s career. Instability or a sudden shut down of an esports ecosystem can have massive consequences. “Laws must be in place to protect them from unilateral damage,” he said.

Disadvantage #2: Publishers who have no interest in Esports

Nintendo, as an example, shows absolutely no interest in building an esports ecosystem out of Super Smash Bros. Contrary to our expections, however, the Super Smash Bros esports scene is actually quite developed. The game is included in EVO, a collection of the most prestigious fighting games competition, and an annual tournament called Smash Summit is also held since 2015. Despite the collective success that has been forged by the community, Nintendo still turns a blind eye towards Super Smash Bros’ esports scene.

Nintendo does provide some form of logistical support to the Smash community once in a while, but it rarely contribute to any sort of financial assistance. As a result, Super Smash Bros tournaments don’t have the large prize pools that we often see in other esports scenes. As a comparison, Smash Summit 5, which currently has the largest prize pool in all of Smash’s esports, only offered a prize of $83.7 thousand USD. On the other hand, MPL, which is only primarily broadcasted in Indonesia, has a prize pool of $150 thousand USD. Furthermore, Riot contributed $2.25 million USD for the League of Legends World Championship prize.

Nintendo’s philosophy towards Smash’s esports scene has generated a lot of backlash from professional Smash players. Eventually, in 2020, Nintendo’s President, Shuntaro Furukawa, was prompted to clarify the reasons behind Nintendo’s decision to not support the Super Smash Bros esports ecosystem. He explained that Nintendo wanted the game to be enjoyed by both casual and also hardcore players. Nintendo didn’t want to accentuate the differences in skills between the two groups. Indeed, most people do consider Super Smash Bros to be a much more casual fighting game played for fun and entertainment.

“Esports, in which players compete on stage for prize money as an audience watches, demonstrates one of the wonderful charms of video games,” Furukawa told Nikkei, as translated by Kotaku. “We are not necessarily opposing the idea of esports. However, we also want our games to be widely enjoyed by anyone regardless of experience, gender, or age. We want to be able to participate in a wide range of different events, instead of merely competing for prize money. Our strength, what differentiates us from other companies, is this different viewpoint.

Disadvantage #3: Declining Legitimacy of Third Party Tournaments

Let’s go back to Dota 2 for a moment. You probably have realized by now that The International is essentially the World Cup for Dota 2 players. Winning a TI is the pinnacle of all Dota 2 pros due to the sheer scale in prize pool money. 

For Valve, the massive hype for TI is definitely beneficial for the company. For third-party tournament organizers, however, not so much. Obviously, third-party tournaments are incredibly insignificant compared to TI. You can probably win all non-TI tournaments in a year and still can’t get close to TI’s winning prize or prestige. Thus, some teams or players might be discouraged to participate in these smaller-scale tournaments. Subsequently, the tournament organizers might have a more difficult time getting views from audiences.

Furthermore, small-scale tournaments created by third-party organizers usually find it difficult to compete with official tournaments from publishers in terms of prestige. When you watch The International or PUBG Mobile Global Championship, you know that the teams competing in those tournaments are some of the best teams in the world. The teams in these high-tier tournaments need to go through a “preliminary round” at the national or regional level, filtering all the less competent teams. You can also observe which teams can compete at the national, regional, and global levels.

Astralis and Team Liquid, winners of Intel Grand Slam Season 1 and 2. | Source: Dexerto

Of course, not all third-party TOs are willing to spend substantial investments to create this “filtration” process or a tiered esports competition. One exception is Intel, a non-publisher company that held the Intel Grand Slam with help from ESL Gaming. Intel Grand Slam offers a $1 million USD prize for a CS:GO team that wins 4 S-Tier tournaments in a window of 10 consecutive esport events.

The existence of the Intel Grand Slam does prove, to a certain extent, that third-party organizations can create high-tier and competitive tournaments. But, of course, not many companies are willing to invest as much as Intel. Intel has an adequate budget and is also considered an endemic brand in esports. As an illustration, in 2020, Intel’s revenue reached $ 77.87 billion USD. On the other hand, NVIDIA’s revenue in the 2021 fiscal year was only $16.68 billion USD, while Sony’s is $10.7 billion USD, and Lenovo Group only accumulated $50.7 billion USD.

Conclusion

There is a saying that goes: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. A person or entity who has complete control is very likely to make selfish decisions that will benefit themself. In the world of esports, publishers –  who always have absolute control – also have the potential to act arbitrarily, evident from Blizzard’s decision to unilaterally shutting down the Heroes of the Storm esports ecosystem.

Of course, not all companies will follow in Blizzard’s footsteps. Most publishers out there do consider esports as a marketing tool to attract new audiences, maintain the loyalty of fans, and subsequently generate revenue. However, establishing a healthy esports ecosystem is can be difficult, and will need the collective support of professional teams, players, and tournament organizers. Therefore, while publishers have all the power to make all the decisions, they must also take the necessary steps to benefit all parties if they were to create a profitable esports scene. 

Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Tak Hanya di Mobile, Iklan di Game akan Masuk ke PC dan Konsol?

Semakin mahalnya biaya pengembangan video game memang membuat para pengembang dan penerbit terus memutar otak untuk mendapatkan pendapatan. Salah satunya tentu berasal dari sponsor dan iklan.

Gamer mobile pastinya sudah sangat terbiasa dengan sistem iklan dalam game yang mengharuskan mereka menonton iklan 15-30 detik untuk mendapatkan item gratis atau bahkan sekedar melanjutkan level.

Sistem tersebut kelihatannya akan segera diimplementasikan pada game PC dan konsol oleh Electronic Arts (EA) dan juga pengembang game Paladin, Hi-Rez Studios. Kedua perusahaan ini akan menjadi yang pertama bekerja sama dengan platform periklanan baru bernama PlayerWON.

Meski begitu, EA melakukan konfirmasi kepada PC Gamer bahwa informasi tersebut tidak benar. EA mengatakan bahwa mereka tidak akan meletakkan iklan ke dalam game-game mereka, dan tidak ada kesepakatan apapun untuk hal tersebut.

“Menyusul laporan tidak benar mengenai kami yang disebut akan memperkenalkan iklan bergaya TV di dalam game kami, kami ingin mengklarifikasi bahwa kami tidak punya tujuan itu sekarang ataupun tidak ada perjanjian perihal terkait yang telah ditandatangani.” Ungkap juru bicara EA.

Image credit: Hi-Rez Studios

Dilansir dari Axios, PlayerWon merupakan sebuah platform periklanan yang dimiliki oleh perusahaan periklanan TV di Amerika bernama Simulmedia. Prakteknya, platform ini dapat menampilkan video iklan di dalam game PC maupun konsol.

Pihak Simulmedia bahkan juga berkomentar tentang cepatnya pertumbuan dari game free-to-play pada platform PC dan konsol. Mereka bahkan mengklaim bahwa lebih dari 90% pemain tidak pernah mengeluarkan uang untuk game-game tersebut.

Untuk membuktikan bahwa apa yang yang PlayerWON tawarkan ini masuk akal, mereka telah mencoba menggunakan sistem iklan tersebut di dalam game Smite milik Hi-Rez.

Hadiah yang didapat oleh para pemain juga bervariasi mulai dari sejumlah mata-uang game tersebut hingga skin/kostum untuk karakter dalam game mereka.

Penampakan iklan dalam game Smite (image credit :Reddit)

Hasilnya, dikatakan bahwa 22% pemain lebih tertarik untuk memainkan game yang memiliki iklan di dalamnya jika mereka menerima keuntungan karena melakukannya. Dan 11% dari total pemain yang tertarik tadi disebut memiliki kemungkinan lebih besar untuk menghabiskan uangnya di dalam game.

Simulmedia bahkan menemukan fakta bahwa para gamer disebut rela untuk menonton hingga 10 iklan per hari demi mendapatkan hadiah.

Ke depannya, Simulmedia menargetkan untuk dapat mengimplementasikan platform PlayerWON milik mereka tersebut ke dalam lebih banyak game untuk mengembangkan pasar “iklan dalam game” tersebut.

Simulmedia berencana untuk menggandeng 12 game lain hingga akhir tahun ini. Meskipun tidak disebutkan secara jelas, namun Simulmedia sempat menyinggung judul-judul seperti Fortnite, Apex Legends, Call of Duty Warzone, dan juga Roblox.

Evaluasi dan Relevansi Brand Sebagai Sponsor Game, Esports, ataupun Content Creator

Ketika KFC membuat kolaborasi dengan Genshin Impact di Tiongkok, banyak orang rela menunggu di depan sejumlah gerai KFC sejak tengah malam hanya untuk mendapatkan bonus berupa pin dari Diluc dan Noelle — dua karakter di Genshin Impact. Ada begitu banyak orang yang berkerumun di sejumlah restoran KFC sampai polisi harus turun tangan untuk membubarkan kerumunan di Shanghai dan Hangzhou. Fenomena ini sama seperti fenomena kolaborasi McDonald dengan BTS di Indonesia.

Suksesnya kerja sama antara KFC dengan Genshin Impact menunjukkan, jika dieksekusi dengan baik, kolaborasi antara brand dengan game bisa memberikan dampak yang besar. Pertanyaannya: apa yang harus perusahaan perhatikan ketika akan berkolaborasi dengan game?

Beda Platform = Beda Gamers

Penggemar musik rock belum tentu menyukai musik pop, walau keduanya sama-sama penggemar musik. Sementara itu, penonton sepak bola belum tentu menonton pertandingan basket. Begitu juga dengan game. Gamers adalah istilah yang mencakup banyak orang. Dan, sama seperti penggemar musik atau olahraga, gamers juga punya selera yang berbeda-beda. Salah satu cara untuk mengelompokkan gamers adalah berdasarkan platform yang mereka gunakan. Secara garis besar, ada tiga platform yang bisa digunakan untuk bermain game, yaitu PC, konsol, dan mobile.

Dari ketiga platform tersebut, mobile punya jumlah pemain paling banyak. Menurut laporan Newzoo, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 94% — atau sekitar 2,8 miliar orang — merupakan mobile gamers. Sementara itu, jumlah gamer PC hanya mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang. Mengingat mobile memang memiliki entry barrier paling rendah — dengan harga perangkat yang juga relatif paling murah — maka tidak heran jika jumlah mobile gamers mengalahkan gamers PC dan gamer konsol.

Jumlah gamers di dunia dari waktu ke waktu. | Sumber: Newzoo

Satu hal yang harus diingat, masing-masing platform gaming punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini memengaruhi karakteristik dari para gamers. Misalnya, keunggulan utama dari platform mobile adalah mobilitasnya yang tinggi. Jadi, pemain bisa bermain game hampir dimana saja dan kapan saja. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Namun, jika dibandingkan dengan konsol dan PC, mobile punya daya komputasi yang lebih rendah. Karena itu, mobile game cenderung punya grafik dan mekanisme yang lebih sederhana daripada game konsol dan PC. Kabar baiknya, dalam 10 tahun terakhir, mobile game terus berevolusi, menjadi semakin kompleks. Kolaborasi dengan mobile game cocok untuk perusahaan yang ingin menjangkau banyak orang.

Daripada mobile, baik konsol maupun PC menawarkan daya komputasi yang lebih tinggi. Namun, harga konsol dan PC gaming juga relatif lebih mahal. Sementara itu, keunggulan konsol dari PC adalah kermudahan pemasangan. Setelah membeli konsol, Anda bisa langsung menghubungkannya ke TV dan menggunakannya untuk bermain game. Lain halnya dengan PC. Kelebihan lain dari konsol adalah keberadaan game-game eksklusif, seperti Marvel’s Spider-Man: Miles Morales dan Horizon Forbidden West untuk PlayStation 5.

Jika dibandingkan dengan mobile dan konsol, salah satu kelebihan PC adalah ia bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan. Bagi para sultan dengan dana tak terbatas, mereka bisa membangun PC gaming master race yang bisa menjalankan game-game AAA dengan pengaturan rata kanan. Namun, bagi gamers yang punya dana pas-pasan, mereka tetap bisa membangun PC sesuai dengan dana yang mereka punya. Karena itu, gamer PC biasanya cukup mengerti akan sisi teknis. Jadi, gamer PC cocok untuk brand yang menyasar orang-orang yang melek teknologi.

Model Bisnis dan Genre

Game juga bisa dikategorikan berdasarkan model bisnis yang digunakan: game premium atau game free-to-play alias gratis. Walau bisa dimainkan secara gratis, game F2P biasanya punya sistem monetisasi sendiri, seperti iklan, subscription alias langganan, dan menjual item dalam game.

Pertama, mari membahas soal karakteristik pemain game premium. Karena sudah mengeluarkan uang untuk membeli game, pemain dari gamers premium biasanya ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan. Biasanya, mereka juga alergi pada iklan. Buktinya, ketika Capcom memasang iklan di Street Fighter V, mereka mendapat banyak protes dari para pemain. Pada akhirnya, developer Jepang itu memutuskan untuk menghilangkan iklan dari fighting game mereka.

Untuk bekerja sama dengan game premium, salah satu hal yang perusahaan bisa lakukan adalah membuat konten dalam game terkait produk milik perusahaan. Jenis konten yang bisa disisipkan ke dalam game bisa beragam, mulai dari item dalam game sampai tempat yang bisa pemain kunjungi. Misalnya adalah kerja sama antara Digital Happiness dan Exsport. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, developer Bandung itu membuat karakter utama dari DreadOut 2 mengenakan tas merek Exsport.

Contoh lainnya adalah kerja sama antara KFC dengan Animal Crossing: New Horizons. Dalam kerja sama itu, KFC membuat pulau khusus yang dihias layaknya restoran KFC di dunia nyata. Tak hanya itu, para pemain juga bisa memenangkan satu ember ayam goreng jika mereka berhasil menemukan Colonel Sanders di pulau tersebut. Sebelum mencari Colonel Sanders, pemain harus mendapatkan invite link dari akun media sosial KFC Filipina. Pemain yang berhasil menemukan sang Colonel akan mendapatkan kode yang bisa ditunjukkan ke restoran KFC untuk ditukar dengan ayam goreng. Sayangnya, kegiatan itu terbatas pada gamers di Filipina.

Strategi membuat konten dalam game juga bisa digunakan oleh brand ketika mereka bekerja sama dengan game F2P. Salah satu merek yang pernah melakukan hal itu adalah Louis Vuitton. Sebagai bagian dari kerja sama mereka dengan Riot Games, Louis Vuitton membuat skin untuk karakter di League of Legends. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan koleksi pakaian LVxLOL. KFC juga menggunakan strategi ini ketika bekerja sama dengan Genshin Impact di Tiongkok. Hasil dari kolaborasi tersebut adalah munculnya dua resep baru — resep ayam goreng dan burger — dalam Genshin Impact. Selain itu, pemain juga bisa mendapatkan skin glider khusus, berwarna merah-putih yang menjadi warna khas KFC.

Skin glider khusus KFC. | Sumber: YouTube

Selain model bisnis, hal lain yang harus perusahaan pertimbangkan sebelum berkolaborasi dengan game adalah genre dari game itu sendiri. Bagi perusahaan yang tidak ingin brand mereka dikaitkan dengan kekerasan, mereka bisa memilih game-game olahraga atau balapan. Perusahaan juga bisa memilih game yang memang berkaitan dengan produk yang mereka tawarkan. Sebagai contoh, brand sportswear bisa menggandeng kerja sama dengan game olahraga atau perusahaan otomotif dengan game racing.

Esports dan Konten Game

Apakah sebuah game punya ekosistem esports atau tidak juga bisa menjadi pertimbangan lain bagi perusahaan yang ingin berkolaborasi dengan game tertentu. Pasalnya, jika sebuah game punya skena esports yang berkembang, perusahaan akan punya lebih banyak opsi dalam menjalin kerja sama dengan game tersebut. Alih-alih membuat konten dalam game, brand bisa mensponsori liga atau turnamen esports dari sebuah game. Jenis sponsorship di esports sendiri bermacam-macam, mulai dari sekadar logo placement sampai menjadi title sponsor.

Salah satu bentuk sponsorship unik adalah in-game banner. Jadi, developer meletakkan logo atau merek sponsor di dalam game saat pertandingan  tengah berlangsung. Strategi ini masuk akal, mengingat siaran pertandingan esports biasanya menyorot segala sesuatu yang terjadi dalam game dan bukannya para pemain. League of Legends dan Mobile Legends adalah dua game yang menerapkan model sponsorship ini.

Contoh in-game banner di LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Insider

Sebagian gamers, tidak hanya senang bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itu, munculah industri streaming game. Sebagai turunan dari industri game, industri esports dan streaming game juga  punya potensi besar. Menurut data dari Juniper Research, nilai industri esports dari streaming game pada 2021 akan mencapai US$2,1 miliar. Jadi, bagi brand yang ingin menjangkau gamers tapi masih enggan untuk berkolaborasi dengan game secara langsung, mereka bisa memilih untuk bekerja sama dengan streamer atau kreator konten game.

Mengingat keberagaman game, jangan heran jika influencer gaming juga punya gaya yang berbeda-beda. Ada kreator konten yang menonjolkan kepribadian mereka, seperti Felix Arvid Ulf Kjellberg alias PewDiePie. Tidak peduli game apa yang sang YouTuber mainkan, penonton akan tetap setia karena kepribadian sang kreator kontenlah yang menjadi daya jual. Ada juga kreator konten atau streamer yang menonjolkan skill mereka dalam bermain. Biasanya, influencer gaming ini merupakan mantan pemain profesional. Contohnya adalah Michael “Shroud” Grzesiek, yang pernah menjadi pemain profesional CS:GO sebelum berkarir sebagai streamer. Selain itu, juga ada kreator konten yang menonjolkan sisi sensual mereka. Di Twitch, bahkan sempat muncul tren hot tub streamers.

Satu hal yang pasti, ketika perusahaan mendukung seorang influencer, maka image sang influencer juga akan melekat pada brand. Karena itu, penting bagi perusahaan untuk memilih streamer atau kreator konten yang sesuai dengan brand mereka. Jika tidak hati-hati, reputasi merek justru bisa tercoreng. Hal ini pernah terjadi ketika Wacom menggandeng Abqariyyah Halilintar untuk mempromosikan Wacom Cintiq 16 — pen display seharga Rp9,5 juta.

Abqariyyah Halilintar yang menggambar di Wacom Cintiq 16. | Sumber: Instagram

Tak bisa dipungkiri, unggahan endorsement tersebut memang mendapat engagement tinggi. Saat diunggah di akun Instagram resmi Gen Halilintar, ungahan tersebut mendapatkan lebih dari 38 ribu Likes. Namun, Wacom juga mendapatkan protes dari designer dan seniman, yang merupakan target konsumen Wacom. Alasannya, Abqariyyah dianggap tidak bisa menunjukkan fitur-fitur yang dimiliki oleh Cintiq 16.

Memilih Game atau Esports yang Sesuai dengan Brand

Setiap perusahaan biasanya punya target konsumen masing-masing. Karena itu, ketika hendak menjalin kerja sama dengan developer game atau entitas esports, perusahaan sebaiknya memilih rekan yang memiliki target pasar yang mirip. Hal ini akan lebih mudah untuk dicapai oleh perusahaan endemik game dan esports.

Sebagai contoh, perusahaan yang berkutat di bidang komputer, seperti Intel, AMD, Lenovo, Acer dan lain sebagainya, tentu akan lebih memilih bekerja sama dengan developer game PC atau mendukung ekosistem esports game PC.  Karena game PC punya kaitan langsung dengan produk yang mereka jual. Sementara itu, perusahaan smartphone seperti Samsung Mobile dan Xiaomi Blackshark pasti akan lebih tertarik dengan mobile game serta komunitas esports mobile.

Pertanyaannya, bagaimana jika produk perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan game dan esports? Dalam kasus ini, perusahaan bisa memilih untuk mendukung game atau esports yang penggemarnya punya karakteristik yang sama atau mirip dengan target pasar perusahaan. Pada 2019, Dua Kelinci menjadi sponsor dari RRQ dan EVOS Esports. Padahal, Dua Kelinci merupakan produsen kudapan. Ketika itu, pihak Dua Kelinci menjelaskan, alasan mereka mendukung tim esports adalah karena fans esports punya profil yang sama dengan target konsumen mereka.

Menyesuaikan dengan Tujuan Perusahaan

Di dunia marketing, ada konsep yang disebut marketing funnel. Pada dasarnya, marketing funnel menunjukkan proses untuk membuat seseorang yang tidak mengenal brand perusahaan sama sekali menjadi konsumen setia. Secara garis besar, marketing funnel terdiri dari lima tahap: awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption.

Tampilan marketing funnel. | Sumber: Expert Program Management

Di tahap awareness, tujuan perusahaan adalah untuk membuat calon konsumen tahu akan brand mereka. Tahap kedua, interest, bertujuan untuk membuat orang-orang yang sudah mengenal brand perusahaan menjadi semakin penasaran dengan produk yang ditawarkan perusahaan. Tahap berikutnya adalah evaluation. Di tahap ini, konsumen akan menilai kredibilitas perusahaan. Jika perusahaan dianggap kredibel, maka konsumen akan masuk ke tahap berikutnya, yaitu trial. Di tahap keempat, konsumen akan mulai membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Jika konsumen puas dengan produk dari perusahaan, maka mereka akan menjadi pelanggan setia, yang berarti, mereka telah ada di tahap adoption.

Proses marketing funnel sering digambarkan sebagai segitiga terbalik. Hal itu menunjukkan, jumlah konsumen di setiap tahap akan terus berkurang. Jadi, jumlah konsumen yang tertarik untuk mencari tahu akan sebuah brand akan lebih sedikit dari jumlah konsumen yang sadar akan keberadaan brand tersebut. Karena itu, di tahap awareness, semakin banyak orang yang mengenal brand perusahaan, semakin baik.

Sebelum menentukan developer game atau entitas esports yang hendak diajak kerja sama, penting bagi perusahaan untuk menentukan tujuan yang ingin mereka capai. Jika tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan awareness, maka mereka sebaiknya bekerja sama dengan game, entitas esports atau influencer yang memang populer di masyarakat, seperti yang Renault lakukan ketika mereka memutuskan untuk mendukung ekosistem esports Free Fire. Padahal, Renault merupakan merek non-endemik game dan game battle royale itu memiliki profil konsumen yang berbeda dari target konsumen Renault.

Namun, tidak semua perusahaan ingin bertujuan meningkatkan awareness. Ada juga perusahaan yang lebih mengutamakan kesetiaan pelanggan dengan menjaga reputasi brand. Perusahaan yang memprioritaskan reputasi biasanya akan sangat berhati-hati dalam memiliki rekan kerja sama. Contohnya adalah Nike. Perusahaan sportswear itu biasanya hanya mensponsori tim atau atlet olahraga. Tidak banyak artis yang mereka dukung. Di esports, satu-satunya tim yang mereka sponsori adalah T1. Organisasi esports asal Korea Selatan itu telah memenangkan League of Legends World Championship sebanyak tiga kali, menjadikan mereka sebagai tim dengan trofi World terbanyak. Keputusan Nike untuk mensponsori banyak tim dan atlet olahraga mengukuhkan reputasi mereka sebagai merek sportswear yang dikenakan oleh atlet atau tim pemenang.

Salah satu hasil kolaborasi T1 dan Nike. | Sumber: Hypebeast

Selain meningkatkan awareness atau mempertahankan reputasi, perusahaan juga bisa melakukan kolaborasi dengan pelaku industri game atau esports karena mereka ingin memenangkan hati para gamers dan penonton esports, yang kebanyakan merupakan generasi milenial dan Gen Z. Menurut Forbes, salah satu karakteristik konsumen milenial adalah mereka lebih percaya omongan influencer daripada iklan. Selain itu, milenial juga biasanya senang dengan brand yang relevan dengan gaya hidup mereka. Jadi, mendukung skena esports atau influencer gaming bisa menjadi jalan bagi brand untuk terlihat terpercaya di mata konsumen milenial.

Intel adalah salah satu perusahaan yang secara berkelanjutan mendukung ekosistem esports Counter-Strike: Global Offensive. Turnamen Major Intel Extreme Masters sukses diadakan selama bertahun-tahun. Tak berhenti sampai di situ, Intel juga punya Intel Grand Slam. Pada April 2021, ESL juga mengumumkan bahwa mereka akan melakukan rebranding dari semua turnamen ESL Pro Tour (EPT), menjadi Intel Extreme Masters. Alhasil, merek Intel sangat lekat di benak para fans esports CS:GO. Intel bahkan bisa mengklaim mereka punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports CS:GO. Hanya saja, melakukan apa yang Intel lakukan tidak mudah. Selain biaya besar, perusahaan juga harus siap berkomitmen dalam mendukung skena esports dari sebuah game selama bertahun-tahun.

Kesimpulan

Ketika perusahaan memutuskan untuk bekerja sama dengan game atau entitas esports, hal itu merupakan bagian dari kegiatan marketing. Karena itu, sebelum menjalin kolaborasi, sebaiknya perusahaan menentukan alasan mengapa mereka ingin melakukan kerja sama dengan game atau pelaku esports. Setelah itu, perusahaan bisa mencari game atau pelaku esports yang punya audiens dengan karakteristik yang sama dengan target konsumen perusahaan.

Memang, meningkatkan awareness masyarakat akan brand perusahaan merupakan bagian dari kegiatan marketing. Hanya saja, mengeluarkan uang untuk mengenalkan merek pada orang-orang yang memang tak tertarik dengan produk perusahaan adalah sesuatu yang sia-sia. Jadi, penting bagi perusahaan untuk mengetahui target pasar mereka dan karakteristik dari masing-masing kelompok gamers. Dengan begitu, perusahaan bisa menyasar kelompok gamers yang tepat dan memperbesar kesempatan untuk membuat kolaborasi yang sukses.