BRI Ventures Bidik Penggalangan Putaran Akhir “Sembrani Kiqani” Sebesar 784 Miliar Rupiah

BRI Ventures (BVI) membidik penggalangan putaran akhir dana kelolaan Sembrani Kiqani dengan target sebesar $50 juta atau sekitar 784 miliar Rupiah. Dilansir dari DealStreetAsia, BVI sebelumnya telah menutup putaran pertama Sembrani Kiqani pada Juni 2022.

Melalui unggahan di laman LinkedInFounding CEO BVI Nicko Widjaja bercerita perjalanan dana kelolaan Sembrani Nusantara yang dibentuk pada Juni 2020 di puncak ketidakpastian situasi global, dan dimulai dengan ekspektasi rendah. Sembrani Nusantara merupakan dana kelolaan ventura pertama di Indonesia yang berizin dan diawasi OJK. Dana kelolaan yang diperoleh melampaui target awal yang sebesar Rp300 miliar pada awal 2021. 

Kemudian, Kiqani juga dibentuk pada tahun berikutnya, serupa dengan situasi global saat ini. Namun, pihaknya mampu mengamankan dana putaran pertama dari berbagai LP dengan pencapaian lebih tinggi dari target.

“Mengelola dua dana kelolaan di Indonesia bukanlah hal yang mudah, terutama ketika dana kelolaan ini adalah pionir—dan diluncurkan pada situasi yang penuh ketidakpastian. Meski banyak rintangan, hambatan, (dan hal-hal negatif), Sembrani dan Kiqani dapat bertahan menghadapi segala rintangan,” tulis Nicko.

Fokus BVI

BVI dibentuk pada tahun 2019 dengan debut dana kelolaan senilai $250 juta atau setara dengan Rp3,5 triliun. Nicko Widjaja ditunjuk sebagai CEO BVI pada Juli 2019, meninggalkan posisinya sebagai CEO MDI Ventures yang telah dijalani selama lebih dari 4 tahun.

Dengan dana awal disokong oleh induk perusahaan, BVI telah menyalurkan investasi ke perusahaan-perusahaan yang fokus di industri fintech seperti Investree, Modalku, Payfazz, Tanihub, dan juga Nium.

Sembrani Nusantara diluncurkan sebagai medium perusahaan untuk mengecap pendanaan eksternal. Strukturnya sendiri terbilang baru karena berbentuk Kontrak Investasi Bersama (KIB), yang mengambil konsep mirip Kontrak Investasi Kolektif (KIK) di reksa dana. Dana kelolaan ini menyalurkan investasi pada startup tahap awal di sektor seperti pendidikan, agro-maritim, retail, logistik, dan kesehatan.

Belum lama ini, Sembrani Nusantara juga disinyalir telah menyuntikkan investasi putaran seed pada pemain e-commerce B2B, Belanjaparts, dengan ticket size senilai $2 juta-$3 juta. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Nicko Widjaja seperti yang diberitakan oleh DealStreetAsia.

Masih dengan misi yang sama, Sembrani Kiqani menargetkan startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C) dan inisiatif di bidang web3. Melalui medium ini, perusahaan telah mengucurkan dana untuk perusahaan game berbasis blockchain Yield Guild Games SEA dan startup pengembang kemasan ramah lingkungan, Plepah.

Pada Maret 2022, CVC yang terlibat dalam Merah Putih Fund (MPF) ini juga telah menandatangani kesepakatan untuk membentuk dana kelolaan baru, yakni Fundnel Secondaries Fund yang menargetkan investasi sebesar $50 juta atau lebih dari Rp780 miliar di awal tahun 2023.

Pendanaan semester I 2022

DailySocial.id kembali merekap transaksi pendanaan startup digital sepanjang paruh pertama 2022. Terdapat beberapa tren menarik yang dapat dicermati, di tengah isu miring yang tengah menjadi sorotan di ekosistem—salah satunya tentang koreksi pasar akibat krisis ekonomi global—yang berdampak langsung dengan cara investor menilai sebuah startup.

Memasuki kuartal II 2022 sejumlah gejolak muncul, turut berdampak langsung pada iklim investasi startup. Di permukaan, kabar seperti startup melakukan layoff, pivot bisnis, sampai dengan penutupan usaha santer terdengar. Namun kondisi goncangan tersebut ternyata tidak menyurutkan kucuran pendanaan ke startup Indonesia.

Tren pendanaan sepanjang H1 2022

Dari grafik di atas, ada pertumbuhan nilai pada pendanaan lanjutan di sepanjang kuartal II 2022, khususnya seri B ke atas. Jumlah transaksi pendanaan awal dan pra-awal masih mendominasi. Hal ini menunjukkan kehadiran beberapa model bisnis baru yang mencuri perhatian investor.

Salah satu sektor yang juga cukup dilirik adalah D2C. Sektor ini dilihat sebagai peluang untuk menurunkan biaya dan memaksimalkan keuntungan dengan menghilangkan jalur rantai pasokan.

Menurut McKinsey, D2C mengacu pada praktik penjualan produk langsung ke konsumen melalui situs milik perusahaan sendiri, tanpa melalui pengecer atau grosir pihak ketiga. Konsep ini akan menghilangkan penghalang antara produsen dan konsumen, memberikan produsen lebih besar kendali atas merek, reputasi, pemasaran, dan taktik penjualannya.

Startup D2C di Indonesia / Sumber: Startup Report 2021 & Q1 2022 oleh DSInnovate

Konsep D2C juga disebut bisa membantu merek membangun hubungan mereka dengan pelanggan mereka, dengan memberi mereka pengalaman unik dan proposisi nilai sebagai pembeda.

Dennis Pratistha: Mandiri Capital Indonesia Bentuk “Thematic Fund” di 2023

Mandiri Capital Indonesia (MCI) terus melanjutkan misinya untuk mendorong value creation bagi induk usaha Mandiri Group. Menurut Plt. CEO MCI Dennis Pratistha, pihaknya tengah menyiapkan beberapa “thematic fund” dan menjajaki peluang investasi di sektor baru, seperti construction tech dan biotech.

Sebelum menempati posisi CEO sementara pasca-penunjukkan Eddi Danusaputro di BNI Ventures, Dennis menjabat sebagai Chief Investment Officer. Adapun, saat ini MCI mengelola tiga dana kelolaan, yakni dana kelolaan bersumber dari Mandiri Group, Indonesia Impact Fund (IIF), dan Merah Putih Fund.

Sekadar informasi, Dennis telah lama berkecimpung di industri teknologi dan telekomunikasi dengan menduduki posisi Chief Technology Officer dan Chief Operating Officer, seperti di Redkendi, Ebizu, MNC, dan Nusatel. Di bidang investasi, ia juga pernah menjadi Executive di Star Capital.

Apa ada perubahan tesis investasi MCI dengan posisi saat ini?

Jawab: Saat ini kami masih fokus berinvestasi pada portofolio yang dapat berkontribusi terhadap value creation untuk Mandiri Group. Kami harus punya pembeda sehingga lainnya bisa saling co-exist dan berkontribusi. Startup saja punya [value proposition]. Kalau semua sama, the one with the most money will win. We have to have different angles to bring to the table. Justru di cap table, kita [VC] harmonis.

Beda VC, beda pula value creation. Ada VC yang kuat pada sisi teknologi, ada juga pada aspek operasional. Kami [kuat] pada aspek pengembangan bisnis. Ini yang membuat kami bisa duduk dengan nyaman dan tetap produktif di meja yang sama.

Apa value proposition yang ditawarkan?

J: Kami memiliki lima value proposition. Pertama, kami merupakan Corporate Venture Capital (CVC) milik Mandiri Group. Kedua, Mandiri Group memiliki puluhan juta customer dan 200 ribu UMKM. Ketiga, kami menghubungkan ke ekosistem BUMN. Keempat, kami dapat mendampingi pada proses value creation di pengembangan bisnis. Kami bantu ekspansi dan sinergi dengan menghubungkan ke banyak pemangku kepentingan.

Kelima, kami menghubungkan [portofolio] ke jaringan ke anak usaha Mandiri, seperti Mandiri Sekuritas. Jaringan [anak usaha] ini dapat mendukung startup untuk melakukan fundraising, merger and acquisition (M&A), atau exit melalui IPO. Sebelumnya, Mandiri Sekuritas pernah menjadi penjamin emisi (underwriter) pada IPO GoTo dan Bukalapak.

Selain itu, kami juga memiliki program matchmaking Xponent untuk mendorong Mandiri Group agar dapat ter-expose ke digital platform yang lebih inovatif.

Apa tujuan utama dari program Xponent?

J: Program ini murni ingin membantu dua pihak, yakni Mandiri menjadi inovatif dengan leveraging platform digital dan platform memanfaatkan Mandiri untuk mendorong bisnisnya. Ini murni sebuah acara matchmaking untuk menghasilkan kesepakatan bisnis. No investment involved. Kami tidak undang investor, tetapi unit bisnis dan startup.

Tentu saja, MCI sambil melihat, kira-kira mana yang bisa ditindaklanjuti. Makanya, saya garis bawahi MCI berinvestasi pada startup yang membawa valueA lot of money out there, economy is a bit slow, so good deals tidak terlalu banyak.

Kami menyadari ada shifting terjadi. Kami harus fokus pada startup yang sudah memiliki path to profitability atau profitable. Mereka harus tumbuh, tapi bukan berhenti karena sudah profitable. Startup yang sudah profitable harus mereplikasi model bisnis ke area atau produk lain. Artinya, mendorong pertumbuhan yang memiliki dampak positif ke bottom line. Kami ingin mereka menjadi a self-sustain company. Pertumbuhan tetap dikejar, bukan berarti berhenti.

Pada akhirnya, startup harus mencari model yang tepat, pahami model bisnisnya, dan lakukan ekspansi. We will help you expand.

Apakah ada portofolio baru yang akan diumumkan selanjutnya?

J: Kami akan mengumumkan dua portofolio di sektor aquaculture dan FMCG supply chain pada kuartal keempat ini. Selain itu, kami juga sedang menjajaki peluang di sektor autotech, proptech, construction tech, dan biotech. Ada banyak angle [di sektor ini], yang sedang kami lihat adalah supply chain.

Di construction tech, kami juga mencari model supply chain; dari prinsipal, toko bangunan, kontraktor, dsb. Supply chain di Indonesia masih belum efisien, tidak ada transparansi, dan prosesnya kompleks. Kami ingin empower mereka menjadi bagian dari ekosistem, tetapi memberikan margin yang lebih efisien. Teknologi memberdayakan bisnis, bukan sebaliknya. Kita harus punya bisnis dulu, baru di-empower oleh teknologi.

Kemudian, biotech. Saat ini, [biotech] di Indonesia masih di tahap awal. Kami sedang mempelajari use case dan commercial viability. Kami belajar dari pemain biotech yang sudah ada, dari startup atau perusahaan teknologi. Bukan berarti kami langsung berinvestasi, justru kami belajar dari mereka. Kami pahami dulu industri dan tantangannya. Menganalisis industri harus menyeluruh, apalagi spektrum biotech sangat luas sekali. Ada microbio hingga DNA. Kami perlu lihat, mereka bisa sustain dengan [use case] mana dulu.

Untuk autotech, ada beberapa hal menarik. Pertama, supply chain. Kedua, kami adalah bagian dari konglomerasi di bidang keuangan, Mandiri memiliki perusahaan multifinance dan bank. Bagaimana caranya, kami bisa menemukan marketplace yang fokus pada multifinance. Kami tertarik berinvestasi ke multifinance marketplace. Selama ini pengisian data lewat form harus satu-satu, sedangkan pengisian data di marketplace hanya satu kali. Marketplace lebih nyaman untuk dealer dan multifinance. Tidak perlu menghubungi satu-satu.

Bagaimana rencana pembentukan thematic fund MCI selanjutnya?

J: Kami belum bisa disclose mengenai pembentukan thematic fund ini, tetapi ini berbeda dengan Merah Putih Fund. Rencananya, kami ingin berkolaborasi dengan VC atau institusi. Kami lagi ngobrol dengan beberapa.

Mengapa memilih theme-based? Kami melihat [VC] yang fokus di semua bidang atau sektor agnostik itu sudah banyak. Kami mau fokus pada tema spesifik. Kami ingin dapat membantu ekosistem mereka. Ujung-ujungnya, kami harus create value. Semoga, [thematic fund] bisa terealisasi tahun depan.

Bagaimana Anda menanggapi industri startup Indonesia di situasi saat ini?

J: Pada dasarnya, startup adalah bisnis. [Pelaku startup] mengidentifikasi masalah dengan skala pasar yang cukup besar. Jangan mengidentifikasi masalah hanya di level kecamatan atau RT saja. Dengan itu, cobalah ciptakan solusi.

Namun, [menciptakan solusi] tidak semudah, “I have an idea, let’s develop full version”. Di antara idealism dan practicality, pasti ada disparity. Lakukan uji coba, mulai dengan skala kecil dengan sedikit modal, hingga memperoleh Minimum Viable Product (MVP). Ketika MVP jalan, baru kembangkan full-face product.

Begitu Anda punya full-face product dan mencapai product-market fit, artinya Anda sudah memvalidasi masalah. Anda tweak apa model bisnisnya, bukan hanya produk saja. Misalnya, model berbasis langganan, transaksi, atau penggunaan. Setelah Anda menemukan model bisnis, Anda menemukan kecocokan pasar-produk, Anda memiliki profitabilitas, dan keberlanjutan. Itu yang dilupakan banyak pihak.

[Mindset] dulu, ketika pelaku bisnis konvensional bertemu, mereka berdiskusi tentang EBITDA, misalnya. Sementara, startup bicara soal seberapa besar valuasinya. Sekarang, startup sudah mulai pikirkan sustainable growth, itu kata kuncinya. Bukan berarti mengerem [pertumbuhan bisnis].

Bagaimana Anda melihat founder mentality dari awal pandemi hingga sekarang?

J: Pandemi—tanpa bermaksud mendiskreditkan health issue, it’s very unfortunate—mendorong transformasi digital lebih cepat. Selama pandemi, kita banyak memanfaatkan aplikasi untuk berbagai hal, seperti memesan makanan. Pola pikir kita telah bergeser.

Para founder memanfaatkan peluang digital [untuk menciptakan solusi]. Sayangnya, banyak [startup] yang belum siap [merespons] pertumbuhan tersebut. Mereka belum mencapai product-market fit dan model bisnisnya belum ketahuan. Memang mereka bisa memperoleh angka pertumbuhan, tetapi memiliki keberlanjutan tanpa model bisnis yang tepat.

Sekarang, pertumbuhan ekonomi mulai melambat. Saya tidak mau bilang resesi atau apapun karena situasi setiap negara berbeda-beda. Saya optimistis dengan Indonesia. Pemerintah melakukannya dengan baik dalam mengendalikan perlambatan ekonomi ini. Harus disadari bahwa Indonesia adalah negara konsumtif. Ngegas dan ngerem harus balance.Anda ingin mengendalikan inflasi tetapi Anda tidak ingin menghentikan pertumbuhan.

Lalu, bagaimana upaya menghadapi perlambatan ekonomi? Ini sesuatu yang baru. Kita tidak tahu mau ke mana, apa yang perlu dilakukan. Nah, mentality harus diubah. Pada [masa awal pandemi] kemarin ada banyak peluang di mana terjadi akselerasi transformasi digital. Saat ini, dari peluang tersebut, kita harus berupaya menjadikannya sebagai bisnis yang sustainable. 

Mandiri Capital Jembatani Sinergi Startup dengan Perusahaan Induk Lewat Program “Xponent”

PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) belum lama ini meluncurkan program “Xponent” sebagai wadah bagi startup untuk bersinergi dengan ekosistem yang ada di Mandiri Group. Program ini juga bertujuan untuk memperkuat inovasi di Mandiri Group guna mendukung perluasan ekosistem digital di tanah air.

Kamis (13/10), program Xponent segmen pertama berhasil terselenggara dengan kategori lending. Dalam kesempatan ini, MCI sekaligus mengumumkan beberapa kerja sama strategis bisnis unit Mandiri Group dengan startup terpilih.

Setidaknya tiga sinergi telah diresmikan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU), yang dipimpin oleh Dennis Pratistha, Chief Investment Officer PT Mandiri Capital Indonesia. Pertama, kerja sama layanan solusi retail dan wholesale, di mana portofolio MCI di segmen insurtech, Qoala, akan menjadi partner penyedia asuransi kepada debitur Mandiri Tunas Finance (MTF) serta berperan sebagai broker untuk kanal digital.

Berikutnya, ada dua startup yang bergerak di bidang pembiayaan rumah (KPR) yaitu Ringkas dan Ideal yang akan bekerja sama dengan Consumer Loans Group Mandiri untuk memungkinkan proses pembelian rumah hingga ke pencairan yang lebih efektif dan efisien.

Rangkaian program Xponent ini terbagi ke dalam beberapa sesi, pertama diskusi panel dengan para pemimpin startup Indonesia. Beberapa pembicara ternama hadir, seperti Emilio Wibisono selaku CEO & Founder Sinbad, Irvan Kolonas selaku President Agriaku, Ryan Manafe selaku CEO Dagangan, dan lainnya. Kemudian, sesi business matching untuk membangun konektivitas antara pemimpin satu dengan lainnya.

Direktur Keuangan PT Mandiri Capital Indonesia Rino Bernando mengatakan, “[..] MCI akan rutin melaksanakan program Exponent secara berkala sebagai wujud komitmen kami mendukung akselerasi transformasi ekonomi digital Indonesia, dan sebagai salah satu strategi kami mendorong kinerja perusahaan.”

MCI memberikan kesempatan bagi seluruh startup untuk bergabung dalam program ini, dengan beberapa syarat, yaitu; (1) Minimum sudah melakukan putaran penggalangan dana pra-seri A, (2) Mempunyai model bisnis yang solid dan berkelanjutan, dan (3) Mempunyai use case sinergi dengan institusi finansial.

Program Xponent segmen selanjutnya akan diadakan pada Kamis, 20 Oktober 2022, mengangkat topik Beyond Lending dan mengundang unit bisnis dari Mandiri Group yang berbeda dari segmen sebelumnya. Pendaftaran Xponent masih terus terbuka bagi startup yang tertarik untuk terlibat dalam sinergi dengan Mandiri Group.

Tesis Investasi Mandiri Capital

Sebagai corporate venture capital (CVC) dari Bank Mandiri, MCI telah terlibat dalam pendanaan kepada 22 startups yang bergerak berbagai bidang dan berperan aktif untuk membangun business traction kepada portfolio, maupun nonportofolio melalui sinergitas.

Kebanyakan sinergi terkait dengan pembiayaan, seperti loan channeling dengan Crowde menyasar toko tani, lalu kerjasama dengan Amartha sebagai bentuk perluasan pasar di kota tier 2 dan 3, serta invoice financing bersama Investree kepada pelaku segmen bisnis dan UMKM.

Dalam wawancara DailySocial.id sebelumnya dengan mantan Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro, ia mengungkapkan bahwa strategi tesis MCI dalam berinvestasi itu bergantung pada fund yang dikelola. Bila fund tersebut datang dari Mandiri Group, sudah tentu harus berkaitan dengan mandat grup, yakni mendorong inisiatif transformasi dan dampak positif bagi Mandiri Group melalui optimalisasi sinergi.

Sejauh ini MCI baru mengelola dua fund aktif. Pertama, fund yang dananya bersumber dari Mandiri Group. Kedua, Indonesia Impact Fund (IIF) yang menitikberatkan pada startup yang menciptakan dampak lingkungan dan sosial merujuk pada lima tujuan dalam SDG (sustainable development goals). Platform edutech Cakap menjadi proyek debut dari dana kelolaan ini.

Di luar itu, MCI juga didaulat sebagai salah satu dari 5 CVC yang terlibat dalam pembentukan dana kelolaan Merah Putih Fund sebagai inisiatif Kementrian BUMN untuk mengakselerasi startup lokal yang berpotensi menjadi unicorn. Targetnya, pendanaan startup melalui Merah Putih Fund akan mulai dilaksanakan pada awal tahun 2023.

From MCI to BNI Ventures, Eddi Danusaputro’s Continuous Journey to Support the State-Owned’s CVC Scheme

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Indonesia’s investment ecosystem is said to have a tough time, as affected by the “winter season” in the US, where some sources flow the investment money in this country. However, despite the unfortunate facts, we can learn many things from this situation. Eddi Danusaputro agreed on this as a necessary evil, a maturing process for Indonesian startups, which for a long time has had its seasons in the sun.

Recently departed from MCI (Mandiri Capital Indonesia), Eddi Danusaputro has put all in his power to build and nurture the State-Owned Enterprise’s CVC from day one. With limited resources and a small room for experiments, Eddi has led this company to generate 20 investment portfolios. The most recent investment was on Jul 11, 2022, when AgriAku raised $35M. Aside from that, the CVC has had three exits, including the most notable ones, Moka and Jurnal.id.

After dedicating almost 6,5 years of his life to MCI, Eddi is ready to embrace a new journey with another state-owned VC, Bank Negara Indonesia (BNI). Although he is not yet available to discuss much of the new entity’s further plan, he assured to make a good deal of all his previous experiences in the new venture. In addition, he will be fully in charge of the Merah Putih Fund, a fund initiated by the SOE ministry and co-managed by 5 CVCs.

Not long ago, he was appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Aside from the VC life, Eddi is highly passionate about basketball. To date, he’s been involved as the Chairman of Indonesia’s local basketball club, Amartha Hangtuah.

Above are some facts about Eddi Danusaputro. DailySocial has had a chance to hear more about his journey to becoming one of the most successful venture capitalists in the country. Let’s listen to it through the excerpt below.

Let’s start with the early days of your career. How was the journey of becoming a venture capitalist with your economic background?

We usually think we choose our journey, but sometimes it’s the journey that finds us. I graduated in the mid-’90s, and the digital industry was not developed back then. Some options include a state-owned enterprise (SOE), government-related, or Multinational. I chose the last one.

I began in the sales department for FMCG products, P&G. I admit that this experience has sharpened my marketing skills. Whatever you do, whether in sales, marketing, or engineering, at the end of the day, you have to be able to sell. People sell every part of themselves, their ideas, their skills, and their products. Communication sets of skills are essential.

Furthermore, I got a scholarship to Duke University in the US, catching my enthusiasm for the finance industry. I started in New York City with Morgan Stanley, then relocated to Singapore. I lived there for 12 years and finally returned to my home country to help build MCI.

You have experienced different cultures by studying and working in the US, then transferred to Singapore and living there for 12 years. Is there any significant impact on your journey?

Studying abroad has broadened my insight. With students and lecturers from different countries also brought different perspectives. Several trends are set outside the home country. For example, the “dot com” trend started in the US, and I am fortunate to experience it live. It goes along with investment terms, private funds, and so on that rise from the west. People with the privilege to study or work abroad can experience the trend and move back to leverage the movement in their home country.

In Singapore, people tend to be disciplined and punctual. Also, they are usually more individualist in terms of working culture. Colleagues do not necessarily become friends. They’re just in it for the job. Meanwhile, aside from the traffic that challenges time management in Indonesia, we are most likely to be social. Friends are pretty close and easily share contact. In other countries, privacy is precious.

During the journey, you’ve been occupying several positions. Which one do you cherish most?

I have been working in the capital market, where we need to keep an eye 24/7 to monitor the selling and buyout in the exchange. This situation has affected my working hours and communication in general, not mentioning about the time differences and the high volatility. It is pretty different from the dynamics of the startup industry. However, whichever, I should be able to enjoy the process.

How about the challenge after you’ve entered the VC industry?

In the startup industry, we’re investing in people, the founders. We need to build a relationship to know the person, which requires some time. That is one thing. Then, the pandemic came rattling, and some did not make it.

Recently, the startup industry is said to have a winter season. Some of these startups are yet to experience a correction, either topline or valuation. This condition is something they should learn from. Is it going to affect the runway? Should they be worried? What will the investors do? This way, we can finally see the founder’s character and which one will be resilient and survive during the hard times.

You’ve recently departed from Mandiri Capital Indonesia after 6,5 years of building and nurturing the CVC. What can you share about the experience, and where do you plan the next journey?

I was there from day one of MCI. I helped build the system, workflow, and SOP and shaped the company culture. We are not a giant company with massive resources. Therefore, we need to work efficiently. I need most of the team to be generalists and intrigued to know the work of the other groups. Work rotation is necessary. Everyone should learn everything before becoming a specialist.

As a CVC, we also need to take a risk, not to be reckless but calculated risks. It is fair to make mistakes as long as the process has been proper. However, not all decisions turn out to be what we planned. The culture is to know how to make a decision and be responsible.

It has been two terms, and I have officially departed from MCI. However, I’m still being an advisor during the transition to my new position. MCI is a long trip. My next journey is to build a new CVC for Bank Negara Indonesia (BNI). It may look similar to the last journey, but I’ve had my experiences and learned my lessons.

You were recently appointed as the Chairman of Amvesindo, a venture capital association for Indonesian startups. Do you think the industry has already in its ideal situation?

On a general note, the association covers not only the VCs but also startups (which are yet to have an independent association). It also becomes a discussion companion for regulators, bridging the concern of the two parties. It is the core and primary function in this industry.

It is yet to be ideal. However, this is a long journey. The important thing is that communication is way better than before. Startups, VCs, and the government have built an excellent start to walk through this journey.

Aside from the current job, do you have other interests to pursue?

I’m also an angel investor for some companies starting from scratch. Also, I’m currently a Chairman of the Amartha Hangtuah basketball club.
I have a mission for Indonesian basketball clubs can be profitable like the global ones, not just rely on the owner’s pockets. I’ve dreamed of them surviving with sponsorships, ticket merchandise, etc. The club should be self-sustainable.

Furthermore, I intend to improve athletes’ welfare in Indonesia. There are numerous stories about former athletes who live below the poverty line. It might be due to a lack of skills outside of sports or the unawareness of saving and investing. Every payday at the club, I help oversee and encourage them always to plan their expenses and set a pie for investment and savings. It’s solely for their future.

Eventually, I want to boost these clubs’ exposure, hoping they can plot for IPO one day. I wish to take my club to the next level and reach these milestones. Thus, I can wed my two passions, startups and basketball.

As a seasoned entrepreneur, is there anything you want to say to the younger generation who just started their journey?

This thing is essential. Whatever age you are, you must be eager to learn something new. Surround yourself with people who are more intelligent than you. If you walk into a meeting and are the smartest person in the room, you’re in the wrong room. Then, you cannot learn anything new. It includes when we’re in the organization, we must dare to hire people with expertise different from you. At a Director’s level, one must know to recruit people who are a thinker, not only executors.

I experienced several career pivots and must be ready to learn something new. Life is a series of continuous learning. Besides my current career path and basketball venture, I’m also a lecturer at Bina Nusantara University (Binus). Once I had a class of corporate students, and I had fun teaching and learning from them. The key is not to easily satisfied and feels like an expert.

Currently, I’m treasuring new technologies. I called it ABCD (Artificial Intelligence, Blockchain, Cloud Computing, and Database). I took a course in data science and machine learning. It’s my thirst to learn something I am yet to master. Lately, I’ve been interested in crypto meanwhile still focusing on sports management.

What’s your projection on the startup investment industry? Which sectors are resilient enough to get through this storm?

This winter season is a necessary evil. It’s a maturing process for Indonesian startups, which has had its seasons in the sun for a long time. Even though they can pass through the pandemic, now, with the downturn, it is a good thing, something to clear our sight.

All kinds of assets, stocks, commodities, everything has a cycle. Correction is inevitable. Then, the spring will come again. There are several schemes with B2B, B2C, B2B2C, and D2C. The one with the “burn money” strategy mainly lies on B2C. However, this is all going to change. Businesses should be able to outsmart this strategy.

My prediction goes with consolidation. There are so many e-commerce players. Are they all going to survive? I don’t think so. The market will eventually narrow, some will die or fall, and there will be few options. I root for consolidation and M&A in this ecosystem. Startups also need to plan for exits, which could be IPO or other mechanisms.

Idealisme Hipotesis Berinvestasi ala BTPN Syariah Ventura

BTPN Syariah Ventura turut serta mewarnai kehadiran corporate venture capital (CVC) di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Dalam catatan, sejauh ini sudah ada delapan CVC (Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, OCBC NISP) yang sudah beroperasi dan mengucurkan dana, kecuali BNI Modal Ventura yang baru mengumumkan kehadiran.

Masing-masing CVC memiliki mandat spesifik dari induk untuk mendukung keterbukaan terhadap inovasi yang berpotensi dapat digarap bersama ke depannya. Dalam konteks korporasi, pengembangan inovasi tidak bisa langsung direalisasikan dalam waktu cepat, meski sebenarnya siapa pun bisa melakukannya.

Kondisi yang sama juga diemban oleh BPTN Syariah Ventura. Dibandingkan perbankan lainnya, syariah sekalipun, bisnis utama BPTN Syariah adalah pembiayaan produktif untuk masyarakat pra/cukup sejahtera dengan nominal pinjaman mulai dari Rp2 juta dengan tenor satu tahun. Segmen ini berbeda dengan kebanyakan perbankan, makanya banyak kondisi-kondisi yang perlu dipertimbangkan saat BPTN Syariah melakukan digitalisasi.

Menariknya, karena induk BTPN Syariah Ventura ini adalah perbankan syariah, maka CVC-nya pun turut menyejajarkan diri. DailySocial.id berkesempatan untuk mewawancarai lebih dalam bersama Direktur Utama BTPN Syariah Ventura Ade Fauzan.

Hipotesis investasi

Dengan ranah bisnis yang tersegmentasi, kesempatan BTPN Syariah untuk masuk ke ranah digital ibaratnya pisau bermata dua. Sebab, proses digitalisasi di pedesaan dengan perkotaan adalah hal yang berbeda, termasuk dari kecepatan adopsinya. Kualitas jaringan internet adalah salah satu faktornya. Ade pun menyadari bahwa digitalisasi itu adalah suatu keniscayaan.

“Kami melihat bagaimana melakukan digital untuk segmen market-nya, makanya kami sebut teknologi untuk kebaikan. Tapi kami percaya perlu akselerasi lewat kolaborasi karena zaman sekarang muncul istilah baru, yakni kolaborasi, sebab memang tidak semua kebutuhan yang kita butuh itu harus bangun sendiri,” ujar Ade.

Sesuai mandat dari BTPN Syariah, hipotesis investasi yang dianut adalah mencari startup yang fokus pada pemberdayaan masyarakat pra/cukup sejahtera di kota lapis dua dan tiga. Dari total enam juta nasabah yang sudah terlayani di BTPN Syariah, harus mendapat nilai tambah dari setiap inovasi yang terjadi, dengan demikian kehidupan mereka semakin membaik.

Prinsip inilah yang akhirnya ditemukan dari Dagangan. Keputusan untuk menyuntik startup social commerce ini sebenarnya melalui tahapan yang tidak sebentar, bahkan jauh dari akhirnya BTPN Syariah Ventura resmi berdiri. Sedikit mengulang ke awal 2020, di situlah dimulainya kemitraan antara perusahaan dengan Dagangan.

Pada saat itu, Dagangan melakukan pilot project untuk mendukung para debitur BTPN Syariah untuk mengembangkan bisnis melalui pinjaman yang mereka terima. Dagangan menyediakan stok barang kelontong dalam bentuk paket-paket hemat yang bisa dibeli untuk nantinya dijual kembali oleh para mitra di lingkungan rumahnya. Karena berjualan barang kelontong, maka perputaran uangnya jauh lebih cepat hanya sekitar satu hingga dua hari saja.

“Ada kebutuhan untuk warung, yang mereka butuhkan akses terhadap barang. Nasabah kita bekerja sendiri untuk dukung keluarganya. Pain-nya access to supply, harus travel, harus tutup warung, artinya ada opportunity loss. Karena tidak sekadar barang, banyak startup yang menyediakan barang untuk warung, tapi yang sesuai BTPS cari tidak banyak, hanya Dagangan,” ucap Ade.

Dia melanjutkan, Dagangan mendedikasikan dirinya sebagai startup yang hanya menggarap kota lapis dua, tiga, dan empat, yang mana sejalan dengan strategi BTPN Syariah. Dari karakteristik model bisnisnya juga menarik karena Dagangan mengakomodasi nominal belanja dalam jumlah kecil, menyesuaikan dengan kebiasaan belanja pemilik warung.

“Pedagang kecil itu belanjanya dalam jumlah kecil, bukan botolan tapi sachetan. Nah Dagangan tipe barang-barangnya seperti itu, minimal order-nya juga tidak harus banyak. Kalau pemain lain itu minimal harus Rp1,5 jutaan. Kalau segitu [minimal belanja] nasabah kami enggak bisa order.”

Kemitraan tersebut berlanjut, sampai kedua perusahaan bahkan sudah mencapai integrasi API alias semakin serius karena mulai “buka dapur”. Kesepakatan tersebut diambil jauh sebelum BTPN Syariah Ventura peroleh izin dari regulator.

“Ke depannya kemitraan dengan Dagangan akan terus dilanjutkan, akan ada kolaborasi access to market untuk bantu perluas usaha kecil jangkau konsumen yang lebih luas.”

Setelah Dagangan, pihaknya akan terus mencari startup lainnya yang menyasar masyarakat desa dari berbagai vertikal. Meski tidak dirinci secara spesifik, BTPN Syariah mencari peluang-peluang kolaborasi dengan startup yang bermain di edtech, jual-beli digital, pelatihan, penyedia jasa pembayaran tagihan, penyedia barang perlengkapan rumah tangga, produsen/pemilik produk kebutuhan sehari-hari.

Layanan di atas diarahkan untuk membantu para konsumen BTPN Syariah yang terdiri dari nasabah, Mitra Tepat, Daya (program CSR), Ibu Tepat, dan lainnya.

Sumber: BTPN Syariah

Persaingan dengan VC

Hal menarik lainnya yang menjadi pertanyaan adalah mengapa baru sekarang BTPN Syariah masuk ke modal ventura, sementara korporasi lainnya sudah memulainya sejak empat hingga enam tahun lalu.

Ade pun menjawab bahwa terlambat atau tidaknya masuk ke modal ventura itu bicara mengenai prioritas. Bagi manajemen, kehadiran BTPN Syariah Ventura berada dalam momen yang tepat untuk mengakselerasi digital di induk perusahaan dan menciptakan ekosistem digital syariah.

“Tujuannya spesifik karena mandatnya sangat clear untuk bantu banknya [BTPN Syariah]. Karena proses bangun ekosistem digital syariah itu selama ini kita bangun sendiri. Ketika sudah berada di satu titik bisa ditinggalkan, source kita kemudian dialihkan untuk bangun VC. Jadi bukan terlambat atau tidak, tetapi memang kami atur milestone-nya.”

Dia menambahkan, prinsip yang selalu diunggulkan dari BTPN Syariah Ventura adalah selalu menjadi investor strategis, bukan ordinary investor atau investor yang mencari valuasi. Bagi Ade, valuasi adalah satu hal, tapi mengembangkan bisnis BTPN Syariah adalah hal terpenting.

Yuliati pengguna Dagangan dan pemilik warung di Desa Tempelsari, Kabupaten Sleman / Dagangan

“Ketika startup datang bantu nasabah kami tumbuh, maka mereka bantu BTPS tumbuh lebih besar. Kami sudah jalankan ini [bisnis bank syariah] sejak 2010 jadi kita tahu apa yang ultra mikro butuhkan, sekarang tinggal pilih yang mana dulu [mau diinvestasikan].

Karena menjadi investor strategis, pihaknya dapat menganalisis calon startup dengan memberikan pilot project dan akses ke nasabah. Dari situ, BTPN Syariah dapat mengukur efektivitasnya seperti apa, layak untuk dilanjutkan atau tidak. “Ketika masuk ke bisnis BTPS, market startupnya jadi bisa di-compare, sudah diukur risikonya. Beda halnya kalau mereka beda bisnis dengan kita, susah validasinya, jadi kita masuk ke area yang kita paham.”

Dana kelolaan BTPN Syariah Ventura tergolong mini, hanya Rp300 miliar (dari modal ditempatkan dan disetorkan penuh). Ade dan tim akan melakukan investasi dengan cerdas ke startup berkualitas. Proses investasi akan dilakukan dengan sabar dan tidak terburu.

Sebagai satu-satunya CVC syariah, sambung Ade, menjadi nilai unggul yang diberikan perusahaan kepada calon startup. Sebab, pihaknya memiliki dua orang Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memastikan bahwa operasionalnya sesuai dengan ketentuan syariah yang diatur oleh DSN MUI, OJK, dan regulator terkait lainnya.

“Jadi dalam setiap penyertaan modal yang kami lakukan, maka startup tersebut harus mendapatkan opini kesesuaian syariah dari DPS BTPN Syariah Ventura.”

Ia pun tak khawatir dengan persaingan berebut dengan VC lainnya. Setidaknya, dalam rencana bisnis BTPN Syariah Ventura, dapat mendanai satu startup tiap tahunnya. Sayangnya, Ade tidak menyebutkan ticket size yang akan diberikan untuk tiap investasinya. Hanya disebutkan tergantung dari penyertaan modal yang dilakukan untuk setiap model bisnis dan rencana startup tersebut.

“Kami sudah ‘berkencan’ dengan Dagangan sebelum mereka terkenal seperti sekarang. Kami akan mencari Dagangan-Dagangan lain yang masih kecil tetapi punya potensi yang kami tahu potensi itu bisa menyelesaikan masalah,” tutup Ade.

BNI Resmi Dirikan CVC, Ramaikan Ekosistem Pemodal Ventura di Dalam BUMN

PT Bank Negara Indonesia Tbk. mengumumkan pendirian entitas modal ventura bernama “PT BNI Modal Ventura”. Corporate Venture Capital (CVC) tersebut bertujuan untuk mendukung langkah perseroan dalam melakukan transformasi digital.

Dari keterbukaan yang diunggah di BEI, perusahaan menyetorkan dana 500 miliar Rupiah atau setara 500 ribu lembar saham, menjadikan 99,98% kepemilikan CVC oleh induk BNI — sisanya oleh PT BNI Asset Management.

Kabar tentang rencana terjunnya BNI ke ekosistem digital sebenarnya sudah terdengar sejak akhir tahun lalu. Tepatnya saat kabar Merah Putih Fund (MPF) mencuat. Seperti diketahui, dana kelolaan tersebut didukung oleh 5 BUMN lewat CVC-nya masing-masing, meliputi Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia. Waktu itu cuma BNI yang belum memiliki CVC, sementara 4 lainnya sudah.

Hingga saat ini belum diketahui, siapa yang akan menakhodai unit CVC milik BNI tersebut, juga thesis investasi yang akan digaungkan.

Mengutip Kontan, Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini menyatakan, dalam rangka mendorong penciptaan inovasi dan pertumbuhan digital di Indonesia, BNI bermaksud untuk turut aktif sektor ekonomi digital. Diharapkan dengan didirikannya BNI Modal Ventura akan memberikan dampak positif terhadap kinerja konsolidasi dan posisi BNI di industri.

CVC dari BUMN

Selain mandat untuk menemukan mitra bisnis yang tepat dalam melakukan transformasi digital dan sinergitas antarperseroan, beberapa BUMN menghadirkan unit CVC juga untuk memberikan nilai bisnis lebih bagi perusahaan. Hal ini ditengarai jalur exit yang semakin terukur atas investasinya di startup teknologi.

Kehadiran CVC BUMN juga bersaing dengan pemodal ventura yang ada di ekosistem startup. Mereka tidak hanya bergantung pada dana awal yang digelontorkan dari perusahaan induk, beberapa di antaranya membentuk dana kelolaan baru bersama mitra bisnis lainnya untuk memperluas cakupan startup yang dapat didanai.

BUMN CVC Dana Kelolaan Tambahan Portofolio (per Q1 2022)
Telkom MDI Ventures
    • Bio Health Fund ($20 juta bersama Bio Farma)
    • Centauri Fund (~$200 juta bersama KB Financial Group)
    • Arise ($40 juta bersama Finch Capital)
50+ startup di Indonesia, Asia Tenggara, dan Global
Telkomsel Telkomsel Mitra Inovasi n/a 12 startup di Indonesia
Bank Mandiri Mandiri Capital Indonesia Indonesia Impact Fund (undisclosed bersama UNDP) 15 startup di Indonesia
Bank Rakyat Indonesia BRI Ventures
    • Fundnel Secondaries Fund ($50 juta bersama Fundnel Group)
    • Sembrani Kiqani (undisclosed)
    • Sembrani Nusantara (~$10 juta)
18 startup di Indonesia dan Asia Tenggara

Hadirnya CVC ini jelas menjadi angin segar bagi ekosistem. Selain berinvestasi, beberapa dari mereka juga menghadirkan program pembinaan, seperti MDI melalui Indigo, BRI Ventures melalui beberapa kolaborasi program akselerasi, juga TMI melalui TINC.

Di sisi hipotesis investasi, melalui dana kelolaan yang dimiliki juga variannya sudah sangat meluas. Misalnya yang dilakukan BRI Ventures, tidak hanya fintech, kini mereka juga berinvestasi ke D2C dan kripto. Mandiri Capital juga memperluas hipotesisnya ‘beyond fintech’, mendukung startup yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam sektor keuangan. Ukuran tiket pendanaannya pun beragam, mulai dari seed sampai tahap akhir.

BCA to Allocates Rp400 Million in a New Managed Fund Central Capital Ventura

PT Bank Central Asia Tbk (IDX: BBCA) is to allocate IDR 400 billion to Central Capital Venture (CCV) to support investment into the startup ecosystem. BCA’s President Director Jahja Setiaatmadja said that CCV has invested in 26 startups.

In a press conference on BCA’s 2021 performance, Jahja said that the funds will be used to add more good quality startup portfolios, purposely to generate more profits later.

“We provide CCV the authority to determine which fields for its focus,” Jahja said as quoted from Katadata.

On the general note, CCV was formed as BCA’s investment arm to support the development of digital innovation within the company. CCV has a mission to create collaboration between BCA and portfolio, especially in terms of embedded finance.

Since the establishment of CCV in 2017, BCA has invested around IDR 200 billion focusing on the fintech vertical. Some of CCV’s portfolios include Akseleran, Qoala, and Oy!.

Based on the performance report in 2020, CCV has disbursed around Rp157 billion for investment, an increase of 20% from Rp119.3 billion in the previous year. CCV also secured an operational profit of IDR 1.71 billion from a loss of IDR 1.7 billion in 2019.

In addition to CCV, BCA established a new digital bank, BCA Digital, which focuses on being a tech incubator and expanding the ecosystem under the parent company. BCA Digital was officially established in mid-2021 by launching the “blu” mobile banking application.

CVC in 2021

Based on our records, several corporate venture capital (CVC) in Indonesia are still actively investing in startups throughout 2021. Last year, PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) and PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS) formed a new CVC named BTPNS Ventura.

The thing is, we oobserve that several CVCs started to offer different initiatives apart from new managed funds. For example, MDI Ventures introduced the eMerge platform to connect a network of angel investors and startups in Indonesia.

There is also a collaboration between MDI Ventures and cryptocurrency exchange platform Binance to form a consortium through a joint venture. This collaboration is carried out to develop a digital asset exchange platform in Indonesia.

Corporate Venture Capital (CVC) in Indonesia / Source: DS Research

Furthermore, we have BRI Ventures that started to expand its investment vertical by introducing the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) with Tokocrypto. The goal is to empower startup projects with blockchain technology and tokenization in Indonesia.

Moreover, the Government launched the Merah Putih Fund (MPF) last year as an effort to encourage the acceleration of innovation, digital potential, and startups in Indonesia. The government involved the five SOEs including Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, and BNI to manage the MPF with a Rp4.3 trillion funding.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BCA Menambah Dana Kelolaan Central Capital Ventura Senilai Rp400 Miliar

PT Bank Central Asia Tbk (IDX: BBCA) akan mengalokasikan dana sebesar Rp400 miliar ke Central Capital Ventura (CCV) untuk mendukung upaya investasi ke ekosistem startup. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menyebutkan bahwa CCV telah berinvestasi ke 26 startup hingga saat ini.

Dalam konferensi pers paparan kinerja BCA 2021, Jahja mengatakan bahwa dana tersebut digunakan untuk menambah portofolio startup berkualitas bagus dan dapat menghasilkan keuntungan nantinya.

“Kami memberikan wewenang kepada CCV untuk menentukan bidang mana yang akan dimasuki,” ujar Jahja seperti dikutip dari Katadata.

Sebagai informasi, CCV dibentuk sebagai perpanjangan investasi BCA untuk mendukung pengembangan inovasi digital di lingkup perusahaan. CCV memiliki misi untuk menciptakan kolaborasi antara BCA dan portofolio, terutama peluang embedded finance.

Pada awal pendirian CCV di 2017, BCA menyuntik dana sebesar Rp200 miliar dengan fokus utama pada vertikal fintech. Beberapa portofolio CCV antara lain Akseleran, Qoala, dan Oy!.

Berdasarkan laporan kinerja di 2020, CCV telah menyalurkan investasi sebesar Rp157 miliar atau naik 20% dari Rp119,3 miliar di tahun sebelumnya. CCV juga mengantongi laba operasional sebesar Rp1,71 miliar dari kerugian Rp1,7 miliar di 2019.

Selain CCV, BCA mendirikan bank digital baru BCA Digital yang berfokus sebagai tech incubator dan memperluas ekosistem yang sudah dimiliki oleh induk usaha. BCA Digital resmi berdiri pada pertengahan 2021 dengan meluncurkan aplikasi mobile banking “blu”.

Gerak CVC di 2021

Berdasarkan catatan kami, sejumlah corporate venture capital (CVC) di Indonesia masih aktif berinvestasi ke startup di sepanjang 2021. Tahun lalu juga ada kemunculan CVC baru bentukan PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS), yakni BTPNS Ventura.

Menariknya, kami melihat beberapa CVC di antaranya mulai menghadirkan inisiatif berbeda selain menambah dana kelolaan baru. Misalnya, MDI Ventures memperkenalkan platform eMerge untuk menghubungkan jaringan angel investor dan startup di Indonesia.

Ada juga kolaborasi MDI Ventures bersama platform pertukaran mata uang kripto Binance untuk membentuk konsorsium melalui joint venture. Kolaborasi ini dilakukan untuk mengembangkan platform pertukaran aset digital di Indonesia.

Corporate Venture Capital (CVC) di Indonesia / Sumber: DS Research

Kemudian, BRI Ventures juga mulai melebarkan vertikal investasinya dengan mendirikan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) bersama Tokocrypto. Tujuannya adalah memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

Tak kalah penting, tahun lalu Pemerintah meluncurkan Merah Putih Fund (MPF) sebagai upaya untuk mendorong akselerasi inovasi, potensi digital, dan startup di Indonesia. Pemerintah melibatkan sebanyak lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, dan BNI untuk mengelola MPF dengan dana kelolaan fase awal sebesar Rp4,3 triliun.

Mandiri Capital Lanjutkan Tesis Investasi “Beyond Fintech”, Siap Danai Empat Startup Baru Tahun Ini

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengungkapkan akan menyuntik tiga hingga empat startup baru yang bergerak di sektor fintech dan fintech enabler sepanjang tahun 2022 ini. MCI akan masuk dengan nominal mulai dari Rp100 miliar ke atas ke tahapan investasi yang lebih beragam dari tahap awal hingga seri C, melalui fund yang berbeda-beda di bawah naungan MCI.

Vertikal startup yang diincar “beyond fintech”, mulai dari corporate enabler, SME enabler, wealthtech, earned wage access (EWA), logistic tech, dan edutech. Kepada DailySocial.id, Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro mengatakan strategi tesis MCI dalam berinvestasi itu bergantung pada fund yang dikelola. Bila fund tersebut datang dari Mandiri Group, sudah tentu harus berkaitan dengan mandat grup, yakni mendorong inisiatif transformasi dan dampak positif bagi Mandiri Group melalui optimalisasi sinergi.

“Kami selalu mencari apa kebutuhan dari grup, seperti itu tesisnya. Baru kemudian mencari startup-startupnya. Dana dari Mandiri juga terus bergulir, terkadang bisa untuk dua tahun, atau ada setahun dua kali, itu semua kembali lagi dari kebutuhannya,” kata Eddi.

Menurut dia, sejauh ini MCI baru mengelola dua fund aktif. Pertama, fund yang dananya bersumber dari Mandiri Group. Kedua, Indonesia Impact Fund (IIF) yang menitikberatkan pada startup yang menciptakan dampak lingkungan dan sosial merujuk pada lima tujuan dalam SDG (sustainable development goals). Untuk IIF sejauh ini telah menyuntik satu startup dengan detail dirahasiakan.

Eddi juga mengonfirmasi bahwa fund baru yang menargetkan pada LP di luar Mandiri Group masih berlangsung sampai sekarang. Dia beralasan mandegnya rencana tersebut disebabkan oleh pandemi Covid-19. Awalnya, rencana tersebut sudah dibentuk sejak 2019 dengan target dana sebesar $100 juta. MCI sudah melakukan roadshow ke Jepang dan Korea Selatan untuk proses penggalangan dananya.

Tahun 2021

Sepanjang tahun lalu, MCI berpartisipasi dalam tujuh pendanaan, terdiri atas tiga investasi baru dan empat investasi follow-on. Bila dirinci sebagai berikut, I) investasi baru untuk Bukalapak, dalam pendanaan Pra-IPO dengan nominal dirahasiakan; II) AyoConnect untuk pendanaan pra-seri B dengan jumlah total sekitar Rp143 miliar; III) startup insurtech pada pertengahan Desember 2021.

Sementara, untuk investasi follow-on, terdapat investasi ke Amartha dengan jumlah total lebih dari Rp510 miliar; V) iSeller untuk pendanaan pra-seri B dengan total suntikan dana Rp120 miliar; VI) Crowdee untuk pendanaan seri B, dan VII) PrivyID untuk pendanaan seri B dengan nilai lebih dari Rp251 miliar.

Menjelang akhir tahun lalu, MCI bersama empat CVC BUMN lainnya dilibatkan oleh pemerintah untuk mendukung Merah Putih Fund (Dana Ventura Merah Putih atau MPF). MPF adalah sebuah inisiatif dari Kementerian BUMN sebagai dana kelolaan yang bertujuan untuk mengakselerasi startup lokal yang berpotensi menjadi unicorn.

Dalam fase pertama, MPF akan menutup dana kelolaan sebesar $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah yang didukung lima BUMN. Sejauh ini MPF belum beroperasi, baru diumumkan secara resmi oleh Presiden. Lima CVC BUMN yang terlibat dalam awal pembentukan dana kelolaan ini, termasuk MCI, masing-masing akan mengirimkan perwakilan untuk ditempatkan sebagai ‘Co-Fund Manager.’

Target investasi yang dibidik adalah tahap lanjutan untuk startup yang masuk status soonicorn/centaur.

Several Findings on the Merah Putih Fund

The government recently announced the “Akselerasi Generasi Digital”, a collaborative movement to support the acceleration of digital potential, innovation, and startup development in Indonesia. There are three main programs, including the Merah Putih Fund, Indonesia Digital Tribe, and Microcredential.

Indonesia Digital Tribe is a ‘skill and mindset’ educational program that aims to produce the next generation of founders. Also, it is to fulfill talent requirements in the rapidly growing local tech industry. Meanwhile, Microcredential is an internship program for a hands-on experience in tech companies – synergizing with the Kampus Merdeka program initiated by the Ministry of Education and Culture.

The Merah Putih Fund is an initiative of the Ministry of SOEs to accelerate local startups with great potential to become unicorns. It will be focused on capital provision and business collaboration to generate synergies in various industrial sectors.

In order to find out more about this fund, we had the opportunity to speak with Mandiri Capital Indonesia‘s CEO, Eddi Danusaputro, who is also a committee member of the Merah Putih Fund.

First managed fund

In its first phase, the Merah Putih Fund (MPF) is to close $300 million or equivalent to 4.3 trillion Rupiah managed fund; supported by five SOEs including Telkom, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, and Bank Negara Indonesia. In the second phase, Eddi said MPF will invite other SOEs to participate – as well as several Indonesian based private companies, including the Indonesia Investment Authority (INA).

“I think MPF will focus on local companies and yet to raise funds from foreign [LPs or companies],” Eddi said.

Currently, the MPF is yet to run full operation, the President has just officially announced it. Once it started, this investment unit will be led by representatives from 5 CVCs who were involved in the initial formation, including Mandiri Capital Indonesia, MDI Ventures, Telkomsel Mitra Innovation, BRI Ventures, and BNI. Each will assign a representative to become a ‘Co-Fund Manager’.

Investment category

Eddi said that there was no quantity objective for startups of the first managed fund, the focus was on the quality of startups. In the aim to deliver new unicorns, MPF will focus on providing advanced funding, particularly for centaur or soonicorn startups – valued at over $100 million.

There are 3 main requirements for startups to receive MPF funding. First, the majority of founders are Indonesian citizens. Second, the company’s operation [can be defined as the head office and main base] is in Indonesia. And third, planning a roadmap to go public on the Indonesia Stock Exchange.

“Regarding the sector, we are not targeting a specific industry. In fact, any field of startups can be invested. However, they must fulfill the three conditions above,” Eddi added.

He also said, there is no certain amount of ticket size for the investment. It will depend a lot on the agreement and demand for each startup.

“It has been discussed from the beginning. Each of us operates CVC with a specific purpose. However, in terms of MPF, the resulting investment decisions are collective and based on the majority of votes, therefore, it will avoid conflicts of interest,” Eddi said.

Startup selection

Later, the team involved in MPF will be actively searching for potential startups and creating opportunities for founders to pitch. However, there is no specific plan can be announced at this moment.

According to DailySocial.id’s data, there are currently around 50 centaurs startups, some of which have valuation over $500 million – waiting for the last funding round to become unicorns.

The IDX go public roadmap will be highly emphasized. Eddi said, it is simply to create a healthy ecosystem – investment is used as a starting point, and exit through an IPO is the end point of an investment lifecycle.

“Several SOEs have CVCs and have its own ways, through the Merah Putih Fund, we unite the spirit and vision to create a digital economy and a healthy digital ecosystem in Indonesia,” Eddi said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian