M&A Startup Lokal oleh Asing Bisa Jadi Opsi Ideal, Tapi Perlu Diwaspadai

Satu dekade lebih sektor ekonomi digital Indonesia berkembang dinamis, dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kematangan industrinya. Mengakhiri 2023, sektor ini diwarnai oleh aksi konsolidasi besar antara e-commerce asal Tiongkok dan Indonesia, TikTok Shop dan Tokopedia.

Konsolidasi melalui strategi merger dan akuisisi (M&A) adalah sebuah langkah yang lumrah, banyak diambil perusahaan demi mendapat akses permodalan, sinergi teknologi, atau ekspansi bisnis.

Menariknya, tren M&A ini tampaknya mulai banyak ditempuh perusahaan asing untuk memperluas pasarnya ke Indonesia. Bagi startup dalam negeri, opsi ini menjadi memungkinkan di tengah sulitnya mencari pendanaan.

“Pendanaan di sektor ekonomi digital seret pada 2022-2023 dibandingkan 2023. Pada tahun 2021, pendanaan ekonomi digital di Indonesia mencapai Rp140 triliun. Pada tahun 2022 turun 50%. Tahun 2023 semakin turun setengahnya dari [capaian] tahun 2022. Akuisisi menjadi opsi yang rasional di tengah menurunnya pendanaan dan persaingan yang ketat,” ungkap Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda saat dihubungi DailySocial.id.

Sebagai gambaran lain, Startup Report 2023 yang diterbitkan oleh DSInnovate mencatat terdapat 25 M&A di ekosistem digital yang diumumkan di sepanjang 2023. Jumlah tersebut turun sedikit dari 32 M&A pada tahun sebelumnya.

Sejumlah akuisisi oleh perusahaan asing / Sumber: DailySocial.id

Jika dilihat dari aspek persaingan usaha, Huda mengatakan bahwa tren akuisisi startup lokal oleh perusahaan asing bisa memicu dampak negatif terhadap industri. Salah satunya adalah kurangnya pemain di dalam satu sektor.

“Tentu berkurangnya pemain di satu industri menimbulkan berkurangnya kesempatan konsumen mendapatkan layanan/produk dengan harga yang lebih murah. Maka dari itu, penting bagi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi persaingan usaha, terutama dalam menganalisis dampak dari merger ke industri,” tambah Huda.

M&A bisa jadi opsi exit yang ideal

Menurut Managing Director di Northstar Group Carlson Lau, minat M&A tak hanya terjadi pada perusahaan asing yang ingin ekspansi ke sini, tetapi juga sebaliknya ada. Menurunnya minat investasi startup pendanaan, khususnya bagi startup tahap awal, memicu terjadinya M&A.

“Perusahaan strategis lokal juga secara aktif mencari kesempatan untuk mengakuisisi perusahaan teknologi yang lebih kecil, termasuk beberapa di dalam portofolio Northstar Venture,” tutur Carlson dalam pernyataannya kepada DailySocial.id.

Carlson menolak mengomentari lebih lanjut potensi M&A yang mungkin/sedang terjadi di dalam portofolionya.

Tren pendanaan startup Indonesia pada 2022-2023 / Sumber: Startup Report 2023

Kendati begitu, meningkatnya tren M&A di ekosistem digital Indonesia menunjukkan sektor ini semakin bergerak dinamis, dan menandakan adanya peningkatan persaingan dan inovasi. Akuisisi, ungkap Carlson, sering kali berbuah sinergi teknologi, talenta, dan sumber daya. sehingga dapat mendorong kedua perusahaan untuk mengembangkan inovasi dan mencapai efisiensi lebih baik.

“Sebelumnya, banyak founder memilih IPO sebagai exit strategy yang ideal, tetapi merger dan akuisisi juga dapat menjadi pilihan lainnya. Founder tidak seharusnya terpaku pada idealisme yang tidak realistis. Sebaliknya, ketika peluang M&A yang tepat disajikan, mereka harus fokus membuat keputusan yang tepat untuk mendorong perusahaan maju dan berkembang,” tambahnya.

Ia menilai seharusnya startup lokal dapat antusias terhadap tren ini dan mengantisipasi dampak positif terhadap ekosistem. Pasalnya, aksi M&A disebut dapat memfasilitasi akses ke pasar dan basis pelanggan baru. Ini memungkinkan perusahaan untuk mendiversifikasi penawaran dan memperluas jangkauan mereka.

Sebagai tambahan gambaran, sinergi besar antara TikTok dan Tokopedia meleburkan bisnis keduanya menjadi jalan ninja mereka untuk memperbesar skala pertumbuhan e-commerce. Tokopedia yang lebih banyak diasosiasikan dengan segmen pembelian terencana (Tokopedia) dapat bersinergi dengan segmen pembelian impulsif di TikTok Shop.

Dalam pemberitaan sebelumnya, sinergi ini telah diperhitungkan serta diproyeksi dapat mengerek GMV dan Monthly Transacting User (MTU) Tokopedia yang sempat merosot. Per 2023, Tokopedia punya 18 juta Monthly Active User (MAU), sedangkan TikTok Shop memiliki MAU 125 juta dengan MTU tumbuh tiga digit.

Esensi Solusi Buana Raih Pendanaan Seri B 420 Miliar Rupiah; Masuk ke Jajaran Centaur [UPDATED]

*Update 29/8 pukul 19.30: kami menambahkan informasi kisaran valuasi ESB

Startup SaaS bisnis kuliner Esensi Solusi Buana (ESB) meraih pendanaan seri B sebesar $29 juta atau sekitar 420 miliar Rupiah. Investasi ini dipimpin oleh Northstar Group dan Alpha JWC Ventures serta partisipasi dari BEENEXT, Vulcan Capital, dan AC Ventures.

Sebelumnya, ESB telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $10,6 juta dari sejumlah investor antara lain Alpha JWC, Vulcan Capital, BEENEXT, AC Ventures, Skystar Capital, dan Selera Kapital.

Dari pendanaan yang ada, menurut sumber yang kami dapat, saat ini valuasi ESB telah mencapai lebih dari $100 juta dan menjadikannya sebagai salah satu startup Centaur dari kategori SaaS.

ESB merupakan pengembang platform SaaS yang mengelola bisnis kuliner secara all-in-one. Startup ini didirikan oleh Gunawan Woen, Eka Prasetya, Setiadi Prawiryo Moeljadi, dan Dwi Prawira pada 2018. Berbekal pengalaman puluhan tahun di F&B dan rantai pasokan, para pendiri ESB memiliki misi membantu pemilik bisnis meningkatkan profitabilitas, penjualan, dan efisiensi operasional melalui solusi berbasis cloud.

Sejumlah solusi yang ditawarkan mencakup aplikasi pengambilan pesanan front-end, Point of Sales (POS), solusi operasi dapur, dan sistem Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (ERP) F&B back-end. Selain itu, pemilik bisnis akan mendapatkan akses ke ekosistem penyedia pihak ketiga, seperti pasokan bahan, pengiriman makanan, dan pembayaran digital.

Melalui ESB, pengusaha F&B juga mendapatkan akses ke ekosistem penyedia ESB telah melayani lebih dari 2.000 merek F&B dan mengelola lebih dari 100 juta pesanan per tahun.

Managing Director Northstar Group Carlson Lau mengungkap, ESB telah menunjukkan kinerja yang baik dan bahkan mampu melawan pesaing global yang punya kapitalisasi lebih besar dalam memenangkan F&B internasional di Indonesia. “Kami senang melihat produk dan pengembangan strategi go-to-market yang matang,” tuturnya.

Sementara, Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, “Platform ESB menghadirkan solusi berbasis cloud secara end-to-end bagi pemilik restoran agar dapat mengurangi biaya, mengelola operasional, dan meningkatkan pengiriman online. ESB siap merevolusi pasar multi-miliar dine-in dan takeaway di Indonesia,” tutur Li.

Ekspansi dan pengembangan produk

Adapun, pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauannya di pasar UMKM  dan meluncurkan produk baru. Proposisi nilai yang ditawarkan mencakup: (1) fitur pembayaran dan pinjaman yang sederhana, (2) fasilitas modal kerja, (3) pengembangan fitur untuk mendorong produktivitas UKM, (4) solusi manajemen pemesanan dan pengiriman, (5) kemampuan fitur akuntansi, dan (6) kemampuan sistem informasi SDM.

Co-Founder & CEO ESB Gunawan Woen mengatakan, pandemi telah mengakselerasi adopsi digital pada ekosistem yang terlibat di value chain F&B, mulai dari pelanggan hingga pemasok bahan. Dengan akselerasi ini, pemilik F&B terdorong untuk menjalankan operasional yang lebih ringkas dan mengeksplorasi kanal penjualan baru. Solusi ini juga diharapkan mendorong pertumbuhan bisnis di tengah pemulihan ekonomi.

Selain itu, kenaikan biaya akibat inflasi harga komoditas di awal 2022 memaksa pelaku usaha F&B untuk lebih mengoptimalkan struktur biayanya. Hal ini mendorong mereka untuk mengadopsi tools yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan produktivitas melalui layanan mandiri konsumen, otomatisasi alur kerja internal, dan pengurangan limbah makanan. ESB siap untuk memanfaatkan tren ini.

“Kami memandang mitra F&B kami setara, baik pelaku UMKM hingga bisnis skala besar. Kami berkomitmen untuk membantu pedagang kami menghasilkan penjualan lebih banyak dan meningkatkan efisiensi mereka. Dengan mencapai itu, kami dapat memastikan keberlanjutan, bankability, dan pertumbuhan mereka. Ketika mitra kami tumbuh, ESB ikut tumbuh,” ujar Gunawan.

Beberapa platform digital di Indonesia yang memiliki komitmen untuk mendukung pelaku F&B terutama skala UKM ada DigiResto yang dikembangkan MCAS. DigiResto sempat mendapat investasi dari SiCepat. Ada pula Runchise yang punya model pengelolaan bisnis waralaba (franchise) dan kuliner.

Layanan Coworking Space CoHive Hadir di Yogyakarta

Hari ini (22/11) jaringan coworking space CoHive (sebelumnya bernama Cocowork) melakukan soft-launching di Yogyakarta. Ekspansi ini menambah daftar ruang kerja yang dimiliki oleh CoHive, yakni 22 lokasi di Jakarta, 1 lokasi di Medan, dan sekarang tambah 1 di Yogyakarta.

Di Yogyakarta, CoHive terletak di lantai 3 Hartono Mall. Kehadirannya ingin coba memfasilitasi startup, UMKM, dan komunitas kreatif yang banyak bermunculan di Yogyakarta akhir-akhir ini.

Dalam acara soft-launching turut diadakan sesi presentasi, salah satunya memaparkan capaian CoHive sejauh ini. Disampaikan hingga kuartal keempat 2018, CoHive sudah memiliki lebih dari 5000 anggota dengan 500 perusahaan — 80% perusahaan adalah startup digital yang bergerak di beragam sektor.

Turut hadir dalam acara CEO & Co-Founder CoHive, Carlson Lau, menyampaikan alasan CoHive melakukan ekspansi ke Yogyakarta. Menurutnya masyarakat di sana dikenal memiliki semangat untuk berkelompok dan berkolaborasi. Harapannya layanan coworking space yang dihadirkan dapat memfasilitasi berbagai kegiatan kolaboratif tersebut.

“CoHive mengedepankan nilai-nilai komunitas, kolaborasi, pembelajaran, dan kesinambungan dan tentunya untuk tumbuh bersama. Selain itu, CoHive melihat Yogyakarta merupakan tempat ideal untuk tumbuh bersama. Image sebagai kota pendidikan yang diisi oleh individu gemar belajar dan memiliki talenta kami anggap sebagai peluang untuk tumbuh bersama,” ujar Carlson.

CoHive turut menyampaikan target perluasan selanjutnya. Bali, Bandung, dan Makassar adalah tiga kota yang akan segera disinggahi. Ekspektasinya sebelum Desember 2019 sudah akan ada 40 lokasi ruang kerja yang dikelola.

Di Yogyakarta, CoHive menyediakan ruang kerja kolaboratif, ruang kerja privat, ruang rapat dan ruang untuk mengadakan acara. Totalnya akan ada 25 ruang privat yang disediakan, dengan ruang kerja kolaboratif yang dapat menampung hingga 62 orang.

Cocowork Renames to CoHive, Aims Not Only as Coworking Space

Recently rebranding on last June, Cocowork got renamed again. It’s now become CoHive. Besides coworking space, it also aims for new segments, co-living and new retail.

Co-Hive is currently running more than 32,000 sqm coworking space in 22 different locations around Jakarta and Medan, with more than 5,500 communities from corporate, SME, and startups renting monthly or annual working space.

Cocowork, previously named EV Hive, was considered successful in managing and providing working spaces which aim for collaboration, good concept, and strategic locations. It makes Cocowork continuously developing more workspaces and to target 100,000 sqm space in various locations the next year.

The new concept of CoHive is the reason behind its rebranding due to some new services. There is no further information on us regarding the new concept implementation by CoHive, however, the name proposed for these new products are CoHive Co-Living and Residences, CoHive Marts, and CoHiveX.

“Through the sharing economy concept, young entrepreneurs can access the necessary resources and community support to start and develop their business. With a series of comprehensive solutions in CoHive, our community members can work, live, and have fun in within the same ecosystem,” Carlson Lau, CoHive’s CEO, said.

He explained further that they currently have the tower network of offices and companies to be used for integrated services and activities development of community building, and planned to be launched in 2019.

In making this plan and strategy happened, CoHive is supported by some investors, such as East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), Insignia Ventures, Softbank Ventures Korea, H&CK Partners, Tigris Investment, and Intudo Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Cocowork Ganti Nama Jadi CoHive, Tak Hanya Kejar Pasar Ruang Kerja

Baru saja rebranding di akhir Juni lalu, Cocowork kembali berganti nama. Kini namanya menjadi menjadi CoHive. Selain ruang kerja bersama (coworking space) CoHive juga menyasar segmen baru, yaitu co-living dan new retail.

CoHive saat ini sudah mengoperasikan lebih dari 32.000 meter persegi coworking space di 22 lokasi yang tersebar di Jakarta dan Medan, dengan lebih dari 5.500 komunitas perusahaan, UKM, dan startup yang menyewa ruang kerja dengan sistem per bulan atau tahunan.

Cocowork, sebelumnya bernama EV Hive, dinilai berhasil mengelola banyak coworking space dan menyediakan ruang kerja yang mengedepankan kolaborasi, memiliki konsep yang baik, dan terletak di lokasi-lokasi strategis. Kondisi ini membuat Cocowork terus ingin berkembang dengan lebih banyak ruang kerja yang ditargetkan mencapai 100.000 meter persegi di berbagai lokasi pada tahun mendatang.

Konsep baru yang diusung CoHive menjadi alasan perubahan nama karena membawa sejumlah layanan baru terkait pemanfaatan ruang. Belum ada informasi lebih jauh yang kami peroleh mengenai implementasi konsep baru yang diusung CoHive ini, tapi disebut nama yang diusung untuk produk baru ini adalah CoHive Co-Living and Residences, CoHive Marts, dan CoHiveX.

“Melalui konsep sharing economy, generasi pengusaha muda dapat mengakses sumber daya dan dukungan komunitas yang mereka butuhkan untuk memulai dan mengembangkan bisnis mereka. Dengan serangkaian solusi komprehensif yang ada di dalam platform CoHive, komunitas pengusaha yang tergabung bersama kami dapat bekerja, hidup, dan bersenang-senang di dalam ekosistem kami,” terang CEO CoHive Carlson Lau.

Lebih jauh Carlson menjelaskan bahwa saat ini mereka sudah memiliki jaringan menara kantor dan perusahaan yang rencananya akan digunakan untuk membangun seluruh layanan jasa dan aktivitas community building yang terintegrasi dan rencananya akan diluncurkan pada tahun 2019.

Dalam mewujudkan rencana dan strateginya ini, CoHive didukung sejumlah investor, seperti East Ventures, Sinar Mas Digital Ventures (SMDV), Insignia Ventures, SoftBank Ventures Korea, H&CK Partner, Tigris Invesment, dan Intudo Ventures.

Kolaborasi UOB Indonesia dan COCOWORK Dukung Pertumbuhan Startup

Bertujuan merangkul lebih banyak perusahaan rintisan dan UKM, Bank UOB Indonesia umumkan kemitraan dengan COCOWORK menghadirkan UOB X COCOWORK. Dalam sambutannya, Direktur Utama UOB Indonesia Kevin Lam mengungkapkan, coworking space UOB X COCOWORK di gedung UOB Plaza Jakarta diharapkan bisa menjadi platform startup bekerja dan berkolaborasi.

“Kemitraan strategis ini bisa membantu pelaku UKM dan startup agar bisa mendukung perkembangan ekonomi Indonesia. UOB Indonesia berharap bisa menjadi bagian dari ekosistem tersebut.”

Tidak hanya ruangan kerja, di coworking space UOB X COCOWORK semua startup dan pelaku UKM yang bergabung bisa memanfaatkan jaringan UOB di Indonesia dan di negara lainnya. Berbentuk pelatihan hingga konsultasi khusus, UOB Indonesia ingin membantu startup mengembangkan bisnisnya. Saat ini ada sekitar 40 perusahaan yang menjadi tenant di coworking space UOB X COCOWORK.

Meskipun secara khusus menargetkan layanan fintech, UOB Indonesia juga membuka kesempatan untuk perusahaan teknologi, perusahaan pemasaran digital, penyedia layanan profesional seperti kantor pengacara, akuntan dan spesialis properti intelektual untuk bergabung dengan komunitas UOB Indonesia dan COCOWORK.

“Bank UOB telah hadir di 15 negara dan kami siap membantu startup yang berniat mengembangkan usahanya. Nantinya jika diperlukan kami akan memberikan konsultasi hingga mengajak untuk bergabung dalam kegiatan CSR yang kami miliki,” kata Channels Director UOB Indonesia Pardi Kendy.

UOB juga memberikan layanan finansial kepada startup yang ingin mendapatkan tambahan modal usaha.

Rencana ekspansi COCOWORK

Setelah mengumumkan rebranding menjadi COCOWORK (sebelumnya EV Hive) pada bulan Juni lalu, COCOWORK memiliki rencana akhir tahun 2018 untuk ekspansi ke tiga kota baru, yaitu Makassar, Bali, dan Yogyakarta.

Sudah berdiri selama tiga tahun, COCOWORK kini telah memiliki 21 lokasi di Jakarta dan Medan dengan jumlah tiga ribu anggota. Rencana ekspansi COCOWORK diharapkan bisa memperluas kesempatan bekerja bagi startup di kota lainnya.

“Melalui kerja sama dengan UOB Indonesia, anggota kami dapat memiliki peluang untuk mengembangkan bisnis mereka di Asia Tenggara,” tutup Co-Founder & CEO COCOWORK Carlson Lau.

EV Hive Rebranding into COCOWORK

EV Hive co-working space announces its rebranding into COCOWORK. The name was taken from the community, collaboration, and workspace. Those three words are considered as the main aspect of co-working space. The rebranding meant to reflect the company’s commitment towards its core as flexible co-working, and community for the individuals on their business progress.

Carlson Lau, the CEO & Co-Founder, said the new identity is expected to reach multiple new users. In fact, around 30% of COCOWORK members are traditional business, not only tech startups. The company predicts an increasing percentage of SME members in the future.

“The [rebranding] plan has started since the beginning of this year, as we see our members, 30% of which are traditional business, such as restaurant and factory. As we see in the future our target will broaden, the trend of coworking and its benefits are getting recognized,” Carlson said, Tue (6/26).

In his opinion, the rebranding is also the beginning step of COCOWORK as Indonesia’s biggest coworking space network to provide the flexible office space with building community in Indonesia to Southeast Asia.

For long-term, without the period being mentioned, Carlson plans an international expansion to Southeast Asia by targeting to build 100 new locations. In short term, the company’s targeting to add eight new location and starting to seek opportunity for new cities besides Jakarta and Medan.

Lau also said the company is currently considering to open the new location in Bandung, Yogyakarta, and Makassar. The cities are recognized by a significant growth of its young executives.

COCOWORK currently has 21 coworking space locations in Jabodetabek and Medan. The total area is more than 30 thousand sqm consists of more than 3 thousand members from 260 companies.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

EV Hive “Rebranding” Jadi COCOWORK

Startup coworking space EV Hive mengumumkan rebranding menjadi COCOWORK. Nama tersebut diambil dari kata community, collaboration, dan workspace. Ketiga kata itu dinilai menjadi aspek utama dari coworking space. Perubahan ini dilakukan demi merefleksikan komitmen perusahaan terhadap esensinya sebagai coworking space yang fleksibel, serta komunitas bagi individu yang tengah mengembangkan usahanya.

Co-Founder & CEO COCOWORK Carlson Lau mengatakan identitas barunya ini diharapkan dapat menjangkau lebih banyak pengguna baru. Pasalnya sekitar 30% dari anggota COCOWORK berasal dari bisnis tradisional, bukan hanya dari startup teknologi saja. Pihaknya juga memprediksi ke depannya persentase anggota dari kalangan UKM akan semakin banyak.

“Rencana [rebranding] ini dimulai sejak awal tahun ini karena kita lihat dari keanggotaan kami 30% di antaranya dari bisnis tradisional, seperti dari restoran dan pabrik. Jadi kita lihat ke depannya sasaran kita akan semakin luas, tren mengenai manfaat dari coworking akan semakin terasa ke depannya,” terang Carlson, Selasa (26/6).

Menurutnya, rebranding ini sekaligus mengawali langkah COCOWORK sebagai jaringan coworking space terbesar di Indonesia untuk menghadirkan lingkungan kerja yang fleksibel dengan komunitas membangun di Indonesia hingga Asia Tenggara.

Dalam rencana jangka panjang, kendati tidak disebutkan berapa lama kurun waktunya, Carlson berencana untuk ekspansi internasional ke Asia Tenggara dengan target membuka 100 lokasi baru. Sementara untuk jangka pendeknya, pihaknya menargetkan dapat menambah delapan lokasi baru dan mulai menjajaki potensi kota baru di luar Jakarta dan Medan.

Carlson juga menuturkan, timnya saat ini sedang mempertimbangkan pembukaan lokasi coworking space baru di Bandung, Yogyakarta, dan Makassar. Kota tersebut dilihat lantaran memiliki pertumbuhan pengusaha muda yang signifikan.

Terhitung saat ini COCOWORK memiliki 21 lokasi coworking space yang tersebar di Jabodetabek dan Medan. Total luasnya lebih dari 30 ribu meter persegi yang mencakup lebih dari 3 ribu anggota yang terdiri dari 260 perusahaan.

EV Hive Secures $20 Million Series A Funding

EV Hive co-working space has scored a Series A funding worth of $20 million (277 billion Rupiah) led by Softbank Ventures Korea, H&CK Partners, and Tigris Investment. All three are based in Korea. Several new investors involved in this round are Naver, LINE Ventures, and STIC Investment. Also participated are the previous investors, such as East Ventures, SMDV, Sinar Mas Land, Insignia Venture Partners, Intude Ventures, and angel investors (Michael Widjaya and Chris Angkasa).

The company plans to use the funding for expansion, including regional opportunities, to a 100 new locations. They’re claimed to have more than 3000 active members.

Previously, EV Hive has received Pre-Series A Funding worth of $3.5 million or around 46 billion Rupiah in September 2017.

EV Hive was established in June 2015 by East Venture as a “pet project” and in May 2017 has become a separate company. Currently, the co-working space company already has 21 locations in Jabodetabek and Medan. In total, the area has reached 30 thousand sqm.

Carlson Lau, EV Hive’s CEO told DailySocial, “The co-working space business has a huge potential in Indonesia because of the sheer numbers of SMEs in the country, many of whom require affordable access to workspaces and businesses services. Co-working is a powerful platform to effectively help lower these small businesses and startups’ cost of doing business. Besides, co-working currently only occupies less than 1% of the total commercial real estate space, and we think that in the future co-working will a mainstream business where more than 20% of all commercial real estates are fitted out as co-working spaces.”

In Indonesia, co-working space still considered as a new business and tend not to gain profit. However, the big players are marking their territory. US giant co-working space, WeWork, has confirmed its presence in Indonesia, while Chinese co-working space UrWork investing in local service Go-Rework.

Although it’s still focused in Jabodetabek area, Lau assured to expand to other big cities in Indonesia. He said, “Outside of Jabodetabek, we are already in Medan, and we are planning to open co-working spaces in all the major cities in Indonesia. Our expansion decision is largely to cities with strong entrepreneurial communities who require access to services, and with whom we think there are great cross city collaboration opportunities with our existing members.”

Regarding the regional expansion, Lau ensures that his team will focus on Indonesia this year but still opens opportunities for neighbor countries.

“We have already received a number of enquiries from landlords and business partners to expand into their cities in SEA countries. We see great potential in Philippines, Vietnam, Thailand and Malaysia where we witness a lot of startup activity. In fact, some of our existing members are already making plans to expand into these countries, and we plan to follow our customers in their regional expansion plans,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

EV Hive Umumkan Perolehan Pendanaan Seri A 277 Miliar Rupiah

Layanan co-working space EV Hive mengumumkan perolehan pendanaan Seri A senilai $20 juta (277 miliar Rupiah) yang dipimpin Softbank Ventures Korea, H&CK Partners, dan Tigris Investment. Ketiganya berbasis di Korea. Investor baru yang juga masuk dalam pendanaan ini adalah Naver, LINE Ventures, dan STIC Investment. Juga berpartisipasi adalah investor terdahulu, yaitu East Ventures, SMDV, Sinar Mas Land, Insignia Venture Partners, Intudo Ventures, dan angel investor Michael Widjaya dan Chris Angkasa.

Perusahaan berencana menggunakan dana tersebut untuk berekspansi, termasuk membuka peluang secara regional, ke 100 lokasi baru. Disebutkan mereka saat ini memiliki lebih dari 3000 anggota aktif.

Sebelumnya EV Hive memperoleh pendanaan Pra-Seri A sebesar $3,5 juta atau sekitar 46 miliar Rupiah di bulan September 2017.

EV Hive awalnya didirikan di bulan Juni 2015 oleh East Ventures sebagai sebuah “proyek kecil-kecilan” dan di bulan Mei 2017 menjadi sebuah perusahaan tersendiri. Perusahaa saat ini memiliki 21 lokasi co-working space di Jabodetabek dan Medan. Secara total, luasan tempat kerja EV Hive saat ini mencapai 30 ribu meter persegi.

Kepada DailySocial, CEO EV Hive Carlson Lau mengatakan, “Bisnis co-working memiliki potensi besar di Indonesia karena jumlah UKM yang banyak. Co-working adalah platform yang hebat untuk secara efektif menurunkan biaya berbisnis bagi startup dan UKM. Co-working saat ini hanya kurang dari 1% dari total segmen real estate komersial dan kami pikir di masa depan co-working akan menjadi bisnis mainstream dengan lebih dari 20% segmen real estate komersial akan ditempati co-working space.”

Di Indonesia co-working space masih merupakan bisnis yang relatif baru dan cenderung belum memperoleh keuntungan. Meskipun demikian para pemain raksasa sudah menancapkan kukunya di sini. Raksasa co-working space Amerika Serikat WeWork telah memastikan kehadirannya di Indonesia, sementara raksasa co-working space Tiongkok UrWork berinvestasi di layanan lokal Go-Rework.

Meskipun fokus layanannya masih di kawasan Jabodetabek, Carlson memastikan  akan merambah kota-kota besar lainnya di Indonesia. Carlson mengatakan, “Di luar Jabodetabek, kami telah tersedia di Medan dan kami berencana membuka co-working space di semua kota-kota besar di Indonesia. Kami berekspansi ke kota-kota dengan komunitas kewirausahaan yang kuat yang membutuhkan akses ke layanan [co-working space] ini dan tempat yang mendukung peluang kolaborasi antar kota dengan anggota-anggota kami.”

Tentang rencana ekspansi regional, Carlson memastikan pihaknya masih akan fokus ke Indonesia tahun ini, tetapi tetap membuka peluang ekspansi ke negara-negara tetangga.

“Kami telah mendapatkan permintaan dari sejumlah pemilik lahan dan mitra bisnis untuk berekspansi ke kota-kotanya di kawasan Asia Tenggara. Kami melihat potensi besar di Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia ketika kami menyaksikan sendiri banyaknya aktivitas startup. Bahkan sejumlah anggota kami telah memiliki rencana berekspansi ke negara-negara tersebut dan kami berencana mengikuti konsumen kami dalam rencana ekspansi regional mereka,” tutup Carlson.