Janji dari Awan untuk Kemajuan Digital di Indonesia

Pandemi COVID-19 secara tiba-tiba datang dan memaksa manusia untuk menerima dan beradaptasi terhadap berbagai kebiasaan baru. Kebijakan physical distancing mendorong masyarakat untuk beraktivitas secara online demi mengurangi penyebaran penyakit. Perubahan kebiasaan baru ini, secara langsung berdampak pada percepatan penetrasi digital di Indonesia. Banyak perusahaan konvensional yang mulai mempertimbangkan investasi pada infrastruktur dan teknologi demi kelancaran usaha.

Percepatan penetrasi digital tentu tidak terlepas dari janji teknologi komputasi awan sebagai pembuka peluang pengembangan bisnis dengan pemanfaatan dan pengelolaan data dengan lebih optimal. Hal tersebut tampaknya menjadi angin segar bagi bisnis konvensional yang mengharapkan operasional bisnis dapat berjalan efektif dan inovasi-inovasi baru dapat terjadi dengan cepat. Lebih jauh lagi, keinginan pemerintah agar pemulihan ekonomi di Indonesia pasca pandemi juga dapat segera terlaksana. Namun semudah apakah janji tersebut dapat terpenuhi?

Akhir tahun 2020 lalu, Boston Consulting Group (BCG) bersama dengan Amazon Web Services (AWS) mengeluarkan hasil studi yang menyatakan bahwa kehadiran teknologi komputasi awan dibutuhkan dalam membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk bertransformasi digital. Pemanfaatan komputasi awan dapat memangkas 15-40 persen biaya pembangunan infrastruktur teknologi informasi (TI) di suatu perusahaan. Tidak hanya itu, dengan memanfaatkan komputasi awan, produktivitas perusahaan diperkirakan juga akan melonjak hingga 25-50 persen karena automasi proses bisnis.

Kehadiran teknologi komputasi awan ini di klaim memberikan tiga manfaat dalam transformasi digital yakni efisiensi waktu, efisiensi biaya, dan kecepatan inovasi serta penetrasi pasar yang lebih baik.

BCG memperkirakan jika industri komputasi awan di tanah air tumbuh sesuai dengan jalurnya atau dengan skenario normal, maka dampak terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan mencapai US$36 miliar sepanjang 2019-2023.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebanyak 270,20 juta jiwa dan telah menguasai 40% dari total nilai ekonomi berbasis internet di Asia tenggara pada 2019, semakin menunjukkan potensinya sebagai raja ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara. Indonesia juga memiliki nilai ekonomi berbasis internet Indonesia mencapai 40 miliar dolar atau Rp567,9 triliun. Angka tersebut diproyeksikan bakal melonjak 32 persen menjadi 133 miliar dolar pada 2025 mendatang.

Di era digital, kebutuhan perusahaan terhadap kemudahan akses dan integrasi data menjadi keharusan agar tetap relevan. Ditambah saat pandemi, di mana hampir sebagian besar masyarakat memilih untuk beraktivitas secara online, kebutuhan terhadap penerapan komputasi awan ini menjadi semakin dibutuhkan, dan akselerasi bisnis komputasi awan juga semakin menuju langit. Karena teknologi ini bisa menjadi jembatan di tengah masyarakat memilih untuk tetap produktif di tengah keterbatasan. Komputasi awan sendiri tidak terbatas menyediakan layanan di internet publik, tapi bisa juga untuk mengatur jaringan infrastruktur yang dimiliki oleh perusahaan atau disebut jaringan privat. Walaupun tidak semudah layanan awan publik, tapi perusahaan masih bisa mendapatkan berbagai benefit yang ditawarkan oleh komputasi awan.

Penerapan komputasi awan telah lama diadaptasi oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Salah satu kisah yang menarik ada pada Gojek. Kemampuan Gojek untuk beradaptasi dengan cepat menghadirkan solusi bagi masyarakat di tengah pandemi ini juga dimungkinkan dengan kemudahan teknologi untuk pengelolaan dan optimalisasi data, seperti fitur geofencing untuk memastikan layanan tidak dapat beroperasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai Wilayah Pengendalian Ketat (PSBB) serta memperingatkan dan bahkan menindak secara otomatis mitra-mitra yang secara sistem terindikasi sedang berkerumun khusus di area Jabodetabek, rekomendasi dan search engine untuk GoFood, mengurangi potensi fraud, contactless delivery, dan masih banyak inovasi lainnya yang dimudahkan berkat layanan komputasi awan.

Komputasi awan juga membantu dalam algoritma penentuan tarif untuk pemerataan supply dan demand di titik-titik tertentu, misalnya tarif di titik tertentu akan menyesuaikan jika demand penggunanya meningkat dan membutuhkan lebih banyak jumlah mitra driver. Dengan adanya penyesuaian tarif tersebut, maka waktu tunggu konsumen menjadi lebih cepat. Pengalaman pengguna menjadi lebih baik dan pendapatan harian mitra driver juga meningkat dengan adanya pemerataan titik demand.

Dengan jutaan pengguna yang menggunakan aplikasi Gojek, maka penting untuk memastikan performa aplikasi berfungsi dengan baik. Dengan menggunakan beberapa fitur keandalan dan keamanan dari luasnya layanan yang disediakan komputasi awan, maka engineers dapat mendeteksi potensi-potensi gangguan dengan cepat. Inovasi juga semakin dimudahkan dengan kemampuan komputasi awan untuk memudahkan pembuatan model machine learning untuk pengolahan data. Pemanfaatan komputasi awan tentunya memudahkan Gojek untuk fokus pada produk inti (core product) dan mendorong percepatan inovasi. Kecepatan Gojek untuk berinovasi mendorong pertumbuhan Gojek secara eksponensial bahkan di tengah situasi yang sulit.

Kesuksesan tersebut tentunya sangat mungkin diadaptasi oleh perusahaan dan organisasi lainnya seperti rumah sakit, banking, layanan transportasi publik, maupun pemerintahan. Sektor pemerintahan pun telah meningkatkan pelayanan publik dengan komputasi awan, terutama demi keamanan siber. Sebagai contoh, website DPR telah memanfaatkan layanan komputasi awan dari Balai Sertifikasi Elektronik, untuk memastikan keamanan informasi elektronik, sehingga potensi peretasan informasi bisa dikurangi.

Namun, dengan berbagai keunggulan dan janji manis yang dihadirkan komputasi awan, ada banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam mengadaptasi komputasi awan. Pertama, tidak sedikit yang meragukan keamanan data pelanggan apabila disimpan dalam komputasi awan karena data harus diserahkan ke pihak ketiga. Padahal, mayoritas penyedia komputasi awan besar sudah memiliki sertifikasi ISO 27001 yang menjamin kerahasiaan data pelanggan dan memastikan kerahasiaan data transaksi dan pembayaran terjamin dan sesuai standar industri.

Dari sisi keamanan siber, komputasi awan telah memiliki keamanan yang berlapis, baik secara fisik di gedung data center mereka, maupun keamanan dari sisi software, sehingga lebih sulit untuk diretas dibandingkan dengan server yang dikelola sendiri di gedung perkantoran. Misalnya, infrastruktur komputasi awan melakukan enkripsi data, mengintegrasikan policy keamanan, dan juga memonitor secara terus-menerus semua aktivitas di sistem, sehingga bisa mendeteksi kejahatan siber sebelum peretas meluncurkan serangannya.

Kedua, regulasi pemerintah terkait penyimpanan dan pemrosesan data Indonesia harus lebih diperjelas untuk mendukung percepatan digital di Indonesia dan menjaga kedaulatan data. Pemerintah saat ini sedang membangun layanan komputasi awan milik negara yang direncanakan rampung pada 2022 untuk menjaga data-data strategis pemerintah dan juga pihak lainnya.

Pemerintah perlu mematangkan perencanaan penyediaan layanan komputasi awan dan mempertimbangkan mengenai apakah rencana tersebut akan efektif untuk menunjang kebutuhan besar di era digital. Membangun infrastruktur komputasi awan sendiri merupakan pekerjaan berat, karena keandalan dan keamanan sistem harus terus dijaga 24 jam setiap harinya, tidak boleh mengalami gangguan sedikit pun, apalagi jika harus diakses oleh puluhan bahkan ratusan juta pengguna di Indonesia. Namun hal ini bukan berarti mustahil untuk direalisasikan demi menunjang percepatan digital dan pemulihan ekonomi pasca pandemi di Indonesia.

Tulisan ini disusun oleh Giri Kuncoro selaku Senior Software Engineer Gojek. Sebelumnya ia pernah bekerja di beberapa perusahaan internasional seperti VMware, General Electric, dan Toshiba Corporation. Ia juga sudah membukukan dua paten terkait algoritma untuk mengontrol distribusi dan efisiensi penambahan daya baterai di sistem penyimpanan.

Gambar Header: Depositphotos.com

Biznet Gio Perkenalkan NEO WEB, Layanan Komputasi Awan untuk UMKM

Biznet Gio, anak usaha dari Biznet yang bergerak di bidang penyediaan layanan komputasi awan merilis NEO WEB, sebuah platform infrastruktur situs web untuk menjangkau pelaku usaha UMKM dan individu yang ingin bertransformasi digital. Potensi yang masih luas, terlebih momentum yang pas di tengah pandemi, memutuskan Biznet Gio untuk terjun ke segmen ini.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (31/3), CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto menerangkan, NEO WEB adalah infrastruktur terintegrasi bagi UMKM dengan berbagai layanan yang lengkap dalam sebuah ekosistem. Selain performa dan kecepatan, diperlukan rasa aman pada diri pelanggan saat meletakkan datanya pada Biznet Gio.

“Kita lihat jumlah UMKM di Indonesia ada banyak sekali, kalau ingin melakukan transformasi digital sendiri biayanya akan besar sekali. Maka dari itu kami ingin bantu mereka percepat transformasi digital, apalagi sekarang masih pandemi jadi sudah seharusnya go digital,” kata Dondy.

NEO WEB sudah diluncurkan sejak Februari 2021, memiliki ragam fitur seperti NEO Web Hosting, NEO Dedicated Hosting, NEO Domain, NEO DNS, hingga NEO Web Space yang merupakan layanan pembuatan situs secara mandiri dengan model Graphical User Interface dan Drag & Drop. Harga yang dibanderol mulai dari Rp10 ribu per tahun untuk layanan NEO Domain dan Rp20 ribu per bulan untuk NEO Web Hosting.

Walau harga terjangkau, pada layanan NEO Web Hosting, pelanggan sudah mendapatkan nama domain, kapasitas yang besar untuk meletakkan situs web, hingga sertifikat Secure Socket Layer (SSL). Untuk kebutuhan yang lebih besar, pelanggan dapat upgrade ke layanan NEO Dedicated Hosting atau Cloud Server yang dimiliki Biznet Gio dengan merek NEO.

“Target kita ingin menjangkau UMKM yang butuh infrastruktur digital yang berkualitas dengan harga terjangkau karena banyak dari mereka yang ingin transformasi digital tapi bingung caranya bagaimana dan pakai layanan apa,” tambah VP Sales and Marketing Biznet Gio Cornelius Hertadi.

Diharapkan NEO WEB pada tahun ini dapat menjangkau pelanggan baru antara 80 ribu sampai 100 ribu pelaku UMKM, dari posisi saat ini 20 ribu UMKM.

Resmikan pusat data ketiga

Dalam waktu bersamaan, perusahaan juga mengumumkan kehadiran pusat data ketiga yang berlokasi di Banten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang memerlukan fitur ketersediaan (availability) yang tinggi serta penyimpanan data pada lebih dari satu pusat data. Pusat data pertama dan kedua berada di Jakarta (MidPlaza) dan Jawa Barat (Technovillage, Cimanggis).

“Pengembangan pada pusat data ketiga yang terletak di Banten merupakan bentuk komitmen untuk menjadi pemain komputasi awan lokal yang dapat bersaing dengan pemain-pemain luar yang mulai berdatangan di Indonesia, dengan terus menghadirkan layanan dan fitur yang sesuai dengan standar industri,” tutur Dondy.

Keunggulan lain yang diusung Biznet Gio adalah konektivitas antar pusat data melalui jaringan tertutup (private network) sebesar 10 Gbps tanpa melewati jaringan internet, yang diberikan tanpa biaya tambahan ataupun instalasi tambahan kepada pelanggan.

Dari sisi lokasi, karena terletak di provinsi yang berbeda, pelanggan dapat membuat lingkungan produksi (production environment) pada satu pusat data dan lingkungan cadangan (backup environment) atau Disaster Recovery Site pada pusat data lain dari layanan Biznet Gio.

Sementara dari sisi keamanan, perusahaan baru mengantongi sertifikasi SOC Type II pada awal bulan ini yang menyatakan bahwa Biznet Gio telah menerapkan aspek trust service service categories untuk privasi dan keamanan pelanggan pada layanan komputasi yang ditawarkan. Sertifikasi ini melengkapi yang sebelumnya yakni ISO 27001 dan PCI-DSS.

Dondy menuturkan akan ada pusat data berikutnya yang sedang disiapkan perusahaan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. “Kami juga sedang mempersiapkan sertifikasi keamanan data tambahan lainnya.”

Saat ini perusahaan dan Biznet Group yang lain, tengah mempersiapkan Edge Computing untuk pemerataan akses konten digital di beberapa kota di Indonesia, yang diharapkan rampung pada akhir 2021.

“Dengan meningkatnya kebutuhan akses konten digital yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia, kami ingin mendekatkan konten-konten tersebut kepada para pengguna dengan layanan Edge Computing yang sedang kami kembangkan saat ini. Harapannya pengguna internet di daerah akan merasakan pengalaman akses yang sama dengan pengguna yang ada di Jakarta,” tutup Dondy.

Init-6 Pours 72 Billion Rupiah Seed Funding to IDCloudHost

A Venture Capital founded by Bukalapak’s co-founder Achmad Zaky, Init-6, has just announced its latest investment of $5 million or around Rp72 billion to IDCloudHost, a local cloud service provider and data center.

In a virtual media presentation, Zaky revealed that IDCloudHost is his 11th portfolio after the venture capital was founded in April 2020.

“Since founded a year ago, we have observed around three thousand [startup] companies in Indonesia. We invested in IDCloudHost as we saw the cloud market grows rapidly. The products they offer are suitable for expanding into the Southeast Asian market,” he said.

Moreover, SME digitalization has increased rapidly during the Covid-19 pandemic, therefore, it is the right momentum for the cloud business. IDCloudHost is also targeting the SME market which is the pillar of the Indonesian economy.

On a general note, Init-6 was founded after Zaky resigned from his position as CEO of Bukalapak. Apart from Zaky, Bukalapak’s Co-Founder Nugroho Herucahyono also joined as a Partner at Init-6 after leaving his position as CTO. Init-6 is aiming for investment in the early stage, with Eduka edtech platform as its first portfolio.

Expand to Southeast Asia

This is IDCloudHost’s first funding during its five years of operation. Previously, companies relied on bootstrapping to grow their business.

IDCloudHost’s CEO, Alfian Pamungkas Sakawiguna revealed, this funding will be used for market expansion to Southeast Asia this year. With this target, his team is targeting one million users of its service next year.

Currently, IDCloudHost has served around 100 thousand customers, 350 thousand requests, and planted 5 data centers in Indonesia.

“We will continue to increase data center capacity in line with our expansion to Southeast Asia. We already have a data center in Singapore. In the future, we hope there will be an increase of up to ten times as much for SMEs using the cloud,” he said.

The local cloud computing-based web hosting market is quite competitive. Apart from IDCloudHost, there are dozens of other providers, for example in the micro-medium segment there are Niagahoster, IDWebHost, Masterweb, Exabytes, and so on. Meanwhile, in the upper-medium segment, there are players such as Biznet Gio, Telkom Sigma, and others.

Nevertheless, there are global players starting to mature businesses and build data centers in Indonesia, such as Amazon Web Services, Alibaba Cloud, and Microsoft Azure. In addition to the reliability and affordability, the value proposition of each service provider should be a priority in business strategy to be able to attract wider market interest.

Init-6 investment target in 2021

Furthermore, Zaky revealed that his team will continue to add new portfolios with a bottom-up approach this year. There is no specific target, but Init-6 remains committed to entering some business verticals, such as cloud, edtech, and fintech.

“Last year, we targeted [closing] 20 portfolios, but reached only ten. In fact, the investment cannot be forced, it may be because the pandemic started last year. This year, there could be more as we are getting more agnostic. There are many interesting sectors, fintech for example. Even though we are yet to score a portfolio, I think the future is good.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Init-6 Beri Pendanaan Awal 72 Miliar Rupiah ke IDCloudHost

Perusahaan investasi yang didirikan Co-founder Bukalapak Achmad Zaky, Init-6, baru saja mengumumkan pendanaan terbarunya sebesar $5 juta atau sekitar Rp72 miliar kepada IDCloudHost, penyedia layanan cloud dan data center lokal.

Dalam paparan virtual kepada media, Zaky mengungkap bahwa IDCloudHost merupakan portofolionya ke-11 setelah perusahaan modal ventura tersebut berdiri pada April 2020.

“Sejak berdiri setahun lalu, kami telah mengobservasi sebanyak tiga ribu perusahaan [startup] di Indonesia. Kami berinvestasi di IDCloudHost karena melihat pasar cloud tengah berkembang pesat. Produk yang mereka tawarkan juga cocok untuk diperluas ke pasar Asia Tenggara,” ujarnya.

Terlebih, digitalisasi UKM meningkat pesat selama masa pandemi Covid-19 sehingga saat ini menjadi momentum tepat untuk mendorong penggunaan cloud. IDCloudHost juga membidik segmen pasar UKM yang saat ini masih menjadi penopang perekonomian di Indonesia.

Sekadar informasi, Init-6 berdiri usai Zaky mundur dari posisinya sebagai CEO Bukalapak. Selain Zaky, Co-Founder Bukalapak Nugroho Herucahyono juga bergabung menjadi Partner di Init-6 setelah melepaskan posisinya sebagai CTO. Init-6 membidik investasi di early stage, di mana platform edtech Eduka menjadi portofolio pertamanya.

Ekspansi ke Asia Tenggara

Ini merupakan pendanaan pertama yang diperoleh IDCloudHost selama lima tahun berdiri. Sebelumnya, perusahaan mengandalkan bootstrapping untuk mengembangkan bisnis.

CEO IDCloudHost Alfian Pamungkas Sakawiguna mengungkap, pendanaan ini akan digunakan untuk ekspansi pasar ke Asia Tenggara pada tahun ini. Dengan target tersebut, pihaknya membidik sebanyak satu juta pengguna layanannya di tahun depan.

Saat ini, IDCloudHost telah melayani sebanyak 100 ribu pelanggan, 350 ribu permintaan, serta memiliki 5 data center di Indonesia.

“Kami akan terus meningkatkan kapasitas data center sejalan dengan ekspansi kami ke Asia Tenggara. Kami sudah ada data center di Singapura. Ke depan, kami harap ada peningkatan hingga sepuluh kali lipat UKM yang menggunakan cloud,” ucapnya.

Pasar web hosting berbasis komputasi awan di lokal memang cukup riuh kompetisinya. Selain IDCloudHost ada puluhan provider lain, misalnya di segmen mikro-medium ada Niagahoster, IDWebHost, Masterweb, Exabytes dan lain sebagainya. Sementara di segmen medium-atas ada pemain seperti Biznet Gio, Telkom Sigma, dan lainnya.

Belum lagi adanya pemain luar yang mulai matangkan bisnis dan bangun data center di Indonesia, seperti Amazon Web Services, Alibaba Cloud, dan Microsoft Azure. Selain tingkat keandalan dan keterjangkauan, value proposition dari setiap penyedia layanan patut menjadi prioritas dalam strategi bisnis untuk dapat menarik minat pasar secara lebih luas.

Target investasi Init-6 di 2021

Lebih lanjut, Zaki mengungkap bahwa pihaknya akan terus menambah portofolio baru di tahun ini dengan pendekatan bottom up. Tidak ada target spesifik yang diincar, tetapi Init-6 tetap berkomitmen untuk masuk ke sejumlah vertikal bisnis, seperti cloud, edtech, dan fintech.

“Tahun lalu kami target [closing] 20 portofolio, tapi cuma tercapai sepuluh. Jadi memang target investasi tidak bisa dipaksa, mungkin juga karena tahun lalu mulai pandemi. Tahun ini bisa lebih bisa lebih banyak lagi karena kami lebih agnostik. Ada banyak sektor menarik, fintech misalnya. Meski belum ada portofolio di situ, saya rasa masa depannya bagus.”

Perkembangan Ekosistem “Platform as a Service” di Indonesia

Ketika dunia semakin dikuasai oleh perangkat lunak, pengembangan aplikasi dan alat juga semakin besar dan kompleks. Hal ini mempengaruhi beban kerja para pengembang atau developer yang juga semakin banyak ketika mengelola sebuah aplikasi. Platform as a Service atau PaaS merupakan salah satu layanan yang ditawarkan oleh komputasi awan atau cloud computing selain Software as a Service (SaaS) dan Infrastruktur as a Service (IaaS) yang fokus membantu para pengembang dalam pengelolaan aplikasi.

Platform as a Service (PaaS) menyediakan komponen cloud dalam bentuk platform yang dapat dimanfaatkan pengguna untuk membuat aplikasi di atasnya. Layanan ini memudahkan pelanggan untuk mengembangkan, menjalankan, dan mengelola aplikasi tanpa kompleksitas membangun dan memelihara infrastruktur terkait dengan pengembangan dan peluncuran aplikasi.

Menurut pemaparan Microsoft Azure, ada beberapa skenario penggunaan layanan PaaS, seperti menyediakan kerangka kerja yang dapat dibangun oleh pengembang untuk mengembangkan atau menyesuaikan aplikasi berbasis cloud; menyediakan alat yang memudahkan organisasi dalam melakukan analisis atau mengambil keputusan bisnis. Juga sebagai layanan pendukung untuk pengelolaan aplikasi.

Sumber: Microsoft Azure

Penggunaan layanan ini bisa menekan biaya dan dan menghemat waktu dalam pengelolaan lisensi perangkat lunak, infrastruktur aplikasi dan middleware, orkestra kontainer seperti Kubernetes, atau alat pengembangan dan sumber daya lainnya. Pengembang tidak perlu melakukan manajemen sumber daya penunjang pengembangan aplikasi yang mereka kembangkan, karena semuanya telah disediakan oleh layanan ini.

Di Indonesia, layanan PaaS lazim digunakan untuk pengelolaan microservices atau layanan mikro pada aplikasi. Arsitektur layanan mikro membuat aplikasi lebih mudah diskalakan dan lebih cepat berkembang, memungkinkan inovasi dan mempercepat penetrasi pasar untuk fitur baru.

Ekosistem PaaS di Indonesia

Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengatakan, perkembangan ekosistem cloud computing di Indonesia berangkat dari IaaS, yang pada dasarnya merupakan landasan infrastruktur dari layanan PaaS dan Software as a Service (SaaS).

Ia menyampaikan, di Indonesia sendiri, belum banyak pemain lokal yang fokus merambah keseluruhan lini bisnis PaaS. Namun, beberapa pemain yang sudah lebih dulu mengembangkan solusi cloud computing mulai menawarkan produk dari layanan PaaS ini. Dua di antaranya adalah Datacomm dan Lintasarta.

Didirikan pada 8 Okt 2015, Datacomm Cloud Business (DCB) adalah divisi bisnis PT Datacomm Diangraha yang berfokus pada peluang cloud di Indonesia. Di awal tahun 2021 ini, Datacomm baru saja meluncurkan produk PaaS baru berbasis Kubernetes. Teknologi ini diyakini mampu membuat perusahaan dapat bergerak menjadi lebih lincah dalam menjawab tantangan teknologi, khususnya dalam pembuatan sistem aplikasi.

Perwakilan Datacomm menyampaikan, layanan PaaS memiliki potensi besar, karena untuk bisa bersaing dengan perusahaan lain yang di bidang internet, perusahaan harus semakin cepat. PaaS memberikan kemungkinan untuk  pengembangan yang lebih cepat dan terkelola.

PaaS sendiri bersifat high-scalability atau memiliki skalabilitas tinggi dimana ketika aktivitas dalam aplikasi mulai padat, secara otomatis layanan ini akan menskalakan aplikasi dengan lebih baik dalam melayani pengguna. Hal ini membuat target market dari PaaS sendiri merupakan perusahaan yang membutuhkan layanan 24/7 serta memiliki aktivitas padat dalam aplikasinya.

Senior Manager Cloud Product Development Lintasarta Reski Rukmantiyo mengungkapkan, “Saya melihat adopsi yang cukup besar untuk produk PaaS di ranah yang erat dengan B2C seperti industri fiansial perbankan atau asuransi yang membutuhkan koneksi dan workload tinggi, selain itu juga telco.”

Sebagai salah satu pelopor internet pertama di Indonesia, Lintasarta yang merupakan anak perusahaan PT Indosat Tbk, fokus menyediakan solusi korporat melibatkan Komunikasi Data, Internet dan Layanan TI. Timnya mengklaim sudah menawarkan produk dari layanan PaaS yang berbasis kontainer sejak dua tahun yang lalu.

Dalam menyediakan layanan PaaS, kedua perusahaan di atas bekerja sama dengan RedHat – OpenShift, salah satu penyedia layanan PaaS global yang menawarkan berbagai opsi untuk pengembang yang terdiri dari hostingproject PaaS private atau open source.

Persaingan dengan pemain hyper-scale

Melihat persaingan layanan PaaS di Indonesia, saat ini masih didominasi pemain global atau hyper-scale. Selain karena belum ada pemain lokal yang menawarkan solusi PaaS menyeluruh, para pengembang juga cenderung memilih solusi yang memiliki cakupan besar dan sesuai dengan kebiasaan.

Perusahaan hyper-scale identik dengan high-availability karna memiliki banyak data center yang tersebar di berbagai belahan dunia. Hal ini membuat kemungkinan server untuk downtime kecil, itu menjadi salah satu keunggulan para pemain global.

Consultant Engineer Datacomm Kevin Haryono mengatakan, “Sebagai pemain lokal, yang bisa kita andalkan adalah layanan yang sesuai dengan rekomendasi kominfo, dimana seluruh data krusial itu wajib. Mengenai keamanan, data center lokal juga sudah mengupayakan untuk sertifikasi ISO dan berusaha mencapai standar internasional.”

“Pemain global juga memiliki harga yang kompetitif serta kepercayaan masyarakat bahwa solusi yang datang dari luar lebih baik. Selain itu, dari sisi native, ketika pengembang sudah terbiasa menggunakan salah satu solusi lalu yang ditawarkan pihak luar sesuai dengan kebiasaan di sini,” tambahnya.

Terkait persaingan, Alex menutup diskusi dengan menyampaikan, “Kita perlu mendorong kecintaan masyarakan ke produk dalam negri, di samping itu produk lokal juga harus meningkatkan kualitas layanannya supaya bisa berkelanjutan. Karena jika diminta head-to-head tanpa ada kepercayaan masyarakat semua akan jadi sulit.”

MAPID Hadirkan Layanan SaaS Pemetaan dan Analisis Geospasial

Besarnya persoalan pemetaan lokasi di Indonesia telah melahirkan beberapa produk lokal untuk menawarkan solusi terbaiknya. Salah satu platform yang mencoba untuk menyasar sektor tersebut adalah MAPID.

Secara khusus MAPID didesain menjadi platform Sistem Informasi Geografis berbasis cloud untuk membantu mengumpulkan, mengelola, memvisualisasikan, dan menganalisis data berbasis lokasi (data geospasial). Skenario penggunaannya dapat diaplikasikan di berbagai sektor, seperti industri, pertanian, pertambangan, dan lain-lain.

Kepada DailySocial, CEO MAPID Bagus Imam Darmawan mengungkapkan, layanannya hadir untuk menjawab permasalahan yang ada mengenai data dan pemetaan. Salah satu yang paling mendasar adalah sumber data masih sangat sempit. Padahal, data digital saat ini 80% mengandung unsur geografis. Kemudian kebanyakan visualisasi peta masih bersifat statis, padahal data saat ini bersifat dinamis, dan masalah-masalah lainnya terkait data dan pemetaan.

“MAPID diciptakan untuk membantu berbagai sektor untuk mengoptimalkan pengolahan dan analisis data sebagai penunjang dalam pengambilan keputusan.”

Saat ini MAPID telah memiliki sekitar 2 ribu lebih pengguna dengan 900 lebih pengguna aktif dalam platform. Mayoritas pengguna dari MAPID tergabung dalam lisensi organisasi. Layanan dan produk MAPID saat ini juga telah tersedia di seluruh Indonesia.

Di Indonesia sudah ada beberapa startup yang juga garap solusi terkait pemetaan. Di antaranya platform LOKASI dan Dheket yang dikembangkan oleh Bhumi Varta Technology. Kemudian ada juga pemain asal Singapura yang telah ekspansi sejak pertengahan tahun lalu, yakni NextBillion.ai.

Data terintegrasi

Aplikasi MAPID Now sebagai salah satu implementasi dari teknologi yang dikembangkan / MAPID
Aplikasi MAPID Now sebagai salah satu implementasi dari teknologi yang dikembangkan / MAPID

Produk MAPID adalah SaaS berbasis web, yang dapat diakses langsung melalui situs. Setelah terdaftar, pengguna kemudian akan dialihkan ke dasbor pribadi dan dapat mulai membuat proyek pemetaan. Ada beberapa hal yang kemudian dapat dilakukan, yaitu mengembangkan platform dan aplikasi pemetaan sebagai alat untuk mengumpulkan data spasial secara masif.

“Melalui teknologi yang dimiliki, data dari manusia dan sensor dapat dikumpulkan secara digital. Platform kemudian dapat memvisualisasikan semua data dalam tampilan peta yang mudah dipahami,” kata Bagus.

Model bisnis yang diterapkan oleh MAPID adalah subscription dan transaction. Bagi pengguna yang ingin menggunakan platform MAPID, harus melakukan subscription terlebih dulu. Subscription ini kemudian dibagi menjadi beberapa opsi yaitu, Student bagi pelajar yang membutuhkan platform pemetaan; Freelancer para konsultan, profesional, freelancer di bidang GIS, pebisnis; dan yang terakhir adalah Organization mereka yang masuk dalam kategori perusahaan besar, pemerintahan dan NGO.

“Data yang ada di dalam MAPID terintegrasi sehingga menghasilkan analisis yang mendalam. MAPID juga menyediakan fitur kolaborasi sehingga koordinasi dapat dengan mudah dilakukan di dalam platform untuk membuat suatu project. Platform MAPID juga mempunyai user friendly UI/UX sehingga tidak hanya para ahli di bidang GIS saja yang dapat menggunakan platform kami,” kata Bagus.

“Tahun ini MAPID berencana untuk fokus melakukan R&D untuk pengembangan produk. MAPID juga ingin melakukan penggalangan dana untuk menunjang rencana tersebut. Kami berharap dapat menjadi location intelligence untuk semua orang,” kata Bagus.

Application Information Will Show Up Here

Alibaba Cloud Indonesia’s Main Strategy to Build up Partnership and Local Talents

Alibaba Cloud has planted 21 data centers in various countries worldwide. Two of those located in Indonesia launched in 2018 and 2019. Alibaba Cloud Indonesia Country Manager Leon Chen said, the company is currently in the process of making its third data center in Indonesia, it is to launch in early 2021.

“We see great potential, and Indonesia alone is a strategic market for Alibaba Cloud. That is also the reason why Alibaba Cloud is the first global cloud provider to deliver data centers in Indonesia,” he said.

Partnership strategy

In addition to Alibaba Cloud, DailySocial reported several other large companies have planned investments for the development of local data centers. There are Microsoft to pour funds up to US$1 billion, Amazon with US$2.5 billion, and Google with an undisclosed value (they recently launched the cloud region).

While local providers play an important role in the market share – such as Biznet Gio, Telkom Sigma, and others. In addition to technology solutions, the two brands mentioned are affiliated with other companies engaged in telecommunications and digital.

In his business strategy narrative, Leon said his team has a synergy approach in terms of market penetration. They collaborate with local partners to deliver expertise and technology to strengthen local companies. Also, various training and certification programs to become a ‘talent pool’ strategy, in order to increase the availability of local experts.

“To date, Alibaba Cloud has partnered up with around 100 locals in our ecosystem […] Earlier this year, we also announced training programs initiated with universities, incubators, and training institutions in Indonesia.”

Believe in local talents

In the interview, Max Meiden Dasuki also participated as Alibaba Cloud’s Lead Solutions Architect. The man who graduated from Surabaya Technical College took a role as a consultant for customers from startups and corporations.

“We educate customers on cloud adoption. We work with local partners to provide customized solutions to improve the efficiency of their business operations and overcome their challenges more cost-effectively,” Max said.

Furthermore, he also mentioned an example. One of the customers has a need for a relational database management system solution, they find many challenges using traditional databases. After in-depth discussion and analysis, Max and the team usually provide technical advice, in that case maybe he would suggest implementing a cloud-native database like PolarDB.

“We help them to migrate from traditional databases to PolarDB. So they can manage databases without having to worry about performance since they can measure computing resources quickly and efficiently,” Max explained.

In addition, Max also said that 80% of Alibaba Cloud in Indonesia are local staff. While 20% are female.

Target in 2020

Alibaba Cloud Indonesia has planned to launch 200 training programs this year. Targeting 20 thousand participants, it is expected that 50% of them can continue to the certification stage. In addition, the company plans to recruit 5 thousand new employees globally by the end of the year, including its business units in Indonesia.

“We have achieved three-digit business growth for three years in a row […] supporting customers from various sectors, especially e-commerce, finance, media, education; for example Adira Finance, MNC, JNE, Kopi Kenangan, Investree, Akulaku, and others,” Leon said.

Along with the construction of its third data center, Alibaba Cloud is about to set up its first ‘data scrubbing center’ in Indonesia. The need for data intelligence services is a company consideration in the release of the system – in addition to complying with regulations that require the management of strategic data in local data centers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Penguatan Mitra dan Talenta Lokal Jadi Strategi Utama Alibaba Cloud Indonesia

Alibaba Cloud saat ini memiliki 21 pusat data (data center) yang tersebar di berbagai negara di dunia. Dua di antaranya berada di Indonesia, diresmikan pada tahun 2018 dan 2019 yang lalu. Country Manager Alibaba Cloud Indonesia Leon Chen bahkan mengatakan, perusahaan saat ini sedang dalam proses pembuatan pusat data ketiganya di Indonesia, ditargetkan rampung awal tahun 2021.

“Kami melihat potensi yang besar di sini; dan Indonesia sendiri merupakan pasar strategis untuk Alibaba Cloud. Hal tersebut pula yang menjadi alasan mengapa Alibaba Cloud menjadi penyedia cloud global pertama yang menghadirkan data center di Indonesia,” ujarnya.

Strategi kemitraan

Tidak hanya Alibaba Cloud, DailySocial mencatat beberapa perusahaan besar lainnya sudah canangkan investasi untuk pengembangan pusat data lokal. Ada Microsoft yang akan gelontorkan dana hingga US$1 miliar, Amazon dengan US$2,5 miliar, dan Google dengan nominal yang tidak disebutkan pasti (belum lama ini mereka rilis cloud region).

Sementara penyedia lokal juga punya andil besar dalam menggarap pangsa pasar – sebut saja nama-nama seperti Biznet Gio, Telkom Sigma, dan lain-lain. Selain solusi teknologi, dua brand yang disebutkan tersebut terafiliasi dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang telekomunikasi dan digital.

Menceritakan strategi bisnisnya, Leon mengatakan, untuk penetrasi pasar pihaknya memiliki pendekatan sinergi. Mereka menjalin kerja sama dengan mitra lokal untuk membawa keahlian dan teknologi guna memperkuat perusahaan-perusahaan lokal. Selain itu, berbagai program pelatihan dan sertifikasi untuk menjadi strategi ‘talent pool’, guna meningkatkan ketersediaan tenaga ahli lokal.

“Saat ini, Alibaba Cloud memiliki sekitar 100 mitra lokal pada ekosistem kami […] Awal tahun ini, kami juga mengumumkan program-program pelatihan yang kami inisiasi bersama universitas, inkubator, dan institusi pelatihan di Indonesia.”

Mempercayakan talenta lokal

Dalam wawancara turut hadir Max Meiden Dasuki selaku Lead Solutions Architect Alibaba Cloud. Pria lulusan Sekolah Tinggi Teknik Surabaya tersebut berperan sebagai konsultan bagi para pelanggan dari kalangan startup dan korporasi.

“Kami mengedukasi pelanggan tentang bagaimana mengadopsi cloud. Kami bekerja bersama mitra lokal untuk menyediakan solusi khusus guna meningkatkan efisiensi operasi bisnis mereka dan mengatasi tantangan mereka dengan biaya yang lebih efektif,” ujar Max.

Lebih detail ia mencontohkan mengenai tugasnya. Misalnya salah satu pelanggan mempunyai kebutuhan solusi sistem manajemen basis data relasional, mereka menemukan banyak tantangan menggunakan basis data tradisional. Setelah diskusi dan analisis yang mendalam, Max dan tim biasanya memberikan saran teknis, dalam kasus tadi mungkin ia akan menyarankan penerapan cloud-native database seperti PolarDB.

“Kami membantu mereka untuk bermigrasi dari database tradisional ke PolarDB. Sehingga mereka dapat mengelola database tanpa perlu khawatir dengan kinerja mengingat mereka dapat mengukur sumber daya komputasi dengan cepat dan efisien,” terang Max.

Selain itu Max turut menyampaikan, tim Alibaba Cloud di Indonesia 80% adalah staf lokal. Sementara 20% merupakan staf perempuan.

Target tahun ini

Alibaba Cloud Indonesia telah berkomitmen mengadakan 200 pelatihan tahun ini. Menargetkan 20 ribu peserta, diharapkan 50%-nya bisa melanjutkan sampai ke tahap sertifikasi. Di samping itu, perusahaan merencanakan perekrutan 5 ribu pegawai baru secara global sampai akhir tahun, termasuk untuk unit bisnisnya di Indonesia.

“Kami telah mencapai tiga digit pertumbuhan bisnis selama tiga tahun berturut-turut […] mendukung pelanggan dari berbagai sektor, terutama e-commerce, keuangan, media, pendidikan; contohnya Adira Finance, MNC, JNE, Kopi Kenangan, Investree, Akulaku, dan lain-lain” kata Leon.

Bersamaan dengan pembangunan pusat data ketiganya, Alibaba Cloud juga tentang menyiapkan ‘data scrubbing center’ pertamanya di Indonesia. Kebutuhan akan layanan intelegensi data menjadi konsiderasi perusahaan dalam perilisan sistem tersebut – di samping agar comply dengan regulasi yang mengharuskan pengelolaan data-data strategis di pusat data lokal.

Google Resmikan “Cloud Region Jakarta”, Seriusi Bisnis Komputasi Awan di Indonesia

Google akhirnya merealisasikan bisnis cloud di Indonesia pada hari ini (24/6) dibarengi dengan kehadiran cloud region di Jakarta. Lokasi terbaru ini menjadikan Google Cloud sebagai penyedia cloud hyperscale AS pertama dengan region di negara ini, sekaligus menempatkan Jakarta sebagai wilayah ke-2 di Asia Tenggara, wilayah ke-9 di Asia Pasifik, dan ke-24 di dunia.

Sebelum diresmikan ke publik, Google telah menunjuk Megawaty Khie sebagai Country Director untuk menangani Google Cloud di Indonesia sejak tahun lalu. Selain itu, dibentuk pula tim penjualan dan tim teknik lokal yang didedikasikan untuk mendukung pelanggannya.

Lewat kiriman surel kepada DailySocial, Country Director Google Cloud Indonesia Megawaty Khie menjelaskan, cloud region (pusat komputasi awan) menyediakan penyimpanan, keamanan, analitik data, AI/ML, pengembangan aplikasi, dan banyak layanan cloud canggih lainnya untuk para pelanggan.

Google memastikan setiap cloud region memiliki hardware canggih (termasuk server), perangkat lunak, keahlian operasi, dan pelanggan yang menggunakan aplikasi akan mendapatkan kinerja, keandalan, dan keamanan yang sama baik di wilayah mana pun yang mereka gunakan.

Megawaty tidak menerangkan secara spesifik untuk pertanyaan terkait keberadaan fisik (zona) dari cloud tersebut terletak di mana saja. Ia hanya menyatakan, “Google Cloud Region di Jakarta berfungsi untuk membantu pelanggan mempercepat inovasi dari dekat.”

Dia melanjutkan, “Ini berarti akan lebih mudah dan lebih cepat bagi klien untuk memanfaatkan layanan komputasi sesuai permintaan, penyimpanan, dan layanan jaringan Google Cloud yang lebih cepat, lebih dapat diandalkan, dan lebih murah daripada mereka bangun sendiri.”

Country Director Google Cloud Indonesia Megawaty Khie / Google Cloud
Country Director Google Cloud Indonesia Megawaty Khie / Google Cloud

Di samping itu, hal ini juga memungkinkan pelanggan untuk memenuhi persyaratan peraturan dan kepatuhan setempat, dan memberikan lebih banyak pilihan pemulihan bencana bagi pelanggan di seluruh Asia Pasifik.

Indonesia merupakan pasar strategis untuk Google Cloud. Perusahaan berinvestasi infrastruktur cloud lokal, kemitraan lokal, inisiatif pelatihan lokal, dan tim lokal untuk membantu pelanggan meningkatkan skala bisnisnya dan mempercepat Indonesia 4.0.

“Misi kami di Google Cloud adalah untuk menyediakan platform yang mendukung transformasi digital menggunakan data. Kami bekerja sama organisasi untuk merealisasikan bagaimana mengubah model bisnis mereka secara digital.”

Google Cloud menyasar semua kalangan bisnis dan pemerintahan, seperti sektor publik, perusahaan milik negara, layanan keuangan, perawatan kesehatan, ritel, manufaktur, dan perusahaan digital sebagai pelanggannya.

Beberapa nama perusahaan lokal yang sudah bergabung, di antaranya Alfamart, Blibli, Bluebird, BRI, Bukalapak, Cinema21, CT Corp, EMTEK, Gojek, Pegadaian, Sale Stock (kini Sorabel), Samudera, Sequis Life, Tiket.com, Tokopedia, Traveloka, Warung Pintar, Wings, dan XL Axiata.

Secara terpisah, khusus XL Axiata, kedua perusahaan meresmikan kerja samanya pada awal bulan ini. Dalam keterangan resmi, XL Axiata menyatakan perusahaan menargetkan ingin memindahkan beban kerja hingga 70% ke dalam cloud pada tiga tahun mendatang.

Untuk itu, perusahaan mengadopsi platform manajemen aplikasi modern Anthos, milik Google Cloud, untuk mengotomatisasi, mengelola, dan skala beban kerja di lingkungan serba hybrid dan multi-cloud yang aman.

Google Cloud Anthos memungkinkan perusahaan untuk membangun dan mengelola aplikasi berbasis Kubernetes, tanpa modifikasi, apakah mereka berada di pusat data lokal yang ada, Google Cloud atau cloud lainnya.

Persaingan pasar cloud semakin memanas dengan resmi masuknya Google. Sebelumnya sudah ada Alibaba Cloud, Amazon Web Services, dan Microsoft Azure. Dari semua raksasa tersebut, baru Alibaba dan Google yang sudah membuat server di dalam negeri, sementara sisanya masih dalam proses.

Model bisnis Google Cloud

Dijelaskan lebih jauh, Google Cloud menyediakan struktur yang transparan dan pembayaran sesuai dengan jumlah pemakaian (pay-as-you-go). Pelanggan tidak perlu membayar apapun untuk mendapat manfaat dari layanan Google Cloud Platform. Mereka hanya membayar sesuai kebutuhan agar fokus berinovasi, serta dapat berhenti membayar begitu mereka mematikannya.

“Dengan demikian, pelanggan saat ini tidak memilih Google Cloud atau penyedia cloud mana pun hanya berdasarkan harga. Mereka memilih Google Cloud untuk mendapatkan nilai berbeda yang kami sediakan dalam mentransformasi bisnis mereka secara digital.”

Ekosistem Google Cloud diklaim telah terhubung menyalurkan berbagai solusi untuk semua kebutuhan pelanggan. Beberapa namanya, seperti Cisco, HPE, Intel, SAP, Salesforce dan ribuan perusahaan lainnya yang telah berinovasi pada GCP. Serta, terintegrasi dengan produk Google lainnya yakni G Suite.

“Kami juga bekerja sama dengan berbagai solusi dan mitra layanan yang membantu pelanggan memanfaatkan teknologi ini. Ada Deloitte, Accenture, Atos, dan ribuan lainnya yang mengkhususkan diri dalam vertikal atau geografi tertentu.”

Terkait jaminan keamanan, Google Cloud dilengkapi dengan fitur-fitur seperti enkripsi data-at-rest dan data-in-transit secara default dan tidak bisa dimatikan. Pelanggan diberi opsi untuk menggunakan kunci enkripsi mereka sendiri untuk kontrol yang lebih besar.

“Kami menyediakan tools berteknologi AI seperti API pencegah kehilangan data untuk membantu pelanggan cepat mendeteksi, mengklasifikasi, mengurangi, menyamarkan, dan tokenize data sensitif mereka.”

Selain itu, Google menyediakan Security Command Center yang dapat digunakan pelanggan untuk mendapat visibilitas terpusat dan kontrol dengan manajemen risiko siber terintegrasi. Di sana pelanggan dapat meningkatkan vulnerability management, melaporkan, memelihara kepatuhan, dan mendeteksi ancaman.

“Semua alat ini membantu pelanggan kami mengamankan data dan sistem mereka sesuai dengan persyaratan peraturan.”

Berhubungan dengan misi perusahaan, Google berkomitmen untuk membentuk tenaga kerja yang cloud-ready di Indonesia. Untuk itu perusahaan telah mengumumkan komitmen baru untuk memberikan 150 ribu lab pelatihan langsung pada tahun ini.

Di dalamnya terdapat sesi pelatihan Google Cloud Platform, penghargaan dan berbagai persiapan karier untuk membantu tenaga kerja mendapatkan sertifikasi GCP. “Di antaranya Juara GCP, pelatihan Cloud OnBoard, dan Digital Talent Scholarship dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika,” pungkas Megawaty.

Antusiasme Alibaba Cloud Terhadap Pasar Indonesia Pasca Pandemi

Januari lalu, Alibaba Cloud memaparkan visinya untuk memajukan ekosistem digital Indonesia. Lalu tanpa diduga pandemi COVID-19 merebak, dan di saat-saat seperti ini, publik semakin menyadari betapa pentingnya peran penyedia layanan cloud computing.

Platform video-on-demand (VOD) atau game online misalnya, tentu melihat peningkatan jumlah pengguna yang signifikan selama publik berdiam diri di rumahnya masing-masing, sehingga pada akhirnya harus bergantung lebih banyak lagi terhadap penyedia layanan cloud computing. Skenario seperti ini pada dasarnya bisa kita lihat sebagai kondisi new normal bagi perusahaan macam Alibaba Cloud.

2020 merupakan tahun ke-4 buat Alibaba Cloud di Indonesia. Maret 2018 lalu, mereka meresmikan data center pertamanya di tanah air. Belum setahun berselang, tepatnya pada bulan Januari 2019, mereka membuka data center keduanya. Kalau melihat pasar Indonesia yang begitu besar, jangan terkejut apabila ke depannya Alibaba Cloud bakal membuka data center yang ketiga.

Sejauh ini, produk dan solusi unggulan Alibaba Cloud untuk pasar Indonesia mencakup empat vertikal: data, media, cloud-native, dan network. Target pasar mereka bukan cuma kalangan enterprise saja, melainkan juga menyasar sektor UMKM, yang di titik ini semestinya sudah menyadari betapa esensialnya transformasi digital buat mereka.

Alibaba Cloud products and solutions

Menurut Leon Chen selaku Country Manager Alibaba Cloud Indonesia, jumlah pelanggan mereka di sini sudah mencapai ribuan, dan mitra lokalnya pun juga sudah ada 100 lebih. Tidak kalah penting adalah mitra-mitra Alibaba Cloud di bidang pelatihan seperti Inovasi Informatika Indonesia dan Trainocate, sebab sejak Januari lalu mereka memang sudah mengadakan berbagai pelatihan bersertifikasi secara ekstensif (dan tetap berlangsung secara online pasca pandemi).

Pelatihan terhadap tenaga kerja ini merupakan salah satu bentuk komitmen Alibaba Cloud demi memajukan ekosistem digital di tanah air, apalagi mengingat industri-industri di Indonesia belakangan semakin aware dengan cloud computing. Materi-materi yang diberikan juga bukan cuma untuk tingkatan profesional saja, tapi juga yang mencakup materi-materi dasar.

Juga menarik adalah pendapat Leon saat ditanya mengenai dampak kehadiran pemain cloud global (Google Cloud) di Indonesia. Beliau pada dasarnya bilang bahwa masuknya Google Cloud ke pasar tanah air menunjukkan bahwa Alibaba Cloud sudah berada di jalan yang benar karena sudah lebih dulu membangun data center.

Terakhir, Alibaba Cloud tak lupa menjelaskan tentang kontribusinya terhadap penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Dari yang sederhana seperti mempromosikan DingTalk sebagai platform video conference alternatif – konferensi pers yang saya ikuti juga berlangsung via DingTalk – sampai yang lebih kompleks seperti menerbitkan Buku Pegangan Pencegahan dan Penatalaksanaan COVID-19.

Bukan cuma itu, Alibaba Cloud juga sudah bekerja sama dengan dua rumah sakit di Indonesia, yakni Eka Hospital dan Omni Hospital, untuk mengimplementasikan teknologi CT Image Analytics besutannya, yang diklaim mampu mendiagnosis pasien COVID-19 berdasarkan hasil CT scan dalam waktu 20 detik, dengan tingkat akurasi 96%.