Laporan DSResearch: Kolaborasi Pemberdayaan UKM 2020

Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) menjadi komponen penting dalam perekonomian di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, per tahun 2018 tercatat ada lebih dari 64 juta UKM yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka berhasil menyerap 95% dari total tenaga kerja nasional.

Melihat dampak yang diberikan, maka terlihat jelas bahwa UKM memiliki peranan yang krusial, sehingga layak untuk dijaga penetrasinya. Namun pada kenyataannya bisnis di skala tersebut banyak yang masih rentan, disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya dari sisi internal, operasional bisnis yang belum tangkas sehingga menyulitkan untuk melakukan ekspansi. Kemudian faktor eksternal, contohnya terkait disrupsi teknologi.

Beberapa inisiatif lantas digulirkan oleh berbagai pihak, dengan menghadirkan inovasi untuk pecahkan masalah spesifik UKM, khususnya menggunakan pendekatan berbasis teknologi. Guna melihat sejauh mana upaya pemberdayaan tersebut, DSResearch berkolaborasi dengan Mandiri Capital Indonesia melakukan sebuah riset bertajuk “Small-Medium Enterprise Empowerment”.

Adapun pembahasan yang dirangkum dalam laporan mencakup:

  1. Lanskap UKM Global; membahas tren pertumbuhan UKM di dunia, termasuk inovasi dan adopsi teknologi yang dilakukan untuk optimalkan laju bisnis.
  2. Lanskap UKM di Indonesia; membahas perkembangan UKM di Indonesia, mengenai sektor populer, distribusi & klasifikasi bisnis, hingga adopsi teknologi sejauh ini.
  3. Tantangan UKM di Indonesia; membahas berbagai tantangan umum yang ditemui pelaku UKM di Indonesia, beberapa yang diutarakan terkait isu finansial, operasional, dan ekspansi.
  4. Solusi Strategis untuk UKM; mendalami solusi yang telah dihadirkan untuk UKM di Indonesia, dengan memetakan startup, produk, dan layanan digital yang sudah mulai diaplikasikan.

Studi kasus turut dibubuhkan ke dalam laporan, untuk memberikan perspektif langsung dari para pelaku UKM.

Untuk pembahasan selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: “SME Empowerment Report”.


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan pengembang solusi-solusi untuk UKM di Indonesia.

Laporan DSResearch: Inovasi Strategis dalam Teknologi Asuransi

Kendati penetrasinya belum besar, bisnis asuransi diproyeksikan akan memiliki nilai fantastis di waktu mendatang. Banyak faktor pendorongnya, misalnya kesadaran pengguna yang semakin meningkat untuk memiliki jaminan hidup yang lebih baik. Terlebih, produk-produk asuransi juga mulai menyasar segmen yang lebih terjangkau, contohnya saat ini mulai marak produk asuransi perlindungan gadget, asuransi perjalanan, dan lain sebagainya; dijajakan dengan harga yang relatif murah.

Dalam rangka mengakselerasi proses penetrasi tersebut, berbagai strategi dilakukan tak terkecuali melalui inovasi teknologi. Terminologi “insurtech (insurance technology)” menjadi ramai akhir-akhir ini, dibarengi dengan banyak pemain startup yang terjun menggarap sektor tersebut. Catatan menariknya, alih-alih mengganggu legasi bisnis yang sudah ada, insurtech berpeluang besar bersinergi dengan perusahaan asuransi untuk menjangkau pangsa pasar yang lebih luas.

Guna melihat tren dan peluang sinergi tersebut, DSResearch berkolaborasi dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) merilis sebuah white paper bertajuk “Insurtech Strategic Innovation”. Di dalamnya merangkum banyak hal, berikut gambaran singkat untuk masing-masing dari tujuh bab yang menjadi pembahasan utamanya:

  1. Mendalami konsep dasar insurtech; menggali tentang apa saja yang dilakukan insurtech dalam upayanya mendemokratisasi bisnis asuransi melalui sentuhan digital. Termasuk melihat peranan berbagai stakeholder dalam perkembangan ekosistem insurtech secara global.
  2. Lanskap bisnis insurtech global; mencatat perkembangan produk teknologi asuransi di dunia dan tren produk terkini yang banyak dikembangkan. Secara spesifik menyusuri pasar di Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Asia Tenggara.
  3. Lanskap bisnis insurtech di Indonesia; perkembangan insurtech di Indonesia, termasuk mendalami pemahaman dan ketertarikan masyarakat terkait penggunaan teknologi untuk memenuhi kebutuhan asuransinya. Turut dipetakan juga beberapa startup teknologi di bidang asuransi yang sudah beroperasi di Indonesia dan model bisnis yang diaplikasikan.
  4. Modernisasi bisnis asuransi dengan teknologi; mengungkap urgensi transformasi digital dalam bisnis asuransi, termasuk menampilkan studi kasus mengenai kolaborasi yang mungkin dilakukan oleh perusahaan asuransi dan startup teknologi di Indonesia.
  5. Tantangan inovasi insurtech; berisi perspektif dari pemain industri mengenai tantangan yang mereka temui dalam mentransformasikan bisnis asuransi perusahaannya ke ranah digital.
  6. Gambaran inovasi terkini di bidan asuransi; memetakan inovasi teknologi asuransi yang ada di Indonesia untuk mengakomodasi berbagai proses bisnis; beserta bentuk-bentuk platformnya.
  7. Studi kasus sinergi perusahaan dengan startup; membahas berbagai kerja sama strategis yang berhasil dilakukan perusahaan asuransi dan startup teknologi di berbagai negara.

Untuk bahasan selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: Insurtech Strategic Innovation 2020.

Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan turunannya, termasuk insurtech.

5 Sorotan Utama Industri Startup di 2020

DSResearch baru saja menerbitkan Startup Report 2019 yang didukung Bank Mandiri dan Vidio. Ada sejumlah paparan menarik yang terkumpul dalam laporan ini, mulai dari iklim investasi hingga peluang pertumbuhan dari bisnis vertikal baru di luar e-commerce dan ride-hailing.

Laporan ini juga menyoroti persaingan ketat startup online travel agent atau OTA yang saat ini masih dikuasai oleh startup unicorn Traveloka dengan valuasi $4,5 miliar di 2019 dan Tiket.com yang dicaplok oleh Blibli.com di tahun yang sama.

Kemudian, persaingan juga masih terjadi pada sektor veteran e-commerce. Saat ini lima posisi teratas e-commerce Indonesia diduduki oleh Shopee, Lazada, Tokopedia, Blibli,com, dan JD.id.

Untuk mengetahui paparan menarik selanjutnya, simak ulasan Editor in Chief DailySocial Amir Karimuddin pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Gojek jadi “decacorn” dan potensi merger dengan Grab

Startup Report 2019 menyoroti status baru Gojek sebagai “decacorn” pertama di Indonesia, setelah menerima suntikan dana putaran seri F dari tiga perusahaan Mitsubishi. Dengan pendanaan baru ini, Gojek kini bernilai sebesar lebih dari $10 miliar.

Namun, valuasi ini juga belum tentu menjamin proyeksi profitabilitas Gojek ke depan. Apalagi jika Gojek berencana untuk menggunakan mayoritas pendanaan ini untuk mengakuisisi pasar secara eksponensial lewat strategi diskon atau promo harga.

Dalam hipotesisnya, Amir menilai Gojek belum dapat mengantongi untung meskipun startup ini sudah menjadi layanan top of mind bagi masyarakat Indonesia. Menurutnya, bisa jadi pendapatan yang diperoleh belum mampu menutup biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi pasar.

Padahal, layanan ride-hailing di Indonesia cuma didominasi dua pemain, yakni Gojek dan Grab. Kondisi duopoli tak serta merta membuat kedua startup ini meraih untung. Contoh paling relevan adalah kasus duopoli Uber dan Grab di Singapura. Meski ujung-ujungnya merger juga, toh untungnya belum signifikan.

“Di level maturity ini, investor sudah mulai minta return ke LP, mereka harus cari cara untuk exit. Jika caranya lewat IPO, salah satu yang dikejar adalah profitabilitas. Untuk mencapainya, mungkin ya, melalui monopoli. Tidak ada persaingan, mereka bisa menentukan value yang ditargetkan,” jelasnya.

Namun, tambahnya, perlu digarisbawahi bahwa aksi monopoli belum tentu membuat pelayanan pelanggan menjadi lebih baik. Pelanggan dinilai tidak punya bargaining power karena tidak ada pilihan. Jika ada kelanjutan “cerita” dari situasi duopoli tersebut, Amir menilai para stakeholder perlu melihat sekop yang lebih luas, tak hanya bisnis tapi juga regulasi.

Angin segar iklim investasi startup 2019

Sorotan selanjutnya adalah iklim investasi startup di Indonesia di sepanjang 2019. Startup Report 2019 mencatat ada 113 transaksi yang diumumkan ke publik dengan total nilai sebesar $2,95 miliar. Jumlah transaksi ini jauh lebih besar dari tahun 2017 (67 transaksi) dan 2018 (71 transaksi).

Yang menarik, jumlah transaksi pendanaan seri A naik dua kali lipat sebanyak 31 transaksi dibandingkan 2018 sebanyak 15 transaksi. Dari sisi kontribusi nilai, Gojek “memakan” lebih dari separuhnya dengan suntikan $2 miliar. Sisanya tak sampai $1 miliar dibagi ke 112 transaksi lain.

“Tahun 2019 memberikan angin segar bagi para pemain industri yang sudah mulai mature. Artinya, mulai banyak VC yang masuk ke later stage karena mereka sudah menyiapkan ‘anak VC’ lain untuk main di stage di bawahnya,” ujar Amir.

Jika dirinci dari bisnis vertikal, financial menjadi sektor terbanyak yang menerima pendanaan. Kemudian diikuti oleh layanan e-commerce, on-demand, dan SaaS.

“Meski sektor ini kurang seksi karena B2B, tapi SaaS memiliki potensi pertumbuhan yang bagus karena ada jaminan revenue lebih baik dibanding layanan yang masuk ke pasar ritel,” ucapnya.

‘Seleksi alam’ industri startup di 2020

Amir memperkirakan bakal ada sejumlah startup bakal mendulang pertumbuhan bisnis luar biasa dikarenakan pandemi COVID-19. Sebaliknya, sejumlah startup juga bakal menghadapi cobaan besar akibat wabah ini. Yang sudah pasti adalah startup di sektor online travel agent (OTA) dan turunannya.

Situasi saat ini dinilai dapat menjadi ‘seleksi alam’ bagi startup apapun. Untuk melewati krisis ini, leadership menjadi hal yang patut dimiliki oleh pemimpin startup. Mereka perlu menyikapi sejumlah hal dengan cepat.

“Kalau ada startup yang tidak bisa melihat kondisi keuangan dalam setahun ke depan, mungkin sulit bagi mereka untuk bertahan. Tapi, startup yang tetap produktif, mampu mempertahankan layanan di situasi sekarang, dan dapat beradaptasi dengan penerapan WFH bisa bertahan ke depan. Situasi ini jauh lebih sulit dibandingkan krisis ekonomi yang lain,” tuturnya.

3 sektor yang bakal curi perhatian di 2020

Lebih rinci perihal prediksi di atas, Amir memperkirakan ada tiga vertikal bisnis startup yang bakal mencuri perhatian di tahun 2020, yakni pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Pemicu terbesarnya adalah pandemi COVID-19 yang bakal mendongkrak pertumbuhan luar biasa.

Ambil contoh startup edtech Ruangguru yang bekerja sama dengan operator Telkomsel untuk menggratiskan layanannya. Startup ini panen traction karena pemerintah meliburkan sekolah dan perkuliahan.

Kemudian, startup agritech yang mencoba memberikan solusi dari hulu ke hilir. Salah satu startup yang mengakomodasi hal ini adalah TaniHub yang memiliki anak usaha TaniFund dan TaniSupply. Sektor agritech tentu menarik bagi pasar Indonesia sebagai negara agraris. Dengan situasi seperti ini, permintaan layanan e-groceries tentu akan meningkat.

Terakhir adalah healthtech. Situasi saat ini mewajibkan masyarakat Indonesia untuk menomorsatukan kesehatan. Tak heran apabila layanan healthtech yang didominasi Halodoc (67,7%) dan Alodokter (28,5%) bakal mendapatkan traction tinggi.

“Belum lagi bicara layanan turunannya, seperti insurtech. Ada banyak pemain baru yang menawarkan produk inovatif, terutama berkaitan micro insurance, tambah Amir.

Test case bagi startup edtech

Masih berkaitan dengan pandemi. Amir juga menyoroti penuh tentang bagaimana situasi ini dapat menjadi ajang pembuktian layanan edukasi online yang selama ini digencarkan oleh startup edtech seperti Ruangguru, Zenius, dan Quipper.

“Suka tidak suka, pandemi COVID-19 dapat menjadi jawaban apakah solusi yang diterapkan platform teknologi pendidikan benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat, terutama di segmen grassroot. Selain itu, inisiasi sejumlah startup untuk menggratiskan layanan turut mendorong adopsi menjadi lebih besar,” katanya.

Krisis kesehatan global ini juga dinilai dapat mengubah cara belajar-mengajar masyarakat Indonesia ke depan, di mana solusi edtech bisa jadi jawabannya. Hal ini karena selama ini Indonesia belum melihat urgensi dari adopsi edtech dan e-learning hanya menjadi ‘suplemen’ pembelajaran. 

“Dengan kondisi sekolah [dan kampus] ditutup, ini akan menjadi test case menarik apakah mereka siap untuk menjadi platform primer, tidak hanya suplemen. Kita akan lihat sepanjang tahun ini,” tutupnya.

Laporan DSResearch: Startup Report 2019

Startup digital saat ini menjadi elemen penting perekonomian bangsa. Dampaknya dirasakan oleh berbagai kalangan. Mulai dari UKM yang diakselerasi dengan online marketplace, akses pendidikan yang makin terjangkau lewat edutech, hingga sistem keuangan yang lebih luas berkat fintech. Selain itu, masih banyak sektor lain yang berhasil terbantu melalui demokratisasi teknologi produk startup.

Pun ditinjau dari sisi bisnis, berbagai peluang yang ada seperti pangsa pasar yang besar dan keterbukaan regulator terhadap investasi, membuat para founder mantap memulai bisnis digitalnya. Terbukti hingga tahun 2019 Indonesia telah miliki ribuan startup dengan 1 decacorn, 6 unicorn, dan 27 centaur.

Untuk meninjau mengenai perkembangan startup digital sepanjang tahun lalu, DSResearch mempersembahkan laporan riset bertajuk “Startup Report 2019: Scaling Through Technology Democratization”. Laporan ini berisi banyak empat bagian utama terkait pangsa pasar, tren startup, aksi korporasi, dan isu serta peluang yang masih terbuka lebar.

Beberapa pembahasan yang terangkup dalam laporan meliputi:

  1. Tahun 2019 tercatat ada 113 pendanaan startup yang disampaikan ke publik. Dari 59 transaksi yang diumumkan nominalnya, total yang berhasil dibukukan mencapai $2,9 miliar.
  2. Startup di sektor finansial mendominasi pendanaan startup sepanjang tahun 2019, disusul produk berbasis SaaS dan layanan e-commerce.
  3. East Ventures jadi investor yang paling banyak memberikan pendanaan, totalnya ada 19 transaksi sepanjang tahun 2019. Sementara MDI Ventures yang paling banyak menoreh exit, 4 melalui akuisisi dan 1 IPO.
  4. Sektor “New Retail” mendapatkan peluang besar untuk bertumbuh. Beberapa startup seperti GrabKios, Warung Pintar, Kopi Kenangan dan Fore Coffee berhasil merangkul jajaran investor yang kuat untuk membantu bisnisnya berkembang.

Selain empat poin di atas, masih banyak pembahasan lain yang ada di laporan. Termasuk daftar lengkap pendanaan startup, gambaran vertikal bisnis yang paling bertumbuh sepanjang tahun, hingga isu-isu yang masih banyak dihadapi ekosistem. Selengkapnya, unduh gratis Startup Report 2019.


Disclosure: DSResearch bermitra dengan Bank Mandiri dan Vidio dalam penerbitan laporan ini.

Classifying the Centaur Startups in Indonesia

Centaur or aspiring unicorn is commonly used to call startups that have reached valuations of more than $100 million (1.4 trillion Rupiahs) and under $1 billion (14 trillion Rupiahs). One way to measure valuation is based on funding obtained from investors.

The rapid development of the Indonesian ecosystem has brought many startups to the later stage funding – series A round or above. The good implication is, many Indonesian startups have succeeded in holding the centaur degree today.

Without a specific list, according to the Temasek report, Google, and Bain & Company there are more or less 70 centaur startups in Southeast Asia. As for Indonesia, based on research conducted by DSResearch earlier this year, there are at least 27 startups, most of which have been confirmed to have valuations above US$ 100 million.

Listed below the centaur startups:

centaur startups

Vertical business analysis

In terms of business verticals, the scope is quite diverse even though it’s dominated by fintech and e-commerce. The trend is quite similar if you look at the list of existing local unicorns, 3 out of 6 players are in the e-commerce sector. Meanwhile, based on the business model a.k.a the revenue streams they relied on, the distribution is quite balanced, there are 13 startups implemented the B2C model, 10 startups in the B2B model, and the rest (4 startups) are targeting both through B2B2C.

startup centaur

In terms of B2B models, there are three fintech lending, two SaaS, and one each for the marketplace, logistics, media, and fintech payment. Although each of them offers services to businesses, some are closely related to transactional businesses at the consumer level.

The p2p lending for example, even though the funds collected from the players distributed to SMEs, their funds are still collected from individual investors. The developed platform is intended for anyone can access the capital flow and act as an investor even though (maybe) it does not provide direct profits because the interest on loans and other costs is charged to the borrowers.

It’s similar to Moka in the SaaS sector. Although the presented features are to embrace micro-businesses, applications, and road services to accommodate the needs of consumer transactions at offline merchants. Its business regulates transactions and cash flow within.

In terms of B2C, it is even clearer because it charges fees to consumers using the products or services. It’s no doubt the buy and sell based business, financial transactions or subscriptions model become the most widely developed.

Market momentum

The fundamental reason that makes successful centaur businesses is market readiness. If only the penetration run in 5 or 10 years ago, the results might not be this significant. Take Payfazz for example, as one of the startups with quite fast business acceleration.

Payfazz application allows partners (the average shop owner) to serve various virtual items sales, such as balance top-up, electricity tokens, insurance payments, money transfers and so on. According to Kemenkopukm, there are around 64 million SMEs in Indonesia with 46.27% engaged in trading, including stall owners. In terms of customer community, the services provided are familiar with daily needs. Economic value is spinning fast in related commodities.

The big pie is now being fought over by other giant digital players, such as e-commerce platforms flocking to strengthen partnership programs with kiosk – Bukalapak, Tokopedia and now Shopee.

Online shopping has become a culture that gives good impact on e-commerce in providing more specific services. For example, what HappyFresh did through the application that allows the public to get guaranteed fresh food. However, the GMV projections for this business will continue to increase to US$ 82 billion by 2025 .

It is very clear on fintech sector, at least 92 million adults in Indonesia are yet to experience financial or banking services (unbankable) will be the potential market.

The right direction

In fact, more startups have been operating for years but yet to reach the centaur valuation. This phenomenon had become a hot conversation, because of the funding gap issue. As the startups that have passed early-stage funding failed to convince later-stage investors.

Furthermore, the numbers presented in the metrics become important for investors. And those numbers will increase sharply whether the business can truly accommodated the necessary stuff for many people, no matter how sophisticated the solutions offered.

The founder intuition to execute the business in the right momentum is one of the keys to the result of 27 startups might soon catch up with their seniors, joining the unicorn line.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengidentifikasi Startup-Startup “Centaur” di Indonesia

Centaur atau aspiring unicorn adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta (1,4 triliun Rupiah) dan di bawah $1 miliar (14 triliun Rupiah). Valuasi sendiri salah satunya diukur berdasarkan pendanaan yang didapat dari investor.

Perkembangan pesat ekosistem di Indonesia membawa banyak startup ke pendanaan later stage – putaran seri A atau di atasnya. Implikasi baiknya, kini banyak startup Indonesia yang berhasil menyandang gelar centaur.

Kendati tidak didaftar, menurut laporan Temasek, Google dan Bain & Company saat ini ada sekitar 70 startup centaur di Asia Tenggara. Adapun di Indonesia, berdasarkan riset yang dilakukan DSResearch awal tahun ini, setidaknya ada 27 startup yang kebanyakan sudah dikonfirmasi memiliki valuasi di atas US$100 juta.

Berikut adalah daftar startup-startup centaur tersebut:

Startup Centaur Indonesia

Analisis vertikal bisnis

Ditinjau dari vertikal bisnis yang dilakoni, cakupannya cukup beragam kendati fintech dan e-commerce jadi yang mendominasi. Trennya masih sama jika melihat daftar unicorn lokal yang ada, 3 dari 6 pemain adalah di bidang e-commerce. Sementara itu jika ditinjau dari model bisnisnya alias kanal revenue stream yang diandalkan, pembagiannya juga cukup berimbang, sebanyak 13 startup terapkan model B2C, 10 statup di model B2B, dan sisanya (4 startup) menyasar keduanya melalui B2B2C.

Startup Centaur Indonesia

Untuk model B2B ada tiga fintech lending, dua SaaS, dan masing-masing satu untuk marketplace, logistik, media dan fintech payment. Kendati masing-masing tawarkan layanan kepada bisnis, sebenarnya beberapa bersinggungan erat dengan bisnis transaksional di level konsumer.

Di p2p lending misalnya, kendati dana yang terkumpul dari pemain di atas fokus didistribusikan untuk UKM, dana mereka tetap dihimpun dari investor perorangan. Platform dikembangkan memang bertujuan agar siapa saja dapat mengakses alur permodalan dan bertindak sebagai investor kendati (mungkin) tidak memberikan profit secara langsung, karena bunga pinjaman dan biaya lainnya dibebankan kepada peminjam.

Pun demikian Moka di sudut SaaS. Kendati fitur-fitur yang disajikan merangkul para pebisnis mikro, aplikasi dan layanan jalan untuk mengakomodasi kebutuhan transaksi konsumen di merchant offline. Bisnisnya mengatur transaksi dan arus kas di dalam bisnis.

Bagi B2C makin lebih gamblang, karena mengenakan biaya dari konsumen atas produk atau layanan yang diberikan. Tak ayal bisnis berbasis jual beli, transaksi keuangan atau berlangganan jadi yang paling banyak dikembangkan.

Momentum pasar

Alasan mendasar yang membuat bisnis-bisnis centaur moncer adalah kesiapan pasar. Jika penetrasi dilakukan 5 atau 10 tahun lalu mungkin hasilnya tidak akan sepesat ini. Ambil contoh Payfazz sebagai salah satu startup yang cukup cepat akselerasi bisnisnya.

Aplikasi Payfazz memungkinkan mitra (rata-rata pemilik warung) untuk bisa melayani penjualan berbagai item virtual, seperti pulsa, token listrik, pembayaran asuransi, transfer uang dan lain sebagainya. Di Indonesia sendiri, menurut Kemenkopukm ada sekitar 64 juta UKM dengan 46,27% di antaranya di bidang perdagangan, termasuk di dalamnya pemilik warung. Di sudut masyarakat pelanggan, layanan-layanan yang diberikan akrab dengan kebutuhan sehari-hari. Nilai ekonomi berputar kencang dalam komoditas terkait.

Kue bisnis yang besar kini turut diperebutkan oleh pemain digital raksasa lain, seperti platform e-commerce yang berbondong-bondong kuatkan program kemitraan dengan warung – telah dijalankan Bukalapak, Tokopedia dan kini Shopee.

Belanja online yang telah menjadi kultur juga memberikan dampak baik bagi e-commerce yang memberikan layanan secara lebih spesifik. Misalnya yang disajikan HappyFresh, melalui aplikasi memungkinkan masyarakat mendapatkan bahan makanan yang dijamin segar. Namun sampai tahun 2025 proyeksi GMV untuk bisnis ini masih akan terus tinggi mencapai US$82 miliar.

Sementara bagi fintech sudah sangat jelas, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable) yang bisa dijadikan sasaran layanan.

Arah bisnis yang tepat

Faktanya lebih banyak startup yang telah beroperasi bertahun-tahun tapi belum kunjung menyentuh valuasi centaur. Fenomena ini sempat jadi perbincangan hangat, lantaran disinyalir terjadinya funding gap. Yakni gagalnya startup yang telah melewati pendanaan early-stage untuk mendapatkan kepercayaan investor later-stage.

Di fase lanjutan, angka yang tersaji di dalam metrik menjadi penting bagi investor. Dan angka-angka itu bakal meningkat tajam jika bisnis yang disajikan memang menangani hal-hal yang dibutuhkan oleh banyak orang, secanggih apapun solusi yang ditawarkan.

Intuisi founder untuk mengeksekusi bisnis dalam momentum yang tepat jadi salah satu kunci mengapa pada akhirnya 27 startup tadi mungkin dalam waktu dekat akan segera menyusul para seniornya, bergabung di jajaran unicorn.

Masih Perkasa, Fortnite Kumpulkan Pendapatan Rp25 triliun Selama 2019

Setelah hampir 3 tahun menemani para pemainnya, Fortnite ternyata terbukti masih menjadi favorit banyak gamers di dunia. Walau kurang populer di Indonesia, game ini tetap masih menjadi pilihan, dengan total pemain mencapai kurang lebih 250 juta pemain di bulan Maret 2019 lalu.

Selain itu, tahun 2019, Fortnite kembali mencetakkan rekor. Mengutip riset yang dilakukan SuperData, sebuah perusahaan sub-divisi bidang gaming milik Nielsen, Fortnite mencatatkan pemasukan sebesar US$1,8 miliar (sekitar Rp25 triliun), dan mencatatkan diri di peringkat 1 game free to play dengan pendapatan terbanyak. Angka ini melejit cukup jauh jika dibandingkan dengan League of Legends, yang hanya mendapatkan US$1,5 miliar (sekitar Rp 20 triliun) saja sepanjang tahun 2019; yang membuatnya bertengger di posisi ke-4 dari 10 game free to play dengan pendapatan terbanyak di 2019.

Mengutip SuperData, ada beberapa faktor atas suksesnya Fortnite. Pertama, adalah soal update konten yang rutin. Strategi ini berhasil membuat pemain jadi pembeli setia atas konten-konten yang disajikan Epic Games. Dikatakan, walau jumlah pemain Fortnite lebih sedikit dibanding League of Legends, namun para pemainnya dua kali lipat lebih ingin untuk membeli konten in-game Fortnite. Selanjutnya, faktor kedua yang tak kalah penting menurut SuperData adalah karena berbagai promosi bersifat crossover yang dilakukan oleh Fortnite, seperti dengan Marvel Avengers, Stranger Things, ataupun Star Wars.

Secara umum, laporan tersebut mengatakan bahwa pendapatan dari konten digital meningkat tiga persen dalam perbandingan data tahun ke tahun. Sepanjang 2019, konten digital berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$120,1 milyar. Walau demikian, pendapatan konten digital untuk PC games masih tertinggal jika dibanding dengan mobile games. Dari total US$120,1 milyar, sektor mobile games mendapatkan US$64 milyar, dilanjut US$29,6 milyar dari sektor PC games dan US$15,4 milyar dari sisi game konsol.

Memang sepertinya pada tahun 2019 lalu, besaran pasar mobile games sedang meningkat dengan cukup signifikan. Peningkatan dari sisi teknologi mungkin jadi salah satu faktor penyebabnya. NPD juga sempat mengungkap belanja gamers Amerika Serikat di Q3 2019 lalu. Ketika itu, total pendapatan gaming meningkat satu persen dengan pendapatan terbesar dari sektor konten digital, dengan Pokemon GO termasuk sebagai salah satu dari 7 game top-grossing.

Sumber: Fortnite Official Site
Tren mobile games tak terhentikann, Epic Games juga memutuskan membuat versi mobile dari Fortnite pada pertengahan 2018 lalu. Sumber: Fortnite Official Site

Kalau bicara pasar mobile gaming, Indonesia adalah salah satu pasar yang besar. Hal ini terbukti lewat Esports Market Trend 2019 dari DSResearch yang menemukan tiga dari lima game esports terpopuler adalah mobile game. Walau Fortnite masih mempertahankan diri sebagai game terpopuler dan paling laku, namun tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Melihat angka pendapatan yang dilaporkan oleh Super Data, mungkinkan mobile games akan jadi tren berikutnya di tahun 2020. Apalagi tren ini juga sudah ditanggapi berbagai pengembang besar di barat. Contohnya seperti Epic Games yang merilis Fortnite untuk mobile, Riot Games membuat LoL: Wild Rift untuk mobile, dan Activision Blizzard yang membuat Diablo untuk mobile.

Sumber header: Fortnite Official Site

Laporan DSResearch: Fintech Report 2019

Teknologi finansial (fintech) masih menjadi model bisnis yang sangat populer di Indonesia. Perkembangan bisnis dan inovasi produk yang terus berlanjut makin menarik untuk diamati.

Demikian juga menurut pengamatan CEO BRI Ventures Nicko Widjaja, “Tahun 2019 merupakan pencapaian penting bagi kita semua, dengan memasuki babak baru di dunia digital. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memiliki peran penting dalam era ekonomi digital ASEAN. Dengan terciptanya unicorn dari anak bangsa, pasar yang lebih matan dan konsumen digital yang terus bertambah baik dari segi skala dan kualitas. Begitu pula pencapaian di bidang teknologi finansial dan jendela kesempatan yang terbuka lebar bagi para entrepeneur yang memiliki solusi tepat bagi lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia.”

Melihat dinamika pasar dan minat yang tinggi terkait lanskap bisnis tersebut, DSResearch merilis laporan tahunan “Fintech Report 2019”. Bertajuk “Moving Towards a New Era in Indonesia’s Financial Industry”, laporan ini mencoba mencatat tren-tren baru yang dihasilkan fintech. Sembari mengamati adopsi berbagai layanan di masyarakat – mulai dari pembayaran, pinjaman, hingga investasi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak hal disoroti dalam laporan ini, meliputi pergerakan industri, pemain fintech terkini, dan perspektif konsumen. Sudut pandang dari penyedia dan pengguna layanan yang dihadirkan diharapkan memberikan pengetahuan berharga bagi ekosistem fintech Indonesia.

Beberapa pembahasan yang dirangkum dalam laporan tersebut meliputi:

  • Fintech lending masih terus mengalami pertumbuhan. Tahun ini tercatat ada 47 pemain baru yang terdaftar di OJK. Sementara itu otoritas juga mulai menggulirkan status “izin usaha” untuk p2p lending, 11 pemain sudah mengantonginya.
  • Beleid mengenai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) tahun ini diresmikan oleh BI. Dinilai akan berdampak signifikan pada bisnis pembayaran digital.
  • Digital wallet (82,7%) menjadi kategori produk fintech yang paling populer menurut responden, dilanjutkan investment (62,4%), paylater (56,7%), dan p2p lending yang mengakomodasi kebutuhan personal (40%).
  • Gopay (83,3%) masih menjadi aplikasi digital wallet yang paling banyak digunakan tahun ini. Sementara Ovo (99,5%) menjadi aplikasi digital wallet yang memiliki awareness masyarakat tertinggi.

Selain tiga poin di atas, masih banyak hal lain yang terangkum dalam laporan. Termasuk mengenai peran investor dalam mendukung fintech lokal, tren pendanaan startup fintech, hingga survei mengenai layanan fintech terfavorit untuk berbagai kategori.

Dapatkan laporan lengkapnya melalui tautan berikut ini: Fintech Report 2019.


Disclosure: DSResearch bermitra dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan unit bisnis ventura miliknya BRI Ventures dalam penerbitan laporan ini. Kedua perusahaan saat ini memiliki konsentrasi tinggi terhadap perkembangan fintech di Indonesia, termasuk memberikan dukungan dalam bentuk investasi dan kerja sama strategis.

Laporan DSResearch: Pemahaman Pasar Wellness di Jakarta 2019

Kesadaran masyarakat urban akan pola hidup sehat terus meningkat, menjadikan berbagai aktivitas kebugaran dan produk penunjang kesehatan makin diminati. Tren tersebut turut membuka peluang baru untuk industri yang dinamakan “wellness”, dengan pendekatan digital yang mengakomodasi kebiasaan masyarakat masa kini.

Definisi wellness cukup beragam, secara umum diartikan sebagai proses aktif yang mengarahkan pada pilihan, kegiatan, dan gaya hidup menuju kondisi kesehatan menyeluruh, baik kesehatan fisik, mental, maupun emosional. Aktivitas kebugaran, produk kecantikan, atau produk makanan sehat termasuk contoh elemen di dalamnya.

Untuk melihat perkembangan minat masyarakat terhadap wellness, sekaligus pemahaman mereka terhadap produk terkait, DSResearch meluncurkan laporan bertajuk “Penetrasi Gaya Hidup Aktif dan Sehat Kaum Urban”.

Beberapa temuan menarik dalam survei meliputi:

  • Dari total 600 responden survei dengan proposisi berimbang, kalangan perempuan (71%) lebih banyak yang mengetahui tentang layanan atau produk kesehatan ketimbang laki-laki (57,7%).
  • Produk obat-obatan (73,5%), suplemen kesehatan (70%), suplemen makanan (69,2%), dan layanan kebugaran (57%) menjadi produk wellness yang paling banyak diketahui responden.
  • Dari berbagai aplikasi yang menawarkan akses ke produk dan layanan kesehatan, Halodoc (57,7%) dan Alodokter (28,5%) menjadi yang paling populer di kalangan pengguna.

Selain tiga poin di atas, dalam laporan dibahas juga mengenai konsiderasi responden dalam pemilihan produk dan layanan wellness, preferensi harga, hingga tingkat kepuasan terhadap layanan dan produk yang pernah digunakan. Untuk informasi dan data selengkapnya, unduh gratis Pemahaman Pasar Wellness di Jakarta 2019.


Disclosure: DSResearch bermitra dengan FITCO, sebuah aplikasi buatan The FIT Company yang menyediakan akses menuju berbagai layanan gaya hidup aktif dan sehat. Layanan ini terdiri dari tiga pilar, yaitu Move (akses ke ruang olahraga dan kelas latihan), Eats (menu sehat dan lezat yang dirancang ahli gizi), dan Shop (produk konsumen yang mendukung gaya hidup aktif dan sehat).

Laporan DSResearch: Perkembangan Pangsa Pasar Esports 2019 di Indonesia

Bukan lagi sekadar komoditas hiburan, permainan digital atau game telah bertransformasi menjadi lanskap yang patut diperhitungkan. Esports dewasa ini santer diperbincangkan melalui berbagai media, sebagai ekosistem yang menaungi industri permainan digital tersebut. Antusiasmenya juga cukup terasa di Indonesia, baik dari kalangan pelaku, yaitu gamer, media, broadcaster, startup, hingga penikmat.

Untuk lebih jeli melihat perkembangan esports di Indonesia, DSResearch dan Hybrid.co.id, kanal media yang fokus memberitakan perkembangan seputar ekosistem esports, menginisiasi sebuah proyek riset bertajuk “Esports Market Trend 2019”. Berbagai perspektif coba ditangkap melalui kegiatan survei dan analisis. Melalui platform jajak pendapat Jakpat Mobile Survey, sebanyak 1445 orang penikmat esports terlibat sebagai responden.


Berikut ini beberapa hasil temuan menarik survei:

  • Mobile Legends adalah platform terpopuler, paling banyak dimainkan, dan paling banyak ditonton di Indonesia
  • Meskipun kebanyakan titel populer berada di ranah mobile, PUBG, FIFA, dan Dota 2 adalah judul-judul PC dan console game yang masih mendapatkan tempat khusus

Selain dua poin di atas, masih banyak temuan yang disajikan dalam laporan survei. Untuk informasi dan data selengkapnya, unduh gratis Esports Market Trend 2019.